Di era
masyarakat sudah semakin plural, masih banyak orang Kristen dan gereja yang
berpandangan adalah sesat jika orang Kristen mendalami Islam.
Seorang
pendeta yang saya kenal mendalami Islam dengan menempuh studi formal S-3 di sebuah
IAIN, lalu dicap sesat oleh gerejanya. Sesudah dicap sesat, teman saya yang
pendeta itu, yang dengan biaya sendiri
studi formal tentang Islam, akhirnya dikeluarkan dari gerejanya.
Banyak orang
Kristen masih berpandangan bahwa tak ada keperluannya orang Kristen mempelajari
agama Islam. Bagi mereka, agama Islam muncul dalam sejarah dimaksudkan oleh Iblis
untuk membingungkan dan memperdaya orang Kristen. Pandangan yang mengagetkan,
bukan?
Sebuah
masalah berat bagi masyarakat jika ada orang-orang yang tidak senang atas
kehadiran sebuah agama lain di sisi agama mereka sendiri. Sikap yang
eksklusivistik, agresif dan indifferent semacam ini ada dalam semua penganut
agama apapun: memandang agama lain as enemy. Yang lebih tak masuk akal lagi adalah
mencap sesat seorang Kristen yang sedang mempelajari agama Islam dalam sebuah
studi formal purnasarjana. Kalaupun agama Islam mereka pandang sebagai musuh,
bukankah dalam suatu perang adalah wajib musuh kita pelajari?
Tapi
syukurlah, banyak juga orang Kristen mempelajari agama Islam bukan karena agama
Islam adalah musuh, tapi karena agama Islam dipandang sebagai mitra sejati.
Yang sedang
saya prihatinkan adalah kenyataan ada banyak orang Kristen yang pada masa kini
masih memandang Islam sebagai musuh. Mereka memandang Islam sebagai musuh bisa
karena warisan sejarah atau karena pengalaman buruk pada masa kini dalam
berhubungan dengan agama Islam.
Ketahuilah,
pada masa kini sudah lama berkembang kajian-kajian empatetis terhadap
agama-agama lain, dan stereotipe lama yeng negatif tentang agama lain sebagai
musuh sudah dibuang. Tidak sedikit sumbangan antropologi dan psikologi dalam
melahirkan studi-studi atas agama-agama lain secara empatetis.
Memahami
agama lain dengan empatetis adalah memahaminya sebagaimana penganutnya sendiri
memahami dan menghayatinya. Dalam kajian
empatetis atas agama lain, perspektif yang digunakan adalah perspektif “orang
dalam”.
Nah teman saya
yang pendeta itu memilih melanjutkan studi formal empatetisnya atas agama
Islam, dan merelakan pemecatan dirinya oleh gerejanya karena pilihan sadarnya
ini.
Tidak
berarti bahwa dengan pendekatan empatetis dan perspektif “orang dalam”, agama
lain tak dipelajari dengan kritis. Setiap
kajian ilmiah dalam bidang ilmu apapun selalu merupakan kajian kritis. Sifat
kritis adalah sifat yang melekat pada setiap kajian saintifik atas fenomena
apapun yang dapat dikaji. Tanpa sifat kritis, sebuah kajian yang semula diklaim
ilmiah hanya pantas dipandang sebagai sebuah kajian ideologis apologetis. Tanpa sifat kritis, ilmu apapun berubah
menjadi ideologi.
Banyak orang
mengklaim sedang melakukan kajian ilmiah atas agamanya sendiri tapi sama sekali
tidak kritis terhadap agamanya sendiri yang sedang dikajinya. Setiap kajian atas suatu agama yang tidak
memiliki sifat kritis hanya pantas dipandang sebagai apologetika, bukan
hermeneutika. Apologetika adalah ideologi, sedangkan hermeneutika adalah
ilmu.
Nah teman saya yang pendeta itu, karena
menjalankan hermeneutika atas agama Islam di sebuah IAIN, dituduh telah sesat oleh
gerejanya dan harus kehilangan jabatannya. Sikap gerejanya yang naif dan dungu
semacam itu membuat saya sangat prihatin. Kenapa bisa ada gereja semacam ini
dalam dunia ini? Saya sendiri sudah mengalami hal yang serupa, yang membenarkan
judgment saya bahwa banyak gereja pada masa kini naif dan dungu. Nurani gereja pada masa kini banyak yang sudah
terkena penyakit parah, penyakit yang membuatnya tak bisa membedakan lagi mana hal
yang benar dan mana hal yang salah. Jika demikian keadaannya, mana bisa gereja
menjadi penjaga moralitas manusia?
Patokan
gereja hanya satu, ortodoksi, dan siapa yang menyimpang dari ortodoksi adalah
sesat dan harus didisiplinkan, dan jika tak mau bertobat akan didepak keluar
dari komunitas suci tapi dungu.
Bagi gereja, seluruh kemahakuasaan Tuhan sudah
diserap habis dalam diktum-diktum ortodoksi, tanpa ada sisanya lagi. Dus, bagi
gereja, Tuhan yg mahakuasa sama dengan ortodoksi. Tapi bagi
saya, menyamakan Tuhan dengan ortodoksi adalah dosa syirik, meminjam kosa kata
Islam. Jika anda tak mau melakukan dosa syirik, anda harus berani mengkritik
ortodoksi sekritis mungkin. Dan hanya
orang-orang yang sudah tercerahkan akan berani dan mampu mengkritik ortodoksi.
Tapi bagi
komunitas keagamaan manapun, orang-orang yang berani mengkritik ortodoksi adalah orang-orang sesat, yang telah menodai agama yang benar dan lurus. Jika
demikian halnya, let it be, dan anda perlu maju terus mengkritik ortodoksi, dan
menjaga diri anda tetap tercerahkan.
Benarlah
fakta ini: orang-orang yang tercerahkan adalah orang-orang yang dipandang
masyarakatnya sebagai orang-orang sesat. Jadi, saya katakan kepada teman saya yang
pendeta itu: Anda dicap sesat oleh gereja anda, tapi sesungguhnya anda adalah
orang yang tercerahkan.
Orang-orang yang tercerahkan tak memerlukan uniformitas, penyeragaman. Hanya ortodoksi yang membela dan mempertahankan keseragaman.
Orang-orang yang tercerahkan tak memerlukan uniformitas, penyeragaman. Hanya ortodoksi yang membela dan mempertahankan keseragaman.
Ortodoksi
takut sekali pada perubahan dan penyimpangan. Tetapi orang-orang yang
tercerahkan sangat menyukai perubahan dan penyimpangan. Penyimpangan bukanlah kesesatan, tapi
jalan-jalan lain, perspektif-perspektif alternatif, teori-teori baru. Tanpa penyimpangan, sains apapun tak akan berkembang.
Jika sains tak berkembang, semua peradaban akan mati. Jika semua peradaban
mati, maka Tuhanpun akan sedih, bahkan Dia menjadi tak berguna. Tuhan
memerlukan peradaban yang terus maju.