Mari kita lihat dengan lebih cermat!
+ Sebagai seorang Muslim, saya sudah lama ingin dapat kepastian, Pak ioanes, apakah ada tulisan-tulisan palsu dalam Perjanjian Baru?/1/
- Tidak ada. Yang ada, pertama, adalah seorang murid memakai nama gurunya ketika menulis, misalnya, surat 2 Tesalonika atau surat Efesus, dan ada sekian dokumen lagi dalam Perjanjian Baru yang sejenis.
+ Tolong diperjelas.
- Ya, tertulis dalam kedua surat itu, penulisnya bernama Paulus, tapi sebenarnya bukan, melainkan seorang muridnya atau seorang yang sangat mengenal pemikiran Paulus. Karya-karya semacam ini disebut karya-karya deutero-paulinis, atau karya-karya pseudonimus.
+ Oh, karya samaran?
- Ya, karya yang penulisnya menyamarkan identitas aslinya, diganti dengan identitas atau nama orang lain. Praktek semacam ini biasa dilakukan pada zaman kelahiran kekristenan, dan praktek ini tidak dipandang forgery atau pemalsuan.
+ Memakai nama samaran untuk sebuah karya, bukankah juga banyak dilakukan pada zaman sekarang, Pak?
- Anda betul. Tetapi tujuannya mungkin beda. Penulis yang memakai nama Paulus itu berusaha menghadirkan kembali pemikiran Rasul Paulus pada zaman ketika sang rasul ini sudah tak ada, dengan dia menafsirkan kembali atau menyusun ulang pemikiran Rasul Paulus, atau mengubahnya dalam batas-batas tertentu. Selain itu, dengan memakai nama besar Paulus, tulisannya tentu akan dipandang berwibawa dan karenanya orang mau membacanya.
+ Apa tujuannya, Pak?
- Untuk membuat pemikiran Paulus tetap bisa kena dan aktual buat komunitas penulis yang memakai nama Paulus itu, ketika mereka menghadapi masalah-masalah yang belum muncul pada zaman Rasul Paulus.
+ Oh, praktek semacam itu dalam hermeneutik disebut kontekstualisasi, Pak.
- Betul! Anda hebat juga.
+ Ya, begitulah, Pak, setiap Muslim pasti hebat!
- Haaa....? OK deh. Nah, jenis kedua adalah karya-karya yang disunting, karya-karya yang mengalami EDITING.
+ Editing? Maksud Pak io?
- Ya, editing, penyuntingan. Sebuah karya mengalami editing bisa dalam tiga bentuk: karya itu ditambah-tambahi, dikurangi, atau diubah secara parsial sporadis atau bisa juga secara radikal hampir menyeluruh, oleh seorang editor belakangan.
+ Apakah karya-karya semacam itu ada dalam Perjanjian Baru?
- Ya, ada. Dokumen-dokumen deuteropaulinis yang saya sebut tadi juga adalah karya-karya suntingan. Dalam dokumen-dokumen ini, editing atas pemikiran Rasul Paulus, lewat langkah-langkah tertentu misalnya lewat pengamatan atas gaya bahasa, pemakaian kosa kata, pemikiran teologis, dan atas persoalan yang diangkat, dapat dengan mudah ditemukan oleh para kritikus profesional. Tetapi, editing paling jelas terjadi dalam kitab-kitab Injil dalam Perjanjian Baru.
+ Bisa dijelaskan lebih terperinci?
- Sama seperti Sokrates jauh sebelumnya, Yesus orang Nazareth tidak meninggalkan tulisan apapun. Kata-kata-Nya, ajaran-ajaran-Nya, dan kejadian-kejadian penting dalam kehidupan Yesus, hanya diingat saja dalam memori murid-murid perdana-Nya.
+ Lalu?
- Banyak hal yang berkaitan dengan Yesus ini diingat di luar kepala, atau dengan bantuan sarana-sarana lain, lalu disebarkan dari mulut ke mulut, dari satu tempat ke tempat lain, dan dari satu masa ke masa lain yang lebih jauh, sebagai tradisi-tradisi lisan.
+ Wah, keterangan yang menarik.
- Kemudian, beberapa waktu sesudah Yesus tidak ada, tradisi-tradisi lisan ini dibuat tertulis, menjadi tradisi tertulis, yang juga diteruskan dari satu generasi ke generasi lain, dari satu tempat ke tempat lain.
+ Dan mengalami editing?
- Persis! Bukan hanya pada level tatabahasa dan titik koma atau hal-hal remeh lainnya, tetapi editing, yang berlangsung baik dalam tradisi lisan maupun dalam tradisi tertulis, terjadi pada level yang lebih substansial, yakni pada pandangan-pandangan Yesus sendiri, ucapan-ucapan-Nya, dan kisah-kisah tentang Dia.
+ Oh, dengan kata lain, Yesus di-edit?
- Ya, kata-kata dan kisah-kisah tentang Yesus yang kita sekarang dapat baca dalam kitab-kitab Injil Perjanjian Baru tidak seluruhnya betul-betul dikatakan oleh Yesus atau dialami oleh-Nya dalam pertigaan pertama abad pertama Masehi. Selain itu, ada kata-kata asli Yesus yang hilang dari Perjanjian Baru atau tidak masuk ke dalamnya, tapi muncul dalam dokumen-dokumen lain di luar Perjanjian Baru.
+ Nah, itu bisa jadi yang kami sebagai Muslim maksudkan dengan Injil yang dipalsukan!
- Kalau kaum Muslim berpikir ada injil Yesus yang asli, yang lalu dipalsukan, tolong anda sebutkan injil asli ini yang mana, yang ditulis lebih dulu dari Injil-injil Perjanjian Baru? Tunjukkan hitam di atas putih.
+ Yaaaa....?!
- Tak bisa anda jawab tokh? Saya lanjutkan ya.
+ Ooohhh.... o.. o.. o .. a .. a.. a.., OK deh, OK deh.
- Penulis pertama yang mengisahkan Yesus adalah penulis Injil Markus yang menulis di akhir tahun 60-an, atau pada tahun 70 abad pertama Masehi.
+ Markus sebagai seorang rasul Yesus Kristus, seorang murid perdana-Nya, saksi mata kehidupan Yesus?
- Oh, sama sekali bukan.
+ Lantas?
- Kita tak akan pernah tahu siapa penulis sebenarnya kitab Injil Markus, juga siapa para penulis sebenarnya kitab-kitab Injil lainnya dalam Perjanjian Baru, yaitu Injil Matius, Injil Lukas, dan Injil Yohanes. Nama-nama yang sekarang disebut sebagai penulis-penulis empat kitab Injil dalam Perjanjian Baru, dicantumkan baru pada abad kedua, sedangkan seluruh empat kitab Injil ini ditulis dalam abad pertama. Karya-karya sastra semacam ini dinamakan karya-karya sastra pseudonimus.
+ Ketika menulis, apakah Markus memakai sumber?
- Ya, Markus memakai tradisi lisan dan juga tradisi tertulis ketika dia di tahun 70 menulis Injilnya (ketika kota Yerusalem dibumihanguskan dan Bait Allah dihancurkan oleh pasukan Romawi).
- Tidak ada. Yang ada, pertama, adalah seorang murid memakai nama gurunya ketika menulis, misalnya, surat 2 Tesalonika atau surat Efesus, dan ada sekian dokumen lagi dalam Perjanjian Baru yang sejenis.
+ Tolong diperjelas.
- Ya, tertulis dalam kedua surat itu, penulisnya bernama Paulus, tapi sebenarnya bukan, melainkan seorang muridnya atau seorang yang sangat mengenal pemikiran Paulus. Karya-karya semacam ini disebut karya-karya deutero-paulinis, atau karya-karya pseudonimus.
+ Oh, karya samaran?
- Ya, karya yang penulisnya menyamarkan identitas aslinya, diganti dengan identitas atau nama orang lain. Praktek semacam ini biasa dilakukan pada zaman kelahiran kekristenan, dan praktek ini tidak dipandang forgery atau pemalsuan.
+ Memakai nama samaran untuk sebuah karya, bukankah juga banyak dilakukan pada zaman sekarang, Pak?
- Anda betul. Tetapi tujuannya mungkin beda. Penulis yang memakai nama Paulus itu berusaha menghadirkan kembali pemikiran Rasul Paulus pada zaman ketika sang rasul ini sudah tak ada, dengan dia menafsirkan kembali atau menyusun ulang pemikiran Rasul Paulus, atau mengubahnya dalam batas-batas tertentu. Selain itu, dengan memakai nama besar Paulus, tulisannya tentu akan dipandang berwibawa dan karenanya orang mau membacanya.
+ Apa tujuannya, Pak?
- Untuk membuat pemikiran Paulus tetap bisa kena dan aktual buat komunitas penulis yang memakai nama Paulus itu, ketika mereka menghadapi masalah-masalah yang belum muncul pada zaman Rasul Paulus.
+ Oh, praktek semacam itu dalam hermeneutik disebut kontekstualisasi, Pak.
- Betul! Anda hebat juga.
+ Ya, begitulah, Pak, setiap Muslim pasti hebat!
- Haaa....? OK deh. Nah, jenis kedua adalah karya-karya yang disunting, karya-karya yang mengalami EDITING.
+ Editing? Maksud Pak io?
- Ya, editing, penyuntingan. Sebuah karya mengalami editing bisa dalam tiga bentuk: karya itu ditambah-tambahi, dikurangi, atau diubah secara parsial sporadis atau bisa juga secara radikal hampir menyeluruh, oleh seorang editor belakangan.
+ Apakah karya-karya semacam itu ada dalam Perjanjian Baru?
- Ya, ada. Dokumen-dokumen deuteropaulinis yang saya sebut tadi juga adalah karya-karya suntingan. Dalam dokumen-dokumen ini, editing atas pemikiran Rasul Paulus, lewat langkah-langkah tertentu misalnya lewat pengamatan atas gaya bahasa, pemakaian kosa kata, pemikiran teologis, dan atas persoalan yang diangkat, dapat dengan mudah ditemukan oleh para kritikus profesional. Tetapi, editing paling jelas terjadi dalam kitab-kitab Injil dalam Perjanjian Baru.
+ Bisa dijelaskan lebih terperinci?
- Sama seperti Sokrates jauh sebelumnya, Yesus orang Nazareth tidak meninggalkan tulisan apapun. Kata-kata-Nya, ajaran-ajaran-Nya, dan kejadian-kejadian penting dalam kehidupan Yesus, hanya diingat saja dalam memori murid-murid perdana-Nya.
+ Lalu?
- Banyak hal yang berkaitan dengan Yesus ini diingat di luar kepala, atau dengan bantuan sarana-sarana lain, lalu disebarkan dari mulut ke mulut, dari satu tempat ke tempat lain, dan dari satu masa ke masa lain yang lebih jauh, sebagai tradisi-tradisi lisan.
+ Wah, keterangan yang menarik.
- Kemudian, beberapa waktu sesudah Yesus tidak ada, tradisi-tradisi lisan ini dibuat tertulis, menjadi tradisi tertulis, yang juga diteruskan dari satu generasi ke generasi lain, dari satu tempat ke tempat lain.
+ Dan mengalami editing?
- Persis! Bukan hanya pada level tatabahasa dan titik koma atau hal-hal remeh lainnya, tetapi editing, yang berlangsung baik dalam tradisi lisan maupun dalam tradisi tertulis, terjadi pada level yang lebih substansial, yakni pada pandangan-pandangan Yesus sendiri, ucapan-ucapan-Nya, dan kisah-kisah tentang Dia.
+ Oh, dengan kata lain, Yesus di-edit?
- Ya, kata-kata dan kisah-kisah tentang Yesus yang kita sekarang dapat baca dalam kitab-kitab Injil Perjanjian Baru tidak seluruhnya betul-betul dikatakan oleh Yesus atau dialami oleh-Nya dalam pertigaan pertama abad pertama Masehi. Selain itu, ada kata-kata asli Yesus yang hilang dari Perjanjian Baru atau tidak masuk ke dalamnya, tapi muncul dalam dokumen-dokumen lain di luar Perjanjian Baru.
+ Nah, itu bisa jadi yang kami sebagai Muslim maksudkan dengan Injil yang dipalsukan!
- Kalau kaum Muslim berpikir ada injil Yesus yang asli, yang lalu dipalsukan, tolong anda sebutkan injil asli ini yang mana, yang ditulis lebih dulu dari Injil-injil Perjanjian Baru? Tunjukkan hitam di atas putih.
+ Yaaaa....?!
- Tak bisa anda jawab tokh? Saya lanjutkan ya.
+ Ooohhh.... o.. o.. o .. a .. a.. a.., OK deh, OK deh.
- Penulis pertama yang mengisahkan Yesus adalah penulis Injil Markus yang menulis di akhir tahun 60-an, atau pada tahun 70 abad pertama Masehi.
+ Markus sebagai seorang rasul Yesus Kristus, seorang murid perdana-Nya, saksi mata kehidupan Yesus?
- Oh, sama sekali bukan.
+ Lantas?
- Kita tak akan pernah tahu siapa penulis sebenarnya kitab Injil Markus, juga siapa para penulis sebenarnya kitab-kitab Injil lainnya dalam Perjanjian Baru, yaitu Injil Matius, Injil Lukas, dan Injil Yohanes. Nama-nama yang sekarang disebut sebagai penulis-penulis empat kitab Injil dalam Perjanjian Baru, dicantumkan baru pada abad kedua, sedangkan seluruh empat kitab Injil ini ditulis dalam abad pertama. Karya-karya sastra semacam ini dinamakan karya-karya sastra pseudonimus.
+ Ketika menulis, apakah Markus memakai sumber?
- Ya, Markus memakai tradisi lisan dan juga tradisi tertulis ketika dia di tahun 70 menulis Injilnya (ketika kota Yerusalem dibumihanguskan dan Bait Allah dihancurkan oleh pasukan Romawi).
Sangat sulit merekonstruksi tradisi lisan tentang Yesus yang dipakai Markus, tetapi tidak mustahil dilakukan, seperti sudah dilakukan cukup banyak ahli Perjanjian Baru modern.
Yang sudah pasti, sebelum Markus menulis Injilnya, sudah ada tradisi tertulis yang mengisahkan hal-hal yang dialami Yesus pada saat Dia memasuki kota Yerusalem pada masa perayaan Paskah Yahudi sampai Dia disalibkan dan wafat. Tradisi ini dinamakan tradisi kesengsaraan Yesus, dan kisahnya disebut Kisah Kesengsaraan atau passion narrative.
+ Apakah Markus melaporkan sejarah faktual kehidupan Yesus orang Nazareth?
- Oh sama sekali tidak! Penulis Injil Markus tidak mencatat dan melaporkan sejarah faktual sepenuhnya jalan kehidupan Yesus, melainkan menawarkan sebuah teologi, sebuah mitos atau metafora besar tentang Yesus, yang diungkapnya lewat kisah, lewat story. Alhasil, karya injilnya ini dapat disebut sebagai sebuah kisah metaforis atau sebuah narasi teologis, a theological narrative.
+ Jadi, dalam Injil Markus tidak ada sejarah, semuanya teologi atau mitos tentang Yesus?
- Tentu ada sejarah di dalamnya, sejarah yang sudah dilebur jadi satu dengan mitos, sehingga sangat sulit memisahkan mana unsur sejarah, history, dan mana unsur mitos, myth, dalam Injil ini. Tetapi pemisahan ini, yang terkenal dengan sebutan demitologisasi, dapat dilakukan.
+ Berapa persen sejarah dan berapa persen mitos di dalamnya?
- Katakanlah, 30-40 persen sejarah, dan sisanya 60-70 persen mitos. Angka-angka ini bukan statistik ya, tapi emblematik.
+ Kok begitu? Lebih banyak mitosnya?
- Ya, memang begitu keadaannya. Sebab bukan hanya Markus, tetapi juga Matius, Lukas dan Yohanes sama sekali tidak bermaksud melaporkan sejarah faktual kehidupan Yesus apa adanya.
Yang sudah pasti, sebelum Markus menulis Injilnya, sudah ada tradisi tertulis yang mengisahkan hal-hal yang dialami Yesus pada saat Dia memasuki kota Yerusalem pada masa perayaan Paskah Yahudi sampai Dia disalibkan dan wafat. Tradisi ini dinamakan tradisi kesengsaraan Yesus, dan kisahnya disebut Kisah Kesengsaraan atau passion narrative.
+ Apakah Markus melaporkan sejarah faktual kehidupan Yesus orang Nazareth?
- Oh sama sekali tidak! Penulis Injil Markus tidak mencatat dan melaporkan sejarah faktual sepenuhnya jalan kehidupan Yesus, melainkan menawarkan sebuah teologi, sebuah mitos atau metafora besar tentang Yesus, yang diungkapnya lewat kisah, lewat story. Alhasil, karya injilnya ini dapat disebut sebagai sebuah kisah metaforis atau sebuah narasi teologis, a theological narrative.
+ Jadi, dalam Injil Markus tidak ada sejarah, semuanya teologi atau mitos tentang Yesus?
- Tentu ada sejarah di dalamnya, sejarah yang sudah dilebur jadi satu dengan mitos, sehingga sangat sulit memisahkan mana unsur sejarah, history, dan mana unsur mitos, myth, dalam Injil ini. Tetapi pemisahan ini, yang terkenal dengan sebutan demitologisasi, dapat dilakukan.
+ Berapa persen sejarah dan berapa persen mitos di dalamnya?
- Katakanlah, 30-40 persen sejarah, dan sisanya 60-70 persen mitos. Angka-angka ini bukan statistik ya, tapi emblematik.
+ Kok begitu? Lebih banyak mitosnya?
- Ya, memang begitu keadaannya. Sebab bukan hanya Markus, tetapi juga Matius, Lukas dan Yohanes sama sekali tidak bermaksud melaporkan sejarah faktual kehidupan Yesus apa adanya.
Setiap pengisahan apapun selalu membutuhkan sebuah titik pijak, sebuah "standpoint", sebuah perspektif, dan melibatkan kegiatan besar penafsiran. Tidak ada "sejarah murni", tidak ada "mere or pure history". Yang ada adalah "a reconstructed history", suatu sejarah yang direkonstruksi. Tak ada yang salah dengan usaha merekonstruksi peristiwa-peristiwa di masa lampau. Tanpa lewat rekonstruksi yang cerdas, kita tidak akan bisa masuk ke masa lampau di tempat lain.
Para penulis injil-injil dalam Perjanjian Baru, bahkan seluruh penulis Perjanjian Baru, masing-masing menawarkan sebuah teologi kepada masing-masing komunitas mereka di tempat-tempat yang berbeda dan di zaman-zaman yang juga berlainan, ketika masing-masing komunitas ini sedang mengalami berbagai persoalan khas yang mereka musti hadapi pertama-tama dengan bersandar pada keyakinan keagamaan mereka.
+ Sebuah teologi? Apa yang Pak io maksudkan dengan teologi?
- Teologi itu bukan sejarah, tetapi suatu doktrin (logos) keagamaan yang mengajarkan dan mewartakan apa yang diyakini si penyusunnya sebagai kehendak Allah (theos) atau, dalam hal teologi Kristen, kehendak Yesus Kristus.
Karena berbicara tentang hal-hal dalam kawasan yang transendental, yang "melampaui" (Yunani: meta) kawasan dunia sehari-hari yang sudah rutin dijalani, maka, mau tak mau, setiap teologi adalah metafora, yaitu suatu wahana dan wacana sastra yang "menyeberangkan" (Yunani: ferein) manusia ke kawasan adikodrati yang berada "melampaui" atau "beyond" (Yunani: meta) kawasan dunia kodrati sehari-hari. Any theology is essentially a metaphor.
+ Tetapi, apakah ketika seseorang menyusun teologi, sejarah tidak dipakainya sebagai landasan?
- Tentu ada unsur sejarah dalam setiap teologi, tetapi minim, bahkan bisa tidak ada sama sekali, sebab teologi apapun memang bukan historiografi, bukan sebuah karya sejarah, tetapi sebuah metafora, sebuah doktrin keagamaan yang mengajarkan atau memberitakan bahwa Allah dari dunia adikodrati melibatkan diri atau ikut campur dalam semua perkara dan kejadian dalam dunia manusia, dunia kodrati.
Keterlibatan Allah dalam dunia, adalah sebuah asumsi dasariah dalam setiap teologi, yang diterima begitu saja tanpa bukti, sebagai iman. Tanpa asumsi ini, teologi tak dapat dibangun. Tariklah asumsi dasar ini, maka setiap bangunan teologi akan pasti ambruk. Dus, teologi itu gigih mempertahankan sesuatu yang tanpa bukti, sesuatu yang diasumsikan saja. Teologi itu bahasa iman, bahasa pengakuan, bahasa kepercayaan, confessional language, bukan scientific language.
+ Betul juga ya. Kalau dalam sebuah uraian sejarah, apalagi uraian sejarah yang ditulis seorang sejarawan modern, yang kita namakan historiografi modern, Allah diikutsertakan, ya historiografi semacam ini berubah jadi teologi, jadi agama. Ha ha!
- Wah, anda sudah paham juga rupanya!
+ Tentu.
- Dan lagi, kalau Allah dilibatkan dalam semua perkara dalam dunia manusia, maka segala hal menjadi mungkin untuk dibayangkan terjadi, sebab Allah umumnya dipandang dan diyakini maha kuasa.
+ Karena itu si penyusun teologi akan juga mengisahkan mukjizat-mukjizat?
- Persis! Horison anda makin meluas. Mukjizat hanya ada dalam teologi, dalam mitos, dalam metafora, tapi tak ada dalam realitas objektif. Jadi, setiap klaim tentang terjadinya mukjizat, harus diverifikasi. Ini suatu pendirian modern. Orang di zaman kuno tidak melakukannya.
+ Apakah harus demikian?
- Ya, sejauh anda mau yakin sedang hidup dalam realitas. Tetapi, ya terserah anda. Nah, kita kembali ke Injil-injil dalam Perjanjian Baru.
+ Ya, Pak, saya juga sudah menunggu-nunggu.
- Nah, Injil Markus yang ditulis pada tahun 70 dipakai oleh penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas, tetapi tidak dipakai oleh penulis Injil Yohanes, kalaupun dipakai ya tidak cukup banyak dan tidak menyeluruh, mungkin hanya Kisah Kesengsaraan dalam Injil Markus.
+ Oh, saya paham. Matius dan Lukas mengedit Injil Markus, dalam bentuk penambahan, atau pengurangan, atau malah keduanya memodifikasi Injil Markus?
- Persis! Bukan hanya pada level tatabahasa atau titik koma, tapi juga pada level teologi. Karena teologi Markus adalah teologi cerita, maka cerita Markus tentang Yesus diedit cukup besar baik oleh Matius maupun oleh Lukas, sehingga lahirlah teologi cerita tentang Yesus menurut Matius dan juga menurut Lukas, dan jangan lupa juga teologi cerita menurut penulis Injil Yohanes.
Semua teologi cerita dalam keempat kitab Injil ini berbeda satu sama lain, bahkan ketika diungkap lewat kata-kata, lewat tulisan, terjadi banyak perbedaan, ketidakselarasan bahkan kontradiksi di antara keempatnya.
+ Apakah yang Pak io kemukakan itu hanya sebuah teori, atau sebuah asumsi, atau bagaimana?
- Bukan sebuah teori, juga bukan sebuah asumsi, tetapi sebuah kesimpulan solid dari kajian-kajian kritis langsung terhadap teks-teks kitab-kitab Injil dalam Perjanjian Baru yang sudah dilakukan selama dua abad lebih, ketika masing-masing Injil ini dibandingkan satu sama lain dengan cermat.
+ Oh begitu.
- Pembandingan mudah dilakukan antara Injil Markus, Injil Matius dan Injil Lukas, sebab dalam ketiga Injil ini, yang disebut sebagai Injil-injil Sinoptik, ditemukan banyak kisah yang sejajar satu sama lain dalam banyak garis besarnya, bahkan banyak juga sampai ke detailnya.
+ Sinoptik, apa maksudnya?
- Kata “sinoptik”, yang terdiri dari dua kata Yunani syn dan opsis, berarti “dilihat secara bersamaan”, karena kita sungguh-sungguh dapat menempatkan sangat banyak bagian Injil Markus secara paralel atau sejajar dengan bagian-bagian Injil Matius dan Injil Lukas, dalam kolom-kolom, lalu dapat melihat bahwa ketiganya berhubungan atau serupa satu sama lain.
+ Uraikan lebih jauh tentang pembandingan Injil-injil Sinoptik, Pak!
- Dari pembandingan yang telah banyak dilakukan, kita jadi tahu bahwa Injil Markus adalah sumber besar tertulis bagi Injil Matius dan bagi Injil Lukas, yang dipakai oleh mereka berdua dengan bebas dan kreatif lewat editing.
Artinya: penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas, yang keduanya menulis Injil masing-masing di tahun 85, bebas menambah-nambahi, mengurangi, memodifikasi, dokumen sumbernya, yakni Injil Markus, selain tentu ada bagian-bagian dalam Injil Markus yang mereka pertahankan apa adanya.
+ Bisa lebih spesifik bagian-bagian mana saja dari Injil Markus yang diedit penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas?
- Wah, hampir menyeluruh. Sedikit contoh saja yang langsung kentara, bisa saya sebutkan.
Injil Markus tak memuat kisah kelahiran Yesus; keadaan ini tak memuaskan penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas. Karena itu mereka memasukkan kisah kelahiran Yesus pada bagian awal Injil mereka masing-masing, tentu dengan masing-masing memiliki maksud dan tujuan berbeda ketika mereka masing-masing menambah kisah kelahiran Yesus.
Bahwa keduanya, Matius dan Lukas, memiliki maksud dan tujuan berbeda lewat kisah kelahiran Yesus, tampak dalam perbedaan-perbedaan yang sangat jelas di antara dua kisah kelahiran Yesus ini.
+ Oh begitu.
- Lalu, hitung saja jumlah pasal masing-masing Injil Sinoptik. Injil Markus hanya memuat 16 pasal; Injil Matius 28 pasal, jauh lebih panjang dari Injil Markus; dan Injil Lukas ditutup pada pasal 24, tetapi dilanjutkan dengan jilid kedua oleh penulis Injil ini, berupa sebuah karya teologis yang dinamakan Kisah Para Rasul yang terdiri atas 28 pasal.
+ Wah betul ya, editing terjadi dengan penambah-nambahan.
- Kalau kita pindah ke Injil Yohanes, malah seluruh teologi Markus, Matius, dan Lukas, mengalami modifikasi sangat besar di tangan penulis Injil Yohanes yang menulis di tahun 95 abad pertama Masehi.
Keadaan ini terjadi bisa karena penulis Injil Yohanes, yang kerap disebut sebagai Mazhab Yohanes, di tempatnya dan pada zamannya, dan dengan persoalan-persoalannya sendiri, melakukan editing besar-besaran atas ketiga Injil Sinoptik, jika memang mazhab ini memiliki ketiga Injil Sinoptik atau minimal hanya Injil Markus.
Hal yang sudah pasti adalah bahwa Mazhab Yohanes juga memakai dan mengedit Kisah Kesengsaraan Yesus yang juga dipakai penulis Injil Markus, yang belakangan disalin menyeluruh oleh penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas.
Atau, perbedaan radikal Injil Yohanes dengan Injil-injil Sinoptik timbul karena mazhab ini menganut dan mengembangkan teologi yang berbeda, dan memakai sumber-sumber besar yang berbeda untuk mendukung teologi mereka, misalnya sumber-sumber yang berupa “dialog-dialog Yesus” atau yang berupa kisah-kisah tentang mukjizat-mukjizat Yesus yang biasanya dinamakan sumber “tanda-tanda” atau "signs source".
+ Wah, ada perbedaan sangat besar ya antara Injil Yohanes dan Injil-injil Sinoptik. Beri contoh-contohnya, Pak.
- Dalam Injil-injil Sinoptik, tema kedatangan kerajaan Allah sangat mendominasi ajaran dan khotbah Yesus; tetapi tema ini atau istilah “kerajaan Allah” sendiri nyaris lenyap sama sekali dari Injil Yohanes, karena dibuang oleh penulis Injil ini.
Perumpamaan-perumpaman tentang kerajaan Allah yang sangat padat memenuhi Injil-injil Sinoptik, semuanya boleh dikata lenyap di dalam Injil Yohanes, dan diganti dengan khotbah-khotbah dan dialog-dialog Yesus yang panjang-panjang, bagian yang satu menyusul dan melanjutkan bagian yang lain, bak gerakan spiral atau gerakan ombak laut.
Kalau penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas mengawali kitab Injil masing-masing dengan kisah-kisah kelahiran Yesus yang berlangsung dalam dunia ini, nah penulis Injil Yohanes mengawali Injilnya jauh lebih ke belakang, bukan ke masa kelahiran Yesus, tetapi ke suatu kawasan yang disebutnya “pada mulanya”, yakni ke masa praeksistensi Yesus di dunia adikodrati sebagai “Allah” sendiri. Inilah yang dinamakan kristologi "dari atas" ("high christology") mazhab Yohanes, yang berkontras dengan kristologi "dari bawah" ("low christology") Injil-injil Sinoptik.
Jika di dalam Injil-injil Sinoptik dikisahkan Yesus berdemonstrasi di Bait Allah di Yerusalem menjelang akhir kehidupan-Nya, dalam Injil Yohanes kisah yang serupa dituturkan terjadi pada awal karir Yesus di muka umum, pada pasal 2 Injil ini.
Kalau dalam Injil-injil Sinoptik Yesus dikisahkan hanya sekali mengunjungi Yerusalem yang berakhir fatal dan tragis bagi kehidupan-Nya, dalam Injil Yohanes Yesus dilukiskan mengunjungi Yerusalem berkali-kali, sampai 4 atau 5 kali, bolak-balik dari Galilea ke Yudea.
Kalau dalam Injil Markus ketika Yesus sedang meregang nyawa di kayu salib dikisahkan bahwa Dia putus asa dan berteriak “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau menelantarkan Aku?”, maka penulis Injil Yohanes menggantinya sama sekali dengan ucapan gagah perkasa Yesus, “Sudah selesai!”, karena baginya, sang heronya, yakni Yesus, adalah Allah sendiri, dan tak mungkin Allah begitu lemah ketika disalibkan dan tak mungkin Allah memanggil Allah sendiri dalam rasa putus asa yang dalam!
+ Wah, saya belajar banyak nih Pak io.
- Selain itu, perlu bagi penulis Injil Yohanes menciptakan sejumlah ucapan Yesus, yang sebenarnya tidak pernah sama sekali diucapkan Yesus orang Nazareth, dan tidak ada di dalam Injil-injil Sinoptik. Salah satunya yang paling jelas adalah ucapan Yesus dalam Yohanes 14:6 yang paling menyukakan hati orang Kristen, yakni “Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun dapat sampai kepada Bapa [= Allah] kalau tidak melalui Aku!”, atau ucapan Yesus lainnya, misalnya, “Sebelum Abraham jadi, Aku sudah ada!” (Yohanes 8:58).
+ Wah, teks-teks terkenal itu bukan asli ucapan Yesus, Pak io?
- Ya! Itu bagian dari teologi mazhab Yohanes dalam zaman mereka di lokasi mereka ketika mereka sedang bergulat dengan masalah-masalah sosioreligius dan sosiopolitis mereka sendiri
+ Wah, bagaimana perasaan orang Kristen yang baru pertama kali mendengar hal ini?
- Terserah mereka!
+ Kok terserah melulu, Pak io?
- Ha, ha. Ya, terserah, apakah mereka mau maju, atau memilih bantut, jalan mutar-mutar di tempat sebagai para literalis yang cuma mampu beropini dan tak bisa berargumentasi ilmiah.
+ Sebuah teologi? Apa yang Pak io maksudkan dengan teologi?
- Teologi itu bukan sejarah, tetapi suatu doktrin (logos) keagamaan yang mengajarkan dan mewartakan apa yang diyakini si penyusunnya sebagai kehendak Allah (theos) atau, dalam hal teologi Kristen, kehendak Yesus Kristus.
Karena berbicara tentang hal-hal dalam kawasan yang transendental, yang "melampaui" (Yunani: meta) kawasan dunia sehari-hari yang sudah rutin dijalani, maka, mau tak mau, setiap teologi adalah metafora, yaitu suatu wahana dan wacana sastra yang "menyeberangkan" (Yunani: ferein) manusia ke kawasan adikodrati yang berada "melampaui" atau "beyond" (Yunani: meta) kawasan dunia kodrati sehari-hari. Any theology is essentially a metaphor.
+ Tetapi, apakah ketika seseorang menyusun teologi, sejarah tidak dipakainya sebagai landasan?
- Tentu ada unsur sejarah dalam setiap teologi, tetapi minim, bahkan bisa tidak ada sama sekali, sebab teologi apapun memang bukan historiografi, bukan sebuah karya sejarah, tetapi sebuah metafora, sebuah doktrin keagamaan yang mengajarkan atau memberitakan bahwa Allah dari dunia adikodrati melibatkan diri atau ikut campur dalam semua perkara dan kejadian dalam dunia manusia, dunia kodrati.
Keterlibatan Allah dalam dunia, adalah sebuah asumsi dasariah dalam setiap teologi, yang diterima begitu saja tanpa bukti, sebagai iman. Tanpa asumsi ini, teologi tak dapat dibangun. Tariklah asumsi dasar ini, maka setiap bangunan teologi akan pasti ambruk. Dus, teologi itu gigih mempertahankan sesuatu yang tanpa bukti, sesuatu yang diasumsikan saja. Teologi itu bahasa iman, bahasa pengakuan, bahasa kepercayaan, confessional language, bukan scientific language.
+ Betul juga ya. Kalau dalam sebuah uraian sejarah, apalagi uraian sejarah yang ditulis seorang sejarawan modern, yang kita namakan historiografi modern, Allah diikutsertakan, ya historiografi semacam ini berubah jadi teologi, jadi agama. Ha ha!
- Wah, anda sudah paham juga rupanya!
+ Tentu.
- Dan lagi, kalau Allah dilibatkan dalam semua perkara dalam dunia manusia, maka segala hal menjadi mungkin untuk dibayangkan terjadi, sebab Allah umumnya dipandang dan diyakini maha kuasa.
+ Karena itu si penyusun teologi akan juga mengisahkan mukjizat-mukjizat?
- Persis! Horison anda makin meluas. Mukjizat hanya ada dalam teologi, dalam mitos, dalam metafora, tapi tak ada dalam realitas objektif. Jadi, setiap klaim tentang terjadinya mukjizat, harus diverifikasi. Ini suatu pendirian modern. Orang di zaman kuno tidak melakukannya.
+ Apakah harus demikian?
- Ya, sejauh anda mau yakin sedang hidup dalam realitas. Tetapi, ya terserah anda. Nah, kita kembali ke Injil-injil dalam Perjanjian Baru.
+ Ya, Pak, saya juga sudah menunggu-nunggu.
- Nah, Injil Markus yang ditulis pada tahun 70 dipakai oleh penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas, tetapi tidak dipakai oleh penulis Injil Yohanes, kalaupun dipakai ya tidak cukup banyak dan tidak menyeluruh, mungkin hanya Kisah Kesengsaraan dalam Injil Markus.
+ Oh, saya paham. Matius dan Lukas mengedit Injil Markus, dalam bentuk penambahan, atau pengurangan, atau malah keduanya memodifikasi Injil Markus?
- Persis! Bukan hanya pada level tatabahasa atau titik koma, tapi juga pada level teologi. Karena teologi Markus adalah teologi cerita, maka cerita Markus tentang Yesus diedit cukup besar baik oleh Matius maupun oleh Lukas, sehingga lahirlah teologi cerita tentang Yesus menurut Matius dan juga menurut Lukas, dan jangan lupa juga teologi cerita menurut penulis Injil Yohanes.
Semua teologi cerita dalam keempat kitab Injil ini berbeda satu sama lain, bahkan ketika diungkap lewat kata-kata, lewat tulisan, terjadi banyak perbedaan, ketidakselarasan bahkan kontradiksi di antara keempatnya.
+ Apakah yang Pak io kemukakan itu hanya sebuah teori, atau sebuah asumsi, atau bagaimana?
- Bukan sebuah teori, juga bukan sebuah asumsi, tetapi sebuah kesimpulan solid dari kajian-kajian kritis langsung terhadap teks-teks kitab-kitab Injil dalam Perjanjian Baru yang sudah dilakukan selama dua abad lebih, ketika masing-masing Injil ini dibandingkan satu sama lain dengan cermat.
+ Oh begitu.
- Pembandingan mudah dilakukan antara Injil Markus, Injil Matius dan Injil Lukas, sebab dalam ketiga Injil ini, yang disebut sebagai Injil-injil Sinoptik, ditemukan banyak kisah yang sejajar satu sama lain dalam banyak garis besarnya, bahkan banyak juga sampai ke detailnya.
+ Sinoptik, apa maksudnya?
- Kata “sinoptik”, yang terdiri dari dua kata Yunani syn dan opsis, berarti “dilihat secara bersamaan”, karena kita sungguh-sungguh dapat menempatkan sangat banyak bagian Injil Markus secara paralel atau sejajar dengan bagian-bagian Injil Matius dan Injil Lukas, dalam kolom-kolom, lalu dapat melihat bahwa ketiganya berhubungan atau serupa satu sama lain.
+ Uraikan lebih jauh tentang pembandingan Injil-injil Sinoptik, Pak!
- Dari pembandingan yang telah banyak dilakukan, kita jadi tahu bahwa Injil Markus adalah sumber besar tertulis bagi Injil Matius dan bagi Injil Lukas, yang dipakai oleh mereka berdua dengan bebas dan kreatif lewat editing.
Artinya: penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas, yang keduanya menulis Injil masing-masing di tahun 85, bebas menambah-nambahi, mengurangi, memodifikasi, dokumen sumbernya, yakni Injil Markus, selain tentu ada bagian-bagian dalam Injil Markus yang mereka pertahankan apa adanya.
+ Bisa lebih spesifik bagian-bagian mana saja dari Injil Markus yang diedit penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas?
- Wah, hampir menyeluruh. Sedikit contoh saja yang langsung kentara, bisa saya sebutkan.
Injil Markus tak memuat kisah kelahiran Yesus; keadaan ini tak memuaskan penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas. Karena itu mereka memasukkan kisah kelahiran Yesus pada bagian awal Injil mereka masing-masing, tentu dengan masing-masing memiliki maksud dan tujuan berbeda ketika mereka masing-masing menambah kisah kelahiran Yesus.
Bahwa keduanya, Matius dan Lukas, memiliki maksud dan tujuan berbeda lewat kisah kelahiran Yesus, tampak dalam perbedaan-perbedaan yang sangat jelas di antara dua kisah kelahiran Yesus ini.
+ Oh begitu.
- Lalu, hitung saja jumlah pasal masing-masing Injil Sinoptik. Injil Markus hanya memuat 16 pasal; Injil Matius 28 pasal, jauh lebih panjang dari Injil Markus; dan Injil Lukas ditutup pada pasal 24, tetapi dilanjutkan dengan jilid kedua oleh penulis Injil ini, berupa sebuah karya teologis yang dinamakan Kisah Para Rasul yang terdiri atas 28 pasal.
+ Wah betul ya, editing terjadi dengan penambah-nambahan.
- Kalau kita pindah ke Injil Yohanes, malah seluruh teologi Markus, Matius, dan Lukas, mengalami modifikasi sangat besar di tangan penulis Injil Yohanes yang menulis di tahun 95 abad pertama Masehi.
Keadaan ini terjadi bisa karena penulis Injil Yohanes, yang kerap disebut sebagai Mazhab Yohanes, di tempatnya dan pada zamannya, dan dengan persoalan-persoalannya sendiri, melakukan editing besar-besaran atas ketiga Injil Sinoptik, jika memang mazhab ini memiliki ketiga Injil Sinoptik atau minimal hanya Injil Markus.
Hal yang sudah pasti adalah bahwa Mazhab Yohanes juga memakai dan mengedit Kisah Kesengsaraan Yesus yang juga dipakai penulis Injil Markus, yang belakangan disalin menyeluruh oleh penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas.
Atau, perbedaan radikal Injil Yohanes dengan Injil-injil Sinoptik timbul karena mazhab ini menganut dan mengembangkan teologi yang berbeda, dan memakai sumber-sumber besar yang berbeda untuk mendukung teologi mereka, misalnya sumber-sumber yang berupa “dialog-dialog Yesus” atau yang berupa kisah-kisah tentang mukjizat-mukjizat Yesus yang biasanya dinamakan sumber “tanda-tanda” atau "signs source".
+ Wah, ada perbedaan sangat besar ya antara Injil Yohanes dan Injil-injil Sinoptik. Beri contoh-contohnya, Pak.
- Dalam Injil-injil Sinoptik, tema kedatangan kerajaan Allah sangat mendominasi ajaran dan khotbah Yesus; tetapi tema ini atau istilah “kerajaan Allah” sendiri nyaris lenyap sama sekali dari Injil Yohanes, karena dibuang oleh penulis Injil ini.
Perumpamaan-perumpaman tentang kerajaan Allah yang sangat padat memenuhi Injil-injil Sinoptik, semuanya boleh dikata lenyap di dalam Injil Yohanes, dan diganti dengan khotbah-khotbah dan dialog-dialog Yesus yang panjang-panjang, bagian yang satu menyusul dan melanjutkan bagian yang lain, bak gerakan spiral atau gerakan ombak laut.
Kalau penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas mengawali kitab Injil masing-masing dengan kisah-kisah kelahiran Yesus yang berlangsung dalam dunia ini, nah penulis Injil Yohanes mengawali Injilnya jauh lebih ke belakang, bukan ke masa kelahiran Yesus, tetapi ke suatu kawasan yang disebutnya “pada mulanya”, yakni ke masa praeksistensi Yesus di dunia adikodrati sebagai “Allah” sendiri. Inilah yang dinamakan kristologi "dari atas" ("high christology") mazhab Yohanes, yang berkontras dengan kristologi "dari bawah" ("low christology") Injil-injil Sinoptik.
Jika di dalam Injil-injil Sinoptik dikisahkan Yesus berdemonstrasi di Bait Allah di Yerusalem menjelang akhir kehidupan-Nya, dalam Injil Yohanes kisah yang serupa dituturkan terjadi pada awal karir Yesus di muka umum, pada pasal 2 Injil ini.
Kalau dalam Injil-injil Sinoptik Yesus dikisahkan hanya sekali mengunjungi Yerusalem yang berakhir fatal dan tragis bagi kehidupan-Nya, dalam Injil Yohanes Yesus dilukiskan mengunjungi Yerusalem berkali-kali, sampai 4 atau 5 kali, bolak-balik dari Galilea ke Yudea.
Kalau dalam Injil Markus ketika Yesus sedang meregang nyawa di kayu salib dikisahkan bahwa Dia putus asa dan berteriak “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau menelantarkan Aku?”, maka penulis Injil Yohanes menggantinya sama sekali dengan ucapan gagah perkasa Yesus, “Sudah selesai!”, karena baginya, sang heronya, yakni Yesus, adalah Allah sendiri, dan tak mungkin Allah begitu lemah ketika disalibkan dan tak mungkin Allah memanggil Allah sendiri dalam rasa putus asa yang dalam!
+ Wah, saya belajar banyak nih Pak io.
- Selain itu, perlu bagi penulis Injil Yohanes menciptakan sejumlah ucapan Yesus, yang sebenarnya tidak pernah sama sekali diucapkan Yesus orang Nazareth, dan tidak ada di dalam Injil-injil Sinoptik. Salah satunya yang paling jelas adalah ucapan Yesus dalam Yohanes 14:6 yang paling menyukakan hati orang Kristen, yakni “Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun dapat sampai kepada Bapa [= Allah] kalau tidak melalui Aku!”, atau ucapan Yesus lainnya, misalnya, “Sebelum Abraham jadi, Aku sudah ada!” (Yohanes 8:58).
+ Wah, teks-teks terkenal itu bukan asli ucapan Yesus, Pak io?
- Ya! Itu bagian dari teologi mazhab Yohanes dalam zaman mereka di lokasi mereka ketika mereka sedang bergulat dengan masalah-masalah sosioreligius dan sosiopolitis mereka sendiri
+ Wah, bagaimana perasaan orang Kristen yang baru pertama kali mendengar hal ini?
- Terserah mereka!
+ Kok terserah melulu, Pak io?
- Ha, ha. Ya, terserah, apakah mereka mau maju, atau memilih bantut, jalan mutar-mutar di tempat sebagai para literalis yang cuma mampu beropini dan tak bisa berargumentasi ilmiah.
Nah, mari kita kembali ke Injil-injil Sinoptik.
Jangan dilupakan, meskipun setiap editor itu condong menambah-nambahi bahan sumber, editing yang dilakukan Matius dan Lukas atas Injil Markus bisa juga berupa pengurangan dan modifikasi, dalam skala kecil atau dalam skala besar. Ini dapat terlihat dengan jelas kalau kita membuat sinopsis ketiga Injil ini, seperti tadi sudah saya katakan.
Jangan dilupakan, meskipun setiap editor itu condong menambah-nambahi bahan sumber, editing yang dilakukan Matius dan Lukas atas Injil Markus bisa juga berupa pengurangan dan modifikasi, dalam skala kecil atau dalam skala besar. Ini dapat terlihat dengan jelas kalau kita membuat sinopsis ketiga Injil ini, seperti tadi sudah saya katakan.
Teori empat sumber dalam studi Injil-injil Sinoptik Matius, Markus dan Lukas
+ Selain memakai Injil Markus, adakah sumber-sumber lain yang dipakai Matius dan Lukas?
- Pertanyaan yang bagus! Ya, Matius dan Lukas juga sama-sama memakai sebuah sumber besar tertulis lainnya yang berisi kumpulan ucapan Yesus, yang kini disebut sebagai sumber “Q”, dari kata Jerman Quelle, yang artinya “sumber”. Sumber ini bisa dikonstruksi, put simply, dengan menarik dan mengumpulkan ucapan-ucapan Yesus yang ditemukan sekaligus dalam Injil Matius dan Injil Lukas.
Selain itu, masing-masing penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas memakai sumber-sumber khusus yang hanya mereka masing-masing pakai. Sumber khusus penulis Injil Matius dinamakan sumber "M"; sumber khusus Injil Lukas disebut sumber "L". Sumber khusus ini selain berupa tradisi tertulis, juga banyak yang berasal dari tradisi lisan. Kisah-kisah Kelahiran Yesus, misalnya, adalah tradisi-tradisi yang berasal dari sumber-sumber khusus ini.
+ Oh, rupanya ada dokumen yang isinya himpunan ucapan Yesus saja?
- Ya, selain sumber “Q”, dokumen semacam ini juga ditemukan di luar Perjanjian Baru, yakni Injil Thomas, yang berisi 114 ucapan Yesus, sebagai sebuah dokumen di antara 52 traktat Kristen Gnostik yang ditemukan di Nag Hammadi, Mesir, pada tahun 1945.
Selain sumber “Q”, Injil Thomas juga berisi banyak ucapan Yesus, selain yang sejajar dengan ucapan-ucapan Yesus dalam keempat Injil dalam Perjanjian Baru, juga ucapan-ucapan Yesus yang tidak terdapat dalam keempat Injil Perjanjian Baru.
Selain sumber “Q”, Injil Thomas juga berisi banyak ucapan Yesus, selain yang sejajar dengan ucapan-ucapan Yesus dalam keempat Injil dalam Perjanjian Baru, juga ucapan-ucapan Yesus yang tidak terdapat dalam keempat Injil Perjanjian Baru.
Harap diketahui, banyak di antara ucapan Yesus dalam Injil Thomas malah memperlihatkan bentuk yang lebih tua, artinya: lebih asli atau lebih dekat ke Yesus, jika dibandingkan dengan ucapan-ucapan Yesus yang sejajar yang ditemukan dalam Perjanjian Baru.
+ Wah, di Islam, dokumen seperti Injil Thomas itu kami sebut “kitab kuning”.
- Oh itu julukannya? Tapi Injil Thomas jelas tidak ditulis oleh partai Golkar!
+ Ha, ha, Pak io bisa saja!
- Banyak dokumen Kristen di luar Perjanjian Baru yang malah menyingkapkan kepada kita sisi-sisi lain dari kehidupan Yesus dan kehidupan kekristenan perdana yang tidak kelihatan dalam Perjanjian Baru.
+ Jadi, dokumen-dokumen “kuning” itu sangat berhargakah, Pak?
- Ya, sangat berharga. Para pakar Perjanjian Baru menyebut dokumen-dokumen ini tentu bukan sebagai kitab-kitab kuning, melainkan sebagai dokumen-dokumen atau kitab-kitab “ekstra-kanonik”, artinya tulisan-tulisan yang berada “di luar (ekstra) kanon” Perjanjian Baru. Maksudnya: di luar 27 kitab dalam Perjanjian Baru yang seluruhnya dipandang sebagai “ukuran” atau “kaidah” atau “norma” (Yunani: kanōn) bagi, misalnya, penyusunan doktrin-doktrin ortodoks dan pengaturan kehidupan gereja
+ Berharga dalam arti apa, Pak?
- Dokumen-dokumen semacam ini memperlihatkan beranekaragam pandangan teologi Kristen dan bermacam-macam bentuk kekristenan perdana yang “terkalahkan” ketika terjadi pertarungan religiopolitis memperebutkan posisi utama dalam begitu banyak versi kekristenan perdana, yang akhirnya dimenangkan oleh kekristenan Ortodoks pada abad keempat Masehi, karena keberpihakan kekaisaran Romawi.
Ortodoksi Kristen asal-mulanya dibangun khususnya dengan landasan pemikiran proto-ortodoks Rasul Paulus, yang kemudian dipertahankan dan dikembangkan para Bapak Gereja awal.
Jika kita mau mendapatkan gambaran lebih lengkap mengenai kekristenan pada tahap-tahap awal pembentukannya, dokumen-dokumen ekstra-kanonik yang sangat banyak jumlahnya harus dipakai dan suara-suaranya harus didengarkan dengan seksama.
+ Wah, di Islam, dokumen seperti Injil Thomas itu kami sebut “kitab kuning”.
- Oh itu julukannya? Tapi Injil Thomas jelas tidak ditulis oleh partai Golkar!
+ Ha, ha, Pak io bisa saja!
- Banyak dokumen Kristen di luar Perjanjian Baru yang malah menyingkapkan kepada kita sisi-sisi lain dari kehidupan Yesus dan kehidupan kekristenan perdana yang tidak kelihatan dalam Perjanjian Baru.
+ Jadi, dokumen-dokumen “kuning” itu sangat berhargakah, Pak?
- Ya, sangat berharga. Para pakar Perjanjian Baru menyebut dokumen-dokumen ini tentu bukan sebagai kitab-kitab kuning, melainkan sebagai dokumen-dokumen atau kitab-kitab “ekstra-kanonik”, artinya tulisan-tulisan yang berada “di luar (ekstra) kanon” Perjanjian Baru. Maksudnya: di luar 27 kitab dalam Perjanjian Baru yang seluruhnya dipandang sebagai “ukuran” atau “kaidah” atau “norma” (Yunani: kanōn) bagi, misalnya, penyusunan doktrin-doktrin ortodoks dan pengaturan kehidupan gereja
+ Berharga dalam arti apa, Pak?
- Dokumen-dokumen semacam ini memperlihatkan beranekaragam pandangan teologi Kristen dan bermacam-macam bentuk kekristenan perdana yang “terkalahkan” ketika terjadi pertarungan religiopolitis memperebutkan posisi utama dalam begitu banyak versi kekristenan perdana, yang akhirnya dimenangkan oleh kekristenan Ortodoks pada abad keempat Masehi, karena keberpihakan kekaisaran Romawi.
Ortodoksi Kristen asal-mulanya dibangun khususnya dengan landasan pemikiran proto-ortodoks Rasul Paulus, yang kemudian dipertahankan dan dikembangkan para Bapak Gereja awal.
Jika kita mau mendapatkan gambaran lebih lengkap mengenai kekristenan pada tahap-tahap awal pembentukannya, dokumen-dokumen ekstra-kanonik yang sangat banyak jumlahnya harus dipakai dan suara-suaranya harus didengarkan dengan seksama.
Buku saya, Menguak Kekristenan Yahudi Perdana (2009), saya tulis antara lain untuk memberi gambaran yang lebih lengkap itu (klik DI SINI).
+ Lalu, apakah bisa lewat-lewat dokumen-dokumen ekstrakanonik, Yesus malah makin lebih akurat dikenal dan ditemukan, maksud saya: Yesus yang lebih asli?
- Tentu. Itulah yang dilakukan para pakar pengkaji Yesus, dan kajian ini kini sudah menjadi suatu bidang kajian khusus yang rumit, yang disebut kajian Yesus sejarah, the historical Jesus research. Dalam bidang ini, sumber “Q” dan Injil Thomas mendapat tempat lebih khusus, selain tiga Injil Sinoptik dalam Perjanjian Baru dan Injil Yohanes, serta sejumlah dokumen ekstrakanonik lain, yang berasal dari kalangan Kristen heterodoks, kalangan Yahudi dan kalangan pagan.
Harus diketahui, kajian Yesus sejarah tidak bertujuan untuk mendapatkan gambaran lengkap sejarah Yesus, melainkan untuk mendapatkan potret-potret tentang sosok Yesus yang, dilihat dari sudut sejarah, lebih akurat jika dibandingkan dengan potret-potret yang terlihat dalam teologi-teologi atau kristologi-kristologi Perjanjian Baru sebagai himpunan tulisan-tulisan yang berdasar terutama pada kepercayaan-kepercayaan tertentu terhadap Yesus.
+ Bisa Pak io uraikan lebih jauh bidang kajian Yesus sejarah ini, karena tampak sangat menarik!
- Tentu bisa, karena bidang ini adalah bidang keahlian saya. Saya sudah lama mencari-cari Yesus orang Nazareth, bahkan untuk mencari figur ini, dan menulis sebuah disertasi mengenai Yesus yang ditempatkan dalam konteks luas dunia Laut Tengah kumo (klik DI SINI), saya sampai harus selama kurang lebih lima tahun studi di Belanda, dan membongkar-bongkar sejumlah naskah kuno di beberapa perpustakaan universitas-universitas besar di sana.
+ Please, please, cerita lebih jauh, Pak.
- Tentang kajian Yesus sejarah, saya sudah beberkan panjang lebar (baca DI SINI). Kita dapat memperbincangkannya lain kali saja. Sekarang saya mau menuntaskan penjelasan saya mengenai editing dalam Injil-injil Perjanjian Baru.
+ Wah sayang sekali. Tetapi OK, Pak!
- Harus diingat oleh anda, bahwa editing yang terjadi dalam dokumen-dokumen Perjanjian Baru ketika penulis-penulis dokumen-dokumen ini memakai bahan-bahan sumber tidaklah dimaksudkan oleh mereka sebagai suatu tindak kriminal memalsukan dokumen-dokumen, atau untuk menipu atau untuk menyesatkan komunitas-komunitas Kristen mereka.
+ Ya, editing itu dilakukan untuk membuat pandangan-pandangan dari penulis-penulis sebelumnya relevan atau aktual atau kontekstual dengan kondisi-kondisi dan persoalan-persoalan belakangan yang sedang dihadapi si editornya pada zaman dan tempat yang lain. Begitu, Pak?
- Persis! Saya kagum jika anda bisa melihat fakta itu.
+ Lalu, apakah bisa lewat-lewat dokumen-dokumen ekstrakanonik, Yesus malah makin lebih akurat dikenal dan ditemukan, maksud saya: Yesus yang lebih asli?
- Tentu. Itulah yang dilakukan para pakar pengkaji Yesus, dan kajian ini kini sudah menjadi suatu bidang kajian khusus yang rumit, yang disebut kajian Yesus sejarah, the historical Jesus research. Dalam bidang ini, sumber “Q” dan Injil Thomas mendapat tempat lebih khusus, selain tiga Injil Sinoptik dalam Perjanjian Baru dan Injil Yohanes, serta sejumlah dokumen ekstrakanonik lain, yang berasal dari kalangan Kristen heterodoks, kalangan Yahudi dan kalangan pagan.
Harus diketahui, kajian Yesus sejarah tidak bertujuan untuk mendapatkan gambaran lengkap sejarah Yesus, melainkan untuk mendapatkan potret-potret tentang sosok Yesus yang, dilihat dari sudut sejarah, lebih akurat jika dibandingkan dengan potret-potret yang terlihat dalam teologi-teologi atau kristologi-kristologi Perjanjian Baru sebagai himpunan tulisan-tulisan yang berdasar terutama pada kepercayaan-kepercayaan tertentu terhadap Yesus.
+ Bisa Pak io uraikan lebih jauh bidang kajian Yesus sejarah ini, karena tampak sangat menarik!
- Tentu bisa, karena bidang ini adalah bidang keahlian saya. Saya sudah lama mencari-cari Yesus orang Nazareth, bahkan untuk mencari figur ini, dan menulis sebuah disertasi mengenai Yesus yang ditempatkan dalam konteks luas dunia Laut Tengah kumo (klik DI SINI), saya sampai harus selama kurang lebih lima tahun studi di Belanda, dan membongkar-bongkar sejumlah naskah kuno di beberapa perpustakaan universitas-universitas besar di sana.
+ Please, please, cerita lebih jauh, Pak.
- Tentang kajian Yesus sejarah, saya sudah beberkan panjang lebar (baca DI SINI). Kita dapat memperbincangkannya lain kali saja. Sekarang saya mau menuntaskan penjelasan saya mengenai editing dalam Injil-injil Perjanjian Baru.
+ Wah sayang sekali. Tetapi OK, Pak!
- Harus diingat oleh anda, bahwa editing yang terjadi dalam dokumen-dokumen Perjanjian Baru ketika penulis-penulis dokumen-dokumen ini memakai bahan-bahan sumber tidaklah dimaksudkan oleh mereka sebagai suatu tindak kriminal memalsukan dokumen-dokumen, atau untuk menipu atau untuk menyesatkan komunitas-komunitas Kristen mereka.
+ Ya, editing itu dilakukan untuk membuat pandangan-pandangan dari penulis-penulis sebelumnya relevan atau aktual atau kontekstual dengan kondisi-kondisi dan persoalan-persoalan belakangan yang sedang dihadapi si editornya pada zaman dan tempat yang lain. Begitu, Pak?
- Persis! Saya kagum jika anda bisa melihat fakta itu.
Jadi editing itu sebetulnya suatu aktivitas hermeneutik sastrawi yang sangat positif, dan sangat diperlukan.
Lewat tangan penulis Injil Markus, Yesus orang Nazareth di tahun 30 dihadirkan kembali secara aktual dan relevan untuk konteks zaman Markus di tahun 70, lewat tangan Matius untuk konteks zaman Matius dan oleh tangan Lukas untuk konteks zaman Lukas, keduanya di tahun 85, dan lewat tangan Yohanes untuk konteks zaman penulis Injil Yohanes di tahun 95.
Sebetulnya, para teolog Kristen harus terus melakukan usaha yang sama untuk konteks zaman sekarang! Injil-injil yang baru, harus terus ditulis! Inilah usaha yang dinamakan berteologi, atau "doing theology".
Setidaknya, lewat khotbah-khotbah para pendeta dan para romo di mimbar-mimbar gereja, aktualisasi dan kontekstualisasi teks-teks skriptural masa lampau senantiasa terjadi. Ada aktualisasi dan kontekstualisasi yang dijalankan dengan cerdas dan mencerahkan. Tapi ada juga yang dilakukan dengan naif dan memburamkan serta menyesatkan pandangan.
Sebetulnya, para teolog Kristen harus terus melakukan usaha yang sama untuk konteks zaman sekarang! Injil-injil yang baru, harus terus ditulis! Inilah usaha yang dinamakan berteologi, atau "doing theology".
Setidaknya, lewat khotbah-khotbah para pendeta dan para romo di mimbar-mimbar gereja, aktualisasi dan kontekstualisasi teks-teks skriptural masa lampau senantiasa terjadi. Ada aktualisasi dan kontekstualisasi yang dijalankan dengan cerdas dan mencerahkan. Tapi ada juga yang dilakukan dengan naif dan memburamkan serta menyesatkan pandangan.
Untuk menghindari kesesatan dan pengkhianatan terhadap Yesus dalam usaha merumuskan kristologi-kristologi kontekstual di zaman sekarang, perlu ada kriteria yang cukup komprehensif. Tentang kriteria ini, saya sudah menuliskannya. Baca DI SINI.
Nah, setiap aktualisasi atau kontekstualisasi memerlukan editing bahan-bahan sumber. Ada editing dalam skala kecil dan ada pula dalam skala besar, ada editor yang konservatif dan berjalan di tempat, dan ada pula editor yang liberal dan progresif.
+ Ya, sejauh menyangkut pandangan Kristen tentang Alkitab Perjanjian Baru, saya bisa memahami, dan kaum Muslim umumnya tidak akan terkejut mendengar semua penjelasan Pak io itu, karena kami memandang dokumen-dokumen Perjanjian Baru, khususnya Injil-injil di dalamnya, memang sudah tak ada yang asli dari Yesus.
- Ya, problem bagi kaum Muslim dengan pandangan semacam itu adalah mereka, sekali lagi saya tegaskan, harus bisa menyebut dan menunjukkan mana “Injil asli” yang langsung diturunkan Allah kepada Yesus orang Nazareth, yang mereka klaim (mengikuti tradisi Islami mereka) telah dipalsukan!
Ingat, Yesus orang Nazareth sama sekali tak membuat tulisan apapun yang Dia bisa wariskan. Tak ada kitab Injil buah tangan Yesus sendiri.
Karena itulah, di zaman gereja awal, banyak kitab Injil ditulis dari berbagai perspektif dan bertolak dari persoalan-persoalan yang tidak sama. Dari beranekaragam kitab Injil ini, ada yang menjadi bagian dari Perjanjian Baru, dan ada yang tidak masuk ke dalam Perjanjian Baru.
Lagi pula, seperti mungkin anda akan pertahankan, kalau Alquran itu wahyu Allah, kok di dalamnya, konon, terdapat tuduhan tak berdasar bahwa Injil Yesus sudah dipalsukan, sementara Allah Alquran sendiri tak bisa menunjukkan mana “Injil asli” dari Nabi Isa! Aneh kan! Kalau ada Injil Yesus yang asli, mustinya di dalam Alquran Tuhan juga menyebutkan Injil asli ini yang mana, hitam di atas putih.
Nasihat saya: Kalau tidak bisa menunjukkan mana “Injil asli” yang diberikan Allah kepada Nabi Isa, sebaiknya kaum Muslim tak usah mengulang-ulang isu pemalsuan Injil Yesus!
+ Itu bukan isu, Pak io, tetapi keyakinan Islam, karena Alquran menyatakannya demikian!
Dan saya percaya 100 persen bahwa Alquran selalu benar dan serba sempurna, karena Alquran adalah Kalam Alloh, Wahyu Alloh, yang langsung diturunkan Alloh dari sorga sebagai Replika, lewat Jibril kepada Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya, sehingga tak akan ada kekurangan dan kesalahan apapun di dalamnya: tak ada penambahan, pengurangan atau modifikasi lewat proses editing, karena penulis Alquran hanya SATU, yakni Alloh sendiri, dan sang penerimanya dan kawan-kawannya tak berperan apapun di dalam penulisan semua pesan Wahyu Alloh itu menjadi sebuah kitab!
- Ya, saya sudah tahu, itu adalah tipikal pandangan Muslim tentang Alquran. Di kalangan Kristen sendiri, ada cukup banyak aliran yang berpandangan sejajar dengan pandangan Muslim mengenai asal-usul Alkitab. Pandangan ini disebut teori mantik.
+ Apa penilaian Pak io terhadap teori mantik ini?
- Saya melihat ada lebih banyak kebenaran dalam pandangan bahwa Alkitab, atau khususnya Perjanjian Baru, adalah dokumen-dokumen yang dihasilkan secara kolektif oleh banyak orang, di berbagai tempat dan zaman, dan ketika terbentuk semua dokumen ini, khususnya dokumen-dokumen yang memakai dokumen-dokumen sebelumnya sebagai sumber-sumber, adalah dokumen-dokumen hasil-hasil editing yang, dapat dikatakan, terjadi pada tahap-tahap akhir.
Bagi saya, sebuah Kitab Suci yang tidak ditulis dalam dunia, dan yang tidak mengangkat persoalan-persoalan orang yang hidup dalam dunia, dan yang tidak mencoba memberikan jawaban-jawaban terhadap persoalan-persoalan ini, adalah Kitab Suci yang tidak fungsional, karena mengapung di awan-awan, tak ada kaitannya dengan realitas dunia. Untuk apa Kitab Suci semacam ini? Dan saya yakin, tak ada Kitab Suci yang semacam itu.
Jadi, jika Alquran diyakini umat Islam mampu memberi jawaban-jawaban yang mencerahkan atas banyak persoalan dunia masa kini, saya yakin Kitab Suci ini bagaimanapun juga memiliki konteks sejarah dan konteks kebudayaannya sendiri; jadi ditulis dalam dunia ini, dengan bertolak dari persoalan-persoalan real yang sedang dihadapi para penulisnya, yang tetap berpikir dengan jelas ketika mereka menulis Alquran, dan mengarahkan isinya ke tujuan-tujuan tertentu.
+ Tapi Pak, meskipun memang ada penulis insaninya, Alquran tidak memakai bahan-bahan sumber apapun yang sudah ada sebelumnya, tak seperti Alkitab.
- Aah anda! Itu hanya benar dalam akidah Islam, tidak dalam realitas.
Dari mana asal semua kisah Alquran yang mengangkat kehidupan bangsa Israel dan semua orang besar di dalam kehidupan bangsa ini dulu, misalnya Musa dan Ibrahim, kalau bukan dari Tenakh, Kitab Suci Yahudi yang orang Kristen dengan keliru namakan Perjanjian Lama?
Dari mana pula asal-usul kisah-kisah tentang Isa yang ada di dalam Alquran, sementara ada sekian dokumen Kristen ekstrakanonik yang jauh lebih tua dari Alquran yang memuat kisah-kisah tentang Isa yang ada dalam Alquran? Misalnya, kisah tentang Isa membentuk burung-burungan dari tanah liat lalu menghidupkannya (untuk ulasannya, klik DI SINI), atau catatan-catatan Alquran tentang Isa yang tidak dibunuh di kayu salib tetapi orang lain yang telah diserupakan dengannya yang telah dibunuh menggantikannya (untuk ulasannya, klik DI SINI)?
Lagi pula, seperti mungkin anda akan pertahankan, kalau Alquran itu wahyu Allah, kok di dalamnya, konon, terdapat tuduhan tak berdasar bahwa Injil Yesus sudah dipalsukan, sementara Allah Alquran sendiri tak bisa menunjukkan mana “Injil asli” dari Nabi Isa! Aneh kan! Kalau ada Injil Yesus yang asli, mustinya di dalam Alquran Tuhan juga menyebutkan Injil asli ini yang mana, hitam di atas putih.
Nasihat saya: Kalau tidak bisa menunjukkan mana “Injil asli” yang diberikan Allah kepada Nabi Isa, sebaiknya kaum Muslim tak usah mengulang-ulang isu pemalsuan Injil Yesus!
+ Itu bukan isu, Pak io, tetapi keyakinan Islam, karena Alquran menyatakannya demikian!
Dan saya percaya 100 persen bahwa Alquran selalu benar dan serba sempurna, karena Alquran adalah Kalam Alloh, Wahyu Alloh, yang langsung diturunkan Alloh dari sorga sebagai Replika, lewat Jibril kepada Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya, sehingga tak akan ada kekurangan dan kesalahan apapun di dalamnya: tak ada penambahan, pengurangan atau modifikasi lewat proses editing, karena penulis Alquran hanya SATU, yakni Alloh sendiri, dan sang penerimanya dan kawan-kawannya tak berperan apapun di dalam penulisan semua pesan Wahyu Alloh itu menjadi sebuah kitab!
- Ya, saya sudah tahu, itu adalah tipikal pandangan Muslim tentang Alquran. Di kalangan Kristen sendiri, ada cukup banyak aliran yang berpandangan sejajar dengan pandangan Muslim mengenai asal-usul Alkitab. Pandangan ini disebut teori mantik.
+ Apa penilaian Pak io terhadap teori mantik ini?
- Saya melihat ada lebih banyak kebenaran dalam pandangan bahwa Alkitab, atau khususnya Perjanjian Baru, adalah dokumen-dokumen yang dihasilkan secara kolektif oleh banyak orang, di berbagai tempat dan zaman, dan ketika terbentuk semua dokumen ini, khususnya dokumen-dokumen yang memakai dokumen-dokumen sebelumnya sebagai sumber-sumber, adalah dokumen-dokumen hasil-hasil editing yang, dapat dikatakan, terjadi pada tahap-tahap akhir.
Bagi saya, sebuah Kitab Suci yang tidak ditulis dalam dunia, dan yang tidak mengangkat persoalan-persoalan orang yang hidup dalam dunia, dan yang tidak mencoba memberikan jawaban-jawaban terhadap persoalan-persoalan ini, adalah Kitab Suci yang tidak fungsional, karena mengapung di awan-awan, tak ada kaitannya dengan realitas dunia. Untuk apa Kitab Suci semacam ini? Dan saya yakin, tak ada Kitab Suci yang semacam itu.
Jadi, jika Alquran diyakini umat Islam mampu memberi jawaban-jawaban yang mencerahkan atas banyak persoalan dunia masa kini, saya yakin Kitab Suci ini bagaimanapun juga memiliki konteks sejarah dan konteks kebudayaannya sendiri; jadi ditulis dalam dunia ini, dengan bertolak dari persoalan-persoalan real yang sedang dihadapi para penulisnya, yang tetap berpikir dengan jelas ketika mereka menulis Alquran, dan mengarahkan isinya ke tujuan-tujuan tertentu.
+ Tapi Pak, meskipun memang ada penulis insaninya, Alquran tidak memakai bahan-bahan sumber apapun yang sudah ada sebelumnya, tak seperti Alkitab.
- Aah anda! Itu hanya benar dalam akidah Islam, tidak dalam realitas.
Dari mana asal semua kisah Alquran yang mengangkat kehidupan bangsa Israel dan semua orang besar di dalam kehidupan bangsa ini dulu, misalnya Musa dan Ibrahim, kalau bukan dari Tenakh, Kitab Suci Yahudi yang orang Kristen dengan keliru namakan Perjanjian Lama?
Dari mana pula asal-usul kisah-kisah tentang Isa yang ada di dalam Alquran, sementara ada sekian dokumen Kristen ekstrakanonik yang jauh lebih tua dari Alquran yang memuat kisah-kisah tentang Isa yang ada dalam Alquran? Misalnya, kisah tentang Isa membentuk burung-burungan dari tanah liat lalu menghidupkannya (untuk ulasannya, klik DI SINI), atau catatan-catatan Alquran tentang Isa yang tidak dibunuh di kayu salib tetapi orang lain yang telah diserupakan dengannya yang telah dibunuh menggantikannya (untuk ulasannya, klik DI SINI)?
Jadi, bagi saya, jelas Alquran memiliki sumber-sumber, yang berupa sastra atau pun tradisi-tradisi lisan. Perbedaan yang ada antara versi Alquran dan versi Tenakh Yahudi atau versi Kristen heterodoks muncul tak lain karena editing juga dilakukan oleh para penyusun Alquran atas bahan-bahan sumber yang dipakai.
Hemat saya, Alquran sesungguhnya tak kekurangan nilainya bagi kaum Muslim meskipun memakai sumber-sumber.
Malah, dengan memahami teks-teks sumber yang sudah ada sebelumnya, para penafsir Alquran memiliki pijakan-pijakan yang lebih kokoh dalam memahami teks-teks Alquran sendiri dengan lebih cermat.
Barangsiapa mengetahui sumber, mereka akan menemukan arah dan tujuan. Siapa pun yang mengenal awal, mereka akan bijak menemukan akhir. Air mengalir dari hulu, menuju muara. Ikutilah aliran air pengetahuan yang dimulai dari hulu, untuk bisa tiba di muara pengetahuan.
Sebagaimana dengan kuat diyakini umat Islam, kalaupun Nabi Muhammad betul buta aksara, tokh sang Nabi bisa mendengar kisah-kisah lisan, baik kisah-kisah lisan tentang bangsa Israel dan para bapak leluhur mereka, maupun kisah-kisah lisan tentang Isa yang disebarkan oleh berbagai macam kekristenan yang tidak ortodoks. Kisah-kisah lisan ini tentu diingat dan dicerna oleh sang Nabi besar ini, dan pasti menimbulkan kesan-kesan mendalam pada dirinya.
+ ????
Oleh Ioanes Rakhmat
3 November 2011
Update mutakhir 29 April 2021
Catatan
Sebagaimana dengan kuat diyakini umat Islam, kalaupun Nabi Muhammad betul buta aksara, tokh sang Nabi bisa mendengar kisah-kisah lisan, baik kisah-kisah lisan tentang bangsa Israel dan para bapak leluhur mereka, maupun kisah-kisah lisan tentang Isa yang disebarkan oleh berbagai macam kekristenan yang tidak ortodoks. Kisah-kisah lisan ini tentu diingat dan dicerna oleh sang Nabi besar ini, dan pasti menimbulkan kesan-kesan mendalam pada dirinya.
+ ????
Oleh Ioanes Rakhmat
3 November 2011
Update mutakhir 29 April 2021
Catatan
/1/ Gagasan kaum Muslim umumnya bahwa dokumen-dokumen dalam Perjanjian Baru, khususnya kitab-kitab Injil, sudah tidak murni lagi alias sudah dipalsukan, bertumpu pada suatu asumsi hermeneutis bahwa teks-teks Alquran memuat data dan informasi yang terbenar dan autentik tentang berbagai hal, dan karenanya harus menjadi patokan dan batu uji pamungkas, jika terdapat perbedaan-perbedaan data dan informasi antara Perjanjian Baru dan Alquran.
Sebagai sebuah tafsir atas Surah Al-Maidah 5:48 (teks lihat di bawah ini), dalam Al-Qur'an: Terjemahan dan Transliterasi (Bandung: Al-Mizan Publishing House, cetakan 3, 2010), hlm. 183, dinyatakan bahwa “Al-Quran adalah ukuran untuk menentukan benar dan tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya.”
Teks Alquran sendiri memang menyatakan bahwa kepada Isa telah Allah percayakan “kitab Injil yang berisi petunjuk dan cahaya” (Surah al-Maidah 5:46), tetapi oleh para ahli kitab (Yahudi, Kristen) kebenaran dalam kitab Injil ini telah diselewengkan atau dibelokkan, sebagaimana dinyatakan secara tak langsung lewat suatu peringatan dalam Surah al-Maidah 5:68, “Wahai ahli kitab! Kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al-Quran yang diturunkan Tuhan kepadamu.”
Dalam kenyataannya, perbedaan-perbedaan data dan informasi antara Alquran dan Injil-injil Perjanjian Baru memang cukup banyak, dan fakta ini harus dijelaskan para penafsir Muslim bagaimana pun caranya demi mempertahankan kredibilitas dan superioritas Alquran, termasuk membangun suatu asumsi hermeneutis yang sudah disebut di atas, yang tak pernah dikaji kebenarannya lewat kajian-kajian tekstual dan historis kritis!
Keyakinan terhadap superioritas Alquran dibandingkan Injil-injil Perjanjian Baru dipegang kuat-kuat oleh kaum Muslim karena ada sangat banyak teks dalam Alquran yang ditafsirkan sebagai pernyataan bahwa Alquran diturunkan sebagai wahyu untuk “meluruskan” kitab-kitab yang ada sebelumnya, yakni Taurat, Zabur dan Injil. Tapi, nanti dulu. Bukan kata “meluruskan” melainkan kata “membenarkan” yang terdapat dalam semua teks Alquran yang relevan.
Teks dalam Surah Yusuf 12:111, misalnya, berbunyi, “Alquran bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan kitab-kitab sebelumnya.” Sejajar dengan itu, Surah al-Maidah 5:48 menyatakan bahwa Allah “telah menurunkan Kitab (Alquran) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya.”
Ada banyak lagi teks Quranik yang sejenis, misalnya Surah al-Baqarah 2:41, 89, 91, 97, 101; Surah Ali Imran 3:81; Surah an-Nisa 4:47; Surah al-An'am 6:92; Surah Yunus 10:37; Surah al-Ahqaf 46:30; Surah al-Fathir 35:3.
Selain itu, seperti ditulis Imam Muchlas dan Masyhud SM dalam buku berjudul Alquran Berbicara tentang Kristen (Pustaka Da'i, 1999, 2001), hlm. 27-28, Nabi Muhammad sendiri “mengakui bahwa yang ada pada agama Yahudi dan Kristen itu tidaklah salah seluruhnya atau benar semuanya”, sebagaimana dikisahkan dalam hadits Bukhari yang mengisahkan “Abu Huraiarah ra. berkata: Para ahli kitab membaca Taurat berbahasa Ibrani dan menafsirkannya dalam bahasa Arab kepada kaum Muslim. Maka Rasulullah saw. bersabda: Janganlah kamu membenarkan para ahli kitab itu, dan juga jangan kamu mendustakannya. Tetapi katakanlah: kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan-Nya kepada kami dan yang diturunkan kepadamu.”
Mengacu ke paragraf di atas, adalah tugas para ahli Alquran untuk menuliskan hitam di atas putih hal yang "tidak salah seluruhnya" atau hal yang "tidak benar semuanya" berkaitan dengan Kitab Suci Yahudi dan Kitab Suci Perjanjian Baru.