Varian-varian baru
WHO juga mengaitkan kondisi pandemi yang tidak kunjung mereda ini dengan kemunculan varian-varian baru virus corona yang lebih cepat menular, lebih agresif, dan sebagian lebih mematikan (misalnya "mixed mutant" Portland, Oregon; dan varian B.1.1.7 yang paling banyak menginfeksi, yang berasal dari Inggris). Keadaan yang mengkhawatirkan ini hanya dapat dihadapi lewat "adjustment" atau "penyetelan ulang" vaksin-vaksin yang telah ada.
Di bawah ini dipasang daftar varian-varian yang memuat data sampai dengan 14 April 2021 tentang negara asal, jumlah kasus positif dan pertambahan kasus baru sejak 7 April 2021 di Inggris. Sumber data Gov UK. Baca juga USA CDC dan Nature.
Varian asal Inggris B.1.1.7 telah menginfeksi total 209.492 orang. Varian B.1.351 asal Afrika Selatan 600 orang. Varian P.2 asal Brazil 59 orang. Dst. Data kasus positif global masih perlu ditambahkan.
Sejauh saya ketahui, orang umumnya mengira bahwa setelah mereka menerima vaksinasi, mereka akan otomatis kebal terhadap infeksi virus corona. Padahal, kenyataannya sama sekali tidak demikian.
Paling jauh, yang kita dapat harapkan dari vaksinasi bukanlah penularan akan otomatis terhenti, melainkan penyakit Covid-19 dengan gejala berat, yang umumnya berakibat kematian, dapat dicegah atau dikurangi dengan signifikan. Syukur jika vaksin China Sinovac dan vaksin Oxford-AstraZeneca yang sedang digunakan di Indonesia dapat efektif seperti itu, minimal.
Pendistribusian global yang tak adil
Patut dicatat, pandemi Covid-19 juga tak akan dapat cepat ditanggulangi jika vaksin-vaksin tidak didistribusikan dengan adil sedunia, tetapi dikuasai sejumlah kecil negara-negara terkaya dunia, khususnya Amerika dan Inggris. Ketimbang memperjuangkan keadilan global dalam pendistribusian vaksin-vaksin, dua negara kaya ini mengedepankan apa yang oleh Deutsche Welle dinamakan "nasionalisme vaksin".
Menurut data Bloomberg Vaccine Tracker, pada 8 April 2021 sejumlah 40% dari vaksin-vaksin Covid-19 yang sudah tersedia untuk digunakan dunia dikuasai 27 negara kaya yang merupakan 11% populasi dunia. Sedangkan negara-negara termiskin dunia, yakni sebesar 11% populasi dunia, baru mendapatkan dan menggunakan 1,6% vaksin-vaksin Covid-19.
Dengan kata lain, negara-negara yang memiliki pendapatan tertinggi di dunia menjalankan vaksinasi 25 kali lebih cepat dibandingkan yang dilakukan negara-negara yang berpenghasilan terendah.
Menurut WHO, saat ini ada 670 juta dosis vaksin-vaksin yang sudah diluncurkan dan digunakan dalam tingkat global. Menurut basis data Bloomberg, kini telah ada 781.496.115 juta dosis vaksin-vaksin yang telah dikirim dan sedang digunakan di 154 negara. Masalahnya, bagian terbesar dari vaksin-vaksin ini telah dijual ke negara-negara kaya dunia.
Menurut WHO, kasus-kasus positif terus meningkat lantaran vaksin-vaksin juga masih langka tersedia, dan kondisi ini berdampak paling buruk bagi negara-negara yang sedang berkembang yang tidak bisa menjalankan program vaksinasi bagi penduduk mereka. Pendistribusian vaksin-vaksin dengan adil tak dapat ditunda-tunda lagi. Masalahnya, pihak otoritas mana yang dapat menjadi sang wasit?
Manfaat vaksin-vaksin paling banyak diperoleh oleh negara-negara kaya yang memborong vaksin-vaksin. Inggris, misalnya, lewat program dan gerakan vaksinasi nasional telah berhasil mengurangi jumlah kematian karena Covid-19.
Perlu kita ketahui, jika pendistribusian vaksin-vaksin dilakukan dengan adil sedunia berdasarkan jumlah populasi masing-masing negara, maka terdata bahwa Inggris telah menggunakan 7 kali lebih banyak dari jatah adil yang seharusnya diterima negara ini.
Dua studi di Inggris
Yang saya ketahui, dua studi telah dilakukan di Inggris dari 1 Desember 2020 hingga 3 April 2021, sebagai bagian dari Survei Infeksi Covid-19 yang dilakukan bersama oleh Universitas Oxford, departemen kesehatan negara dan Kantor Statistik Nasional. Baca di sini.
Para peneliti telah menganalisis lebih dari 1,6 juta hasil test swab (hidung dan tenggorokan) yang diambil dari 373.402 partisipan dalam studi-studi tersebut.
Para peneliti menemukan bahwa 21 hari setelah pemberian 1 dosis tunggal vaksin Pfizer atau vaksin AstraZeneca, angka semua kasus baru infeksi Covid-19 turun 65%. Ini mencakup 74% penurunan angka infeksi bergejala dan 57% penurunan angka infeksi tanpa gejala.
Penurunan angka seluruh infeksi dan infeksi bergejala bahkan lebih tinggi lagi setelah penyuntikan dosis kedua, berturut-turut turun 70% dan 90%. Angka-angka ini tak berbeda jauh pada para penyintas infeksi Covid-19.
Studi yang kedua fokus pada level antibodi-antibodi terhadap virus SARS-CoV-2, untuk menemukan bagaimana antibodi-antibodi berubah setelah pemberian 1 dosis suntikan vaksin AstraZeneca atau vaksin Pfizer, dan setelah 2 dosis suntikan vaksin Pfizer.
Hasil-hasilnya menunjukkan bahwa respons antibodi terhadap satu dosis tunggal kedua vaksin sedikit lebih rendah pada orang lansia, tetapi tinggi untuk semua golongan umur setelah suntikan kedua vaksin Pfizer.
Hingga minggu ketiga April 2021 (Rabu, 21 April 2021) sudah lebih dari 33 juta orang di Inggris telah menerima dosis pertama vaksin Covid-19, dan lebih dari 10 juta orang telah menerima suntikan dua dosis. Baca di sini.
Kasus Amerika
Sebaliknya, di Amerika Serikat jumlah orang dewasa muda (55 tahun ke bawah) yang harus dirawat di rumah-rumah sakit karena terpapar Covid-19 meningkat (sebesar 7% dalam tujuh hari terakhir ini), sementara mereka belum atau tidak mau divaksinasi. Ini hal yang ironis, sebab "vaccination rate" (VR) di Amerika sudah mencapai rerata 3 juta orang lebih per hari, mendekati 4 juta orang.
Sampai 8 April 2021, di Amerika sebanyak 158 juta dosis tunggal vaksin telah disuntikkan. Menurut data mutakhir Bloomberg, dalam tiga bulan ke depan ini vaksinasi di Amerika akan mencapai 75% dari penduduknya.
Lebih ironis lagi, di tengah prestasi VR Amerika yang luar biasa itu, jumlah kasus positif naik rata-rata 2% dalam kurun yang sama tujuh hari terakhir ini. Sedangkan, jumlah lansia Amerika 65 tahun ke atas yang sudah divaksinasi makin banyak, alhasil makin sedikit dari mereka yang terkena Covid-19 yang perlu dirawat di rumah-rumah sakit.
Keragu-raguan dan ketidakpercayaan terhadap vaksinasi di kalangan dewasa muda Amerika timbul lantaran mereka menilai vaksin-vaksin tersedia dalam waktu sangat cepat, kurang dari satu tahun.
Sebagai jawaban kepada mereka, Dr. Anthony Fauci (penasihat medis utama Presiden Joe Biden) telah memperinci tahun-tahun yang telah dijalani dalam serangkaian penelitian yang bermuara pada pengembangan dan produksi vaksin-vaksin.
Kata Dr. Fauci, vaksin-vaksin yang telah tersedia tidak dikembangkan dalam 11 bulan. Sebelumnya, telah berlangsung banyak usaha luar biasa keras lintasilmu selama beberapa dekade dalam penelitian-penelitian yang dilakukan para vaksinolog sebelum pandemi Covid-19 merebak di akhir 2019. Selanjutnya baca di sini.
Selain itu, hemat saya, teknologi pengembangan vaksin yang makin maju, misalnya teknologi vaksin mRNA, tentu saja akan mempersingkat waktu pengembangan dan produksi vaksin-vaksin mRNA. Mengapa hal ini bukan disyukuri, malah dicurigai?
Efek samping "blood clots"
Telah diketahui, dua vaksin virus hidup adenovirus Johnson & Johnson dan Oxford-AstraZeneca telah menimbulkan efek samping yang sangat serius berupa "blood clots" atau penggumpalan atau pengentalan darah dalam pembuluh darah.
"Blood clots" ini terjadi karena virus hidup atau DNA yang dibawanya menimbulkan overreaksi dari sistem imun yang selanjutnya menghasilkan antibodi yang toksik yang membuat platelet dalam pembuluh darah menggumpal/mengental.
Dalam kondisi normal, antibodi mengaktifkan platelet untuk berfungsi menyembuhkan luka yang berdarah, dengan membuat darah pada luka membeku. Lebih terperinci, baca di sini.
Efek samping "blood clots" disebut juga "cerebral venous thrombosis" (CVT) dalam otak atau "vaccine-induced immune thrombotic thrombocytopenia" (VITT) yang dapat terjadi dalam pembuluh darah di bagian-bagian lain tubuh.
CVT terjadi 4 kasus dalam 1 juta orang yang divaksinasi dengan vaksin-vaksin mRNA Pfizer dan Moderna, dan 5 kasus dalam 1 juta untuk vaksin AstraZeneca. Jumlah kasus lewat vaksinasi jauh lebih kecil dibandingkan 39 kasus dalam 1 juta pasien yang terpapar Covid-19. Baca di sini.
Diperkirakan, jumlah kecil kasus efek samping CVT atau VITT yang timbul lewat vaksinasi barulah menampakkan puncak sebuah gunung es. Bagian gunung es yang tak terlihat jauh lebih besar.
Menurut dr. Anand Padmanabhan dari Mayo Clinic, CVT atau VITT tidak boleh diobati dengan obat pengencer darah heparin karena akan memperburuk problem efek samping ini.
Katanya lagi, akan jauh lebih menolong jika kasus CVT atau VITT ditangani dengan infus IV dosis tinggi immunoglobulin atau "intravenous immunoglobulin" (IVIG). Lantaran IVIG akan melapisi atau memberi "coating" platelet-platelet dengan antibodi-antibodi normal sehingga mencegah antibodi-antibodi toksik merusak platelet-platelet. Baca di sini.
Gangguan psikiatris, psikologis dan neurologis
Di Amerika dalam minggu ini data baru statistik menunjukkan bahwa satu dari antara delapan orang yang terpapar Covid-19 terdiagnosa juga mengalami gangguan-gangguan neurologis dan psikiatris baru, dibarengi dengan rasa cemas dan depresi yang dalam--- dengan kata lain, mereka mengalami "post-traumatic stress disorder" atau PTSD dalam enam bulan sejak terpapar Covid-19.
Kondisi psikologis, psikiatris dan neurologis sebagai gangguan-gangguan mental ini dialami para penderita Covid-19 dari kalangan dewasa muda, kelompok minoritas, pekerja-pekerja esensial, dan para perawat relawan, dalam kurun enam bulan sejak terinfeksi.
Menurut data yang dirilis dalam jurnal Lancet edisi 6 April 2021, setiap satu dari antara tiga orang penderita Covid-19 mengalami gejala-gejala neurologis psikiatris, kesehatan mental, dan sistem saraf. Studi ini sangat signifikan karena melibatkan 236.000 pasien Covid-19, kebanyakan pasien dirawat di Amerika Serikat. Lebih lanjut, baca di sini.
Gangguan yang paling umum adalah rasa cemas yang berkepanjangan, gangguan suasana batin dan pikiran ("mood disorders"), dan penyakit otak. Makin berat Covid-19 yang diderita, makin besar kemungkinan si pasien terkena gangguan-gangguan mental, dan penyakit otak yang berupa stroke iskhemik, yakni penggumpalan darah yang berdampak pada otak.
PTSD tentu dialami bukan cuma sebagai gejala "long covid", melainkan juga timbul karena gabungan faktor-faktor pemicu lainnya seperti lamanya pandemi berlangsung dengan berbagai akibat multidimensionalnya, waktu perawatan terisolasi yang lama di rumah sakit, gejala berat Covid-19, dan berbagai pembatasan individual dan sosial yang diterapkan untuk memitigasi efek-efek berat multidimensional dari pandemi yang menimbulkan berbagai stres psikologis.
Ditemukan fakta penting bahwa setelah para penderita "long covid" PTSD diberi suntikan dosis lengkap vaksin-vaksin, mereka merasa lebih lega dan dapat bersukacita lagi. Baca lebih lanjut di sini dan di sini.
"Mixed shots"
Direktur BPOM China, Gao Fu, mengakui bahwa vaksin-vaksin "inactivated" buatan China (2 dosis vaksin Sinovac dan vaksin Sinopharm, dan 1 dosis vaksin CanSino) memiliki angka efektivitas (ER, "effectiveness rate") yang rendah, antara 50%-70%, jauh di bawah ER vaksin mRNA Amerika-Jerman Pfizer dan vaksin mRNA Amerika (Bill Gates) Moderna yang mencapai 95%-97%. Baca lebih lanjut Apnews dan CNBC.
Pengakuan yang langka oleh Gao Fu tersebut disampaikan dalam suatu konferensi di baratdaya kota Chengdu, 10 April 2021.
Dikatakan, ER vaksin-vaksin China rendah bisa disebabkan oleh usia orang yang mengikuti uji klinis (makin tua usia, makin sulit antibodi terbentuk dalam titer cukup apalagi titer tinggi), bisa juga karena strain virus yang berbeda, dan bisa juga karena faktor-faktor lain yang tidak disebutkan.
Vaksin-vaksin China tersebut dikembangkan berdasarkan sekuens genetik SARS-CoV-2 Desember 2019! Tentu anda tahu apa artinya ini.
Sebelumnya, China meremehkan vaksin-vaksin mRNA Amerika, dengan alasan vaksin mRNA baru pertama kali dikembangkan dan diproduksi sehingga keamanan vaksin-vaksin mRNA belum teruji dan tidak dapat dijamin. Kini China berubah sikap.
Seorang pejabat BPOM China menyatakan bahwa China juga sedang mengembangkan vaksin-vaksin mRNA yang, kabarnya, kini sedang memasuki tahap uji klinis. Kapan uji klinis hingga tahap 3 selesai, tidak ada beritanya.
Nah, China berencana nanti akan memakai vaksin-vaksin gabungan (vaksin "inactivated" dan vaksin mRNA) untuk disuntikkan berurutan ("mixed shots") pada satu orang dengan jedah waktu 3-4 minggu.
"Mixed shots" diyakini akan meningkatkan dan memperkuat kemampuan memproteksi orang yang sudah divaksinasi gabungan terhadap infeksi virus corona. Ya, "mixed shots" membuat virus-virus digempur lebih dari satu penjuru.
Jadi, kalau vaksin mRNA berbayar sudah tersedia di Indonesia, pilihlah vaksin ini, dan jika sudah menerima dua dosis lengkap vaksin Sinovac, ambil lagi vaksin mRNA dua dosis, dengan jedah waktu yang cukup.
Kita belum tahu, apakah "mixed shots" nanti akan diperbolehkan di Indonesia. Kalau memakai pertimbangan keilmuan dan ER yang diharapkan tinggi, seharusnya "mixed shots" Sinovac dan mRNA dibuka seluas-luasnya bagi warga Indonesia.
N.B. Berita pengakuan China di atas sudah dimuat juga di beberapa koran online Indonesia sekitar 11 atau 12 April 2021. Saya sudah tahu sebelumnya dari berita-berita koran online luar negeri.
Tapi saya tidak langsung membagi berita tersebut ke teman-teman Indonesia karena saya tidak mau menimbulkan kegelisahan.
Tapi, akhirnya, sekarang saya sudah broadcast juga WA message saya ini. Soalnya, banyak sekali teman yang belum tahu. Mereka yang belum tahu ini potensial akan merasa semuanya aman jika sudah divaksinasi 2 dosis vaksin Sinovac.
Saya sendiri, tanpa gembar-gembor sama sekali, sudah menerima suntikan 2 dosis vaksin Sinovac. Tapi, terus-terang, saya tidak berharap banyak pada vaksin China ini.
Karena pertimbangan divaksinasi lebih baik ketimbang tidak sama sekali, ya saya sudah divaksinasi, tapi dengan disertai perasaan tidak ada yang berubah pada tubuh saya.
Ok, tetaplah jalankan prokes 5-M kendatipun sudah menerima dosis lengkap 2 suntikan vaksin Sinovac.
Banyak laporan, vaksin ini tidak berhasil menimbulkan antibodi yang bertiter cukup apalagi tinggi meski pengukuran titer dilaksanakan 3 minggu setelah suntikan dosis kedua. Dalam hal ini, Gao Fu benar.
Kasus jerman
Meskipun di Jerman program vaksinasi telah dan sedang berjalan "pada jalan yang baik, dengan ribuan dokter praktek umum ambil bagian dalam minggu ini untuk menjalankan kampanye vaksinasi" dan hampir "15% populasi Jerman sudah divaksinasi dengan dosis pertama, dan 5,8% telah menerima dua dosis suntikan", pemerintah Jerman menyatakan, pada Jumat, 9 April 2021, bahwa "lockdown" nasional akan dijalankan selama dua hingga empat minggu ke depan untuk mengendalikan serangan gelombang baru infeksi Covid-19.
Pada 9 April 2021, muncul 25.000 kasus infeksi baru dengan gejala berat terhadap orang dewasa muda, dan angka ini dinilai terlalu tinggi. "Lockdown" nasional di Jerman harus diterapkan untuk mencapai jumlah tetap kasus positif baru di bawah 100 per 100.000 orang. Lebih lanjut baca di sini.
Penutup
Di atas telah dibeberkan singkat situasi-situasi di dunia dan di beberapa negara maju dan terbelakang terkait usaha global menanggulangi pandemi Covid-19.
Hal yang terlihat adalah bahwa vaksinasi saja tidak akan dapat menghentikan pandemi dalam waktu cepat.
Melawan pandemi dan mengalahkannya atau, lebih tepat, mengendalikannya, memerlukan keterlibatan banyak faktor lain yang sama pentingnya dengan vaksinasi dan pendistribusian vaksin-vaksin yang berlangsung dengan adil.
Jakarta, 16 April 2021ioanes rakhmat