Thursday, September 3, 2015

Mau menegakkan damai, tapi kok lewat hate speech terhadap Yesus!?


Orang ini menamakan diri dengan gagah The Amazing Atheist. Di akhir videonya (bagi saya, “self-promoting video”), sambil mengacungkan dua jarinya, dia menyatakan bahwa dia “telah datang untuk melenyapkan agama dan menegakkan perdamaian!”

Sejak awal hingga akhir videonya, dia menyampaikan khotbah ateistiknya yang dipenuhi kebencian terhadap Yesus dan aliran Kristen tertentu. Bagaimana dia bisa menegakkan perdamaian dalam dunia ini, jika dalam dirinya kebencian besar pada Yesus dan pada dunia agama-agama sangat besar bernyala dan berkobar? Hate speech yang disampaikannya sudah membuat saya tidak bisa percaya bahwa si Amazing Atheist ini sungguh-sungguh ingin menciptakan perdamaian dalam dunia ini! Dia cuma omong besar dan suka berkoar! 

Bagaimana perdamaian bisa dia tegakkan jika agama-agama, yang juga menjalankan banyak peran positif dalam dunia masa kini (selain peran negatif), mau dia basmi dari dalam dunia ini? Memangnya dunia ini milik nenek moyangnya yang ateis doang? Gegabah sekali dia.

Saya semakin melihat, ateisme itu sebuah ideologi yang penuh kemarahan dan kebencian pada dunia agama. Maka itu, atheism is very stressful! Karena sedang stressed berat, pantaslah kalau para ateis itu umumnya suka marah-marah terus. Bisa jadi, mereka akan banyak terkena serangan jantung dan stroke. Rumah-rumah sakit nantinya akan banyak diisi oleh para ateis.

Pada kolom komentar di bawah video youtube-nya, saya tulis kata-kata saya berikut ini: 
“Hi guy Amazing Atheist, in the end of your preaching you say you love peace. But unfortunately I find out that, from beginning to end of your speech, you extremely hate Jesus and some brands of Christianity. How could I believe that you are disseminating peace around the world, while you in fact are spreading hate speech throughout your self-promoting video? Why are you so stressed? Is atheism stressful? :))”
Tidak bisa paham saya, kenapa Yesus menjadi begitu dibenci si ateis ini. Ya, Yesus memang menuntut kesetiaan total terhadap dirinya. Ini bukan sikap mental otoritarian Yesus, tapi bagian dari strateginya dalam membangun komunitas-komunitas baru di dalam suatu negeri terjajah yang sudah dipecahbelah dengan sistematik oleh penjajah dan kaki tangan Yahudi mereka. 

Si Amazing Atheist ini tidak mengenal Yesus dari Nazareth yang berhasil disingkap oleh kajian-kajian sejarah; tapi dia berbicara terlalu banyak tentang Yesus, dan koar-koarnya ini omong kosong doang jika dievaluasi dari kajian sejarah. Dia membenci Yesus bisa jadi karena dia membenci aliran-aliran Kristen tertentu di Amerika atau mungkin juga karena dia membenci sosok-sosok pemuka gereja-gereja tertentu di Amerika, yang lalu dia proyeksikan ke Yesus yang hidup 2000 tahun lalu di negeri yang jauh dari Amerika. Aneh ya. 

Pasti IQ-nya jeblok! Saya ganti namanya menjadi The Terrorizing Atheist yang bermental tidak berbeda dari para radikalis agama meskipun worldview masing-masing berbeda sangat tajam!

Ikuti videonya di https://youtu.be/yBo7Z_abiLE.

Terima kasih kepada Ritchie Lumban Tobing yang telah meminta saya memberi tanggapan terhadap video si Terrorizing Atheist itu.

Jika anda mau share, silakan, tanpa perlu minta izin lebih dulu.

Jakarta, 3-9-2015

Salam, 
ioanes rakhmat


Tuesday, September 1, 2015

Membuang kueh mangkok ke dalam tong sampah


Membuang kueh mangkok ke dalam tong sampah, lalu memilih dan membeli kueh lapis, itu ibarat menjadi ateis. Sangat gampang!

Tetapi, mengolah kembali kueh mangkok, lalu menjadikannya kueh mangkok versi 2.0, itu sangat sulit. Inilah langkah para agamawan progresif dan liberal dalam dunia agama-agama. Mereka dengan sadar dan cerdas menolak menjadi ateis.

Di dunia Muslim Indonesia, Jaringan Islam Liberal (JIL) melangkah ke situ: mengolah kembali kueh mangkok untuk menjadi kueh mangkok versi 2.0 yang diharapkan lezat dimakan dan menyehatkan. Kalau diperlukan, ya mereka juga membuat kueh-kueh mangkok versi 2.0 yang warna-warni. Ini perlu keberanian, ketekunan, keuletan, komitmen, kecerdasan, ilmu pengetahuan, pengorbanan, dan waktu yang panjang. 

“Cherry-picking”, yakni memilah-milah berbagai unsur, lalu mengambil unsur-unsur yang terbaik dan terbagus untuk digunakan, adalah hal yang lumrah dalam nyaris semua bidang kehidupan ini. Jika anda menolak cherry-picking, pilihannya adalah menjatuhkan sebuah pilihan dengan membuta, dungu, dogol, tidak arif, dan tidak cerdas. Anda bodoh dan dungu jika anda tidak memilah-milah buah cherry, lalu mengambil hanya buah-buah yang bagus dan sehat. Tanpa cherry-picking, anda menjadi tolol, tidak cerdas, tidak arif, dan berkacamata kuda tebal hitam, yang tidak memungkinkan anda memandang dan menemukan banyak warna dan alternatif lain yang diberikan dunia ini kepada anda.

Jika anda mau mendapatkan calon suami/istri yang baik, setia, cerdas dan penuh tanggungjawab, ya anda harus melakukan berulangkali cherry-picking dari antara orang-orang yang menjadi teman-teman terdekat anda. Memilih pekerjaan dan profesi, juga cherry-picking. Dalam dunia sains, kita pun semua memilih-milih, mana teori yang bisa diandalkan, dan mana yang sudah tidak bisa.

Tentu ada hal-hal kodrati yang tidak memungkinkan anda melakukan cherry-picking, misalnya anda tidak bisa memilih-milih apakah anda terlahir sebagai lelaki, perempuan, gay, lesbian atau yang lainnya. Anda juga sebelum lahir tidak bisa cherry-picking siapa yang akan menjadi orangtua anda, kebangsaan anda, negara anda, dan seterusnya.

Nah, orang ateis menuduh: Tuh, lihat, orang beragama! Mereka bisanya cuma cherry-picking! Tidak mau melihat fakta real agama mereka sendiri yang penuh kekerasan! Bisanya cuma cherry-picking teks-teks kitab suci untuk memperlihatkan sisi-sisi baik kitab-kitab suci, sementara teks-teks keras di dalam kitab-kitab suci mereka, mereka tidak mau pilih dan tidak mau perhatikan.

Loh, jika itu yang dilakukan para agamawan yang moderat, progresif dan liberal, itu artinya mereka sedang berusaha beragama dengan cerdas, jeli, relevan, banyak pertimbangan, dan terbuka pada pilihan-pilihan lain dalam beragama. Mereka sudah melepaskan kaca mata kuda hitam tebal mereka.

Nah, orang ateis juga sama: mereka melakukan cherry-picking atas hanya teks-teks kekerasan dalam kitab-kitab suci dan tradisi-tradisi keagamaan lainnya. Lalu teks-teks keras ini mereka serang dengan barbar dan brutal. Karena cherry-picking yang sempit dan picik, orang ateis tidak berhasil melihat ada sangat banyak teks lain dalam setiap kitab suci yang agung, bagus, indah, menyejukkan, mendewasakan, memperdamaikan! Karena cherry-picking, para ateis hanya menonjol-nonjolkan dan menyoroti sosok-sosok agamawan yang memang sosok-sosok radikal, militan, fundamentalis, ekstrimis, teroris.

Kenapa? Ya, karena adanya teks-teks keagamaan yang agung dan indah ini tidak sejalan dengan konsepsi ateistik mereka bahwa semua agama itu kebodohan, ketololan, dan kekerasan! Ya, karena adanya sosok-sosok agamawan besar dan mulia pengubah sejarah dunia dan yang hidup di masa kini tidak sesuai dengan konsepsi ateistik mereka bahwa agama-agama hanya bisa memproduksi para tiran, para bigot, para penyiksa, para pembunuh, para teroris, tanpa mereka mampu melihat juga ada sangat banyak bigot ateis yang radikal, esktrimis, dan militan dewasa ini.

Para ateis yang berkacamata kuda hitam tebal itu, karena cherry-picking, melihat agama-agama hanya dalam sosok-sosok seperti mendiang Osama bin Laden, mendiang Amrozi dkk, tetapi mereka gagal menemukan agama-agama cinta dalam diri sosok-sosok agung seperti mendiang Mahatma Gandhi, mendiang Martin Luther King, Jr., mendiang Abdurrahman Wahid, sosok besar Dalai Lama XIV, dan masih banyak lagi. Kenapa mereka bisa gagal? Ya karena mereka mempraktekkan cherry-picking yang dungu dan tidak cerdas, ditambah karena mereka sedang memakai kaca mata kuda tebal.

Sepakat?

Jakarta, 1 September 2015

Salam,
ioanes rakhmat

Sunday, August 30, 2015

Berkunjung ke panti asuhan Asih Lestari...

Seharian, 25 Agustus 2015, saya berkunjung ke panti asuhan Asih Lestari, yang beralamat di Jalan Gardu No. 1, Kosambi Barat, Tangerang, Indonesia. 

Ada seorang remaja putri di sana (sebut saja namanya Soekarni) yang sedang sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan di Cipondoh, Tangerang, yang dalam bulan April tahun depan, 2016, akan lulus dari sekolahnya itu, Prudent School. Dia ambil jurusan multimedia. 

Karena telah mendengar kesaksian dua orang mahasiswa sebuah sekolah teologi, Soekarni ingin nanti melanjutkan sekolah ke sebuah perguruan tinggi teologi di Indonesia. 



 

Sebagian anak yang diasuh di panti asuhan Asih Lestari, sedang bermain....


Saya dijemput dan diantar ke panti itu untuk berbincang dengan Soekarni di sekitar niatnya untuk masuk ke sebuah perguruan tinggi teologi lalu akan menjadi seorang pendeta gereja setelah lulus. Sebelumnya, langsung dari rumah saya, dengan mobil jemputan itu, saya menyempatkan diri mengunjungi sekolahnya, Prudent School. Dari sekolah ini, harus menempuh perjalanan dua jam lebih dengan mobil ke lokasi panti.

Dengan ditemani dua ibu yang mengurus panti itu, Soekarni bertatapmuka dengan saya di sebuah ruangan ber-AC di panti itu. Bergantian dengan dua ibu itu, saya dengan santai bercerita saja mulai dari apa itu teologi, sekolah teologi, kehidupan seorang pendeta yang bak seekor ikan mas koki yang di taruh dalam sebuah akuarium bulat yang dilihat banyak orang, sampai keinginan banyak orang untuk hidup sebagai hamba Tuhan, pada satu pihak, dan untuk menjadi kaya raya sebagai para pengusaha sukses, di lain pihak. Dan masih banyak lagi hal lain. 

Ketika saya tanya kepada Soekarni, siapa orang terkaya di dunia sekarang ini, co-founder Microsoft, dengan suara perlahan Soekarni menjawab dengan benar, Bill Gates. Saya katakan kepadanya bahwa Bill Gates itu baru merasa menjadi orang terkaya di dunia kalau dia juga menjadi dermawan besar untuk dunia ini.


Saya beberkan kepada Soekarni, jika dia menjadi seorang pendeta di lingkungan Gereja Kristen Indonesia, nantinya dia tidak akan bisa kaya raya, meskipun juga tidak akan kekurangan karena gerejanya nanti akan memperhatikan semua kebutuhan kehidupannya yang wajar. Juga ada banyak pendeta di gereja-gereja lain yang hidup pas-pasan bahkan miskin, tetapi tidak kuasa untuk mengubah kemiskinan mereka. Tetapi ada juga sejumlah pendeta yang memiliki kekayaan sangat banyak bahkan mempunyai mobil-mobil mewah antipeluru. 

Mungkin sesudah pertemuan dengan saya itu, Soekarni akan memikirkan kembali tekadnya untuk masuk ke sebuah perguruan tinggi teologi, atau malah akan makin kuat keinginannya untuk menjadi hamba Tuhan walaupun akan hidup miskin dan disorot banyak orang setiap hari bak seekor ikan mas di dalam sebuah akuarium kaca. Whatever will be, will be!  

Nah, jika anda mau ikut mendukung pelayanan kasih sayang kepada anak-anak di panti asuhan Asih Lestari (kini ada lebih dari 30 orang anak yang sedang diasuh), anda dapat menyumbang uang anda, berapapun besarnya. Ini dua nomor rekening bank yang anda dapat gunakan salah satunya:

1. Rekening Yayasan Panti Asuhan Asih Lestari, no. acc. 127 302 9030, bank BCA, capem Kepa Duri, Jakarta; atau

2. Rekening Gereja Kristen Indonesia, no. acc. 127 301 2811, bank BCA, capem Kepaduri, Jakarta.


Panti asuhan Asih Lestari punya akun Facebook Asih Lestari, dan juga website di www.asihlestari-orphanage.org. Saya sudah buka website ini, dan kelihatan banyak datanya yang belum di-update. Web ini juga sudah ketinggalan zaman; dus, perlu diganti.

Mari, kita bantu mereka, dalam bentuk apapun, termasuk doa dan meditasi anda untuk mereka semua yang ada di panti itu. 


Oh ya, ada satu hal penting lain yang mau saya bagi ke anda. Ketika baru tiba di panti itu, yang pertama kali saya kunjungi, saya langsung saja melihat di sudut halaman muka panti, di bagian terdepan sisi samping kiri. Di situ terdapat sebuah bak sampah besar berdinding tembok yang sudah kusam, hitam, dan mengeluarkan bau busuk sampah. 

Kesan saya yang pertama, Wah, bak sampah itu pemandangan yang tidak sedap yang harus dilihat setiap pengunjung panti. 

Lalu saya mendatangi tempat sampah itu, dan meninjau halaman samping kiri panti itu.

Kemudian, saya katakan kepada salah seorang Ibu pengurus panti itu yang telah menjemput saya tadi, Bu, demi kebersihan, keindahan dan kesehatan, tempat sampah itu harus dibongkar, diratakan dengan tanah. Sebagai pengantinya, kita perlu cari dua kontainer sampah besar yang portabel, memiliki roda-roda besar, yang dapat dipindah-pindahkan.” 

Sang Ibu itu semula terdiam, lalu menyatakan setuju.




Nah, pada kesempatan ini, meskipun saya tidak punya ikatan dan kewajiban apapun terhadap panti asuhan Asih Lestari, saya terbeban untuk mengajak anda ikut berpartisipasi untuk menyumbangkan dua kontainer sampah ukuran besar, seperti terlihat pada foto di atas. Bersediakah anda? Saya berharap anda bersedia. (N.B. tak lama sesudah tulisan ini saya pasang di blog ini, ada seorang warga gereja yang telah membeli dua kontainer sampah dan menyumbangkan keduanya ke panti.)

Untuk anak-anak panti dapat hidup sehat, lingkungan panti juga harus sehat. Anak-anak di semua panti adalah anak-anak kita juga. Mereka berhak untuk hidup sehat dan menjadi cerdas demi masa depan bangsa dan negara Indonesia juga.

Jakarta, 25-8-2015
ioanes rakhmat

N.B. diedit 20 Nov 2021.






Friday, August 28, 2015

Mempersiapkan anak-anak menjadi orang dewasa yang tidak fanatik beragama

bermain dokter-dokteran....  


Dua pakar psikologi agama, Christopher T. Burris dan Keri Raif, belum lama ini melakukan sebuah penelitian terhadap 431 mahasiswa dari Universitas Waterloo, Kanada./1/ Para mahasiswa yang diteliti ini mencakup lima golongan terkait dengan sikap mereka terhadap agama:   

Golongan 1: Setia pada satu agama (agama orangtua) sejak kanak-kanak hingga dewasa.

Golongan 2: Tidak beragama (agnostik, ateis, non-religius) sejak kanak-kanak hingga dewasa.

Golongan 3: Menjadi beragama hanya saat sudah dewasa. Pada masa kanak-kanak, tidak beragama sama sekali. 

Golongan 4: Pindah agama di saat sudah dewasa, melepaskan agama yang dipeluk saat kanak-kanak.

Golongan 5: Menjadi tidak beragama (ateis, agnostik, non-religius) di saat sudah dewasa, melepaskan sepenuhnya agama yang dipercaya pada masa kanak-kanak.

Lewat berbagai wawancara dan metode penggalian info lainnya, dua pakar psikologi agama itu menemukan fakta-fakta berikut:

1. Mahasiswa golongan 1 dan 2 di masa kanak-kanak mereka tidak menyukai permainan peran pura-pura (“pretend play”, selanjutnya ditulis PP); kalaupun mereka pernah bermain PP, itu sangat, sangat jarang. Nyaris tidak pernah.

2. Mahasiswa golongan 3, 4, dan 5, sangat aktif dalam PP di masa kanak-kanak mereka. Tetapi korelasi terkuat antara PP dan sikap keberagamaan atau sikap ketidakberagamaan ditemukan pada mahasiswa golongan 4 dan 5. 

Kesimpulan mereka: PP di masa kanak-kanak sangat kuat memberikan dampak pada sikap keberagamaan atau sikap ketidakberagamaan orang setelah mereka dewasa. Kanak-kanak yang sangat aktif dalam PP menjadi bebas mengganti agama mereka atau bahkan melepaskan agama sama sekali di saat mereka sudah dewasa. Fanatisme keagamaan tidak menguasai mahasiswa golongan 4 dan 5.

Sudah diketahui sejak lama bahwa PP melatih anak-anak untuk menemukan berbagai jawaban atas pertanyaan “Jika aku berperan sebagai A, B, C dan seterusnya, apa yang akan aku temukan dan rasakan?”, dan “Jika aku berimajinasi dan berfantasi menjadi A, B, C dan seterusnya, maka apa yang akan aku temukan dan rasakan?”

Dengan demikian, lewat PP kanak-kanak dilatih dan dibiasakan untuk menjadi para penjelajah cilik, untuk menemukan dan merasakan dengan real (walau lewat imajinasi mereka) berbagai sudut pandang lain, pengalaman lain, situasi kehidupan lain, peran lain, cara hidup lain, dunia simbolik lain. Mereka menjadi terlatih dan terbiasa untuk masuk ke dunia-dunia bayangan yang di dalamnya tidak berlaku “what you see is what you get” (WYSIWYG), masuk ke dunia-dunia alternatif, yang tidak terstruktur kaku, tetapi selalu cair, dinamis, malleable, dan terus berubah.

Kita dengan mudah melihat PP juga paralel dengan hal-hal keagamaan: agama-agama memerlukan anda masuk ke dunia-dunia yang tidak WYSIWYG, tetapi ke dunia-dunia imajiner, dunia-dunia bayangan. Dan, agama-agama tidak menawarkan hanya satu dunia imajiner, tetapi banyak. Dengan aktif dalam banyak PP, anak-anak nantinya tidak akan bisa puas dan habis-habisan setia membuta pada satu agama saja. PP mempersiapkan mereka untuk nanti bisa menjadi warga lebih dari satu agama, menjadi warga dunia majemuk agama-agama.

Prof. Dorothy Singer dari Universitas Yale terkenal lewat kajian-kajiannya yang luas atas dampak PP pada kehidupan kanak-kanak dan setelah mereka dewasa. Menurutnya, anak-anak membutuhkan PP, dan orangtua perlu memberi mereka fasilitas dan banyak kesempatan untuk terlibat dalam PP. Prof. Singer banyak kali menemukan bahwa PP sangat menentukan perkembangan-perkembangan kognitif, sosial, emosional dan jasmani anak-anak hingga usia dewasa dan seterusnya. Kanak-kanak yang banyak terbenam dalam PP umumnya juga kelihatan lebih percaya diri, nyaris tidak pernah cemas, lebih mampu memecahkan masalah, lebih piawai mengatasi konflik-konflik sosial, tidak agresif, dan ternyata juga murah hati untuk berbagi banyak hal kepada orang lain, dan lebih mampu bersikap empatis, toleran, terbuka, tidak picik, dan panjang akal.   

Tentang fungsi signifikan dari bermain (‘play’), dalam kehidupan anak-anak, Dorothy Singer dkk menyatakan demikian: 
“Anak-anak yang bermain bersama, belajar untuk bekerjasama. Bermain, khususnya yang terarah, menawarkan sebuah jalan menuju pembelajaran. Anak-anak perlu bermain, bersamaan dengan kegiatan pembelajaran yang lebih tradisional, untuk membangun kecakapan-kecakapan kognitif dan sosial. Bermain mempersiapkan anak-anak untuk bukan hanya menjadi orang yang lebih baik, tetapi juga untuk lebih siap bekerja… di dalam ‘dunia datar’ masa kini di mana setiap orang memiliki jalur masuk yang sudah disiapkan ke dalam fakta-fakta…. Bermain sangat krusial bagi kesehatan mental anak-anak dan mempersiapkan anak-anak untuk masuk sekolah. Bermain memberikan manfaat-manfaat sosial dan kognitif bagi anak-anak dan bagi mereka di saat mereka sudah dewasa nanti.… Bagi anak-anak yang mengalami situasi-situasi sulit dalam kehidupan mereka, problem-problem emosional, keterbelakangan perkembangan jiwa, bermain bahkan makin signifikan…. Anak-anak dapat memperoleh tanpa batas makna-makna yang mereka bangun dari pengalaman-pengalaman mereka yang menantang emosi mereka jika mereka bermain peran pura-pura. Bermain juga sangat signifikan bagi anak-anak untuk dapat mengatur diri mereka sendiri dan bagi kemampuan mereka untuk mengelola emosi-emosi dan kelakuan mereka.”/2/
Jadi, jika kita sepakat bahwa fanatisme keagamaan, dan tentu saja radikalisme keagamaan, adalah sumber-sumber mental yang berbahaya bagi banyak bencana bagi kehidupan dalam masyarakat-masyarakat yang majemuk, baiklah kita berikan kesempatan dan fasilitas yang banyak dan luas untuk anak-anak kita bisa terlibat aktif dalam berbagai bentuk PP.

Dorong dan motivasilah mereka untuk berpura-pura berperan sebagai Presiden Barack Obama, atau berpura-pura menjadi Presiden Joko Widodo atau Gubernur Ahok, atau bahkan menjadi astronot-astronot yang sedang melakukan perjalanan-perjalanan antariksa menembus jagat-jagat raya lain. Atau bahkan berpura-pura menjadi Bill Gates, Warren Buffett, atau Albert Einstein atau bahkan Stephen Hawking. Beri mereka fasilitas permainan PP untuk peran mereka itu. Beri mereka bacaan-bacaan yang dari sudut ilmu pengetahuan sangat fantastis dan kaya dengan imajinasi.

Jadikan anak-anak kita nantinya sebagai warga dunia agama-agama, tidak berhenti hanya menjadi warga satu agama saja. Itu pilihan yang saya anjurkan ketimbang pilihan untuk anak-anak kita menjadi ateis nantinya. Untuk Indonesia yang masyarakatnya majemuk secara religius, ateisme bukan sebuah pilihan yang masuk akal. Apalagi sekarang ini, sudah ada sangat banyak orang ateis yang sama garang dan radikalnya dengan para agamawan radikal. Indonesia memerlukan orang-orang yang menjadi warga banyak agama, warga dunia agama-agama.

Orang-orang semacam ini, para warga dunia agama-agama, akan mampu menemukan mana segi-segi positif dan mana segi-segi negatif dalam setiap agama, lalu mampu mensinergikan segi-segi positif dalam semua agama untuk menjadi kekuatan besar bagi pembaruan masyarakat. Orang-orang seperti itulah yang bisa membangun masyarakat majemuk Indonesia yang terinterkoneksi satu sama lain, saling mengenal dan saling mempercayai, lalu dengan happy bekerjasama membangun bangsa, negara, dan dunia. Mulailah dari anak-anak anda, sekarang. Investasikan masa depan bangsa, negara, dan dunia, dalam diri mereka.

Good luck! 

ioanes rakhmat   
28-8-2015 

P.S. Silakan share tanpa perlu minta izin lebih dulu. Thank you. 

Sumber-sumber

/1/ Christopher T. Burris dan Keri Raif, “Make Believe Unmakes Belief?: Childhood Play Style and Adult Personality as Predictors of Religious Identity Change”, The International Journal for the Psychology of Religion, Vol. 25, Issue 2, 2015, hlm. 91-106. File pdf tersedia di http://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10508619.2014.916590#abstract.  

/2/ Lihat Dorothy Singer, Roberta Michnick Golinkoff, Kathy Hirsh-Pasek, eds., Play=Learning: How Play Motivates and Enhances Children’s Cognitive and Social-Emotional Growth (New York, N.Y.: Oxford University Press, 2006), hlm. 4,6,7.

Thursday, August 20, 2015

Religion of New Atheism



The holy bible of New Atheism religion


I think, the New Atheism is a religion, very seriously. Here are the elements of the ideological construction I call New Atheism religion. These elements are common in all religions insofar as we know. My very brief analysis here is sociological./1/

Its holy book:
The God Delusion, written by Prof. Richard Dawkins; 

Its first holy epistle:
Letter to A Christian Nation, written by Sam Harris;


Its earlier prophets:
Sam Harris, Richard Dawkins, late Christopher Eric Hitchens, Daniel Dennett;


Its core creeds:
“Atheism makes no claims. It is a lack of belief and nothing more.”

“The transcendent dimensions do not exist.” 

Its delusion:
Atheism is scientific; 

Atheism is the only savior of the world currently being fooled and conned by religions;

Its community:
The defenders of the New Atheism worldwide interconnected and unified by the Internet and various social media;


Its cultic rituals:
Daily attacking religions and believers cruelly, barbarically, aggressively, abrasively, cathartically, by using verbal and symbolic violence;


Its gods:
Superhuman intelligent beings in space believed by Prof. Richard Dawkins to exist that created human beings through their advanced genetic engineering long, long ago./2/


So, you could be convinced now that the New Atheism is a religion too. 

Jakarta, 20 August 2015
Ioanes Rakhmat 


Notes

/1/ Sociologists in general consider religions as social institutions founded and developed on several essential or basic elements, namely, canon, code, creed, and cult. Some add other elements such as community, courses of action, and commitment. In addition to these essential elements, there are many other non-essential elements, too many to mention one by one.

/2/ Richard Dawkins expresses his belief in extraterrestrial superhuman intelligent beings as the creators of human beings here https://youtu.be/BoncJBrrdQ8.

The most crucial statement of Dawkins is this: “Well, it could come about in the following way. It could be that at some earlier time, somewhere in the universe, a civilization evolved, probably by some kind of Darwinian means, probably to a very high level of technology, and designed a form of life that they seeded onto perhaps this planet. Now, um, now that is a possibility, and an intriguing possibility. And I suppose it's possible that you might find evidence for that if you look at the details of biochemistry, molecular biology, you might find a signature of some sort of designer.”

If Dawkins denies this statement or wishes to revise or even discard it, I suggest him to make a scientific clarification recorded in a video and then disseminate it through the Internet.