"Dalam banyak perumpamaan... Yesus memberitakan firman kepada mereka sesuai dengan pengertian mereka, dan tanpa perumpamaan Dia tidak berkata-kata kepada mereka. Tapi kepada murid-murid-Nya Dia menguraikan segala sesuatu secara tersendiri." (Markus 4:33-34)
BERAGAMA ITU pada hakikatnya berkaitan dengan misteri besar yang dipercaya ada, tetapi tidak bisa dibuktikan dengan objektif lewat lima indra atau lewat instrumen teknologis seperti teropong bintang, radio teleskop atau mikroskop atau mesin sains terbesar dunia Large Hadron Collider, dll.
Anda merasa Tuhan hadir dan ada di sebelah anda, itu bukan bukti bahwa Tuhan itu ada, tetapi suatu perasaan anda saja yang bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan mengapa perasaan itu, sangat real sekalipun bagi anda, bisa muncul. Bidang ilmunya dinamakan neuroteologi, bagian dari neurosains.
Sebagai kepercayaan, beragama itu berada dalam wilayah tata bahasa modus subjungtif, wilayah harapan, keinginan, cita-cita, angan-angan, impian-impian, kedambaan, hal-hal yang dinanti, ditunggu, diimani, dipercaya saja.
Contoh kalimat modus subjungtif: "Semoga besok tidak turun hujan supaya acara resepsi perkawinan si Beludru besok sukses dan dihadiri banyak tamu."
Contoh satu lagi, "Aku berharap puteraku yang semata wayang ini kelak akan menjadi presiden besar negara Amerika."
Lagi, "Aku percaya nanti di tahun depan keponakanku itu akan memenangkan lomba balap Ferari itu, menjadi juara satu. Tak apalah tahun ini dia tak dapat mencapai prestasi apapun."
Nah, dua kalimat pertama di atas adalah kalimat yang mengungkapkan harapan, kenginan, kedambaan, cita-cita, kerinduan, penantian, kepercayaan, angan-angan. Dalam ilmu bahasa dinamakan kalimat bermodus subjungtif.
Nah, contoh ketiga sebetulnya berisi dua kalimat. Kalimat yang pertama jelas suatu ungkapan harapan, impian, cita-cita, kedambaan; jadi bermodus subjungtif.
Kalimat kedua dalam contoh ketiga di atas berisi pernyataan tentang sesuatu, pernyataan faktual meski negatif, bukan pengharapan atau kedambaan.
Kalimat tersebut disebut bermodus indikatif, kalimat yang mengindikasikan atau menyatakan sesuatu, lepas dari ihwal sesuatu yang positif atau yang negatif. Bisa juga mengindikasikan sesuatu yang tidak faktual, tidak sebagai fakta, atau mengindikasikan sesuatu yang faktual.
Pendek kata, kalimat indikatif adalah kalimat yang menyatakan sesuatu, lepas dari benar atau tidaknya pernyataan itu.
Sesuatu dinyatakan, tetapi tidak berisi harapan, cita-cita, kedambaan, keinginan, kepercayaan atau impian. Apa yang diungkap dalam suatu kalimat bermodus indikatif bisa dibuktikan benar atau salah, ada atau tidak ada. Tidak berisi pengharapan atau keinginan atau angan-angan atau cita-cita.
Misalnya, kalimat "Hari ini sampai minggu depan Matahari lupa terbit." Lepas dari benar atau tidaknya pernyataan ini, konyol atau serius, kalimatnya bermodus indikatif, kalimat pernyataan tentang sesuatu. Bisa dibuktikan benar atau salah, tetapi tidak berisi pengharapan. Tidak dipakai kata-kata "Semoga", "Diharapkan", "Bisa jadi", "Barangkali", "Berharaplah", "Sekiranya boleh", "Dipercaya", "Diyakini", "Supaya", dlsb.
Nah, sudah jelas ya beda kalimat modus subjungtif dari kalimat modus indikatif.
Dalam dunia sains, yang umum dipakai adalah kalimat indikatif, kalimat pernyataan yang kebenaran atau kesalahannya harus dibuktikan atau diperlihatkan, lewat berbagai metode ilmiah pengujian berlapis.
Kita katakan, pernyataan apapun dalam dunia sains harus dapat diverifikasi (kebenarannya berhasil diuji dan diperlihatkan) atau difalsifikasi (kesalahannya berhasil ditunjukkan). Dalam filsafat sains, ini dinamakan prinsip verifikasionisme.
Tentu, dalam dunia sains ada hal-hal yang baru sebatas diteorikan, persisnya dihipotesiskan. Suatu hipotesis adalah suatu pernyataan indikatif yang kebenaran atau kesalahannya menunggu dibuktikan atau diperlihatkan. Jadi, hipotesis juga masuk dalam kalimat modus indikatif. Tidak ada hipotesis yang disusun dalam kalimat modus subjungtif.
Tentu kepercayaan tentang sesuatu hal pasti ada dalam diri ilmuwan manapun ketika mereka sedang bergelut dalam dunia sains--- tetapi ini bukan kepercayaan keagamaan, melainkan sebagai bagian ranah kognitif mereka yang harus dirumuskan dengan cermat sebagai sebuah hipotesis.
Postulat atau dalil dalam dunia sains memang diterima benar begitu saja, tidak memerlukan pembuktian. Tetapi postulat dalam dunia keilmuan bukan suatu kepercayaan keagamaan, tidak bermodus subjungtif, melainkan bermodus indikatif.
Postulat bukan hanya diterima benar, tetapi juga dapat dideskripsikan lewat gambar-gambar dengan beranekaragam tanda, simbol, angka, huruf, dan berbagai karakter lain. Anda dapat menunjukkan pada layar datar monitor komputer anda atau menggambarkannya pada suatu papan tulis misalnya dalil bahwa garis lurus adalah jarak terpendek antara dua titik.
Jadi, tidak ada ilmu pengetahuan atau teori ilmu pengetahuan atau dalil atau postulat keilmuan yang bersifat mudah-mudahan, atau sebagai angan-angan, atau sebagai doa pengharapan atau suatu penantian atau suatu impian.
Perlu diingat terus: Kalimat dalam dunia ilmu pengetahuan adalah kalimat modus indikatif. Tidak pernah bermodus subjungtif.
Memang sains juga bergerak dalam dunia "hierarki atau jenjang-jenjang kepastian", dari jenjang teratas yang sudah sangat pasti, paling pasti, menengah pasti, kurang pasti hingga jenjang terbawah sangat kurang pasti.
Kalau sesuatu itu sudah tidak pasti atau sangat tidak pasti, atau yang kebenarannya sudah pasti tidak ada, ya sesuatu ini pasti dibuang ke tong sampah dalam dunia sains. Ada banyak loh sampah ilmu pengetahuan. Bertong-tong banyaknya.
Semua jenjang atau hierarki kepastian ini menunggu pembuktian, mulai dari jenjang terbawah (kurang pasti), naik ke jenjang di atasnya, terus sampai tiba pada jenjang teratas, jenjang "sudah sangat pasti", di saat bukti-bukti yang afirmatif kritis sudah lebih dari cukup terkumpul, dan teori-teori sederhana sudah cukup menjelaskan hubungan kausal bukti-bukti tersebut secara koheren.
Well, suatu teori di jenjang yang "sudah sangat pasti", yang membuat suatu teori disebut "teori besar" ("grand theory") yang "telah diterima" secara universal, dan menjadi bunda atau ayah acuan teori-teori lain, bukan teori yang definitif final.
Dalam dunia sains, tidak ada teori apapun, sepasti apapun, yang dipandang sudah definitif final. Kepastian suatu teori sains tidak terkait dengan finalitas definitif. Kepastian ilmiah selalu temporer, dan berkaitan dengan peringkat kemajuan iptek kita. Mengapa?
Ya, lantaran misteri-misteri alam empiris yang dapat, sejauh ini, diobservasi dan dipersepsi oleh lima indra dan berbagai instrumen selalu bertambah terus, alhasil horison-horison misteri selalu melebar terus.
Apalagi jika kawasan-kawasan dalam jagat raya kita yang terus mengembang (ibarat sebuah balon maha besar yang sedang ditiup terus), yang semula belum bisa diobservasi, kemudian ternyata dapat diobservasi dan dipersepsi ketika iptek yang lebih maju sudah kita miliki.
Belum lagi kalau alam-alam semesta lain (yang membentuk "multiverse") kita juga perhitungkan meski kini belum dapat kita masuki.
Ya, kita berhadapan dan dikurung dalam infinitas keilmuan, dalam ketidakterbatasan keilmuan. We are all overwhelmed by infinity.
Jadi, tak ada ilmu pengetahuan atau teori sains yang sudah final mutlak. Ilmu pengetahuan selalu sebagai titik titik linier atau titik-titik berpilin tanpa akhir, ad infinitum, atau titik koma, atau koma, tetapi tidak pernah titik penuh, full stop.
Kabar baiknya adalah bahwa adanya hierarki kepastian malah membuat sains terus bergerak maju dan berkembang. Tidak bergerak abadi di tempat dalam angan-angan dan doa-doa pengharapan atau impian dan lamunan saja.
Harap disadari, meski berpijak atas hierarki ketidakpastian/kepastian, ilmu pengetahuan dan teknologi kita sekarang sudah dapat mengirim astronot-astronot ke bulan kita dan wantariksa-wantariksa tanpa awak ke kawasan-kawasan yang jauh dalam sistem Matahari kita dan beberapa bahkan sudah lepas dari kawasan sistem Matahari kita, melesat ke dalam dunia antarbintang.
Telah disebut di atas adanya prinsip verifikasionisme yang dijalankan lewat pencarian dan pengajuan bukti-bukti. Nah, karena selalu diuji berlapis lewat pengajuan bukti-bukti, setiap posisi keilmuan selalu dengan sendirinya terbuka pada "koreksi diri" atau "self-correction". Tentu saja koreksi diri ini dilakukan lewat tangan para ilmuwan yang terus mengobservasi dan menganalisis, dan melakukan dialektika tesis vs. antitesis yang ketika keduanya dipertemukan dengan dinamis melahirkan sintesis sebagai sebuah tesis baru.
Lalu, bagaimana halnya dengan fiksi sains? Sama juga. Fiksi sains juga bahasa modus indikatif, menunggu waktu untuk tiba pada pembuktian sebagai "sains itu sendiri" atau "science proper", atau "bonafide science", berhubung setiap fiksi sains dibangun dengan fondasi "sains dasariah" atau "basic science". Di atas fondasi kokoh "basic science" ini dibangunlah fiksi-fiksi imajinatif yang merupakan kelanjutan yang menjulang dari fondasinya.
Jadi, ilmu pengetahuan juga bergerak maju dan berkembang terus-menerus di tangan para ilmuwan lewat banyak imajinasi yang berdisiplin dan kreatif (bukan yang "ngaco gak keruan") yang tak pernah habis. Perhatikan tiga ucapan ilmuwan termashyur Albert Einstein berikut ini yang memberi tempat penting bagi imajinasi.
"Tanda kecerdasan sejati bukanlah pengetahuan, tapi imajinasi."
"Imajinasi lebih penting dari pengetahuan. Pengetahuan terbatas. Imajinasi menyelimuti dunia."
"Imajinasi lebih penting dari pengetahuan. Imajinasi adalah bahasa mental. Perhatikan imajinasi anda, maka anda akan menemukan bahwa semua yang anda butuhkan akan terpenuhi."
Keterlibatan imajinasi dalam merancangbangun ilmu pengetahuan menyebabkan ilmu pengetahuan juga memiliki dimensi-dimensi artistik bahkan puitik.
Dalam rangka itulah, kerap para saintis memakai bantuan metafora-metafora dalam menggambarkan dengan imajinatif posisi-posisi ilmu pengetahuan, mulai dari ilmu pengetahuan tentang kawasan "dunia" partikel hingga ilmu pengetahuan tentang "multiverse" atau jagat raya majemuk mahabesar.
Di atas sudah saya pakai metafora "sebuah balon yang sedang ditiup hingga terus mengembang" untuk menggambarkan fakta ilmiah bahwa jagat raya kita terus memuai atau mengembang ("ever-expanding").
Untuk mendeskripsikan ihwal bagaimana jagat raya majemuk terbentuk, dipakailah metafora gelembung-gelembung atau bola-bola busa sabun yang terbentuk sambung-menyambung makin banyak dan menyebarluas dari larutan air sabun yang diaduk dan dihembus. Boleh saja kita iseng bertanya, dari mana adonan atau larutan air sabun itu pada awalnya.
Metafora dalam dunia ilmu pengetahuan selain dapat memperjelas suatu pemikiran ilmiah atau suatu posisi ilmu pengetahuan, juga acap kali dipakai para ilmuwan karena mereka kekurangan atau kehabisan kosa kata ilmiah untuk mendeskripsikan suatu fenomena alam. Atau, lebih mungkin, karena jagat raya ini atau dunia ilmu pengetahuan memang penuh dengan hal-hal yang menyentuh dan menggugah kalbu, jiwa dan pikiran sehingga para ilmuwan condong menjadi insan-insan artistik puitik.
Dengan "metafora" kita menyeberang, bergerak pindah (Yunani: "ferein"), dari kawasan dunia rutin sehari-hari yang tak direnungi lagi, masuk ke dunia-dunia lain yang "melampaui" atau "beyond" (Yunani: "meta") dunia sehari-hari kita, yaitu dunia-dunia yang lebih tinggi, dunia yang tidak atau belum dapat diobservasi oleh iptek atau dunia-dunia lain yang luar biasa mempesona atau luar biasa bernilai atau dunia "adinilai".
Karena memasuki dunia "adinilai", maka ilmu pengetahuan juga bergerak dalam nilai-nilai yang agung, adinilai, nilai-nilai yang "luar biasa besar", dengan kata lain: nilai-nilai transenden. Jadi, selain berurusan dengan fakta-fakta objektif, ilmu pengetahuan juga masuk ke dunia etika.
Karena agama juga kait-mengait dengan dunia-dunia lain yang dipersepsi lebih tinggi dan lebih bernilai, katakanlah dunia para malaikat dan Tuhan yang diyakini penuh pesona dan ketakjuban besar, maka setiap agama tidak bisa lepas dari metafora-metafora.
Yesus tahu betul hal itu. Alhasil, Yesus mengajar dengan banyak metafora, yakni perumpamaan-perumpamaan-Nya dan pepatah-pepatah-Nya yang menggugah jiwa dan menggedor pintu hati dan pikiran. Ada ajaran Yesus untuk kalangan umum (ajaran eksoteris), dan ada juga ajaran tambahan khusus untuk murid-murid inti-Nya, "inner circle" (ajaran bagi kalangan sendiri, kelompok esoteris). Di sinilah ilmu pengetahuan berbeda, karena tidak ada ilmu pengetahuan esoteris, cuma untuk kalangan sendiri.
Tentu saja, sudah sangat lama orang mengklaim bahwa nilai-nilai kehidupan atau "life values" adalah urusan terpenting semua agama. Bahkan, bagi kalangan keagamaan yang ekstrim, nilai-nilai kehidupan hanya dimonopoli oleh agama, sudah tertulis harga mati dalam teks-teks keagamaan. Kata mereka, sains tidak bisa dan tidak berhak berbicara atau berurusan dengan nilai-nilai.
Uupps... tentu saja klaim kalangan ekstrim keagamaan tersebut berlebihan, totalitarian, dan meleset. Sebab sains juga memberi nilai-nilai yang sangat luas dan multidimensional, mengevaluasi nilai-nilai, dan membarui nilai-nilai kehidupan terus-menerus.
Lepas dari aspek-aspek bisnis dan politik dari perusahaan farmasi dan negara, para ilmuwan yang bekerja keras untuk mengembangkan vaksin-vaksin Covid-19 dan menjalankan uji-uji klinis adalah orang-orang cerdas dan berhati mulia yang sedang berjuang memelihara, mempertahankan dan menyelamatkan kehidupan manusia lewat vaksin-vaksin yang aman, manjur atau efektif dan "up-to-date". Nah, jelas terlihat, baik para ilmuwan vaksin, ilmu vaksinologi, maupun vaksin-vaksin yang mereka kembangkan, juga sarat dengan nilai-nilai kehidupan.
Nah, semua pemaparan di atas menimbulkan sejumlah implikasi praktis yang penting dan serius.
Karena bahasa keagamaan adalah bahasa subjungtif, maka beragama adalah berharap, menanti, menunggu, bercita-cita, mempercayai sesuatu, merindukan, memimpikan atau mengangan-angankan sesuatu yang belum ada sekarang. Belum terbukti objektif empiris ada.
Alhasil, beragamalah dengan rendah hati dan berpikiran luas, tidak bisa sombong-sombongan, tidak cupet. Dan terbukalah pada banyak pilihan spiritualitas dan beranekaragam penafsiran. Bangun dunia ini. Bangun dan bela kehidupan. Hindari dan cegah kematian.
Jika anda bersikap begitu, meskipun agama itu bermodus subjungtif, anda lewat agama anda akan melahirkan karya-karya dan tindakan-tindakan besar. Anda akan menjadi seorang mahatma.
Pantanglah memandang diri sendiri sebagai orang yang paling benar dan berhak menjadi hakim yang bengis terhadap kalangan lain yang berbeda.
Jika anda menjadi hakim yang bengis dan keras demi membela aliran pemikiran keagamaan anda sendiri, nah ketika anda mati (karena terkena Covid-19 misalnya), anda akan langsung dihakimi oleh Tuhan anda dengan cara yang sama yang anda pakai di Bumi. Pernah gak hal ini anda renungi? Jadi? Ya, terserah anda. Mau jadi jadi-jadian juga boleh.
Perhatikan dua kutipan berikut.
"Lihat, orang-orang yang bengis jatuh. Mereka dibanting dan tidak dapat bangun lagi." (Mazmur 36:13)
"Jika seseorang terlihat bengis, jangan campakkan dia. Sadarkan dia lewat kata-katamu. Angkat dia dengan perbuatanmu. Balas luka-luka yang ditimbulkannya dengan kebaikan. Jangan buang dia. Buang kebengisannya." (Lao Tzu)
Teks Mazmur 36:13 yang telah dikutip di atas adalah teks Yahudi-Kristen yang dipercaya sebagai firman Tuhan, kehendak Tuhan Allah. Ya, bisa terjadi, tetapi sulit sekali, lantaran orang yang bengis biasanya sudah menghimpun kekuatan di sekeliling mereka. Harapan hanya bisa ditumpukan pada tindakan Tuhan sendiri, pada intervensi Allah sendiri. Itulah yang ada dalam pikiran si penulis teks Mazmur tersebut. Mereka akan "dibanting" oleh Tuhan Allah sendiri.
Nasihat bajik pujangga dan filsuf Lao Tzu (hidup antara abad 6 SM dan abad 4 SM) memang luar biasa, maksudnya luar biasa sulit untuk sukses dijalankan berhubung sifat bengis dan si manusianya sudah menyatu. Sang malaikat kebajikan pun tampaknya juga tak akan berhasil memenuhi harapan si "guru gaek" Lao Tzu.
Lagipula, apakah wejangan baik si filsuf Tiongkok kuno ini perlu dituruti, jika si manusia bengis yang mau diselamatkannya sudah menyebar maut ke mana-mana dan tak lagi memiliki nurani yang hidup. Dalam istilah sekarang,... jika si manusia bengisnya adalah seorang psikopath atau sosiopath. Tetapi siapa pun yang mau mencobanya, jalankanlah nasihat yang agung ini, meski akan dapat menjadi suatu usaha menegakkan sehelai benang yang basah.
Begitu juga, jika anda seorang ilmuwan, rendah hatilah. Ingat, ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak akan menjadikan sombong dan takabur siapapun yang berilmu.
Baktikanlah diri anda untuk--- lewat ilmu anda, lewat iptek yang anda dan teman-teman anda bangun dan kembangkan--- melakukan perbuatan-perbuatan yang agung, terhormat, mulia dan bernilai besar dan abadi buat sesama anda, buat kemanusiaan, buat bentuk-bentuk kehidupan lain, dan buat planet Bumi dan jagat raya kita.
Hai para agamawan, tidak usahlah anda berpura-pura menjadi ilmuwan. Anda tidak pernah terlatih puluhan tahun dalam metode-metode keilmuan. Kalau anda memaksa diri (mungkin karena anda ditekan orang lain), anda akan menjadi "ilmuwan norak" yang akan membahayakan kehidupan.
Tidak usah mencocok-cocokkan teks-teks keagamaan anda dengan teks-teks ilmu pengetahuan. Ini usaha yang selamanya akan sia-sia. Anda hanya akan lihai di bidang cocokologi, tanpa pernah bisa menjadi ilmuwan sejati. Cocokologi itu, setahu saya, rapuh dan melelahkan. Fungsi utama agama anda sebagai pemandu etika yang responsif kreatif akan terabaikan.
Hai para ilmuwan, janganlah jual diri anda, berapapun besarnya harga yang ditawarkan ke anda. Tetaplah melangkah terus sebagai ilmuwan. Obor penerang peradaban ada di tangan anda.
Jangan menjadi ilmuwan gelandangan yang kuyu dan tanpa cahaya di mata. Jangan jadi ilmuwan pelacur. Jangan juga berubah jadi pseudo-ilmuwan yang disewa atau dikontrak seperti rumah kontrakan yang tak terurus.
Hai para agamawan dan para ilmuwan, kalian dapat bertemu dalam dunia etika, dunia nilai-nilai. Bersama-sama dan saling mengisi dengan cerdas, bermartabat, terhormat dan terpelajar, kawallah pembangunan, pengembangan dan pemajuan peradaban-peradaban dunia ini.
2 Januari 2021
ioanes rakhmat
2 Januari 2021
ioanes rakhmat