*Tulisan ini telah terbit hari ini, 17 Februari 2010,
di Koran Tempo. Klik di sini
di Koran Tempo. Klik di sini
Sekarang ini di Mahkamah Konstitusi di Jakarta sedang berlangsung tahap-tahap awal uji materil (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, yang ditetapkan Presiden Soekarno pada 27 Januari 1965. Para pemohon uji materil ini berkeinginan undang-undang itu dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat apa pun lagi.
Konteks sosial-politis-historis yang melahirkan undang-undang ini dapat dibaca dengan jelas dalam undang-undang ini dan dalam bagian penjelasannya. Undang-undang ini disusun dan ditetapkan ketika “revolusi nasional” sedang dijalankan oleh pemerintah Republik Indonesia yang dipimpin Presiden Soekarno, yang menerapkan suatu sistem pemerintahan demokratis terpimpin sehingga kekuasaan terpusat sepenuhnya di tangannya. Pada masa itu, aliran-aliran keagamaan di luar enam agama “resmi” yang disebut dalam undang-undang ini (yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu) bermunculan dan tumbuh dengan marak, sehingga dipandang oleh pemerintah sebagai sesuatu yang membahayakan, baik bagi agama-agama resmi ini maupun bagi persatuan bangsa dan negara Indonesia secara keseluruhan.
Dalam konteks historis semacam itulah undang-undang ini dikeluarkan untuk mencegah: 1) penafsiran alternatif yang menyimpang dari ajaran-ajaran pokok enam agama resmi tersebut; 2) kegiatan keagamaan alternatif (ritual, seremonial, sosial, dan organisasional?) yang menyimpang dari yang biasa dilakukan umat agama-agama resmi tersebut; 3) penodaan (maksudnya: penghinaan) terhadap agama-agama resmi tersebut; 4) permusuhan terhadap agama-agama resmi tersebut; 5) pandangan hidup yang menolak pengakuan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi sila pertama Pancasila (maksudnya tentu ateisme). Orang yang terbukti melakukan hal-hal ini akan dikenai hukuman pidana penjara maksimal lima tahun.
Uji materil terhadap undang-undang ini tentu harus memperhitungkan dengan sungguh-sungguh konteks sosial-politis historis kelahirannya pada 1965, yang sudah jauh berbeda dari konteks sosial-politis bangsa dan negara Indonesia masa kini.
Pemerintahan negara kini dijalankan dengan sistem demokratis yang mengenal pembagian kekuasaan pemerintahan ke dalam tiga lembaga tinggi negara yang (dalam teori) independen. Karena globalisasi, masyarakat Indonesia sekarang umumnya sudah makin terbiasa untuk hidup berdampingan dengan damai dengan orang yang berbeda agama, kebudayaan, pandangan dan gaya hidup, serta ideologi. Kini juga terlihat ada upaya sungguh-sungguh dari banyak pihak untuk membuat hak asasi manusia dihargai dan dihormati di negeri Indonesia. Salah satunya hak asasi setiap orang untuk dengan bebas dan bertanggung jawab memilih dan memeluk agama apa pun dan menjalankan kewajiban keagamaannya.
Dalam konteks masa kini yang sudah berubah, lima hal di atas dapat dipikirkan ulang, apakah memang harus dicegah. Poin pertama adalah hal yang terpenting, karena dari sinilah timbul hal-hal lain yang disebut dalam poin kedua sampai poin keempat. Poin kelima tampaknya berdiri sendiri sebagai hal yang pada waktu itu dipandang dapat mengancam kehidupan keagamaan di Indonesia, karena masuknya ideologi-ideologi dunia.
Dalam bagian penjelasan undang-undang ini, penafsiran lain dianggap negatif sebagai suatu “penyelewengan” . Tapi apakah suatu penafsiran alternatif yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran suatu agama selalu merupakan suatu penyimpangan negatif yang berbahaya? Jawabnya: tidak selalu.
Ada penyimpangan yang positif! Misalnya penyimpangan penafsiran yang dilakukan dengan sengaja untuk mengatasi kekurangan dalam suatu agama atau untuk memperbaiki kesalahan yang karena satu dan lain hal terus tertanam dalam suatu agama. Penyimpangan semacam ini umumnya dilakukan dengan sadar setelah suatu pengkajian ilmiah dilakukan terhadap pokok-pokok akidah suatu agama. Penyimpangan jenis ini ternyata dipandang positif oleh undang-undang ini. Ditulis dalam penjelasan pasal 4 undang-undang ini: “Uraian-uraian tertulis yang dilakukan secara obyektif, zakelijk, dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan bukanlah tindak pidana”.
Penyimpangan positif lainnya juga dapat terjadi ketika penafsiran alternatif yang diajukan oleh suatu segmen dalam suatu agama induk lebih mampu menghasilkan suatu kehidupan umat yang lebih luhur budi pekertinya, lebih sanggup menghayati nilai-nilai hidup yang diperlukan dalam zaman modern sekarang, seperti cerdas beragama, jujur, adil, toleran, antikekerasan, inklusif, pluralis, demokratis, dan terbuka pada sains modern. Segmen yang mengajukan penafsiran baru atas akidah keagamaan ini, yang berdampak lebih kuat pada moralitas individual umat dan pada nilai-nilai kehidupan yang dihayati mereka, dapat memisahkan diri dari agama induk atau dapat terus bertahan dalam agama induk semula.
Kesimpulannya: suatu penafsiran lain atas ajaran-ajaran pokok suatu agama yang menghasilkan pandangan-pandangan dan gaya hidup yang menyimpang dari yang umumnya dipegang dan dijalankan oleh umat agama induk tidak selalu merupakan penyimpangan negatif. Malah segmen atau unsur yang menyimpang semacam ini harus dipandang sebagai segmen atau unsur pembaharu agama yang diperlukan setiap agama, jika agama ini tidak ingin mandul, bantut, tidak relevan, lalu mati dan berubah jadi fosil, di dalam dunia modern sekarang ini.