Tuesday, May 25, 2010

Kurban Yesus dalam Surat Ibrani

by Ioanes Rakhmat

Penulis Surat kepada Orang Ibrani (selanjutnya ditulis: Surat Ibrani) melihat dirinya sedang berada di antara dua masa, yakni zaman akhir (epeskhatou tōn hēmerōn [1:2], atau episunteleiai tōn aiōnōn [9:26]) dan saat kedatangan kembali Yesus (9:28b). Dalam pandangannya, zaman akhir adalah zaman ketika Allah berbicara kepada manusia melalui perantaraan Anak-Nya, yaitu Yesus (1:2); dan baginya “sudah dekat” (10:25, 37) saatnya Yesus akan datang lagi “untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka yang menantikan Dia” (9:28b).



kemah ritual kurban dalam agama Israel kuno

Di antara dua masa ini, orang-orang Ibrani penerima suratnya ini diindikasikan olehnya sedang mengalami banyak penderitaan dan kesulitan (10:31-34). Dalam situasi berat semacam ini, si penulis meminta mereka untuk “jangan melepaskan kepercayaan” (10:35), “jangan lemah dan jangan berputus asa” (12:3), tetapi tetap “hidup oleh iman” (10:38). Untuk menggambarkan ihwal bagaimana hidup beriman, si penulis dalam pasal 11 merujuk ke sejumlah orang beriman yang hidup dalam zaman purbakala dan dalam sejarah Israel kuno. Meskipun orang-orang zaman lampau yang disebutnya ini telah menunjukkan kehidupan beriman yang patut diteladani, baginya “tanpa kita mereka tidak dapat sampai kepada kesempurnaan (hina mē khōris hēmōn teleiōthōsin)” (10:40). Yang dimaksud dengan “kita” dalam 10:40 adalah orang-orang Ibrani yang telah menerima Surat Ibrani ini, yaitu orang-orang Ibrani yang telah beriman kepada Yesus. Dibandingkan dengan orang-orang Ibrani lainnya yang tidak percaya kepada Yesus, kalangan penerima surat ini dipandang si penulisnya berkedudukan lebih tinggi dan telah mencapai kesempurnaan iman, sebab Yesus yang mereka percayai adalah “pemimpin dan penyempurna iman” (arkhēgon, teleiōtēn [12:2]) sementara “hukum Taurat sama sekali tidak membawa kesempurnaan” (7:19a). Dengan demikian, kekristenan yang dihayati si penulis Surat Ibrani ini dipandang olehnya lebih tinggi kedudukannya dibandingkan agama para nenek moyang bangsa Israel. Berhadapan dengan agama Yahudi, superiorisme dan supersesionisme Kristen dipegang dan dipertahankannya.

Mengapa si penulis Surat Ibrani memandang versi kekristenan yang dipegangnya lebih unggul dan sempurna dibandingkan agama Yahudi? Jawaban atas pertanyaan ini ditemukan dalam kristologi yang dipegang olehnya. Dalam pasal 1, Yesus dipandang olehnya memiliki pra-eksistensi, sebagai suatu “Oknum” adikodrati yang menjadi agen penciptaan dunia bersama Allah: “melalui Dia Allah telah menjadikan alam semesta” (1:2); Yesus adalah “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud (kharaktēr tēs hupostaseōs) Allah yang menopang segala yang ada dengan firman-Nya” (1:3). Meskipun Yesus pernah “dalam waktu yang singkat dibuat lebih rendah dari pada malaikat-malaikat” (2:9a), yaitu ketika Dia “sebagai manusia” (5:7), namun setelah dia “selesai melakukan penyucian dosa, Dia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi, jauh lebih tinggi dari pada malaikat-malaikat” (1:3b-4). Kalau bagi bangsa Yahudi Nabi Musa menempati kedudukan tertinggi sebagai seorang yang suci, bagi si penulis Surat Ibrani kemuliaan Yesus “lebih besar dari kemuliaan Musa” (3:3). Kalau Musa diibaratkan sebagai “rumah yang dibangun”, Yesus adalah ahli bangunannya atau arsiteknya (3:3b); kalau Musa diibaratkan sebagai “pelayan rumah Allah”, Yesus dipandangnya sebagai “Anak yang mengepalai rumah-Nya” (3:5-6). Gelar Anak (atau Anak Allah) untuk Yesus ditemukan juga dalam 1:2; 4:14; 5:5, 8; 6:6; 7:28.

Selain gelar-gelar yang sudah disebut di atas, beberapa gelar lain diberikan si penulis Surat Ibrani kepada Yesus: Rasul Allah (3:1); Kristus (5:5; 9:11, 14, 24; 13:8); Gembala Agung segala domba (13:20). Di beberapa tempat Yesus juga disebut sebagai Tuhan (kurios [2:3; 10:25; 13:20]). Tetapi gelar terpenting yang diberikan kepada Yesus adalah gelar Imam Besar; dan pada gelar inilah berpusat kristologi yang membuat si penulis Surat Ibrani menempatkan versi khas kekristenannya lebih tinggi dari agama Yahudi.

Jabatan imam besar adalah jabatan kultik terpenting dan tertinggi dalam ritual keselamatan Yahudi yang dinamakan Yom Kippur, Hari Pendamaian (hari kesepuluh bulan Tishri; akhir September atau awal Oktober). Imam besar adalah sosok kultik satu-satunya yang memungkinkan ritual pencucian dosa bangsa Israel setahun sekali pada Yom Kippur dijalankan, dengan aturan dan prosedur ritual yang sudah dibakukan, dengan darah lembu jantan atau darah domba jantan menjadi sarana ritual terpenting yang dipercik ke tengah umat oleh imam besar sebagai suatu ritual simbolik penghapusan dosa umat (lihat Imamat 16:1-34; 23:26-32; Ibrani 9:19; 10:4).

Dalam pandangan si penulis Surat Ibrani, meskipun Yesus dilantik oleh Allah sebagai Anak Allah atau Raja Israel (Ibrani 5:5; kutipan dari Mazmur 2:7), namun yang terpenting baginya adalah bahwa Yesus “dipanggil” oleh Allah untuk menjadi Imam Besar menurut peraturan Melkisedek (5:1-10; khususnya ayat 6 yang memuat kutipan Mazmur 110:4; dan Ibrani 5:10). Peraturan Melkisedek yang dimaksud olehnya adalah bahwa status Yesus sebagai Imam Besar ditetapkan oleh Allah untuk berlaku kekal sampai selama-lamanya, dan berdasarkan kehidupan yang tidak dapat binasa (5:6; 6:20; 7:3; 7:16-17; 7:21, 24). Status sebagai Imam Besar yang kekal dan tidak bisa binasa dimungkinkan dimiliki Yesus karena status ini disandang Yesus di surga. Si penulis menyatakan, “Sekiranya Dia [Yesus] di bumi ini, Dia sama sekali tidak akan menjadi imam” (8:4).

Sebagai Imam Besar surgawi, Yesus duduk di sebelah kanan Allah di surga (8:1; lihat juga 1:3; 10:12; 12:2) dan melayani ibadah di “tempat kudus” atau di “kemah sejati” atau “kemah yang lebih besar dan yang lebih sempurna”, yang didirikan oleh Allah dan bukan oleh manusia (8:2; 9:11). Di surga, Yesus sebagai Imam Besar menjalankan fungsi sebagai “Juru syafaat” (TB LAI: Pengantara) (entugkhanō ) manusia (7:25; bdk 9:24). Dan di surga juga, Yesus menjadi sang Pengantara (ho mesitēs) perjanjian yang lebih mulia, yang didasarkan pada suatu janji yang lebih tinggi, yaitu perjanjian baru (diathēkē kainē) (8:6-13; juga 9:15; 10:9; 12:24). Dengan tibanya perjanjian yang baru ini, maka perjanjian yang Allah buat dengan nenek moyang Israel menjadi suatu perjanjian yang “telah menjadi tua, usang dan dekat pada kemusnahan” (8:13) dan harus “dihapuskan” (10:9) — suatu pelabelan yang sangat keras yang dibuat si penulis Surat Ibrani terhadap Yudaisme, berhadap-hadapan dengan versi khas kekristenan yang dibangunnya.

Dengan memakai sudut pandang Platonis dan hermeneutik tipologis, si penulis menyatakan bahwa ritual imamat pemberian kurban yang dilangsungkan di bumi, yang terpusat di Bait Allah Yerusalem, adalah “replika” (TB LAI: “gambaran”) (hupodeigmati) dan “bayangan” (skia) (8:5) (antitupos, dalam 9:24) dari ibadah yang berlangsung di surga, di kemah sejati yang dibuat bukan oleh tangan manusia tetapi oleh Allah, dan dilayani oleh Yesus sebagai Imam Besarnya. Di kemah sejati di surga ini, ibadah imamat yang dilayani Yesus sudah sempurna: Yesus sebagai Imam Besar yang kekal tidak lagi perlu berulang-ulang mempersembahkan kurban binatang dan memercikkan darah, tidak seperti yang berlangsung di bumi di “kemah pertama” buatan tangan manusia, di mana “kurban yang sama setiap tahun terus-menerus dipersembahkan” (10:1b; bdk 9:6-7). Dalam pandangan si penulis Surat Ibrani, Yesus sang Imam Besar surgawi “telah melintasi kemah yang lebih besar dan yang lebih sempurna, yang bukan dibuat oleh tangan manusia, artinya: yang tidak termasuk ciptaan ini, dan Dia telah masuk satu kali untuk selamanya (efapaks; lihat juga 7:27; 9:26, 28; ) ke dalam tempat yang kudus bukan dengan membawa darah domba jantan dan darah anak lembu, tetapi dengan membawa darah-Nya sendiri” (9:11-12). Gambaran tentang Imam Besar yang mengurbankan dirinya sendiri semacam ini tentu unik dalam versi kekristenan yang dibangun si penulis Surat Ibrani, tetapi tentu saja tidak bisa diterima dalam sistem imamat agama Yahudi yang di dalamnya ritual penyembelihan hewan kurban yang dipimpin imam besar adalah bagian esensial dari sistem kepercayaan mereka.

Selanjutnya si penulis Surat Ibrani menyatakan, “Sebab, jika darah domba jantan dan darah lembu jantan dan percikan abu lembu menguduskan mereka yang najis, sehingga mereka disucikan secara lahiriah, betapa lebihnya darah Kristus —yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat—akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup” (9:13-14). Jadi, darah Kristus memiliki kekuatan dan keampuhan yang lebih besar dari darah binatang kurban dalam menyucikan hati nurani manusia; bahkan, ditegaskan oleh si penulis surat Ibrani, “tidak mungkin darah lembu jantan atau darah domba jantan menghapuskan dosa” (10:4). Dengan demikian, ritual imamat pencucian dosa yang dilangsungkan dalam Yudaisme dikalahkan oleh ibadah surgawi yang dilayani Yesus sebagai Imam Besar surgawi. Maka, tandas si penulis Surat Ibrani, lagi dengan memakai sudut pandang Platonis, “Di dalam hukum Taurat hanya terdapat bayangan (skia) saja dari hal-hal (TB LAI: keselamatan) yang akan datang, dan bukan wujud sejati (eikōn) (TB LAI: hakikat) dari hal-hal itu sendiri” (10:1). “Hal-hal yang akan datang” ini mengacu kepada ibadah di kemah surgawi yang dilayani Yesus sebagai Imam Besar surgawi; dan “hal-hal yang akan datang ini” tidak akan terwujud atau belum akan tiba “selama kemah yang pertama ini masih ada” (9:8). Rujukan temporal kepada kemah yang pertama ini memberi sebuah indikasi bahwa si penulis Surat Ibrani, yang membayangkan Yesus sebagai Imam Besar sudah berada di surga, hidup pada masa Bait Suci di Yerusalem sudah tidak ada, kurun waktu pasca-tahun 70 M.

Pertanyaan: Kapan persisnya Yesus sebagai Imam Besar “mempersembahkan dirinya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat” dengan “membawa darahnya sendiri”? Di surga jelas hal ini tidak mungkin dilakukan. Si penulis Surat Ibrani dengan jelas menyatakan bahwa hal ini Yesus lakukan ketika dia mengalami penderitaan dan kematian, disalibkan di bumi (2:9, 10, 14; 6:6; 12:2). Tetapi, bagaimana menghubungkan penderitaan dan kematian Yesus yang berlangsung di bumi dengan statusnya sebagai Imam Besar surgawi yang melayani di kemah sejati surgawi yang bukan buatan tangan manusia dan di sana dia menjadi Juru syafaat bagi manusia di hadapan Allah? Jawaban atas pertanyaan ini ditemukan pada satu bagian penting pasal 4, di mana dinyatakan bahwa Yesus sebagai Imam Besar “telah melintasi semua langit” (dielēluthota tous ouranous) (ayat 14). Yesus yang “melintasi semua langit” adalah gambaran yang digunakan si penulis Surat Ibrani untuk menghubungkan peristiwa penyaliban Yesus dengan keberadaannya di surga, di mana dia duduk si sebelah kanan Allah, dan melayani ibadah di kemah surgawi yang dibuat oleh Allah. Peristiwa penyaliban dan kematian Yesus bagi si penulis Surat Ibrani, dengan demikian, adalah saat Yesus melintasi semua langit, lalu memasuki kawasan surgawi dan duduk di sebelah kanan Allah. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa si penulis Surat Ibrani tidak satu kali pun menyebut-nyebut ihwal kebangkitan Yesus (bdk 13:20!), suatu tema sentral dalam hampir seluruh Perjanjian Baru. Selain itu, saat kematian Yesus sebagai jalan dia melintasi semua langit adalah juga saat dia dilantik menjadi Imam Besar surgawi menurut peraturan Melkisedek.

Apakah Yesus sendiri berprakarsa untuk “mencuci”, “menghapuskan”, “mendamaikan dosa” “banyak orang” (9:28) atau dosa “seluruh bangsa” (2:17) dan “menguduskan umat” (13:12) dengan dia “mempersembahkan dirinya sendiri sebagai kurban” (7:27; 9:12, 14, 25, 28; 10:12), sehingga pengurbanan Yesus di kayu salib keluar dari kehendak bebasnya sendiri dan bukan bagian dari rencana dan ketetapan Allah sendiri? Jawabnya: Tidak! 

Menurut si penulis Surat Ibrani, tindakan Yesus sebagai Imam Besar yang mempersembahkan dirinya sendiri sebagai kurban tidak dapat dilepaskan dari kehendak dan keterlibatan Allah sendiri. Menurutnya, pada zaman akhir, 
  • Allah telah berbicara kepada manusia dengan perantaraan Yesus, Anak-Nya, yang Dia telah tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada (1:2); 
  • melalui kasih karunia Allah, Yesus mengalami maut bagi semua orang (2:9); 
  • Allah menyempurnakan Yesus dengan penderitaan (2:10); 
  • Allah harus menyamakan Yesus dengan orang-orang lain saudara-Nya supaya dia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia kepada Allah (2:17); 
  • Yesus setia kepada Allah yang telah menetapkannya (3:1-2); 
  • sebagai Imam Besar, Yesus dimuliakan oleh Allah (5:5); 
  • Allah menetapkan dan memanggil Yesus untuk menjadi Imam Besar (5:10; 7:11, 18, 28); 
  • Allah bersumpah mengangkat dan menjadikan Yesus Imam Besar menurut peraturan Melkisedek (7:21). 
Pada sisi lain, si penulis Surat Ibrani juga menggambarkan pergumulan berat yang harus dipikul Yesus sampai pada penyalibannya (5:7-10); jadi salib bagi Yesus bukanlah hal yang mudah dan ringan, yang dipikulnya dengan rela dan ringan-ringan saja. Dan jangan dilupakan, Yesus dari Nazareth tentu saja bukan betulan seorang Imam Besar surgawi yang dengan rela memberikan darahnya sendiri. Realitanya di dunia empiris, Yesus dari Nazareth adalah seorang korban dari sistem politik Roma yang berlaku pada masanya. 

Jelas sudah, ada banyak topik teologis dalam Surat Ibrani yang membuat kita harus menyimpulkan bahwa versi kekristenan yang dibangun si penulisnya dipandangnya sebagai versi kekristenan yang mengungguli Yudaisme, dan bahkan menggantikannya. Pemberian gelar kepada Yesus sebagai Imam Besar menurut peraturan Melkisedek yang memberi dirinya sendiri sebagai kurban satu kali untuk selamanya, betul-betul menyepelekan fungsi imamat dalam agama Yudaisme. 

Tetapi, pada pihak lain, dalam konteks pasca-tahun 70 M ketika Bait Allah di Yerusalem sudah tidak ada, sehingga ritual kurban tidak bisa lagi dijalankan dan fungsi imamat terhenti, memandang Yesus sebagai sang Imam Besar surgawi yang kekal adalah suatu upaya berteologi yang brilian karena dengan cara ini jabatan Imam Besar dipertahankan kendatipun untuk itu ibadah yang dilayani Yesus harus dipindahkan dari bumi ke surga, dan Bait Allah di bumi yang dibuat manusia diganti dengan kemah surgawi yang lebih besar dan kekal. Dengan kata lain, sekalipun supersesionisme dan superiorisme si penulis Surat Ibrani tampak mencuat tajam, namun dalam konteks pasca-tahun 70 M, versi kekristenannya yang khas adalah juga suatu penjelmaan lain dari Yudaisme yang diproyeksikan ke kawasan surga adikodrati.

Wednesday, April 28, 2010

George Weigel's Open Letter to Hans Küng (Dated April 21, 2010)

“I shall be happy to read Weigel's response, but the more the Catholic Church tries to spin the molestation scandal, the more obvious it becomes that they are in the business of trying to make the absolutely unbelievable into the believable and the believed. What's next? Flat Earthism? Oh yeah, they already promoted (and dropped) that one.” (Robert M. Price's remark)

An Open Letter to Hans Küng
Apr 21, 2010
by George Weigel


Dr. Küng:

A decade and a half ago, a former colleague of yours among the younger progressive theologians at Vatican II told me of a friendly warning he had given you at the beginning of the Council’s second session. As this distinguished biblical scholar and proponent of Christian-Jewish reconciliation remembered those heady days, you had taken to driving around Rome in a fire-engine red Mercedes convertible, which your friend presumed had been one fruit of the commercial success of your book, The Council: Reform and Reunion.

This automotive display struck your colleague as imprudent and unnecessarily self-advertising, given that some of your more adventurous opinions, and your talent for what would later be called the sound-bite, were already raising eyebrows and hackles in the Roman Curia. So, as the story was told me, your friend called you aside one day and said, using a French term you both understood, “Hans, you are becoming too evident.”

As the man who single-handedly invented a new global personality-type—the dissident theologian as international media star—you were not, I take it, overly distressed by your friend’s warning. In 1963, you were already determined to cut a singular path for yourself, and you were media-savvy enough to know that a world press obsessed with the man-bites-dog story of the dissenting priest-theologian would give you a megaphone for your views. You were, I take it, unhappy with the late John Paul II for trying to dismantle that story-line by removing your ecclesiastical mandate to teach as a professor of Catholic theology; your subsequent, snarling put-down of Karol Wojtyla’s alleged intellectual inferiority in one volume of your memoirs ranked, until recently, as the low-point of a polemical career in which you have become most evident as a man who can concede little intelligence, decency, or good will in his opponents.

I say “until recently,” however, because your April 16 open letter (click here) to the world’s bishops, which I first read in the Irish Times, set new standards for that distinctive form of hatred known as odium theologicum and for mean-spirited condemnation of an old friend who had, on his rise to the papacy, been generous to you while encouraging aspects of your current work.

Before we get to your assault on the integrity of Pope Benedict XVI, however, permit me to observe that your article makes it painfully clear that you have not been paying much attention to the matters on which you pronounce with an air of infallible self-assurance that would bring a blush to the cheek of Pius IX.

You seem blithely indifferent to the doctrinal chaos besetting much of European and North American Protestantism, which has created circumstances in which theologically serious ecumenical dialogue has become gravely imperiled.

You take the most rabid of the Pius XII-baiters at face value, evidently unaware that the weight of recent scholarship is shifting the debate in favor of Pius' courage in defense of European Jewry (whatever one may think of his exercise of prudence).

You misrepresent the effects of Benedict XVI’s 2006 Regensburg Lecture, which you dismiss as having “caricatured” Islam. In fact, the Regensburg Lecture refocused the Catholic-Islamic dialogue on the two issues that complex conversation urgently needs to engage—religious freedom as a fundamental human right that can be known by reason, and the separation of religious and political authority in the twenty-first century state.

You display no comprehension of what actually prevents HIV/AIDS in Africa, and you cling to the tattered myth of “overpopulation” at a moment when fertility rates are dropping around the globe and Europe is entering a demographic winter of its own conscious creation.

You seem oblivious to the scientific evidence underwriting the Church’s defense of the moral status of the human embryo, while falsely charging that the Catholic Church opposes stem-cell research.

Why do you not know these things? You are an obviously intelligent man; you once did groundbreaking work in ecumenical theology. What has happened to you?

What has happened, I suggest, is that you have lost the argument over the meaning and the proper hermeneutics of Vatican II. That explains why you relentlessly pursue your fifty-year quest for a liberal Protestant Catholicism, at precisely the moment when the liberal Protestant project is collapsing from its inherent theological incoherence. And that is why you have now engaged in a vicious smear of another former Vatican II colleague, Joseph Ratzinger. Before addressing that smear, permit me to continue briefly on the hermeneutics of the Council.

While you are not the most theologically accomplished exponent of what Benedict XVI called the “hermeneutics of rupture” in his Christmas 2005 address to the Roman Curia, you are, without doubt, the most internationally visible member of that aging group which continues to argue that the period 1962–1965 marked a decisive trapgate in the history of the Catholic Church: the moment of a new beginning, in which Tradition would be dethroned from its accustomed place as a primary source of theological reflection, to be replaced by a Christianity that increasingly let “the world” set the Church’s agenda (as a motto of the World Council of Churches then put it).

The struggle between this interpretation of the Council, and that advanced by Council fathers like Ratzinger and Henri de Lubac, split the post-conciliar Catholic theological world into warring factions with contending journals: Concilium for you and your progressive colleagues, Communio for those you continue to call “reactionaries.” That the Concilium project became ever more implausible over time—and that a younger generation of theologians, especially in North America, gravitated toward the Communio orbit—could not have been a happy experience for you. And that the Communio project should have decisively shaped the deliberations of the 1985 Extraordinary Synod of Bishops, called by John Paul II to celebrate Vatican II’s achievements and assess its full implementation on the twentieth anniversary of its conclusion, must have been another blow.

Yet I venture to guess that the iron really entered your soul when, on December 22, 2005, the newly elected Pope Benedict XVI—the man whose appointment to the theological faculty at Tübingen you had once helped arrange—addressed the Roman Curia and suggested that the argument was over: and that the conciliar “hermeneutics of reform,” which presumed continuity with the Great Tradition of the Church, had won the day over “the hermeneutics of discontinuity and rupture.”

Perhaps, while you and Benedict XVI were drinking beer at Castel Gandolfo in the summer of 2005, you somehow imagined that Ratzinger had changed his mind on this central question. He obviously had not. Why you ever imagined he might accept your view of what an “ongoing renewal of the Church” would involve is, frankly, puzzling. Nor does your analysis of the contemporary Catholic situation become any more plausible when one reads, further along in your latest op-ed broadside, that recent popes have been “autocrats” against the bishops; again, one wonders whether you have been paying sufficient attention. For it seems self-evidently clear that Paul VI, John Paul II, and Benedict XVI have been painfully reluctant—some would say, unfortunately reluctant—to discipline bishops who have shown themselves incompetent or malfeasant and have lost the capacity to teach and lead because of that: a situation many of us hope will change, and change soon, in light of recent controversies.

In a sense, of course, none of your familiar complaints about post-conciliar Catholic life is new. It does, however, seem ever more counterintuitive for someone who truly cares about the future of the Catholic Church as a witness to God’s truth for the world’s salvation to press the line you persistently urge upon us: that a credible Catholicism will tread the same path trod in recent decades by various Protestant communities which, wittingly or not, have followed one or another version of your counsel to a adopt a hermeneutics of rupture with the Great Tradition of Christianity. Still, that is the single-minded stance you have taken since one of your colleagues worried about your becoming too evident; and as that stance has kept you evident, at least on the op-ed pages of newspapers who share your reading of Catholic tradition, I expect it’s too much to expect you to change, or even modify, your views, even if every bit of empirical evidence at hand suggests that the path you propose is the path to oblivion for the churches.

What can be expected, though, is that you comport yourself with a minimum of integrity and elementary decency in the controversies in which you engage. I understand odium theologicum as well as anyone, but I must, in all candor, tell you that you crossed a line that should not have been crossed in your recent article, when you wrote the following:

There is no denying the fact that the worldwide system of covering up sexual crimes committed by clerics was engineered by the Roman Congregation for the Doctrine of the Faith under Cardinal Ratzinger (1981-2005).
That, sir, is not true. I refuse to believe that you knew this to be false and wrote it anyway, for that would mean you had willfully condemned yourself as a liar. But on the assumption that you did not know this sentence to be a tissue of falsehoods, then you are so manifestly ignorant of how competencies over abuse cases were assigned in the Roman Curia prior to Ratzinger’s seizing control of the process and bringing it under CDF’s competence in 2001, then you have forfeited any claim to be taken seriously on this, or indeed any other matter involving the Roman Curia and the central governance of the Catholic Church.

As you perhaps do not know, I have been a vigorous, and I hope responsible, critic of the way abuse cases were (mis)handled by individual bishops and by the authorities in the Curia prior to the late 1990s, when then-Cardinal Ratzinger began to fight for a major change in the handling of these cases. (If you are interested, I refer you to my 2002 book, The Courage To Be Catholic: Crisis, Reform, and the Future of the Church.)

I therefore speak with some assurance of the ground on which I stand when I say that your description of Ratzinger’s role as quoted above is not only ludicrous to anyone familiar with the relevant history, but is belied by the experience of American bishops who consistently found Ratzinger thoughtful, helpful, deeply concerned about the corruption of the priesthood by a small minority of abusers, and distressed by the incompetence or malfeasance of bishops who took the promises of psychotherapy far more seriously than they ought, or lacked the moral courage to confront what had to be confronted.

I recognize that authors do not write the sometimes awful subheads that are put on op-ed pieces. Nonetheless, you authored a piece of vitriol—itself utterly unbecoming a priest, an intellectual, or a gentleman—that permitted the editors of the Irish Times to slug your article: “Pope Benedict has made worse just about everything that is wrong with the Catholic Church and is directly responsible for engineering the global cover-up of child rape perpetrated by priests, according to this open letter to all Catholic bishops.” That grotesque falsification of the truth perhaps demonstrates where odium theologicum can lead a man. But it is nonetheless shameful.

Permit me to suggest that you owe Pope Benedict XVI a public apology, for what, objectively speaking, is a calumny that I pray was informed in part by ignorance (if culpable ignorance). I assure you that I am committed to a thoroughgoing reform of the Roman Curia and the episcopate, projects I described at some length in God’s Choice: Pope Benedict XVI and the Future of the Catholic Church, a copy of which, in German, I shall be happy to send you. But there is no path to true reform in the Church that does not run through the steep and narrow valley of the truth. The truth was butchered in your article in the Irish Times. And that means that you have set back the cause of reform.

With the assurance of my prayers,

George Weigel
George Weigel is Distinguished Senior Fellow of Washington’s Ethics and Public Policy Center, where he holds the William E. Simon Chair in Catholic Studies.

Tuesday, April 27, 2010

HANS KÜNG's Open Letter to the Catholic Bishops
All Over the World (Dated April 16, 2010)

Church in worst credibility crisis since the Reformation, a famous Catholic theologian tells Catholic bishops all over the world and urges them to call for a council

HANS KÜNG


Fri, Apr 16, 2010


Pope Benedict has made worse just about everything that is wrong with the Roman Catholic Church and is directly responsible for engineering the global cover-up of child rape perpetrated by priests, according to this open letter to all Catholic bishops


VENERABLE BISHOPS,


Joseph Ratzinger, now Pope Benedict XVI, and I were the youngest theologians at the Second Vatican Council from 1962 to 1965. Now we are the oldest and the only ones still fully active. I have always understood my theological work as a service to the Roman Catholic Church. For this reason, on the occasion of the fifth anniversary of the election of Pope Benedict XVI, I am making this appeal to you in an open letter. In doing so, I am motivated by my profound concern for our church, which now finds itself in the worst credibility crisis since the Reformation. Please excuse the form of an open letter; unfortunately, I have no other way of reaching you.


I deeply appreciated that the pope invited me, his outspoken critic, to meet for a friendly, four-hour-long conversation shortly after he took office. This awakened in me the hope that my former colleague at Tubingen University might find his way to promote an ongoing renewal of the church and an ecumenical rapprochement in the spirit of the Second Vatican Council.


Unfortunately, my hopes and those of so many engaged Catholic men and women have not been fulfilled. And in my subsequent correspondence with the pope, I have pointed this out to him many times. Without a doubt, he conscientiously performs his everyday duties as pope, and he has given us three helpful encyclicals on faith, hope and charity. But when it comes to facing the major challenges of our times, his pontificate has increasingly passed up more opportunities than it has taken:


Missed is the opportunity for rapprochement with the Protestant churches: Instead, they have been denied the status of churches in the proper sense of the term and, for that reason, their ministries are not recognized and intercommunion is not possible.


Missed is the opportunity for the long-term reconciliation with the Jews: Instead the pope has reintroduced into the liturgy a preconciliar prayer for the enlightenment of the Jews, he has taken notoriously anti-Semitic and schismatic bishops back into communion with the church, and he is actively promoting the beatification of Pope Pius XII, who has been accused of not offering sufficient protections to Jews in Nazi Germany.


The fact is, Benedict sees in Judaism only the historic root of Christianity; he does not take it seriously as an ongoing religious community offering its own path to salvation. The recent comparison of the current criticism faced by the pope with anti-Semitic hate campaigns – made by Rev Raniero Cantalamessa during an official Good Friday service at the Vatican – has stirred up a storm of indignation among Jews around the world.


Missed is the opportunity for a dialogue with Muslims in an atmosphere of mutual trust: Instead, in his ill-advised but symptomatic 2006 Regensburg lecture, Benedict caricatured Islam as a religion of violence and inhumanity and thus evoked enduring Muslim mistrust.


Missed is the opportunity for reconciliation with the colonised indigenous peoples of Latin America: Instead, the pope asserted in all seriousness that they had been “longing” for the religion of their European conquerors.


Missed is the opportunity to help the people of Africa by allowing the use of birth control to fight overpopulation and condoms to fight the spread of HIV.


Missed is the opportunity to make peace with modern science by clearly affirming the theory of evolution and accepting stem-cell research.


Missed is the opportunity to make the spirit of the Second Vatican Council the compass for the whole Catholic Church, including the Vatican itself, and thus to promote the needed reforms in the church.


This last point, respected bishops, is the most serious of all. Time and again, this pope has added qualifications to the conciliar texts and interpreted them against the spirit of the council fathers.
Time and again, he has taken an express stand against the Ecumenical Council, which according to canon law represents the highest authority in the Catholic Church:


He has taken the bishops of the traditionalist Pius X Society back into the church without any preconditions – bishops who were illegally consecrated outside the Catholic Church and who reject central points of the Second Vatican Council (including liturgical reform, freedom of religion and the rapprochement with Judaism).


He promotes the medieval Tridentine Mass by all possible means and occasionally celebrates the Eucharist in Latin with his back to the congregation.


He refuses to put into effect the rapprochement with the Anglican Church, which was laid out in official ecumenical documents by the Anglican-Roman Catholic International Commission, and has attempted instead to lure married Anglican clergy into the Roman Catholic Church by freeing them from the very rule of celibacy that has forced tens of thousands of Roman Catholic priests out of office.


He has actively reinforced the anti-conciliar forces in the church by appointing reactionary officials to key offices in the Curia (including the secretariat of state, and positions in the liturgical commission) while appointing reactionary bishops around the world.


Pope Benedict XVI seems to be increasingly cut off from the vast majority of church members who pay less and less heed to Rome and, at best, identify themselves only with their local parish and bishop.


I know that many of you are pained by this situation. In his anti-conciliar policy, the pope receives the full support of the Roman Curia. The Curia does its best to stifle criticism in the episcopate and in the church as a whole and to discredit critics with all the means at its disposal. With a return to pomp and spectacle catching the attention of the media, the reactionary forces in Rome have attempted to present us with a strong church fronted by an absolutistic “Vicar of Christ” who combines the church’s legislative, executive and judicial powers in his hands alone. But Benedict’s policy of restoration has failed. All of his spectacular appearances, demonstrative journeys and public statements have failed to influence the opinions of most Catholics on controversial issues. This is especially true regarding matters of sexual morality. Even the papal youth meetings, attended above all by conservative-charismatic groups, have failed to hold back the steady drain of those leaving the church or to attract more vocations to the priesthood.


You in particular, as bishops, have reason for deep sorrow: Tens of thousands of priests have resigned their office since the Second Vatican Council, for the most part because of the celibacy rule. Vocations to the priesthood, but also to religious orders, sisterhoods and lay brotherhoods are down – not just quantitatively but qualitatively. Resignation and frustration are spreading rapidly among both the clergy and the active laity. Many feel that they have been left in the lurch with their personal needs, and many are in deep distress over the state of the church. In many of your dioceses, it is the same story: increasingly empty churches, empty seminaries and empty rectories. In many countries, due to the lack of priests, more and more parishes are being merged, often against the will of their members, into ever larger “pastoral units,” in which the few surviving pastors are completely overtaxed. This is church reform in pretense rather than fact!


And now, on top of these many crises comes a scandal crying out to heaven – the revelation of the clerical abuse of thousands of children and adolescents, first in the United States, then in Ireland and now in Germany and other countries. And to make matters worse, the handling of these cases has given rise to an unprecedented leadership crisis and a collapse of trust in church leadership.


There is no denying the fact that the worldwide system of covering up cases of sexual crimes committed by clerics was engineered by the Roman Congregation for the Doctrine of the Faith under Cardinal Ratzinger (1981-2005). During the reign of Pope John Paul II, that congregation had already taken charge of all such cases under oath of strictest silence. Ratzinger himself, on May 18th, 2001, sent a solemn document to all the bishops dealing with severe crimes ( “epistula de delictis gravioribus”), in which cases of abuse were sealed under the “secretum pontificium” , the violation of which could entail grave ecclesiastical penalties. With good reason, therefore, many people have expected a personal mea culpa on the part of the former prefect and current pope. Instead, the pope passed up the opportunity afforded by Holy Week: On Easter Sunday, he had his innocence proclaimed “urbi et orbi” by the dean of the College of Cardinals.


The consequences of all these scandals for the reputation of the Catholic Church are disastrous. Important church leaders have already admitted this. Numerous innocent and committed pastors and educators are suffering under the stigma of suspicion now blanketing the church. You, reverend bishops, must face up to the question: What will happen to our church and to your diocese in the future? It is not my intention to sketch out a new program of church reform. That I have done often enough both before and after the council. Instead, I want only to lay before you six proposals that I am convinced are supported by millions of Catholics who have no voice in the current situation.


1. Do not keep silent: By keeping silent in the face of so many serious grievances, you taint yourselves with guilt. When you feel that certain laws, directives and measures are counterproductive, you should say this in public. Send Rome not professions of your devotion, but rather calls for reform!


2. Set about reform: Too many in the church and in the episcopate complain about Rome, but do nothing themselves. When people no longer attend church in a diocese, when the ministry bears little fruit, when the public is kept in ignorance about the needs of the world, when ecumenical co-operation is reduced to a minimum, then the blame cannot simply be shoved off on Rome. Whether bishop, priest, layman or laywoman – everyone can do something for the renewal of the church within his own sphere of influence, be it large or small. Many of the great achievements that have occurred in the individual parishes and in the church at large owe their origin to the initiative of an individual or a small group. As bishops, you should support such initiatives and, especially given the present situation, you should respond to the just complaints of the faithful.


3. Act in a collegial way: After heated debate and against the persistent opposition of the Curia, the Second Vatican Council decreed the collegiality of the pope and the bishops. It did so in the sense of the Acts of the Apostles, in which Peter did not act alone without the college of the apostles. In the post-conciliar era, however, the pope and the Curia have ignored this decree. Just two years after the council, Pope Paul VI issued his encyclical defending the controversial celibacy law without the slightest consultation of the bishops. Since then, papal politics and the papal magisterium have continued to act in the old, uncollegial fashion. Even in liturgical matters, the pope rules as an autocrat over and against the bishops. He is happy to surround himself with them as long as they are nothing more than stage extras with neither voices nor voting rights. This is why, venerable bishops, you should not act for yourselves alone, but rather in the community of the other bishops, of the priests and of the men and women who make up the church.


4. Unconditional obedience is owed to God alone: Although at your episcopal consecration you had to take an oath of unconditional obedience to the pope, you know that unconditional obedience can never be paid to any human authority; it is due to God alone. For this reason, you should not feel impeded by your oath to speak the truth about the current crisis facing the church, your diocese and your country. Your model should be the apostle Paul, who dared to oppose Peter “to his face since he was manifestly in the wrong”! (Galatians 2:11). Pressuring the Roman authorities in the spirit of Christian fraternity can be permissible and even necessary when they fail to live up to the spirit of the Gospel and its mission. The use of the vernacular in the liturgy, the changes in the regulations governing mixed marriages, the affirmation of tolerance, democracy and human rights, the opening up of an ecumenical approach, and the many other reforms of Vatican II were only achieved because of tenacious pressure from below.


5. Work for regional solutions: The Vatican has frequently turned a deaf ear to the well-founded demands of the episcopate, the priests and the laity. This is all the more reason for seeking wise regional solutions. As you are well aware, the rule of celibacy, which was inherited from the Middle Ages, represents a particularly delicate problem. In the context of today’s clerical abuse scandal, the practice has been increasingly called into question. Against the expressed will of Rome, a change would appear hardly possible; yet this is no reason for passive resignation. When a priest, after mature consideration, wishes to marry, there is no reason why he must automatically resign his office when his bishop and his parish choose to stand behind him. Individual episcopal conferences could take the lead with regional solutions. It would be better, however, to seek a solution for the whole church, therefore:


6. Call for a council: Just as the achievement of liturgical reform, religious freedom, ecumenism and inter-religious dialogue required an ecumenical council, so now a council is needed to solve the dramatically escalating problems calling for reform. In the century before the Reformation, the Council of Constance decreed that councils should be held every five years. Yet the Roman Curia successfully managed to circumvent this ruling. There is no question that the Curia, fearing a limitation of its power, would do everything in its power to prevent a council coming together in the present situation. Thus it is up to you to push through the calling of a council or at least a representative assembly of bishops.


With the church in deep crisis, this is my appeal to you, venerable bishops: Put to use the episcopal authority that was reaffirmed by the Second Vatican Council. In this urgent situation, the eyes of the world turn to you. Innumerable people have lost their trust in the Catholic Church. Only by openly and honestly reckoning with these problems and resolutely carrying out needed reforms can their trust be regained. With all due respect, I beg you to do your part – together with your fellow bishops as far as possible, but also alone if necessary – in apostolic “fearlessness” ( Acts 4:29, 31 ). Give your faithful signs of hope and encouragement and give our church a perspective for the future.


With warm greetings in the community of the Christian faith,


Yours, Hans Küng – (New York Times Syndicate) © Hans Küng


-------------------------
Read also An Open Letter to Hans Küng (Apr 21, 2010) by George Weigel, available here.


 

Monday, March 1, 2010

Yesus dalam Injil Markus


Legion Romawi

* Editing mutakhir 01 Feb 2024


Pada permulaan Injilnya, penulis Injil Markus menyatakan bahwa Yesus adalah sang Messias (= sang Kristus), Anak Allah, yang ke atasnya Roh Allah turun dan selanjutnya berdiam di dalam diri-Nya sejak pembaptisan-Nya oleh Yohanes Pembaptis (Markus 1:1, 9-11). 

Sebagai seorang yang didiami dan dikuasai Roh Allah, Yesus pada awal karir-Nya berkonfrontasi dengan Iblis dan dia menang (1:12-13). 

Selanjutnya, dalam masa kegiatan-Nya di Galilea di muka umum setelah Yohanes pembaptis ditangkap (1:14; 6:14-29), Yesus memberitakan suatu kabar baik (=injil) bahwa dalam masa pelayanan-Nya di muka umum kerajaan Allah sedang mendatangi umat Israel, dan umat diminta untuk bertobat dan percaya kepada injil ini (1:14-15).

Ketika Allah menjadi sang Raja bagi umat Israel, Allah akan “menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata” (7:37). 


Ketika Allah sedang memerintah sebagai Raja Israel, Yesus menjadi sang Messias di dalam kerajaan ini yang bertindak dengan kewibawaan Allah sendiri (2:5-12). 

Ketika kerajaan Allah ini datang, cinta atau belas kasih ilahi akan dialami oleh umat dalam bentuk kesembuhan dari segala penyakit (1:41). 

Kerajaan Allah yang sedang datang ini dirayakan Yesus bersama murid-murid-Nya dan orang-orang lain dalam perjamuan makan bersama yang terbuka, yang dapat diikuti oleh siapa saja yang mau ikut serta (2:13-17).

Ketika Allah sedang memerintah umat Israel, konfrontasi Yesus dengan Iblis terus berlanjut: Roh Allah yang ada di dalam Yesus berhadap-hadapan dengan roh-roh najis/ jahat, setan-setan dan Iblis. 


Yesus melihat diri-Nya sedang bertarung melawan “seorang yang kuat” (3:27). Seorang yang kuat ini dalam dunia rohani yang tidak kasat mata adalah “Beelzebul” atau “penghulu setan” (3:22). Jika penghulu setan ini mau ditaklukkan, sang penghulu setan ini, kata Yesus, harus “diikat” dahulu, dan kalau sudah berhasil diikat, barulah seisi rumah dapat dirampok (3:27). 

Maka, dalam seluruh kegiatan-Nya di muka umum, Yesus sejak awal pelayanan-Nya terus-menerus berkonfrontasi dengan setan-setan dan mengalahkan setan-setan ini dengan mengusir mereka dari diri orang-orang yang dirasuk mereka. 

Di akhir setiap pengusiran setan yang dilakukan Yesus, setan-setan itu selalu takluk pada Yesus dan mengakui diri-Nya sebagai sang Messias, Anak Allah (1:23-26, 34; 3:11; 5:6-9).

Dalam dunia nyata yang kasat mata, “seorang kuat” yang sedang dihadapi Yesus adalah otoritas Romawi yang sedang menjajah negeri Israel. 


Penjajah Romawi ini diibaratkan penulis Injil Markus sebagai “legion”, seperti dituturkan dalam Markus 5:1-18. Pada perikop ini, “legion” merujuk pada roh-roh najis/jahat yang banyak jumlahnya, yang merasuki seseorang di daerah orang Gerasa, yang sedang dihadapi Yesus. 

Pada pihak lain, kata Latin “Legion” menunjuk pada satuan prajurit pejalan kaki Romawi ditambah pasukan berkuda dalam jumlah besar antara tiga ribu sampai enam ribu orang. 

Dengan demikian jelaslah bahwa kata “legion” dalam perikop Injil Markus ini mengacu pada dua kawasan: pada kawasan rohani, legion ini adalah setan-setan atau roh-roh najis/jahat dalam jumlah banyak; dan pada kawasan dunia yang kasat mata, roh-roh najis/jahat yang banyak jumlahnya ini adalah penjajah Romawi yang sedang menduduki Tanah Israel, dus menajiskan negeri Israel.

Dengan berani dan penuh kuasa, Yesus berkata kepada legion ini, “Hai engkau roh najis/jahat! Keluar dari orang ini!” (5:8). 


Tetapi roh-roh najis/jahat ini meminta dengan sangat kepada Yesus supaya mereka jangan diusir keluar dari daerah itu (5:10). 

Itulah juga yang dikehendaki penjajah Roma, yakni ingin terus menguasai Tanah Israel. 

Tetapi Yesus tidak mau berkompromi. Roh-roh najis/jahat itu dimintanya keluar dari orang yang mereka rasuki, lalu roh-roh najis/jahat ini pindah ke dalam babi-babi dan merasuki babi-babi ini. Lalu babi-babi yang kerasukan legion ini terjun ke dalam danau dan semuanya (2.000 ekor) mati lemas. Kekaisaran Romawi, jadinya, hanya pantas dibenamkan.

Itulah tujuan akhir perjuangan Yesus: kerajaan Allah Yahudi akan pasti mengalahkan kekaisaran Romawi yang sedang menduduki Tanah Israel. 

Dalam keyakinan Yesus, sudah sepatutnya Tanah Israel dikembalikan kepada bangsa Israel yang dulu, melalui Bapak Leluhur mereka, Abraham, telah mereka terima dari Allah sebagai Tanah Perjanjian. 

Kaisar Romawi tidak berhak atas Tanah Israel; sebab Tanah Israel adalah kepunyaan Allah Yahudi, Allah bangsa Israel. Karena itu tanah ini harus Kaisar kembalikan kepada bangsa Israel, pewaris sah Tanah Perjanjian, dan penguasa Romawi harus meninggalkan tanah ini (12:17).

Tetapi, pertarungan dan kemenangan Yesus atas legion Romawi baru berlangsung dalam wilayah simbolik, dalam kawasan rohani saja. 


Dalam kawasan nyata dunia ini, Roma sangat kuat menguasai Tanah Israel, dan mengontrol Bait Allah. Karena begitu besar jumlahnya dan sangat kuat, Yesus tahu bahwa untuk melawan Roma, Dia harus melakukan perlawanan tersembunyi, tidak terang-terangan, dan harus dimulai dulu dengan pertarungan sengit di kawasan rohani melalui pengusiran setan dan penyembuhan penyakit untuk memperkuat dan memberdayakan rakyat Yahudi. 

Karena itulah, untuk menyamarkan pesan-pesan-Nya di hadapan orang banyak, Yesus memakai banyak wacana perumpamaan ketika Dia berbicara tentang kerajaan Allah yang sedang datang (4:11). 

Begitu juga, setiap Yesus selesai mengusir setan atau menyembuhkan orang sakit, Dia meminta roh-roh najis/jahat dan orang-orang yang sudah disembuhkan-Nya untuk merahasiakan baik peristiwa yang sudah terjadi maupun identitas diri Yesus sendiri (1:34b; 1:44; 3:12; 5:43; 7:36; 8:26). 

Yesus tidak mau perlawanan-Nya kepada Roma, sekalipun diawali dulu di dunia rohani, dapat segera terbaca oleh orang banyak dan oleh penguasa Yahudi dan penguasa Romawi. Waktunya masih jauh di depan untuk Dia dapat terang-terangan menyatakan identitas diri-Nya berkaitan dengan tindakan-tindakan Allah di antara rakyat Yahudi.

Tetapi, karena para penguasa keagamaan, yakni orang-orang Farisi dan orang-orang Herodian, sejak awal tidak bisa menerima kalau Yesus banyak kali menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat, mereka menghendaki Yesus segera dibunuh (3:1-6; lihat juga 12:12; 14:1-2). 


Bagi mereka, memelihara Sabat jauh lebih penting daripada menyembuhkan orang pada hari Sabat. Tetapi bagi Yesus, jika menyembuhkan orang sakit adalah suatu perbuatan yang baik karena menyelamatkan nyawa orang, maka penyembuhan pada hari Sabat boleh dan bahkan harus dilakukan (3:4). 

Karena alasan keagamaan ini, di samping juga karena Yesus mengklaim memiliki otoritas ilahi untuk mengampuni dosa (2:5-12), mereka tidak berada pada pihak Yesus, tetapi menjadi lawan-lawan Yesus yang pada akhirnya, bersama pihak penguasa Romawi, mengakhiri kehidupan Yesus.

Pada akhirnya, setelah Yesus menolak Bait Allah dan otoritas Yahudi dan otoritas Romawi yang ada di belakang Bait ini dengan membuat aksi keributan yang disertai ucapan-ucapan-Nya yang keras di serambi Salomo (11:15-18) dan setelah Dia selesai menyelenggarakan suatu ritual perjamuan (terakhir) yang menggantikan ritual resmi penghapusan dosa di Bait Allah (14:22-25), penguasa Yahudi tak bisa mengulur-ulur waktu lagi dan segera mereka menangkap Yesus (14:43-49). 


Setelah melakukan pemeriksaan atas diri-Nya, Mahkamah Agama dengan suara bulat menjatuhkan vonis mati kepada Yesus (14:64b). 

Kalau sebelumnya Yesus selalu berupaya menjaga kerahasiaan identitas diri-Nya, maka ketika Dia sudah langsung berhadapan dengan otoritas Yahudi yang sedang mengadili-Nya, Dia tidak lagi menyembunyikan jatidiri-Nya, melainkan dengan terus terang mengaku bahwa Dia adalah sang Messias, Anak Manusia yang akan duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa (14:61-62). 

Celakanya, barangsiapa mengaku diri sebagai sang Messias, Raja bangsa Yahudi, Utusan Allah yang diurapi, di suatu negeri yang sedang dijajah Kekaisaran Romawi, orang yang mengaku ini dipandang sebagai seorang pemberontak. Inilah tuduhan politis yang diajukan para pemimpin Yahudi ketika mereka membawa dan menyerahkan Yesus kepada Pontius Pilatus, gubernur Romawi. 

Sang gubernur, ketika memulai pemeriksaannya terhadap Yesus, bertanya kepada-Nya, “Engkaukah raja orang Yahudi?” (15:2).

Ini rupanya yang menjadi tujuan akhir semua tindakan Yesus, yakni supaya Dia pada akhirnya dapat berhadapan langsung baik dengan otoritas tertinggi Yahudi maupun dengan otoritas Romawi, dan dapat menyatakan dengan terang-terangan bahwa diri-Nya adalah sang Messias Yahudi, baik di hadapan otoritas Yahudi (14:62) maupun di hadapan gubernur Pontius Pilatus (15:2). 


Dengan kata lain, ketika Yesus sudah berada di hadapan kedua otoritas tertinggi ini, Yesus ingin diri-Nya diakui sebagai Raja Yahudi yang sedang menegakkan pemerintahan Allah atas tanah dan bangsa Yahudi.

Tetapi bukan pengakuan akan kemessiasan-Nya yang diterima Yesus. Tentu saja, karena untuk seseorang diakui resmi sebagai sang Messias, sistem kepercayaan Yahudi memiliki sekian persyaratan yang tidak dipenuhi Yesus.


Bagi otoritas Yahudi yang mengadili-Nya, Yesus tidaklah lebih dari seorang “penghujat Allah” yang patut dihukum mati (14:63); dan bagi Pontius Pilatus yang memeriksa-Nya, Yesus tidaklah lebih dari seorang pemberontak yang patut “disalibkan” (15:15b). 

Setelah diperolok-olok sebagai raja orang Yahudi dan kepadanya dikenakan sebuah mahkota duri (15:16-20a), Yesus pun disalibkan (15:24), dan sementara tersalib Dia pun menerima berbagai hujatan dari orang yang lalu-lalang dan dari para imam dan ahli Taurat (15:29-32). 

Bahkan menurut penulis Injil Markus, ketika disalibkan Yesus bukan saja ditinggalkan oleh murid-murid pria (14:50), tetapi juga oleh Allah sendiri sehingga Dia berseru, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (15:34).

Pengakuan dari kepala pasukan Romawi ketika dia melihat cara Yesus mati bahwa Yesus “sesungguhnya adalah Anak Allah” (15:39) sebetulnya bukanlah sebuah pengakuan otentik akan kebesaran sang Messias yang bernama Yesus, tetapi sebuah satir penghinaan lebih jauh dari pihak Romawi terhadap orang yang mengklaim diri sebagai sang Messias Yahudi namun menemui kematian dengan cara yang sangat memalukan: mati disalibkan. 


Dalam pandangan orang Yunani-Romawi, seorang anak Allah adalah seorang yang terhormat dan mulia, duduk di takhta kerajaan, bukan mati terhina disalibkan. Dalam dunia Laut Tengah kuno, sosok-sosok besar adiinsani, superhuman, dimuliakan bukan sebagai para penjahat yang disalibkan, tetapi sebagai sosok-sosok setengah ilahi, sosok demigod, sosok semideus (Latin) atau hēmitheos (Yunani) atau sosok insan ilahi theios anēr (Yunani).

Begitu juga, dalam pandangan Yahudi orang yang mati disalibkan adalah orang yang terkena kutuk Allah (lihat Galatia 3:13; Ulangan 21:23), suatu “batu sandungan”; dan bagi masyarakat Yunani-Romawi, percaya pada sang Messias yang mati disalibkan adalah suatu “kebodohan” (1 Korintus 1:23).

Tetapi, bagi penulis Injil Markus, kematian Yesus di kayu salib adalah suatu peristiwa penting sebagai saat di mana Allah memilih untuk tidak berada terus di Ruang Maha Kudus dari Bait Allah, melainkan keluar dan meninggalkan ruangan ini dan selanjutnya dapat ditemui langsung oleh umat Yahudi tanpa lewat lembaga Bait Allah dan fungsi imamat sebagai lembaga-lembaga perantara.

Itulah memang tujuan utama Yesus sebenarnya: mendesentralisasi kehadiran Allah ke tengah rakyat jelata Yahudi, tidak boleh tersentralisasi di Bait Allah. 

Tujuan inilah yang mendorong emosi Yesus naik ketika Dia melihat bagaimana sistem Bait atau sistem imamat beroperasi di Bait Allah, yang membuat akses ke Allah dimonopoli segelintir orang yang mengelola Bait Allah dan ritual-ritual di dalamnya. Maka, terjadilah tindak keributan oleh Yesus di portiko Salomo Bait Allah, yang dikatakan-Nya mau Dia robohkan.

Penulis Injil Markus secara simbolik menyatakan desentralisasi kehadiran Allah ke tengah rakyat telah terjadi, ketika dia menulis bahwa pada waktu Yesus mati, “tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah” (15:38). 

Fungsi Bait Allah sebagai suatu lembaga yang menyelenggarakan ritual penghapusan dosa telah digantikan oleh diri Yesus sendiri melalui kematian-Nya di kayu salib, seperti dikatakan oleh Yesus sebelumnya, “Anak Manusia datang untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (10:45).

Dengan demikian, suatu peristiwa sejarah yang kongkret, yang melibatkan Yesus yang mengaku diri sebagai sang Messias Yahudi, yang karenanya dijatuhi hukuman mati baik oleh otoritas Yahudi maupun oleh otoritas Romawi, ditafsirkan drastis oleh penulis Injil Markus menjadi suatu peristiwa teologis adikodrati yang melaluinya, dalam pengakuan penulis Injil ini, Allah menyediakan penebusan bagi banyak orang. 


Untuk menjadi sang penebus, Yesus, dalam keyakinan penulis Injil Markus, "diharuskan Allah" (Yunani: dei) menempuh jalan sengsara (8:31; 9:31; 10:33-34).

Padahal, dalam teologi messianik Yahudi, tidak ada ide bahwa seorang messias menempuh jalan sengsara atau menjadi seorang hamba Tuhan yang menderita.

Bagi sistem kepercayaan Yahudi, atau teologi messianik Yahudi, seorang yang mengaku diri sang Messias haruslah membuktikan kemessiasannya itu dengan mengobarkan perang melawan penjajah bangsa dan negeri, dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri, untuk merebut kemerdekaan dan menyucikan Tanah Israel dari penajisan yang dilakukan bangsa lain. 

Sang Messias Yahudi sejati juga harus mempertahankan dan menjaga kesucian kota Yerusalem dan Bait Allah yang berdiri di kota ini. Tidak ada ide teologis Yahudi bahwa sang Messias Yahudi akan membuat keributan di pelataran Bait Allah dan berkehendak menghentikan fungsi imamat dan berbagai ritual di dalamnya.

Ya, Yesus hanya berhasil menang dalam dunia rohani, dengan Dia mengalahkan setan-setan, dan menenggelamkan satu legion roh najis ke dalam danau. 

Tetapi di kawasan duniawi, Yesus dikalahkan oleh kekaisaran Romawi dan kaki tangan Yahudi mereka, dengan mereka mengeksekusi-Nya di kayu salib yang bagi Yesus sendiri adalah saat yang paling getir di akhir kehidupan-Nya karena Allah dilihat-Nya telah meninggalkan-Nya ketika Dia sedang sekarat.

Bukan saja Yesus kalah dengan mati disalibkan; Allah juga menghilang. Langit tertutup oleh awan-awan gelap. Allah membisu. Tapi tidak berarti Allah non-aktif.

Saat diperhadapkan dengan suatu kabar besar bahwa Yesus telah dibangkitkan dari antara orang mati (16:6), murid-murid Yesus malah mengalami kegentaran dan ketakutan luar biasa, lalu mereka berlari keluar dari makam. Mereka tidak mengerti dan tidak bisa mengatakan apa-apa. Itulah bagian terakhir kisah orisinal Markus tentang jalan kehidupan Yesus, sang Anak Allah (16:8a). 

Akhir kisah yang membuat gelisah, yang mendorong siapapun untuk membuat narasi Markus ini berakhir dengan gembira dan menyampaikan pengharapan lewat perluasan bagian penutupnya (16:8b; dan 16:9-20).

Injil Markus adalah sebuah narasi paradoks. Temukan keabadian dalam narasi ini.

Wednesday, February 17, 2010

Penyimpangan Agama Dapat Positif!
Sebuah Catatan atas UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama

Sweeping the sectarians. Does this do justice to them?

*Tulisan ini telah terbit hari ini, 17 Februari 2010,
di Koran Tempo. Klik di sini

Sekarang ini di Mahkamah Konstitusi di Jakarta sedang berlangsung tahap-tahap awal uji materil (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, yang ditetapkan Presiden Soekarno pada 27 Januari 1965. Para pemohon uji materil ini berkeinginan undang-undang itu dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat apa pun lagi.

Konteks sosial-politis-historis yang melahirkan undang-undang ini dapat dibaca dengan jelas dalam undang-undang ini dan dalam bagian penjelasannya. Undang-undang ini disusun dan ditetapkan ketika “revolusi nasional” sedang dijalankan oleh pemerintah Republik Indonesia yang dipimpin Presiden Soekarno, yang menerapkan suatu sistem pemerintahan demokratis terpimpin sehingga kekuasaan terpusat sepenuhnya di tangannya. Pada masa itu, aliran-aliran keagamaan di luar enam agama “resmi” yang disebut dalam undang-undang ini (yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu) bermunculan dan tumbuh dengan marak, sehingga dipandang oleh pemerintah sebagai sesuatu yang membahayakan, baik bagi agama-agama resmi ini maupun bagi persatuan bangsa dan negara Indonesia secara keseluruhan.

Dalam konteks historis semacam itulah undang-undang ini dikeluarkan untuk mencegah: 1) penafsiran alternatif yang menyimpang dari ajaran-ajaran pokok enam agama resmi tersebut; 2) kegiatan keagamaan alternatif (ritual, seremonial, sosial, dan organisasional?) yang menyimpang dari yang biasa dilakukan umat agama-agama resmi tersebut; 3) penodaan (maksudnya: penghinaan) terhadap agama-agama resmi tersebut; 4) permusuhan terhadap agama-agama resmi tersebut; 5) pandangan hidup yang menolak pengakuan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi sila pertama Pancasila (maksudnya tentu ateisme). Orang yang terbukti melakukan hal-hal ini akan dikenai hukuman pidana penjara maksimal lima tahun.

Uji materil terhadap undang-undang ini tentu harus memperhitungkan dengan sungguh-sungguh konteks sosial-politis historis kelahirannya pada 1965, yang sudah jauh berbeda dari konteks sosial-politis bangsa dan negara Indonesia masa kini.

Pemerintahan negara kini dijalankan dengan sistem demokratis yang mengenal pembagian kekuasaan pemerintahan ke dalam tiga lembaga tinggi negara yang (dalam teori) independen. Karena globalisasi, masyarakat Indonesia sekarang umumnya sudah makin terbiasa untuk hidup berdampingan dengan damai dengan orang yang berbeda agama, kebudayaan, pandangan dan gaya hidup, serta ideologi. Kini juga terlihat ada upaya sungguh-sungguh dari banyak pihak untuk membuat hak asasi manusia dihargai dan dihormati di negeri Indonesia. Salah satunya hak asasi setiap orang untuk dengan bebas dan bertanggung jawab memilih dan memeluk agama apa pun dan menjalankan kewajiban keagamaannya.

Dalam konteks masa kini yang sudah berubah, lima hal di atas dapat dipikirkan ulang, apakah memang harus dicegah. Poin pertama adalah hal yang terpenting, karena dari sinilah timbul hal-hal lain yang disebut dalam poin kedua sampai poin keempat. Poin kelima tampaknya berdiri sendiri sebagai hal yang pada waktu itu dipandang dapat mengancam kehidupan keagamaan di Indonesia, karena masuknya ideologi-ideologi dunia.

Dalam bagian penjelasan undang-undang ini, penafsiran lain dianggap negatif sebagai suatu “penyelewengan” . Tapi apakah suatu penafsiran alternatif yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran suatu agama selalu merupakan suatu penyimpangan negatif yang berbahaya? Jawabnya: tidak selalu.
Ada penyimpangan yang positif! Misalnya penyimpangan penafsiran yang dilakukan dengan sengaja untuk mengatasi kekurangan dalam suatu agama atau untuk memperbaiki kesalahan yang karena satu dan lain hal terus tertanam dalam suatu agama. Penyimpangan semacam ini umumnya dilakukan dengan sadar setelah suatu pengkajian ilmiah dilakukan terhadap pokok-pokok akidah suatu agama. Penyimpangan jenis ini ternyata dipandang positif oleh undang-undang ini. Ditulis dalam penjelasan pasal 4 undang-undang ini: “Uraian-uraian tertulis yang dilakukan secara obyektif, zakelijk, dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan bukanlah tindak pidana”.

Penyimpangan positif lainnya juga dapat terjadi ketika penafsiran alternatif yang diajukan oleh suatu segmen dalam suatu agama induk lebih mampu menghasilkan suatu kehidupan umat yang lebih luhur budi pekertinya, lebih sanggup menghayati nilai-nilai hidup yang diperlukan dalam zaman modern sekarang, seperti cerdas beragama, jujur, adil, toleran, antikekerasan, inklusif, pluralis, demokratis, dan terbuka pada sains modern. Segmen yang mengajukan penafsiran baru atas akidah keagamaan ini, yang berdampak lebih kuat pada moralitas individual umat dan pada nilai-nilai kehidupan yang dihayati mereka, dapat memisahkan diri dari agama induk atau dapat terus bertahan dalam agama induk semula.

Kesimpulannya: suatu penafsiran lain atas ajaran-ajaran pokok suatu agama yang menghasilkan pandangan-pandangan dan gaya hidup yang menyimpang dari yang umumnya dipegang dan dijalankan oleh umat agama induk tidak selalu merupakan penyimpangan negatif. Malah segmen atau unsur yang menyimpang semacam ini harus dipandang sebagai segmen atau unsur pembaharu agama yang diperlukan setiap agama, jika agama ini tidak ingin mandul, bantut, tidak relevan, lalu mati dan berubah jadi fosil, di dalam dunia modern sekarang ini.