Thursday, September 24, 2015

LGBT, Agama, Teks Alkitab, dan Pandangan Sains Modern (Bagian 1)



Gambar di atas berkonotasi ekstrim. Exorsisme atau ritual pengusiran setan terhadap seorang gay. Tak ilmiah. Cuma menampilkan kebodohan. Si gay korban ini perlu teman untuk tertolong. Sumber gambar http://douglaswhaley.blogspot.co.id/2014_06_01_archive.html



by Ioanes Rakhmat 


Update mutakhir 18 Agustus 2016

Baca bagian 2 di sini yang membeberkan dengan rinci dan cermat temuan-temuan ilmu pengetahuan modern tentang orientasi seksual LGBT.

N.B. Dua bagian tulisan saya tentang OS LGBT ini terpasang juga di Kompasiana dalam versi yang berbeda dalam sekian tempat. Ini link masing-masing:

Bagian pertama di sini https://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/selukbeluk-orientasi-seksual-lgbt-bagian-1_57287b99ec9673971ea4bc44.

Bagian keduanya di sini https://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/seluk-beluk-orientasi-seksual-lgbt-bagian-2_5785e03eaf9273c0056eeb97.

_______________________________

“Homoseksualitas yang terisolasi sendirian sangat tidak umum di dalam alam ini.” 
― Frans de Waal


Pada tahun 1973 The American Psychiatric Association (APA) mencabut homoseksualitas dari Manual Statistik dan Diagnostik Penyakit Mental (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder atau DSM), dus posisi sebelumnya (1952) yang melihat homoseksualitas sebagai suatu penyakit mental dianulir./1/ Langkah progresif ini kemudian di tahun 1975 diikuti oleh The American Psychological Association (APA) dan The National Association of Social Workers (NASW) di Amerika Serikat. 



Tujuh belas tahun setelah APA yang sudah disebut di atas membarui posisinya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB pada 17 Mei 1990 juga sudah mengambil posisi yang sama, yang sudah dicantumkan dalam pedoman klinis WHO 1992 yang diberi judul ICD-10 (International Statistical Classification on Diseases and Related Health Problems-10). Kemudian, dengan dilandasi sejumlah pertimbangan penting yang diuraikan dalam sebuah kertas kerja Komisi HAM (HRC) PBB tanggal 24 September 2014, Komisi HAM PBB ini akhirnya memutuskan (26 September 2014) untuk mendukung dan mengakui sepenuhnya HAM kaum LGBT sebagai bagian dari HAM yang universal./2/

Tiga lembaga yang telah disebut pada alinea pertama di atas (APA, APA, dan NASW) memberi batasan-batasan yang jelas tentang konsep modern “orientasi seksual” (OS) sebagai “suatu pola kelakuan atau watak yang menetap pada seseorang dalam mengalami ketertarikan seksual, romantik dan afeksional khususnya terhadap laki-laki, perempuan, atau sekaligus terhadap laki-laki dan perempuan.” Karena didorong orientasi seksualnya ini, seseorang “membangun suatu hubungan pribadi yang intim dengan mitra pilihannya untuk memenuhi kebutuhan akan cinta, persekutuan dan keintiman yang sangat kuat dirasakannya”, hubungan yang dipandangnya “memuaskan dan memenuhi semua harapannya dan merupakan suatu bagian esensial jati diri pribadinya”./3/

OS ini khas, berbeda dari komponen-komponen seks dan seksualitas lainnya, seperti seks biologis (hal-hal yang mencakup anatomi, fisiologi dan genetika yang membuat seseorang menjadi laki-laki atau perempuan), identitas gender (penghayatan psikologis sebagai laki-laki atau perempuan), dan peran sosial gender (menyangkut perilaku maskulin atau perilaku feminin, yang definisinya diberikan berdasarkan norma-norma kultural yang berlaku dalam suatu masyarakat).

Biasanya OS ini dilihat mencakup tiga golongan, yakni heteroseksual (tertarik secara seksual romantik terhadap mitra seks dari lain jenis), homoseksual (tertarik secara seksual romantik terhadap mitra seks sejenis), dan biseksual (tertarik secara seksual romantik terhadap mitra seks lelaki dan mitra seks perempuan sekaligus). Sekarang ini OS dilihat dalam spektrum yang lebih berwarna-warni yang biasanya disebut sebagai spektrum OS LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Queer). Ini harus ditambah dengan OS hetero, menjadi HLGBTIQ.


Bagaimana sikap Indonesia?

Dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ III) edisi 1993, Departemen Kesehatan RI, homoseksualitas tidak dipandang sebagai suatu gangguan jiwa./4/ Pada hlm. 288 buku PPDGJ III tercantum dengan jelas kata-kata ini: Catatan: Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai suatu gangguan.” Dinyatakan juga bahwa yang termasuk orientasi seksual adalah heteroseksualitas, homoseksualitas dan biseksualitas. Ditulis juga di halaman yang sama bahwa meskipun bukan suatu gangguan jiwa, OS LGBT seseorang dapat menimbulkan penderitaan karena ketidakpastian tentang identitas jenis kelamin atau orientasi seksual dapat menimbulkan kecemasan dan depresi. 

Harus jelas buat anda: OS apapun bukan gangguan mental; tetapi ketidaksiapan si individu untuk menerima OS-nya yang LGBT (lantaran stigma negatif banyak diarahkan masyarakat kepada orang LGBT, juga oleh orangtua dan keluarga sendiri) dapat menimbulkan gangguan mental pada dirinya, mulai dari rasa cemas, stres, depresi, kecanduan narkotik, tidak percaya diri, berkeliaran di jalan-jalan, hingga kemungkinan bunuh diri, atau dia berusaha mencari bantuan untuk diterapi menjadi heteroseksual. Dalam psikologi, LGBT jenis ini digolongkan LGBT tipe distonik.

Sangat disayangkan, saya membaca sebuah berita di koran online Kompas, 19 Februari 2016, bahwa psikiater dan direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA di Kemenkes RI, dr. Fidiansyah SpKJ MPH, pada acara Indonesia Lawyers Club di TV One 16 Februari 2016, menyatakan kepada publik bahwa OS LGBT adalah gangguan jiwa sebagaimana, menurutnya, telah dinyatakan dalam buku tebal PPDGJ III yang sudah dirujuk di atas. Tak lama sesudah acara di TV One itu, muncul cukup banyak kritik di berbagai media massa terhadap dr. Fidiansyah yang dinilai telah memelintir dan menutupi kebenaran ketika dia sengaja tidak membaca bagian-bagian penting dari buku PPDGJ III yang dengan terang menegaskan bahwa OS LGBT bukan gangguan mental, sebagaimana sudah diungkap di atas./5

Lebih memprihatinkan lagi, saya dapat kabar tak bagus dari sejumlah teman yang mereka kirim dalam bentuk screenshots lewat HP, akun FB dan akun Twitter. Konon (!) pada 19 Februari 2016 Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI) telah mengeluarkan sebuah pernyataan sikap sepanjang dua halaman yang intinya sejalan dengan pendapat dr. Fidiansyah. Pernyataan sikap ini ditandatangani oleh Ketua Umum PP PDSKJI, dr. Danardi Sosrosumihardjo, SpKJ (K). Mereka menyatakan bahwa homoseksualitas dan biseksualitas dapat dikategorikan sebagai Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), dan kalangan transeksualitas sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). 

Menurut mereka juga, semua kalangan OS ini perlu direhabilitasi, dan riset tentang OS perlu diadakan dengan berbasis kearifan lokal, budaya, aspek religi dan spiritual bangsa. Sekarang ini situs web www.pdskji.org sudah tidak bisa diakses lagi, entah mengapa.

Hemat saya dalam hal ini PP PDSKJI telah mengubah fakta ilmiah yang telah memperlihatkan bahwa OS LGBT memiliki basis kuat pada genetika dan biologidan dengan demikian sama sekali bukan suatu gangguan kejiwaandengan menjadikan riset OS LGBT sebagai riset tentang hal-hal yang non-biologis: kearifan lokal, budaya, agama dan kerohanian bangsa sendiri. Kita semua tahu, hasil riset ilmiah yang menemukan basis kuat genetis untuk OS LGBT sama sekali tidak bisa dipelintir atau diubah menjadi riset tentang hal-hal yang non-genetik itu. 

Tentu saja, pendekatan yang komprehensif terhadap usaha memahami dan menjelaskan OS LGBT sangat disambut baik oleh siapapun sejauh usaha ini tidak menutup fakta terpenting bahwa OS LGBT juga punya basis kuat pada biologi manusia, sebagaimana nanti akan saya bentangkan panjang lebar dalam bagian 2 tulisan saya ini  

Selain itu, belum lama ini Menristek RI, Muhamad Nasir, sempat mengeluarkan sebuah larangan untuk semua bentuk kegiatan yang terkait dengan LGBT (misalnya seminar, diskusi, konsultasi, konseling) di semua kampus di seluruh NKRI. 

Tapi bagi mahaguru psikologi Universitas Indonesia, Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, sikap Menristek ini hanyalah sebuah reaksi bertahan (defense mechanism) yang mewakili salah satu unsur dalam masyarakat yang melihat kaum LGBT sebagai suatu ancaman yang membahayakan masyarakat. Selanjutnya, Prof. Sarlito menegaskan bahwa Saya yakin LGBT di Indonesia tidak akan punah, karena LGBT itu sebagian dari sunatullah juga./6/

Pada 9 Maret 2016, ketua American Psychiatric Association (APA), Ms. Renée Binder, bersama Saul Levin, atas nama APA telah menulis sebuah surat resmi kepada PDSKJI terkait soal LGBT di Indonesia. Lewat surat itu (yang ditujukan ke Dr. Tun Kurniasih Bastaman), APA mendesak PDSKJI untuk meninjau kembali posisi PDSKJI  yang menyatakan bahwa homoseksualitas (atau LGBT) tergolong suatu gangguan jiwa atau suatu penyakit mental, lantaran posisi PDSKJI ini tidak memiliki bukti ilmiah apapun yang mendukung. Selanjutnya APA menegaskan bahwa “ada suatu komponen biologis yang kuat yang membentuk OS, dan bahwa OS dapat dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor genetik, hormonal dan lingkungan kehidupan. Pendek kata, tidak ada bukti ilmiah bahwa OS (baik heteroseksual, homoseksual, maupun yang bukan) adalah suatu pilihan bebas individual.”/7/ 

Jujur saja, saya merasa malu atas fakta ini bahwa para psikiater Indonesia sampai perlu diingatkan, jika bukan ditegur, oleh APA. Apa saja yang mereka sudah baca dan telaah selama ini? Jurnal-jurnal ilmiah ataukah kitab-kitab lain, kitab suci misalnya?

Baru saja saya membaca sebuah berita yang membenarkan dugaan saya. Dibandingkan APA, ternyata para psikiater dalam PDSKJI telah sangat jauh ketinggalan dalam pengetahuan mereka tentang hasil-hasil riset-riset mutakhir dalam sains tentang OS. PDSKJI dan APA memang tidak punya hubungan kelembagaan yang hierarkis. Tapi sifat hubungan organisatoris ini tidak penting, dan sama sekali bukan soal yang utama. 

Penting diketahui: Telah diklaim bahwa selama ini PDSKJI memakai standard klinis diagnosis LGBT dari hasil riset WHO ICD-10 (International Statistical Classification on Diseases and Related Health Problems-10) yang dikeluarkan WHO tahun 1992. Ini patokan 24 tahun lalu. Patokan yang sudah kadaluarsakah? 

Bagaimanapun juga, mengingat reputasi tinggi WHO selama ini, saya masih harus memeriksa apakah betul ICD-10 WHO menggolongkan homoseksualitas sebagai suatu gangguan jiwa atau suatu penyakit mental. Jangan-jangan, ICD-10 dengan keliru hanya dijadikan seekor kambing hitam saja oleh PDSKJI di tahun 2016 ini! Alasan saya menyatakan hal ini sangat jelas. 

Sudah saya tulis di atas bahwa PPDGJ III edisi 1993 memuat sebuah catatan bahwa OS LGBT bukan gangguan jiwa atau penyakit mental. Jika betul ICD-10 menjadi pedoman PPDGJ III, maka pastilah LGBT dalam ICD-10 tidak dinyatakan sebagai suatu penyakit atau gangguan mental. Lagipula, seperti sudah saya tulis pada alinea-alinea awal, pada 17 Mei 1990 WHO sudah mengikuti posisi APA tahun 1973! Jadi, sebetulnya saya tidak perlu membolak-balik lagi halaman-halaman ICD-10 WHO. 

Masalah muncul ketika di awal 2016 ini dr. Fidiansyah SpKJ MPH menyatakan kepada masyarakat Indonesia bahwa LGBT adalah suatu gangguan jiwa meskipun dia merujuk ke PPDGJ III. Apakah gerangan yang sedang terjadi?  

Baru saja, 24 Maret 2016, saya baca sebuah berita di Rappler.com bahwa dr. Fidiansyah telah meminta maaf kepada publik atas pernyataannya di ILC TV One 16 Februari 2016 bahwa LGBT adalah suatu gangguan jiwa. Namun beliau tetap berpendapat bahwa LGBT adalah suatu gangguan jiwa. Bahkan beliau menegaskan OS hetero adalah “fitrah seksual yang diridoi dan diberkati Allah SWT.”/8/ Tentu saja, klaim beliau ini sudah berada di luar bidang psikiatri.

Lalu, bagaimana dengan APA? Lembaga yang berpusat di Amerika Serikat ini memakai patokan klinis OS yang dinamakan DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-5) tahun 2013. DSM-5 adalah patokan yang umum dipakai sekarang ini di dunia karena kemutakhiran analisis dan diagnosisnya./9/

Dalam dua puluh tahun terakhir ini riset OS sudah maju pesat dan sudah menghasilkan banyak pengetahuan baru. 

Tulisan panjang saya ini (yang selalu diusahakan dimutakhirkan) membeberkan temuan-temuan ilmiah tentang OS HLGBT sejak 1993 hingga 2016, tentu tidak seluruhnya. Saya bukan seorang psikiater. Tapi jelas, pengetahuan saya tentang HLGBT lebih maju dibandingkan pengetahuan para psikiater dalam PDSKJI.

Itulah kondisi memprihatinkan dunia psikiatri di Indonesia. Ketinggalan kemajuan pesat dalam riset OS HLGBT. Pantesan sempat muncul desas-desus bahwa LGBT dapat disembuhkan dengan cara Indonesia: yakni mereka perlu direbus dalam air bersuhu 80-85 derajat celcius dengan dicampur ramuan rempah-rempah. Kemudian ada ralat bahwa yang mau disembuhkan dengan direbus itu adalah pasien NAPZA. Hemat saya jika cara ini yang akan ditempuh (entah untuk LGBT atau untuk pecandu NAPZA), bersiaplah kita dengan potensi terjadinya “homicidal crime”. Jika desas-desus ini benar, maka orang-orang yang mengklaim diri profesional dalam usaha menyembuhkan LGBT atau pasien NAPZA memandang setiap pasien mereka sebagai segumpal besar daging sapi segar yang perlu direbus!  

Saya tahu ada usaha untuk mereparasi LGBT dengan mengotak-atik apa yang dinamakan Emotional Spiritual Quotient (ESQ), sementara ESQ, kita harus tahu, tidak diterima secara umum di kalangan psikolog kognitif sebagai suatu kecerdasan (intelligence). Tapi soal utamanya bukan itu, tetapi ini: LGBT masuk bidang biologi dan genetika, bukan bidang psikologi (kendati berdampak pada psikologi), bukan soal kerohanian (meskipun berdampak pada kerohanian), dan juga bukan soal kecerdasan!

Begitulah situasinya jika para psikiater Indonesia tidak lagi mengikuti perkembangan riset sains tentang OS selama dua puluh tahun belakangan ini. Mungkin mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing sebagai psikiater. Atau, mungkin saja, sebetulnya hal lain yang sudah dan sedang terjadi: sains ditaklukkan oleh agama. Padahal yang seharusnya terjadi ini: sains membimbing agama-agama untuk perumusan ulang. Jika di NKRI sains sedang ditaklukkan agama, maka kita semua sedang masuk kembali ke zaman jahiliah, zaman kegelapan dan kebodohan, zaman prailmiah! Gawatnya, banyak sarjana sains Indonesia sedang membawa NKRI mundur ke sana!


Legalisasi perkawinan sesama jenis seks di Amerika

Jumat, 26 Juni 2015, Mahkamah Agung Amerika Serikat mengambil sebuah keputusan penting melegalisasi perkawinan sesama jenis seks untuk seluruh warganegara Amerika di semua 50 negara bagian. Keputusan ini diambil dengan kemenangan tipis kubu para hakim agung yang liberal versus kubu para hakim agung yang konservatif (5:4). Hakim Agung konservatif John G. Roberts Jr. membuat sebuah pernyataan tertulis yang dibacakannya setelah keputusan diambil, “Jika anda berada di antara orang Amerika, apapun orientasi seksual anda, dan telah memilih untuk memperluas perkawinan sesama jenis seks, rayakanlah keputusan hari ini dengan segenap hati. Rayakanlah tujuan yang diinginkan dan yang telah dicapai. Rayakanlah kesempatan untuk mengekspresikan secara baru komitmen kepada pasangan anda. Rayakanlah manfaat-manfaat baru yang sudah tersedia. Tapi jangan rayakan UU. Perayaan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan UU.” 


Di Rose Garden Gedung Putih, atas keputusan Mahkamah Agung Amerika ini, Presiden Barack Obama menyatakan hal berikut ini, 
“Ketentuan perundang-undangan ini adalah sebuah kemenangan bagi Amerika. Keputusan ini mengafirmasi apa yang jutaan orang Amerika telah percayai dalam hati mereka. Di saat semua orang Amerika diperlakukan setara, kita menjadi lebih bebas lagi.”/10/
Reaksi-reaksi keras dan negatif dari banyak aliran agama-agama sudah dan akan pasti bermunculan, di seluruh dunia, terhadap keputusan MA Amerika itu. Mungkin juga, kalangan pedofilik di Amerika akan (atau malah sudah) menuntut hal yang sama, yakni meminta untuk pedofilia dipandang sebagai sebuah OS lain lagi, bukan sebuah tindak kejahatan seksual yang menjadikan anak-anak korban mereka, bukan mitra ikhlas seksual mereka. Begitu juga, inses juga bisa saja nanti diminta untuk dipandang sebagai suatu kewajaran, bahkan sah di mata hukum. Nekrofilia jelas adalah suatu kelainan mental dan pelakunya sangat langka dalam dunia ini. Tentu saja, dua kemungkinan yang disebut pertama (pedofilia dan inses) sangat tidak masuk akal, dan pemerintah AS tentu saja tidak akan begitu saja memenuhi tuntutan mereka yang diajukan atas nama kebebasan sipil.

Tetapi bagaimana pandangan rakyat Amerika sendiri terhadap perkawinan sesama jenis? Sebelum MA Amerika mengambil keputusan melegalisasi perkawinan sesama homoseksual, Pew Research Center telah melakukan survei pendahuluan yang luas yang berkaitan dengan isu-isu seksualitas manusia, isu homoseksualitas dan perkawinan sesama jenis khususnya, dalam hubungan dengan berbagai isu sosial, etnisitas, politik, kultural, keagamaan dan lain-lain. Survei PRC yang diadakan 12-18 Mei 2015 mengungkapkan kondisi-kondisi berikut.  
Kurang lebih tiga perempat (73%) orang Amerika yang mengenal banyak gay dan lesbian, dan dua pertiga (66%) dari orang-orang yang memiliki teman-teman dekat atau anggota-anggota keluarga yang gay atau lesbian, menyatakan bahwa mereka mendukung perkawinan sesama jenis seks. Dan hampir separuh (48%) orang Amerika yang memiliki banyak kenalan yang gay, dan 38% dari mereka yang memiliki sahabat-sahabat dekat atau anggota-anggota keluarga yang gay, dengan kuat mendukung kalangan gay dan lesbian untuk menikah resmi. Tetapi ada jauh lebih sedikit dukungan terhadap perkawinan sesama jenis seks di antara orang-orang yang memiliki sedikit atau sama sekali tidak mempunyai kenalan-kenalan yang gay atau lesbian. Begitu juga keadaannya di antara orang-orang yang tidak mempunyai teman dekat atau anggota keluarga yang gay atau lesbian. Hanya 32% dari orang-orang yang tidak mempunyai kenalan yang gay atau lesbian yang mendukung perkawinan sesama gay atau sesama lesbian, dan 58% menolak (dengan 30% menyatakan bahwa mereka menolak keras perkawinan sesama jenis)./11/

Reaksi gereja-gereja di Indonesia

Bagaimana dengan sikap Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) terhadap legalisasi pernikahan sejenis? Kepala Biro Hubungan Masyarakat PGI, Jeirry Sumampow, menyatakan, “Kita masih dalam proses untuk melakukan kajian karena di lingkup PGI hal itu masih kontroversial, dengan beberapa pertimbangan.”/12/ Sebaliknya, Sekretaris Umum PGI, Pdt Gomar Gultom, menegaskan bahwa gereja tidak akan merestui dan memberlakukan perkawinan sejenis karena hanya mengakui perkawinan antara laki-laki dan perempuan./13/

Gereja Roma Katolik di Indonesia lewat Romo Benny Susetyo sudah menyatakan sikap mereka. Katanya, Karena mengikuti sikap tahta suci Vatikan dan pendapat Paus (Fransiskus), GRK di Indonesia sejak awal tidak mengakui perkawinan sejenis karena menyalahi kodrat manusia yang diciptakan Tuhan berpasangan laki-laki dan perempuan." Menurut sang romo, MA Amerika dapat melegalisasi perkawinan sejenis karena Partai Demokrat yang sedang berkuasa, yang memang liberal, mendukung perkawinan sejenis. Jadi, keputusan MA Amerika Serikat itu adalah keputusan politik. Kata sang Romo, Nanti juga akan diubah lagi jika partai yang nanti akan berkuasa adalah Partai Republik yang memegang pandangan lain (yang konservatif)./14

Apakah keputusan MA Amerika itu hanya bersifat politis, tanpa didukung kajian-kajian ilmiah terhadap seksualitas manusia, etika dan prinsip-prinsip HAM, biarlah sang romo itu yang mencari tahu sendiri. Selain itu, jika sang romo ini benar bahwa keputusan MA Amerika itu murni sebuah keputusan politik, hemat saya keputusan politik ini dungu, sebab tidak populer dan akan pasti ditentang sangat banyak rakyat Amerika sehingga akan menggoyahkan partai yang sedang berkuasa. Apa betul, MA Amerika itu dungu? Lagi pula, apa betul MA Amerika bisa diintervensi oleh partai politik yang sedang berkuasa?  

Sosok-sosok penting di PGI dan di GRK itu, kendatipun mereka, di satu pihak, menolak legalisasi perkawinan sejenis, namun, di lain pihak, mereka masih bisa menyatakan bahwa mereka, juga gereja-gereja, akan tetap menghargai dan menerima kalangan LGBT untuk hidup, atas nama HAM dan toleransi, bahkan, tegas mereka lagi, gereja-gereja tetap mencintai kalangan ini. 

Tetapi hemat saya, bagaimana mungkin mereka bisa total menerima kalangan gay dan lesbi sementara kalau kalangan ini mau menikah dengan sesama jenis, sosok-sosok terhormat di dua gereja itu menolak dengan tegas. Ada dualisme di sini dalam diri mereka masing-masing. Setengah hati merangkul, dan setengah hati lagi mendepak. Salah satu hak untuk hidup, sebagai bagian dari HAM, adalah hak untuk menikah. Tanpa hak untuk menikah diakui dan diwujudkan, ya HAM juga dilanggar. 

Saya sedang berpikir-pikir, apakah tepat jika mereka saya katakan munafik, berwajah ganda? Selain itu, mereka juga masih memegang pandangan keagamaan yang kuno bahwa ikatan perkawinan dibangun untuk tujuan mendapatkan keturunan; dus, perkawinan sesama jenis tidak bisa dilegalisasi. Siapa bilang, orang menikah hanya untuk tujuan prokreasi?  

Juga, siapa bilang, perkawinan sesama jenis tidak memungkinkan mereka mempunyai anak yang mereka akan besarkan bersama? Maksud saya, bukan dengan cara mengadopsi anak, tetapi lahir dari tubuh mereka sendiri! Aah, yang benar? Mana mungkin? OK, mari kita berpaling ke sains! 

Suatu tim ilmuwan dari Universitas Cambridge, Inggris, dan Weizmann Institute of Science, Israel, baru-baru ini telah berhasil menemukan sebuah teknik genetika untuk menghasilkan bayi manusia dari sel-sel kulit orangtua si bayi dengan menggunakan gen yang dinamakan SOX17. 

Gen SOX17 digunakan untuk memprogram ulang sel-sel kulit manusia untuk menjadi “sel-sel germ primordial” (“Primordial Germ Cells”, atau PGCs, yakni sel-sel pendahulu telur dan sel-sel sperma), yang kemudian akan berkembang menjadi janin-janin manusia. Proses ini dapat dijalankan untuk memberikan bayi-bayi baik bagi pasangan heteroseksual yang mandul maupun bagi pasangan homoseksual. 

Selain itu, teknik mutakhir reproduksi ini juga dapat menghilangkan mutasi-mutasi epigenetik yang menyebabkan terjadinya kesalahan-kesalahan pada sel-sel tubuh manusia ketika orang mulai menua, yakni dengan cara menyetel ulang dan meregenerasi sel-sel yang sudah tua./15/

Pernyataan pastoral PGI Tetapi baru-baru ini muncul sesuatu yang sangat menarik, suatu sikap dan posisi “terobosan” dari PGI terkait OS LGBT, yang melawan arus kuat anti-LGBT umumnya di gereja-gereja di Indonesia, bahkan di komunitas-komunitas keagamaan lain di negara ini, dan juga melawan pendapat sejumlah petinggi pemerintahan NKRI. Terobosan PGI ini sudah dan sedang menimbulkan kontroversi panas, yang diwarnai kata-kata pedas dan pelecehan terhadap Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI, dan berbagai ancaman sejumlah gereja untuk keluar dari PGI lantaran mereka berasumsi PGI kini sudah menjadi liberal dan bermaksud “menyeragamkan sikap dan posisi doktrinal” semua gereja anggotanya terhadap OS LGBT. Saya sendiri heran atas reaksi-reaksi yang naif itu, dan bertanya-tanya sejak kapan PGI telah berubah menjadi sebuah lembaga penyeragaman sikap dan posisi doktrinal semua gereja anggotanya. Tak pernah PGI mengeluarkan pernyataan Nihil Opstat (“tidak ada pelanggaran atau hambatan doktrinal”) dan Imprimatur (“Silakan dicetak/diterbitkan”) pada semua karya tulis para pendeta dalam gereja-gereja anggotanya, tidak seperti dalam Gereja Roma Katolik. Sebaliknya, beberapa gereja anggota PGI bernafsu besar untuk menerapkan sensor pada PGI, organisasi induk mereka. Di awal minggu ketiga Juli 2016, bahkan pimpinan sinode sebuah gereja di Indonesia bagian timur (yaitu GMIM) sudah menyelengarakan sebuah konferensi yang bertujuan tunggal, yaitu menolak sikap dan posisi PGI terhadap LGBT, dan dalam konferensi itu disebut (oleh seseorang) bahwa lewat pernyataan sikap dan posisi PGI tentang LGBT, PGI telah melakukan sebuah kejahatan kemanusiaan. Bagi saya, tuduhan keji ini harus dibalikkan arahnya: para homofobik atau pembenci dan penyerang LGBT itulah yang justru sedang melakukan kejahatan kemanusiaan, bukan para pembela LGBT seperti PGI dan Peruati (Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi, yang sekarang diketuai Pdt. Ruth Ketsia Wangkai, 2015-2019). Pada 28 Mei 2016 MPH PGI mengeluarkan sebuah Pernyataan Pastoral tentang LGBT yang lumayan panjang. Semua poin yang dikemukakan sangat penting, dan, hemat saya, memiliki pijakan kuat pada temuan-temuan sains mutakhir tentang OS LGBT dan pada kajian-kajian ilmiah atas sejumlah teks Alkitab yang terkait dengan homoseksualitas. Karena itulah, saya mendukung dan membela sepenuhnya pernyataan pastoral PGI tersebut di berbagai forum, meskipun saya tidak punya hubungan kelembagaan apapun dengan PGI. Berikut ini dengan sangat ringkas dan padat saya sajikan sejumlah hal penting yang dimuat dalam pernyataan pastoral PGI tentang OS LGBT. Sebagaimana semua hal lain dalam dunia ini, OS itu beranekaragam, dan merupakan sebuah realitas yang Allah berikan kepada kita, yang harus bisa kita terima dengan sikap positif dan realistik; Jadi, setiap LGBT adalah manusia ciptaan Allah yang sangat dikasihi-Nya; Kecenderungan LGBT adalah suatu fenomena yang sudah ada sejak masa lalu, bukan produk kebudayaan modern, dan juga bukan produk kebudayaan Barat. Dalam masyarakat Indonesia, LGBT sudah sejak dulu diakomodasikan dalam kebudayaan sejumlah suku; Alkitab memang menyinggung fenomena LGBT, tapi Alkitab tidak memberi penilaian moral-etik terhadap keberadaan LGBT; Alkitab tidak mengkritik OS seseorang, tapi mengkritik perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh kaum heteroseksual atau kaum yang selama ini dianggap “normal”; Teks-teks Alkitab yang menyebut hal-hal yang terkait dengan seks tidak dimaksudkan untuk menyerang, menolak atau mendiskriminasi keberadaan LGBT. Apa yang ditolak dalam teks-teks Alkitab adalah segala jenis perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapapun, atas dasar apapun, termasuk atas dasar agama, dan ditujukan terhadap siapapun, termasuk terhadap perempuan, laki-laki dan anak-anak; Bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT bukan pilihan, tapi sesuatu yang “terterima” (“given”, atau “terberi”). Karena itu, menjadi LGBT bukan suatu dosa. Alhasil, kita tidak boleh memaksa mereka untuk bertobat, atau untuk berubah. Sebaliknya, kita harus menolong mereka supaya mereka bisa menerima OS diri sendiri sebagai pemberian Allah. Kita harus memberikan kesempatan agar mereka bisa tumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik, mental, sosial dan spiritual. Selanjutnya, MPH PGI menghimbau gereja-gereja anggotanya untuk mempersiapkan dan memberikan bimbingan pastoral kepada keluarga-keluarga Kristen agar mereka mampu menerima dan merangkul serta mencintai anggota-anggota keluarga mereka yang berkecenderungan LGBT. Diingatkan bahwa penolakan keluarga terhadap anggota-anggota keluarga yang LGBT berpotensi menimbulkan gangguan kejiwaan dan penolakan terhadap diri sendiri yang dapat berakibat makin meningkatnya potensi untuk bunuh diri di kalangan LGBT. MPH PGI juga mengingatkan bahwa selama ini kalangan LGBT telah mengalami penderitaan fisik, mental-psikologis, sosial, spiritual, karena stigmatisasi keagamaan terhadap mereka dan perlakuan keras oleh sebagian masyarakat. Mereka menjadi kelompok yang direndahkan, dikucilkan, dan didiskriminasi, bahkan juga oleh negara. Gereja harus mengambil sikap berbeda. Gereja bukan saja harus menerima mereka, tapi juga harus berjuang agar hak-hak kaum LGBT bisa diterima dan diakui oleh masyarakat dan negara, khususnya hak-hak untuk tidak didiskriminasi atau dikucilkan, untuk dilindungi terhadap kekerasan, untuk bekerja, untuk sekolah, untuk menjadi sarjana, dan sebagainya. Lebih luas, PGI meminta para petinggi negara untuk menjamin agar HAM dan martabat kaum LGBT dihormati, dan mereka harus diberi kesempatan untuk hidup dalam keadilan dan perdamaian. PGI juga menyatakan kesadaran mereka bahwa gereja dan masyarakat Indonesia masih belum bisa menerima pernikahan sejenis; masih diperlukan dialog dan percakapan yang lebih mendalam menyangkut soal ini.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/seluk-beluk-orientasi-seksual-lgbt-bagian-2_5785e03eaf9273c0056eeb97
Tetapi baru-baru ini muncul sesuatu yang sangat menarik, suatu sikap dan posisi “terobosan” dari PGI terkait OS LGBT, yang melawan arus kuat anti-LGBT umumnya di gereja-gereja di Indonesia, bahkan di komunitas-komunitas keagamaan lain di negara ini, dan juga melawan pendapat sejumlah petinggi pemerintahan NKRI. Terobosan PGI ini sudah dan sedang menimbulkan kontroversi panas, yang diwarnai kata-kata pedas dan pelecehan terhadap Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI, dan berbagai ancaman sejumlah gereja untuk keluar dari PGI lantaran mereka berasumsi PGI kini sudah menjadi liberal dan bermaksud “menyeragamkan sikap dan posisi doktrinal” semua gereja anggotanya terhadap OS LGBT. Saya sendiri heran atas reaksi-reaksi yang naif itu, dan bertanya-tanya sejak kapan PGI telah berubah menjadi sebuah lembaga penyeragaman sikap dan posisi doktrinal semua gereja anggotanya. Tak pernah PGI mengeluarkan pernyataan Nihil Opstat (“tidak ada pelanggaran atau hambatan doktrinal”) dan Imprimatur (“Silakan dicetak/diterbitkan”) pada semua karya tulis para pendeta dalam gereja-gereja anggotanya, tidak seperti dalam Gereja Roma Katolik. Sebaliknya, beberapa gereja anggota PGI bernafsu besar untuk menerapkan sensor pada PGI, organisasi induk mereka. Di awal minggu ketiga Juli 2016, bahkan pimpinan sinode sebuah gereja di Indonesia bagian timur (yaitu GMIM) sudah menyelengarakan sebuah konferensi yang bertujuan tunggal, yaitu menolak sikap dan posisi PGI terhadap LGBT, dan dalam konferensi itu disebut (oleh seseorang) bahwa lewat pernyataan sikap dan posisi PGI tentang LGBT, PGI telah melakukan sebuah kejahatan kemanusiaan. Bagi saya, tuduhan keji ini harus dibalikkan arahnya: para homofobik atau pembenci dan penyerang LGBT itulah yang justru sedang melakukan kejahatan kemanusiaan, bukan para pembela LGBT seperti PGI dan Peruati (Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi, yang sekarang diketuai Pdt. Ruth Ketsia Wangkai, 2015-2019). Pada 28 Mei 2016 MPH PGI mengeluarkan sebuah Pernyataan Pastoral tentang LGBT yang lumayan panjang. Semua poin yang dikemukakan sangat penting, dan, hemat saya, memiliki pijakan kuat pada temuan-temuan sains mutakhir tentang OS LGBT dan pada kajian-kajian ilmiah atas sejumlah teks Alkitab yang terkait dengan homoseksualitas. Karena itulah, saya mendukung dan membela sepenuhnya pernyataan pastoral PGI tersebut di berbagai forum, meskipun saya tidak punya hubungan kelembagaan apapun dengan PGI. Berikut ini dengan sangat ringkas dan padat saya sajikan sejumlah hal penting yang dimuat dalam pernyataan pastoral PGI tentang OS LGBT. Sebagaimana semua hal lain dalam dunia ini, OS itu beranekaragam, dan merupakan sebuah realitas yang Allah berikan kepada kita, yang harus bisa kita terima dengan sikap positif dan realistik; Jadi, setiap LGBT adalah manusia ciptaan Allah yang sangat dikasihi-Nya; Kecenderungan LGBT adalah suatu fenomena yang sudah ada sejak masa lalu, bukan produk kebudayaan modern, dan juga bukan produk kebudayaan Barat. Dalam masyarakat Indonesia, LGBT sudah sejak dulu diakomodasikan dalam kebudayaan sejumlah suku; Alkitab memang menyinggung fenomena LGBT, tapi Alkitab tidak memberi penilaian moral-etik terhadap keberadaan LGBT; Alkitab tidak mengkritik OS seseorang, tapi mengkritik perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh kaum heteroseksual atau kaum yang selama ini dianggap “normal”; Teks-teks Alkitab yang menyebut hal-hal yang terkait dengan seks tidak dimaksudkan untuk menyerang, menolak atau mendiskriminasi keberadaan LGBT. Apa yang ditolak dalam teks-teks Alkitab adalah segala jenis perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapapun, atas dasar apapun, termasuk atas dasar agama, dan ditujukan terhadap siapapun, termasuk terhadap perempuan, laki-laki dan anak-anak; Bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT bukan pilihan, tapi sesuatu yang “terterima” (“given”, atau “terberi”). Karena itu, menjadi LGBT bukan suatu dosa. Alhasil, kita tidak boleh memaksa mereka untuk bertobat, atau untuk berubah. Sebaliknya, kita harus menolong mereka supaya mereka bisa menerima OS diri sendiri sebagai pemberian Allah. Kita harus memberikan kesempatan agar mereka bisa tumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik, mental, sosial dan spiritual. Selanjutnya, MPH PGI menghimbau gereja-gereja anggotanya untuk mempersiapkan dan memberikan bimbingan pastoral kepada keluarga-keluarga Kristen agar mereka mampu menerima dan merangkul serta mencintai anggota-anggota keluarga mereka yang berkecenderungan LGBT. Diingatkan bahwa penolakan keluarga terhadap anggota-anggota keluarga yang LGBT berpotensi menimbulkan gangguan kejiwaan dan penolakan terhadap diri sendiri yang dapat berakibat makin meningkatnya potensi untuk bunuh diri di kalangan LGBT. MPH PGI juga mengingatkan bahwa selama ini kalangan LGBT telah mengalami penderitaan fisik, mental-psikologis, sosial, spiritual, karena stigmatisasi keagamaan terhadap mereka dan perlakuan keras oleh sebagian masyarakat. Mereka menjadi kelompok yang direndahkan, dikucilkan, dan didiskriminasi, bahkan juga oleh negara. Gereja harus mengambil sikap berbeda. Gereja bukan saja harus menerima mereka, tapi juga harus berjuang agar hak-hak kaum LGBT bisa diterima dan diakui oleh masyarakat dan negara, khususnya hak-hak untuk tidak didiskriminasi atau dikucilkan, untuk dilindungi terhadap kekerasan, untuk bekerja, untuk sekolah, untuk menjadi sarjana, dan sebagainya. Lebih luas, PGI meminta para petinggi negara untuk menjamin agar HAM dan martabat kaum LGBT dihormati, dan mereka harus diberi kesempatan untuk hidup dalam keadilan dan perdamaian. PGI juga menyatakan kesadaran mereka bahwa gereja dan masyarakat Indonesia masih belum bisa menerima pernikahan sejenis; masih diperlukan dialog dan percakapan yang lebih mendalam menyangkut soal ini.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/seluk-beluk-orientasi-seksual-lgbt-bagian-2_5785e03eaf9273c0056eeb97

Pernyataan pastoral PGI

Tetapi baru-baru ini muncul sesuatu yang sangat menarik, suatu sikap dan posisi “terobosan” dari PGI terkait OS LGBT, yang melawan arus kuat anti-LGBT umumnya di gereja-gereja di Indonesia, bahkan di komunitas-komunitas keagamaan lain di negara ini, dan juga melawan pendapat sejumlah petinggi pemerintahan NKRI. Terobosan PGI ini sudah dan sedang menimbulkan kontroversi panas, yang diwarnai kata-kata pedas dan pelecehan terhadap Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI, dan berbagai ancaman sejumlah gereja untuk keluar dari PGI lantaran mereka berasumsi PGI kini sudah menjadi liberal dan bermaksud “menyeragamkan sikap dan posisi doktrinal” semua gereja anggotanya terhadap OS LGBT.

Saya sendiri heran atas reaksi-reaksi yang naif itu, dan bertanya-tanya sejak kapan PGI telah berubah menjadi sebuah lembaga penyeragaman sikap dan posisi doktrinal semua gereja anggotanya. Tak pernah PGI mengeluarkan pernyataan Nihil Opstat (“tidak ada pelanggaran atau hambatan doktrinal”) dan Imprimatur (“Silakan dicetak dan diterbitkan”) pada semua karya tulis para pendeta dalam gereja-gereja anggotanya, tidak seperti dalam Gereja Roma Katolik. Sebaliknya, beberapa gereja anggota PGI bernafsu besar untuk menerapkan sensor pada PGI, organisasi induk mereka. 

Di awal minggu ketiga Juli 2016, bahkan pimpinan sinode sebuah gereja di Indonesia bagian timur (yaitu GMIM) sudah menyelengarakan sebuah konferensi yang bertujuan tunggal, yaitu menolak sikap dan posisi PGI terhadap LGBT, dan dalam konferensi itu disebut (oleh seseorang) bahwa lewat pernyataan sikap dan posisi PGI tentang LGBT, PGI telah melakukan sebuah kejahatan kemanusiaan

Bagi saya, tuduhan keji ini harus dibalikkan arahnya: para homofobik atau pembenci dan penyerang LGBT itulah yang justru sedang melakukan kejahatan kemanusiaan, bukan para pembela LGBT seperti PGI dan Peruati (Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi, yang sekarang diketuai Pdt. Ruth Ketsia Wangkai, 2015-2019).     

Pada 28 Mei 2016 MPH PGI mengeluarkan sebuah Pernyataan Pastoral tentang LGBT yang lumayan panjang. Semua poin yang dikemukakan sangat penting, dan, hemat saya, memiliki pijakan kuat pada temuan-temuan sains mutakhir tentang OS LGBT dan pada kajian-kajian ilmiah atas sejumlah teks Alkitab yang terkait dengan homoseksualitas. 

Karena itulah, saya mendukung dan membela sepenuhnya pernyataan pastoral PGI tersebut di berbagai forum, meskipun saya tidak punya hubungan kelembagaan apapun dengan PGI. Berikut ini dengan sangat ringkas dan padat saya sajikan sejumlah hal penting yang dimuat dalam pernyataan pastoral PGI tentang OS LGBT.
  • Sebagaimana semua hal lain dalam dunia ini, OS itu beranekaragam, dan merupakan sebuah realitas yang Allah berikan kepada kita, yang harus bisa kita terima dengan sikap positif dan realistik; Jadi, setiap LGBT adalah manusia ciptaan Allah yang sangat dikasihi-Nya;
  • Kecenderungan LGBT adalah suatu fenomena yang sudah ada sejak masa lalu, bukan produk kebudayaan modern, dan juga bukan produk kebudayaan Barat. Dalam masyarakat Indonesia, LGBT sudah sejak dulu diakomodasikan dalam kebudayaan sejumlah suku;
  • Alkitab memang menyinggung fenomena LGBT, tapi Alkitab tidak memberi penilaian moral-etik terhadap keberadaan LGBT; Alkitab tidak mengkritik OS seseorang, tapi mengkritik perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh kaum heteroseksual atau kaum yang selama ini dianggap “normal”;
  • Teks-teks Alkitab yang menyebut hal-hal yang terkait dengan seks tidak dimaksudkan untuk menyerang, menolak atau mendiskriminasi keberadaan LGBT. Apa yang ditolak dalam teks-teks Alkitab adalah segala jenis perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapapun, atas dasar apapun, termasuk atas dasar agama, dan ditujukan terhadap siapapun, termasuk terhadap perempuan, laki-laki dan anak-anak;
  • Bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT bukan pilihan, tapi sesuatu yang “terterima” (“given”, atau “terberi”). Karena itu, menjadi LGBT bukan suatu dosa. Alhasil, kita tidak boleh memaksa mereka untuk bertobat, atau untuk berubah. Sebaliknya, kita harus menolong mereka supaya mereka bisa menerima OS diri sendiri sebagai pemberian Allah. Kita harus memberikan kesempatan agar mereka bisa tumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik, mental, sosial dan spiritual.
Selanjutnya, MPH PGI menghimbau gereja-gereja anggotanya untuk mempersiapkan dan memberikan bimbingan pastoral kepada keluarga-keluarga Kristen agar mereka mampu menerima dan merangkul serta mencintai anggota-anggota keluarga mereka yang berkecenderungan LGBT. Diingatkan bahwa penolakan keluarga terhadap anggota-anggota keluarga yang LGBT berpotensi menimbulkan gangguan kejiwaan dan penolakan terhadap diri sendiri yang dapat berakibat makin meningkatnya potensi untuk bunuh diri di kalangan LGBT.

MPH PGI juga mengingatkan bahwa selama ini kalangan LGBT telah mengalami penderitaan fisik, mental-psikologis, sosial, spiritual, karena stigmatisasi keagamaan terhadap mereka dan perlakuan keras oleh sebagian masyarakat. Mereka menjadi kelompok yang direndahkan, dikucilkan, dan didiskriminasi, bahkan juga oleh negara. Gereja harus mengambil sikap berbeda. Gereja bukan saja harus menerima mereka, tapi juga harus berjuang agar hak-hak kaum LGBT bisa diterima dan diakui oleh masyarakat dan negara, khususnya hak-hak untuk tidak didiskriminasi atau dikucilkan, untuk dilindungi terhadap kekerasan, untuk bekerja, untuk sekolah, untuk menjadi sarjana, dan sebagainya.

Lebih luas, PGI meminta para petinggi negara untuk menjamin agar HAM dan martabat kaum LGBT dihormati, dan mereka harus diberi kesempatan untuk hidup dalam keadilan dan perdamaian. PGI juga menyatakan kesadaran mereka bahwa gereja dan masyarakat Indonesia masih belum bisa menerima pernikahan sejenis; masih diperlukan dialog dan percakapan yang lebih mendalam menyangkut soal ini. 

Tetapi baru-baru ini muncul sesuatu yang sangat menarik, suatu sikap dan posisi “terobosan” dari PGI terkait OS LGBT, yang melawan arus kuat anti-LGBT umumnya di gereja-gereja di Indonesia, bahkan di komunitas-komunitas keagamaan lain di negara ini, dan juga melawan pendapat sejumlah petinggi pemerintahan NKRI. Terobosan PGI ini sudah dan sedang menimbulkan kontroversi panas, yang diwarnai kata-kata pedas dan pelecehan terhadap Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI, dan berbagai ancaman sejumlah gereja untuk keluar dari PGI lantaran mereka berasumsi PGI kini sudah menjadi liberal dan bermaksud “menyeragamkan sikap dan posisi doktrinal” semua gereja anggotanya terhadap OS LGBT. Saya sendiri heran atas reaksi-reaksi yang naif itu, dan bertanya-tanya sejak kapan PGI telah berubah menjadi sebuah lembaga penyeragaman sikap dan posisi doktrinal semua gereja anggotanya. Tak pernah PGI mengeluarkan pernyataan Nihil Opstat (“tidak ada pelanggaran atau hambatan doktrinal”) dan Imprimatur (“Silakan dicetak/diterbitkan”) pada semua karya tulis para pendeta dalam gereja-gereja anggotanya, tidak seperti dalam Gereja Roma Katolik. Sebaliknya, beberapa gereja anggota PGI bernafsu besar untuk menerapkan sensor pada PGI, organisasi induk mereka. Di awal minggu ketiga Juli 2016, bahkan pimpinan sinode sebuah gereja di Indonesia bagian timur (yaitu GMIM) sudah menyelengarakan sebuah konferensi yang bertujuan tunggal, yaitu menolak sikap dan posisi PGI terhadap LGBT, dan dalam konferensi itu disebut (oleh seseorang) bahwa lewat pernyataan sikap dan posisi PGI tentang LGBT, PGI telah melakukan sebuah kejahatan kemanusiaan. Bagi saya, tuduhan keji ini harus dibalikkan arahnya: para homofobik atau pembenci dan penyerang LGBT itulah yang justru sedang melakukan kejahatan kemanusiaan, bukan para pembela LGBT seperti PGI dan Peruati (Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi, yang sekarang diketuai Pdt. Ruth Ketsia Wangkai, 2015-2019). Pada 28 Mei 2016 MPH PGI mengeluarkan sebuah Pernyataan Pastoral tentang LGBT yang lumayan panjang. Semua poin yang dikemukakan sangat penting, dan, hemat saya, memiliki pijakan kuat pada temuan-temuan sains mutakhir tentang OS LGBT dan pada kajian-kajian ilmiah atas sejumlah teks Alkitab yang terkait dengan homoseksualitas. Karena itulah, saya mendukung dan membela sepenuhnya pernyataan pastoral PGI tersebut di berbagai forum, meskipun saya tidak punya hubungan kelembagaan apapun dengan PGI. Berikut ini dengan sangat ringkas dan padat saya sajikan sejumlah hal penting yang dimuat dalam pernyataan pastoral PGI tentang OS LGBT. Sebagaimana semua hal lain dalam dunia ini, OS itu beranekaragam, dan merupakan sebuah realitas yang Allah berikan kepada kita, yang harus bisa kita terima dengan sikap positif dan realistik; Jadi, setiap LGBT adalah manusia ciptaan Allah yang sangat dikasihi-Nya; Kecenderungan LGBT adalah suatu fenomena yang sudah ada sejak masa lalu, bukan produk kebudayaan modern, dan juga bukan produk kebudayaan Barat. Dalam masyarakat Indonesia, LGBT sudah sejak dulu diakomodasikan dalam kebudayaan sejumlah suku; Alkitab memang menyinggung fenomena LGBT, tapi Alkitab tidak memberi penilaian moral-etik terhadap keberadaan LGBT; Alkitab tidak mengkritik OS seseorang, tapi mengkritik perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh kaum heteroseksual atau kaum yang selama ini dianggap “normal”; Teks-teks Alkitab yang menyebut hal-hal yang terkait dengan seks tidak dimaksudkan untuk menyerang, menolak atau mendiskriminasi keberadaan LGBT. Apa yang ditolak dalam teks-teks Alkitab adalah segala jenis perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapapun, atas dasar apapun, termasuk atas dasar agama, dan ditujukan terhadap siapapun, termasuk terhadap perempuan, laki-laki dan anak-anak; Bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT bukan pilihan, tapi sesuatu yang “terterima” (“given”, atau “terberi”). Karena itu, menjadi LGBT bukan suatu dosa. Alhasil, kita tidak boleh memaksa mereka untuk bertobat, atau untuk berubah. Sebaliknya, kita harus menolong mereka supaya mereka bisa menerima OS diri sendiri sebagai pemberian Allah. Kita harus memberikan kesempatan agar mereka bisa tumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik, mental, sosial dan spiritual. Selanjutnya, MPH PGI menghimbau gereja-gereja anggotanya untuk mempersiapkan dan memberikan bimbingan pastoral kepada keluarga-keluarga Kristen agar mereka mampu menerima dan merangkul serta mencintai anggota-anggota keluarga mereka yang berkecenderungan LGBT. Diingatkan bahwa penolakan keluarga terhadap anggota-anggota keluarga yang LGBT berpotensi menimbulkan gangguan kejiwaan dan penolakan terhadap diri sendiri yang dapat berakibat makin meningkatnya potensi untuk bunuh diri di kalangan LGBT. MPH PGI juga mengingatkan bahwa selama ini kalangan LGBT telah mengalami penderitaan fisik, mental-psikologis, sosial, spiritual, karena stigmatisasi keagamaan terhadap mereka dan perlakuan keras oleh sebagian masyarakat. Mereka menjadi kelompok yang direndahkan, dikucilkan, dan didiskriminasi, bahkan juga oleh negara. Gereja harus mengambil sikap berbeda. Gereja bukan saja harus menerima mereka, tapi juga harus berjuang agar hak-hak kaum LGBT bisa diterima dan diakui oleh masyarakat dan negara, khususnya hak-hak untuk tidak didiskriminasi atau dikucilkan, untuk dilindungi terhadap kekerasan, untuk bekerja, untuk sekolah, untuk menjadi sarjana, dan sebagainya. Lebih luas, PGI meminta para petinggi negara untuk menjamin agar HAM dan martabat kaum LGBT dihormati, dan mereka harus diberi kesempatan untuk hidup dalam keadilan dan perdamaian. PGI juga menyatakan kesadaran mereka bahwa gereja dan masyarakat Indonesia masih belum bisa menerima pernikahan sejenis; masih diperlukan dialog dan percakapan yang lebih mendalam menyangkut soal ini.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/seluk-beluk-orientasi-seksual-lgbt-bagian-2_5785e03eaf9273c0056eeb97


Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/seluk-beluk-orientasi-seksual-lgbt-bagian-2_5785e03eaf9273c0056eeb97


Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/seluk-beluk-orientasi-seksual-lgbt-bagian-2_5785e03eaf9273c0056eeb97
Pernyataan pastoral PGI Tetapi baru-baru ini muncul sesuatu yang sangat menarik, suatu sikap dan posisi “terobosan” dari PGI terkait OS LGBT, yang melawan arus kuat anti-LGBT umumnya di gereja-gereja di Indonesia, bahkan di komunitas-komunitas keagamaan lain di negara ini, dan juga melawan pendapat sejumlah petinggi pemerintahan NKRI. Terobosan PGI ini sudah dan sedang menimbulkan kontroversi panas, yang diwarnai kata-kata pedas dan pelecehan terhadap Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI, dan berbagai ancaman sejumlah gereja untuk keluar dari PGI lantaran mereka berasumsi PGI kini sudah menjadi liberal dan bermaksud “menyeragamkan sikap dan posisi doktrinal” semua gereja anggotanya terhadap OS LGBT. Saya sendiri heran atas reaksi-reaksi yang naif itu, dan bertanya-tanya sejak kapan PGI telah berubah menjadi sebuah lembaga penyeragaman sikap dan posisi doktrinal semua gereja anggotanya. Tak pernah PGI mengeluarkan pernyataan Nihil Opstat (“tidak ada pelanggaran atau hambatan doktrinal”) dan Imprimatur (“Silakan dicetak/diterbitkan”) pada semua karya tulis para pendeta dalam gereja-gereja anggotanya, tidak seperti dalam Gereja Roma Katolik. Sebaliknya, beberapa gereja anggota PGI bernafsu besar untuk menerapkan sensor pada PGI, organisasi induk mereka. Di awal minggu ketiga Juli 2016, bahkan pimpinan sinode sebuah gereja di Indonesia bagian timur (yaitu GMIM) sudah menyelengarakan sebuah konferensi yang bertujuan tunggal, yaitu menolak sikap dan posisi PGI terhadap LGBT, dan dalam konferensi itu disebut (oleh seseorang) bahwa lewat pernyataan sikap dan posisi PGI tentang LGBT, PGI telah melakukan sebuah kejahatan kemanusiaan. Bagi saya, tuduhan keji ini harus dibalikkan arahnya: para homofobik atau pembenci dan penyerang LGBT itulah yang justru sedang melakukan kejahatan kemanusiaan, bukan para pembela LGBT seperti PGI dan Peruati (Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi, yang sekarang diketuai Pdt. Ruth Ketsia Wangkai, 2015-2019). Pada 28 Mei 2016 MPH PGI mengeluarkan sebuah Pernyataan Pastoral tentang LGBT yang lumayan panjang. Semua poin yang dikemukakan sangat penting, dan, hemat saya, memiliki pijakan kuat pada temuan-temuan sains mutakhir tentang OS LGBT dan pada kajian-kajian ilmiah atas sejumlah teks Alkitab yang terkait dengan homoseksualitas. Karena itulah, saya mendukung dan membela sepenuhnya pernyataan pastoral PGI tersebut di berbagai forum, meskipun saya tidak punya hubungan kelembagaan apapun dengan PGI. Berikut ini dengan sangat ringkas dan padat saya sajikan sejumlah hal penting yang dimuat dalam pernyataan pastoral PGI tentang OS LGBT. Sebagaimana semua hal lain dalam dunia ini, OS itu beranekaragam, dan merupakan sebuah realitas yang Allah berikan kepada kita, yang harus bisa kita terima dengan sikap positif dan realistik; Jadi, setiap LGBT adalah manusia ciptaan Allah yang sangat dikasihi-Nya; Kecenderungan LGBT adalah suatu fenomena yang sudah ada sejak masa lalu, bukan produk kebudayaan modern, dan juga bukan produk kebudayaan Barat. Dalam masyarakat Indonesia, LGBT sudah sejak dulu diakomodasikan dalam kebudayaan sejumlah suku; Alkitab memang menyinggung fenomena LGBT, tapi Alkitab tidak memberi penilaian moral-etik terhadap keberadaan LGBT; Alkitab tidak mengkritik OS seseorang, tapi mengkritik perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh kaum heteroseksual atau kaum yang selama ini dianggap “normal”; Teks-teks Alkitab yang menyebut hal-hal yang terkait dengan seks tidak dimaksudkan untuk menyerang, menolak atau mendiskriminasi keberadaan LGBT. Apa yang ditolak dalam teks-teks Alkitab adalah segala jenis perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh siapapun, atas dasar apapun, termasuk atas dasar agama, dan ditujukan terhadap siapapun, termasuk terhadap perempuan, laki-laki dan anak-anak; Bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT bukan pilihan, tapi sesuatu yang “terterima” (“given”, atau “terberi”). Karena itu, menjadi LGBT bukan suatu dosa. Alhasil, kita tidak boleh memaksa mereka untuk bertobat, atau untuk berubah. Sebaliknya, kita harus menolong mereka supaya mereka bisa menerima OS diri sendiri sebagai pemberian Allah. Kita harus memberikan kesempatan agar mereka bisa tumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik, mental, sosial dan spiritual. Selanjutnya, MPH PGI menghimbau gereja-gereja anggotanya untuk mempersiapkan dan memberikan bimbingan pastoral kepada keluarga-keluarga Kristen agar mereka mampu menerima dan merangkul serta mencintai anggota-anggota keluarga mereka yang berkecenderungan LGBT. Diingatkan bahwa penolakan keluarga terhadap anggota-anggota keluarga yang LGBT berpotensi menimbulkan gangguan kejiwaan dan penolakan terhadap diri sendiri yang dapat berakibat makin meningkatnya potensi untuk bunuh diri di kalangan LGBT. MPH PGI juga mengingatkan bahwa selama ini kalangan LGBT telah mengalami penderitaan fisik, mental-psikologis, sosial, spiritual, karena stigmatisasi keagamaan terhadap mereka dan perlakuan keras oleh sebagian masyarakat. Mereka menjadi kelompok yang direndahkan, dikucilkan, dan didiskriminasi, bahkan juga oleh negara. Gereja harus mengambil sikap berbeda. Gereja bukan saja harus menerima mereka, tapi juga harus berjuang agar hak-hak kaum LGBT bisa diterima dan diakui oleh masyarakat dan negara, khususnya hak-hak untuk tidak didiskriminasi atau dikucilkan, untuk dilindungi terhadap kekerasan, untuk bekerja, untuk sekolah, untuk menjadi sarjana, dan sebagainya. Lebih luas, PGI meminta para petinggi negara untuk menjamin agar HAM dan martabat kaum LGBT dihormati, dan mereka harus diberi kesempatan untuk hidup dalam keadilan dan perdamaian. PGI juga menyatakan kesadaran mereka bahwa gereja dan masyarakat Indonesia masih belum bisa menerima pernikahan sejenis; masih diperlukan dialog dan percakapan yang lebih mendalam menyangkut soal ini.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/seluk-beluk-orientasi-seksual-lgbt-bagian-2_5785e03eaf9273c0056eeb97

Posisi Paus Fransiskus 

Di akhir Juli 2013, di saat sedang dalam penerbangan kembali ke Vatikan sehabis berkunjung selama seminggu sejak 22 Juli di Rio de Janeiro, Brazil, Paus Fransiskus mengadakan acara jumpa pers selama satu jam lebih. Banyak hal yang dipercakapkan, di antaranya tentang homoseksual. 

Di saat sedang membicarakan kaum gay, Paus Fransiskus menyatakan bahwa “Ketika aku berjumpa dengan seorang gay, aku harus membicarakan kondisi mereka sebagai gay dan sebagai bagian dari suatu lobby. Jika seseorang itu gay dan dia menerima Tuhan dan berkemauan baik, siapakah aku sampai aku harus menghakimi mereka? Mereka harus tidak dimarjinalisasikan. Kecenderungan [ke homoseksualitas] bukan masalahnya,… mereka saudara-saudara kita.”/16/ Jelas, sang Paus hanya berbicara tentang gay yang “menerima Tuhan”, maksudnya: para gay yang menerima dan percaya pada Yesus Kristus, yakni para gay warga GRK, dan bisa juga semua gay yang Kristen saja. 

Sang Paus pernah juga bercerita pendek, tuturnya: “Suatu kali seseorang bertanya kepadaku dengan nada yang provokatif, apakah aku menyetujui homoseksualitas. Aku menjawabnya dengan sebuah pertanyaan lain: ‘Katakan kepadaku, ketika Allah melihat seorang gay, apakah Allah mendukung kehidupan orang ini dengan cinta-Nya, ataukah menolak dan mengutukinya?’ Jadi, kita harus selalu mempertimbangkan si individu yang gay itu!”/17/ Kelihatan jelas dari ucapannya ini, Paus Fransiskus menghargai martabat dan kehormatan kalangan homoseksual, kendatipun, pada sisi lain, yang ada dalam pikirannya hanyalah para gay Kristen yang berkemauan baik.

Tetapi belum lama ini, ketika Irlandia baru saja melegalisasi perkawinan sejenis, Vatikan menegaskan bahwa langkah Irlandia itu “sebuah kekalahan bagi kemanusiaan!” Sebagaimana sudah diketahui, ada sepuluh negara yang berlatarbelakang kuat GRK yang sudah melegalisasi perkawinan sejenis, yakni Belgia, Kanada, Spanyol, Argentina, Portugal, Brazil, Prancis, Uruguai, Luxemburg, dan Irlandia./18/ Sulit bagi kita untuk menyamakan GRK dengan kemanusiaan, tentu saja. Mengapa sang Paus menjadi tidak konsisten padahal dia sudah dikenal sebagai pemimpin GRK sedunia di abad ke-21 yang mampu berpikir bebas? 

Selain itu, dalam sebuah wawancara terhadap Paus Fransiskus yang dimuat dalam buku Andrea Tornielli dan Giacomo Galeazzi, This Economy Kills: Pope Francis on Capitalism and Social Justice (2015), sang Paus mengejutkan sekali menyetarakan teori gender (yang melihat seksualitas manusia membentuk sebuah spektrum warna-warni yang lazimnya disebut spektrum LGBTIQ) dengan senjata nuklir yang dapat melenyapkan kehidupan. Kata Paus Fransiskus, 
“Mari kita pikirkan persenjataan nuklir, yang mampu melenyapkan sangat banyak manusia dalam sekejap. Mari juga kita pikirkan manipulasi genetik, manipulasi kehidupan, atau teori gender, yang tidak mengakui orde ciptaan. Dengan semua sikap ini, manusia sedang membuat sebuah dosa besar baru yang melawan Allah sang Pencipta.”/19/
Betulkah teori spektrum seksualitas manusia sama bahayanya dengan ledakan sebuah bom nuklir? Ya jelas tidak! Ada baiknya anda usahakan bertanya langsung ke Vatikan apa yang dimaksudkan oleh sang Paus atas pernyataannya itu yang menurut saya tidak arif dan berlebihan

Terus terang, saya merasa iba juga pada sang Paus, karena dia bagaimanapun juga harus tunduk pada dogma dan doktrin GRK, meskipun dia sendiri punya pikiran yang bebas. Agama sayangnya lebih sering memenjarakan manusia ketimbang membebaskan. Agama juga sering membelah kepribadian manusia. Agama semacam ini bukan agama yang cerdas. Pertanyaan sufi dari Persia yang terkenal, Jalaluddin Rumi (1207-1273), selalu saya ingat, “Mengapa anda terus berdiam dalam penjara sementara pintu-pintunya terbuka lebar?” Rumi juga memerintahkan, “Jadilah langit! Ambil sebuah kapak lalu runtuhkan dinding penjara itu! Lepaskan dirimu!”   

Dalam sebuah komentar panjangnya tentang pertemuan pribadi Paus Fransiskus dan Ms. Kim Davis (panitera di Kentucky yang belum lama ini menolak mengeluarkan surat izin nikah bagi pasangan sesama jenis seks), yang berlangsung di Kedutaan Besar Vatikan di Washington, D.C., 24 September 2015, German Lopez antara lain menyatakan bahwa “Paus Fransiskus kadangkala mengucapkan hal-hal…yang kelihatannya bersahabat dengan kalangan gay. Tetapi ketika dianalisis lebih jauh, ajaran-ajaran dasariah GRK dan Paus Fransiskus tidak berubah sama sekali: homoseksualitas masih dipandang sebagai suatu dosa, para gay masih diminta untuk hidup suci, dan perkawinan sesama jenis seks tetap dilawan.”/20


Posisi Dalai Lama XIV

Dalam suatu wawancara di bulan Maret 2014 oleh sosok beken di dunia radio dan TV Amerika, Larry King, tentang perkawinan sesama jenis seks, Dalai Lama XIV menegaskan bahwa “jika dua orang―sebagai pasangan―sungguh-sungguh merasa bahwa cara itu lebih praktis dan lebih memuaskan, dan kedua mitra sepakat sepenuhnya, itu OK saja!”

Tetapi Dalai Lama tetap menghargai sikap dan posisi masing-masing agama lain ketika dia menegaskan bahwa umat setiap agama harus mengikuti kaidah-kaidah moral agama mereka masing-masing di bidang seks. 


Tentang homoseksualitas di kalangan orang tidak beragama, Dalai Lama menegaskan bahwa “itu terserah mereka. Ada banyak bentuk seks yang berbeda―sejauh itu aman, OK saja. Juga kedua mitra harus sepakat sepenuhnya.” Jika para homoseks “di-bully, diperlakukan sewenang-wenang, itu salah sama sekali. Itu melanggar HAM.”/21/

Jelas ya, Dalai Lama XIV berpandangan jauh lebih maju ketimbang Paus Fransiskus. Selanjutnya adalah tugas para pakar medis Buddhis untuk menjabarkan makna dan cakupan kata
amandalam hubungan seksual para homoseksual, yang telah dikatakan Dalai Lama. 



Surat terbuka muslimin Reza Aslan dan Hasan Minhaj

Ahli agama Reza Aslan dan komedian sekaligus wartawan Daily Show Hasan Minhaj, keduanya Muslim Amerika, pada 7 Juli 2015, bersama-sama menulis sebuah surat terbuka kepada sesama Muslim Amerika mengenai perkawinan sesama jenis yang baru dilegalisasi oleh MA Amerika dan berlaku di seluruh 50 negara bagian. Surat mereka cukup panjang, dimuat pada web Religion Dispatches, 7 Juli 2015. Saya kutipkan bagian-bagiannya yang hemat saya penting diperhatikan, berikut ini./22/
“Kini perkawinan sesama jenis sudah legal di Amerika. Keadaan ini mengguncang iman kalian. Kalian jadi khawatir tentang masa depan, dan bertanya apa artinya masa depan untuk anak-anak kalian. Kalian tahu, hak-hak kaum gay makin luas diterima, tapi secara pribadi kalian sesungguhnya tidak dapat merangkul perubahan ini. Kalian dapat merasa tidak ada masalah jika berteman dengan gay atau mereka menjadi rekan-rekan sekerja kalian. Bahkan kalian dapat sepakat bahwa menjadi gay tidak membuat kalian terdiskualifikasi sebagai seorang Muslim. Tetapi secara pribadi, diam-diam kalian merasa bahwa adanya komunitas-komunitas LGBT adalah suatu kontradiksi yang real terhadap kepercayaan-kepercayaan yang telah diwariskan kepada kalian.

Sebagai Muslim, kita adalah orang yang telah termarjinalisasi dengan dalam di dalam kebudayaan arus utama Amerika. Lebih dari separuh orang Amerika memandang kita dengan negatif. Sepertiga orang Amerika (yakni, lebih dari seratus juta orang) ingin kita membawa KTP khusus sehingga mereka dengan mudah dapat mengenali kita sebagai Muslim. Kita harus tidak selamanya mempertahankan keadaan kita yang termarjinalisasi dengan memarjinalisasi orang-orang lain. Jika kalian menolak hak untuk perkawinan sesama jenis, tetapi lalu mengharapkan empati terhadap perjuangan komunitas kita, itu sama dengan kemunafikan.

Ingatlah bagaimana orang memandang saudara-saudara perempuan kalian yang memakai hijab atau saudara-saudara pria kalian yang berjenggot lebat saat mereka berjalan di dalam mall-mall. Ingat juga bagaimana di pelabuhan-pelabuhan udara orang melihat ke kalian atau mengomel kepada kalian. Ingat juga bagaimana para pemimpin politik terpilih kalian sendiri dengan tajam mengkritik kalian. Itulah juga semua yang dirasakan saudara-saudaramu, lelaki dan perempuan, dari kaum LGBT, setiap hari dalam kehidupan mereka. Apakah kalian bersikap biasa-biasa saja dengan semua itu?

Kalian boleh berpikir bahwa hak-hak LGBT adalah suatu percakapan baru, sesuatu yang baru-baru ini saja bersentuhan dengan pemikiran Islam modern. Tetapi, percayalah kepada kami, tidak demikian halnya! Menantang status quo untuk memperbaiki masyarakat adalah salah satu fondasi bangunan agama Islam sendiri.

Tapi jika hati kalian tidak bisa menerima kalangan gay pada prinsipnya, ingatlah negara yang di dalamnya kalian ingin berdiam. Bagaimana pun juga, UU yang baru saja menjamin hak-hak komunitas-komunitas LGBT adalah UU yang sama yang melindungi masjid-masjid dan sentra-sentra komunitas kita, yang membuat sekolah-sekolah Islami kita tetap buka, yang memungkinkan kita mempunyai hak-hak dan perlakuan-perlakuan istimewa saat kita semua menghadapi kebencian dan fanatisme yang membanjir dari orang-orang Amerika sesama kita. Kalian tidak dapat merayakan yang satu dengan membuang yang lain.

Karena itulah, tidak cukup jika kita cuma ‘mentolerir’ keputusan MA. Mentolerir suatu komunitas lain hanya akan menimbulkan ketakutan-ketakutan tersembunyi terhadap kelompok-kelompok yang termarjinalisasi dan apatisme terhadap proses politik. Sebagai minoritas-minoritas, kita tidak bisa hidup dengan dua emosi itu memenuhi kita. Kita harus melakukan lebih dari cuma mentolerir. Kita harus merangkulnya. Kita harus memperjuangkan hak orang-orang lain untuk menjalani kehidupan mereka dengan bebas, sama seperti kita juga ingin hidup kita bebas.

Hal terpenting yang kalian harus pikirkan sungguh-sungguh adalah ini: Belalah komunitas-komunitas yang termarjinalisasi, bahkan ketika kalian tidak sepakat dengan mereka. Ini bukan saja hal yang benar untuk kalian lakukan, tetapi ini juga adalah hal Islami yang setiap Muslim harus lakukan. Ingatlah, Allah itu sepenuhnya rahmani dan rahimi. Wujudkan ini bagi semua orang, bukan hanya bagi kalangan heteroseksual!”
Baris terakhir surat terbuka mereka memuat kata-kata ini: “Rayakanlah! Jangan hanya mentolerir! Cinta sungguh-sungguh menang. 

Setelah mengamati sekian waktu, dan sudah saya prediksi sebelumnya, saya menemukan, ada banyak Muslim yang marah terhadap Reza Aslan dan Hasan Minhaj, padahal mereka yang marah ini bukan Muslim Amerika dan tidak memahami konteks sosialbudaya dan politik yang di dalamnya Aslan dan Minhaj hidup. Bahkan ada juga yang meminta surat terbuka mereka dicabut dari web Religion Dispatches, padahal mereka ini belum membaca surat mereka seluruhnya dalam bahasa Inggris dan mungkin sekali mereka juga tidak paham bahasa Inggris. Itulah suasana batin dan intelektual dunia Muslim sekarang ini.

Reza Aslan dan Hasan Minhaj, dalam pandangan saya, betul saat mereka menyatakan cinta dan kasih sayang serta kemurahan Allah itu tak mengenal batas-batas, diberikan kepada semua orang dari OS apapun. Agama-agama yang dibangun manusia, itulah yang membatasi kerahiman dan kerahmanian Allah. 


Literalisme versus kritisisme

Tentang posisi kaum Muslim di Indonesia, tidak perlu saya beberkan lagi, karena mereka pasti juga menolak perkawinan sesama jenis. Yang sudah kita ketahui adalah bahwa beberapa peristiwa telah terjadi belum lama ini di Indonesia yang menunjukkan kebencian kaum beragama Muslim fundamentalis terhadap kaum homoseksual; kebencian ini timbul tidak sedikit karena teks-teks skriptural yang dipahami secara harfiah. Saya menyebut mereka sebagai kalangan literalis dalam memahami teks-teks kuno kitab suci. 

Bagi mereka, hal apapun yang sudah tertulis sebagai teks kitab suci, teks ini apa adanya, harfiah, berlaku di segala zaman dan di segala tempat, mutlak mengikat umat pemakai kitab suci, kata mereka, sejak awal dunia hingga kiamat. Kata mereka dengan sangat yakin bahwa teks-teks kitab suci tidak perlu ditafsir-tafsir, tapi cukup hanya dibaca, dan pesan-pesan yang tertulisnya tinggal umat jalankan saja dengan taat, tanpa perlu ada keraguan sedikitpun.

Keyakinan kalangan literalis ini sesungguhnya naif dan tidak tepat, karena minimal dua penyebab.  Pertama, mereka mengabaikan fakta kuat bahwa ketika teks-teks kuno kitab suci sudah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain, termasuk bahasa kita sendiri, penerjemahan itu sendiri adalah suatu penafsiran. Tak ada penerjemahan yang bebas dari penafsiran. Kalaupun kitab suci yang kita pakai masih ditulis dalam bahasa aslinya (misalnya bahasa Ibrani atau bahasa Yunani koine atau bahasa Arab zaman dulu), saat kita pada masa kini di dunia kita membaca teks-teks asli ini dan mau memahaminya kita berpikir dalam bahasa ibu kita, bukan dalam bahasa asli kitab suci kita. Dus, saat ini terjadi, kita pun harus menafsir teks-teks dalam bahasa aslinya itu dan mengubahnya dalam pikiran kita sendiri untuk menjadi teks-teks dalam bahasa ibu kita sendiri. Kondisi ini pasti terjadi dalam benak kita sejauh kita mau memahami teks-teks asli yang kita baca, bukan cuma mau hafal mati dan ulang-ulang ribuan hingga jutaan kali begitu saja tanpa kita ketahui artinya dalam bahasa ibu kita sendiri, sejak kita kanak-kanak sampai kita wafat.  

Kedua, mereka tidak bisa melihat dan tidak mau mengakui bahwa tidak ada seorangpun saat mendekati teks-teks kitab suci berpikiran kosong melompong (seperti selembar kertas putih bersih), alhasil, kata mereka, hanya tinggal diisi pesan-pesan kitab suci yang puritan. Sesungguhnya, kapan pun juga kita membaca dan mau menangkap pesan teks-teks suci apapun, dalam benak kita selalu sudah ada paham-paham dan keyakinan-keyakinan yang kuat sebelumnya, yang terbentuk dan dibangun dari berbagai sumber di luar kitab suci sendiri (misalnya, dari aliran agama yang kita anut, dari indoktrinasi ajaran-ajaran guru-guru agama, dari buku-buku dan berita-berita yang kita baca dan dengar, dari berbagai pengalaman kehidupan kita, dari kedudukan dan tempat kita dalam masyarakat, dari tekanan-tekanan yang datang dari luar diri kita, dan dari ambisi-ambisi individual kita sendiri).

Berbagai paham dan keyakinan yang sudah ada sebelumnya dalam benak kita ini saat kita mau memahami teks-teks kitab suci dalam ilmu tafsir disebut prapaham atau prasuposisi (presupposition). 

Nah prapaham ini sangat kuat mengendalikan pikiran kita ketika kita sedang membaca teks-teks kitab suci apapun. Adanya peran prapaham ini dalam setiap usaha memahami kitab suci membuat pemahaman literalis atau pemahaman harfiah sama sekali tidak bisa didapat. Alih-alih menemukan makna harfiah teks-teks suci, si pembaca kitab suci malah membiarkan prapaham-prapahamnya sendiri menentukan makna teks-teks suci yang sedang dibacanya dan menganggap prapaham-prapahamnya ini sendiri sebagai firman Allah. Ketimbang menemukan satu pesan teks suci yang jelas, pendekatan literalis malah menghasilkan sangat banyak dan beranekaragam pesan teks sejalan dengan banyak dan beranekaragamnya prapaham-prapaham para penafsir. 

Sebaliknya, penafsiran yang bertanggungjawab adalah penafsiran yang tidak dikendalikan atau didikte prapaham, kendatipun prapaham ini masih bisa ada gunanya hanya di langkah-langkah awal penafsiran sebagai ancang-ancang saja, yang kemudian harus dilepaskan demi menemukan makna sebenarnya teks-teks suci. Menolak pendiktean oleh prapaham-prapaham kita hanya mungkin jika kita menafsir teks-teks kitab suci tidak literalistik, tetapi dengan memakai sebuah pendekatan lain, yang kedua. 

Dalam situasi sosialpolitik yang tidak menguntungkan seperti sudah disinggung di atas, untuk meniadakan atau minimal mengurangi tekanan sosiopsikologis dan sosiopolitis terhadap kaum homoseksual, teks-teks skriptural yang tampak melarang dan mengutuk homoseksualitas perlu ditafsir ulang untuk melepaskan teks-teks ini dari dominasi konstruksi tafsiran tradisional literalis yang umumnya memang tidak memihak kaum ini. Pendekatan yang kedua ini, pendekatan yang saintifik terhadap teks-teks kuno kitab suci manapun, disebut sebagai pendekatan historis kritis. Digolongkan sebagai pendekatan saintifik karena memang dijalankan dengan melibatkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu sejarah, linguistik, arkeologi, antropologi budaya, sosiologi, berbagai jenis kritik sastra, dan lain-lain. 


Dengan pendekatan historis kritis, semua teks kuno kitab-kitab suci mutlak harus diperlakukan sebagai teks-teks yang terikat pada sejarah, kebudayaan dan sistem sosial zaman-zaman kuno yang di dalamnya para penulis teks-teks ini hidup, bergaul, bermasyarakat, berpikir dan memahami berbagai kenyataan. Dengan demikian, makna atau pesan teks-teks kuno kitab suci selalu terikat dengan konteks sejarah dan konteks kebudayaan masa lalu yang di dalamnya teks-teks ini ditulis (siapapun yang dianggap sebagai para penulis teks-teks ini). 

Jadi, dalam penafsiran historis kritis adalah mutlak untuk kita mengenali konteks sejarah dan konteks kebudayaan di masa lampau ini, sebelum kita membawa teks-teks ini ke zaman kita di tempat kita. Hanya dengan kembali dulu ke masa lampau di dunia yang lain, prapaham-prapaham kita tidak akan mendikte kita dalam proses menafsirkan teks-teks kuno. Setelah kita menemukan makna dan pesan teks-teks itu untuk orang di zaman kuno dan di dalam sistem sosial mereka sendiri, barulah kita dapat mengayunkan langkah yang kedua (disebut sebagai langkah hermeneutis), yakni menilai dengan teliti apakah teks-teks kuno ini masih relevan untuk zaman sekarang di dunia kita ataukah sudah tidak relevan lagi sehingga tidak perlu kita gunakan lagi. 

Sebagai sebuah sumbangan dalam mendekonstruksi tafsiran tradisional literalis terhadap teks-teks homoseksualitas dalam kitab suci, tulisan ini fokus pada teks-teks Alkitab yang dalam pandangan pertama tampak dalam arti harfiah mengutuk kaum homoseksual. Teks-teks ini mau dipahami dalam konteks sejarah dan konteks kebudayaan serta sistem-sistem sosial di zaman-zaman kuno dan di tempat-tempat yang berbeda dari tempat kehidupan kita sekarang. 

Ingatlah selalu, makna atau pesan sebuah teks suci kuno ditentukan bukan oleh Tuhan Allah di langit, tetapi oleh sistem-sistem sosial yang di dalamnya para penulis kitab-kitab suci hidup. Relevansi atau irelevansi teks-teks ini untuk kehidupan zaman sekarang di dunia kita dengan mudah kita akan dapat temukan sejauh kita memiliki kesadaran sejarah dan kesadaran konteks kontemporer kita sendiri.  


Tujuh teks utama Alkitab

OK, kita mulai. Terdapat kurang lebih dua puluh rujukan ke homoseksualitas atau ke perilaku homoseksual dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tujuh di antaranya menurut kalangan Kristen konservatif merupakan teks-teks yang sangat jelas melarang dan mengutuk homoseksualitas atau perilaku homoseksual, yakni Kejadian 19; Imamat 18:22; Imamat 20:13; Roma 1:26-27; 1 Korintus 6:9-10; 1 Timotius 1:9-10; Yudas 1:7. Tetapi kalangan Kristen liberal progresif mengajukan tafsiran yang berbeda atas teks-teks ini dengan memakai metode tafsir historis kritis, dan menegaskan bahwa konsep “orientasi seksual” sebagai homoseksual belum dikenal oleh para penulis kitab-kitab suci kuno. Berikut ini tinjauan singkat atas tujuh teks ini dan tafsiran yang diberikan masing-masing kalangan Kristen ini terhadap masing-masing teks ini.


Kejadian 19

Perikop ini mengisahkan tentang niat Tuhan untuk memusnahkan kota Sodom (dan Gomora) karena (kedua) kota ini konon sangat besar dosanya dan durjana (18:20; 19:15). Dua orang lelaki (= malaikat) diutus Tuhan untuk menyelidiki keadaan kota ini. Ketika mereka sudah tiba di Sodom, mereka diterima oleh Lot dan diberi tumpangan di rumahnya pada malam hari itu juga. 

Tetapi semua lelaki dari seluruh kota ini, tua dan muda (19:4), pada malam itu mendatangi rumah Lot dan mengepungnya. Mereka memaksa Lot untuk menyerahkan kedua tamunya itu kepada mereka untuk mereka “sodomi” (Ibrani: yada = mengetahui, berhubungan seksual). 

Tetapi Lot melindungi mereka, bahkan dia sampai rela menawarkan dua anak perawannya kepada mereka sebagai pengganti dua orang asing tamunya itu. Ketika keadaan sudah genting, dua tamu itu menarik Lot ke dalam rumahnya, dan mereka membutakan mata orang banyak yang mau mendobrak pintu rumahnya itu sehingga mereka tidak bisa menemukan pintu masuk. 

Kisahnya berakhir dengan pemusnahan kedua kota ini melalui letusan gunung berapi, dan hanya Lot beserta keluarganya diluputkan dari bencana ini.

Dalam pandangan kalangan Kristen konservatif, Tuhan melenyapkan kota Sodom (dan Gomora) karena kaum lelaki penduduknya mempraktekkan hubungan homoseksual. Dengan demikian, dalam pandangan mereka, Tuhan mengutuk dan menghukum segala jenis homoseksualitas, yang, dalam pandangan mereka, merupakan suatu akibat lanjutan dari “kejatuhan” Adam dan Hawa sebagaimana dikisahkan dalam Kejadian 2-3.

Tetapi kalangan Kristen liberal menolak tafsiran semacam ini. Bagi mereka, teks ini tidak memberi petunjuk jelas apapun tentang bentuk kedurjanaan dan dosa kota Sodom. Sebaliknya teks dengan jelas menyatakan apa sebab-musabab kaum lelaki Sodom mau “menyodomi” dua tamu Lot itu, yakni karena mereka menilai keduanya adalah orang asing yang mau menjadi hakim atas mereka (19:9).

Dalam zaman kuno di kawasan Timur Tengah, raja-raja dari suku-suku bangsa yang ditaklukkan kadangkala diperkosa lewat anus oleh pasukan yang menyerbu masuk sebagai tanda kekalahan dan penghinaan atas mereka. Pemerkosaan secara anal ini juga adalah suatu cara untuk menghina dan merendahkan para wisatawan dan orang asing, dan sekaligus untuk menunjukkan kekuatan dan dominasi penduduk asli dan pihak pemenang./23

Kalaupun dua tamu Lot itu menilai niat kaum lelaki Sodom untuk memperkosa mereka secara anal sebagai suatu dosa, dosa ini bukanlah dosa homoseksualitas, melainkan dosa memperkosa orang asing yang bertujuan untuk menghina mereka dan untuk memperlihatkan kekuatan dan dominasi para pemerkosa.


Imamat 18:22

“Janganlah engkau tidur dengan laki-laki sama seperti engkau bersetubuh dengan seorang perempuan, karena hal itu suatu kekejian.”  

Bagi kalangan Kristen konservatif, teks ini, yang dilepaskan dari konteks sastranya, dengan tegas melarang hubungan seksual antar sesama lelaki melalui anus. Tetapi bagi kalangan liberal, teks ini tidak berbicara tentang larangan hubungan homoseksual secara umum.

Jika ditempatkan dalam konteks sastranya dan dalam konteks religius pada masanya, teks ini ternyata mau menyatakan sesuatu yang lain.

Pasal-pasal sebelum dan sesudah teks ini secara meluas berbicara mengenai idolatri (= penyembahan kepada berhala). Imamat 18:6-18 memuat larangan terhadap berbagai macam inses; ayat 19 berisi larangan bersetubuh dengan seorang perempuan yang sedang haid. Ayat 20 memuat larangan perzinahan. Persis pada ayat 21 kita baca larangan mempersembahkan anak-anak kepada suatu dewa pagan yang bernama Molokh; lalu setelah ayat 22 (lihat teks di atas) menyusul ayat 23 yang memuat larangan perkelaminan dengan binatang, baik oleh lelaki maupun oleh perempuan dari antara orang Israel. Sesudah itu menyusul ayat-ayat 24-30 yang dengan sangat jelas menyebut bahwa semua larangan yang telah disebut sebelumnya telah dilakukan oleh “bangsa-bangsa” lain, yang sama sekali tidak boleh diikuti oleh bangsa Israel.

Di dalam kuil-kuil dewa pagan, khususnya kuil dewa pagan Molokh, terdapat pelacur-pelacur bakti (lelaki atau pun perempuan dewasa, dan juga anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan) yang dalam ritual penyembahan kepada sang dewa melakukan aktivitas persetubuhan. Ritual seksual semacam ini melibatkan kegiatan hubungan homoseksual. Seperti juga banyak masyarakat agraris kuno lainnya, para penyembah dewa ini percaya bahwa jika mereka melakukan persetubuhan dengan para pelacur bakti ini di dalam kuil dewa mereka, dewa mereka akan senang dan sebagai akibatnya pasangan mereka, ternak mereka dan lahan garapan mereka, akan mengalami peningkatan kesuburan dan berbuah-buah./24/

Dengan latarbelakang ritual religius paganisme semacam ini, yang marak dilakukan pada masa Israel kuno, Imamat 18:22 jelas tidak berbicara mengenai larangan dan penolakan terhadap homoseksualitas secara umum, tetapi terhadap ritual pelacuran bakti yang dilaksanakan di kuil-kuil dewa-dewa pagan oleh bangsa-bangsa lain yang mengitari bangsa Israel. Dalam Ulangan 23:17 dengan eksplisit larangan semacam ini diberikan: “Di antara anak-anak perempuan Israel janganlah ada pelacur bakti (Ibrani: quedeshaw), dan di antara anak-anak lelaki Israel janganlah ada semburit bakti (Ibrani: quadesh).” Quadesh bertindak sebagai representasi simbolik Dewa; dan quedeshaw sebagai representasi simbolik Dewi.


Imamat 20:13

“Jika seorang laki-laki tidur dengan seorang laki-laki seperti dia bersetubuh dengan seorang perempuan, keduanya telah melakukan suatu kekejian, dan pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.”  

Teks ini juga memiliki konteks ritual pelacuran bakti di kuil-kuil dewa-dewa pagan, khususnya Dewa pagan Molokh (20:1-7), yang melibatkan aktivitas persetubuhan homoseksual yang dipercaya akan mendatangkan kesuburan. Bangsa Israel dilarang keras meniru praktek ritual pagan semacam ini, dan jika mereka melakukannya, mereka akan dihukum mati. Dalam kehidupan bangsa Israel kuno, hukuman mati kadang dijatuhkan pada umumnya kepada orang Israel yang melakukan suatu pelanggaran ritual, di antaranya menyembah allah-allah lain, mengumpulkan kayu api pada hari Sabat (Bilangan 15:32-36), memakan persembahan-persembahan ritual dengan cara yang tidak pantas (Bilangan 18:32), bertindak sebagai imam dengan cara yang tidak sah (Bilangan 3:10)./25/


Roma 1:26-27

“Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tidak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman (Yunani: hÄ“ askhÄ“mosunÄ“), lelaki dengan lelaki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.”

Surat Roma ditujukan Rasul Paulus kepada orang-orang Kristen yang berdiam di Roma (1:7). Mereka terbenam dalam kebudayaan Romawi di mana perilaku homoseksual ditemukan di mana-mana dan diterima oleh masyarakat. Dalam paganisme kota Roma, orang melakukan ibadah dan ritual kesuburan di kuil-kuil dewa-dewa dan di kultus-kultus misteri, dengan di dalamnya aktivitas pesta-pora seksual dilaksanakan gila-gilaan. Dengan bantuan anggur, berbagai macam obat perangsang, musik dan dukungan hadirin, para peserta ritual kesuburan ini terbawa masuk ke dalam keadaan mabuk dan kehilangan kendali diri, yang mendorong mereka tanpa kendali melampiaskan hasrat birahi mereka dalam suatu hubungan seksual yang tidak normal. Inilah konteks religius kultural teks Roma 1 yang sedang kita soroti./26/

Sebutan “hawa nafsu yang memalukan” dalam teks Roma 1:26 mengacu kepada keadaan mabuk dan gila-gilaan ini yang dialami oleh sejumlah orang di jemaat kota Roma, yang telah meninggalkan kekristenan lalu menganut paganisme kota itu (1:18-23). Semula mereka alamiahnya adalah perempuan-perempuan heteroseksual dan laki-laki heteroseksual. Tetapi, ketika mereka sudah beralih ke paganisme kota Roma dan ambil-bagian dalam ritual-ritual kesuburan pagan, perilaku seksual mereka berubah: kaum perempuan heteroseksual menjadi lesbian, dan kaum lelaki heteroseksual menjadi gay. Paulus menyatakan bahwa mereka menerima “balasan yang setimpal”; ini tampaknya mengacu kepada penyakit kelamin yang telah menjadi epidemik di kalangan peserta kultus kesuburan Paganisme kota Roma./27/ Nah, kalangan inilah yang dikecam dan diperingati Rasul Paulus dalam Roma 1:26-27 sebagai kalangan yang bermoral bobrok dan patut dihukum mati (1:28-32), bukan kalangan yang karena orientasi seksual yang ada pada diri mereka menjalani kehidupan homoseksual.

Karena konsep “orientasi seksual” baru diperkenalkan di abad ke-20 ketika seksualitas dikaji secara ilmiah, dan tentu belum dikenal oleh Rasul Paulus, maka sangatlah tidak tepat jika kalangan Kristen konservatif memakai teks Roma 1:26-27 untuk menolak dan mengutuk homoseksualitas secara umum.


1 Korintus 6:9-10

“Atau tidak tahukah kamu bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci [malakoi], orang pemburit [arsenokoitai], pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.”

Kata-kata Yunani untuk kata-kata “banci” dan “orang pemburit” (kata-kata ini dipakai dalam Alkitab Terjemahan Baru Lembaga Alkitab Indonesia) adalah malakoi dan arsenokoitai. Ihwal apa yang dimaksud dengan kata-kata ini dalam pikiran Rasul Paulus banyak diperdebatkan; dan mungkin sekali kata arsenokoitai adalah kata yang diciptakan sendiri olehnya mengingat sebelum dia menulis surat 1 Korintus kira-kira di tahun 55 M tidak ada penulis lain yang telah memakainya./28/

Kalangan Kristen konservatif menafsirkan kedua kata ini overall sebagai homoseksual dalam arti seumumnya (bandingkan terjemahan arsenokoitai sebagai “homosexual offenders” dalam Alkitab New International Version yang terjemahannya sarat dengan pandangan kekristenan konservatif). Menurut mereka, para homoseksual tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Allah, atau dengan kata lain mereka akan masuk neraka setelah kematian. Jelas, ini bukanlah sebuah tafsiran yang tepat.

Jika Rasul Paulus (menulis surat 1 Korintus sekitar tahun 55 M) bermaksud mengacu ke homoseksual, dia akan memakai sebuah kata Yunani lain yang standard, yakni kata paiderasste yang menunjuk kepada orang yang berperilaku homoseksual antara lelaki dengan lelaki./29/

Septuaginta (LXX) (terjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani yang dibuat antara abad ke-3 dan abad ke-1 SM) menerjemahkan kata Ibrani quadesh dalam 1 Raja-raja 14:24; 15:12; dan 22:46 ke dalam suatu kata Yunani yang kurang lebih serupa dengan kata arsenokoitai. Perikop ini dalam LXX ini mengacu ke para “pelacur lelaki yang bekerja di kuil”, yaitu kaum pria yang terlibat dalam ritual seksual di dalam kuil-kuil pagan (Indonesia: pemburit bakti)./30/

Beberapa pemimpin lain gereja perdana berpikir bahwa surat 1 Korintus juga mengacu ke para pemburit bakti di kuil-kuil pagan. Ada juga yang berpendapat bahwa arsenokoitai sebetulnya mengacu ke para pelacur laki-laki yang menerima pelanggan perempuan, suatu pekerjaan yang tampaknya umum dilakukan di dalam kekaisaran Romawi./31/ Di samping itu, sangat mungkin arsenokoitai juga mengacu ke orang-orang yang bekerja sebagai germo atau muncikari./32/

Malakoi (yang diterjemahkan sebagai “banci” dalam Alkitab TB LAI) sebetulnya mengacu ke seorang lelaki muda atau seorang anak lelaki yang terlibat dalam hubungan seksual lewat anus dengan seorang lelaki dewasa yang memilikinya sebagai budaknya. Malakoi adalah mitra seks seorang pria dewasa yang kaya raya. Dengan demikian, istilah yang kedua, arsenokoitai, dapat mengacu ke lelaki dewasa yang memiliki seorang budak yang dijadikan mitra seksualnya pada saat si lelaki dewasa ini berhasrat melampiaskan nafsu syahwatnya. Praktek seksual semacam ini, antara tuan dan budak lelaki, antara seorang pedofili dan korbannya, biasa dijumpai dalam dunia Yunani-Romawi pada era permulaan kekristenan./33/

Jelaslah, dalam 1 Korintus 6:9-10 Rasul Paulus tidak sedang mengecam dan mengutuk orang-orang yang memiliki orientasi homoseksual, baik laki-laki maupun perempuan. Yang ditolak olehnya adalah para praktisi hubungan seksual dalam ritual-ritual kesuburan di kuil-kuil pagan, atau, orang-orang lelaki kaya yang memperlakukan budak-budak lelaki mereka sebagai objek-objek pelampiasan nafsu syahwat mereka, atau orang-orang yang bekerja sebagai muncikari. 

Jelas, Rasul Paulus menyamakan kedudukan semua golongan ini, yakni sebagai orang-orang yang tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Allah, padahal anak-anak lelaki yang menjadi budak-budak pemuas nasfu seksual para tuan mereka adalah korban-korban yang patut diberi pertolongan.


1 Timotius 1:9-10

“… yakni dengan keinsafan bahwa hukum Taurat itu bukanlah bagi orang yang benar, melainkan bagi… orang cabul dan pemburit [arsenokoitÄ“s], bagi penculik, bagi pendusta,…”

Pandangan negatif Rasul Paulus terhadap arsenokoitÄ“s (yang diutarakannya dalam surat 1 Korintus pada tahun 55 M, sebagaimana telah dibahas di atas) tetap dipertahankan dalam surat 1 Timotius sebagai salah satu surat pastoral yang ditulis oleh para penjaga dan penafsir warisan teologis Paulus (dua lainnya adalah 2 Timotius dan Titus) antara tahun 100–150 M, yakni paling jauh delapan puluh lima tahun setelah Paulus dieksekusi. Bagi penulis surat 1 Timotius, perilaku arsenokoitÄ“s bertentangan dengan “ajaran yang sehat” yang disusun berdasarkan “injil Allah” (ayat 10,11)./34/


Yudas 1:7

“… sama seperti Sodom dan Gomora dan kota-kota sekitarnya, yang dengan cara yang sama melakukan percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar, telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan kepada semua orang.”

Sama seperti Kejadian 19 tidak menyatakan dengan spesifik apa dosa kota Sodom (lihat ulasannya di atas), Yudas 1:7 juga tidak dengan spesifik menyatakan apa yang disebut penulisnya sebagai “kepuasan-kepuasaan yang tak wajar”, yang tidak harus ditafsirkan, seperti tafsiran Kristen konservatif, sebagai hubungan homoseksual.

Frasa Yunani dari frasa “kepuasan-kepuasan yang tak wajar” dalam teks ini adalah sarkos heteras, yang secara harfiah, karena direndengkan dengan “percabulan” atau pornea dalam bahasa Yunani/35/, dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “nafsu daging yang lain” atau “hasrat seksual yang tidak wajar” atau “hasrat seksual yang menyimpang” atau “syahwat yang tidak alamiah”./36/

Penulis Surat Yudas menempatkan perilaku seksual yang menyimpang ini dalam konteks peristiwa pemusnahan kota Sodom dan Gomora seperti dikisahkan dalam Kejadian 19. Dengan demikian, sarkos heteras ini dapat ditafsirkan sebagai keinginan penduduk laki-laki kota Sodom untuk memperkosa dua malaikat yang mengunjungi kota mereka. Keinginan ini sesungguhnya adalah suatu penyimpangan, karena mereka ingin menggagahi dua malaikat tuhan secara seksual, padahal mereka adalah manusia biasa sementara malaikat adalah makhluk bukan-manusia. Perlu diketahui ada sebuah legenda Yahudi kuno yang mengisahkan bahwa perempuan-perempuan Sodom juga terlibat hubungan seksual dengan para malaikat./37/

Jadi, yang dikecam dan dikutuk oleh penulis Surat Yudas bukanlah homoseksualitas, tetapi keinginan penduduk Sodom untuk bersetubuh dengan makhluk bukan manusia. Dalam hukum Taurat terdapat larangan keras manusia bersetubuh dengan binatang sebagai makhluk bukan manusia (Imamat 18:23).


Kesimpulan kajian teks

Tidak satu pun dari tujuh teks utama tentang homoseksualitas dalam kitab suci gereja yang telah dikupas singkat di atas mengutuk homoseksualitas dan perilaku homoseksual sejauh homoseksualitas ini dipahami sebagai suatu orientasi seksual seseorang dan sejauh perilaku homoseksual ini dipandang sebagai suatu relasi homoseksual antar kalangan gay atau antar kalangan lesbian yang dibangun karena kesepakatan kedua mitra, yang dilandasi cinta dan dijaga oleh komitmen untuk membangun suatu persekutuan hidup yang intim dan langgeng. 

Jadi, teks-teks yang telah dikupas di atas tidak tepat atau tidak relevan jika dipakai untuk mengutuk homoseksualitas atas nama sebuah doktrin agama atau atas nama suatu Allah atau, lebih parah lagi, untuk mengkriminalisasi para homoseksual di zaman modern ini. 

Masih ada sejumlah teks lain dalam Alkitab yang bisa diacu dalam rangka kajian keagamaan terhadap homoseksualitas, yakni Kejadian 1:28; Kejadian 2:18; Kejadian 2:23-24; Kejadian 9:20-29; Ulangan 23:17; 1 Raja-raja 14:24; 15:12; 22:46; 2 Raja-raja 23:7; Hakim-hakim 19:14-29; Matius 8:5-13; Matius 19:4-5; Matius 19:10-12. Silakan semua teks ini dikaji sendiri. 
  

Homoseksualitas dalam dunia hewan

Satu hal penting patut dicatat, bahwa perilaku homoseksual juga diperlihatkan oleh sejumlah 1.500 spesies binatang. Ini fakta yang tentu sangat mencengangkan bagi yang baru pertama kali tahu. Karena homoseksualitas pada binatang tentu bukan timbul karena pola pergaulan yang tidak bermoral, maka homoseksualitas pada binatang harus dipandang sebagai suatu pemberian alam, yang memperkaya warna kehidupan di planet Bumi ini. 

Ketika sepasang pinguin homoseksual sedang bercinta-cintaan, tidak ada ketentuan agama pinguin dan ketentuan hukum positif negara pinguin yang mereka langgar. Perhatikan rangkuman artikel sangat informatif yang berjudul “Homosexual Behaviour in Animals” dalam Wikipedia yang ditulis pada alinea pembuka artikel ini:
“Perilaku homoseksual pada hewan-hewan adalah perilaku seksual di antara spesies-spesies non-manusia yang ditafsir sebagai homoseksual atau biseksual. Ini mencakup aktivitas-aktivitas seksual, percumbuan, percintaan, berpasang-pasangan, dan peran sebagai sepasang induk, di antara pasangan-pasangan hewan sesama jenis seks. Riset-riset menunjukkan bahwa berbagai perilaku homoseksual ini ditemukan di semua dunia hewan. Sampai 1999, sudah terdokumentasi 500 spesies yang menjalankan pola kehidupan homoseksual, mulai dari primata hingga ke cacing-cacing dalam perut. Menurut tim pengorganisasi pameran Against Nature? di tahun 2006, perilaku homoseksual telah teramati ada pada 1.500 spesies.”/38/  
Sebelumnya, di tahun 1999, biolog Dr. Bruce Bagemihl telah menulis sebuah buku yang berjudul Biological Exuberance: Animal Homosexuality and Natural Diversity./39/ Pada masa itu, sudah ditemukan ada 450 spesies hewan non-manusia yang memperlihatkan perilaku homoseksual; bahkan digolongkan sebagai LGBT. Angka 450 ini termasuk ke dalam 1 juta spesies yang sudah dikenal di Bumi. Tetapi jika penelitian dikaji lebih jauh, Dr. Bagemihl memperkirakan akan ditemukan antara 15 hingga 30 persen spesies hewan non-manusia yang berperilaku homoseksual dalam aneka bentuk, bahkan juga sebagai organisme biseksual dan transgender. 



Aku cinta kamu, kamu cinta aku, mari kita bergandengan tangan....!
 
Para ideolog anti-LGBT ini hendaknya tahu bahwa Dr. Bagemihl adalah seorang gay yang sudah diakuinya dengan terus terang sejak dini. Dia tidak sakit jiwa. Pikirannya sehat. Cerdas. Jenius. Berprestasi cemerlang. Bukunya ini, yang ditulisnya setelah 9 tahun melakukan riset lapangan, memberi banyak pengetahuan baru tentang zoologi dan perilaku seksual hewan-hewan. Jika sebagai heteroseksual anda mencemooh karya Dr. Bagemihl hanya karena dia seorang gay, tanyalah diri anda sendiri, prestasi keilmuan apa yang anda sudah sumbangkan ke dunia sains. NOL BESAR, bisa jadi. 

Dengan naif banyak ideolog anti-LGBT menyatakan bahwa hasil kajian Dr. Bagemihl tentang homoseksualitas dalam dunia hewan non-manusia pasti tidak objektif, pasti bias, sebab dia menulis buku itu hanya untuk membenarkan dirinya sebagai seorang gay. Ini tanggapan saya kepada mereka yang berprasangka keji itu: suatu temuan saintifik dalam bidang apapun baru absah disebut sebagai temuan saintifik jika temuan ini dicapai lewat metode pengkajian sains yang absah, yang dapat diulang kembali oleh para saintis lain kapanpun dan di manapun dengan hasil yang sama. OS seorang saintis, LGBT sekalipun, sama sekali tidak ada hubungannya dengan temuan-temuan ilmiah mereka yang memenuhi kriteria temuan ilmiah. 

Juga saya mau bertanya: Apakah seorang perempuan yang menjadi ginekolog, yang memiliki ilmu pengetahuan dan kemampuan teknis untuk menangani hal-hal yang terkait dengan semua organ reproduktif perempuan, termasuk payudara, akan tidak objektif dan bias dalam dia bekerja sebagai seorang ginekolog hanya karena dia perempuan? Atau, justru karena dia perempuan, dan punya pengalaman perempuan, analisis dan diagnosisnya akan dapat lebih objektif.

Jika LGBT adalah realitas umum dalam dunia hewan non-manusia, mengapa orientasi homoseksual pada manusia (yang notabene adalah hewan mamalia cerdas) harus dipandang sebagai suatu penyimpangan akhlak yang harus dikutuk atas nama suatu ajaran agama? 

Jadi, perlu ditegaskan bahwa orientasi homoseksual pada manusia juga sama alamiahnya dengan orientasi heteroseksual atau orientasi biseksual. Heteroseksualitas tidak bisa dijadikan norma untuk menilai dan melecehkan apalagi mengkriminalisasi baik homoseksualitas maupun biseksualitas. Tetapi, adakah landasan-landasan ilmiah bagi pernyataan saya ini? Atau saya asbun? Tentu saja ada.

Bersambung ke Bagian 2:
Temuan-temuan sains modern tentang homoseksualitas 




Wednesday, September 23, 2015

“The Dawkins Delusion”: Agama sebagai virus pikiran


Kebencian terhadap agama, atau religiofobia, sangat kentara menjajah dan mengendalikan pikiran dan hati semua ateis dalam gerakan New Atheism. Saya melihat akar-akar keadaan mental yang patologis neurotis ini dapat ditemukan mula-mula dalam pendapat pakar biologi evolusioner ateis keras Prof. Richard Dawkins bahwa agama-agama adalah suatu penyakit yang timbul karena “virus-virus mental” telah menyerang pikiran manusia. 

Virus ini hanya perlu menyebar, menjadi epidemi, dan memperbodoh orang karena membuat mereka tidak memerlukan bukti apapun bagi semua kepercayaan keagamaan mereka. Pendapat Dawkins ini (yang mengambil analogi dari virus-virus komputer di era akhir 1980-an dan di awal 1990-an) yang tidak ditopang oleh kajian ilmiah apapun yang dapat menemukan “virus-virus agama” dalam otak manusia, dituangkan Dawkins dalam artikelnya yang berjudul “Viruses of the Mind”, yang ditulisnya tahun 1991. Katanya, anda sudah tertular virus pikiran ini sejak anda dilahirkan. Tulisnya,
“Jika anda memiliki suatu iman/kepercayaan, secara statistikal sangatlah mungkin bahwa iman anda ini adalah juga iman orangtua anda atau iman kakek dan nenek anda. Tentu katedral-katedral yang menjulang tinggi, musik-musik gereja yang menggugah perasaan, kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan yang menggerakkan hati, sedikit membantu. Tetapi jelaslah bahwa variabel terpenting yang menentukan agama anda adalah peristiwa kelahiran anda. Keyakinan-keyakinan yang dengan bergelora anda percayai akan berbeda dan bertentangan sama sekali seandainya anda dilahirkan di suatu tempat yang berbeda. Jadi, yang ada adalah epidemiologi, bukan bukti-bukti.”/1/
Christopher Hitchens melanjutkan “meme” yang sudah disebar Dawkins, yaitu idenya bahwa agama adalah suatu virus pikiran yang menimbulkan penyakit mental pada manusia. Bagi Hitchens, agama bukan hanya suatu virus, tetapi juga racun. Dalam tayangan pendek di liveleak.com, Hitchens menegaskan bahwa “agama meracuni segala sesuatu” dan “menginfeksi kita sampai ke integritas kita yang paling dasar.” “Bagiku, agama itu jahat” dan “aku bertempur melawan kedunguan yang paling buruk ini!”/2/

Dalam bukunya yang berjudul mengerikan God Is Not Great: How Religion Poisons Everything (terbit 2007), Hitchens dengan gaya jurnalistik yang serba semberono berusaha menunjukkan bahwa semua kebiadaban manusia punya hanya satu sumber, yakni agama. Baginya, agama sedang meracuni segala sesuatu dalam dunia ini. Dalam bab dua bukunya ini yang diberi judul “Religion Kills” (hlm. 15-36), ketika membeberkan sejumlah peristiwa biadab di sejumlah tempat, kota dan negara, dia menyatakan bahwa semua “kebiadaban itu diinspirasi oleh agama.” Lalu katanya dengan yakin bahwa “agama meracuni segala sesuatu. Dan sebagai suatu bahaya juga, agama telah menjadi sebuah ancaman bagi ketahanan kehidupan manusia.”/3/

Dalam seluruh buku God Is Not Great, jelas sekali Hitchens mengumbar habis ketidaksenangan dan kebenciannya terhadap agama. Dia sama sekali tidak bisa toleran terhadap orang-orang beragama. Dia banyak menggambarkan dan menilai agama-agama sesuai dengan ketidaksenangan dan permusuhannya itu. Dia sebetulnya hanya membangun dan mempertahankan Straw Man Fallacy: berperang dengan ide-idenya sendiri tentang agama-agama. Satu contoh saja. Dia menilai kepercayaan keagamaan terhadap sang Pencipta yang telah menciptakan manusia lalu memelihara dan mempedulikan mereka, serta memberi mereka petunjuk-petunjuk tentang bagaimana hidup dengan benar, adalah suatu kepercayaan yang “tidak membuat para penganutnya berbahagia” (hlm. 15-16).

Dari mana Hitchens tahu hal itu? Tidak ada sebuah survei global tentang ini yang sudah dilakukannya. Sebaliknya, saya puluhan tahun telah melihat dengan mata sendiri bahwa sangat banyak orang yang berbahagia karena beragama, dan menjadi stres ketika menjauh dari agama.

Tentang etika, Hitchens membuat sebuah pernyataan yang kelihatannya saja hebat, tapi sebetulnya sangat kerdil. Tulisnya,

“Kami [para ateis] percaya dengan pasti bahwa suatu kehidupan yang etis dapat dijalani tanpa agama…. Hal yang lebih penting dari semua hal lainnya, mungkin, adalah bahwa kami para kafir tidak memerlukan mekanisme hadiah atau ganjaran apapun…. Kami para ateis tidak memerlukan para imam, atau hierarki apapun di atas mereka, untuk menjadi para polisi yang akan mengawasi doktrin-doktrin kami. Kami jijik terhadap kurban-kurban dan upacara-upacara keagamaan, begitu juga terhadap relik-relik dan penyembahan terhadap gambar-gambar atau objek-objek apapun (bahkan termasuk … kitab-kitab yang dijilid). Bagi kami tidak ada tempat di muka Bumi yang lebih, atau dapat lebih, ‘suci’ dibandingkan tempat-tempat lainnya.” (hlm. 6) 
Ya, semua orang tahu, etika atau akhlak atau moralitas bersumber tidak hanya pada kitab-kitab suci atau hanya pada ajaran-ajaran agama. Banyak hal dalam alam ini yang bisa memberi manusia petunjuk-petunjuk tentang kearifan moral, termasuk juga ilmu pengetahuan. Tetapi yang saya lihat sebagai suatu persoalan besar pada “etika sekular” yang dianut Hitchens adalah etikanya ini tidak membuatnya menjadi seorang manusia ateis yang toleran. Etika sosial sekular Hitchens sangat anti-toleransi, sama sepenuhnya dengan tuduhannya yang jauh dari kenyataan yang lebih umum bahwa agama-agama tidak akan mungkin membangun “koeksistensi di antara kepercayaan-kepercayaan yang berbeda” (hlm. 17).

Bukunya God Is Not Great dengan jelas juga memperlihatkan bahwa religiofobia yang menjajah dan mengendalikan Hitchens bisa ditemukan akar-akarnya dalam kehidupannya di saat dia remaja, berumur sembilan tahun, ketika sedang bersekolah di Dartmoor, Inggris. Dia waktu itu mempunyai seorang guru perempuan setengah baya, yang mengajar ilmu alam dan juga kitab suci Kristen. Nama sang guru Jean Watts. Tentang Nyonya Watts, meskipun Hitchens mengakuinya penyabar, dengan sangat keras Hichens, pada sisi lain, menulis begini:

“Jika Setan telah memilihnya untuk mencobai aku supaya aku berbuat salah, dia jauh lebih cerdik dibandingkan sang ular yang berakal licik di Taman Eden. Dia tidak pernah membentak keras atau mengancam dengan kekerasan…. Namun, sejujurnya aku merasa jijik dengan apa yang dia telah ajarkan. Sendal kecilku yang bertali, yang mengikat pergelangan kakiku, menjadi tertekuk saat aku dibuat jengkel olehnya.” (hlm.2).
Itukah etika sekular seorang ateis Hitchens, yang sama sekali tidak bisa berterimakasih kepada gurunya yang mendidiknya semasa remaja? Remaja Hitchens melihat dirinya korban indoktrinasi sang guru. Tidak ada hal yang baik apapun pada sang guru, yang olehnya dengan sangat kejam dipandangnya sebagai kaki tangan Setan. Mentalitas sebagai korban inilah yang membuat Hitchens terus membenci dan menyerang agama-agama hingga dia dewasa bahkan hingga dia wafat (15 Desember 2011; lahir 13 April 1949). Buku God Is Not Great sesungguhnya adalah sebuah litani panjang kemarahannya terhadap segala hal yang berkaitan dengan agama-agama. Hitchens memang patut dikasihani, bukan dikagumi. Saya membaca judul bukunya kok jadi berbunyi Hitchens Is Not Great.      

Ross Douthat telah menulis sebuah resensi yang bagus atas buku Hitchens ini./4/ Douthat menyatakan bahwa “mungkin orang harus bersyukur ketika Hitchens mengutip pakar-pakar yang otoritatif, berhubung prosanya yang licik terus-menerus terburu-buru bermuara pada ejekan dan menghindari argumen-argumen, dan kadangkala fakta-fakta juga dilewati begitu saja.” Douthat dengan jeli melihat bahwa Hitchens sangat tidak seimbang dalam menafsirkan fakta-fakta. Oleh Hitchens, semua kebiadaban manusia dipandang bersumber hanya pada agama. Douthat menulis,

“Setiap buku memiliki kesalahan-kesalahan, tentu saja, tetapi sedikit buku sangat tendensius dalam penafsiran atas fakta-fakta yang seyogianya disajikan dengan benar oleh para penulisnya. Seperti seorang Kristen yang sangat fanatik yang mencari hal apapun dalam teks-teks pagan yang dapat ditafsirkan sebagai pertanda kedatangan sang Kristus, Hitchens menjelajahi catatan-catatan tentang tindakan-tindakan biadab manusia hanya untuk menemukan petunjuk apapun bahwa tindakan-tindakan ini telah dimotivasi oleh kesalehan, ramalan kenabian, atau dogma. Jika ada korban-korban, dan jika ada tirani yang mapan, maka semua ini―jika anda percaya pada sejarah kekerasan yang berpusat pada Allah, yang diyakini Hitchens―bagaimanapun juga, menurutnya, berakar pada agama. Jelas, pendapat Hitchens ini sulit diterima, berhubung jika kita membaca sejarah sepintas saja, kita akan menemukan bahwa kesetiaan kepada kaum kerabat seseorang, suku bangsa seseorang, dan negara seseorang―belum lagi kalau berbagai ideologi politis disebut―telah setidaknya menyulut sangat banyak kekerasan, sama banyak dengan yang ditimbulkan oleh perdebatan teologis apapun.”
Pendapat-pendapat Dawkins dan Hitchens (dan juga Daniel Dennett) diambilalih dan dijabarkan dengan lebih terperinci dan programatis oleh Darrel W. Ray, yang telah menulis buku yang berjudul The God Virus: How Religion Infects Our Lives and Culture./5/ Buku ini memperlihatkan bagaimana berbagai jenis agama, sebagai “virus-virus Allah” (“the God viruses”), dengan pas menempati dunia alamiah; bagaimana agama-agama berfungsi di dalam pikiran-pikiran dan kebudayaan-kebudayaan kita; dan betapa serupanya agama-agama dengan kuman-kuman, parasit-parasit, dan virus-virus yang mendiami tubuh manusia (hlm. 13).

Kata Ray, agama-agama sebagai virus-virus Allah, telah “menginfeksi otak manusia dan mengubah kemampuan berpikir kritis. Virus ini masih memberi kemungkinan untuk orang bersikap kritis terhadap agama-agama orang lain, tetapi pemikiran kritis menjadi lumpuh ketika berhadapan dengan agama sendiri.” (hlm. 19). Agama-agama sebagai virus-virus Allah tidak hanya masuk ke dalam kebudayaan-kebudayaan, tetapi juga ke dalam ekonomi dan politik. Ray menyatakan bahwa

“Virus Allah menginfeksi suatu kebudayaan sama seperti virus ini menginfeksi individu-individu. Sementara bukan suatu entitas ekonomi atau suatu entitas politis, virus Allah akan dan dapat menggunakan jaluir-jalur ekonomi dan politik untuk menyebar ke mana-mana…. Politik dan ekonomi hanyalah sarana-sarana untuk virus ini menyebar.” (hlm. 82)
Uuups, jika demikian halnya, maka, hemat saya, bukan hanya para agamawan yang harus dibebaskan dari virus Allah, tetapi semua pelaku kebudayaan, para pegiat ekonomi dan juga para politikus. Para aktivis sekular, dengan demikian, sama sekali tidak berbeda dari para aktivis keagamaan: dalam otak mereka sudah bercokol virus-virus Allah.

Untuk bisa bertahan dan terus tersebar, virus-virus Allah terus bermutasi dan membangun strategi-strategi. Ray menulis,

“Virus Allah membangun strategi-strategi untuk bisa bertahan hidup dan tersebar. Virus-virus yang lebih berkembang memiliki benteng-benteng pertahanan diri yang lebih efektif dibandingkan virus-virus lainnya. Alhasil, virus-virus yang lebih berkembang ini akhirnya menguasai virus-virus lain yang kurang berkembang. Virus-virus Allah selalu bermutasi, dan virus-virus jenis baru keluar, meninggalkan bak penampungan, setiap saat.” (hlm. 56).
Karena semua jenis kuman, parasit dan virus menimbulkan penyakit, begitu juga halnya dengan agama-agama sebagai virus-virus Allah. Untuk hidup sehat, manusia harus hidup bebas dari virus. Virus-virus harus tidak dibiarkan menyerang manusia. Manusia harus hidup terbebas dari virus-virus. Kepada para ateis atau non-teis, Ray menyatakan bahwa “bisnis kita bukanlah mengonversi orang ke dalam suatu agama, tetapi kita sungguh-sungguh ingin hidup bebas dari virus” (hlm. 173).

Oleh Ray, virus-virus Allah juga digambarkan sebagai rantai-rantai yang membelenggu manusia. Tulisnya, “Buku saya ini membahas langkah-langkah yang perlu diambil untuk menghancurkan rantai-rantai itu, lewat penemuan bagaimana agama-agama dengan licik bekerja di dalam kebudayaan-kebudayaan dan pikiran-pikiran kita dan dengan mempelajari cara-cara untuk hidup tanpa rantai-rantai itu.” (hlm. 15).


Sementara para ateis dapat hidup bebas dari virus-virus Allah dan mematahkan belenggu-belenggu virus-virus ini, orang yang beragama, para teis, kata Ray, sama sekali tidak dapat. Tulisnya,
“Orang-orang yang memeluk agama-agama tidak dapat membayangkan hidup bebas dari virus. Teror yang mereka rasakan, telah melumpuhkan mereka sehingga mereka tidak dapat mempertimbangkan  cara-cara lain untuk hidup dan menyatakan keberadaan mereka…. Dunia mereka adalah suatu dunia yang nenakutkan dan berbahaya, yang dihuni setan-setan, roh-roh jahat, dewa-dewi, iblis, Yehova atau Allah yang sedang murka yang menuntut pembalasan, dan yang mengancamkan penghukuman abadi bagi setiap orang yang tidak mengikuti virus yang benar.” (hlm. 206).
Dalam bab sepuluh yang diberi judul “The Journey: Living A Virus-Free Life” (hlm. 197 ff), Ray membeberkan langkah-langkah yang harus dijalankan dalam membebaskan dunia dari virus-virus Allah, dari agama-agama, dari Allah, para dewa dan setan-setan. Etika atau moralitas yang disodorkannya juga moralitas yang bebas virus Allah. Setelah segala bidang kehidupan dapat dibebaskan dari virus-virus agama, dan usaha ini kini masih belum tiba di tujuannya, akhirnya “masa depan manusia adalah masa depan yang tidak subur bagi virus-virus Allah.” (hlm. 222).

Kitab suci para New Atheists....

Kesimpulannya sudah jelas: karena bagi para pendiri gerakan New Atheism agama-agama adalah virus-virus Allah yang mematikan pikiran manusia, dan terus sedang meracuni dan menginfeksi segala sesuatu dalam kehidupan manusia dan dunia ini, maka, tidak ada pilihan lain, selain agama-agama harus dibenci habis-habisan, dan, jika bisa, perlu dibasmi untuk menghentikan epideminya. Pola pikir kalangan New Atheists ini saya namakan The Dawkins Delusion. Religiofobia lahir dari Delusi Dawkins ini. Dengan demikian, religiofobia memang harus menjadi kodrat mental para New Atheists. Mengerikan! Ya, mengerikan, karena virus-virus Dawkins dkk dalam gerakan New Atheism juga sedang menginfeksi dan meracuni banyak orang muda dan segala sesuatu dalam dunia ini.

Karena sudah dikondisikan secara kognitif untuk menjadi religiofobik, para Ateis Baru yang mengidap Delusi Dawkins tidak akan bisa lagi melihat agama-agama dari sudut pandang yang lain, bahwa masih ada banyak kebaikan, kesembuhan, dan pembebasan, yang telah, sedang dan akan terus diwujudkan oleh para agamawan dari berbagai agama yang sudah mengalami pencerahan akal, kearifan dan budi pekerti. Agama itu tidak statis, tetapi dinamis, tidak hanya mendiami museum-museum fosil, tetapi juga sedang aktif di dalam banyak laboratorium dalam dunia ini.

Karena terkena Delusi Dawkins ini, para ateis dalam New Atheism hanya bisa mengenakan sebuah kacamata kuda tebal hitam dalam memandang realitas kehidupan keagamaan dalam dunia ini. Mereka hanya bisa melihat lurus ke satu arah, hanya ke warna hitam dunia agama-agama, padahal dalam realitas yang sebenarnya dunia keagamaan itu kaya dengan warna-warni yang sangat mengesankan.

Jakarta, 23 September 2015
Ioanes Rakhmat

Notes:

/1/ Richard Dawkins, “Viruses of the Mind”, 1991, file pdf, tersedia di http://www.inf.fu-berlin.de/lehre/pmo/eng/Dawkins-MindViruses.pdf.

/2/ Lihat http://www.liveleak.com/view?i=232_1264478334.    

/3/ Christopher Hitchens, God Is Not Great: How Religion Poisons Everything (New York, Boston: Twelve, Hachette Book Group, 2009; terbit pertama kali 2007), hlm. 18, 25.

/4/ Ross Douthat, “Lord Have Mercy: A Review of God Is Not Great: How Religion Poisons Everything”, Claremont Review of Books (Summer, 2007), pada http://www.catholiceducation.org/en/controversy/persecution/lord-have-mercy-a-review-of-god-is-not-great-how-religion-poisons-everything.html.

/5/ Darrel W. Ray, The God Virus: How Religion Infects Our Lives and Culture (Bonner Spring, Kansas: IPC Press, 2009).

Saturday, September 19, 2015

Percaya itu hal yang normal!


Mama, mama, I believe that you give me living water, not poison. 
Thank you, mama! Makacih, mama!

Salah seorang rasul dari nabi ateis militan Prof. Richard Dawkins (berdiam di Inggris) membuat sebuah pernyataan di Facebook, begini: “Jika anda memilih untuk mengabaikan bukti-bukti, maka akhirnya anda akan mempercayai jawaban yang salah apapun yang hanya untuk sementara saja memenuhi keinginan anda untuk mengetahui hal yang tidak diketahui.”

Apakah benar ajaran dari para ateis bahwa kehidupan ini baru patut dijalani kalau segala hal ada buktinya lebih dulu? Apakah percaya atau beriman itu hanya akan menimbulkan kesalahan? Apakah kehidupan yang normal dan lancar itu harus tanpa kepercayaan? Mari kita lihat. 

Nyaris kita semua percaya saja bahwa kita masih akan hidup sepanjang 2016 sehingga kita membuat banyak janji ketemu orang di tempat-tempat dan waktu-waktu tertentu dalam kurun 2016. Tidak perlu ada buktinya sekarang tuh. I simply believe that I will be still alive in 2016 so that...! 

Kita percaya saja pesawat terbang yang karcisnya sudah kita beli, nanti, seminggu lagi, akan aman menerbangkan kita ke tempat tujuan dengan selamat. Kita tidak menuntut buktinya sekarang tuh. Jika kita menuntut buktinya detik ini juga, kita akan dibilang gila oleh petugas Garuda. I simply believe that the plane will safely fly us to our destination...! 

Kita sering terima dan percaya saja pembayaran dengan giro jangka tiga bulan dalam transaksi bisnis. Tak perlu ada buktinya sekarang tuh. Malah kalau tidak ada unsur kepercayaan, bisnis kita mungkin sekali sulit maju dan tidak akan berkembang. I simply believe that this cheque is not a blank cheque...!

Kita percaya begitu saja bahwa Matahari besok pagi akan terbit lagi dan sorenya akan terbenam lagi. Tanpa perlu buktinya detik ini juga tuh. Jika anda tidak percaya, ya minta saja NASA menerbangkan anda dengan kecepatan cahaya menuju Matahari, lalu sesampainya di sana sang Surya anda pegang kuat-kuat lalu menggiringnya untuk terbit lagi besok pagi. I simply believe that tomorrow morning the Sun will rise again...! 

Bahwa kemarin-kemarin sang Matahari telah terbit, dus berarti besok dan seterusnya juga pasti akan terbit seperti biasanya, bukanlah sebuah bukti, melainkan hanya kepercayaan anda saja bahwa masa lalu akan mengulang dirinya di masa depan dengan cara yang sama, karena hukum-hukum fisika yang bekerja masih sama. Ini yang dinamakan determinisme saintifik. Tetapi oleh mekanika quantum determinisme saintifik kini dibuat tidak mutlak lagi. Di tahun 1927 Werner Heisenberg mengajukan apa yang dinamakan Prinsip Ketidakpastian Heisenberg, yang menyatakan bahwa perilaku partikel-pertikel subatomik dapat diprediksi hanya berdasarkan peringkat probabilitas, tidak bisa dalam peringkat kepastian-kepastian mutlak. Dalam mekanika quantum, pada saat seorang melakukan pengamatan, tindakan mengamati ini sendiri mengubah objek-objek partikel yang sedang diamati ketika Konstanta Planck (h) kecil. Jadi, akan selalu ada relasi saling pengaruh antara objek-objek fisika yang diamati, sang fisikawan yang sedang mengamati, dan bagian-bagian lain jagat raya. Selain itu, mungkin saja terjadi, satu atau dua jam di depan ini sang Matahari kita tiba-tiba saja dilenyapkan oleh sejumlah besar pasukan alien-alien supercerdas dengan teknologi perang mereka yang kedahsyatannya tidak bisa kita bayangkan. Jadi, bahwa sang Matahari akan terbit lagi besok pagi, betul-betul hanya kepercayaan kita, kepercayaan yang berpeluang besar untuk terpenuhi.  

Sebagai suami kita percaya begitu saja pada istri kita untuk pergi ke mana mereka suka tanpa memaksa mereka memakai sehelai celana dalam besi yang digembok. Jika anda memaksa istri anda memakai sehelai celana dalam besi yang anda gembok, semua orang akan menyimpulkan bahwa anda punya masalah mental yang berat. I simply believe that my wife/husband is forever faithful to me so that it is unnecessary for me to...!

Sebagai istri kita percaya saja pada suami kita untuk mereka pergi ke manapun mereka suka tanpa memaksa mereka memakai sehelai celana dalam besi yang digembok. Jika anda menggembok alat vital suami anda, pasti anda sedang sakit mental berat.

Kita yang sudah berumahtangga lama, tahu bahwa syarat utama sebuah hubungan asmara bisa langgeng antara pria dan wanita yang sedang berpacaran bukanlah bukti cinta mitra sekarang juga (misalnya, sedia bersetubuh), tetapi kewajiban kedua pihak untuk membangun kepercayaan dan kesetiaan timbal balik. Mutual trust/faithfulness between a man and a woman falling in love one another is the “sine qua non” for ...!

Kita percaya saja berita telpon gelap bahwa ada sebuah bom yang siap meledak di dalam gedung, lalu kita memerintahkan para petugas satpam untuk menyisir setiap jengkal jalan-jalan dan sudut-sudut dalam semua ruangan. The manager simply believes that the bomb threat delivered by the unknown phone call is very serious that he....

Kanak-kanak juga percaya begitu saja bahwa sebotol susu yang diberi ke mereka oleh ibu mereka tidak berisi racun. Mereka langsung sedot tuh susu dalam botol, tanpa ragu. Children simply believe that their mothers always give them milk, not poison, in the bottles to suck....

Nyaris semua suami percaya begitu saja bahwa bayi yang baru dilahirkan istri mereka adalah anak mereka sendiri, bukan anak pria tetangga. Tidak ada tuh dalam kondisi normal suami meminta DNA bayi yang baru dilahirkan istrinya dites. All good husbands simply believe that the babies just born by their wives are their genuine babies so that....

Anda dapat mendaftarkan masih banyak lagi contoh yang menunjukkan bahwa dalam kehidupan normal, kita juga kerap percaya saja, tanpa minta bukti. Kepercayaan adalah bagian normal dari kehidupan normal kita sehari-hari. Hidup anda menjadi abnormal, susah dan tak akan jalan kalau untuk segala hal anda menuntut pembuktian langsung saat ini dan di tempat ini juga.

Orang ateis memang tak normal, dan hidup mereka tak akan jalan, kalau untuk segala hal mereka menuntut pembuktian empiris dulu, baru setelah itu mereka bergerak. Saya membayangkan, jika para ateis mencoba hidup dengan menolak semua bentuk kepercayaan yang sudah saya berikan contoh-contohnya dalam tulisan ini, jujur saja, mereka tidak akan bisa hidup dalam dunia ini. Mereka harus tinggal di sebuah planet lain yang masih kosong sama sekali, mungkin planet Mars cocok. Mereka menderita bukan hanya penyakit mental kebencian mendidih terhadap agama-agama (yang dinamakan religiofobia), tetapi juga menderita kebencian mendidih terhadap semua bentuk kepercayaan (Latin: fidem), yang saya namakan fidofobia. Oh ya, sejauh orang ateis keras sudah tidak bisa percaya pada apapun di luar diri mereka (dan mungkin juga pada diri mereka sendiri), mereka terkena sebuah patologi mental lain yang sudah kita kenal, yakni paranoid

Selain itu, para ateis sok bermental ilmiah, padahal para ilmuwan sendiri hidup normal juga dengan acap kali hanya percaya saja dalam kehidupan sehari-hari mereka di luar laboratorium. Pada rak-rak buku-buku mereka, banyak tuh berjejer novel-novel dan fiksi-fiksi, bahkan juga kitab-kitab suci.

Kita umumnya hidup lebih banyak di dunia sehari-hari yang real yang mengharuskan kita kerap memakai kepercayaan saja sehingga kehidupan kita berjalan dengan baik, normal, lancar, gembira dan relaks.

Bukti-bukti itu bukan hal sepele, tetapi penting dan mendasar, khususnya kalau kita masuk ke dunia sains, juga ke dunia hukum. Tetapi kehidupan normal sehari-hari juga membutuhkan banyak kepercayaan. Kepercayaan itu penting, bahkan mendasar, dan bukan hal yang sepele. Dalam banyak situasi, kita kerap melangkah hanya dengan kepercayaan.

Satu contoh. Saya, dan tentu anda juga, hingga wafat nanti, hanya percaya saja bahwa putra dan putri saya yang sekarang sudah besar adalah darah daging saya sendiri, bukan darah daging seorang pria lain, tanpa perlu saya buktikan lewat tes DNA. Ini normal, bukan? Mungkin anda yang ateis, setelah membaca paragraf ini, langsung berpikir untuk segera menguji DNA anak-anak anda untuk mendapatkan bukti-bukti apakah mereka betul-betul keturunan murni anda sendiri. Ok, itu bagus. Buktikan saja, dan kita akan bisa melihat bersama fakta ini: rumah tangga anda akan pada waktunya hancur berantakan. Tak percaya? Ya, buktikan saja. Bukankah anda memang sudah terobsesi pada bukti?   

Saya ulangi: Kita hidup normal tidak hanya berdasar bukti, tapi juga banyak kali hanya dengan berdasar kepercayaan saja. Kepercayaan itu penting. Kepercayaan itu agung. Orang yang bisa percaya, itu tanda orang itu punya kepercayaan diri yang besar. Orang itu PD!

Jadi, salah jika para ateis mengharuskan anda hidup dengan mengutamakan bukti empiris sejalan dengan metode sains. Tak seluruh dunia ini laboratorium. Kalau dunia ini seluruhnya laboratorium sains, di mana Dunia Fantasi harus dibangun? Di mana Disneyland harus didirikan? Di mana Six Flags harus dikonstruksi? 

Dengan demikian, tidak ada yang salah jika anda percaya pada Tuhan, normal saja, sebab kepercayaan adalah bagian dari kehidupan normal kita. Tanpa kepercayaan, hidup anda mungkin sekali sarat dengan stres dan depresi. 

Hidup hanya berdasar bukti-bukti! Oooh,... malangnya!

Orang ateis itu ibarat orang yang sepanjang hari membawa sebuah kaca pembesar untuk menemukan bukti-bukti, sekecil apapun, di jalan-jalan yang dilewati. Kening mereka terus berkernyit. Jantung terus berdebar kencang. Tekanan darah mereka tinggi. Mata mereka kerap berkunang-kunang. Padahal orang lain di sekitar, terus melangkah dengan riang gembira, lompat-lompatan, bercanda, bermain, tertawa, mulut mengunyah permen karet, sambil saling mendongeng. Sebagian mereka terus berjalan, dengan tertawa senang, menuju sebuah gedung bioskop, membeli karcis, lalu masuk ke ruang pertunjukan, menonton kisah sosok fiktif Doraemon selama dua jam. Hati gembira, pikiran segar, ketika mereka ramai-ramai keluar, meninggalkan gedung bioskop. Dunia pun ikut tertawa, bahagia.

Jika karena anda percaya dengan tulus kepada Tuhan anda, lalu anda dengan positif berdoa kepadanya, doa anda ini akan berpengaruh positif pada hati dan pikiran anda, lepas dari soal apakah doa ini akan terkabul atau tidak. Doa itu adalah percakapan akrab antara anda dan Tuhan anda sebagai sang orangtua anda yang mencintai anda dan anda cintai. Yang menarik dari setiap percakapan adalah prosesnya.

Tentu ada kepercayaan keagamaan yang bisa tak baik atau bisa salah, sama seperti ada teori sains yang bisa tidak baik atau bisa salah. Teknik meng-edit DNA semasa manusia masih sebagai janin, yang bisa diarahkan untuk menghasilkan ras eugenik, jika betul-betul dijalankan, akan menimbulkan masalah etis yang sangat berat dan rumit. Kepercayaan kepada Tuhan yang menimbulkan fanatisme dan radikalisme, jelas kepercayaan yang buruk.

Jadi, harapan saya, kalau anda mau percaya atau beriman pada Allah yang anda percayai, ya berimanlah dengan agung, yang menghasilkan adikarya dan kebajikan besar. Tunjukkan kepada para ateis, hidup beriman keagamaan anda ceria, membahagiakan, relaks, menenteramkan, menyehatkan dan menghasilkan karya dan kebajikan besar.

Richard Dawkins dkk dlm gerakan New Atheism memandang agama itu virus yang menyerang dan merusak pikiran dan segala sesuatu dalam dunia ini. “The Dawkins Delusion”, itulah sebutan yang saya berikan ke kepercayaan dan pola pikir para New Atheists itu. Tunjukkan bahwa mereka salah besar dan memalukan, lewat iman anda yang akbar kepada Tuhan anda. 

Tunjukkan kepada para Ateis Baru yang sedang mengidap Delusi Dawkins bahwa agama anda juga punya power untuk merawat, menguatkan dan menyembuhkan dunia ini, dan sama sekali bukan virus-virus yang harus dibasmi Dawkins dkk.

Akhirnya, juga baik jika saya mengucapkan kata-kata ini: Tuhan yang mahapengasih dan mahapenyayang kiranya memberkati anda dengan segala kebaikan, ketekunan, kesabaran, kekuatan, kecerdasan, wawasan, kegembiraan, kemurahan, dan kasih sayang.

Jakarta, 19-9-2015
Ioanes Rakhmat


Friday, September 18, 2015

Homo naledi, suatu spesies baru, hominin moyang manusia

Gambar 1, kepala dan wajah Homo naledi

Selama ini spesies-spesies hominin yang dipandang sebagai moyang-moyang terdekat manusia modern (spesies Homo sapiens) adalah:

* Homo erectus (1,6 juta tahun lalu) yang diwakili oleh “Anak laki Turkana” (Turkana Boy), tinggi 5 ft, berat 110-115 lbs. Species ini menggunakan peralatan batu, membuat api, berjalan dan berlari cepat. Ukuran otak dan proporsi anatomis tubuh sangat serupa dengan manusia modern.


* Homo habilis (“Homo yang cekatan”; 1,5-2,8 juta tahun lalu). Nama “homo habilis” diberi oleh Louis Leakey dkk, persisnya oleh Raymond Dart, tahun 1964, karena species ini dianggap mampu membuat peralatan batu yang ditemukan di Olduvai Gorge, Tanzania.


* Australopithecus sediba (2 juta tahun lalu). Fosil-fosilnya ditemukan Lee Berger di Malapa, Afrika Selatan, 2 juta tahun lalu. 


* Australopithecus afarensis (3,2 juta tahun lalu) yang diwakili oleh kerangka yang diberi nama “Lucy”, hominin perempuan dewasa, tinggi 3 ft, berat 60-65 lbs. Sosok ini menyerupai kera, ditemukan di Ethiopia, 1974.

Tetapi baru saja diberitakan, spesies Homo naledi yang ditemukan di goa Bintang Terbit (“Rising Star”), dekat kota Johannesburg, Afrika Selatan, lebih dekat ke Homo erectus ketimbang Homo habilis. Tengkorak dan giginya sekelompok dengan dengan Homo erectus, Neanderthals, dan manusia modern (Homo sapiens).



Gambar 2: Lucy, Turkana Boy, dan Homo naledi

Perhatikan rekonstruksi kepala dan wajah Homo naledi (gambar 1); dan perhatikan juga rekonstruksi postur tubuhnya secara keseluruhan (gambar 2, sosok paling kanan). Homo naledi kelihatan seperti manusia modern, sekaligus juga berbeda. Menurut paleoantropolog Lee Berger, Homo naledi adalah “sejenis hewan yang tampak sudah memiliki kemampuan kognitif untuk mengenali diri sebagai makhluk yang terpisah dari alam”.

Mungkinkah Homo naledi moyang terdekat Homo sapiens? Kita masih menunggu para saintis menentukan kurun kehidupan spesies baru ini. Mungkin sekitar 2-2,5 juta tahun lalu; atau lebih muda. Lihat timeline di bawah ini (gambar 3; klik gambarnya untuk dapat ukuran besar).



Gambar 3: Timeline evolusi hominin

 

Sumber-sumber

Lee R. Berger, John Hawks, et al., “Homo naledi, a new species of the genus Homo from the Dinaledi Chamber, South Africa”, eLIFE, 10 September 2015, pada http://elifesciences.org/content/4/e09560.

Jamie Shreeve, “This Face Changes the Human Story. But How?”, National Geographic, 10 September 2015, pada http://news.nationalgeographic.com/2015/09/150910-human-evolution-change/?rptregcta=reg_free_np&rptregcampaign=2015012_invitation_ro_all.

Thursday, September 17, 2015

Richard Dawkins dkk: Agama itu virus pikiran!
Aah, benarkah?

Kebencian terhadap agama, atau religiofobia, sangat kentara menjajah dan mengendalikan pikiran dan hati semua ateis dalam gerakan New Atheism. Saya melihat akar-akar keadaan mental yang patologis neurotis ini dapat ditemukan mula-mula dalam pendapat pakar biologi evolusioner ateis keras Prof. Richard Dawkins bahwa agama-agama adalah suatu penyakit yang timbul karena “virus-virus mental” telah menyerang pikiran manusia. 


virus menginfeksi...

Virus ini hanya perlu menyebar, menjadi epidemi, dan memperbodoh orang karena membuat mereka tidak memerlukan bukti apapun bagi semua kepercayaan keagamaan mereka. Pendapat Dawkins ini (yang mengambil analogi dari virus-virus komputer di era akhir 1980-an dan di awal 1990-an) yang tidak ditopang oleh kajian ilmiah apapun yang dapat menemukan “virus-virus agama” dalam otak manusia, dituangkan Dawkins dalam artikelnya yang berjudul “Viruses of the Mind”, yang ditulisnya tahun 1991. Katanya, anda sudah tertular virus pikiran ini sejak anda dilahirkan. Tulisnya,
“Jika anda memiliki suatu iman/kepercayaan, secara statistikal sangatlah mungkin bahwa iman anda ini adalah juga iman orangtua anda atau iman kakek dan nenek anda. Tentu katedral-katedral yang menjulang tinggi, musik-musik gereja yang menggugah perasaan, kisah-kisah dan perumpamaan-perumpamaan yang menggerakkan hati, sedikit membantu. Tetapi jelaslah bahwa variabel terpenting yang menentukan agama anda adalah peristiwa kelahiran anda. Keyakinan-keyakinan yang dengan bergelora anda percayai akan berbeda dan bertentangan sama sekali seandainya anda dilahirkan di suatu tempat yang berbeda. Jadi, yang ada adalah epidemiologi, bukan bukti-bukti.”/1/
Christopher Hitchens melanjutkan “meme” yang sudah disebar Dawkins, yaitu idenya bahwa agama adalah suatu virus pikiran yang menimbulkan penyakit mental pada manusia. Bagi Hitchens, agama bukan hanya suatu virus, tetapi juga racun. Dalam tayangan pendek di liveleak.com, Hitchens menegaskan bahwa “agama meracuni segala sesuatu” dan “menginfeksi kita sampai ke integritas kita yang paling dasar.” “Bagiku, agama itu jahat” dan “aku bertempur melawan kedunguan yang paling buruk ini!”/2/ 

Dalam bukunya yang berjudul mengerikan God Is Not Great: How Religion Poisons Everything (terbit 2007), Hitchens dengan gaya jurnalistik yang serba semberono berusaha menunjukkan bahwa semua kebiadaban manusia punya hanya satu sumber, yakni agama. Baginya, agama sedang meracuni segala sesuatu dalam dunia ini. Dalam bab dua bukunya ini yang diberi judul “Religion Kills” (hlm. 15-36), ketika membeberkan sejumlah peristiwa biadab di sejumlah tempat, kota dan negara, dia menyatakan bahwa semua “kebiadaban itu diinspirasi oleh agama.” Lalu katanya dengan yakin bahwa “agama meracuni segala sesuatu. Dan sebagai suatu bahaya juga, agama telah menjadi sebuah ancaman bagi ketahanan kehidupan manusia.”/3/

Dalam seluruh buku God Is Not Great, jelas sekali Hitchens mengumbar habis ketidaksenangan dan kebenciannya terhadap agama. Dia sama sekali tidak bisa toleran terhadap orang-orang beragama. Dia banyak menggambarkan dan menilai agama-agama sesuai dengan ketidaksenangan dan permusuhannya itu. Dia sebetulnya hanya membangun dan mempertahankan Straw Man Fallacy: berperang dengan ide-idenya sendiri tentang agama-agama. Satu contoh saja. Dia menilai kepercayaan keagamaan terhadap sang Pencipta yang telah menciptakan manusia lalu memelihara dan mempedulikan mereka, serta memberi mereka petunjuk-petunjuk tentang bagaimana hidup dengan benar, adalah suatu kepercayaan yang “tidak membuat para penganutnya berbahagia” (hlm. 15-16).  


Dari mana Hitchens tahu hal itu? Tidak ada sebuah survei global tentang ini yang sudah dilakukannya. Sebaliknya, saya puluhan tahun telah melihat dengan mata sendiri bahwa sangat banyak orang yang berbahagia karena beragama, dan menjadi stres ketika menjauh dari agama.

Tentang etika, Hitchens membuat sebuah pernyataan yang kelihatan terlalu besar. Tulisnya,
“Kami [para ateis] percaya dengan pasti bahwa suatu kehidupan yang etis dapat dijalani tanpa agama…. Hal yang lebih penting dari semua hal lainnya, mungkin, adalah bahwa kami para kafir tidak memerlukan mekanisme hadiah atau ganjaran apapun…. Kami para ateis tidak memerlukan para imam, atau hierarki apapun di atas mereka, untuk menjadi para polisi yang akan mengawasi doktrin-doktrin kami. Kami jijik terhadap kurban-kurban dan upacara-upacara keagamaan, begitu juga terhadap relik-relik dan penyembahan terhadap gambar-gambar atau objek-objek apapun (bahkan termasuk … kitab-kitab yang dijilid). Bagi kami tidak ada tempat di muka Bumi yang lebih, atau dapat lebih, ‘suci’ dibandingkan tempat-tempat lainnya.” (hlm. 6) 
Ya, semua orang tahu, etika atau akhlak atau moralitas bersumber tidak hanya pada kitab-kitab suci atau hanya pada ajaran-ajaran agama. Banyak hal dalam alam ini yang bisa memberi manusia petunjuk-petunjuk tentang kearifan moral, termasuk juga ilmu pengetahuan. Tetapi yang saya lihat sebagai suatu persoalan besar pada “etika sekular” yang dianut Hitchens adalah etikanya ini tidak membuatnya menjadi seorang manusia ateis yang toleran. Etika sosial sekular Hitchens sangat anti-toleransi, sama sepenuhnya dengan tuduhannya yang jauh dari kenyataan yang lebih umum bahwa agama-agama tidak akan mungkin membangun “koeksistensi di antara kepercayaan-kepercayaan yang berbeda” (hlm. 17).

Bukunya God Is Not Great dengan jelas juga memperlihatkan bahwa religiofobia yang menjajah dan mengendalikan Hitchens bisa ditemukan akar-akarnya dalam kehidupannya di saat dia remaja, berumur sembilan tahun, ketika sedang bersekolah di Dartmoor, Inggris. Dia waktu itu mempunyai seorang guru perempuan setengah baya, yang mengajar ilmu alam dan juga kitab suci Kristen. Nama sang guru Jean Watts. Tentang Nyonya Watts, meskipun Hitchens mengakuinya penyabar, dengan sangat keras Hichens, pada sisi lain, menulis begini:

“Jika Setan telah memilihnya untuk mencobai aku supaya aku berbuat salah, dia jauh lebih cerdik dibandingkan sang ular yang berakal licik di Taman Eden. Dia tidak pernah membentak keras atau mengancam dengan kekerasan…. Namun, sejujurnya aku merasa jijik dengan apa yang dia telah ajarkan. Sendal kecilku yang bertali, yang mengikat pergelangan kakiku, menjadi tertekuk saat aku dibuat jengkel olehnya.” (hlm.2).
Itukah etika sekular seorang ateis Hitchens, yang sama sekali tidak bisa berterimakasih kepada gurunya yang mendidiknya semasa remaja? Remaja Hitchens melihat dirinya korban indoktrinasi sang guru. Tidak ada hal yang baik apapun pada sang guru, yang olehnya dengan sangat kejam dipandangnya sebagai kaki tangan Setan. Mentalitas sebagai korban inilah yang membuat Hitchens terus membenci dan menyerang agama-agama hingga dia dewasa bahkan hingga dia wafat (15 Desember 2011; lahir 13 April 1949). Buku God Is Not Great sesungguhnya adalah sebuah litani panjang kemarahannya terhadap segala hal yang berkaitan dengan agama-agama. Hitchens memang patut dikasihani, bukan dikagumi.      

Ross Douthat telah menulis sebuah resensi yang bagus atas buku Hitchens ini./4/ Douthat menyatakan bahwa “mungkin orang harus bersyukur ketika Hitchens mengutip pakar-pakar yang otoritatif, berhubung prosanya yang licik terus-menerus terburu-buru bermuara pada ejekan dan menghindari argumen-argumen, dan kadangkala fakta-fakta juga dilewati begitu saja.” Douthat dengan jeli melihat bahwa Hitchens sangat tidak seimbang dalam menafsirkan fakta-fakta. Oleh Hitchens, semua kebiadaban manusia dipandang bersumber hanya pada agama. Douthat menulis,  

“Setiap buku memiliki kesalahan-kesalahan, tentu saja, tetapi sedikit buku sangat tendensius dalam penafsiran atas fakta-fakta yang seyogianya disajikan dengan benar oleh para penulisnya. Seperti seorang Kristen yang sangat fanatik yang mencari hal apapun dalam teks-teks pagan yang dapat ditafsirkan sebagai pertanda kedatangan sang Kristus, Hitchens menjelajahi catatan-catatan tentang tindakan-tindakan biadab manusia hanya untuk menemukan petunjuk apapun bahwa tindakan-tindakan ini telah dimotivasi oleh kesalehan, ramalan kenabian, atau dogma. Jika ada korban-korban, dan jika ada tirani yang mapan, maka semua ini―jika anda percaya pada sejarah kekerasan yang berpusat pada Allah, yang diyakini Hitchens―bagaimanapun juga, menurutnya, berakar pada agama. Jelas, pendapat Hitchens ini sulit diterima, berhubung jika kita membaca sejarah sepintas saja, kita akan menemukan bahwa kesetiaan kepada kaum kerabat seseorang, suku bangsa seseorang, dan negara seseorang―belum lagi kalau berbagai ideologi politis disebut―telah setidaknya menyulut sangat banyak kekerasan, sama banyak dengan yang ditimbulkan oleh perdebatan teologis apapun.”
Pendapat-pendapat Dawkins dan Hitchens (dan juga Daniel Dennett) diambilalih dan dijabarkan dengan lebih terperinci dan programatis oleh Darrel W. Ray, yang telah menulis buku yang berjudul The God Virus: How Religion Infects Our Lives and Culture./5/ Buku ini memperlihatkan bagaimana berbagai jenis agama, sebagai “virus-virus Allah” (“the God viruses”), dengan pas menempati dunia alamiah; bagaimana agama-agama berfungsi di dalam pikiran-pikiran dan kebudayaan-kebudayaan kita; dan betapa serupanya agama-agama dengan kuman-kuman, parasit-parasit, dan virus-virus yang mendiami tubuh manusia (hlm. 13).

Kata Ray, agama-agama sebagai virus-virus Allah, telah “menginfeksi otak manusia dan mengubah kemampuan berpikir kritis. Virus ini masih memberi kemungkinan untuk orang bersikap kritis terhadap agama-agama orang lain, tetapi pemikiran kritis menjadi lumpuh ketika berhadapan dengan agama sendiri.” (hlm. 19). Agama-agama sebagai virus-virus Allah tidak hanya masuk ke dalam kebudayaan-kebudayaan, tetapi juga ke dalam ekonomi dan politik. Ray menyatakan bahwa

“Virus Allah menginfeksi suatu kebudayaan sama seperti virus ini menginfeksi individu-individu. Sementara bukan suatu entitas ekonomi atau suatu entitas politis, virus Allah akan dan dapat menggunakan jaluir-jalur ekonomi dan politik untuk menyebar ke mana-mana…. Politik dan ekonomi hanyalah sarana-sarana untuk virus ini menyebar.” (hlm. 82)
Uuups, jika demikian halnya, maka, hemat saya, bukan hanya para agamawan yang harus dibebaskan dari virus Allah, tetapi semua pelaku kebudayaan, para pegiat ekonomi dan juga para politikus. Para aktivis sekular, dengan demikian, sama sekali tidak berbeda dari para aktivis keagamaan: dalam otak mereka sudah bercokol virus-virus Allah.

Untuk bisa bertahan dan terus tersebar, virus-virus Allah terus bermutasi dan membangun strategi-strategi. Ray menulis,

“Virus Allah membangun strategi-strategi untuk bisa bertahan hidup dan tersebar. Virus-virus yang lebih berkembang memiliki benteng-benteng pertahanan diri yang lebih efektif dibandingkan virus-virus lainnya. Alhasil, virus-virus yang lebih berkembang ini akhirnya menguasai virus-virus lain yang kurang berkembang. Virus-virus Allah selalu bermutasi, dan virus-virus jenis baru keluar, meninggalkan bak penampungan, setiap saat.” (hlm. 56).
Karena semua jenis kuman, parasit dan virus menimbulkan penyakit, begitu juga halnya dengan agama-agama sebagai virus-virus Allah. Untuk hidup sehat, manusia harus hidup bebas dari virus. Virus-virus harus tidak dibiarkan menyerang manusia. Manusia harus hidup terbebas dari virus-virus. Kepada para ateis atau non-teis, Ray menyatakan bahwa “bisnis kita bukanlah mengonversi orang ke dalam suatu agama, tetapi kita sungguh-sungguh ingin hidup bebas dari virus” (hlm. 173).

Oleh Ray, virus-virus Allah juga digambarkan sebagai rantai-rantai yang membelenggu manusia. Tulisnya, “Buku saya ini membahas langkah-langkah yang perlu diambil untuk menghancurkan rantai-rantai itu, lewat penemuan bagaimana agama-agama dengan licik bekerja di dalam kebudayaan-kebudayaan dan pikiran-pikiran kita dan dengan mempelajari cara-cara untuk hidup tanpa rantai-rantai itu.” (hlm. 15).

Sementara para ateis dapat hidup bebas dari virus-virus Allah dan mematahkan belenggu-belenggu virus-virus ini, orang yang beragama, para teis, kata Ray, sama sekali tidak dapat. Tulisnya,

“Orang-orang yang memeluk agama-agama tidak dapat membayangkan hidup bebas dari virus. Teror yang mereka rasakan, telah melumpuhkan mereka sehingga mereka tidak dapat mempertimbangkan  cara-cara lain untuk hidup dan menyatakan keberadaan mereka…. Dunia mereka adalah suatu dunia yang nenakutkan dan berbahaya, yang dihuni setan-setan, roh-roh jahat, dewa-dewi, iblis, Yehova atau Allah yang sedang murka yang menuntut pembalasan, dan yang mengancamkan penghukuman abadi bagi setiap orang yang tidak mengikuti virus yang benar.” (hlm. 206).
Dalam bab sepuluh yang diberi judul “The Journey: Living A Virus-Free Life” (hlm. 197 ff), Ray membeberkan langkah-langkah yang harus dijalankan dalam membebaskan dunia dari virus-virus Allah, dari agama-agama, dari Allah, para dewa dan setan-setan. Etika atau moralitas yang disodorkannya juga moralitas yang bebas virus Allah. Setelah segala bidang kehidupan dapat dibebaskan dari virus-virus agama, dan usaha ini kini masih belum tiba di tujuannya, akhirnya “masa depan manusia adalah masa depan yang tidak subur bagi virus-virus Allah.” (hlm. 222).

Kesimpulannya sudah jelas: karena bagi para pendiri gerakan New Atheism agama-agama adalah virus-virus Allah yang mematikan pikiran manusia, dan terus sedang meracuni dan menginfeksi segala sesuatu dalam kehidupan manusia dan dunia ini, maka, tidak ada pilihan lain, selain agama-agama harus dibenci habis-habisan, dan, jika bisa, perlu dibasmi untuk menghentikan epideminya. Pola pikir kalangan New Atheists ini saya namakan The Dawkins Delusion. Religiofobia lahir dari Delusi Dawkins ini. Dengan demikian, religiofobia memang harus menjadi kodrat mental para New Atheists. Mengerikan!
Ya, mengerikan, karena virus-virus Dawkins dkk dalam gerakan New Atheism juga sedang menginfeksi dan meracuni banyak orang muda dan segala sesuatu dalam dunia ini.

Karena sudah dikondisikan secara kognitif untuk menjadi religiofobik, para Ateis Baru yang mengidap Delusi Dawkins tidak akan bisa lagi melihat agama-agama dari sudut pandang yang lain, bahwa masih ada banyak kebaikan, kesembuhan, dan pembebasan, yang telah, sedang dan akan terus diwujudkan oleh para agamawan dari berbagai agama yang sudah mengalami pencerahan akal, kearifan dan budi pekerti. Agama itu tidak statis, tetapi dinamis, tidak hanya mendiami museum-museum fosil, tetapi juga sedang aktif di dalam banyak laboratorium dalam dunia ini.    

Jakarta, 17 September 2015
Ioanes Rakhmat

Notes:

/1/ Richard Dawkins, “Viruses of the Mind”, 1991, file pdf, tersedia di http://www.inf.fu-berlin.de/lehre/pmo/eng/Dawkins-MindViruses.pdf.

/2/ Lihat http://www.liveleak.com/view?i=232_1264478334.    

/3/ Christopher Hitchens, God Is Not Great: How Religion Poisons Everything (New York, Boston: Twelve, Hachette Book Group, 2009; terbit pertama kali 2007), hlm. 18, 25.

/4/ Ross Douthat, “Lord Have Mercy: A Review of God Is Not Great: How Religion Poisons Everything”, Claremont Review of Books (Summer, 2007), pada http://www.catholiceducation.org/en/controversy/persecution/lord-have-mercy-a-review-of-god-is-not-great-how-religion-poisons-everything.html.

/5/ Darrel W. Ray, The God Virus: How Religion Infects Our Lives and Culture (Bonner Spring, Kansas: IPC Press, 2009).