Wednesday, April 15, 2009

A-Millennialisme

A-Millennialisme
(Tulisan ketiga/terakhir dari rangkaian tiga tulisan tentang millennialisme)

Amillennialisme sudah muncul sejak zaman kekristenan perdana; tetapi Bapak gereja Agustinus (354-430) dipandang sebagai orang yang bertanggungjawab menetapkan pandangan ini sebagai pandangan resmi gereja ortodoks. Sebelum pra-millennialisme menguat di Eropa dan di Amerika pada abad ke-19, pandangan amillennialisme ini sudah dipegang dan diajarkan di lingkungan gereja-gereja Reformed arus utama.


Gereja Roma Katolik (RK) umumnya mengikuti ajaran Agustinus dan ajaran para reformator; gereja ini pada tahun 1940 sudah resmi menolak pra-millennialisme (pra-millennialisme, ditegaskan oleh gereja RK, “tidak dapat dengan aman diajarkan”), dan juga menolak pemakaian kata “rapture” meskipun tetap mengantisipasi kedatangan kembali Yesus ke bumi dan dikumpulkannya orang-orang percaya pada saat itu.

Para penganut amillennialisme menolak baik pra- maupun pasca-millennialisme. Bagi para amillennialis, Millennium itu tidak ada, baik yang menyusul maupun yang mendahului kedatangan Yesus Kristus kedua kali.


Hitam dan putih, kejahatan dan kebaikan, kepahitan dan keberhasilan, kejahatan dan kebaikan, senantiasa ada bersama dalam kehidupan manusia
        
Para pasca-millennialis mempertahankan bahwa mendahului kedatangan Kristus yang keduakalinya, akan ada masa Millennium (= jangka waktu yang sangat panjang) yang di dalamnya tidak akan ada lagi kejahatan dan keburukan, zaman di dalam mana kebenaran, keadilan, kebaikan, kedamaian dan kemakmuran menguasai segala segi kehidupan manusia. Berbeda dari itu, para amillennialis, dengan realistis, menegaskan bahwa masa yang semacam itu tidak akan pernah ada di bumi ini, kapan pun juga, baik pada masa sebelum Kristus datang kembali, mau pun pada masa sesudah kedatangannya.

Para amillennialis berpendapat, bahwa sebelum kedatangan Kristus untuk keduakalinya, yang ada adalah masa kehidupan manusia yang berisi sekaligus kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kebatilan, kemakmuran dan bencana, berkat dan kutuk, kejujuran dan kebohongan, kedamaian dan peperangan, sorga dan neraka. 

Yang baik dan yang jahat akan terus ada bersama-sama. Allah bekerja, tetapi juga kuasa Setan. Kedua segi yang saling bertolakbelakang ini akan terus ada di dalam Zaman Gereja, zaman sekarang ini, sampai zaman ini tiba-tiba saja berakhir ketika Kristus, tanpa diduga, bak pencuri di malam hari, datang kembali dengan awan-awan di angkasa, lalu “mengangkat” (Rapture) orang-orang yang sudah ditebus ke surga di mana mereka akan menerima “tubuh-tubuh spiritual” yang tidak akan bisa binasa lagi.

Mereka yang percaya, namun sudah mati ketika Yesus datang kembali, akan dibangkitkan, lalu dengan tubuh yang baru juga akan diangkat ke surga. 

Bagian terbesar umat manusia, setelah melewati pengadilan akhir yang digelar Kristus pada waktu kedatangannya kembali, akan dilempar ke neraka sebagai penghukuman abadi. Dunia seperti yang ada sekarang akan ditinggalkan. Sejarah tidak ada lagi, lenyap senyap. Dengan demikian, menyusul kedatangan Kristus kembali, tidak ada Millennium di bumi ini; yang ada adalah suatu kehidupan yang sama sekali lain, yang berlangsung di surga.

Jelas jadinya bahwa para amillennialis menolak adanya Millennium messianik Yahudi, yang bersifat material, seperti yang dipertahankan para pra-millennialis dispensasionalis. Dalam pandangan amillennialisme, di dalam zaman sekarang sebagai Zaman Gereja Kerajaan Allah sudah hadir melalui pemerintahan Kristus dari surga, pesan-pesan Alkitab, karya pelayanan gereja, dan pekerjaan Roh Kudus―inilah the good side dari realitas kehidupan dunia.

Kehadiran pemerintahan Allah dalam Zaman Gereja ini bukanlah Millennium seperti yang dipahami para penganut pasca-millennialisme. Di dalam Zaman gereja, Kesengsaraan Besar (Tribulation), sebagai the bad side, juga sedang dialami, sampai pada saat kedatangan kembali Kristus yang waktunya tidak diketahui seorang pun.

Tidak seperti dalam pra-millennialisme dispensasionalis yang terus berusaha mengidentifikasi sang Antikristus dalam tokoh-tokoh insani dunia, dalam amillennialisme Antikristus dipahami secara figuratif dan simbolik sebagai kuasa-kuasa apa pun di dalam dunia ini yang menjadi penyebab timbulnya kejahatan, keburukan, ketidakadilan dan kebatilan; jadi, yang diperhatikan bukanlah Antikristus personal, melainkan Antikristus “sistemik dan struktural.” 

Peperangan senantiasa berlangsung, antara kuasa Kristus dan kuasa Antikristus. Perang Armageddon itu kenyataan setiap hari dalam kehidupan orang beriman.

Kejadian-kejadian yang disebut di dalam Khotbah Yesus di Bukit Zaitun, the Olivet Discourse (Markus 13, Matius 24 dan Lukas 21), peristiwa-peristiwa dan simbol-simbol (angka-angka, binatang-binatang, makhluk-makhluk, benda-benda, nama-nama, dll) yang digambarkan dan dipakai baik dalam Wahyu Yohanes maupun dalam Kitab Daniel sebagai sastra-sastra apokaliptik, oleh para amillennialis dipandang sebagai peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi pada zaman penulisan sastra-sastra ini; dan simbol-simbolnya, bagi para amillennialis, harus ditafsirkan non-literalistik, sebagai betul-betul simbol-simbol dan kiasan-kiasan yang rujukan-rujukan historisnya (siapa, apa dan bagaimana mereka itu) harus ditemukan di dalam zaman-zaman ketika sastra-sastra itu ditulis, bukan di dalam zaman-zaman lain di masa sesudahnya.

Kalau para penganut pra-millennialisme berpendapat bahwa Millennium harus ada sebagai masa dan kesempatan di mana nubuat-nubuat Kitab Suci tentang bangsa Israel akan dipenuhi seluruhnya, para amillennialis menegaskan bahwa, seperti halnya dengan nubuat-nubuat lainnya, tidak ada keharusan semua nubuat tentang Israel harus dipenuhi, dan kalau pun harus dipenuhi, pemenuhannya tidak harus di zaman modern ini, melainkan sudah pernah terjadi dulu, di dalam zaman umat Kitab Suci Ibrani.

Penutup 

Jelas sudah, bahwa dispensasionalisme pra-millennial adalah sebuah pandangan teologis politis yang hanya akan dipegang oleh kalangan yang melihat kemusnahan dunia sebagai suatu peristiwa yang jauh lebih baik daripada kelestarian kehidupan di muka planet Bumi.

Kalangan ini bisa dikatakan telah mengalami kerusakan otak dan nurani, yang membuat mereka mencintai perang dan kemusnahan dunia ketimbang memperjuangkan perdamaian dunia dan mengusahakan kelestarian lingkungan hidup di planet Bumi, satu-satunya planet yang sekarang ini menjadi tempat kediaman bersama semua umat manusia.

Pasca-millennialisme juga tidak realistik, karena mencari dunia yang sempurna tanpa cacat di dalam dunia masa kini, suatu pencarian yang hanya akan menimbulkan rasa frustrasi dan eskapisme dangkal.

Maka, sebagai alternatif ketiga, penulis menganjurkan setiap orang Kristen memegang pandangan a-millennialisme (atau non-millennialisme), dan bersama Roh Yesus Kristus sanggup setiap hari untuk hidup dalam dunia yang ditandai oleh perjuangan terus-menerus antara memilih yang jahat atau memilih yang baik, antara berpihak kepada kuasa jahat atau berpihak kepada kuasa kebaikan.

Adalah panggilan hidup setiap orang beragama untuk dia dalam hidupnya setiap hari memilih berpihak kepada kebaikan, dan tegas menentang kejahatan.

Beragama adalah berjuang, demi perdamaian dan kebaikan untuk semua orang, pada masa kini dan dalam dunia sekarang ini!

Eskapisme dan utopianisme yang mengarahkan orang ke suatu dunia masa depan yang diturunkan dari surga, sebagai langit baru dan Bumi baru, tidaklah perlu dipegang. Kenapa? 

Karena keduanya, langit baru dan Bumi baru, hanya akan bisa ada setelah melewati suatu masa milyaran tahun proses evolusi kosmologis setelah Tata Surya lenyap dalam suatu bencana kosmik.