Sunday, May 27, 2012

Asal-usul Moralitas





Image credit: funstarts33. Sumber image: Adobe.Stock.



Perhatikan gambar di atas. Anda yang kenal kitab suci Yahudi Tanakh, pastilah tahu gambar tersebut terkait dengan kisah apa. 

Menurut narasi teologis etiologis Taman Eden, kecerdasan moral manusia ada pada buah pohon moral, yang diminta sang ular untuk dimakan oleh Hawa, sang hero pemberani, sementara Allah melarangnya memakan buah pohon moral itu. Dus, pendek kata, moralitas berasal dari alam!

Apakah Hawa, dan Adam, adalah sepasang manusia yang menjadi moyang semua insan di muka Bumi? Tidak juga. Dalam setiap kebudayaan, umum ditemukan kisah-kisah etiologis tentang Asal-usul moyang-moyang mereka; kisah Tanakh Yahudi tentang Adam dan Hawa adalah salah satu dari antara banyak kisah. Tetapi, Adam dan Hawa, keduanya, dapat ditafsirkan sebagai representasi kemanusiaan kolektif.

Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa makhluk manusia bertubuh modern Homo sapiens muncul 300.000 tahun lalu di Afrika./1/ Tetapi agama yang oleh antropolog Edward Tylor dinamakan “animisme” baru muncul 12.000 tahun SM, atau 14.000 tahun yang lalu./2/ Jika betul demikian, berarti selama 300.000 tahun minus 14.000 tahun, Homo sapiens tak mengenal agama apapun. 

Tapi penemuan arkeologis lebih mutakhir oleh arkeolog Universitas Oslo Sheila Coulson dan timnya, mengharuskan kita menyimpulkan lain. 

Coulson mendapatkan bukti, ritual keagamaan yang sudah berkembang, sudah dipraktekkan orang Basarwa di Ngamiland, Afrika Selatan, 70.000 tahun lalu./3/ Dalam ritual religius mereka, orang Basarwa 70.000 tahun lalu menyembah ular sanca (python) besar yang dalam kisah penciptaan mereka dipandang sebagai leluhur yang melahirkan manusia. 

Jika demikian, berarti selama 300.000 tahun minus 70.000 tahun, nenek moyang Homo sapiens hidup tanpa agama.

Jika selama 230.000 tahun nenek moyang kita tak mengenal agama, dari manakah mereka mendapatkan moralitas untuk mengatur kehidupan mereka? Sudah pasti, tanpa agama apapun, nenek moyang Homo sapiens bisa merumuskan moralitas yang simpel untuk ketahanan komunitas mereka. 

Jadi salah sekali jika kini kita beranggapan bahwa moralitas hanya bisa didapat dari agama.

Dari mana sesungguhnya moralitas berasal pada mulanya? Yang pasti, bukan dari agama. Dalam biologi kita, menurut biolog evolusioner Richard Dawkins, ada altruistic gene dan selfish gene./4/ 

Altruistic gene mendorong setiap individu untuk mau berkorban diri demi survival komunitas. Selfish gene mendorong setiap individu untuk mempertahankan kehidupannya sendiri, yang akhirnya juga mempertahankan komunitasnya. 

Jadi, baik selfish gene maupun altruistic gene mendorong setiap individu membela dan mempertahankan komunitas, dengan caranya sendiri-sendiri. Tentu saja, dua jenis gen dalam organisme yang dinamakan Homo sapiens muncul dari sejarah panjang evolusi biologis spesies, tidak serta merta dijatuhkan dari langit oleh suatu Persona Adikodrati manapun.

Bagaimana cara gen manusia bekerja untuk menghasilkan ketahanan komunitas mereka? Tak ada cara lain selain gen insani itu mengatur cara otak manusia bekerja, demi survival manusia.

Gen manusia bekerja sedemikian rupa lewat otak manusia untuk menghasilkan ketahanan komunitas. Tak ada jalur lain selain lewat otak, untuk gen kita memerintahkan kita mempertahankan kehidupan komunitas. Gen kita menghendaki spesies kita bertahan kekal di muka Bumi.

Jadi, pertanyaan dari mana asal-usul moralitas pada mulanya, dapat dijawab: moralitas muncul dari kerja otak manusia sendiri. Selama otak manusia masih bekerja, dan selama gen kita mendorong kita untuk mempertahankan spesies kita, moralitas dilahirkan. Gen kitalah yang berjuang di dalam diri kita, lewat sel-sel neuron otak kita yang "membaca" DNA kita, untuk melahirkan moralitas. Tentu, ada interaksi antara gen kita dan faktor-faktor lingkungan ("environmental factors").

Semua agama boleh lenyap, tapi manusia akan tetap hidup dan bertahan jika gen kita terus mendorong otak kita untuk bekerja supaya kehidupan Homo sapiens bertahan hidup. Kalau dulu kajian-kajian agama menjadi perhatian kita dalam kita merumuskan moralitas, sekarang tidak itu saja. Sebagai komplemen studi agama-agama, kini neurosains (atau neurobiologi) memegang peran penting dalam usaha manusia merumuskan moralitas./5/

Neurosains adalah kajian saintifik atas segala sesuatu yang berkaitan dengan sel-sel saraf dalam organ otak kita, yang dinamakan neuron yang jumlahnya 100 milyar sel. Neurosains telah memperlihatkan ihwal apakah seseorang bisa menjadi baik atau bisa menjadi jahat, tak bergantung pada suatu Allah adikodrati. Menjadi jahat atau menjadi baik, bergantung pada ihwal bagaimana seseorang me-manage neuron-neuron dalam organ otaknya. 

Watak dan sifat serta pembawaan dan kepribadian kita dibentuk oleh faktor-faktor neurogenetik dan faktor-faktor lingkungan, secara interaktif, sejak kita dilahirkan. 

Bahkan kondisi-kondisi kehidupan janin dalam rahim juga ikut berperan pada pembentukan watak dan kepribadian si anak yang akan dilahirkan, antara lain lewat makanan dan obat-obat yang dimakan dan diminum seorang perempuan yang akan/sedang hamil, atau lewat sikon mental si ibu saat sedang hamil--- inilah yang dinamakan faktor "epigenetik" ("epi" artinya "di atas").

Epigen berfungsi untuk "mengaktifkan" ("turning on") dan "menonaktifkan" ("turning off") gen-gen lewat perubahan-perubahan eksternal struktur DNA tanpa mengubah sekuens genetik. Perubahan struktural gen-gen ini berpengaruh pada cara sel-sel "membaca" kode-kode genetik.

Untuk segala jenis kelakuan dan sikap mental, ada ruang-ruang neural-nya sendiri dalam organ otak kita. Menjadi liberal dalam beragama atau malah menjadi militan fundamentalis, juga ada ruang-ruang neurologisnya yang menentukan, dalam organ otak./6/

Demikian juga, ada ruang-ruang neural dalam organ otak kita yang membuat seseorang bisa berhaluan politik liberal atau bisa berhaluan politik konservatif, bergantung pada mana yang paling banyak diberi masukan mental dan pada kondisi fisik anatomis ruang-ruangnya./7/

Ihwal apakah seseorang menjadi psikopat (anti-sosial dan tak bisa berempati) juga ditentukan oleh kondisi kesehatan ruang-ruang neural tertentu dalam organ otaknya./8/

Sekali lagi, faktor-faktor lingkungan, seperti pengasuhan, pendidikan, sikon hidup berkeluarga sejak kecil, lingkungan pergaulan, kondisi alam, dan berbagai faktor sosiobudaya, juga berperan dengan real. 

Jika ada kecenderungan genetik untuk seseorang bertumbuh menjadi jahat dan kejam, tidak otomatis dia akan menjadi seorang kriminal, sebab pengasuhan dan pendidikan yang baik, lingkungan kehidupan keluarga yang teduh serta pergaulan yang sehat akan dapat menekan kecondongan genetik ini dalam batas-batas tertentu yang signifikan.

Menjatuhkan kesalahan dan hukuman pada gen ketika seseorang menjadi jahat dan durjana, sama artinya menjatuhkan kesalahan dan hukuman pada manusia si pemilik gen, karena gen tidak aktif sendirian, tetapi berinteraksi dengan berbagai faktor  environmental dalam kehidupan yang dijalani dengan sadar dan dipahami setiap manusia.

Jadi, mengapa dan bagaimana nenek moyang manusia selama 230.000 tahun bisa survive atau bertahan hidup sekalipun tanpa agama? 

Jawabnya: karena mereka berpikir, karena mereka menggunakan otak mereka untuk berpikir, untuk menimbang-nimbang dengan cepat atau dengan hati-hati, untuk merasakan, juga karena mereka memikirkan dan belajar dari pengalaman-pengalaman mereka dan kehidupan alam. Pikiran, dan perasaan, serta konteks kehidupan real yang di dalamnya manusia mengalami berbagai pengalaman, adalah sumber-sumber moralitas.

Orang beragama tanpa berpikir, akan binasa bersama agamanya; tapi orang berpikir tanpa beragama, akan bertahan abadi, setidaknya spesiesnya sebagai kolektivitas. Survival manusia bergantung pada isi pikirannya dan caranya berpikir, bukan pada agama apapun. Tentu, banyak juga hal yang baik dan membangun kehidupan dalam bangunan agama-agama. Jadi, ya temukan dan jalankanlah hal-hal yang baik dan mulia dalam agama-agama sebagai bagian dari pengasuhan dan pendidikan yang tak pernah selesai.

Agama, tentu, hanya bermanfaat jika membantu manusia berpikir dengan benar dan hidup dengan mulia demi global survival spesies manusia. Tetapi jika agama hanya sebagai museum fosil teologi, atau dijadikan tunggangan kalangan politikus yang tidak berhatinurani, agama semacam ini tak membantu manusia berpikir cerdas dan berbuat mulia, dus tak membantu ketahanan hidup spesies manusia. 

Begitu juga, jika suatu versi sebuah agama hanya melahirkan para radikalis, agama jenis ini sama sekali tidak membangun nilai moral yang bermanfaat buat kepentingan umat manusia sedunia. Sebaliknya, malah akan membinasakan kehidupan dan peradaban. Agama jenis ini hanya mendangkalkan dan menumpulkan otak manusia, tidak memperdalam dan juga tidak menajamkannya, dan pasti mematikan perasaan, nurani dan cahaya kebaikan jiwa atau nur kesadaran.

Bahwa agama bukan sumber moralitas, terlihat juga kalau kita mengamati kehidupan primata dan mammalia lain, seperti simpanse dan bonobo, juga gajah.

Beberapa kajian atas kehidupan sosial primata dan mamalia lain memperlihatkan bahwa hewan-hewan ini juga menghayati perilaku-perilaku sosial yang bermoral (memperlihatkan kerjasama resiprokal, keadilan, empati, bela rasa, kesanggupan menghibur, dan kecenderungan-kecenderungan prososial). Disimpulkan bahwa moralitas dihasilkan lewat proses evolusi./9/




Berkawan, bersosialisasi, atau parental care?


Kajian-kajian lebih luas atas perilaku binatang (mencakup serigala, monyet, kera, simpanse, bonobo, ikan paus, dolfin, tikus, gajah, kelelawar, anjing hutan) yang dilakukan Marc Bekoff dan Jessica Pierce,/10/ memperlihatkan bahwa moralitas terhubung kuat dengan dan menjadi fungsi integral (hard wired) otak semua mamalia, dan menyediakan “perekat sosial” yang memungkinkan hewan-hewan yang agresif dan kompetitif sekalipun untuk hidup bersama dalam kelompok-kelompok.

Bekoff menandaskan bahwa “kepercayaan bahwa manusia memiliki moralitas dan binatang tidak, adalah suatu asumsi yang sudah lama dipegang orang, tapi ada bukti-bukti yang makin bertambah yang memperlihatkan bahwa asumsi ini tidak benar.”

Mereka berdua menyatakan bahwa “moralitas adalah suatu ciri yang muncul dari proses evolusi, dan binatang-binatang lain memilikinya sama seperti kita, manusia, memilikinya.”

Tandas mereka, “binatang-binatang bukan saja bertindak secara altruistik, tetapi juga memiliki kapasitas untuk berempati, mengampuni, mempercayai, bekerja sama timbal balik, dan banyak lagi. Dalam diri manusia, perilaku-perilaku semacam ini membentuk inti dari apa yang kita namakan moralitas. Ada alasan yang baik untuk menyebut perilaku-perilaku ini sebagai moralitas juga dalam diri binatang-binatang. Moralitas adalah suatu strategi adaptif yang luas dalam suatu kehidupan sosial yang telah berevolusi dalam banyak masyarakat binatang selain masyarakat kita manusia.”/11/

Pendek kata, moralitas insani pada awalnya bukan diberikan oleh agama apapun, tetapi muncul dari dalam proses evolusi spesies yang berlangsung amat panjang, sebagai kemampuan-kemampuan genetik yang menggerakkan otak manusia, lewat pikiran dan perasaan mereka, dalam suatu konteks kehidupan yang real, untuk menghasilkan organisme insani yang dapat bertindak secara bermoral. 

Manusia yang dibentuk alam lewat evolusi biologis sehingga memiliki kesadaran tentang moralitas-- kesadaran tentang mana hal yang baik dan mana hal yang jahat, mana yang benar dan mana yang salah, mana putih dan mana hitam-- akhirnya memasukkan nilai-nilai moral ke dalam tubuh agama-agama, ketika agama-agama natural dan terlembaga perlahan-lahan mulai dibangun, tahap demi tahap, lewat proses evolusioner.




Di tahun 1960-an, Paul MacLean mengajukan model the Triune Brain atau otak tiga lapis: lapisan tertua otak reptil, lapisan tengah otak paleomamalia, dan lapisan termuda neokorteks atau neomamalia. Klik gambar untuk memperbesar. Sumber-sumber gambar: jstor.org dan researchgate.net.


Dalam proses evolusi biologis, kemampuan-kemampuan genetik manusia untuk hidup bermoral didahului oleh munculnya kemampuan-kemampuan genetik serupa yang jauh kurang kompleks pada hewan primata dan mamalia, yang menggerakkan hewan-hewan ini untuk juga, dalam batas-batas tertentu, menjalani kehidupan bersama yang “bermoral”.

Tapi, ketika lapisan ketiga terluar otak Homo sapiens, yang dinamakan neokorteks (atau lapisan neomamalia), sudah terbentuk dalam proses evolusi otak organisme-organisme hominin pra-Homo sapiens, manusia akhirnya menjadi organisme tercerdas yang mampu memakai jalan pikiran mereka untuk hidup berdasarkan nilai-nilai moral yang agung dan mulia. 

Pertahankanlah kemuliaan manusia ini. Jangan dihancurkan. Dan ingat, otak hewan (buas) reptil ada dalam otak manusia, sebagai lapisan terdalam dan tertua.


NB: Lebih rinci tentang moralitas, bacalah tulisan saya SCIENCES AND VALUES.



Catatan-catatan

/1/ Lihat L. Vigilant et al., “African Populations and the Evolution of Human Mitochondrial DNA”, Science 253, no. 5027 [1991], hlm. 1503-1507.

/2/ Robert Wright, The Evolution of God (New York, etc.: Little, Brown and Company, 2009) hlm. 17.

/3/ Reportase tentang temuan arkeologis ini tersedia online di http://www.afrol.com/articles/23093.

/4/ Richard Dawkins, The Selfish Gene (New York: Oxford University Press, 1976).

/5/ Sejumlah buku telah membahas hubungan neurosains dan moralitas manusia, antara lain Sam Harris, The Moral Landscape: How Science Can Determine Human Values (New York: Free Press, 2010); Patricia S. Churchland, Braintrust: What Neuroscience Tells Us about Morality (Princeton and Oxford: Princeton University Press, 2011).

/6/ Lihat Andrew Newberg & Mark Robert Waldman, How God Changes Your Brain: Breakthrough Findings From A Leading Neuroscientist (New York: Ballantine Books, 2009); Michael Persinger, Neuropsychological Bases of God Beliefs (New York: Praeger, 1987).

/7/ Lihat reportase dan video online-nya di http://www.huffingtonpost.com/2012/04/07/conservative-politics-low-effort-thinking_n_1410448.html?ncid=edlinkusaolp00000003.

/8/ Lihat reportase dan video online-nya di http://www.reuters.com/article/2012/05/07/us-brains-psychopaths-idUSBRE8460ZQ20120507.

/9/ Lihat http://www.youtube.com/watch?v=GcJxRqTs5nk; lihat juga http://www.telegraph.co.uk/earth/wildlife/5373379/Animals-can-tell-right-from-wrong.html.

/10/ Marc Bekoff dan Jessica Pierce, Wild Justice: The Moral Lives of Animals (Chicago: the University of Chicago Press, 2009).

/11/ Marc Bekoff dan Jessica Pierce, Wild Justice, hlm. xi, 3.  


Saturday, May 26, 2012

Belajar tentang Islam oleh orang Kristen, sebuah kesesatan?

Ortodoksi atau heterodoksi? Jalan ke kanan atau jalan ke kiri?

Di era masyarakat sudah semakin plural, masih banyak orang Kristen dan gereja yang berpandangan adalah sesat jika orang Kristen mendalami Islam.

Seorang pendeta yang saya kenal mendalami Islam dengan menempuh studi formal S-3 di sebuah IAIN, lalu dicap sesat oleh gerejanya. Sesudah dicap sesat, teman saya yang pendeta itu, yang dengan biaya sendiri studi formal tentang Islam, akhirnya dikeluarkan dari gerejanya.

Banyak orang Kristen masih berpandangan bahwa tak ada keperluannya orang Kristen mempelajari agama Islam. Bagi mereka, agama Islam muncul dalam sejarah dimaksudkan oleh Iblis untuk membingungkan dan memperdaya orang Kristen. Pandangan yang mengagetkan, bukan?

Sebuah masalah berat bagi masyarakat jika ada orang-orang yang tidak senang atas kehadiran sebuah agama lain di sisi agama mereka sendiri. Sikap yang eksklusivistik, agresif dan indifferent semacam ini ada dalam semua penganut agama apapun: memandang agama lain as enemy. Yang lebih tak masuk akal lagi adalah mencap sesat seorang Kristen yang sedang mempelajari agama Islam dalam sebuah studi formal purnasarjana. Kalaupun agama Islam mereka pandang sebagai musuh, bukankah dalam suatu perang adalah wajib musuh kita pelajari?

Tapi syukurlah, banyak juga orang Kristen mempelajari agama Islam bukan karena agama Islam adalah musuh, tapi karena agama Islam dipandang sebagai mitra sejati.

Yang sedang saya prihatinkan adalah kenyataan ada banyak orang Kristen yang pada masa kini masih memandang Islam sebagai musuh. Mereka memandang Islam sebagai musuh bisa karena warisan sejarah atau karena pengalaman buruk pada masa kini dalam berhubungan dengan agama Islam.

Ketahuilah, pada masa kini sudah lama berkembang kajian-kajian empatetis terhadap agama-agama lain, dan stereotipe lama yeng negatif tentang agama lain sebagai musuh sudah dibuang. Tidak sedikit sumbangan antropologi dan psikologi dalam melahirkan studi-studi atas agama-agama lain secara empatetis. 

Memahami agama lain dengan empatetis adalah memahaminya sebagaimana penganutnya sendiri memahami dan menghayatinya.  Dalam kajian empatetis atas agama lain, perspektif yang digunakan adalah perspektif “orang dalam”.

Nah teman saya yang pendeta itu memilih melanjutkan studi formal empatetisnya atas agama Islam, dan merelakan pemecatan dirinya oleh gerejanya karena pilihan sadarnya ini.

Tidak berarti bahwa dengan pendekatan empatetis dan perspektif “orang dalam”, agama lain tak dipelajari dengan kritis.  Setiap kajian ilmiah dalam bidang ilmu apapun selalu merupakan kajian kritis. Sifat kritis adalah sifat yang melekat pada setiap kajian saintifik atas fenomena apapun yang dapat dikaji. Tanpa sifat kritis, sebuah kajian yang semula diklaim ilmiah hanya pantas dipandang sebagai sebuah kajian ideologis apologetis. Tanpa sifat kritis, ilmu apapun berubah menjadi ideologi.

Banyak orang mengklaim sedang melakukan kajian ilmiah atas agamanya sendiri tapi sama sekali tidak kritis terhadap agamanya sendiri yang sedang dikajinya.  Setiap kajian atas suatu agama yang tidak memiliki sifat kritis hanya pantas dipandang sebagai apologetika, bukan hermeneutika. Apologetika adalah ideologi, sedangkan hermeneutika adalah ilmu.   

Nah teman saya yang pendeta itu, karena menjalankan hermeneutika atas agama Islam di sebuah IAIN, dituduh telah sesat oleh gerejanya dan harus kehilangan jabatannya. Sikap gerejanya yang naif dan dungu semacam itu membuat saya sangat prihatin. Kenapa bisa ada gereja semacam ini dalam dunia ini? Saya sendiri sudah mengalami hal yang serupa, yang membenarkan judgment saya bahwa banyak gereja pada  masa kini naif dan dungu. Nurani gereja pada masa kini banyak yang sudah terkena penyakit parah, penyakit yang membuatnya tak bisa membedakan lagi mana hal yang benar dan mana hal yang salah. Jika demikian keadaannya, mana bisa gereja menjadi penjaga moralitas manusia?

Patokan gereja hanya satu, ortodoksi, dan siapa yang menyimpang dari ortodoksi adalah sesat dan harus didisiplinkan, dan jika tak mau bertobat akan didepak keluar dari komunitas suci tapi dungu. 

Bagi gereja, seluruh kemahakuasaan Tuhan sudah diserap habis dalam diktum-diktum ortodoksi, tanpa ada sisanya lagi. Dus, bagi gereja, Tuhan yg mahakuasa sama dengan ortodoksi. Tapi bagi saya, menyamakan Tuhan dengan ortodoksi adalah dosa syirik, meminjam kosa kata Islam. Jika anda tak mau melakukan dosa syirik, anda harus berani mengkritik ortodoksi sekritis mungkin. Dan hanya orang-orang yang sudah tercerahkan akan berani dan mampu mengkritik ortodoksi.

Tapi bagi komunitas keagamaan manapun, orang-orang yang berani mengkritik ortodoksi adalah orang-orang sesat, yang telah menodai agama yang benar dan lurus. Jika demikian halnya, let it be, dan anda perlu maju terus mengkritik ortodoksi, dan menjaga diri anda tetap tercerahkan.

Benarlah fakta ini: orang-orang yang tercerahkan adalah orang-orang yang dipandang masyarakatnya sebagai orang-orang sesat. Jadi, saya katakan kepada teman saya yang pendeta itu: Anda dicap sesat oleh gereja anda, tapi sesungguhnya anda adalah orang yang tercerahkan.

Orang-orang yang tercerahkan tak memerlukan uniformitas, penyeragaman. Hanya ortodoksi yang membela dan mempertahankan keseragaman. 

Ortodoksi takut sekali pada perubahan dan penyimpangan. Tetapi orang-orang yang tercerahkan sangat menyukai perubahan dan penyimpangan.  Penyimpangan bukanlah kesesatan, tapi jalan-jalan lain, perspektif-perspektif alternatif, teori-teori baru. Tanpa penyimpangan, sains apapun tak akan berkembang. Jika sains tak berkembang, semua peradaban akan mati. Jika semua peradaban mati, maka Tuhanpun akan sedih, bahkan Dia menjadi tak berguna. Tuhan memerlukan peradaban yang terus maju.


Monday, May 21, 2012

Bagaimana mendapatkan pencerahan akal budi?

jalan-jalan alternatif tersedia untuk digunakan

Bagaimana mendapatkan pencerahan akal budi? Bacalah buku-buku yang membuat anda terusik karena buku-buku ini mengguncang kemapanan intelektual anda.

Buku-buku yang hanya membuat anda senang tak membantu anda mendapatkan pencerahan lebih jauh.


Buku-buku yang hanya membuat anda senang, hanya akan menjadikan anda terpenjara status quo pemikiran.


Buku-buku yang membuat anda tak senang, bahkan mempo
rakporandakan pemikiran lama anda, adalah mata-mata air pencerahan.

Untuk mendapatkan pencerahan, orang harus berani berubah, karena itu bacalah buku-buku yang akan pasti mengubah anda.

Seseorang baru belajar sesuatu jika dia diubah oleh apa yang dia sedang dan telah pelajari. Perubahan adalah tanda belajar, tanda tercerahkan!

Perubahan sekaligus tanda kehidupan. Sesuatu yang berubah, adalah sesuatu yang hidup.

Jika anda memang benar hidup, anda akan berubah, tahap demi tahap, dan hanya lewat perubahan anda mengalami pencerahan.

Di mana tak ada perubahan, di situ ada kematian dan kegelapan.

Di mana ada perubahan, di situ ada kehidupan dan pencerahan.

Orang-orang konservatif, jauh dari perubahan, jauh dari pencerahan, dan jauh dari kehidupan. Kendatipun hidup, mereka sebetulnya sudah mati.

Orang-orang progresif, terus berubah, terus tercerahkan, dan dekat kehidupan. Ketika mereka hidup, mereka adalah bintang-bintang penerang.

Musuh utama mendapatkan pencerahan adalah ketakutan tersesat.

Kalahkan ketakutan tersesat jika anda ingin mendapatkan pencerahan.

Tak ada apa yang dinamakan sesat. Yang ada adalah jalan-jalan alternatif, perspektif-perspektif lain, teori-teori baru.

Menemukan jalan alternatif, perspektif lain dan teori baru, adalah pintu-pintu gerbang pencerahan.

Jika anda melihat ada jalan yang dikatakan orang sesat, masukilah jalan itu, tempuhlah dan kajilah, maka anda akan lebih tercerahkan.

Orang-orang yang tercerahkan akan tampak bagi masyarakatnya sebagai orang-orang sesat. Tapi, go ahead!


Thursday, May 10, 2012

Irshad Manji's Media Statement May 10, 2012


May Allah, the merciful God, protect you always, Madam Irshad, from all religious evil!


Media statement
by Irshad Manji — 10 May 2012

Four years ago, I came to Indonesia and experienced a nation of tolerance, openness and pluralism. In my new book, I describe Indonesia as a model for the Muslim world.

Things have changed. Last night [May 09, 2012] at LKiS community center [in Yogyakarta, Indonesia] religious gangsters attacked about 150 citizens of Yogyakarta, as well as my team. My colleague, Emily Rees, was struck with a metal bar and had to be rushed to hospital. Her arm is now in a sling. Two other attendees sustained head injuries. I have spoken with them both and, by God’s grace, they will recover.

But the reputation of the criminals should never recover: They hid behind masks and helmets while beating up ordinary people and destroying property. These men are cowards.

In sharp contrast, the courage of several citizens saved my own life. As the gangsters shouted, “Where is Manji?,” citizens shielded my body with theirs. I am immeasurably grateful for, and humbled by, their bravery. They have shown that Indonesians can unite for human dignity.

Citizens have reported to me that their police and government are capitulating to the thugs. But the people need not capitulate. May all Indonesians take pride in their peaceful heroes — and learn from them.

Irshad Manji
Author,  Allah, Liberty and Love
and director Moral Courage Project, New York University


Media Statement
oleh Irshad Manji —10 Mei 2012

Empat tahun yang lalu, saya datang ke Indonesia dan merasakan sebuah negara yang penuh dengan toleransi, keterbukaan dan pluralisme. Karena itu, saya menyebut di dalam buku baru saya, “Allah, Liberty and Love”, bahwa Indonesia adalah contoh yang patut ditiru negara-negara muslim lainnya.

Namun sekarang banyak hal berubah. Seperti yang terjadi tadi malam [09 Mei 2012], di kantor LKiS [Yogyakarta, Indonesia] sekelompok preman berjubah agama menyerang 150 peserta diskusi sampai terluka, termasuk di antaranya asisten saya, Emily Rees. Dia dipukuli berkali-kali dengan besi panjang dan harus dilarikan ke rumah sakit. Lengannya terluka dan harus dibalut perban. Dua peserta diskusi lainnya mengalami luka cukup parah di kepala. Dan saya mengatakan kepada mereka bahwa, dengan rakhmat Allah, mereka akan segera pulih.

Tapi tidak demikian dengan para kriminal yang menyembunyikan wajah mereka di balik masker dan helm, sambil memukuli orang-orang tak bersalah dan melakukan perusakan. Mereka adalah pengecut!

Sebaliknya, ada juga para pemberani yang rela berkorban menyelamatkan nyawa saya. Di saat para kriminal tersebut berteriak-teriak, “Mana Manji? Mana Manji?”, orang-orang berjiwa pemberani tersebut menjadikan tubuh mereka sebagai perisai yang melindungi saya. Saya sangat terharu dengan keberanian mereka. Mereka telah memperlihatkan bahwa orang-orang Indonesia bisa bersatu demi martabat dan nilai-nilai kemanusiaan.

Tidak sedikit orang yang mengatakan kepada saya bahwa polisi dan pemerintah Indonesia tunduk begitu saja kepada para preman tersebut. Tapi masyarakat Indonesia tidak boleh ikut tunduk kepada mereka! Semoga seluruh masyarakat Indonesia bangga dengan—dan belajar kepada—para pahlawan perdamaian mereka.

Irshad Manji
Penulis buku Allah, Liberty and Love
dan direktur Moral Courage Project, New York University