Presiden Joko Widodo, 16 Desember 2020, telah mengumumkan bahwa vaksin (-vaksin) Covid-19 digratiskan untuk seluruh warga masyarakat Indonesia. Ketika vaksinasi dimulai, beliau yang akan menjadi orang pertama penerima vaksinasi.
Digratiskan, tentu tanpa batasan golongan umur. Tentu ada kalangan yang akan didahulukan. Bayi, batita, balita dan bocah masih dapat menunggu sampai vaksin oral Covid-19 tersedia (misalnya vaksin oral Covid-19 Vaxart), asalkan orangtua mereka sudah imun lewat vaksinasi gratis.
Lalu, hal penting selanjutnya apa?
Hal yang terpenting bukanlah para pengusaha tamak Indonesia jadi tidak bisa menimbun vaksin-vaksin. Bukan itu. Meski orang boleh berteriak, Rasain loh!
Dengan vaksin-vaksin COVID-19 digratiskan pemerintah RI untuk seluruh warga masyarakat, maka batasan persentase populasi yang perlu divaksinasi (50%?, 70%?) untuk mencapai "herd immunity" atau "kekebalan populasi menyeluruh" tidak ada lagi.
Jika semua warga, 240 juta orang, mau divaksinasi, kurang lebih 100% warga Indonesia akan beroleh kekebalan. Ini lebih bagus.
Sebab meski "herd immunity" dapat tercapai lewat vaksinasi 70% populasi, kita masih bisa terinfeksi. Kok?
Ya, betul, jika pada suatu saat yang naas, tanpa "pagar pembendung" yang terdiri atas orang yang telah imun (lewat vaksinasi atau lewat kesembuhan), kita (yang masih rentan atau tidak imun) berada di kepungan, katakanlah, 20 orang pembawa virus sebagai OTG yang tidak divaksinasi. Mereka termasuk 30% populasi yang tidak divaksinasi karena berbagai alasan, misalnya karena tak percaya sama sekali pada vaksin apapun. Jika ini kita alami, dengan akibat kita terjangkit Covid-19, ya nasib namanya. Nasib, nasib.
Oh ya, anti-vaxxers selalu ada, meski vaksinasi sudah digratiskan. Mereka terus bergerak membayangi setiap usaha vaksinasi massal. Sambil menyebar teori-teori persekongkolan atau teori-teori konspirasi ngalor-ngidul yang terus diubah dan diganti. Sayang ya, mereka menghabiskan waktu, tenaga dan uang untuk hal-hal yang kosong. Mereka pasti tegang dan stres.
Setelah masyarakat menerima vaksinasi, apakah kehidupan lama yang normal lantas kembali sepenuhnya? Oh tidak serta-merta kembali normal. Ada masa transisi.
Sebab, kita masih harus bersiap dengan fakta bahwa meskipun orang menjadi relatif kebal untuk diri sendiri setelah beberapa waktu divaksinasi dengan dua suntikan dengan jedah waktu, mereka masih potensial terpapar virus (jatuh sakit tapi ringan) dan menyebarkan virus corona baru. Soal ini sedang hangat diperbincangkan. Belum ada kepastian.
Jadi, kita sebaiknya masih mengenakan masker wajah beberapa bulan, misalnya selama tiga hingga enam bulan, setelah masyarakat menerima vaksinasi. Kepastian akan muncul akhirnya, lewat riset dan data, apakah orang yang sudah divaksinasi masih akan menularkan virus yang sudah makin lemah.
Lemah? Ya diperlemah, tapi dapat berubah jadi "garang" jika menginfeksi orang lain yang memiliki sistem imun yang kinerjanya sangat lemah.
Orang yang sudah divaksinasi masih bisa menyebarkan virus, ya karena dibutuhkan waktu sekian minggu setelah vaksinasi untuk antibodi-antibodi lengkap (humoral dan selular) terbentuk dalam titer yang tinggi. Selama menunggu ini, mereka masih potensial terpapar virus (dengan gejala atau tanpa gejala) dan menularkan virus.
Ingat, sekali lagi ingat, bahwa kita sekarang ini berada dalam masa pandemi. Untuk melakukan vaksinasi 240 juta orang yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia, dibutuhkan waktu lama, 6 bulan bahkan bisa sampai 1 tahun, bergantung kecepatan distribusi vaksin-vaksin, infrastruktur, dan kesigapan, perlengkapan penunjang dan jumlah ketersediaan para pekerja kesehatan. Jadi, selama aktivitas vaksinasi nasional yang butuh waktu ini, potensi penularan virus masih tetap tinggi.
Ya jadinya memakai masker masih perlu dilakukan sementara kegiatan vaksinasi sedang berjalan, meski kita sudah divaksinasi. Bahkan sangat baik jika kebiasaan memakai masker di wilayah publik terus dipertahankan ketika kita, misalnya, sedang terkena flu biasa atau terserang batuk.
Meskipun masih mengenakan masker beberapa waktu, setelah divaksinasi, kita akan hidup lebih rileks dan lebih lega. Ekonomi yang sedang mati suri akan segera bangkit dan hidup lagi. Kegiatan kumpul-kumpul bertahap akan jalan lagi. Pertandingan sepak bola akan bisa kita tonton lagi langsung di suatu stadion. Kantor-kantor akan dibuka penuh lagi. Ibadah di rumah-rumah ibadah semarak lagi. Sekolah-sekolah buka lagi. Semua kegiatan interaksi online berganti dengan kegiatan interaksi in-person. Dst. Dst.
Selain itu, meski sudah divaksinasi, tidak berarti kita akan imun selamanya. Masih banyak hal yang belum kita ketahui tentang berapa lama (durabilitas) imunitas yang distimulasi vaksin-vaksin Covid-19 akan bertahan.
Ihwal berapa lama kekebalan lewat vaksinasi akan bertahan, bergantung serokonversi vaksin yang digunakan, yakni kapasitas suatu vaksin untuk, lewat mekanisme kerja sistem imun, membangkitkan antibodi-antibodi yang komplit (humoral dan selular) dan banyak. Makin tinggi serokonversi (di atas 90%), durabilitas imunitas yang distimulasi vaksin akan makin panjang.
Sekalipun durabilitas imunitas lewat vaksinasi ini biasanya akan berkurang sejalan waktu, kita masih punya sel-sel limfosit B dan sel-sel T yang akan dikerahkan sistem imun kita untuk dengan cepat dan dalam jumlah yang banyak memproduksi sel-sel memori yang membuat sistem imun kita mengenali kembali virus-virus SARS-CoV-2 ketika reinfeksi terjadi kapan pun juga, lalu antibodi memorial diproduksi kilat untuk menyerang virus-virus penyusup ini. Ini sungguh suatu kabar baik.
Meski begitu, adalah lebih baik jika kita divaksinasi ulang setiap 1 tahun sekali sebagai vaksinasi booster dengan vaksin-vaksin Covid-19 generasi-generasi terbaru. Terbaru? Ya karena si gerombolan virus SARS-CoV-2 terus bermutasi, melahirkan jenis-jenis ("strands") baru virus corona.
Hanya alam, lewat banyak cara, yang bisa menghentikan mutasi suatu virus di alam bebas. Vaksin seperti juga antibiotik dapat memaksa dan menekan virus dan bakteri untuk bermutasi, karena mereka juga ingin hidup terus.
Vaksinasi booster per tahun tidak diperlukan sejauh vaksin-vaksin "inactivated" yang sudah lama teruji (juga vaksin-vaksin teknologi baru mRNA yang belum teruji), yang sudah tersedia sekarang untuk Covid-19 (yang perlu disuntikkan 2 dosis per orang dengan jedah waktu), dapat membangkitkan imunitas dengan durabilitas sangat panjang (sampai 10 tahun, misalnya) atau durabilitas selamanya. Kita sama sekali belum bisa tahu tentang hal ini sekarang. Kita baru akan tahu nanti, 6 bulan lagi atau 1 tahun lagi, ketika para ilmuwan memeriksa titer antibodi-antibodi yang dibangkitkan, lewat kerja sistem imun kita, oleh vaksin-vaksin Covid-19 yang sudah tersedia, yang sudah disuntikkan dalam 2 dosis per orang.
Kabar tak enaknya, dugaan banyak ahli, Covid-19 akan menjadi Covid musiman, tak bisa dilenyapkan. Waaah. Dan durabilitas imunitas yang dibangkitkan oleh sistem imun, yang distimulasi oleh vaksin-vaksin Covid-19, juga diduga tidak lama. Waaah. Tenang, tenang, ini semua baru dugaan.
Kenapa dugaan-dugaan, bukan kepastian-kepastian?
Ya, pertama, karena virus SARS-CoV-2 masih misterius. Dr. Anthony Fauci, pakar terdepan penyakit infeksius Amerika, menyatakan bahwa virus corona baru, penyebab penyakit Covid-19, adalah virus yang "protean", mudah berubah bentuk dan sifat. Arah mutasi dan evolusinya tidak terduga, di dalam tubuh inang-inang. "Natural pressure" atau "human-made pressure" memaksa virus-virus bermutasi demi bertahan hidup.
Kedua, karena baru kali ini, di masa pandemi Covid-19, vaksin-vaksin Covid-19 dikembangkan begitu cepat, kurang dari 1 tahun (padahal sebelumnya bisa memakan waktu 10 tahun untuk pengembangan 1 vaksin), baik vaksin-vaksin tradisional yang sudah teruji (dua atau tiga vaksin Tiongkok pilihan Indonesia masuk jenis vaksin ini), maupun vaksin-vaksin teknologi baru mRNA yang belum pernah teruji (vaksin Pfizer dan vaksin Moderna).
Yuup betul, teknologi yang "advanced" memang dapat mempercepat proses pengerjaan dan pencapaian apapun. Jadi, sebetulnya bukan soal waktu 1 tahun yang singkat, melainkan apakah vaksin-vaksin mRNA Covid-19 dalam dunia real (di luar dunia uji klinis) betul-betul akan tetap "safe and effective" dan tidak akan menimbulkan "long term effects" yang berat. Kita belum punya pengalaman sama sekali tentang ini. Jadi kita belum bisa dapat jawaban tentang ini sekarang. Kita masih menunggu. Kita masih bertaruh.
Pertaruhan? Ya, itulah kehidupan kita, kehidupan yang akar terdalamnya dalam pohon evolusi biologis adalah mikroorganisme yang dinamakan virus. Kita, dan semua organisme lain, bermoyang virus. Walaaah lah lah.
ioanes rakhmat
17 Desember 2020