bermain dokter-dokteran....
Golongan 1: Setia pada satu agama (agama orangtua) sejak kanak-kanak hingga dewasa.
Golongan 2: Tidak beragama (agnostik, ateis, non-religius) sejak kanak-kanak hingga dewasa.
Golongan 3: Menjadi beragama hanya saat sudah dewasa. Pada masa kanak-kanak, tidak beragama sama sekali.
Golongan 4: Pindah agama di saat sudah dewasa, melepaskan agama yang dipeluk saat kanak-kanak.
Golongan 5: Menjadi tidak beragama (ateis, agnostik, non-religius) di saat sudah dewasa, melepaskan sepenuhnya agama yang dipercaya pada masa kanak-kanak.
Lewat berbagai wawancara dan metode penggalian info lainnya, dua pakar psikologi agama itu menemukan fakta-fakta berikut:
1. Mahasiswa golongan 1 dan 2 di masa kanak-kanak mereka tidak menyukai permainan peran pura-pura (“pretend play”, selanjutnya ditulis PP); kalaupun mereka pernah bermain PP, itu sangat, sangat jarang. Nyaris tidak pernah.
2. Mahasiswa golongan 3, 4, dan 5, sangat aktif dalam PP di masa kanak-kanak mereka. Tetapi korelasi terkuat antara PP dan sikap keberagamaan atau sikap ketidakberagamaan ditemukan pada mahasiswa golongan 4 dan 5.
Kesimpulan mereka: PP di masa kanak-kanak sangat kuat memberikan dampak pada sikap keberagamaan atau sikap ketidakberagamaan orang setelah mereka dewasa. Kanak-kanak yang sangat aktif dalam PP menjadi bebas mengganti agama mereka atau bahkan melepaskan agama sama sekali di saat mereka sudah dewasa. Fanatisme keagamaan tidak menguasai mahasiswa golongan 4 dan 5.
Sudah diketahui sejak lama bahwa PP melatih anak-anak untuk menemukan berbagai jawaban atas pertanyaan “Jika aku berperan sebagai A, B, C dan seterusnya, apa yang akan aku temukan dan rasakan?”, dan “Jika aku berimajinasi dan berfantasi menjadi A, B, C dan seterusnya, maka apa yang akan aku temukan dan rasakan?”
Dengan demikian, lewat PP kanak-kanak dilatih dan dibiasakan untuk menjadi para penjelajah cilik, untuk menemukan dan merasakan dengan real (walau lewat imajinasi mereka) berbagai sudut pandang lain, pengalaman lain, situasi kehidupan lain, peran lain, cara hidup lain, dunia simbolik lain. Mereka menjadi terlatih dan terbiasa untuk masuk ke dunia-dunia bayangan yang di dalamnya tidak berlaku “what you see is what you get” (WYSIWYG), masuk ke dunia-dunia alternatif, yang tidak terstruktur kaku, tetapi selalu cair, dinamis, malleable, dan terus berubah.
Kita dengan mudah melihat PP juga paralel dengan hal-hal keagamaan: agama-agama memerlukan anda masuk ke dunia-dunia yang tidak WYSIWYG, tetapi ke dunia-dunia imajiner, dunia-dunia bayangan. Dan, agama-agama tidak menawarkan hanya satu dunia imajiner, tetapi banyak. Dengan aktif dalam banyak PP, anak-anak nantinya tidak akan bisa puas dan habis-habisan setia membuta pada satu agama saja. PP mempersiapkan mereka untuk nanti bisa menjadi warga lebih dari satu agama, menjadi warga dunia majemuk agama-agama.
Prof. Dorothy Singer dari Universitas Yale terkenal lewat kajian-kajiannya yang luas atas dampak PP pada kehidupan kanak-kanak dan setelah mereka dewasa. Menurutnya, anak-anak membutuhkan PP, dan orangtua perlu memberi mereka fasilitas dan banyak kesempatan untuk terlibat dalam PP. Prof. Singer banyak kali menemukan bahwa PP sangat menentukan perkembangan-perkembangan kognitif, sosial, emosional dan jasmani anak-anak hingga usia dewasa dan seterusnya. Kanak-kanak yang banyak terbenam dalam PP umumnya juga kelihatan lebih percaya diri, nyaris tidak pernah cemas, lebih mampu memecahkan masalah, lebih piawai mengatasi konflik-konflik sosial, tidak agresif, dan ternyata juga murah hati untuk berbagi banyak hal kepada orang lain, dan lebih mampu bersikap empatis, toleran, terbuka, tidak picik, dan panjang akal.
Tentang fungsi signifikan dari bermain (‘play’), dalam kehidupan anak-anak, Dorothy Singer dkk menyatakan demikian:
“Anak-anak yang bermain bersama, belajar untuk bekerjasama. Bermain, khususnya yang terarah, menawarkan sebuah jalan menuju pembelajaran. Anak-anak perlu bermain, bersamaan dengan kegiatan pembelajaran yang lebih tradisional, untuk membangun kecakapan-kecakapan kognitif dan sosial. Bermain mempersiapkan anak-anak untuk bukan hanya menjadi orang yang lebih baik, tetapi juga untuk lebih siap bekerja… di dalam ‘dunia datar’ masa kini di mana setiap orang memiliki jalur masuk yang sudah disiapkan ke dalam fakta-fakta…. Bermain sangat krusial bagi kesehatan mental anak-anak dan mempersiapkan anak-anak untuk masuk sekolah. Bermain memberikan manfaat-manfaat sosial dan kognitif bagi anak-anak dan bagi mereka di saat mereka sudah dewasa nanti.… Bagi anak-anak yang mengalami situasi-situasi sulit dalam kehidupan mereka, problem-problem emosional, keterbelakangan perkembangan jiwa, bermain bahkan makin signifikan…. Anak-anak dapat memperoleh tanpa batas makna-makna yang mereka bangun dari pengalaman-pengalaman mereka yang menantang emosi mereka jika mereka bermain peran pura-pura. Bermain juga sangat signifikan bagi anak-anak untuk dapat mengatur diri mereka sendiri dan bagi kemampuan mereka untuk mengelola emosi-emosi dan kelakuan mereka.”/2/Jadi, jika kita sepakat bahwa fanatisme keagamaan, dan tentu saja radikalisme keagamaan, adalah sumber-sumber mental yang berbahaya bagi banyak bencana bagi kehidupan dalam masyarakat-masyarakat yang majemuk, baiklah kita berikan kesempatan dan fasilitas yang banyak dan luas untuk anak-anak kita bisa terlibat aktif dalam berbagai bentuk PP.
Dorong dan motivasilah mereka untuk berpura-pura berperan sebagai Presiden Barack Obama, atau berpura-pura menjadi Presiden Joko Widodo atau Gubernur Ahok, atau bahkan menjadi astronot-astronot yang sedang melakukan perjalanan-perjalanan antariksa menembus jagat-jagat raya lain. Atau bahkan berpura-pura menjadi Bill Gates, Warren Buffett, atau Albert Einstein atau bahkan Stephen Hawking. Beri mereka fasilitas permainan PP untuk peran mereka itu. Beri mereka bacaan-bacaan yang dari sudut ilmu pengetahuan sangat fantastis dan kaya dengan imajinasi.
Jadikan anak-anak kita nantinya sebagai warga dunia agama-agama, tidak berhenti hanya menjadi warga satu agama saja. Itu pilihan yang saya anjurkan ketimbang pilihan untuk anak-anak kita menjadi ateis nantinya. Untuk Indonesia yang masyarakatnya majemuk secara religius, ateisme bukan sebuah pilihan yang masuk akal. Apalagi sekarang ini, sudah ada sangat banyak orang ateis yang sama garang dan radikalnya dengan para agamawan radikal. Indonesia memerlukan orang-orang yang menjadi warga banyak agama, warga dunia agama-agama.
Orang-orang semacam ini, para warga dunia agama-agama, akan mampu menemukan mana segi-segi positif dan mana segi-segi negatif dalam setiap agama, lalu mampu mensinergikan segi-segi positif dalam semua agama untuk menjadi kekuatan besar bagi pembaruan masyarakat. Orang-orang seperti itulah yang bisa membangun masyarakat majemuk Indonesia yang terinterkoneksi satu sama lain, saling mengenal dan saling mempercayai, lalu dengan happy bekerjasama membangun bangsa, negara, dan dunia. Mulailah dari anak-anak anda, sekarang. Investasikan masa depan bangsa, negara, dan dunia, dalam diri mereka.
Good luck!
ioanes rakhmat
28-8-2015
P.S. Silakan share tanpa perlu minta izin lebih dulu. Thank you.
Sumber-sumber:
/1/ Christopher T. Burris dan Keri Raif, “Make Believe Unmakes Belief?: Childhood Play Style and Adult Personality as Predictors of Religious Identity Change”, The International Journal for the Psychology of Religion, Vol. 25, Issue 2, 2015, hlm. 91-106. File pdf tersedia di http://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/10508619.2014.916590#abstract.
/2/ Lihat Dorothy Singer, Roberta Michnick Golinkoff, Kathy Hirsh-Pasek, eds., Play=Learning: How Play Motivates and Enhances Children’s Cognitive and Social-Emotional Growth (New York, N.Y.: Oxford University Press, 2006), hlm. 4,6,7.