Sunday, April 17, 2022

Puisiku: Jumat Agung-Paskah 2022

 


Kosong...!



Orang besar atau orang kecil

Gajah besar atau kancil kecil

Konglomerat atau kere kerdil

Orang kota atau orang terpencil


Semua tak bisa luput

Dari penderitaan dan maut

Sejak lahir hingga usia larut

Dari kulit kencang hingga lunglai mengerut


Kala hidup dirasakan berat

Jiwa pun merana hebat

Hati hancur luluh lumat

Hidup pun dirasa tamat


Daya hidup hilang sirna 

Daya juang lenyap entah ke mana

Daya tempur nihil tiada

Langit kosong tanpa suara


Saat maut menunggu

Ketakutan hebat menyerbu

Rasa ngeri datang menggebu

Ketenangan jauh pergi berlalu


Apakah hidup memang harus demikian? 

Penderitaan menjadi penentu

Kematian musuh nomor satu

Jika begitu, siapakah yang mau dilahirkan?


Jika hidup hanya kekalahan

Jika penderitaan tak dapat dilawan

Jika kematian tak dapat ditaklukkan

Memang celaka jika kita dilahirkan


Dilahirkan hanya untuk menderita

Dilahirkan hanya untuk menangis lara

Dilahirkan hanya untuk mati merana

Dilahirkan tanpa tujuan yang bermakna


Duuh, jika betul begitu 

Semua yang ada di bawah langit

Hanyalah kesia-siaan yang sangat pahit!

Sesuatu yang membuat hati luarbiasa pilu!


Tapi, syukurlah, kehidupan tidak begitu

Sama sekali tak begitu

Tentu jika kita tahu jalan ke situ

Katamu, tunjukkanku jalan ke situ


Hai kawan, ke situ aku berjalan

Ke bukit Kalvari yang berbatu

Bukit yang membangkitkan rasa haru

Di situ, Yesus Tuhanku disalibkan


Di saat Yesus pedih disalibkan 

Merasakan sakit tak terkatakan 

Sekarat tak tertahankan

Dia memanggil Allah untuk mengulurkan tangan


Sang Putera Allah yang agung lestari

Telah masuk ke puncak derita insani

Direndahkan oleh penguasa dunia ini

Diaibkan lewat penyaliban sampai mati


Tetapi kekasih-kekasih Yesus Tuhanku

Memandang berbeda penyaliban Tuhanku

Di kayu salib Dia tidak diaibkan

Tetapi dari muka Bumi Dia ditinggikan 


Pada kayu salib di Golgota

Yesus mengalami derita manusia

Derita Yesus derita kita

Derita kita derita-Nya


Di saat kita sengsara

Kita tidak sendirian semata

Yesus ikut menderita

Bahkan Dia memikul derita kita

Kematian kita pun ditanggung-Nya


Orang-orang yang dikasihi Tuhan

Dan yang mengasihi-Nya

Tak pernah sendirian

Dalam menjalani kehidupan di dunia


Yesuslah sang Immanuel mahakudus

Allah yang selalu bersama orang-orang kudus

Allah dalam wujud insani kudus

Tirai Bait Allah sudah koyak ditembus


Lihatlah, Allah kini berada di tengah manusia!

Penuh kebenaran dan kasih karunia

Memandang Yesus yang mulia

Adalah memandang Allah dalam rupa manusia


Kasih karunia demi kasih karunia

Dicurahkan-Nya kepada kita

Tak pernah terhenti selamanya

Kita hidup dalam kasih karunia-Nya


Hidup kita menjadi bermakna

Bukan sesuatu yang sia-sia

Menjadi suatu kesempatan tiada tara

Untuk meneruskan kasih karunia dari sorga


Di hari Jumat Agung

Pada kayu salib yang menjulang

Wafatlah Tuhanku yang agung

Demi dosa-dosa kekasih-kekasih-Nya Dia tanggung


Kematian-Nya membebaskan kita

Kematian yang agung

Kematian yang selalu kita kenang

Kematian yang memberi hidup bagi kita


Kematian yang menghidupkan

Sekali untuk selamanya!


Tetapi kematian bukanlah akhir!


Di hari Paskah yang cemerlang menyentak

Allah sang Bapa bertindak

Yesus dibangkitkan

Kematian dikalahkan


Dalam tubuh kemuliaan

Tubuh yang tak dapat binasa lagi

Yesus sangat ditinggikan

Diangkat ke sorga mahatinggi


Kita memanggil-Nya,

"Oh, Yesus, Tuhan yang hidup, datanglah, berdiamlah bersama kami, sekarang, sampai selamanya."


Wahai orang-orang yang mengasihi

Dan dikasihi Yesus

Di dalam-Nya kehidupan ini bermakna dan suci

Jalanilah bersama Yesus!


Tak selamanya kita menderita

Sebab oleh Yesus, Tuhan kita

Penderitaan, kematian dan sengatnya, 

Sudah dibuat tak berdaya


Derita dan kematian bukanlah kata akhir

Akan selalu ada kebangkitan

Dalam kehidupan kita yang terus mengalir

"Jangan takut! Ini Aku, bersamamu berjalan!"


Hari Paskah, 17 April 2022


Happy Easter.

Selamat Paskah.



Monday, April 11, 2022

Hikmat jalan kaki pagi hari



Duduk bersila, melamun dalam, sampai tersenyum. Patung ini ditaruh di depan sebuah rumah, dan saya mengambil gambarnya di saat olah raga jalan kaki di suatu pagi hari. Sayang, topinya somplak di bagian depan.



Sejak dua atau tiga minggu lalu, saya kini berolah raga jalan kaki santai di pagi hari, mulai pukul 9 pagi. Selesai sampai di rumah kembali kurang lebih pukul 11 pagi. Jadi, total bisa sampai dua jam, mencakup 4 putaran terjauh di dalam komplek perumahan tempat kami tinggal. 

Mengapa saya mengambil waktu olah raga jalan kaki santai di pagi hari jam 9 hingga jam 11 pagi? Karena pada jam-jam ini Matahari memancarkan sinar UV yang terbaik untuk kesehatan tubuh kita, termasuk kesehatan tulang-tulang dan sendi-sendi kita.

Saya berjuang untuk sehat. Ya, literally saya berjuang untuk healthful. Sehat pikiran, dan sehat tubuh, sekaligus, tak dapat dipisah. 

Tapi, yang terpenting adalah sehat pikiran, sebab lewat pikiranlah kita pertama-tama membentuk diri dan kehidupan kita. Lewat pikiran kita jugalah, kita membentuk dunia ini.

Jika pikiran seseorang tidak sehat, atau rusak, maka, meski tubuh orang itu lahiriah sehat dan kuat, tetaplah orangnya rusak. Pikiran yang rusak melahirkan orang yang rusak. Dunia menjadi rusak karena pikiran orang-orang yang menghuninya rusak.

Karena itu, olah raga jalan kaki di pagi hari adalah kesempatan yang saya pakai untuk menyehatkan dan membangun pikiran saya. Caranya?

Ya, olah raga jalan kaki di pagi hari saya lakukan santai, rileks, tidak ngebut atau terburu-buru atau berlari-lari kencang. Ini bisa saya lakukan karena saya tidak bekerja formal lagi. Saya sudah tergolong lansia, dan sudah lama pensiun. 

Selain santai, jalan kaki pagi yang berdurasi total 2 jam itu saya jadikan suatu kegiatan rekreasi. Ya, betul-betul rekreasi.

Di sepanjang perjalanan 4 putaran, saya menikmati berbagai pemandangan, seperti melihat-lihat pepohonan dan buah-buahan yang menggantung. Saya mensyukuri adanya pepohonan di mana-mana yang mengeluarkan buah-buah beranekaragam. Saya juga mengagumi pepohonan kecil dan pepohonan besar, tinggi dan rimbun, yang berbuah dan yang tidak berbuah. 

Akar-akar yang rimbun berderet-deret panjang menggantung ke bawah, dari sebuah pohon beringin besar di sisi suatu jalan, kerap saya datangi dan pandang dengan menengadah. Bagian-bagian terbawah akar-akar gantung ini saya sentuh, usap-usap, dan jepit longgar di antara telunjuk dan jempol tangan-tangan saya yang selanjutnya saya gerakan ke bawah. Lalu saya merenungi apa yang sedang saya lihat dan lakukan. 

Setiap pagi hari, selalu muncul suatu perspektif baru tentang makna dan pesan alam yang disampaikan oleh pohon beringin itu, khususnya oleh akar-akar gantungnya yang terjulur ke bawah. Terjulur bak untaian rambut panjang yang diikat di belakang kepala seorang dewi yang sedang duduk di sebuah dahan besar pohon beringin itu. Tak sungkan, akar-akar gantung itu selalu saya ajak bicara dalam hati.

Acapkali memandang buah-buah pohon mangga atau pohon jambu bol, ingin saya memetiknya langsung dengan tangan. Tapi, sayangnya, lengan saya tak sampai. Nanti, beberapa tahun lagi, ketika saya sudah lebih gede, saya bayangkan lengan-lengan saya akan dapat memetik buah-buahan yang saya sekarang cuma bisa lihat.

Banyak lahan kosong di komplek perumahan tempat saya berdiam. Luas-luas. Ditumbuhi tanaman sayur-mayur yang pada waktunya dicabut-cabuti untuk dijual. Diurus oleh para tani yang selalu saya sapa jika saya sedang memandang lahan-lahan itu. Ngobrol sebentar dengan mereka.

Saya sempatkan diri juga untuk ngobrol pendek dengan satu atau dua pria penghuni rumah yang sedang mengurus burung-burung bersuara indah dalam sangkar masing-masing. Burung-burung itu sedang dijemur di bawah Mentari pagi.

Ketika saya bertanya kepada seorang pria, mengapa tidak olah raga jalan kaki di pagi hari, sambil membawa burung yang dipelihara, tanpa sangkar, tapi ditaruh di atas bahu, dibiarkan bertengger bebas di situ.

Pemeliharanya menjawab otomatis, Ya burungnya akan terbang lepas lalu hilang.

Saya berkata lagi. Jika hati si burung sudah menyatu dengan hati si pemeliharanya, sehingga ada bukan dua hati, tapi satu hati, maka burung itu akan mau diajak jalan kaki pagi dengan bertengger di bahunya, tidak akan terbang dan kabur menghilang. 

Tetapi jika masih ada dua hati yang terpisah, si burung pasti terbang menghilang jauh. Jika ini terjadi, biarkanlah si burung terbang bebas di luar sangkar, karena si burung tidak mencintai si pemeliharanya. Lepaskanlah si burung itu, meski harganya mahal. 

Nah, ketika saya sedang berjalan kaki di sisi kiri suatu jalan, di seberang kanan, sejauh 3 atau 4 meter dari saya, saya melihat seekor kucing sedang tiduran di bawah sebuah mobil yang sedang diparkir. Dekat pintu kanan mobil itu, sang supir duduk di sebuah bangku. 

Saya menyapa sang supir. Selamat pagi, Pak. Bekerja sebagai supir mobil itu ya? Dia menjawab. Ya, di depan saya rumah pemilik mobil ini. 

Lalu saya jongkok di sisi kiri jalan, tempat saya tadi berdiri. Lalu saya panggil kucing itu beberapa kali. Tangan saya melambai-lambai meminta si kucing mendatangi saya. Puss. Puss. Puss. Meong. Meong. Mari ke sini. Datangi aku. 

Sesaat kemudian, si kucing bangun, menatap ke saya. Lalu melangkah pelan sejauh 4 meter, menyeberang jalan, mendatangi saya. Lalu saya elus-elus dan belai kepala dan leher si kucing yang tampak kesenangan. Sang supir tertegun, tampak tak yakin, atas apa yang dilihatnya. Saya berkata lagi ke sang supir. Ajaib ya.

Lalu saya melanjutkan jalan kaki. Saya amati langkah kaki yang saya ayunkan, sambil menyadari keadaan di depan. Pikiran saya konsentrasikan pada hal-hal yang Tuhan telah karuniakan, dan segala kebaikan dan kasih sayang-Nya. Jalan kaki adalah doa juga.

Lazimnya, di akhir putaran keempat, saya mampir ke tempat mangkal para penjual buah-buahan dan sayur-mayur, tak jauh dari rumah kami. Saya ngobrol dengan mereka sejenak, lalu berbelanja, seperlunya saja.


11 April 2022



Thursday, March 3, 2022

Di Manakah Sepi Kujumpai?



Rangkullah aku, Yesus...!


DI MANAKAH SEPI KUJUMPAI?


Aku duduk bermeditasi
Pikiranku menerawang berlari
Aku mencari sepi
Di manakah sepi dapat kujumpai?

Aku terbang ke laut tanpa tepi
Pikirku, di laut, sepi berkenan kutemui
Tapi di sana ombak dan ikan ramai menari
Di sana tak ada sepi

Aku tiba di suatu gurun misteri
Di sanapun tak kusua sepi
Pasir gemuruh diterpa angin badai
Pandangan mata habis tertutupi

Dari gurun, aku lari ke hutan rimba
Hutan yang belum disentuh manusia
Aku yakin, di sana sepi akan kusua
Namun suara deru dedaunan kencang di sana

Tibalah aku di puncak gunung tertinggi dunia
Pikirku, pasti ada sepi di atas sana
Dugaanku salah ternyata
Para dewa ramai berbincang di atap dunia

Akhirnya, di suatu jalan setapak di Galilea
Berpapasan denganku tatap muka
Satu sosok berwajah bercahaya
Wajah Tuhan dalam wujud manusia

Nama-Nya Yesus, Tuhan penolong manusia
Tuhan yang telah mengosongkan diri-Nya
Tuhan yang telah menyepikan diri-Nya sendiri
Kosong sepi mahatinggi

Sang Sepi telah menjadi Hamba
Menanggung derita umat manusia
Lewat kematian-Nya, Dia sangat ditinggikan ke sorga
Menjadi Tuhan yang hidup mahaberada

Yesus, oh Yesus, Tuhanku
Aku menemukan sepi tiada tara di dalam-Mu
Sepi, ketenangan mahadalam
Di dunia yang riuh timbul-tenggelam

Di dalam rangkulan-Mu, Yesus, aku abadi terbenam
Hangat pelukan-Mu membuatku tenang tenteram
Beri aku bagian dalam sepi-Mu
Rindu aku menyatu penuh dengan-Mu

Ya, menyatu dengan sepi
Sepi yang tanpa tepi
Lautan keheningan mahaluas
Dan ketenangan tanpa batas

Tuhanku, Engkaulah segala wujud cinta 
Yang menenangkan jiwa sahaya
Engkaulah bagiku saudara, kakak, ayah, dan bunda
Yesus, rangkul dan peluk aku selamanya



Jakarta, 3 Maret 2022
ioanes rakhmat

☆ Hari Nyepi Bali,
Tahun Baru Saka 1944

Friday, February 18, 2022

Firman TUHAN, "Carilah wajah-Ku!" (Mazmur 27:8)

 


Ilustrasi wajah Musa bercahaya setelah dia bertatap muka dengan TUHAN Allah. Sumber gambar pixy.org


Sabda Yesus, "Carilah, maka kamu akan mendapatkan!"

Teks Mazmur 27:8-9a memuat kata-kata ini:

Hatiku mengikuti firman-Mu: "Carilah wajah-Ku." Maka wajah-Mu kucari, ya TUHAN. Janganlah menyembunyikan wajah-Mu kepadaku.

Juga ditulis bahwa orang yang mencari wajah TUHAN akan menerima berkat, keadilan dan keselamatan dari TUHAN (Mazmur 24:5-6).

Wajah TUHAN akan bercahaya atas diri para pencarinya, dan mereka akan diselamatkan oleh kasih setia-Nya (Mazmur 31:17).

Orang yang mencari wajah TUHAN akan hidup dalam doa dan kerendahan hati, dan  menjauhkan diri dari kejahatan, dan menerima pengampunan dosa (2 Tawarikh 7:14).

Bagi orang yang berdosa dan jahat, wajah TUHAN tersembunyi (Yesaya 59:2).

Terhadap orang yang  tidak setia, bersalah, durhaka dan najis, TUHAN menyembunyikan wajah-Nya (Yehezkiel 39:23-14).

Dalam Perjanjian Lama, setidaknya ada dua orang yang diceritakan telah melihat wajah TUHAN, berhadapan muka, yakni Musa (Keluaran 33:11) dan Yakub (Kejadian 32:30).

Tetapi kita tidak akan pernah tahu, bagaimana rupa wajah TUHAN yang telah dilihat oleh Musa dan Yakub. Hanya dalam kisah teologis anthropomorfik, TUHAN yang mahatakterbatas dapat digambarkan dalam rupa (morfē) manusia (anthrōpos). Hal yang sudah pasti adalah bahwa pada wajah TUHAN yang ditatap Musa, terdapat juga bagian-bagian wajah Musa sendiri. Begitu juga halnya dengan Yakub: ada wajah Yakub pada wajah TUHAN yang dilihatnya.

Sebetulnya, Yesus Kristus sebagai "sang Firman yang telah menjadi manusia (Yunani: "sarks", daging)", dan "diam di antara kita" (Yohanes 1:14) adalah penampakan wajah TUHAN yang paling jelas dan real dalam tradisi kepercayaan Yahudi-Kristen.

Saya lama berada dalam situasi in search of the face of God, mencari-cari wajah TUHAN. 

Puluhan tahun lalu, di masa remaja, ketika saya pertama kali berjumpa Yesus lewat pembacaan kitab-kitab Injil dalam Perjanjian Baru, saya percaya bahwa di dalam diri Yesus saya menemukan wajah TUHAN yang waktu itu saya cari-cari. 

Memandang wajah Yesus, bagi saya, adalah memandang wajah TUHAN Allah sendiri. Yesus sesungguhnya adalah wajah insani TUHAN Allah sendiri, sang Bapa. Jesus is the human face of God, the divine Father.

Oleh karena itulah, Yesus adalah sang Putera Allah sendiri yang menampakkan wajah sang Bapa. Sebagaimana halnya dengan bapa, begitu juga halnya dengan anak.

Hingga kini, di masa lansia, pengenalan saya terhadap Yesus telah bertambah dalam dan luas. Dus, pengenalan saya terhadap TUHAN Allah sang Bapa--- yang wajah-Nya yang dipenuhi cahaya kemuliaan terlihat pada wajah Yesus sendiri--- juga makin dalam dan luas.

Berikut ini saya dapat menyebutkan sedikitnya lima cahaya wajah TUHAN Allah yang terpancar dari wajah Yesus.

• Wajah Allah yang penuh kasih karunia, belas kasih dan kebenaran; 

• Wajah Allah yang penuh empati, berbelarasa, terhadap manusia, yang ikut menderita dan senantiasa mendampingi, ketika anak-anak-Nya sedang menderita; 

• Wajah Allah yang telah mengalahkan kesengsaraan manusia, yang --- lewat peninggian dan pemuliaan --- telah menang atas maut, menjadi Tuhan yang hidup, yang memancarkan cahaya dan memberi kehidupan, dari tempat yang mahatinggi, melintasi segala langit.

• Wajah Allah yang penuh kuasa untuk melindungi, menjaga, memelihara, dan menyelamatkan umat-Nya, orang seorang, dari segala kesulitan, bahaya, ancaman, sakit-penyakit dan berbagai kelemahan tubuh. 

• Wajah Allah yang menganugerahkan ketangguhan, daya tahan, daya juang, kegigihan, keuletan, ketabahan, dan kemenangan atas segala perkara yang dapat ditanggung karena Allah mencurahkan Roh Kudus-Nya kepada setiap anak-Nya yang mencari dan memohon pertolongan dan kekuatan.

Itulah lima cahaya sorgawi yang saya sedang alami memancar dari wajah Yesus untuk saya, wajah TUHAN Allah sendiri yang mahapengasih dan mahapenyayang.

Saya ingin terus mengenal lebih dalam dan lebih luas lagi, dari berbagai sudut pandang, wajah Allah yang saya telah temukan pada wajah Yesus. 

Ya, Yesus yang mengasihi saya dan yang saya kasihi, yang mengenal saya sedalam-dalamnya. Yang kepada-Nya saya mencurahkan isi hati, pikiran dan perasaan saya. Yesus sebagai Tuhan yang hidup, yang selalu menjaga, mengayomi dan menyelamatkan saya.

Saya tutup dengan sebuah doa pendek.

Ya, Yesus Tuhanku yang hidup, wajah sang Bapa, Engkau berdiam dalam diriku. Engkau juga melingkupi, menyelubungi, menaungi dan menyelimutiku, sehingga akupun berdiam di dalam Engkau. Jika Engkau berdiam di dalamku, dan selalu menyertai aku, maka segala badai dan gelora besar ombak laut kehidupan, akan mampu kutembus tanpa binasa, dan lewat hardikan-Mu, semuanya menjadi tenang teduh.


Jakarta, 18 Februari 2022

ioanes rakhmat 


*Diedit 29 Oktober 2024


Thursday, January 27, 2022

“Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Markus 15:34)

 


Kegelapan meliputi daerah itu selama tiga jam.... Image credit: Steve K. Image source: Fine Art America.


Di pagi hari, 26 Januari 2022, saya tergerak untuk memakai teks Markus 15:34 sebagai fokus kontemplasi saya.

Kita tahu, teks ini terkenal, memuat jeritan Yesus di saat Dia sedang sekarat di kayu salib, dan menganggap diri-Nya telah ditelantarkan Allah, Bapa-Nya.

Dengan suara nyaring, Yesus berseru, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”

Saya bertanya dalam kalbu, mengapa sebelum teks itu, penulis Injil Markus menulis bahwa “Pada jam dua belas, kegelapan meliputi seluruh daerah itu dan berlangsung sampai jam tiga.” (Markus 15:33).

Pada jam tiga inilah, Yesus berteriak memanggil Allah, Bapa-Nya, yang tidak dilihat-Nya ada bersama-Nya, tapi telah meninggalkan-Nya, jauh, entah ke mana, entah di mana.

Apa makna kegelapan selama tiga jam itu, sebelum Yesus menjerit pilu kepada Allah, lalu “dengan suara nyaring” Dia menyerahkan nyawa-Nya” (TB LAI. Markus 15:37)?

Ada banyak penafsir Injil Markus yang mengacu ke kisah tulah kesembilan (dari sepuluh tulah) yang berupa kegelapan, yang dijatuhkan Allah kepada orang Mesir (Keluaran 10:21-23), untuk menyatakan bahwa kegelapan selama tiga jam menjelang Yesus berteriak putus asa lalu mengerang kuat ketika sekarat kemudian mati di kayu salib adalah simbolik kemurkaan Allah atas penduduk dunia, yang ditimpakan atau “ditulahkan” Allah kepada Yesus sebagai sosok “kambing hitampemikul dosa dan kekerasan hati umat manusia.

Ya, mungkin ada rujukan sekilas dalam Markus 15:33 ke tulah kesembilan yang dikisahkan dalam Keluaran 10 tersebut. Tetapi terdapat beberapa perbedaan tajam antara tulah kegelapan selama “tiga hari” yang dialami orang Mesir dan kegelapan selama tiga jam di saat Yesus disalibkan.

Dalam kisah tulah kesembilan di kitab Keluaran 10, kegelapan berlangsung tiga hari, bukan tiga jam, dan meliputi seluruh tanah Mesir.

Selain itu, kegelapan di Mesir dialami semua orang Mesir, sedangkan orang Israel yang diperbudak di sana mengalami terang di masing-masing tempat kediaman mereka. Tentu saja, mustahil kita dapat membayangkan bagaimana tempat kegelapan (bagi seluruh orang Mesir) dan tempat terang (bagi orang Israel saja) dapat real terjadi dan muncul pada waktu yang bersamaan di negeri Mesir ketika tulah kesembilan dijatuhkan.

Dalam kisah penyaliban Yesus, pembedaan tempat gelap dan tempat terang tidak ada, tetapi, sebaliknya, dikatakan bahwa kegelapan “meliputi seluruh daerah itu” (TB LAI. Teks Yunani: ef holēn tēn gēn, “meliputi seluruh negeri/Bumi”, NRSV: “over the whole land/Earth”).

Tambahan pula, kegelapan selama tiga jam di saat Yesus disalibkan tidak disebut sebagai tulah.

Kalaupun kegelapan selama tiga jam ini dianggap sebagai tulah, mustinya tulah ini menimpa para pemimpin Yahudi yang berkolaborasi dengan penguasa Romawi di provinsi Yudea, yakni Gubernur Pontius Pilatus, untuk menghukum mati Yesus. Faktanya, tidak demikian: mereka aman-aman saja, bahkan memegang kendali atas situasi keamanan dan ketertiban di saat Yesus disalibkan.

Hal yang terpenting untuk diperhatikan adalah bahwa dalam kisah Markus tentang penyaliban Yesus, sama sekali tidak ada tafsiran bahwa kegelapan selama tiga jam adalah simbolik kemurkaan atau tulah Allah terhadap seisi dunia ini yang ditimpakan pada diri Yesus lewat penyaliban diri-Nya.

Jika tafsiran semacam itu dipaksakan pada teks Markus, maka Yesus yang tersalib, mau tak mau, harus dipandang sebagai sosok penanggung dan pemikul dosa dunia yang tidak ikhlas, yang telah kehilangan kepercayaan-Nya bahwa Allah, sang Bapa, masih bersama-Nya di kala Dia sedang tersiksa sangat berat.

Penting diketahui. Rujukan ke Yesaya 53:5-6 tidak ada dalam kisah penyaliban Yesus dalam Injil Markus. Rujukan ke Nyanyian Hamba Tuhan (yang keempat) dalam kitab Yesaya (Yesaya 52:13-53:12) ditemukan pada 1 Petrus 2:24 (“Dia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya kamu telah sembuh.”).

Jika demikian, kegelapan selama tiga jam di saat Yesus disalibkan musti punya makna lain. Kegelapan ini tak dapat dipisahkan dari teriakan nyaring Yesus bahwa diri-Nya telah ditinggalkan Allah, sang Bapa.

Pada pihak lain, menurut penulis Injil Markus, teriakan keterlantaran Yesus itu ditafsir beberapa orang yang berdiri dekat Yesus yang tersalib sebagai panggilan Yesus kepada nabi Elia untuk menurunkan-Nya (Markus 15:35-36). Tentu saja, ini suatu tafsiran yang salah, yang dapat ditimbulkan oleh kesalahan atau kerancuan mendengarkan seruan keras Yesus dalam bahasa Ibrani (diambil dari Mazmur 22:2) Elôi, Elôi, lama sabakhtani?, yang sebenarnya berarti “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”, bukan Elia, Elia, mengapa engkau meninggalkan Aku?

Jika teriakan keterlantaran Yesus di saat Dia disalibkan dipahami tak terpisah dari kegelapan yang berlangsung selama tiga jam (angka tiga mau menegaskan kegelapan yang segelap-gelapnya), maka kegelapan perlu dipahami figuratif, yakni sebagai langit atau sorga yang tertutup, tak terlihat, dus Allah menghilang. Segalanya jadi gelap.

Keadaan itu berbeda dari keadaan di saat Yesus baru dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Menurut penulis Injil Markus, di saat itu “langit terkoyak” (TB LAI), sorga terbuka, dan “Roh seperti burung merpati turun ke atas” Yesus. Allah dialami kehadiran-Nya oleh Yesus, yang lewat pembaptisan dilantik atau diadopsi oleh Allah sebagai sang Anak Allah sendiri. Terdengar suara dari sorga, langsung untuk Yesus, dari balik langit yang terbuka: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” (Markus 2:9-11).

Dengan demikian, kegelapan di saat Yesus disalibkan menunjuk pada kegelapan mata batin Yesus, yang membuat-Nya tidak dapat menemukan dan melihat kehadiran Allah, sang Bapa, ketika Dia sedang menderita luarbiasa berat, sedang sekarat.

Tubuh Yesus kesakitan luar biasa. Mata mental tertutup. Mata hati tak bisa melihat lagi. Semuanya menjadi gelap. Maka berteriaklah Yesus, dengan suara keras, memanggil-manggil Allah yang tidak dilihat kehadiran-Nya oleh Yesus.

Benarkah Allah telah menghilang, telah meninggalkan Yesus di saat Yesus, sang Putera Allah yang diperkenan Allah, sedang sekarat di kayu salib? Mari, kita cari jawabannya. Pasti ada.

Selain simbolik kegelapan yang tergelap dan luas, juga ada simbolik lain yang kaya makna dalam kisah penyaliban Yesus. Yakni simbolik tirai atau tabir Bait Allah terbelah dua (Markus 15:38).

Tak ada lagi tirai pemisah Ruang Maha Kudus dalam Bait Suci dari ruang-ruang lainnya, termasuk dunia di luar Bait Suci.

Allah tidak lagi berdiam dalam batas-batas Ruang Maha Kudus. Allah hadir di luar Bait Suci. Allah menjadi mahahadir dan mahaberada. Kemuliaan-Nya tak bisa lagi dikurung dalam Bait Allah, tetapi meluas, memenuhi segala sesuatu, meliputi langit dan Bumi.

Memakai kosakata Yudaisme rabbinik pasca-tahun 70 M, Shekinah (kata benda Ibrani feminin) atau cahaya kehadiran kemuliaan Allah memancar di mana-mana, di segala ruang dan waktu, mahahadir dan mahaberada. Tidak lagi terbatas di dalam Bait Allah yang pada tahun 70 M (saat Injil Markus ditulis) sudah dihancurkan oleh pasukan Romawi dalam Perang Yahudi Pertama (66-70/74 M).

Lalu, apakah ada hubungan antara simbolik tirai Bait Allah yang terkoyak, dari atas hingga ke bawah, dan Yesus yang tersalib, yang sedang sekarat dan tidak bisa lagi melihat Allah, sang Bapa-Nya?

Ada hubungan yang sangat penting antara keduanya. Ada makna teologis penting di situ yang disampaikan Markus.

Di saat Yesus sedang sekarat di kayu salib, Allah sang Bapa-Nya, atau Shekinah, sebetul-betulnya tetap hadir, tetap mahaberada. Allah hadir dalam suatu kehadiran yang total, dengan menyatu penuh dengan diri Yesus yang sedang sengsara berat. Allah tidak terpisah.

Allah sang Bapa ikut menderita dalam penderitaan berat yang sedang ditanggung Yesus. Allah ikut menanggung kesengsaraan Yesus. Allah, sang Bapa, berbelarasa, ikut menderita, di saat Yesus sangat menderita dan sekarat. Untuk Yesus yang sedang sekarat tersalib, Allah menjadikan diri-Nya the compassionate God, Allah yang ikut menderita.

Derita sang Anak adalah derita sang Bapa. Sebaliknya juga, derita sang Bapa adalah derita Yesus, sang Anak. Hal ini benar, bahkan ketika Yesus tidak menyadari kesatuan sang Bapa dalam penderitaan Yesus, meski Yesus menduga Allah telah meninggalkan diri-Nya. Sampai akhirnya, Yesus menghembuskan nafas-Nya yang penghabisan(Markus 15:37. Yunani: eksepneusen. TB LAI: “menyerahkan nyawa-Nya).

Kisah Yesus yang mengalami kegelapan batin dan konflik mental di saat Dia sedang sangat sengsara, sehingga Dia merasakan langit telah runtuh, Allah di sorga telah tidak ada lagi, pergi jauh, adalah kisah kita semua, anak-anak insani Allah, sang Bapa.

Ini adalah kisah representasional, kisah yang mewakili kisah-kisah kehidupan semua anak manusia, di segala zaman dan tempat, dari abad ke abad, ketika manusia memutuskan untuk hidup beriman dan percaya pada Allah sang Bapa dalam dunia yang dipenuhi berbagai penderitaan, ringan, berat dan sangat berat, dari manapun penderitaan ini datang dan timbul.

Allah ada di dalam penderitaan anak-anak-Nya. Penderitaan tidak bisa memisahkan Allah dari anak-anak-Nya. Allah, juga Yesus, tahu apa artinya kesengsaraan, dan tahu apa yang dapat ditimbulkannya terhadap keadaan mental dan batin manusia. Di dalam penderitaan Yesus, Allah, sang Bapa, tahu apa itu rasa putus asa dan rasa kecewa, dan tahu apa itu sekarat. Allah, sang Bapa, menjadi sungguh-sungguh insani.

Jika Allah sang Bapa telah menyatu dengan penderitaan kita, luarbiasa berat sekalipun penderitaan kita itu, kita akan tetap berpengharapan meski rasa putus asa masih dapat membayangi. 

Ya, sebab Allah, Bapa sorgawi kita, lebih besar dari penderitaan apapun. Akan muncul dan datang hari yang baru, hari kemenangan, apapun bentuk kemenangan ini. 

There is always a new day, the day of hope and victory, amid our agonies.

Ini adalah kisah teologis yang besar, agung dan abadi. Kisah teodise paradoksal.


Jakarta, 27 Januari 2021
ioanes rakhmat