(Tulisan ini juga terbit dalam Majalah Madina, No. 9/Th 1/September 2008)
Jika kehadiran umat Kristen di suatu kawasan mayoritas Islam tidak disenangi umat mayoritas ini, dan ketidaksenangan ini akhirnya menimbulkan konflik tajam, orang dapat bertanya, siapa yang harus disalahkan, atau usaha apa yang perlu dilakukan untuk mencegah konflik ini muncul lagi di masa depan. Sebagai respons, bisa jadi pihak Kristen akan membela diri dengan menyatakan bahwa dalam NKRI tidak dikenal pembedaan perlakuan terhadap yang mayoritas dan terhadap yang minoritas; bahwa keduanya sama-sama berhak untuk tinggal, bekerja dan beribadah di wilayah mana pun dari Republik ini. Dengan alasan ini, pihak Kristen lantas akan menyalahkan pihak Islam. Sebaliknya, umat Islam di kawasan itu akan menyalahkan pihak Kristen yang dinilai tidak peka terhadap perasaan umat Islam di situ yang khawatir dikristenkan. Saling menyalahkan ini tidak memberi manfaat apa-apa bagi upaya membangun kerukunan. Yang penting adalah memikirkan usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk mencegah berulangnya konflik Islam-Kristen. Salah satu usaha ke arah ini adalah masing-masing umat melakukan otokritik.
Misi pengkristenan
Sejak lahirnya, agama Kristen sudah menjadi suatu agama misioner yang mengarahkan penganutnya ke dalam dunia untuk mengkristenkannya. Mandat misioner pengkristenan ini memenuhi halaman-halaman Kitab Suci Perjanjian Baru. Tidak sedikit orang Kristen di Indonesia terang-terangan menghayati misi mengkristenkan dunia. Ada sekian sekolah teologi di Indonesia yang mengharuskan setiap lulusannya menghasilkan satu gereja baru yang dipenuhi orang Kristen baru, pindahan dari agama lain. Tapi, ada juga orang Kristen yang berdalih bahwa tugas panggilan mereka bukanlah untuk mengkristenkan dunia, melainkan untuk mengabarkan Injil kepada semua orang, supaya mereka menjadi murid-murid Yesus Kristus. Dalih ini sebenarnya sia-sia, sebab ketika orang menjadi murid Yesus Kristus, ia menjadi penganut agama Kristen, atau menjadi seorang yang dikristenkan. Sejak usia kanak-kanak, setiap orang Kristen sudah diajar untuk “mencari jiwa” bagi Yesus Kristus, dan jika banyak jiwa dihasilkan upah besar konon menanti di surga. Pendek kata, menjadi orang Kristen berarti menjadi orang yang harus mengkristenkan orang lain, dengan berbagai cara: mulai dari pemberitaan Injil secara lisan kepada orang bukan-Kristen, lalu pemberian bantuan material kepada orang miskin yang dilakukan banyak kali sebagai upaya pengkristenan terselubung, sampai pada bentuk pengkristenan yang lebih canggih berupa pempribumian atau indigenisasi teologi (= memberi bungkus/baju kultur lokal asli pada amanat Kristen yang universal dan tidak berubah).
Di tengah usaha-usaha pengkristenan ini, sebaiknya orang Kristen menyadari bahwa tidak ada satu pun orang Islam di Indonesia menghendaki sesamanya yang beragama Islam pindah agama, masuk Kristen. Begitu juga, tidak ada satu pun orang Kristen di Indonesia menginginkan sesamanya yang beragama Kristen menjadi sasaran pengislaman. Ini adalah kebenaran kendatipun orang bisa berpendapat bahwa dalam masyarakat yang plural perpindahan agama itu wajar bahkan merupakan hak setiap orang yang dijamin UU. Semua orang tahu, jumlah umat yang besar akan memberi keuntungan politik besar dan pada gilirannya keuntungan ekonomi yang besar juga. Jadi bisa dipahami jika umat Muslim di Indonesia akan terus berusaha menjaga dan mempertahankan posisi mayoritas tunggal yang menjadi penentu masa depan Indonesia, dan bisa dimengerti juga jika mereka tidak ingin menjadi warga negara kelas dua atau kelas tiga lagi seperti yang mereka pernah alami dalam zaman penjajahan dulu. Kebangkitan Islam pada aras global dewasa ini memberi tambahan energi pada usaha mempertahankan posisi dominan ini. Dengan aspirasi Islami yang kuat seperti ini, misi pengkristenan yang dipikul orang Kristen tentu saja akan dipandang membahayakan eksistensi dan ketahanan umat Islam; dan tak terhindarkan lagi misi Kristen ini sedang dilawan umat Islam dengan segala cara, termasuk dengan tindak kekerasan yang melawan hukum yang dilakukan sebagian kecil umat Islam di Indonesia.
Pada masa kini di Indonesia, semua orang tahu, gerak misioner pengkristenan yang dilakukan orang Kristen sedang diawasi dan dipelajari oleh umat Islam. Nah, keadaan di lapangan yang semacam ini tentu mengharuskan orang Kristen melakukan pemeriksaan diri, dan menilai apakah misi pengkristenan masih relevan untuk dijalankan. Sebagai ganti misi pengkristenan, sudah seharusnya orang Kristen membangun dialog dengan orang dari kepercayaan lain, untuk sama-sama tiba pada kebenaran-kebenaran yang lebih agung. Beberapa orang Kristen tentu saja tidak bersedia berdialog dengan umat beragama lain; bagi mereka misi pengkristenan justru tepat dilakukan di Indonesia mengingat 85 persen penduduk Indonesia masih Islam.
Simbol fisik
Kehadiran umat Kristen di suatu kawasan dapat dengan mudah diidentifikasi melalui bangunan fisik gedung gereja yang dilengkapi dengan sebuah salib sebagai simbol Kristen yang mengacu pada Yesus Kristus yang mati disalibkan, yang menjadi inti sari iman Kristen. Bangunan gereja memang bisa dikenali langsung karena bentuknya yang khas dan karena simbol salib yang menjulang di atasnya. Ruko atau rukan yang di kota-kota besar di Indonesia kerap dijadikan tempat beribadah umat Kristen juga dapat dikenali sebagai gedung gereja karena simbol salib ini.
Karena gedung gereja yang dianggap sebagai rumah Allah dirasakan sangat penting dan bernilai dan simbol salib begitu bermakna, umat Kristen terdorong untuk membangun gedung gereja mereka beserta salibnya dengan megah dan menelan biaya besar. Bahkan sekarang ini di Jakarta ada sebuah gedung gereja yang baru dibangun dengan menghabiskan biaya, kabarnya, sampai trilyunan rupiah. Kalau biaya besar tersedia dan izin resmi membangun gedung gereja sudah dimiliki, memang tidak ada yang bisa mencegah pembangunan gedung gereja yang sangat besar sekalipun. Dengan membangun gedung gereja yang megah-megah, orang Kristen sebetulnya sedang memuliakan diri mereka sendiri (self-glorifying), lalu melupakan Yesus yang telah mati terhina di kayu salib, yang lambang kematiannya, ironisnya, dipasang menjulang tinggi di gedung-gedung megah gereja.
Ya, mereka berhak dan dapat membangun gedung-gedung gereja besar karena mereka mempunyai banyak uang yang dihimpun dari banyak sumber. Tetapi masalahnya adalah konteks sosial di mana bangunan gereja didirikan. Kalau sebuah gedung gereja dibangun di tengah suatu konteks kehidupan sosial umat Islam mayoritas, dan di situ tidak ada orang Kristen tinggal, munculnya kecurigaan pengkristenan dan kemarahan umat Islam di kawasan itu sudah harus diantisipasi. Orang Kristen pun bisa dipastikan akan menuduh tengah terjadi pengislaman bila di suatu daerah Kristen dibangun sebuah masjid sementara tidak ada satu pun orang Islam di daerah itu. Jadi, konteks sosial harus serius dipertimbangkan ketika umat-umat beragama di Indonesia mau membangun rumah ibadah mereka.
Di tengah berbagai konflik Islam-Kristen, sekian orang Islam telah mengingatkan bahwa orang Kristen di Indonesia harus tahu bagaimana membawa diri sebagai umat beragama minoritas. Orang dengan berbagai alasan hukum dan politik boleh tidak setuju dengan pernyataan yang memang memihak dan penuh prasangka ini. Namun yang sedang dihadapi orang Kristen dalam hal ini bukanlah pertama-tama masalah hukum dan politik yang rasional, melainkan suasana hati dan persepsi umat Islam yang dibentuk oleh banyak faktor sosio-ekonomis, suasana hati dan persepsi yang bisa tidak rasional dan karena itu bisa destruktif.
Mengingat pada aras nasional rakyat Indonesia masih sangat banyak yang miskin, dan mereka yang miskin ini sebagian besar adalah orang Islam dengan bangunan-bangunan masjid mereka yang bersahaja, sudah sepatutnya orang Kristen di Indonesia, yang tinggal di daerah maupun di kota besar, tidak membangun gedung-gedung besar dan mewah tempat ibadah mereka. Gedung gereja yang megah bisa menyampaikan pesan-pesan negatif kepada umat Islam, bahwa orang Kristen itu kaya raya tapi tidak peka dan tidak peduli pada nasib sebagian besar rakyat Indonesia yang beragama Islam, bahwa orang Kristen yang minoritas itu sedang dengan angkuh mempertontonkan kekuasaan dan kejayaan mereka, bahwa orang Kristen itu sedang bersiap-siap untuk mengkristenkan Indonesia secara besar-besaran. Daripada menimbulkan pesan-pesan negatif dan berbahaya ini, lebih baik dana besar yang mereka miliki digunakan untuk memberdaya rakyat miskin Indonesia dengan tanpa pamrih.
Fundamentalisme Kristen
Kita semua tahu, kalangan Islam yang paling sensitif terhadap beragam upaya pengkristenan di Indonesia adalah kalangan Islam garis keras yang terhimpun dalam sekian ormas Islam yang siap dimobilisasi setiap saat untuk berkonfrontasi terbuka di lapangan. Kita semua juga tahu, kalangan Kristen fundamentalis, karena fanatisme mereka, adalah kalangan yang paling tidak peka terhadap perasaan-perasaan umat Islam di Indonesia yang kebanyakan terkondisi untuk melihat diri sebagai umat yang sedang terancam oleh kekuatan-kekuatan global. Kalangan Islam fundamentalis sudah dengan terang-terangan ingin menjadikan syariat Islam sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena pengaruh gerakan pengkristenan global dari gereja-gereja di Barat, kalangan fundamentalis Kristen di Indonesia, seperti saudara-saudara mereka di Amerika Serikat, ingin juga menjadikan Yesus Kristus dan Alkitab yang dipandang sebagai firman Allah yang sempurna sebagai landasan membangun bangsa dan negara. Seorang pentolan kaum fundamentalis Kristen di Indonesia menyatakan bahwa jika ekonomi Indonesia didasarkan pada Yesus Kristus, ekonomi Indonesia akan jaya!
Jadi, fundamentalisme keagamaan memang merupakan masalah baik bagi umat Kristen maupun bagi umat Islam di Indonesia ketika kedua umat ini hendak bersama-sama membangun kerukunan di dalam suatu negara yang bukan negara sekuler dan juga bukan negara agama. Orang Kristen fundamentalis harus diingatkan, jika Indonesia mau dijadikan negara agama, Indonesia bagaimanapun akan berubah bukan menjadi negara Kristen, tapi negara Islam. Dan sebelum ini terjadi, tentu akan timbul banyak konflik. Jadi sebaiknya fundamentalisme keagamaan apapun dijauhi.
Jika kehadiran umat Kristen di suatu kawasan mayoritas Islam tidak disenangi umat mayoritas ini, dan ketidaksenangan ini akhirnya menimbulkan konflik tajam, orang dapat bertanya, siapa yang harus disalahkan, atau usaha apa yang perlu dilakukan untuk mencegah konflik ini muncul lagi di masa depan. Sebagai respons, bisa jadi pihak Kristen akan membela diri dengan menyatakan bahwa dalam NKRI tidak dikenal pembedaan perlakuan terhadap yang mayoritas dan terhadap yang minoritas; bahwa keduanya sama-sama berhak untuk tinggal, bekerja dan beribadah di wilayah mana pun dari Republik ini. Dengan alasan ini, pihak Kristen lantas akan menyalahkan pihak Islam. Sebaliknya, umat Islam di kawasan itu akan menyalahkan pihak Kristen yang dinilai tidak peka terhadap perasaan umat Islam di situ yang khawatir dikristenkan. Saling menyalahkan ini tidak memberi manfaat apa-apa bagi upaya membangun kerukunan. Yang penting adalah memikirkan usaha-usaha yang perlu dilakukan untuk mencegah berulangnya konflik Islam-Kristen. Salah satu usaha ke arah ini adalah masing-masing umat melakukan otokritik.
Misi pengkristenan
Sejak lahirnya, agama Kristen sudah menjadi suatu agama misioner yang mengarahkan penganutnya ke dalam dunia untuk mengkristenkannya. Mandat misioner pengkristenan ini memenuhi halaman-halaman Kitab Suci Perjanjian Baru. Tidak sedikit orang Kristen di Indonesia terang-terangan menghayati misi mengkristenkan dunia. Ada sekian sekolah teologi di Indonesia yang mengharuskan setiap lulusannya menghasilkan satu gereja baru yang dipenuhi orang Kristen baru, pindahan dari agama lain. Tapi, ada juga orang Kristen yang berdalih bahwa tugas panggilan mereka bukanlah untuk mengkristenkan dunia, melainkan untuk mengabarkan Injil kepada semua orang, supaya mereka menjadi murid-murid Yesus Kristus. Dalih ini sebenarnya sia-sia, sebab ketika orang menjadi murid Yesus Kristus, ia menjadi penganut agama Kristen, atau menjadi seorang yang dikristenkan. Sejak usia kanak-kanak, setiap orang Kristen sudah diajar untuk “mencari jiwa” bagi Yesus Kristus, dan jika banyak jiwa dihasilkan upah besar konon menanti di surga. Pendek kata, menjadi orang Kristen berarti menjadi orang yang harus mengkristenkan orang lain, dengan berbagai cara: mulai dari pemberitaan Injil secara lisan kepada orang bukan-Kristen, lalu pemberian bantuan material kepada orang miskin yang dilakukan banyak kali sebagai upaya pengkristenan terselubung, sampai pada bentuk pengkristenan yang lebih canggih berupa pempribumian atau indigenisasi teologi (= memberi bungkus/baju kultur lokal asli pada amanat Kristen yang universal dan tidak berubah).
Di tengah usaha-usaha pengkristenan ini, sebaiknya orang Kristen menyadari bahwa tidak ada satu pun orang Islam di Indonesia menghendaki sesamanya yang beragama Islam pindah agama, masuk Kristen. Begitu juga, tidak ada satu pun orang Kristen di Indonesia menginginkan sesamanya yang beragama Kristen menjadi sasaran pengislaman. Ini adalah kebenaran kendatipun orang bisa berpendapat bahwa dalam masyarakat yang plural perpindahan agama itu wajar bahkan merupakan hak setiap orang yang dijamin UU. Semua orang tahu, jumlah umat yang besar akan memberi keuntungan politik besar dan pada gilirannya keuntungan ekonomi yang besar juga. Jadi bisa dipahami jika umat Muslim di Indonesia akan terus berusaha menjaga dan mempertahankan posisi mayoritas tunggal yang menjadi penentu masa depan Indonesia, dan bisa dimengerti juga jika mereka tidak ingin menjadi warga negara kelas dua atau kelas tiga lagi seperti yang mereka pernah alami dalam zaman penjajahan dulu. Kebangkitan Islam pada aras global dewasa ini memberi tambahan energi pada usaha mempertahankan posisi dominan ini. Dengan aspirasi Islami yang kuat seperti ini, misi pengkristenan yang dipikul orang Kristen tentu saja akan dipandang membahayakan eksistensi dan ketahanan umat Islam; dan tak terhindarkan lagi misi Kristen ini sedang dilawan umat Islam dengan segala cara, termasuk dengan tindak kekerasan yang melawan hukum yang dilakukan sebagian kecil umat Islam di Indonesia.
Pada masa kini di Indonesia, semua orang tahu, gerak misioner pengkristenan yang dilakukan orang Kristen sedang diawasi dan dipelajari oleh umat Islam. Nah, keadaan di lapangan yang semacam ini tentu mengharuskan orang Kristen melakukan pemeriksaan diri, dan menilai apakah misi pengkristenan masih relevan untuk dijalankan. Sebagai ganti misi pengkristenan, sudah seharusnya orang Kristen membangun dialog dengan orang dari kepercayaan lain, untuk sama-sama tiba pada kebenaran-kebenaran yang lebih agung. Beberapa orang Kristen tentu saja tidak bersedia berdialog dengan umat beragama lain; bagi mereka misi pengkristenan justru tepat dilakukan di Indonesia mengingat 85 persen penduduk Indonesia masih Islam.
Simbol fisik
Kehadiran umat Kristen di suatu kawasan dapat dengan mudah diidentifikasi melalui bangunan fisik gedung gereja yang dilengkapi dengan sebuah salib sebagai simbol Kristen yang mengacu pada Yesus Kristus yang mati disalibkan, yang menjadi inti sari iman Kristen. Bangunan gereja memang bisa dikenali langsung karena bentuknya yang khas dan karena simbol salib yang menjulang di atasnya. Ruko atau rukan yang di kota-kota besar di Indonesia kerap dijadikan tempat beribadah umat Kristen juga dapat dikenali sebagai gedung gereja karena simbol salib ini.
Karena gedung gereja yang dianggap sebagai rumah Allah dirasakan sangat penting dan bernilai dan simbol salib begitu bermakna, umat Kristen terdorong untuk membangun gedung gereja mereka beserta salibnya dengan megah dan menelan biaya besar. Bahkan sekarang ini di Jakarta ada sebuah gedung gereja yang baru dibangun dengan menghabiskan biaya, kabarnya, sampai trilyunan rupiah. Kalau biaya besar tersedia dan izin resmi membangun gedung gereja sudah dimiliki, memang tidak ada yang bisa mencegah pembangunan gedung gereja yang sangat besar sekalipun. Dengan membangun gedung gereja yang megah-megah, orang Kristen sebetulnya sedang memuliakan diri mereka sendiri (self-glorifying), lalu melupakan Yesus yang telah mati terhina di kayu salib, yang lambang kematiannya, ironisnya, dipasang menjulang tinggi di gedung-gedung megah gereja.
Ya, mereka berhak dan dapat membangun gedung-gedung gereja besar karena mereka mempunyai banyak uang yang dihimpun dari banyak sumber. Tetapi masalahnya adalah konteks sosial di mana bangunan gereja didirikan. Kalau sebuah gedung gereja dibangun di tengah suatu konteks kehidupan sosial umat Islam mayoritas, dan di situ tidak ada orang Kristen tinggal, munculnya kecurigaan pengkristenan dan kemarahan umat Islam di kawasan itu sudah harus diantisipasi. Orang Kristen pun bisa dipastikan akan menuduh tengah terjadi pengislaman bila di suatu daerah Kristen dibangun sebuah masjid sementara tidak ada satu pun orang Islam di daerah itu. Jadi, konteks sosial harus serius dipertimbangkan ketika umat-umat beragama di Indonesia mau membangun rumah ibadah mereka.
Di tengah berbagai konflik Islam-Kristen, sekian orang Islam telah mengingatkan bahwa orang Kristen di Indonesia harus tahu bagaimana membawa diri sebagai umat beragama minoritas. Orang dengan berbagai alasan hukum dan politik boleh tidak setuju dengan pernyataan yang memang memihak dan penuh prasangka ini. Namun yang sedang dihadapi orang Kristen dalam hal ini bukanlah pertama-tama masalah hukum dan politik yang rasional, melainkan suasana hati dan persepsi umat Islam yang dibentuk oleh banyak faktor sosio-ekonomis, suasana hati dan persepsi yang bisa tidak rasional dan karena itu bisa destruktif.
Mengingat pada aras nasional rakyat Indonesia masih sangat banyak yang miskin, dan mereka yang miskin ini sebagian besar adalah orang Islam dengan bangunan-bangunan masjid mereka yang bersahaja, sudah sepatutnya orang Kristen di Indonesia, yang tinggal di daerah maupun di kota besar, tidak membangun gedung-gedung besar dan mewah tempat ibadah mereka. Gedung gereja yang megah bisa menyampaikan pesan-pesan negatif kepada umat Islam, bahwa orang Kristen itu kaya raya tapi tidak peka dan tidak peduli pada nasib sebagian besar rakyat Indonesia yang beragama Islam, bahwa orang Kristen yang minoritas itu sedang dengan angkuh mempertontonkan kekuasaan dan kejayaan mereka, bahwa orang Kristen itu sedang bersiap-siap untuk mengkristenkan Indonesia secara besar-besaran. Daripada menimbulkan pesan-pesan negatif dan berbahaya ini, lebih baik dana besar yang mereka miliki digunakan untuk memberdaya rakyat miskin Indonesia dengan tanpa pamrih.
Fundamentalisme Kristen
Kita semua tahu, kalangan Islam yang paling sensitif terhadap beragam upaya pengkristenan di Indonesia adalah kalangan Islam garis keras yang terhimpun dalam sekian ormas Islam yang siap dimobilisasi setiap saat untuk berkonfrontasi terbuka di lapangan. Kita semua juga tahu, kalangan Kristen fundamentalis, karena fanatisme mereka, adalah kalangan yang paling tidak peka terhadap perasaan-perasaan umat Islam di Indonesia yang kebanyakan terkondisi untuk melihat diri sebagai umat yang sedang terancam oleh kekuatan-kekuatan global. Kalangan Islam fundamentalis sudah dengan terang-terangan ingin menjadikan syariat Islam sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena pengaruh gerakan pengkristenan global dari gereja-gereja di Barat, kalangan fundamentalis Kristen di Indonesia, seperti saudara-saudara mereka di Amerika Serikat, ingin juga menjadikan Yesus Kristus dan Alkitab yang dipandang sebagai firman Allah yang sempurna sebagai landasan membangun bangsa dan negara. Seorang pentolan kaum fundamentalis Kristen di Indonesia menyatakan bahwa jika ekonomi Indonesia didasarkan pada Yesus Kristus, ekonomi Indonesia akan jaya!
Jadi, fundamentalisme keagamaan memang merupakan masalah baik bagi umat Kristen maupun bagi umat Islam di Indonesia ketika kedua umat ini hendak bersama-sama membangun kerukunan di dalam suatu negara yang bukan negara sekuler dan juga bukan negara agama. Orang Kristen fundamentalis harus diingatkan, jika Indonesia mau dijadikan negara agama, Indonesia bagaimanapun akan berubah bukan menjadi negara Kristen, tapi negara Islam. Dan sebelum ini terjadi, tentu akan timbul banyak konflik. Jadi sebaiknya fundamentalisme keagamaan apapun dijauhi.