Penulis Surat kepada Orang Ibrani (selanjutnya ditulis: Surat Ibrani) melihat dirinya sedang berada di antara dua masa, yakni zaman akhir (ep’ eskhatou tōn hēmerōn [1:2], atau episunteleiai tōn aiōnōn [9:26]) dan saat kedatangan kembali Yesus (9:28b). Dalam pandangannya, zaman akhir adalah zaman ketika Allah berbicara kepada manusia melalui perantaraan Anak-Nya, yaitu Yesus (1:2); dan baginya “sudah dekat” (10:25, 37) saatnya Yesus akan datang lagi “untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka yang menantikan Dia” (9:28b).
Di antara dua masa ini, orang-orang Ibrani penerima suratnya ini diindikasikan olehnya sedang mengalami banyak penderitaan dan kesulitan (10:31-34). Dalam situasi berat semacam ini, si penulis meminta mereka untuk “jangan melepaskan kepercayaan” (10:35), “jangan lemah dan jangan berputus asa” (12:3), tetapi tetap “hidup oleh iman” (10:38). Untuk menggambarkan ihwal bagaimana hidup beriman, si penulis dalam pasal 11 merujuk ke sejumlah orang beriman yang hidup dalam zaman purbakala dan dalam sejarah Israel kuno. Meskipun orang-orang zaman lampau yang disebutnya ini telah menunjukkan kehidupan beriman yang patut diteladani, baginya “tanpa kita mereka tidak dapat sampai kepada kesempurnaan (hina mē khōris hēmōn teleiōthōsin)” (10:40). Yang dimaksud dengan “kita” dalam 10:40 adalah orang-orang Ibrani yang telah menerima Surat Ibrani ini, yaitu orang-orang Ibrani yang telah beriman kepada Yesus. Dibandingkan dengan orang-orang Ibrani lainnya yang tidak percaya kepada Yesus, kalangan penerima surat ini dipandang si penulisnya berkedudukan lebih tinggi dan telah mencapai kesempurnaan iman, sebab Yesus yang mereka percayai adalah “pemimpin dan penyempurna iman” (arkhēgon, teleiōtēn [12:2]) sementara “hukum Taurat sama sekali tidak membawa kesempurnaan” (7:19a). Dengan demikian, kekristenan yang dihayati si penulis Surat Ibrani ini dipandang olehnya lebih tinggi kedudukannya dibandingkan agama para nenek moyang bangsa Israel. Berhadapan dengan agama Yahudi, superiorisme dan supersesionisme Kristen dipegang dan dipertahankannya.
Mengapa si penulis Surat Ibrani memandang versi kekristenan yang dipegangnya lebih unggul dan sempurna dibandingkan agama Yahudi? Jawaban atas pertanyaan ini ditemukan dalam kristologi yang dipegang olehnya. Dalam pasal 1, Yesus dipandang olehnya memiliki pra-eksistensi, sebagai suatu “Oknum” adikodrati yang menjadi agen penciptaan dunia bersama Allah: “melalui Dia Allah telah menjadikan alam semesta” (1:2); Yesus adalah “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud (kharaktēr tēs hupostaseōs) Allah yang menopang segala yang ada dengan firman-Nya” (1:3). Meskipun Yesus pernah “dalam waktu yang singkat dibuat lebih rendah dari pada malaikat-malaikat” (2:9a), yaitu ketika Dia “sebagai manusia” (5:7), namun setelah dia “selesai melakukan penyucian dosa, Dia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi, jauh lebih tinggi dari pada malaikat-malaikat” (1:3b-4). Kalau bagi bangsa Yahudi Nabi Musa menempati kedudukan tertinggi sebagai seorang yang suci, bagi si penulis Surat Ibrani kemuliaan Yesus “lebih besar dari kemuliaan Musa” (3:3). Kalau Musa diibaratkan sebagai “rumah yang dibangun”, Yesus adalah ahli bangunannya atau arsiteknya (3:3b); kalau Musa diibaratkan sebagai “pelayan rumah Allah”, Yesus dipandangnya sebagai “Anak yang mengepalai rumah-Nya” (3:5-6). Gelar Anak (atau Anak Allah) untuk Yesus ditemukan juga dalam 1:2; 4:14; 5:5, 8; 6:6; 7:28.
Selain gelar-gelar yang sudah disebut di atas, beberapa gelar lain diberikan si penulis Surat Ibrani kepada Yesus: Rasul Allah (3:1); Kristus (5:5; 9:11, 14, 24; 13:8); Gembala Agung segala domba (13:20). Di beberapa tempat Yesus juga disebut sebagai Tuhan (kurios [2:3; 10:25; 13:20]). Tetapi gelar terpenting yang diberikan kepada Yesus adalah gelar Imam Besar; dan pada gelar inilah berpusat kristologi yang membuat si penulis Surat Ibrani menempatkan versi khas kekristenannya lebih tinggi dari agama Yahudi.
Jabatan imam besar adalah jabatan kultik terpenting dan tertinggi dalam ritual keselamatan Yahudi yang dinamakan Yom Kippur, Hari Pendamaian (hari kesepuluh bulan Tishri; akhir September atau awal Oktober). Imam besar adalah sosok kultik satu-satunya yang memungkinkan ritual pencucian dosa bangsa Israel setahun sekali pada Yom Kippur dijalankan, dengan aturan dan prosedur ritual yang sudah dibakukan, dengan darah lembu jantan atau darah domba jantan menjadi sarana ritual terpenting yang dipercik ke tengah umat oleh imam besar sebagai suatu ritual simbolik penghapusan dosa umat (lihat Imamat 16:1-34; 23:26-32; Ibrani 9:19; 10:4).
Dalam pandangan si penulis Surat Ibrani, meskipun Yesus dilantik oleh Allah sebagai Anak Allah atau Raja Israel (Ibrani 5:5; kutipan dari Mazmur 2:7), namun yang terpenting baginya adalah bahwa Yesus “dipanggil” oleh Allah untuk menjadi Imam Besar menurut peraturan Melkisedek (5:1-10; khususnya ayat 6 yang memuat kutipan Mazmur 110:4; dan Ibrani 5:10). Peraturan Melkisedek yang dimaksud olehnya adalah bahwa status Yesus sebagai Imam Besar ditetapkan oleh Allah untuk berlaku kekal sampai selama-lamanya, dan berdasarkan kehidupan yang tidak dapat binasa (5:6; 6:20; 7:3; 7:16-17; 7:21, 24). Status sebagai Imam Besar yang kekal dan tidak bisa binasa dimungkinkan dimiliki Yesus karena status ini disandang Yesus di surga. Si penulis menyatakan, “Sekiranya Dia [Yesus] di bumi ini, Dia sama sekali tidak akan menjadi imam” (8:4).
Sebagai Imam Besar surgawi, Yesus duduk di sebelah kanan Allah di surga (8:1; lihat juga 1:3; 10:12; 12:2) dan melayani ibadah di “tempat kudus” atau di “kemah sejati” atau “kemah yang lebih besar dan yang lebih sempurna”, yang didirikan oleh Allah dan bukan oleh manusia (8:2; 9:11). Di surga, Yesus sebagai Imam Besar menjalankan fungsi sebagai “Juru syafaat” (TB LAI: Pengantara) (entugkhanō ) manusia (7:25; bdk 9:24). Dan di surga juga, Yesus menjadi sang Pengantara (ho mesitēs) perjanjian yang lebih mulia, yang didasarkan pada suatu janji yang lebih tinggi, yaitu perjanjian baru (diathēkē kainē) (8:6-13; juga 9:15; 10:9; 12:24). Dengan tibanya perjanjian yang baru ini, maka perjanjian yang Allah buat dengan nenek moyang Israel menjadi suatu perjanjian yang “telah menjadi tua, usang dan dekat pada kemusnahan” (8:13) dan harus “dihapuskan” (10:9) — suatu pelabelan yang sangat keras yang dibuat si penulis Surat Ibrani terhadap Yudaisme, berhadap-hadapan dengan versi khas kekristenan yang dibangunnya.
Dengan memakai sudut pandang Platonis dan hermeneutik tipologis, si penulis menyatakan bahwa ritual imamat pemberian kurban yang dilangsungkan di bumi, yang terpusat di Bait Allah Yerusalem, adalah “replika” (TB LAI: “gambaran”) (hupodeigmati) dan “bayangan” (skia) (8:5) (antitupos, dalam 9:24) dari ibadah yang berlangsung di surga, di kemah sejati yang dibuat bukan oleh tangan manusia tetapi oleh Allah, dan dilayani oleh Yesus sebagai Imam Besarnya. Di kemah sejati di surga ini, ibadah imamat yang dilayani Yesus sudah sempurna: Yesus sebagai Imam Besar yang kekal tidak lagi perlu berulang-ulang mempersembahkan kurban binatang dan memercikkan darah, tidak seperti yang berlangsung di bumi di “kemah pertama” buatan tangan manusia, di mana “kurban yang sama setiap tahun terus-menerus dipersembahkan” (10:1b; bdk 9:6-7). Dalam pandangan si penulis Surat Ibrani, Yesus sang Imam Besar surgawi “telah melintasi kemah yang lebih besar dan yang lebih sempurna, yang bukan dibuat oleh tangan manusia, artinya: yang tidak termasuk ciptaan ini, dan Dia telah masuk satu kali untuk selamanya (efapaks; lihat juga 7:27; 9:26, 28; ) ke dalam tempat yang kudus bukan dengan membawa darah domba jantan dan darah anak lembu, tetapi dengan membawa darah-Nya sendiri” (9:11-12). Gambaran tentang Imam Besar yang mengurbankan dirinya sendiri semacam ini tentu unik dalam versi kekristenan yang dibangun si penulis Surat Ibrani, tetapi tentu saja tidak bisa diterima dalam sistem imamat agama Yahudi yang di dalamnya ritual penyembelihan hewan kurban yang dipimpin imam besar adalah bagian esensial dari sistem kepercayaan mereka.
Selanjutnya si penulis Surat Ibrani menyatakan, “Sebab, jika darah domba jantan dan darah lembu jantan dan percikan abu lembu menguduskan mereka yang najis, sehingga mereka disucikan secara lahiriah, betapa lebihnya darah Kristus —yang oleh Roh yang kekal telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat—akan menyucikan hati nurani kita dari perbuatan yang sia-sia, supaya kita dapat beribadah kepada Allah yang hidup” (9:13-14). Jadi, darah Kristus memiliki kekuatan dan keampuhan yang lebih besar dari darah binatang kurban dalam menyucikan hati nurani manusia; bahkan, ditegaskan oleh si penulis surat Ibrani, “tidak mungkin darah lembu jantan atau darah domba jantan menghapuskan dosa” (10:4). Dengan demikian, ritual imamat pencucian dosa yang dilangsungkan dalam Yudaisme dikalahkan oleh ibadah surgawi yang dilayani Yesus sebagai Imam Besar surgawi. Maka, tandas si penulis Surat Ibrani, lagi dengan memakai sudut pandang Platonis, “Di dalam hukum Taurat hanya terdapat bayangan (skia) saja dari hal-hal (TB LAI: keselamatan) yang akan datang, dan bukan wujud sejati (eikōn) (TB LAI: hakikat) dari hal-hal itu sendiri” (10:1). “Hal-hal yang akan datang” ini mengacu kepada ibadah di kemah surgawi yang dilayani Yesus sebagai Imam Besar surgawi; dan “hal-hal yang akan datang ini” tidak akan terwujud atau belum akan tiba “selama kemah yang pertama ini masih ada” (9:8). Rujukan temporal kepada kemah yang pertama ini memberi sebuah indikasi bahwa si penulis Surat Ibrani, yang membayangkan Yesus sebagai Imam Besar sudah berada di surga, hidup pada masa Bait Suci di Yerusalem sudah tidak ada, kurun waktu pasca-tahun 70 M.
Pertanyaan: Kapan persisnya Yesus sebagai Imam Besar “mempersembahkan dirinya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat” dengan “membawa darahnya sendiri”? Di surga jelas hal ini tidak mungkin dilakukan. Si penulis Surat Ibrani dengan jelas menyatakan bahwa hal ini Yesus lakukan ketika dia mengalami penderitaan dan kematian, disalibkan di bumi (2:9, 10, 14; 6:6; 12:2). Tetapi, bagaimana menghubungkan penderitaan dan kematian Yesus yang berlangsung di bumi dengan statusnya sebagai Imam Besar surgawi yang melayani di kemah sejati surgawi yang bukan buatan tangan manusia dan di sana dia menjadi Juru syafaat bagi manusia di hadapan Allah? Jawaban atas pertanyaan ini ditemukan pada satu bagian penting pasal 4, di mana dinyatakan bahwa Yesus sebagai Imam Besar “telah melintasi semua langit” (dielēluthota tous ouranous) (ayat 14). Yesus yang “melintasi semua langit” adalah gambaran yang digunakan si penulis Surat Ibrani untuk menghubungkan peristiwa penyaliban Yesus dengan keberadaannya di surga, di mana dia duduk si sebelah kanan Allah, dan melayani ibadah di kemah surgawi yang dibuat oleh Allah. Peristiwa penyaliban dan kematian Yesus bagi si penulis Surat Ibrani, dengan demikian, adalah saat Yesus melintasi semua langit, lalu memasuki kawasan surgawi dan duduk di sebelah kanan Allah. Dengan demikian dapat dimengerti mengapa si penulis Surat Ibrani tidak satu kali pun menyebut-nyebut ihwal kebangkitan Yesus (bdk 13:20!), suatu tema sentral dalam hampir seluruh Perjanjian Baru. Selain itu, saat kematian Yesus sebagai jalan dia melintasi semua langit adalah juga saat dia dilantik menjadi Imam Besar surgawi menurut peraturan Melkisedek.
Apakah Yesus sendiri berprakarsa untuk “mencuci”, “menghapuskan”, “mendamaikan dosa” “banyak orang” (9:28) atau dosa “seluruh bangsa” (2:17) dan “menguduskan umat” (13:12) dengan dia “mempersembahkan dirinya sendiri sebagai kurban” (7:27; 9:12, 14, 25, 28; 10:12), sehingga pengurbanan Yesus di kayu salib keluar dari kehendak bebasnya sendiri dan bukan bagian dari rencana dan ketetapan Allah sendiri? Jawabnya: Tidak!
Menurut si penulis Surat Ibrani, tindakan Yesus sebagai Imam Besar yang mempersembahkan dirinya sendiri sebagai kurban tidak dapat dilepaskan dari kehendak dan keterlibatan Allah sendiri. Menurutnya, pada zaman akhir,
- Allah telah berbicara kepada manusia dengan perantaraan Yesus, Anak-Nya, yang Dia telah tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada (1:2);
- melalui kasih karunia Allah, Yesus mengalami maut bagi semua orang (2:9);
- Allah menyempurnakan Yesus dengan penderitaan (2:10);
- Allah harus menyamakan Yesus dengan orang-orang lain saudara-Nya supaya dia menjadi Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia kepada Allah (2:17);
- Yesus setia kepada Allah yang telah menetapkannya (3:1-2);
- sebagai Imam Besar, Yesus dimuliakan oleh Allah (5:5);
- Allah menetapkan dan memanggil Yesus untuk menjadi Imam Besar (5:10; 7:11, 18, 28);
- Allah bersumpah mengangkat dan menjadikan Yesus Imam Besar menurut peraturan Melkisedek (7:21).
Jelas sudah, ada banyak topik teologis dalam Surat Ibrani yang membuat kita harus menyimpulkan bahwa versi kekristenan yang dibangun si penulisnya dipandangnya sebagai versi kekristenan yang mengungguli Yudaisme, dan bahkan menggantikannya. Pemberian gelar kepada Yesus sebagai Imam Besar menurut peraturan Melkisedek yang memberi dirinya sendiri sebagai kurban satu kali untuk selamanya, betul-betul menyepelekan fungsi imamat dalam agama Yudaisme.
Tetapi, pada pihak lain, dalam konteks pasca-tahun 70 M ketika Bait Allah di Yerusalem sudah tidak ada, sehingga ritual kurban tidak bisa lagi dijalankan dan fungsi imamat terhenti, memandang Yesus sebagai sang Imam Besar surgawi yang kekal adalah suatu upaya berteologi yang brilian karena dengan cara ini jabatan Imam Besar dipertahankan kendatipun untuk itu ibadah yang dilayani Yesus harus dipindahkan dari bumi ke surga, dan Bait Allah di bumi yang dibuat manusia diganti dengan kemah surgawi yang lebih besar dan kekal. Dengan kata lain, sekalipun supersesionisme dan superiorisme si penulis Surat Ibrani tampak mencuat tajam, namun dalam konteks pasca-tahun 70 M, versi kekristenannya yang khas adalah juga suatu penjelmaan lain dari Yudaisme yang diproyeksikan ke kawasan surga adikodrati.