Saturday, November 5, 2011

Bukan Yesus yang disalibkan?
Suatu investigasi sastrawi





Surat an-Nisa 4:157 dalam Alquran menyatakan bahwa pada waktu Yesus dari Nazareth disalibkan, pada abad pertama Masehi di Palestina, bukan Yesus dari Nazareth yang disalibkan, tetapi seorang lain telah “diserupakan” untuk menggantikan atau menyubstitusi Yesus. Pandangan ini disebut “teori substitusi”.

Dalam konteks keseluruhan naratifnya, teks Surat an-Nisa 4:157 ini muncul sebagai sebuah polemik dengan orang Yahudi yang mengklaim telah membunuh Yesus. Dalam Alquran terjemahan Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur'an, yang diterbitkan Al-Mizan Publishing House (cetakan ke-3, 2010), lengkapnya teksnya berbunyi demikian,

“Dan (Kami hukum juga) karena ucapan mereka, 'Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah,' padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh adalah) orang yang diserupakan dengan Isa (Arab: wa lākin syubbiha lahum). Sesungguhnya mereka berselisih pendapat tentang (pembunuhan) Isa, selalu dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka benar-benar tidak tahu (siapa sebenarnya yang dibunuh itu), melainkan mengikuti persangkaan belaka, jadi mereka tidak yakin telah membunuhnya.”

Seorang lain yang “diserupakan dengan Isa”, yang telah disalibkan menggantikan-Nya, dalam pandangan para penafsir Muslim, bisa seorang murid Yesus, atau Sergius yang sudah dikenal, atau seorang lain, yakni Yudas, yang parasnya telah diubah sehingga serupa dengan paras Yesus.

Itu tuturan Alquran tentang Nabi Isa. Tuturan ini berbeda dari kepercayaan Kristen dan dari pengetahuan yang didapat lewat telaah dokumen-dokumen Perjanjian Baru dan dokumen-dokumen lain (Yahudi, Kristen, dan pagan) di luar Perjanjian Baru yang tidak bergantung pada Perjanjian Baru.

Dokumen-dokumen tersebut semuanya mempersaksikan bahwa Yesus mati disalibkan. Jadi, ada perbedaan antara Isa dalam Alquran dan Yesus dalam dokumen-dokumen lain terkait akhir kehidupan Yesus.

Ya, biarlah berbeda. Terima saja perbedaan itu. Tidak usah dipaksakan sama. Umat yang satu percaya Isa, umat yang lainnya percaya Yesus. Hidup bersama dalam perbedaan, unity in diversity, adalah suatu fenomena global.

Ketika saya meneliti dokumen-dokumen esktra-Perjanjian Baru (disebut dokumen-dokumen ekstra-kanonik), dalam rangka mengenali konstelasi sastra dunia Laut Tengah kuno, saya menemukan ada teks-teks tentang Yesus yang tidak disalibkan atau ada orang lain yang menggantikan-Nya.

Teks-teks tersebut adalah teks-teks keagamaan Kristen gnostik dari abad kedua dan abad ketiga Masehi. Semua teks Kristen gnostik ini mengetengahkan suatu sudut pandang teologis Kristen gnostik yang memandang raga atau tubuh atau daging (Yunani: sarks) manusia tak ada nilainya dibandingkan jiwa atau rohnya, pandangan “sarkofobik”. 

Antropologi gnostik memang fobia terhadap raga, yang dipandang sebagai suatu penjara bagi "jiwa". Keselamatan, bagi kalangan gnostik, adalah pembebasan jiwa dari penjara tubuh.

Sebelum kita fokus ke dokumen-dokumen gnostik di era kekrstenan awal itu, perlu ditinjau dulu teks-teks kuno di luar PB yang mencatat ihwal penyaliban Yesus. 

Ada beragam bukti literer (sastra/dokumen) kuno yang independen, yang satu tidak bergantung pada yang lain, yang memberitakan peristiwa penyaliban Yesus. Dalam hal ini, suatu “kriterion autentisitas” penting dan utama dalam studi-studi tentang Yesus diterapkan: bahwa bahan-bahan bukti literer autentik (authentic literary evidence) tentang Yesus harus ditemukan di lebih dari satu sumber sastra (multiple sources), dan sumber-sumber sastra yang majemuk atau multiragam ini harus independen, yang satu tidak bergantung pada yang lainnya. Masing-masing ditulis sendiri-sendiri.

Ini adalah kriterion yang diberi nama “criterion of multiple independent attestations” (yang juga dipakai dalam kasus-kasus pembuktian fakta-fakta di dalam suatu pengadilan negara atas perkara-perkara pidana dan perdata).

Bukti sastrawi pertama (tertua) tentu saja  adalah dokumen-dokumen Kristen Perjanjian Baru yang seluruhnya dengan satu suara memberitakan penyaliban Yesus.

Jika penyaliban Yesus hanya diberitakan oleh penulis-penulis Kristen, kita dapat menyatakan bahwa peristiwa penyaliban Yesus itu bisa saja ciptaan atau rekayasa para penulis Kristen perdana sendiri untuk menunjang suatu teologi Kristen tentang penebusan melalui salib Yesus.

Tetapi masalahnya adalah bahwa teologi semacam ini hanya bisa disusun kalau penyaliban Yesus sudah terjadi lebih dulu. Teologi dibangun untuk memecahkan soal berat, mengapa Yesus sampai mati disalibkan, lewat berbagai cara berteologi.

Lalu, masalah lainnya adalah: Apa perlunya para penulis Kristen perdana sampai perlu mempersaksikan penyaliban Yesus, sementara penyaliban Yesus itu sendiri merupakan suatu peristiwa yang memalukan orang Kristen perdana, memalukan karena sang pemimpin mereka dihukum mati dengan cara yang (dalam pandangan Yahudi [lihat Galatia 3:13; Ulangan 21:23]) sangat aib dan terkutuk, yakni dihukum dengan penyaliban sebagai seorang kriminal menurut hukum Romawi.

Menurut Rasul Paulus sendiri, bagi orang bukan-Kristen (orang Yunani) berita bahwa penyaliban Yesus adalah jalan keselamatan sesungguhnya adalah suatu “batu sandungan” (Yunani: skandalon) dan suatu “kebodohan” (Yunani: môria) (1 Korintus 1:23). 

Ya, karena orang Yunani hanya memuja sosok-sosok besar yang telah memperlihatkan prestasi-prestasi luar biasa besar dan agung, dan karena itu, mereka dijadikan demigod, "insan besar ilahi", "manusia dewa" (Latin: semideus; Yunani: hēmitheos). Kisah-kisah epik besar Yunani dinamakan aretalogi.

Jadi, penyaliban Yesus sebagai suatu peristiwa sejarah memenuhi suatu kriterion autentisitas lainnya yang dinamakan “criterion of embarrassment”: jika suatu peristiwa dalam kehidupan Yesus memalukan atau menjatuhkan pamor kekristenan perdana, maka pengisahan atau pelaporan peristiwa ini pastilah pelaporan suatu peristiwa sejarah yang tidak bisa ditutup-tutupi.

Jadi, tidak ada alasan lain, selain alasan sejarah, kalau para penulis Kristen perdana sampai melaporkan penyaliban Yesus.

Selain itu, hukuman penyaliban adalah sesuatu yang sudah umum dan sering dilakukan oleh para penguasa asing terhadap para revolusioner Yahudi, dengan tatacara yang sudah dibakukan. Penangkapan Yesus juga sudah diatur dengan sangat profesional, sehingga mustahil terjadi salah tangkap.

Jadi, masuk akal, jika Yesus dari Nazareth akhirnya dihukum mati melalui penyaliban mengingat Dia memang telah menimbulkan riak gangguan, baik terhadap otoritas Yahudi mau pun terhadap otoritas Roma.

Dia dihukum mati dengan suatu tuduhan politis bahwa Dia mengklaim takhta Daud dan dengan demikian menjadikan diri-Nya Raja Yahudi di suatu kawasan yang dijajah Roma. Tuduhan ini dituliskan pada titulus crucis yang dipancang pada balok salib-Nya, menurut kesaksian injil-injil Perjanjian Baru. 

Dari Yohanes 19:20 kita tahu "inskripsi salib" Yesus ditulis dalam tiga bahasa: Ibrani, Latin, dan Yunani. Bunyinya "Yesus orang Nazareth, Raja orang Yahudi".




Titulus crucis pada kayu salib Yesus. Atas, konon aslinya. Bawah, salinannya dalam tiga bahasa


Bukti-bukti sastrawi lainnya berasal dari dokumen-dokumen non-Kristen, yakni dokumen-dokumen Yahudi dan non-Yahudi, serta dokumen-dokumen pagan Romawi.

Karena para penulis dokumen-dokumen ini adalah orang-orang non-Kristen, maka tidak ada kepentingan atau alasan apa pun dalam diri mereka, selain alasan melaporkan suatu peristiwa sejarah, ketika mereka memberitakan Yesus telah mati disalibkan.

Dokumen Yahudi yang pertama adalah tulisan seorang sejarawan Yahudi yang bernama Flavius Yosefus (atau Yosef ben Matthias), yang hidup dari tahun 37 atau 38 sampai setelah tahun 100.

Di dalam suatu karya besarnya yang berjudul Antiquitates Judaicae (Jewish Antiquities), pada bagian 18.63-64 (bagian ini biasa disebut sebagai Testimonium Flavianum (kesaksian atau testimoni Flavius Yosefus tentang Yesus) kita baca testimoni berikut (kata-kata yang ditempatkan dalam tanda kurung adalah tambahan belakangan dari seorang editor Kristen):

“Kira-kira pada waktu ini, hiduplah Yesus, seorang yang bijaksana, (jika memang orang harus menyebutnya seorang manusia). Sebab dia adalah seorang yang telah melakukan tindakan-tindakan luar biasa, dan seorang guru bagi orang-orang yang telah dengan senang menerima kebenaran darinya. Dia telah memenangkan banyak orang Yahudi dan banyak orang Yunani. (Dia adalah sang Messias). Setelah mendengar dia dituduh oleh orang orang-orang terkemuka dari antara kita, maka Pilatus menjatuhkan hukuman penyaliban atas dirinya. Tetapi orang-orang yang mula-mula telah mengasihinya itu tidak melepaskan kasih mereka kepadanya. (Pada hari ketiga dia menampakkan diri kepada mereka dan membuktikan dirinya hidup. Nabi-nabi Allah telah menubuatkan hal ini dan hal-hal ajaib lainnya tentang dirinya yang tidak terhitung banyaknya). Dan bangsa Kristen ini, disebut demikian dengan mengikuti namanya, sampai pada hari ini tidak lenyap.”

Berbeda dari Flavius Yosefus yang memberi catatan simpatik tentang Yesus, sumber-sumber rabbinik Yahudi (yang ditulis dalam periode Tannaitik, sampai dengan tahun 220) tentang Yesus berisi catatan-catatan penolakan sebagai reaksi orang Yahudi terhadap provokasi-provokasi yang dibuat orang-orang Kristen perdana terhadap Yudaisme.

Sejumlah pakar menilai ada tradisi-tradisi tua dan dapat dipercaya sebagai sumber sejarah tentang Yesus dalam Talmud Babilonia, di antaranya bSanhedrin 43a, yang bunyinya demikian:

“Pada Sabat perayaan Paskah, Yeshu orang Nazareth digantung. Sebab selama empat puluh hari sebelum eksekusi dijalankan, muncul seorang pemberita yang mengatakan: ‘Inilah Yesus orang Nazareth, yang akan dirajam dengan batu sebab Dia telah mempraktikkan sihir dan mejik [bdk Markus 3:22] dan mempengaruhi orang Israel untuk murtad. Barangsiapa dapat mengatakan sesuatu untuk membela-Nya, hendaklah tampil dan membela-Nya.’ Tetapi karena tidak ada sesuatu pun yang tampil untuk membelanya, Dia pun digantung pada sore Paskah [ini sejalan dengan kronologi dalam Injil Yohanes]....”

Seorang filsuf stoik kebangsaan Syria, yang berasal dari Samosata, bernama Mara bar Sarapion, menulis sebuah surat kepada anaknya, Sarapion, dari tempatnya di sebuah penjara Roma, mungkin segera setelah tahun 73. Di dalamnya dia menegaskan bahwa satu-satunya yang paling berharga untuk dimiliki dan diperjuangkan adalah kebijaksanaan, dan bahwa kendati pun orang bijak itu dapat dianiaya, kebijaksanaan itu tetap kekal.

Sebagai model orang-orang bijak, si filsuf ini mengacu kepada Sokrates dan Phytagoras, dan juga kepada Yesus meskipun nama Yesus tidak disebutnya:

“Perbuatan baik apa yang dilakukan orang-orang Athena ketika mereka membunuh Sokrates, yang mengakibatkan mereka dihukum dengan bahaya kelaparan dan penyakit menular? Manfaat apa yang diperoleh orang-orang Samian ketika mereka membakar Phytagoras, karena kemudian negeri mereka seluruhnya dikubur pasir dalam sekejap saja? Atau apa keuntungannya ketika orang-orang Yahudi membunuh raja mereka yang arif, karena kerajaan mereka setelah itu direnggut dari mereka [mengacu ke Perang Yahudi I tahun 66-73/74]? Allah telah dengan adil membalas perbuatan-perbuatan jahat yang telah dilakukan kepada tiga orang bijaksana ini. Orang-orang Athena mati kelaparan; bangsa Samian dilanda banjir dari laut; orang-orang Yahudi dibunuh dan diusir dari kerajaan mereka, lalu tinggal di tempat-tempat lain dalam perserakan. Sokrates itu tidak mati; tetapi tetap hidup melalui Plato; begitu juga Phytagoras, karena patung Hera. Demikian juga raja yang bijak itu tidak mati, karena setelah Dia tidak ada muncul hukum baru yang Dia telah berikan.”

Seorang satiris yang bernama Lucian dari Samosata (sekitar tahun 115-200), dalam tulisannya The Passing of Peregrinus, mengisahkan tentang orang-orang Kristen yang sangat terpikat pada Peregrinus sehingga mereka menyembah-Nya sebagai suatu allah; selanjutnya Lucian menulis:

“... sesungguhnya, selain dia, juga orang yang disalibkan di Palestina karena memperkenalkan kultus baru ini ke dalam dunia, kini masih mereka sembah.”

Lucian juga menggambarkan orang-orang Kristen sebagai orang-orang “yang menyembah sofis yang disalibkan itu sendiri dan hidup di bawah hukum-hukum-Nya.”

Cornelius Tacitus (55/56-sekitar 120) adalah seorang senator dan sejarawan Roma yang termasyur karena dua karya sejarahnya, Histories (sekitar 105-110) dan Annals (sekitar 116/117). 

Seperti dilaporkan Tacitus dalam Annals 15.38-44, untuk membelokkan kecurigaan dan dakwaan terhadap dirinya sendiri atas terbakarnya kota Roma selama sembilan hari dalam tahun 64, Kaisar Nero (54-68) menjadikan orang-orang Kristen di sana sebagai “kambing hitam.” Dalam konteks inilah Tacitus menyebut nama “Kristus” sebagai pendiri gerakan Kristen yang dihukum mati:

“Karena itu, untuk menepis kabar angin itu, Nero menciptakan kambing hitam dan menganiaya orang-orang yang disebut ‘orang-orang Kristen’ [Chrestianos], yaitu sekelompok orang yang dibenci karena tindakan-tindakan kriminal mereka yang memuakkan. Kristus, dari mana nama itu berasal, telah dihukum mati (supplicio adfectus) dalam masa pemerintahan Tiberius [14-37] di tangan salah seorang prokurator kita, Pontius Pilatus [26-36], dan takhayul yang paling merusak itu karenanya untuk sementara dapat dikendalikan, tetapi kembali pecah bukan saja di Yudea, sumber pertama dari kejahatan ini, tetapi juga di Roma, di mana segala sesuatu yang buruk, menjengkelkan dan yang menimbulkan kebencian dari segala tempat di dunia ini bertemu dan menjadi populer.” (Annals 15.44).

Nah, beragam sumber independen yang telah dikutip di atas (sumber Kristen, dan sumber Yahudi maupun sumber non-Yahudi dan pagan) dengan bulat menyatakan bahwa Yesus dari Nazareth telah mati disalibkan oleh otoritas Roma, dengan juga melibatkan otoritas Yahudi.

Tidak ada alasan lain yang masuk akal, selain alasan melaporkan suatu peristiwa sejarah, kalau para penulis dokumen-dokumen di atas itu, secara independen, sampai melaporkan peristiwa penyaliban Yesus.

Nah, selanjutnya fokus diarahkan ke teks-teks gnostik yang sarkofobik, yang sudah disebut di atas, yang menjadi bagian dari kepustakaan gnostik yang ditemukan di Nag Hammadi, Mesir, tahun 1945.

Seluruh dokumen Nag Hammadi ini sekarang sudah tersedia dalam satu jilid dalam bahasa Inggris, yang lebih awal berjudul The Nag Hammadi Library (1988) dengan editornya James M. Robinson; dan yang lebih belakangan adalah The Nag Hammadi Scriptures: The Revised and Updated Translation of Sacred Gnostic Texts Complete in One Volume (New York: HarperCollins Publishers, 2007), dengan editornya Marvin Meyer dan pengantar oleh Elaine H. Pagels.

Sebuah dokumen Nag Hammadi yang berjudul Apokalipsis Petrus (NHC 7,3; dari abad ketiga), menyatakan bahwa Rasul Petrus melihat ada dua sosok yang terlibat dalam penyaliban: sosok yang satu sedang dipaku oleh para algojo pada tangan dan kakinya, sedangkan yang satunya lagi sedang berada di atas sebuah pohon, bergembira sambil mentertawakan apa yang sedang berlangsung. Selanjutnya ditulis,

“Sang Penyelamat berkata kepadaku, ‘Dia yang engkau lihat ada di atas sebuah pohon, bergembira dan tertawa, adalah Yesus yang hidup. Tetapi yang satunya lagi, yang kaki dan tangannya dipantek paku adalah bagian ragawi dari dirinya. Sosok yang ragawi ini, yang lahir dengan memakai parasnya, sesungguhnya sedang sangat dipermalukan menggantikan-Nya’” (81.7-25).

Dalam sebuah dokumen Nag Hammadi lainnya, yang berjudul Traktat Kedua Seth Agung (NHC 7,2; dari abad kedua), Yesus menyatakan bagaimana Dia bisa ada di dalam dunia:

“Aku mengunjungi suatu tempat kediaman ragawi. Aku menyingkirkan penghuni pertama yang ada di dalamnya, lalu Aku masuk.... Dan Akulah yang sekarang berada di dalamnya, dan Aku tidak sama dengan penghuni pertama yang ada di dalamnya. Sebab penghuni pertamanya adalah seorang manusia bumi, sedangkan Aku, Aku datang dari atas, dari sorga” (51.20-52.3).

Dengan demikian, bagi kalangan gnostik aliran Basilides yang menyusun traktat ini, ada dua Yesus, yakni Yesus yang ragawi, yang kelihatan secara jasmaniah, dan Yesus sorgawi atau Yesus rohani. Bahkan dalam dokumen ini dikatakan bahwa Yesus terus-menerus mengubah rupanyaberubah dari satu rupa ke rupa lainnya (56.20-24). Yesus digambarkan memiliki jati diri ganda dan lebih dari satu paras.

Pada bagian 56.5-20 dari Traktat Kedua Seth Agung, Yesus berkata,

“Mereka melihat Aku; mereka menghukum Aku. Namun orang lainlah, yakni bapak mereka, yang meminum anggur yang dicampur empedu; bukanlah Aku... melainkan seorang lainSimon, yang memikul salib di pundaknya. Orang lainlah yang mengenakan mahkota duri. Sedangkan Aku berada di tempat yang maha tinggi, dan mentertawakan semua hal berlebihan yang telah dilakukan para penguasa dan buah kekeliruan dan tipu daya mereka. Aku mentertawakan kebodohan mereka.”

Ketika seorang pemimpin gereja dari abad kedua yang bernama Irenaeus menulis (Adversus Haereses 1.24.4) tentang seorang pemimpin Kristen gnostik yang bernama Basilides, dia menyatakan bahwa Basilides memandang bukan Yesus yang disengsarakan, “melainkan seorang yang bernama Simon dari Kirene dipaksa untuk memikul salib Yesus menggantikannya... dan karena ketidaktahuan dan kesalahan, yang disalibkan bukan Yesus tetapi Simon ini.”

Jelas, Irenaeus di sini sedang mengacu secara tidak langsung pada dokumen Traktat Kedua Seth Agung yang sebagian telah dikutip di atas.



Yesus sendirian, tanpa dibantu siapa pun, memikul kayu salib-Nya....


Jika tradisi tentang penyaliban Simon dari Kirene ini sudah beredar pada abad pertama, bisa jadi inilah alasannya mengapa penulis Injil Yohanes (yang melawan kalangan Kristen gnostik zamannya) meniadakan Simon dari Kirene dalam tuturan injilnya dan Yesus digambarkan memikul salib-Nya sendiri (Yohanes 19:17), berbeda dari tuturan dalam injil-injil sinoptik yang menyatakan bahwa Simon menggantikan Yesus memikul salib-Nya (Markus 15:21 dan par).

Sebuah pertanyaan terakhir yang muncul adalah dari mana asal tradisi yang menyatakan bahwa Yesus memiliki “kembaran”, yang parasnya serupa dengan paras Yesus, sehingga orang lain bisa terkecoh.

Tradisi tentang “kembaran” Yesus ini muncul dari orang Kristen Syria, khususnya dari wilayah Edessa. Mereka keliru menyamakan Rasul Thomas, yang disebut tiga kali dalam Injil Yohanes sebagai “Kembaran” (Didimus) (Yohanes 11:16; 20:24; 21:2), dengan Yudas yang dalam Markus 6:3 dan Matius 13:55 disebut sebagai salah seorang dari empat saudara pria Yesus.

Dari situlah tercipta sosok Yudas Thomas sebagai kembaran Yesus, sebuah potret yang populer di kalangan kekristenan Thomas (yang pada tahap akhir sejarah perkembangannya menjadi komunitas Kristen gnostik): lihat kitab Thomas Si Petarung (NHC 2,7; 138.2,4); Injil Thomas (NHC 2,2; 32.11); Kisah Thomas 1. Potret populer kembaran Yesus ini sama sekali tidak ada dalam semua dokumen Perjanjian Baru.

Gagasan kekristenan Thomas ini bahwa Yesus memiliki seorang kembaran adalah salah satu faktor penyebab munculnya kepercayaan bahwa seorang lain yang separas dengan Yesus telah disalibkan menggantikan dirinya.

Dalam lingkungan Kristen gnostik, gagasan tentang kembaran Yesus ini telah ikut melahirkan sebuah pemikiran teologis bahwa yang disalibkan itu adalah Yesus yang tampak secara ragawi atau Yesus bumi, sedangkan Yesus yang sesungguhnya (Yesus yang sepenuhnya rohani, atau Yesus sorgawi), junjungan kaum Kristen gnostik, tidak bisa disalibkan. Kepercayaan ini muncul karena bagi kalangan gnostik, Yesus yang sejati adalah Yesus yang rohani, Yesus sorgawi, sehingga Dia tidak bisa disalibkan. Raga Yesus tidak sungguh-sungguh real. Begitulah antropologi dan kristologi kalangan gnostik.

Tetapi, karena penyaliban sudah faktual terjadi dan peristiwa ini tidak bisa dibantah, orang Kristen gnostik harus menyimpulkan bahwa yang telah disalibkan itu pastilah orang lain, orang yang parasnya serupa dengan paras Yesus, Yesus ragawi, bukan Yesus junjungan mereka, Yesus sorgawi. Kesimpulan ini tak sulit untuk mereka tarik, sebab mereka juga memiliki tradisi-tradisi tertulis dari kekristenan Thomas bahwa Yesus memiliki kembaran.

Pandangan Kristen gnostik ini bukan mau menyatakan bahwa secara historis Yesus dari Nazareth tidak mati disalibkan; tetapi bahwa justru karena Yesus dari Nazareth benar-benar telah mati disalibkan, mereka perlu mencari seorang “korban pengganti” demi menyelamatkan dan mempertahankan keyakinan mereka bahwa Yesus yang mereka sembah adalah Yesus sorgawi, Yesus rohani, yang tidak bisa mati disalibkan. 

Jadi, antropologi dan kristologi kekristenan gnostik tentang Yesus dan akhir kehidupan-Nya berbeda dari yang dipegang para penulis Perjanjian Baru sebagai suatu korpus tulisan-tulisan kalangan Kristen proto-ortodoks.

Berbeda, ya biarlah. Jangan dipaksakan seragam. Pelangi itu indah karena warna-warni. Begitu juga, filsafat bhinneka tunggal ika adalah filsafat yang bagus dan kita semua perlu menjalankannya.

Stay blessed.




Friday, November 4, 2011

Kanak-kanak Yesus menghidupkan burung-burungan tanah liat

"Lewat banyak cara, kisah, tulisan, bahasa lisan dan aneka ragam jenis sastra, dan berbagai karya seni, Tuhan dicintai, diagungkan dan diberitakan dengan menawan dan menggerakkan hati. Teologi yang bagus dibangun untuk memenuhi kebutuhan pengagungan ini yang melahirkan kebajikan dan kehidupan." 
☆ ioanes rakhmat



Sumber gambar Jennifertetlow



☆ Editing mutakhir 18 Juli 2022

Ada sebuah kisah menarik tentang kanak-kanak Yesus membuat burung-burungan dari tanah liat, lalu Dia menghidupkan semuanya, dua belas ekor. Kisah yang memikat hati ini tidak ada dalam Perjanjian Baru, tetapi dituturkan dalam sebuah kitab Injil apokrif yang diberi nama Injil Masa Kanak-kanak Yesus menurut Thomas (The Infancy Gospel of Thomas) pasal 2:1-7. 

Selengkapnya bagian teks Kristen apokrif ini disajikan di bawah ini, bersumber dari buku The Complete Gospels. Annotated Scholars Version. Revised and Expanded Edition, yang disunting oleh Robert J. Miller (Sonoma, California: Polebridge Press, 1992, 1994) hlm. 369 ff.
Ketika kanak-kanak Yesus berusia lima tahun, dia bermain-main di arungan arus air yang mengalir. Dia membendung aliran air ini lalu mengarahkannya ke kolam-kolam dan segera membuat airnya bersih dan bening. Dia melakukan hal ini hanya dengan satu kali perintah. Kemudian dia mengambil tanah liat dan membuatnya lunak, lalu dari tanah liat ini dia membentuk dua belas ekor burung pipit. Dia melakukan hal ini pada hari Sabat, dan banyak anak lelaki lain bermain bersamanya. 
Tetapi ketika seorang Yahudi melihat apa yang dibuat Yesus pada waktu dia sedang bermain-main di hari Sabat, segera orang ini pergi menjumpai Yusuf, ayah Yesus, lalu berkata, “Mari lihat, anakmu sedang berada di arungan air dan telah mengambil lumpur lalu membuat dua belas burung-burungan darinya, dengan demikian dia telah melanggar hari Sabat.” 
Maka Yusuf mendatangi anaknya, dan segera setelah dia menjumpai-Nya, berteriaklah dia, “Mengapa engkau melakukan hal yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?” Tetapi Yesus hanya menepuk-nepuk kedua belah tangannya dan berseru kepada burung-burungan itu, “Terbanglah jauh-jauh, hiduplah, dan ingatlah aku!” Seketika itu juga semua burung pipit itu melambung dan terbang jauh dengan sangat ribut. 
Orang-orang Yahudi memperhatikan semua hal ini dengan keheranan, lalu meninggalkan tempat itu untuk melaporkan kejadian ini kepada para sesepuh mereka tentang apa yang mereka lihat telah dilakukan Yesus.

Kisah di atas adalah bagian dari banyak sastra glorifikasi atau pengagungan tentang tindak-tanduk dan perbuatan luar biasa kanak-kanak Yesus yang memenuhi seluruh dokumen Injil Masa Kanak-kanak Yesus menurut Thomas. (Catatan: Injil ini tidak sama dengan Injil Thomas yang memuat 114 ucapan Yesus yang umumnya berdiri sendiri-sendiri.)



Hayo, hayo terbang, dan jangan kembali lagi, tapi ingatlah Aku selalu...!



Injil Masa Kanak-kanak Yesus menurut Thomas ini mengisahkan tahap-tahap perkembangan yang dialami kanak-kanak Yesus, dan tindakan-tindakan-Nya yang dikisahkan di dalamnya dinyatakan terjadi berturut-turut pada waktu Dia berusia lima tahun (2:1), enam tahun (11:1), delapan tahun (12:4) dan terakhir dua belas tahun (19:1).

Episode-episode kehidupan kanak-kanak Yesus yang dituturkan ini, sampai Dia berusia dua belas tahun, tampaknya dimaksudkan oleh penyusun Injil ini untuk mengisi kekosongan informasi tentang masa kanak-kanak Yesus, mulai dari kelahiran-Nya sampai Dia berusia dua belas tahun. 

Kita tahu, penulis Injil Lukas mengisahkan hanya satu peristiwa yang terjadi pada kanak-kanak Yesus ketika Dia sudah berusia dua belas tahun, yakni Dia terlibat dalam suatu diskusi agama dengan para alim ulama di Bait Allah Yerusalem (Lukas 2:41-52).

Kalau Yesus mulai tampil di muka umum sebagai seorang guru Yahudi katakanlah pada waktu Dia sudah berusia dewasa 30 tahun, maka tentu akan juga timbul rasa ingin tahu dan spekulasi-spekulasi tentang apa yang telah terjadi pada Yesus mulai dari usia dua belas tahun sampai usia tiga puluh tahun. 

Salah satu dugaan adalah bahwa dalam kurun waktu ini (usia 12-30 tahun) Yesus pergi meninggalkan Israel, berguru pada para ahli agama di kawasan timur, di Asia, mungkin di Tibet, di India, di Kashmir, atau tempat-tempat lain. Ihwal sampai sejauh mana kebenarannya, tidak menarik minat para peneliti sejarah kehidupan Yesus untuk menelitinya.

Sama seperti kisah-kisah hebat tentang kanak-kanak Yesus yang diagungkan sampai Dia berusia dua belas tahun dalam Injil Masa Kanak-kanak Yesus menurut Thomas, kisah-kisah tentang segala hal apapun yang terjadi pada Yesus dalam usia 12 sampai 30 tahun juga ditulis untuk mengisi kekosongan informasi yang tidak diisi oleh kitab-kitab injil dalam Perjanjian Baru.

Penulisan Injil Masa Kanak-kanak Yesus menurut Thomas tak dapat dilepaskan dari keperluan yang dirasakan oleh umat Kristen perdana untuk menyusun kristologi yang bukan hanya menggambarkan peran yang akan dimainkan Yesus Kristus di akhir zaman, di ujung waktu, sebagai sang Hakim adikodrati yang akan datang kembali di akhir zaman untuk mengadili dunia (ini dinamakan eskatologi), tetapi juga menggambarkan asal-usul agung Yesus Kristus.

Minat kepada asal-usul Yesus ini (dinamakan protologi) mendorong penulisan kisah-kisah kelahiran Yesus di kurun belakangan. Kisah-kisah tentang kelahiran Yesus ini dapat kita baca dalam Injil Matius (1:18-2:12) dan Injil Lukas (1:26-2:40), yang keduanya ditulis sekitar tahun 85, tetapi tak terdapat dalam Injil Markus yang ditulis lebih dulu (tahun 70). 

Protologi Kristen di dalam Injil Yohanes (ditulis tahun 90) bahkan menelusuri asal-usul Yesus Kristus sampai ke “pada mulanya”, ke kawasan transenden adikodrati, sehingga Yesus dipandang memiliki kepraadaan, atau pra-eksistensi, di kawasan adikodrati, sebagai “sang Firman” atau “sang Kalam” (ho Logos) yang “ada bersama-sama dengan Allah dan yang adalah Allah” (Yohanes 1:1). Teks ini menyatakan ada pembedaan sekaligus ada kesatuan antara sang Firman, ho Logos, dan Allah, ho Theos. Ini adalah kristologi glorifikasi puncak.

Sama seperti kisah-kisah kelahiran Yesus (dalam Injil Matius dan Injil Lukas) dan protologi Injil Yohanes disusun dengan memakai bahasa iman atau bahasa syahadat (confessional language), demikian jugalah halnya dengan Injil Masa Kanak-kanak Yesus menurut Thomas

Kisah-kisah luar biasa tentang Yesus dalam kitab Injil ini adalah kisah-kisah yang lahir dari kepercayaan, dari pengakuan iman, dari syahadat, dari glorifikasi atau pemuliaan, sebagai bagian dari respons iman kepada Yesus sebagai sang Tuhan, ho Kurios, yang diagungkan dan dimuliakan. 

Semua eskatologi dan protologi, bahkan semua teologi, adalah bahasa kesalehan, bahasa pengakuan iman, bahasa syahadat, confessional language, bahasa glorifikasi, bahasa pemuliaan dan pengagungan, yang berkembang bertahap hingga tiba di puncaknya ketika Yesus diglorifikasi sebagai sang Tuhan gereja, sang Tuhan penyelamat dunia. Puncak glorifikasi adalah deifikasi atau apotheosis: Yesus bukan lagi hanya manusia, tetapi Allah sendiri.

Kapan Injil Masa Kanak-kanak Yesus menurut Thomas ditulis?

Injil ini tersedia dalam versi-versi bahasa Syria, Yunani, Latin, dan Slavonia, dan manuskrip tertuanya ditulis dalam bahasa Syria pada abad ke-6 Masehi. 

Namun kita dapat memastikan bahwa Injil ini sudah ditulis pada abad kedua, sebab rujukan terawal kepada Injil ini terdapat dalam sebuah risalah yang ditulis bapak gereja Irenaeus, uskup dari Lyons, pada penghujung abad ke-2 (sekitar tahun 185 M), dengan judul Melawan Para Bidah (Against Heresies).

Dalam risalah ini, Irenaeus menyebut adanya “tulisan-tulisan apokrif dan palsu” yang mencakup sebuah “kisah yang menuturkan tentang Tuhan ketika dia pada masa kanak-kanak sedang belajar alfabet. 

Ketika sang guru sebagaimana lazimnya berkata kepada-Nya, ‘Katakanlah Alfa’, Dia menjawab, ‘Alfa’. Ketika selanjutnya sang guru berkata Beta, Tuhan menjawab, ‘Katakanlah pertama-tama kepada-Ku apa itu Alfa, maka Aku akan mengatakan apa itu Beta.’” 

Teks Irenaeus ini jelas sekali mengacu ke suatu episode kehidupan kanak-kanak Yesus yang dikisahkan dalam Injil Masa Kanak-kanak Yesus menurut Thomas pasal 6-8 dan pasal 14-15. Bagaimana pun juga, motivasi penulisan kisah-kisah masa kanak-kanak Yesus ini sangat positif, yakni memuliakan dan mengagungkan kanak-kanak Yesus, motivasi yang keluar dari cinta orang-orang pada masa kekristenan awal terhadap Yesus, Tuhan gereja.

Ya, kisah kanak-kanak Yesus membuat burung-burungan dari tanah liat lalu menghidupkan dan menyuruh mereka terbang, sangat meresap di hati, menggerakkan kalbu, ketika dibaca sebagai kisah glorifikasi Yesus. 

Iman memerlukan bukan hanya dalil-dalil doktrinal, tapi juga kisah-kisah. Lewat kisah-kisah besar, great narratives, iman dirayakan dan dihayati serta diungkap dengan mengesankan dan berdampak langgeng pada kehidupan umat.

Stay blessed.

Editing mutakhir 18 Juli 2022




Thursday, November 3, 2011

F.A. Hayek, Ancaman Kolektivisme (2011)


Judul buku: Ancaman Kolektivisme (316 halaman)
Judul Asli (Inggris):
The Road to Serfdom

Penulis: Friedrich A. Hayek
(1899-1992; penerima Hadiah Nobel Ekonomi 1974)
Penerjemah: Ioanes Rakhmat


Penerbit buku terjemahan: Freedom Institute dan Friedrich Naumann Stiftung, Jakarta (terbit 28 Okt 2011). ISBN 978-602-99571-0-5


Harga per eks Rp. 75.000,-
(Dijual hanya di toko buku OBOR)

TAPI, dapat dipesan pada saya (penerjemah: Ioanes Rakhmat) dengan harga yang sama. Bebas ongkos kirim untuk kawasan Jabodetabek.


** Jika mau pesan, kirim lewat SMS nama lengkap dan alamat lengkap anda ke HP saya 082 1220 15570. Ongkir di luar kawasan Jabodetabek ditanggung pembeli. Thanks in advance.



Sekilas tentang buku ini:


Dalam buku klasik politik dan filsafat ekonomi ini, Hayek (ekonom Austria, menulis tahun 1944, cetakan ke-2 tahun 2001) memperlihatkan bahaya-bahaya sistem ekonomi sosialis (atau sistem ekonomi kolektivis) yang pada masanya sedang mulai diadopsi di banyak negara Eropa, termasuk negerinya sendiri Austria, ketika rezim Nazi berkuasa di Jerman. Sistem ini mengharuskan kehidupan ekonomi diatur dan direncanakan secara terpusat oleh negara, dengan menghilangkan kebebasan pasar dan kebebasan individual yang diperjuangkan sistem ekonomi pasar bebas atau sistem ekonomi liberal.


Bahayanya, tulis Hayek, adalah sistem ekonomi sosialis hanya akan menghasilkan Negara Budak, di mana segelintir orang (yang disebut para perencana ekonomi) atas nama negara mengendalikan, bahkan memperbudak, seluruh warganegara dengan memaksa mereka melakukan semua kehendak dan perencanaan terpusat ekonomi negara.


Untuk situasi Indonesia masa kini, ketika sedang berlangsung benturan ideologis antara pembela sosialisme yang anti-neoliberalisme dan pembela sistem ekonomi liberal (yang pernah disebut sebagai Mafia Berkeley), buku Hayek ini memberi sumbangan pemikiran yang tajam dan relevan.


Endorsements untuk buku ini:


"... Pandangan Hayek terhadap kebebasan dan kaitannya dengan sistem ekonomi dan sistem politik masih terus relevan dan perlu kita pelajari. Hayek tidak melihat sistem ekonomi, politik, hukum dan perilaku alamiah manusia sebagai kotak-kotak yang terpisah. Dia merangkai semua itu dalam sebuah pandangan yang menyeluruh dan mengaitkannya dengan satu hal yang menjadi titik tolak pemikirannya, yaitu kebebasan manyusia." (Rizal Mallarangeng, Direktur Eksekutif Freedom Institute).


"Buku ini telah menjadi sebuah karya klasik sejati: sebuah bacaan penting bagi setiap orang yang dengan serius tertarik pada politik dalam pengertian yang terluas dan paling kurang partisan" (Milton Friedman)


"Buku ini harus dibaca setiap orang. Tidak ada gunanya berkata bahwa ada sangat banyak orang yang tidak tertarik pada politik; isu politik yang didiskusikan Dr. Hayek melibatkan setiap anggota individual komunitas." (The Listener)


Keterangan di sampul belakang buku asli (tak muncul dalam buku terjemahan Indonesianya):


The Road to Serfdom
tetap merupakan salah satu karya klasik yang tiada taranya, yang mengungkapkan pemikiran intelektual abad keduapuluh. Lebih dari setengah abad, karya ini telah menginspirasi para politikus dan pemikir di seluruh dunia, dan telah menimbulkan suatu dampak penting dan menentukan pada sejarah politik dan kebudayaan kita. Dengan kebrilianan yang distingtif, Hayek dengan meyakinkan mengargumentasikan bahwa, sementara ideal-ideal sosialis bisa menarik dan menggoda, ideal-ideal ini tidak dapat diwujudkan kecuali melalui peranti-peranti yang sedikit orang dapat setujui. Melalui pembahasan atas ekonomi, fasisme, sejarah, sosialisme dan Holokaus, Hayek membongkar jebakan-jebakan ideologi sosialis. Dia menyingkapkan kepada dunia bahwa hanya sedikit dapat dihasilkan dari ide-ide semacam itu, kecuali penindasan dan tirani. Kini, setelah lebih dari lima puluh tahun, peringatan-peringatan Hayek sama validnya seperti ketika The Road to Serfdom pertama kali diterbitkan.




Injil Yesus dipalsukan?
Sebuah percakapan imajiner seorang Muslim dan seorang kritikus Alkitab


Mari kita lihat dengan lebih cermat!


+ Sebagai seorang Muslim, saya sudah lama ingin dapat kepastian, Pak ioanes, apakah ada tulisan-tulisan palsu dalam Perjanjian Baru?/1/

- Tidak ada. Yang ada, pertama, adalah seorang murid memakai nama gurunya ketika menulis, misalnya, surat 2 Tesalonika atau surat Efesus, dan ada sekian dokumen lagi dalam Perjanjian Baru yang sejenis.

+ Tolong diperjelas.

- Ya, tertulis dalam kedua surat itu, penulisnya bernama Paulus, tapi sebenarnya bukan, melainkan seorang muridnya atau seorang yang sangat mengenal pemikiran Paulus. Karya-karya semacam ini disebut karya-karya deutero-paulinis, atau karya-karya pseudonimus.

+ Oh, karya samaran?

- Ya, karya yang penulisnya menyamarkan identitas aslinya, diganti dengan identitas atau nama orang lain. Praktek semacam ini biasa dilakukan pada zaman kelahiran kekristenan, dan praktek ini tidak dipandang forgery atau pemalsuan.

+ Memakai nama samaran untuk sebuah karya, bukankah juga banyak dilakukan pada zaman sekarang, Pak?

- Anda betul. Tetapi tujuannya mungkin beda. Penulis yang memakai nama Paulus itu berusaha menghadirkan kembali pemikiran Rasul Paulus pada zaman ketika sang rasul ini sudah tak ada, dengan dia menafsirkan kembali atau menyusun ulang pemikiran Rasul Paulus, atau mengubahnya dalam batas-batas tertentu. Selain itu, dengan memakai nama besar Paulus, tulisannya tentu akan dipandang berwibawa dan karenanya orang mau membacanya.

+ Apa tujuannya, Pak?

- Untuk membuat pemikiran Paulus tetap bisa kena dan aktual buat komunitas penulis yang memakai nama Paulus itu, ketika mereka menghadapi masalah-masalah yang belum muncul pada zaman Rasul Paulus.

+ Oh, praktek semacam itu dalam hermeneutik disebut kontekstualisasi, Pak.

- Betul! Anda hebat juga.

+ Ya, begitulah, Pak, setiap Muslim pasti hebat!

- Haaa....? OK deh. Nah, jenis kedua adalah karya-karya yang disunting, karya-karya yang mengalami EDITING.

+ Editing? Maksud Pak io?

- Ya, editing, penyuntingan. Sebuah karya mengalami editing bisa dalam tiga bentuk: karya itu ditambah-tambahi, dikurangi, atau diubah secara parsial sporadis atau bisa juga secara radikal hampir menyeluruh, oleh seorang editor belakangan.

+ Apakah karya-karya semacam itu ada dalam Perjanjian Baru?

- Ya, ada. Dokumen-dokumen deuteropaulinis yang saya sebut tadi juga adalah karya-karya suntingan. Dalam dokumen-dokumen ini, editing atas pemikiran Rasul Paulus, lewat langkah-langkah tertentu misalnya lewat pengamatan atas gaya bahasa, pemakaian kosa kata, pemikiran teologis, dan atas persoalan yang diangkat, dapat dengan mudah ditemukan oleh para kritikus profesional. Tetapi, editing paling jelas terjadi dalam kitab-kitab Injil dalam Perjanjian Baru.

+ Bisa dijelaskan lebih terperinci?

- Sama seperti Sokrates jauh sebelumnya, Yesus orang Nazareth tidak meninggalkan tulisan apapun. Kata-kata-Nya, ajaran-ajaran-Nya, dan kejadian-kejadian penting dalam kehidupan Yesus, hanya diingat saja dalam memori murid-murid perdana-Nya.

+ Lalu?

- Banyak hal yang berkaitan dengan Yesus ini diingat di luar kepala, atau dengan bantuan sarana-sarana lain, lalu disebarkan dari mulut ke mulut, dari satu tempat ke tempat lain, dan dari satu masa ke masa lain yang lebih jauh, sebagai tradisi-tradisi lisan.

+ Wah, keterangan yang menarik.

- Kemudian, beberapa waktu sesudah Yesus tidak ada, tradisi-tradisi lisan ini dibuat tertulis, menjadi tradisi tertulis, yang juga diteruskan dari satu generasi ke generasi lain, dari satu tempat ke tempat lain.

+ Dan mengalami editing?

- Persis! Bukan hanya pada level tatabahasa dan titik koma atau hal-hal remeh lainnya, tetapi editing, yang berlangsung baik dalam tradisi lisan maupun dalam tradisi tertulis, terjadi pada level yang lebih substansial, yakni pada pandangan-pandangan Yesus sendiri, ucapan-ucapan-Nya, dan kisah-kisah tentang Dia.

+ Oh, dengan kata lain, Yesus di-edit?

- Ya, kata-kata dan kisah-kisah tentang Yesus yang kita sekarang dapat baca dalam kitab-kitab Injil Perjanjian Baru tidak seluruhnya betul-betul dikatakan oleh Yesus atau dialami oleh-Nya dalam pertigaan pertama abad pertama Masehi. Selain itu, ada kata-kata asli Yesus yang hilang dari Perjanjian Baru atau tidak masuk ke dalamnya, tapi muncul dalam dokumen-dokumen lain di luar Perjanjian Baru.

+ Nah, itu bisa jadi yang kami sebagai Muslim maksudkan dengan Injil yang dipalsukan!

- Kalau kaum Muslim berpikir ada injil Yesus yang asli, yang lalu dipalsukan, tolong anda sebutkan injil asli ini yang mana, yang ditulis lebih dulu dari Injil-injil Perjanjian Baru? Tunjukkan hitam di atas putih.

+ Yaaaa....?!

- Tak bisa anda jawab tokh? Saya lanjutkan ya.

+ Ooohhh.... o.. o.. o .. a .. a.. a.., OK deh, OK deh.

- Penulis pertama yang mengisahkan Yesus adalah penulis Injil Markus yang menulis di akhir tahun 60-an, atau pada tahun 70 abad pertama Masehi.

+ Markus sebagai seorang rasul Yesus Kristus, seorang murid perdana-Nya, saksi mata kehidupan Yesus?

- Oh, sama sekali bukan.

+ Lantas?

- Kita tak akan pernah tahu siapa penulis sebenarnya kitab Injil Markus, juga siapa para penulis sebenarnya kitab-kitab Injil lainnya dalam Perjanjian Baru, yaitu Injil Matius, Injil Lukas, dan Injil Yohanes. Nama-nama yang sekarang disebut sebagai penulis-penulis empat kitab Injil dalam Perjanjian Baru, dicantumkan baru pada abad kedua, sedangkan seluruh empat kitab Injil ini ditulis dalam abad pertama. Karya-karya sastra semacam ini dinamakan karya-karya sastra pseudonimus.

+ Ketika menulis, apakah Markus memakai sumber?

- Ya, Markus memakai tradisi lisan dan juga tradisi tertulis ketika dia di tahun 70 menulis Injilnya (ketika kota Yerusalem dibumihanguskan dan Bait Allah dihancurkan oleh pasukan Romawi). 

Sangat sulit merekonstruksi tradisi lisan tentang Yesus yang dipakai Markus, tetapi tidak mustahil dilakukan, seperti sudah dilakukan cukup banyak ahli Perjanjian Baru modern.

Yang sudah pasti, sebelum Markus menulis Injilnya, sudah ada tradisi tertulis yang mengisahkan hal-hal yang dialami Yesus pada saat Dia memasuki kota Yerusalem pada masa perayaan Paskah Yahudi sampai Dia disalibkan dan wafat. Tradisi ini dinamakan tradisi kesengsaraan Yesus, dan kisahnya disebut Kisah Kesengsaraan atau passion narrative.

+ Apakah Markus melaporkan sejarah faktual kehidupan Yesus orang Nazareth?

- Oh sama sekali tidak! Penulis Injil Markus tidak mencatat dan melaporkan sejarah faktual sepenuhnya jalan kehidupan Yesus, melainkan menawarkan sebuah teologi, sebuah mitos atau metafora besar tentang Yesus, yang diungkapnya lewat kisah, lewat story. Alhasilkarya injilnya ini dapat disebut sebagai sebuah kisah metaforis atau sebuah narasi teologis, a theological narrative.

+ Jadi, dalam Injil Markus tidak ada sejarah, semuanya teologi atau mitos tentang Yesus?

- Tentu ada sejarah di dalamnya, sejarah yang sudah dilebur jadi satu dengan mitos, sehingga sangat sulit memisahkan mana unsur sejarah, history, dan mana unsur mitos, myth, dalam Injil ini. Tetapi pemisahan ini, yang terkenal dengan sebutan demitologisasi, dapat dilakukan.

+ Berapa persen sejarah dan berapa persen mitos di dalamnya?

- Katakanlah, 30-40 persen sejarah, dan sisanya 60-70 persen mitos. Angka-angka ini bukan statistik ya, tapi emblematik.

+ Kok begitu? Lebih banyak mitosnya?

- Ya, memang begitu keadaannya. Sebab bukan hanya Markus, tetapi juga Matius, Lukas dan Yohanes sama sekali tidak bermaksud melaporkan sejarah faktual kehidupan Yesus apa adanya. 

Setiap pengisahan apapun selalu membutuhkan sebuah titik pijak, sebuah "standpoint", sebuah perspektif, dan melibatkan kegiatan besar penafsiran. Tidak ada "sejarah murni", tidak ada "mere or pure history". Yang ada adalah "a reconstructed history", suatu sejarah yang direkonstruksi. Tak ada yang salah dengan usaha merekonstruksi peristiwa-peristiwa di masa lampau. Tanpa lewat rekonstruksi yang cerdas, kita tidak akan bisa masuk ke masa lampau di tempat lain. 

Para penulis injil-injil dalam Perjanjian Baru, bahkan seluruh penulis Perjanjian Baru, masing-masing menawarkan sebuah teologi kepada masing-masing komunitas mereka di tempat-tempat yang berbeda dan di zaman-zaman yang juga berlainan, ketika masing-masing komunitas ini sedang mengalami berbagai persoalan khas yang mereka musti hadapi pertama-tama dengan bersandar pada keyakinan keagamaan mereka.

+ Sebuah teologi? Apa yang Pak io maksudkan dengan teologi?

- Teologi itu bukan sejarah, tetapi suatu doktrin (logos) keagamaan yang mengajarkan dan mewartakan apa yang diyakini si penyusunnya sebagai kehendak Allah (theos) atau, dalam hal teologi Kristen, kehendak Yesus Kristus. 

Karena berbicara tentang hal-hal dalam kawasan yang transendental, yang "melampaui" (Yunani: meta) kawasan dunia sehari-hari yang sudah rutin dijalani, maka, mau tak mau, setiap teologi adalah metafora, yaitu suatu wahana dan wacana sastra yang "menyeberangkan" (Yunani: ferein) manusia ke kawasan adikodrati yang berada "melampaui" atau "beyond" (Yunani: meta) kawasan dunia kodrati sehari-hari. Any theology is essentially a metaphor.

+ Tetapi, apakah ketika seseorang menyusun teologi, sejarah tidak dipakainya sebagai landasan?

- Tentu ada unsur sejarah dalam setiap teologi, tetapi minim, bahkan bisa tidak ada sama sekali, sebab teologi apapun memang bukan historiografi, bukan sebuah karya sejarah, tetapi sebuah metafora, sebuah doktrin keagamaan yang mengajarkan atau memberitakan bahwa Allah dari dunia adikodrati melibatkan diri atau ikut campur dalam semua perkara dan kejadian dalam dunia manusia, dunia kodrati. 

Keterlibatan Allah dalam dunia, adalah sebuah asumsi dasariah dalam setiap teologi, yang diterima begitu saja tanpa bukti, sebagai iman. Tanpa asumsi ini, teologi tak dapat dibangun. Tariklah asumsi dasar ini, maka setiap bangunan teologi akan pasti ambruk. Dus, teologi itu gigih mempertahankan sesuatu yang tanpa bukti, sesuatu yang diasumsikan saja. Teologi itu bahasa iman, bahasa pengakuan, bahasa kepercayaan, confessional language, bukan scientific language.

+ Betul juga ya. Kalau dalam sebuah uraian sejarah, apalagi uraian sejarah yang ditulis seorang sejarawan modern, yang kita namakan historiografi modern, Allah diikutsertakan, ya historiografi semacam ini berubah jadi teologi, jadi agama. Ha ha!

- Wah, anda sudah paham juga rupanya!

+ Tentu.

- Dan lagi, kalau Allah dilibatkan dalam semua perkara dalam dunia manusia, maka segala hal menjadi mungkin untuk dibayangkan terjadi, sebab Allah umumnya dipandang dan diyakini maha kuasa.

+ Karena itu si penyusun teologi akan juga mengisahkan mukjizat-mukjizat?

- Persis! Horison anda makin meluas. Mukjizat hanya ada dalam teologi, dalam mitos, dalam metafora, tapi tak ada dalam realitas objektif. Jadi, setiap klaim tentang terjadinya mukjizat, harus diverifikasi. Ini suatu pendirian modern. Orang di zaman kuno tidak melakukannya.

+ Apakah harus demikian?

- Ya, sejauh anda mau yakin sedang hidup dalam realitas. Tetapi, ya terserah anda. Nah, kita kembali ke Injil-injil dalam Perjanjian Baru.

+ Ya, Pak, saya juga sudah menunggu-nunggu.

- Nah, Injil Markus yang ditulis pada tahun 70 dipakai oleh penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas, tetapi tidak dipakai oleh penulis Injil Yohanes, kalaupun dipakai ya tidak cukup banyak dan tidak menyeluruh, mungkin hanya Kisah Kesengsaraan dalam Injil Markus.

+ Oh, saya paham. Matius dan Lukas mengedit Injil Markus, dalam bentuk penambahan, atau pengurangan, atau malah keduanya memodifikasi Injil Markus?

- Persis! Bukan hanya pada level tatabahasa atau titik koma, tapi juga pada level teologi. Karena teologi Markus adalah teologi cerita, maka cerita Markus tentang Yesus diedit cukup besar baik oleh Matius maupun oleh Lukas, sehingga lahirlah teologi cerita tentang Yesus menurut Matius dan juga menurut Lukas, dan jangan lupa juga teologi cerita menurut penulis Injil Yohanes.

Semua teologi cerita dalam keempat kitab Injil ini berbeda satu sama lain, bahkan ketika diungkap lewat kata-kata, lewat tulisan, terjadi banyak perbedaan, ketidakselarasan bahkan kontradiksi di antara keempatnya.

+ Apakah yang Pak io kemukakan itu hanya sebuah teori, atau sebuah asumsi, atau bagaimana?

- Bukan sebuah teori, juga bukan sebuah asumsi, tetapi sebuah kesimpulan solid dari kajian-kajian kritis langsung terhadap teks-teks kitab-kitab Injil dalam Perjanjian Baru yang sudah dilakukan selama dua abad lebih, ketika masing-masing Injil ini dibandingkan satu sama lain dengan cermat.

+ Oh begitu.

- Pembandingan mudah dilakukan antara Injil Markus, Injil Matius dan Injil Lukas, sebab dalam ketiga Injil ini, yang disebut sebagai Injil-injil Sinoptik, ditemukan banyak kisah yang sejajar satu sama lain dalam banyak garis besarnya, bahkan banyak juga sampai ke detailnya.

+ Sinoptik, apa maksudnya?

- Kata “sinoptik”, yang terdiri dari dua kata Yunani syn dan opsis, berarti “dilihat secara bersamaan”, karena kita sungguh-sungguh dapat menempatkan sangat banyak bagian Injil Markus secara paralel atau sejajar dengan bagian-bagian Injil Matius dan Injil Lukas, dalam kolom-kolom, lalu dapat melihat bahwa ketiganya berhubungan atau serupa satu sama lain.

+ Uraikan lebih jauh tentang pembandingan Injil-injil Sinoptik, Pak!

- Dari pembandingan yang telah banyak dilakukan, kita jadi tahu bahwa Injil Markus adalah sumber besar tertulis bagi Injil Matius dan bagi Injil Lukas, yang dipakai oleh mereka berdua dengan bebas dan kreatif lewat editing.

Artinya: penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas, yang keduanya menulis Injil masing-masing di tahun 85, bebas menambah-nambahi, mengurangi, memodifikasi, dokumen sumbernya, yakni Injil Markus, selain tentu ada bagian-bagian dalam Injil Markus yang mereka pertahankan apa adanya.

+ Bisa lebih spesifik bagian-bagian mana saja dari Injil Markus yang diedit penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas?

- Wah, hampir menyeluruh. Sedikit contoh saja yang langsung kentara, bisa saya sebutkan.

Injil Markus tak memuat kisah kelahiran Yesus; keadaan ini tak memuaskan penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas. Karena itu mereka memasukkan kisah kelahiran Yesus pada bagian awal Injil mereka masing-masing, tentu dengan masing-masing memiliki maksud dan tujuan berbeda ketika mereka masing-masing menambah kisah kelahiran Yesus.

Bahwa keduanya, Matius dan Lukas, memiliki maksud dan tujuan berbeda lewat kisah kelahiran Yesus, tampak dalam perbedaan-perbedaan yang sangat jelas di antara dua kisah kelahiran Yesus ini.

+ Oh begitu.

- Lalu, hitung saja jumlah pasal masing-masing Injil Sinoptik. Injil Markus hanya memuat 16 pasal; Injil Matius 28 pasal, jauh lebih panjang dari Injil Markus; dan Injil Lukas ditutup pada pasal 24, tetapi dilanjutkan dengan jilid kedua oleh penulis Injil ini, berupa sebuah karya teologis yang dinamakan Kisah Para Rasul yang terdiri atas 28 pasal.

+ Wah betul ya, editing terjadi dengan penambah-nambahan.

- Kalau kita pindah ke Injil Yohanes, malah seluruh teologi Markus, Matius, dan Lukas, mengalami modifikasi sangat besar di tangan penulis Injil Yohanes yang menulis di tahun 95 abad pertama Masehi.

Keadaan ini terjadi bisa karena penulis Injil Yohanes, yang kerap disebut sebagai Mazhab Yohanes, di tempatnya dan pada zamannya, dan dengan persoalan-persoalannya sendiri, melakukan editing besar-besaran atas ketiga Injil Sinoptik, jika memang mazhab ini memiliki ketiga Injil Sinoptik atau minimal hanya Injil Markus.

Hal yang sudah pasti adalah bahwa Mazhab Yohanes juga memakai dan mengedit Kisah Kesengsaraan Yesus yang juga dipakai penulis Injil Markus, yang belakangan disalin menyeluruh oleh penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas.

Atau, perbedaan radikal Injil Yohanes dengan Injil-injil Sinoptik timbul karena mazhab ini menganut dan mengembangkan teologi yang berbeda, dan memakai sumber-sumber besar yang berbeda untuk mendukung teologi mereka, misalnya sumber-sumber yang berupa “dialog-dialog Yesus” atau yang berupa kisah-kisah tentang mukjizat-mukjizat Yesus yang biasanya dinamakan sumber “tanda-tanda” atau "signs source".

+ Wah, ada perbedaan sangat besar ya antara Injil Yohanes dan Injil-injil Sinoptik. Beri contoh-contohnya, Pak.

- Dalam Injil-injil Sinoptik, tema kedatangan kerajaan Allah sangat mendominasi ajaran dan khotbah Yesus; tetapi tema ini atau istilah “kerajaan Allah” sendiri nyaris lenyap sama sekali dari Injil Yohanes, karena dibuang oleh penulis Injil ini.

Perumpamaan-perumpaman tentang kerajaan Allah yang sangat padat memenuhi Injil-injil Sinoptik, semuanya boleh dikata lenyap di dalam Injil Yohanes, dan diganti dengan khotbah-khotbah dan dialog-dialog Yesus yang panjang-panjang, bagian yang satu menyusul dan melanjutkan bagian yang lain, bak gerakan spiral atau gerakan ombak laut.

Kalau penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas mengawali kitab Injil masing-masing dengan kisah-kisah kelahiran Yesus yang berlangsung dalam dunia ini, nah penulis Injil Yohanes mengawali Injilnya jauh lebih ke belakang, bukan ke masa kelahiran Yesus, tetapi ke suatu kawasan yang disebutnya “pada mulanya”, yakni ke masa praeksistensi Yesus di dunia adikodrati sebagai “Allah” sendiri. Inilah yang dinamakan kristologi "dari atas" ("high christology") mazhab Yohanes, yang berkontras dengan kristologi "dari bawah" ("low christology") Injil-injil Sinoptik.

Jika di dalam Injil-injil Sinoptik dikisahkan Yesus berdemonstrasi di Bait Allah di Yerusalem menjelang akhir kehidupan-Nya, dalam Injil Yohanes kisah yang serupa dituturkan terjadi pada awal karir Yesus di muka umum, pada pasal 2 Injil ini.

Kalau dalam Injil-injil Sinoptik Yesus dikisahkan hanya sekali mengunjungi Yerusalem yang berakhir fatal dan tragis bagi kehidupan-Nya, dalam Injil Yohanes Yesus dilukiskan mengunjungi Yerusalem berkali-kali, sampai 4 atau 5 kali, bolak-balik dari Galilea ke Yudea.

Kalau dalam Injil Markus ketika Yesus sedang meregang nyawa di kayu salib dikisahkan bahwa Dia putus asa dan berteriak “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau menelantarkan Aku?”, maka penulis Injil Yohanes menggantinya sama sekali dengan ucapan gagah perkasa Yesus, “Sudah selesai!”, karena baginya, sang heronya, yakni Yesus, adalah Allah sendiri, dan tak mungkin Allah begitu lemah ketika disalibkan dan tak mungkin Allah memanggil Allah sendiri dalam rasa putus asa yang dalam!

+ Wah, saya belajar banyak nih Pak io.

- Selain itu, perlu bagi penulis Injil Yohanes menciptakan sejumlah ucapan Yesus, yang sebenarnya tidak pernah sama sekali diucapkan Yesus orang Nazareth, dan tidak ada di dalam Injil-injil Sinoptik. Salah satunya yang paling jelas adalah ucapan Yesus dalam Yohanes 14:6 yang paling menyukakan hati orang Kristen, yakni “Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun dapat sampai kepada Bapa [= Allah] kalau tidak melalui Aku!”, atau ucapan Yesus lainnya, misalnya, “Sebelum Abraham jadi, Aku sudah ada!” (Yohanes 8:58).

+ Wah, teks-teks terkenal itu bukan asli ucapan Yesus, Pak io?

- Ya! Itu bagian dari teologi mazhab Yohanes dalam zaman mereka di lokasi mereka ketika mereka sedang bergulat dengan masalah-masalah sosioreligius dan sosiopolitis mereka sendiri

+ Wah, bagaimana perasaan orang Kristen yang baru pertama kali mendengar hal ini?

- Terserah mereka!

+ Kok terserah melulu, Pak io?

- Ha, ha. Ya, terserah, apakah mereka mau maju, atau memilih bantut, jalan mutar-mutar di tempat sebagai para literalis yang cuma mampu beropini dan tak bisa berargumentasi ilmiah. 

Nah, mari kita kembali ke Injil-injil Sinoptik.

Jangan dilupakan, meskipun setiap editor itu condong menambah-nambahi bahan sumber, editing yang dilakukan Matius dan Lukas atas Injil Markus bisa juga berupa pengurangan dan modifikasi, dalam skala kecil atau dalam skala besar. Ini dapat terlihat dengan jelas kalau kita membuat sinopsis ketiga Injil ini, seperti tadi sudah saya katakan.



Teori empat sumber dalam studi Injil-injil Sinoptik Matius, Markus dan Lukas

+ Selain memakai Injil Markus, adakah sumber-sumber lain yang dipakai Matius dan Lukas?

- Pertanyaan yang bagus! Ya, Matius dan Lukas juga sama-sama memakai sebuah sumber besar tertulis lainnya yang berisi kumpulan ucapan Yesus, yang kini disebut sebagai sumber “Q”, dari kata Jerman Quelle, yang artinya “sumber”. Sumber ini bisa dikonstruksi, put simply, dengan menarik dan mengumpulkan ucapan-ucapan Yesus yang ditemukan sekaligus dalam Injil Matius dan Injil Lukas.

Selain itu, masing-masing penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas memakai sumber-sumber khusus yang hanya mereka masing-masing pakai. Sumber khusus penulis Injil Matius dinamakan sumber "M"; sumber khusus Injil Lukas disebut sumber "L". Sumber khusus ini selain berupa tradisi tertulis, juga banyak yang berasal dari tradisi lisan. Kisah-kisah Kelahiran Yesus, misalnya, adalah tradisi-tradisi yang berasal dari sumber-sumber khusus ini.

+ Oh, rupanya ada dokumen yang isinya himpunan ucapan Yesus saja?



Fragmen manuskrip papirus (abad ke-3) Injil Thomas


- Ya, selain sumber “Q”, dokumen semacam ini juga ditemukan di luar Perjanjian Baru, yakni Injil Thomas, yang berisi 114 ucapan Yesus, sebagai sebuah dokumen di antara 52 traktat Kristen Gnostik yang ditemukan di Nag Hammadi, Mesir, pada tahun 1945.

Selain sumber “Q”, Injil Thomas juga berisi banyak ucapan Yesus, selain yang sejajar dengan ucapan-ucapan Yesus dalam keempat Injil dalam Perjanjian Baru, juga ucapan-ucapan Yesus yang tidak terdapat dalam keempat Injil Perjanjian Baru. 

Harap diketahui, banyak di antara ucapan Yesus dalam Injil Thomas malah memperlihatkan bentuk yang lebih tua, artinya: lebih asli atau lebih dekat ke Yesus, jika dibandingkan dengan ucapan-ucapan Yesus yang sejajar yang ditemukan dalam Perjanjian Baru.

+ Wah, di Islam, dokumen seperti Injil Thomas itu kami sebut “kitab kuning”.

- Oh itu julukannya? Tapi Injil Thomas jelas tidak ditulis oleh partai Golkar!

+ Ha, ha, Pak io bisa saja!

- Banyak dokumen Kristen di luar Perjanjian Baru yang malah menyingkapkan kepada kita sisi-sisi lain dari kehidupan Yesus dan kehidupan kekristenan perdana yang tidak kelihatan dalam Perjanjian Baru.

+ Jadi, dokumen-dokumen “kuning” itu sangat berhargakah, Pak?

- Ya, sangat berharga. Para pakar Perjanjian Baru menyebut dokumen-dokumen ini tentu bukan sebagai kitab-kitab kuning, melainkan sebagai dokumen-dokumen atau kitab-kitab “ekstra-kanonik”, artinya tulisan-tulisan yang berada “di luar (ekstra) kanon” Perjanjian Baru. Maksudnya: di luar 27 kitab dalam Perjanjian Baru yang seluruhnya dipandang sebagai “ukuran” atau “kaidah” atau “norma” (Yunani: kanōn) bagi, misalnya, penyusunan doktrin-doktrin ortodoks dan pengaturan kehidupan gereja

+ Berharga dalam arti apa, Pak?

- Dokumen-dokumen semacam ini memperlihatkan beranekaragam pandangan teologi Kristen dan bermacam-macam bentuk kekristenan perdana yang “terkalahkan” ketika terjadi pertarungan religiopolitis memperebutkan posisi utama dalam begitu banyak versi kekristenan perdana, yang akhirnya dimenangkan oleh kekristenan Ortodoks pada abad keempat Masehi, karena keberpihakan kekaisaran Romawi.

Ortodoksi Kristen asal-mulanya dibangun khususnya dengan landasan pemikiran proto-ortodoks Rasul Paulus, yang kemudian dipertahankan dan dikembangkan para Bapak Gereja awal. 

Jika kita mau mendapatkan gambaran lebih lengkap mengenai kekristenan pada tahap-tahap awal pembentukannya, dokumen-dokumen ekstra-kanonik yang sangat banyak jumlahnya harus dipakai dan suara-suaranya harus didengarkan dengan seksama. 

Buku saya, Menguak Kekristenan Yahudi Perdana (2009), saya tulis antara lain untuk memberi gambaran yang lebih lengkap itu (klik DI SINI). 

+ Lalu, apakah bisa lewat-lewat dokumen-dokumen ekstrakanonik, Yesus malah makin lebih akurat dikenal dan ditemukan, maksud saya: Yesus yang lebih asli?

- Tentu. Itulah yang dilakukan para pakar pengkaji Yesus, dan kajian ini kini sudah menjadi suatu bidang kajian khusus yang rumit, yang disebut kajian Yesus sejarah, the historical Jesus research. Dalam bidang ini, sumber “Q” dan Injil Thomas mendapat tempat lebih khusus, selain tiga Injil Sinoptik dalam Perjanjian Baru dan Injil Yohanes, serta sejumlah dokumen ekstrakanonik lain, yang berasal dari kalangan Kristen heterodoks, kalangan Yahudi dan kalangan pagan.

Harus diketahui, kajian Yesus sejarah tidak bertujuan untuk mendapatkan gambaran lengkap sejarah Yesus, melainkan untuk mendapatkan potret-potret tentang sosok Yesus yang, dilihat dari sudut sejarah, lebih akurat jika dibandingkan dengan potret-potret yang terlihat dalam teologi-teologi atau kristologi-kristologi Perjanjian Baru sebagai himpunan tulisan-tulisan yang berdasar terutama pada kepercayaan-kepercayaan tertentu terhadap Yesus. 

+ Bisa Pak io uraikan lebih jauh bidang kajian Yesus sejarah ini, karena tampak sangat menarik!

- Tentu bisa, karena bidang ini adalah bidang keahlian saya. Saya sudah lama mencari-cari Yesus orang Nazareth, bahkan untuk mencari figur ini, dan menulis sebuah disertasi mengenai Yesus yang ditempatkan dalam konteks luas dunia Laut Tengah kumo (klik DI SINI), saya sampai harus selama kurang lebih lima tahun studi di Belanda, dan membongkar-bongkar sejumlah naskah kuno di beberapa perpustakaan universitas-universitas besar di sana.

+ Please, please, cerita lebih jauh, Pak.

- Tentang kajian Yesus sejarah, saya sudah beberkan panjang lebar (baca DI SINI). Kita dapat memperbincangkannya lain kali saja. Sekarang saya mau menuntaskan penjelasan saya mengenai editing dalam Injil-injil Perjanjian Baru.

+ Wah sayang sekali. Tetapi OK, Pak!

- Harus diingat oleh anda, bahwa editing yang terjadi dalam dokumen-dokumen Perjanjian Baru ketika penulis-penulis dokumen-dokumen ini memakai bahan-bahan sumber tidaklah dimaksudkan oleh mereka sebagai suatu tindak kriminal memalsukan dokumen-dokumen, atau untuk menipu atau untuk menyesatkan komunitas-komunitas Kristen mereka.

+ Ya, editing itu dilakukan untuk membuat pandangan-pandangan dari penulis-penulis sebelumnya relevan atau aktual atau kontekstual dengan kondisi-kondisi dan persoalan-persoalan belakangan yang sedang dihadapi si editornya pada zaman dan tempat yang lain. Begitu, Pak?

- Persis! Saya kagum jika anda bisa melihat fakta itu. 

Jadi editing itu sebetulnya suatu aktivitas hermeneutik sastrawi yang sangat positif, dan sangat diperlukan. 

Lewat tangan penulis Injil Markus, Yesus orang Nazareth di tahun 30 dihadirkan kembali secara aktual dan relevan untuk konteks zaman Markus di tahun 70, lewat tangan Matius untuk konteks zaman Matius dan oleh tangan Lukas untuk konteks zaman Lukas, keduanya di tahun 85, dan lewat tangan Yohanes untuk konteks zaman penulis Injil Yohanes di tahun 95. 

Sebetulnya, para teolog Kristen harus terus melakukan usaha yang sama untuk konteks zaman sekarang! Injil-injil yang baru, harus terus ditulis! Inilah usaha yang dinamakan berteologi, atau "doing theology".

Setidaknya, lewat khotbah-khotbah para pendeta dan para romo di mimbar-mimbar gereja, aktualisasi dan kontekstualisasi teks-teks skriptural masa lampau senantiasa terjadi. Ada aktualisasi dan kontekstualisasi yang dijalankan dengan cerdas dan mencerahkan. Tapi ada juga yang dilakukan dengan naif dan memburamkan serta menyesatkan pandangan. 

Untuk menghindari kesesatan dan pengkhianatan terhadap Yesus dalam usaha merumuskan kristologi-kristologi kontekstual di zaman sekarang, perlu ada kriteria yang cukup komprehensif. Tentang kriteria ini, saya sudah menuliskannya. Baca DI SINI

Nah, setiap aktualisasi atau kontekstualisasi memerlukan editing bahan-bahan sumber. Ada editing dalam skala kecil dan ada pula dalam skala besar, ada editor yang konservatif dan berjalan di tempat, dan ada pula editor yang liberal dan progresif.

+ Ya, sejauh menyangkut pandangan Kristen tentang Alkitab Perjanjian Baru, saya bisa memahami, dan kaum Muslim umumnya tidak akan terkejut mendengar semua penjelasan Pak io itu, karena kami memandang dokumen-dokumen Perjanjian Baru, khususnya Injil-injil di dalamnya, memang sudah tak ada yang asli dari Yesus.

- Ya, problem bagi kaum Muslim dengan pandangan semacam itu adalah mereka, sekali lagi saya tegaskan, harus bisa menyebut dan menunjukkan mana “Injil asli” yang langsung diturunkan Allah kepada Yesus orang Nazareth, yang mereka klaim (mengikuti tradisi Islami mereka) telah dipalsukan! 

Ingat, Yesus orang Nazareth sama sekali tak membuat tulisan apapun yang Dia bisa wariskan. Tak ada kitab Injil buah tangan Yesus sendiri. 

Karena itulah, di zaman gereja awal, banyak kitab Injil ditulis dari berbagai perspektif dan bertolak dari persoalan-persoalan yang tidak sama. Dari beranekaragam kitab Injil ini, ada yang menjadi bagian dari Perjanjian Baru, dan ada yang tidak masuk ke dalam Perjanjian Baru.

Lagi pula, seperti mungkin anda akan pertahankan, kalau Alquran itu wahyu Allah, kok di dalamnya, konon, terdapat tuduhan tak berdasar bahwa Injil Yesus sudah dipalsukan, sementara Allah Alquran sendiri tak bisa menunjukkan mana “Injil asli” dari Nabi Isa! Aneh kan! Kalau ada Injil Yesus yang asli, mustinya di dalam Alquran Tuhan juga menyebutkan Injil asli ini yang mana, hitam di atas putih. 

Nasihat saya: Kalau tidak bisa menunjukkan mana “Injil asli” yang diberikan Allah kepada Nabi Isa, sebaiknya kaum Muslim tak usah mengulang-ulang isu pemalsuan Injil Yesus!

+ Itu bukan isu, Pak io, tetapi keyakinan Islam, karena Alquran menyatakannya demikian!

Dan saya percaya 100 persen bahwa Alquran selalu benar dan serba sempurna, karena Alquran adalah Kalam Alloh, Wahyu Alloh, yang langsung diturunkan Alloh dari sorga sebagai Replika, lewat Jibril kepada Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya, sehingga tak akan ada kekurangan dan kesalahan apapun di dalamnya: tak ada penambahan, pengurangan atau modifikasi lewat proses editing, karena penulis Alquran hanya SATU, yakni Alloh sendiri, dan sang penerimanya dan kawan-kawannya tak berperan apapun di dalam penulisan semua pesan Wahyu Alloh itu menjadi sebuah kitab!

- Ya, saya sudah tahu, itu adalah tipikal pandangan Muslim tentang Alquran. Di kalangan Kristen sendiri, ada cukup banyak aliran yang berpandangan sejajar dengan pandangan Muslim mengenai asal-usul Alkitab. Pandangan ini disebut teori mantik.

+ Apa penilaian Pak io terhadap teori mantik ini?

- Saya melihat ada lebih banyak kebenaran dalam pandangan bahwa Alkitab, atau khususnya Perjanjian Baru, adalah dokumen-dokumen yang dihasilkan secara kolektif oleh banyak orang, di berbagai tempat dan zaman, dan ketika terbentuk semua dokumen ini, khususnya dokumen-dokumen yang memakai dokumen-dokumen sebelumnya sebagai sumber-sumber, adalah dokumen-dokumen hasil-hasil editing yang, dapat dikatakan, terjadi pada tahap-tahap akhir.

Bagi saya, sebuah Kitab Suci yang tidak ditulis dalam dunia, dan yang tidak mengangkat persoalan-persoalan orang yang hidup dalam dunia, dan yang tidak mencoba memberikan jawaban-jawaban terhadap persoalan-persoalan ini, adalah Kitab Suci yang tidak fungsional, karena mengapung di awan-awan, tak ada kaitannya dengan realitas dunia. Untuk apa Kitab Suci semacam ini? Dan saya yakin, tak ada Kitab Suci yang semacam itu.

Jadi, jika Alquran diyakini umat Islam mampu memberi jawaban-jawaban yang mencerahkan atas banyak persoalan dunia masa kini, saya yakin Kitab Suci ini bagaimanapun juga memiliki konteks sejarah dan konteks kebudayaannya sendiri; jadi ditulis dalam dunia ini, dengan bertolak dari persoalan-persoalan real yang sedang dihadapi para penulisnya, yang tetap berpikir dengan jelas ketika mereka menulis Alquran, dan mengarahkan isinya ke tujuan-tujuan tertentu.

+ Tapi Pak, meskipun memang ada penulis insaninya, Alquran tidak memakai bahan-bahan sumber apapun yang sudah ada sebelumnya, tak seperti Alkitab.

- Aah anda! Itu hanya benar dalam akidah Islam, tidak dalam realitas.

Dari mana asal semua kisah Alquran yang mengangkat kehidupan bangsa Israel dan semua orang besar di dalam kehidupan bangsa ini dulu, misalnya Musa dan Ibrahim, kalau bukan dari Tenakh, Kitab Suci Yahudi yang orang Kristen dengan keliru namakan Perjanjian Lama?

Dari mana pula asal-usul kisah-kisah tentang Isa yang ada di dalam Alquran, sementara ada sekian dokumen Kristen ekstrakanonik yang jauh lebih tua dari Alquran yang memuat kisah-kisah tentang Isa yang ada dalam Alquran? Misalnya, kisah tentang Isa membentuk burung-burungan dari tanah liat lalu menghidupkannya (untuk ulasannya, klik DI SINI
), atau catatan-catatan Alquran tentang Isa yang tidak dibunuh di kayu salib tetapi orang lain yang telah diserupakan dengannya yang telah dibunuh menggantikannya (untuk ulasannya, klik DI SINI)?

Jadi, bagi saya, jelas Alquran memiliki sumber-sumber, yang berupa sastra atau pun tradisi-tradisi lisan. Perbedaan yang ada antara versi Alquran dan versi Tenakh Yahudi atau versi Kristen heterodoks muncul tak lain karena editing juga dilakukan oleh para penyusun Alquran atas bahan-bahan sumber yang dipakai.

Hemat saya, Alquran sesungguhnya tak kekurangan nilainya bagi kaum Muslim meskipun memakai sumber-sumber. 

Malah, dengan memahami teks-teks sumber yang sudah ada sebelumnya, para penafsir Alquran memiliki pijakan-pijakan yang lebih kokoh dalam memahami teks-teks Alquran sendiri dengan lebih cermat. 

Barangsiapa mengetahui sumber, mereka akan menemukan arah dan tujuan. Siapa pun yang mengenal awal, mereka akan bijak menemukan akhir. Air mengalir dari hulu, menuju muara. Ikutilah aliran air pengetahuan yang dimulai dari hulu, untuk bisa tiba di muara pengetahuan.

Sebagaimana dengan kuat diyakini umat Islam, kalaupun Nabi Muhammad betul buta aksara, tokh sang Nabi bisa mendengar kisah-kisah lisan, baik kisah-kisah lisan tentang bangsa Israel dan para bapak leluhur mereka, maupun kisah-kisah lisan tentang Isa yang disebarkan oleh berbagai macam kekristenan yang tidak ortodoks. Kisah-kisah lisan ini tentu diingat dan dicerna oleh sang Nabi besar ini, dan pasti menimbulkan kesan-kesan mendalam pada dirinya.

+ ????

Oleh Ioanes Rakhmat

3 November 2011
Update mutakhir 29 April 2021


Catatan

/1Gagasan kaum Muslim umumnya bahwa dokumen-dokumen dalam Perjanjian Baru, khususnya kitab-kitab Injil, sudah tidak murni lagi alias sudah dipalsukan, bertumpu pada suatu asumsi hermeneutis bahwa teks-teks Alquran memuat data dan informasi yang terbenar dan autentik tentang berbagai hal, dan karenanya harus menjadi patokan dan batu uji pamungkas, jika terdapat perbedaan-perbedaan data dan informasi antara Perjanjian Baru dan Alquran. 

Sebagai sebuah tafsir atas Surah Al-Maidah 5:48 (teks lihat di bawah ini), dalam Al-Qur'an: Terjemahan dan Transliterasi (Bandung: Al-Mizan Publishing House, cetakan 3, 2010), hlm. 183, dinyatakan bahwa “Al-Quran adalah ukuran untuk menentukan benar dan tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya.” 

Teks Alquran sendiri memang menyatakan bahwa kepada Isa telah Allah percayakan “kitab Injil yang berisi petunjuk dan cahaya” (Surah al-Maidah 5:46), tetapi oleh para ahli kitab (Yahudi, Kristen) kebenaran dalam kitab Injil ini telah diselewengkan atau dibelokkan, sebagaimana dinyatakan secara tak langsung lewat suatu peringatan dalam Surah al-Maidah 5:68, “Wahai ahli kitab! Kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al-Quran yang diturunkan Tuhan kepadamu.” 

Dalam kenyataannya, perbedaan-perbedaan data dan informasi antara Alquran dan Injil-injil Perjanjian Baru memang cukup banyak, dan fakta ini harus dijelaskan para penafsir Muslim bagaimana pun caranya demi mempertahankan kredibilitas dan superioritas Alquran, termasuk membangun suatu asumsi hermeneutis yang sudah disebut di atas, yang tak pernah dikaji kebenarannya lewat kajian-kajian tekstual dan historis kritis!

Keyakinan terhadap superioritas Alquran dibandingkan Injil-injil Perjanjian Baru dipegang kuat-kuat oleh kaum Muslim karena ada sangat banyak teks dalam Alquran yang ditafsirkan sebagai pernyataan bahwa Alquran diturunkan sebagai wahyu untuk “meluruskan” kitab-kitab yang ada sebelumnya, yakni Taurat, Zabur dan Injil. Tapi, nanti dulu. Bukan kata “meluruskan” melainkan kata “membenarkan” yang terdapat dalam semua teks Alquran yang relevan. 

Teks dalam Surah Yusuf 12:111, misalnya, berbunyi, “Alquran bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan kitab-kitab sebelumnya.” Sejajar dengan itu, Surah al-Maidah 5:48 menyatakan bahwa Allah “telah menurunkan Kitab (Alquran) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya.” 

Ada banyak lagi teks Quranik yang sejenis, misalnya Surah al-Baqarah 2:41, 89, 91, 97, 101; Surah Ali Imran 3:81; Surah an-Nisa 4:47; Surah al-An'am 6:92; Surah Yunus 10:37; Surah al-Ahqaf 46:30; Surah al-Fathir 35:3.

Selain itu, seperti ditulis Imam Muchlas dan Masyhud SM dalam buku berjudul Alquran Berbicara tentang Kristen (Pustaka Da'i, 1999, 2001), hlm. 27-28, Nabi Muhammad sendiri “mengakui bahwa yang ada pada agama Yahudi dan Kristen itu tidaklah salah seluruhnya atau benar semuanya”, sebagaimana dikisahkan dalam hadits Bukhari yang mengisahkan “Abu Huraiarah ra. berkata: Para ahli kitab membaca Taurat berbahasa Ibrani dan menafsirkannya dalam bahasa Arab kepada kaum Muslim. Maka Rasulullah saw. bersabda: Janganlah kamu membenarkan para ahli kitab itu, dan juga jangan kamu mendustakannya. Tetapi katakanlah: kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan-Nya kepada kami dan yang diturunkan kepadamu.” 

Mengacu ke paragraf di atas, adalah tugas para ahli Alquran untuk menuliskan hitam di atas putih hal yang "tidak salah seluruhnya" atau hal yang "tidak benar semuanya" berkaitan dengan Kitab Suci Yahudi dan Kitab Suci Perjanjian Baru.