Monday, March 1, 2010

Yesus dalam Injil Markus


Legion Romawi

* Editing mutakhir 01 Feb 2024


Pada permulaan Injilnya, penulis Injil Markus menyatakan bahwa Yesus adalah sang Messias (= sang Kristus), Anak Allah, yang ke atasnya Roh Allah turun dan selanjutnya berdiam di dalam diri-Nya sejak pembaptisan-Nya oleh Yohanes Pembaptis (Markus 1:1, 9-11). 

Sebagai seorang yang didiami dan dikuasai Roh Allah, Yesus pada awal karir-Nya berkonfrontasi dengan Iblis dan dia menang (1:12-13). 

Selanjutnya, dalam masa kegiatan-Nya di Galilea di muka umum setelah Yohanes pembaptis ditangkap (1:14; 6:14-29), Yesus memberitakan suatu kabar baik (=injil) bahwa dalam masa pelayanan-Nya di muka umum kerajaan Allah sedang mendatangi umat Israel, dan umat diminta untuk bertobat dan percaya kepada injil ini (1:14-15).

Ketika Allah menjadi sang Raja bagi umat Israel, Allah akan “menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata” (7:37). 


Ketika Allah sedang memerintah sebagai Raja Israel, Yesus menjadi sang Messias di dalam kerajaan ini yang bertindak dengan kewibawaan Allah sendiri (2:5-12). 

Ketika kerajaan Allah ini datang, cinta atau belas kasih ilahi akan dialami oleh umat dalam bentuk kesembuhan dari segala penyakit (1:41). 

Kerajaan Allah yang sedang datang ini dirayakan Yesus bersama murid-murid-Nya dan orang-orang lain dalam perjamuan makan bersama yang terbuka, yang dapat diikuti oleh siapa saja yang mau ikut serta (2:13-17).

Ketika Allah sedang memerintah umat Israel, konfrontasi Yesus dengan Iblis terus berlanjut: Roh Allah yang ada di dalam Yesus berhadap-hadapan dengan roh-roh najis/ jahat, setan-setan dan Iblis. 


Yesus melihat diri-Nya sedang bertarung melawan “seorang yang kuat” (3:27). Seorang yang kuat ini dalam dunia rohani yang tidak kasat mata adalah “Beelzebul” atau “penghulu setan” (3:22). Jika penghulu setan ini mau ditaklukkan, sang penghulu setan ini, kata Yesus, harus “diikat” dahulu, dan kalau sudah berhasil diikat, barulah seisi rumah dapat dirampok (3:27). 

Maka, dalam seluruh kegiatan-Nya di muka umum, Yesus sejak awal pelayanan-Nya terus-menerus berkonfrontasi dengan setan-setan dan mengalahkan setan-setan ini dengan mengusir mereka dari diri orang-orang yang dirasuk mereka. 

Di akhir setiap pengusiran setan yang dilakukan Yesus, setan-setan itu selalu takluk pada Yesus dan mengakui diri-Nya sebagai sang Messias, Anak Allah (1:23-26, 34; 3:11; 5:6-9).

Dalam dunia nyata yang kasat mata, “seorang kuat” yang sedang dihadapi Yesus adalah otoritas Romawi yang sedang menjajah negeri Israel. 


Penjajah Romawi ini diibaratkan penulis Injil Markus sebagai “legion”, seperti dituturkan dalam Markus 5:1-18. Pada perikop ini, “legion” merujuk pada roh-roh najis/jahat yang banyak jumlahnya, yang merasuki seseorang di daerah orang Gerasa, yang sedang dihadapi Yesus. 

Pada pihak lain, kata Latin “Legion” menunjuk pada satuan prajurit pejalan kaki Romawi ditambah pasukan berkuda dalam jumlah besar antara tiga ribu sampai enam ribu orang. 

Dengan demikian jelaslah bahwa kata “legion” dalam perikop Injil Markus ini mengacu pada dua kawasan: pada kawasan rohani, legion ini adalah setan-setan atau roh-roh najis/jahat dalam jumlah banyak; dan pada kawasan dunia yang kasat mata, roh-roh najis/jahat yang banyak jumlahnya ini adalah penjajah Romawi yang sedang menduduki Tanah Israel, dus menajiskan negeri Israel.

Dengan berani dan penuh kuasa, Yesus berkata kepada legion ini, “Hai engkau roh najis/jahat! Keluar dari orang ini!” (5:8). 


Tetapi roh-roh najis/jahat ini meminta dengan sangat kepada Yesus supaya mereka jangan diusir keluar dari daerah itu (5:10). 

Itulah juga yang dikehendaki penjajah Roma, yakni ingin terus menguasai Tanah Israel. 

Tetapi Yesus tidak mau berkompromi. Roh-roh najis/jahat itu dimintanya keluar dari orang yang mereka rasuki, lalu roh-roh najis/jahat ini pindah ke dalam babi-babi dan merasuki babi-babi ini. Lalu babi-babi yang kerasukan legion ini terjun ke dalam danau dan semuanya (2.000 ekor) mati lemas. Kekaisaran Romawi, jadinya, hanya pantas dibenamkan.

Itulah tujuan akhir perjuangan Yesus: kerajaan Allah Yahudi akan pasti mengalahkan kekaisaran Romawi yang sedang menduduki Tanah Israel. 

Dalam keyakinan Yesus, sudah sepatutnya Tanah Israel dikembalikan kepada bangsa Israel yang dulu, melalui Bapak Leluhur mereka, Abraham, telah mereka terima dari Allah sebagai Tanah Perjanjian. 

Kaisar Romawi tidak berhak atas Tanah Israel; sebab Tanah Israel adalah kepunyaan Allah Yahudi, Allah bangsa Israel. Karena itu tanah ini harus Kaisar kembalikan kepada bangsa Israel, pewaris sah Tanah Perjanjian, dan penguasa Romawi harus meninggalkan tanah ini (12:17).

Tetapi, pertarungan dan kemenangan Yesus atas legion Romawi baru berlangsung dalam wilayah simbolik, dalam kawasan rohani saja. 


Dalam kawasan nyata dunia ini, Roma sangat kuat menguasai Tanah Israel, dan mengontrol Bait Allah. Karena begitu besar jumlahnya dan sangat kuat, Yesus tahu bahwa untuk melawan Roma, Dia harus melakukan perlawanan tersembunyi, tidak terang-terangan, dan harus dimulai dulu dengan pertarungan sengit di kawasan rohani melalui pengusiran setan dan penyembuhan penyakit untuk memperkuat dan memberdayakan rakyat Yahudi. 

Karena itulah, untuk menyamarkan pesan-pesan-Nya di hadapan orang banyak, Yesus memakai banyak wacana perumpamaan ketika Dia berbicara tentang kerajaan Allah yang sedang datang (4:11). 

Begitu juga, setiap Yesus selesai mengusir setan atau menyembuhkan orang sakit, Dia meminta roh-roh najis/jahat dan orang-orang yang sudah disembuhkan-Nya untuk merahasiakan baik peristiwa yang sudah terjadi maupun identitas diri Yesus sendiri (1:34b; 1:44; 3:12; 5:43; 7:36; 8:26). 

Yesus tidak mau perlawanan-Nya kepada Roma, sekalipun diawali dulu di dunia rohani, dapat segera terbaca oleh orang banyak dan oleh penguasa Yahudi dan penguasa Romawi. Waktunya masih jauh di depan untuk Dia dapat terang-terangan menyatakan identitas diri-Nya berkaitan dengan tindakan-tindakan Allah di antara rakyat Yahudi.

Tetapi, karena para penguasa keagamaan, yakni orang-orang Farisi dan orang-orang Herodian, sejak awal tidak bisa menerima kalau Yesus banyak kali menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat, mereka menghendaki Yesus segera dibunuh (3:1-6; lihat juga 12:12; 14:1-2). 


Bagi mereka, memelihara Sabat jauh lebih penting daripada menyembuhkan orang pada hari Sabat. Tetapi bagi Yesus, jika menyembuhkan orang sakit adalah suatu perbuatan yang baik karena menyelamatkan nyawa orang, maka penyembuhan pada hari Sabat boleh dan bahkan harus dilakukan (3:4). 

Karena alasan keagamaan ini, di samping juga karena Yesus mengklaim memiliki otoritas ilahi untuk mengampuni dosa (2:5-12), mereka tidak berada pada pihak Yesus, tetapi menjadi lawan-lawan Yesus yang pada akhirnya, bersama pihak penguasa Romawi, mengakhiri kehidupan Yesus.

Pada akhirnya, setelah Yesus menolak Bait Allah dan otoritas Yahudi dan otoritas Romawi yang ada di belakang Bait ini dengan membuat aksi keributan yang disertai ucapan-ucapan-Nya yang keras di serambi Salomo (11:15-18) dan setelah Dia selesai menyelenggarakan suatu ritual perjamuan (terakhir) yang menggantikan ritual resmi penghapusan dosa di Bait Allah (14:22-25), penguasa Yahudi tak bisa mengulur-ulur waktu lagi dan segera mereka menangkap Yesus (14:43-49). 


Setelah melakukan pemeriksaan atas diri-Nya, Mahkamah Agama dengan suara bulat menjatuhkan vonis mati kepada Yesus (14:64b). 

Kalau sebelumnya Yesus selalu berupaya menjaga kerahasiaan identitas diri-Nya, maka ketika Dia sudah langsung berhadapan dengan otoritas Yahudi yang sedang mengadili-Nya, Dia tidak lagi menyembunyikan jatidiri-Nya, melainkan dengan terus terang mengaku bahwa Dia adalah sang Messias, Anak Manusia yang akan duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa (14:61-62). 

Celakanya, barangsiapa mengaku diri sebagai sang Messias, Raja bangsa Yahudi, Utusan Allah yang diurapi, di suatu negeri yang sedang dijajah Kekaisaran Romawi, orang yang mengaku ini dipandang sebagai seorang pemberontak. Inilah tuduhan politis yang diajukan para pemimpin Yahudi ketika mereka membawa dan menyerahkan Yesus kepada Pontius Pilatus, gubernur Romawi. 

Sang gubernur, ketika memulai pemeriksaannya terhadap Yesus, bertanya kepada-Nya, “Engkaukah raja orang Yahudi?” (15:2).

Ini rupanya yang menjadi tujuan akhir semua tindakan Yesus, yakni supaya Dia pada akhirnya dapat berhadapan langsung baik dengan otoritas tertinggi Yahudi maupun dengan otoritas Romawi, dan dapat menyatakan dengan terang-terangan bahwa diri-Nya adalah sang Messias Yahudi, baik di hadapan otoritas Yahudi (14:62) maupun di hadapan gubernur Pontius Pilatus (15:2). 


Dengan kata lain, ketika Yesus sudah berada di hadapan kedua otoritas tertinggi ini, Yesus ingin diri-Nya diakui sebagai Raja Yahudi yang sedang menegakkan pemerintahan Allah atas tanah dan bangsa Yahudi.

Tetapi bukan pengakuan akan kemessiasan-Nya yang diterima Yesus. Tentu saja, karena untuk seseorang diakui resmi sebagai sang Messias, sistem kepercayaan Yahudi memiliki sekian persyaratan yang tidak dipenuhi Yesus.


Bagi otoritas Yahudi yang mengadili-Nya, Yesus tidaklah lebih dari seorang “penghujat Allah” yang patut dihukum mati (14:63); dan bagi Pontius Pilatus yang memeriksa-Nya, Yesus tidaklah lebih dari seorang pemberontak yang patut “disalibkan” (15:15b). 

Setelah diperolok-olok sebagai raja orang Yahudi dan kepadanya dikenakan sebuah mahkota duri (15:16-20a), Yesus pun disalibkan (15:24), dan sementara tersalib Dia pun menerima berbagai hujatan dari orang yang lalu-lalang dan dari para imam dan ahli Taurat (15:29-32). 

Bahkan menurut penulis Injil Markus, ketika disalibkan Yesus bukan saja ditinggalkan oleh murid-murid pria (14:50), tetapi juga oleh Allah sendiri sehingga Dia berseru, “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (15:34).

Pengakuan dari kepala pasukan Romawi ketika dia melihat cara Yesus mati bahwa Yesus “sesungguhnya adalah Anak Allah” (15:39) sebetulnya bukanlah sebuah pengakuan otentik akan kebesaran sang Messias yang bernama Yesus, tetapi sebuah satir penghinaan lebih jauh dari pihak Romawi terhadap orang yang mengklaim diri sebagai sang Messias Yahudi namun menemui kematian dengan cara yang sangat memalukan: mati disalibkan. 


Dalam pandangan orang Yunani-Romawi, seorang anak Allah adalah seorang yang terhormat dan mulia, duduk di takhta kerajaan, bukan mati terhina disalibkan. Dalam dunia Laut Tengah kuno, sosok-sosok besar adiinsani, superhuman, dimuliakan bukan sebagai para penjahat yang disalibkan, tetapi sebagai sosok-sosok setengah ilahi, sosok demigod, sosok semideus (Latin) atau hēmitheos (Yunani) atau sosok insan ilahi theios anēr (Yunani).

Begitu juga, dalam pandangan Yahudi orang yang mati disalibkan adalah orang yang terkena kutuk Allah (lihat Galatia 3:13; Ulangan 21:23), suatu “batu sandungan”; dan bagi masyarakat Yunani-Romawi, percaya pada sang Messias yang mati disalibkan adalah suatu “kebodohan” (1 Korintus 1:23).

Tetapi, bagi penulis Injil Markus, kematian Yesus di kayu salib adalah suatu peristiwa penting sebagai saat di mana Allah memilih untuk tidak berada terus di Ruang Maha Kudus dari Bait Allah, melainkan keluar dan meninggalkan ruangan ini dan selanjutnya dapat ditemui langsung oleh umat Yahudi tanpa lewat lembaga Bait Allah dan fungsi imamat sebagai lembaga-lembaga perantara.

Itulah memang tujuan utama Yesus sebenarnya: mendesentralisasi kehadiran Allah ke tengah rakyat jelata Yahudi, tidak boleh tersentralisasi di Bait Allah. 

Tujuan inilah yang mendorong emosi Yesus naik ketika Dia melihat bagaimana sistem Bait atau sistem imamat beroperasi di Bait Allah, yang membuat akses ke Allah dimonopoli segelintir orang yang mengelola Bait Allah dan ritual-ritual di dalamnya. Maka, terjadilah tindak keributan oleh Yesus di portiko Salomo Bait Allah, yang dikatakan-Nya mau Dia robohkan.

Penulis Injil Markus secara simbolik menyatakan desentralisasi kehadiran Allah ke tengah rakyat telah terjadi, ketika dia menulis bahwa pada waktu Yesus mati, “tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah” (15:38). 

Fungsi Bait Allah sebagai suatu lembaga yang menyelenggarakan ritual penghapusan dosa telah digantikan oleh diri Yesus sendiri melalui kematian-Nya di kayu salib, seperti dikatakan oleh Yesus sebelumnya, “Anak Manusia datang untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (10:45).

Dengan demikian, suatu peristiwa sejarah yang kongkret, yang melibatkan Yesus yang mengaku diri sebagai sang Messias Yahudi, yang karenanya dijatuhi hukuman mati baik oleh otoritas Yahudi maupun oleh otoritas Romawi, ditafsirkan drastis oleh penulis Injil Markus menjadi suatu peristiwa teologis adikodrati yang melaluinya, dalam pengakuan penulis Injil ini, Allah menyediakan penebusan bagi banyak orang. 


Untuk menjadi sang penebus, Yesus, dalam keyakinan penulis Injil Markus, "diharuskan Allah" (Yunani: dei) menempuh jalan sengsara (8:31; 9:31; 10:33-34).

Padahal, dalam teologi messianik Yahudi, tidak ada ide bahwa seorang messias menempuh jalan sengsara atau menjadi seorang hamba Tuhan yang menderita.

Bagi sistem kepercayaan Yahudi, atau teologi messianik Yahudi, seorang yang mengaku diri sang Messias haruslah membuktikan kemessiasannya itu dengan mengobarkan perang melawan penjajah bangsa dan negeri, dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri, untuk merebut kemerdekaan dan menyucikan Tanah Israel dari penajisan yang dilakukan bangsa lain. 

Sang Messias Yahudi sejati juga harus mempertahankan dan menjaga kesucian kota Yerusalem dan Bait Allah yang berdiri di kota ini. Tidak ada ide teologis Yahudi bahwa sang Messias Yahudi akan membuat keributan di pelataran Bait Allah dan berkehendak menghentikan fungsi imamat dan berbagai ritual di dalamnya.

Ya, Yesus hanya berhasil menang dalam dunia rohani, dengan Dia mengalahkan setan-setan, dan menenggelamkan satu legion roh najis ke dalam danau. 

Tetapi di kawasan duniawi, Yesus dikalahkan oleh kekaisaran Romawi dan kaki tangan Yahudi mereka, dengan mereka mengeksekusi-Nya di kayu salib yang bagi Yesus sendiri adalah saat yang paling getir di akhir kehidupan-Nya karena Allah dilihat-Nya telah meninggalkan-Nya ketika Dia sedang sekarat.

Bukan saja Yesus kalah dengan mati disalibkan; Allah juga menghilang. Langit tertutup oleh awan-awan gelap. Allah membisu. Tapi tidak berarti Allah non-aktif.

Saat diperhadapkan dengan suatu kabar besar bahwa Yesus telah dibangkitkan dari antara orang mati (16:6), murid-murid Yesus malah mengalami kegentaran dan ketakutan luar biasa, lalu mereka berlari keluar dari makam. Mereka tidak mengerti dan tidak bisa mengatakan apa-apa. Itulah bagian terakhir kisah orisinal Markus tentang jalan kehidupan Yesus, sang Anak Allah (16:8a). 

Akhir kisah yang membuat gelisah, yang mendorong siapapun untuk membuat narasi Markus ini berakhir dengan gembira dan menyampaikan pengharapan lewat perluasan bagian penutupnya (16:8b; dan 16:9-20).

Injil Markus adalah sebuah narasi paradoks. Temukan keabadian dalam narasi ini.

Wednesday, February 17, 2010

Penyimpangan Agama Dapat Positif!
Sebuah Catatan atas UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama

Sweeping the sectarians. Does this do justice to them?

*Tulisan ini telah terbit hari ini, 17 Februari 2010,
di Koran Tempo. Klik di sini

Sekarang ini di Mahkamah Konstitusi di Jakarta sedang berlangsung tahap-tahap awal uji materil (judicial review) terhadap Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, yang ditetapkan Presiden Soekarno pada 27 Januari 1965. Para pemohon uji materil ini berkeinginan undang-undang itu dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat apa pun lagi.

Konteks sosial-politis-historis yang melahirkan undang-undang ini dapat dibaca dengan jelas dalam undang-undang ini dan dalam bagian penjelasannya. Undang-undang ini disusun dan ditetapkan ketika “revolusi nasional” sedang dijalankan oleh pemerintah Republik Indonesia yang dipimpin Presiden Soekarno, yang menerapkan suatu sistem pemerintahan demokratis terpimpin sehingga kekuasaan terpusat sepenuhnya di tangannya. Pada masa itu, aliran-aliran keagamaan di luar enam agama “resmi” yang disebut dalam undang-undang ini (yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu) bermunculan dan tumbuh dengan marak, sehingga dipandang oleh pemerintah sebagai sesuatu yang membahayakan, baik bagi agama-agama resmi ini maupun bagi persatuan bangsa dan negara Indonesia secara keseluruhan.

Dalam konteks historis semacam itulah undang-undang ini dikeluarkan untuk mencegah: 1) penafsiran alternatif yang menyimpang dari ajaran-ajaran pokok enam agama resmi tersebut; 2) kegiatan keagamaan alternatif (ritual, seremonial, sosial, dan organisasional?) yang menyimpang dari yang biasa dilakukan umat agama-agama resmi tersebut; 3) penodaan (maksudnya: penghinaan) terhadap agama-agama resmi tersebut; 4) permusuhan terhadap agama-agama resmi tersebut; 5) pandangan hidup yang menolak pengakuan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi sila pertama Pancasila (maksudnya tentu ateisme). Orang yang terbukti melakukan hal-hal ini akan dikenai hukuman pidana penjara maksimal lima tahun.

Uji materil terhadap undang-undang ini tentu harus memperhitungkan dengan sungguh-sungguh konteks sosial-politis historis kelahirannya pada 1965, yang sudah jauh berbeda dari konteks sosial-politis bangsa dan negara Indonesia masa kini.

Pemerintahan negara kini dijalankan dengan sistem demokratis yang mengenal pembagian kekuasaan pemerintahan ke dalam tiga lembaga tinggi negara yang (dalam teori) independen. Karena globalisasi, masyarakat Indonesia sekarang umumnya sudah makin terbiasa untuk hidup berdampingan dengan damai dengan orang yang berbeda agama, kebudayaan, pandangan dan gaya hidup, serta ideologi. Kini juga terlihat ada upaya sungguh-sungguh dari banyak pihak untuk membuat hak asasi manusia dihargai dan dihormati di negeri Indonesia. Salah satunya hak asasi setiap orang untuk dengan bebas dan bertanggung jawab memilih dan memeluk agama apa pun dan menjalankan kewajiban keagamaannya.

Dalam konteks masa kini yang sudah berubah, lima hal di atas dapat dipikirkan ulang, apakah memang harus dicegah. Poin pertama adalah hal yang terpenting, karena dari sinilah timbul hal-hal lain yang disebut dalam poin kedua sampai poin keempat. Poin kelima tampaknya berdiri sendiri sebagai hal yang pada waktu itu dipandang dapat mengancam kehidupan keagamaan di Indonesia, karena masuknya ideologi-ideologi dunia.

Dalam bagian penjelasan undang-undang ini, penafsiran lain dianggap negatif sebagai suatu “penyelewengan” . Tapi apakah suatu penafsiran alternatif yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran suatu agama selalu merupakan suatu penyimpangan negatif yang berbahaya? Jawabnya: tidak selalu.
Ada penyimpangan yang positif! Misalnya penyimpangan penafsiran yang dilakukan dengan sengaja untuk mengatasi kekurangan dalam suatu agama atau untuk memperbaiki kesalahan yang karena satu dan lain hal terus tertanam dalam suatu agama. Penyimpangan semacam ini umumnya dilakukan dengan sadar setelah suatu pengkajian ilmiah dilakukan terhadap pokok-pokok akidah suatu agama. Penyimpangan jenis ini ternyata dipandang positif oleh undang-undang ini. Ditulis dalam penjelasan pasal 4 undang-undang ini: “Uraian-uraian tertulis yang dilakukan secara obyektif, zakelijk, dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan bukanlah tindak pidana”.

Penyimpangan positif lainnya juga dapat terjadi ketika penafsiran alternatif yang diajukan oleh suatu segmen dalam suatu agama induk lebih mampu menghasilkan suatu kehidupan umat yang lebih luhur budi pekertinya, lebih sanggup menghayati nilai-nilai hidup yang diperlukan dalam zaman modern sekarang, seperti cerdas beragama, jujur, adil, toleran, antikekerasan, inklusif, pluralis, demokratis, dan terbuka pada sains modern. Segmen yang mengajukan penafsiran baru atas akidah keagamaan ini, yang berdampak lebih kuat pada moralitas individual umat dan pada nilai-nilai kehidupan yang dihayati mereka, dapat memisahkan diri dari agama induk atau dapat terus bertahan dalam agama induk semula.

Kesimpulannya: suatu penafsiran lain atas ajaran-ajaran pokok suatu agama yang menghasilkan pandangan-pandangan dan gaya hidup yang menyimpang dari yang umumnya dipegang dan dijalankan oleh umat agama induk tidak selalu merupakan penyimpangan negatif. Malah segmen atau unsur yang menyimpang semacam ini harus dipandang sebagai segmen atau unsur pembaharu agama yang diperlukan setiap agama, jika agama ini tidak ingin mandul, bantut, tidak relevan, lalu mati dan berubah jadi fosil, di dalam dunia modern sekarang ini.



Saturday, February 13, 2010

Black Campaign terhadap Historical Criticism


The Secular (Adonis) and the Sacred (Venus)


Tidaklah berlebihan jika saya menyatakan bahwa mereka yang anti terhadap historical criticism adalah kalangan Kristen gnostik modern yang memandang sejarah dan tubuh Yesus sebagai sesuatu yang semu, fiktif, negatif, atau malah tidak ada sama sekali.
—ioanes rakhmat



Sudah lama saya tahu kalau kalangan Kristen evangelikal konservatif di Indonesia aktif menyebarkan “black campaign” terhadap suatu pendekatan kritis dalam penafsiran teks kitab suci yang disebut kritik historis (historical criticism).

Kritik historis memperlakukan setiap teks kitab suci sebagai teks yang dibuat dan disusun dalam suatu konteks sejarah dan budaya tertentu di masa lampau, sehingga pesannya atau beritanya atau bahasanya senantiasa terikat dan dibatasi oleh konteks masa lalu ini. Pendekatan ini bersifat lintasilmu, karena melibatkan selain ilmu sejarah, juga antropologi budaya, sosiologi, arkeologi dan kritik sastra, yang memungkinkan si penafsir dapat menemukan makna suatu teks kitab suci dalam konteks sejarah dan sistem sosial budayanya dulu. Dengan pendekatan ini, sejarah dari teks yang sedang ditafsir dan sejarah yang dilaporkan dalam teks, dapat ditemukan melalui suatu upaya ilmiah rekonstruksi.

Ketika rekonstruksi sejarah dijalankan, unsur-unsur teologis mitologis yang terkandung di dalam teks dan sudah dicampur dengan unsur-unsur sejarah dapat ditemukan, dipilah-pilah dan dikeluarkan dari teks kitab suci, supaya si penafsir dapat sampai kepada sejarah yang sudah dibersihkan dari unsur-unsur teologis mitologisnya. 

Usaha pemisahan sejarah dari mitologi ini disebut sebagai usaha demitologisasi, usaha ilmiah yang umumnya dikaitkan dengan seorang sistimatikus Jerman yang terkenal, Rudolf Bultmann. Dengan demitologisasi ini, setiap teks suci akhirnya akan memperlihatkan serat-serat historisnya saja, yang sudah disingkirkan dari warna-warni teologis mitologisnya. 

Dengan kata lain, melalui historical criticism, setiap teks suci berubah menjadi teks sekular yang tidak dikaitkan dengan otoritas ilahi lagi, tetapi sangat berguna bagi keperluan ilmiah merekonstruksi masa lalu sebagai rajutan dan runtutan kejadian-kejadian sosiologis, politis dan antropologis insani saja. Pendekatan ini membantu orang untuk mendapatkan sejarah sebagai sejarah, bukan sejarah sebagai teologi.

Meskipun begitu, tentu saja hal-hal teologis mitologis tetap memiliki fungsi penting dalam membangun suatu sikap keberagamaan. Setiap corak keberagamaan atau corak spiritualitas memerlukan kisah-kisah teologis mitologis, bukan cuma fakta-fakta sejarah yang dipakai untuk merekonstruksi sejarah di masa lampau yang juga akan berbentuk tenunan kisah-kisah sejarah faktual.

Kehidupan kita adalah kisah-kisah yang berjalan, mengalir. Untuk dapat hidup dengan sehat dan baik, sejak kanak-kanak, kita memerlukan kisah-kisah, baik kisah dongeng maupun kisah nyata. Di saat sudah dewasa, bacaan kisah-kisah dongeng kita ganti dengan bacaan novel-novel atau dengan fiksi-fiksi sains. Manusia, juga saya, tidak dapat dipisahkan dari kisah-kisah, kisah nyata dan kisah fiktif. Tanpa kisah-kisah, kehidupan mungkin sekali akan membosankan.

Poin pentingnya ini: jika suatu kisah adalah kisah teologis mitologis, ya terimalah dan perlalukanlah sebagai kisah teologis mitologis. Jika suatu kisah adalah kisah sejarah faktual, ya terimalah dan perlakukan sebagai suatu kisah sejarah. Jangan kita melakukan penyangkalan-penyangkalan.

Well, fokus kita sekarang adalah pendekatan dalam ilmu tafsir yang dinamakan historical criticism atau kritik sejarah, sebagai suatu bidang keilmuan yang dijalankan lewat metode-metode dan pendekatan-pendekatan keilmuan.

Nah, karena sifatnya yang sudah disebut di atas, maka kritik sejarah disalahpahami, dan sangat dibenci dan ditakuti kalangan penafsir Alkitab dari kekristenan evangelikal konservatif. Karena itulah mereka menebar “black campaign” terhadap pendekatan ini dan orang-orang yang memakainya. 

Mereka hanya menerima dan memakai biblical criticism yang, dalam pandangan mereka, dapat memperteguh semua berita kitab suci dan iman gereja dan dapat membenarkan “sejarah suci” gereja Kristen, dan menolak setiap penilaian critical apapun terhadap kitab suci, sejarah gereja perdana dan dogma-dogma ortodoks. 

Karena itu juga, mereka membedakan pendekatan kritis dalam dua kategori: higher criticism dan lower criticism—suatu pembedaan yang tidak dikenal di kalangan para ahli tafsir kritis kitab suci yang sudah membebaskan diri mereka dari ikatan dengan dogma gereja apapun.

Kalangan penafsir evangelikal konservatif hanya menerima kritik tata-bahasa (grammatical criticism) saja yang mereka sebut sebagai lower criticism, dan karena itu banyak memproduksi buku-buku tata-bahasa Ibrani (kuno) dan tata-bahasa Yunani (Koine), tetapi sangat jarang atau hampir sama sekali tidak mengeluarkan buku-buku tafsir yang menggunakan historical criticism sebebas-bebasnya sebagai suatu syarat bekerja dalam dunia ilmu pengetahuan. 

Kritik teks (textual criticism) mereka juga gunakan tetapi hanya sebatas untuk memperlihatkan bahwa naskah-naskah salinan (manuskrip) yang dipakai oleh versi Alkitab resmi mereka (misalnya versi King James, atau, lebih belakangan, versi the New International Version/NIV) adalah naskah-naskah yang paling otoritatif dan bebas dari kesalahan manusia ketika penyalinan dilakukan. Tetapi sebetulnya anggapan bahwa ada manuskrip kitab suci manapun yang bebas dari kesalahan manusia atau dari campurtangan manusia adalah sebuah ilusi.

Selain itu, dengan maraknya wacana hermeneutik postmodern belakangan ini, kalangan penafsir evangelikal konservatif di Indonesia sangat getol mempromosikan narrative criticism dan reader-response criticism sebagai dua bentuk kritisisme yang, dalam penilaian mereka, paling cocok digunakan untuk memperkuat berita kitab suci dan iman Kristen ortodoks. Itu anggapan mereka. 

Ya, tentu saja tidak membuat iman dipertimbangkan ulang, sebab dengan menggunakan reader-response criticism mereka bisa bebas membaca Alkitab dari sudut pandang pilihan mereka sendiri, ya sudut pandang yang makin memperkokoh konservatisme dan dogmatisme beku mereka. 

Tetapi anggapan bahwa narrative criticism yang diterapkan pada Alkitab tidak akan mengganggu iman keagamaan konservatif mereka adalah suatu anggapan yang keliru, apalagi jika narrative criticism ini dikombinasikan dengan social-scientific criticism sehingga melahirkan antara lain socio-narrative criticism atau socio-rhetorical criticism.

Usaha-usaha kalangan Kristen evangelikal konservatif melakukan “black campaign” terhadap historical criticism sebetulnya dilatarbelakangi oleh suatu anggapan ilusional bahwa manusia manapun dalam dunia ini bisa bebas dari sejarah sekular, sejarah tanpa intervensi Allah ke dalam dunia. 

Ya, sebetulnya setiap uraian atau tulisan sejarah atau historiografi adalah sejarah sekular, yang fokus pada dunia natural yang lumrah. Jika seseorang menulis sejarah, tapi dengan menyatukan dunia natural dan dunia supernatural, maka karya yang dihasilkannya bukanlah suatu karya sejarah, tetapi suatu karya teologis.

Dapatkah seseorang melepaskan dirinya dari sejarah sekular sama sekali? Tidak bisa!

Kalangan Kristen evangelikal konservatif tampaknya mau menyangkal sebuah fakta yang sangat terang-benderang bahwa sejak mereka lahir ke dalam dunia sampai mereka mati, mereka adalah bagian dari sejarah sekular. 

Mereka membutuhkan akte kelahiran ketika dilahirkan yang mencatat kelahiran mereka sebagai suatu peristiwa dalam sejarah sekular. Mereka belajar sejarah nasional Indonesia dan sejarah dunia di sekolah mereka, mulai dari SD sampai ke perguruan tinggi. 

Dan ketika mereka mati, keluarga mereka juga harus mengurus akte kematian mereka sebagai suatu bukti historis bahwa kehidupan mereka telah berakhir dalam sejarah sekular ini. 

Ketika mereka, misalnya, harus berurusan dengan pengadilan negara karena kasus perdata ataupun kasus pidana, sang jaksa penuntut dan para hakim harus memberi tafsiran historis kontekstual terhadap sekian UU dan peraturan hukum yang dibuat pada zaman penjajahan Belanda dulu jika mereka mau diperlakukan dengan adil sebagai terdakwa di abad XXI ini. 

Mereka juga menjadi warganegara Republik Indonesia, negara yang memiliki sejarah sekular panjang sebelum menjadi suatu negara merdeka di muka Bumi ini. 

Pendek kata, jika seseorang mau hidup dalam dunia sekular ini, dia harus menerima sebagai fakta bahwa dia adalah seorang manusia yang memiliki sejarah sekular, seberapapun kuat dan dalam imannya kepada Tuhannya.

Berkaitan dengan kajian Yesus sejarah, kalau sejarah disingkirkan dari diri Yesus orang Nazareth, maka Yesus pun berubah menjadi suatu makhluk halus tanpa tubuh, tanpa kelahiran, tanpa ayah dan bunda, tanpa keluarga, tanpa kampung, tanpa negara, tanpa sahabat, tanpa murid-murid, tanpa ajaran, tanpa perumpamaan, tanpa penyiksaan, tanpa kematian di kayu salib. 

Itu adalah pandangan doketis terhadap Yesus. Doketisme adalah pandangan bahwa Yesus hanya tampak (Yunani: dokein) sebagai manusia, sementara sebenarnya Dia adalah roh tanpa tubuh. Kita tahu doketisme sudah ditolak oleh gereja perdana (lihat Yohanes 1:14a; 1 Yohanes 4:2; 2 Yohanes 7).

Jadi, ketimbang melindungi dan membentengi Yesus, “black campaign” kalangan Kristen evangelikal konservatif di Indonesia terhadap historical criticism malah merupakan suatu tindakan yang menyangkali kemanusiaan dan kebersejarahan Yesus orang Nazareth sampai ke akar-akarnya. 

Tidaklah berlebihan jika saya menyatakan bahwa mereka yang anti terhadap historical criticism ini adalah kalangan Kristen gnostik modern yang memandang sejarah dan tubuh Yesus sebagai sesuatu yang semu, fiktif, negatif, atau malah tidak ada sama sekali. 

Saya sangat senang karena saya berpandangan bahwa Yesus orang Nazareth memiliki sejarah dan tubuh yang real, karenanya diri-Nya bisa diselidiki dan didekati dengan menggunakan ilmu sejarah. Masukilah dan kajilah sejarah, jika anda ingin tiba pada kebenaran-kebenaran yang berpijak pada realitas, bukan pada angan-angan atau pada iman keagamaan saja.

Iman keagamaan itu penting, dan tidak ada masalah jika seseorang beriman dan menjalankan kehidupan spiritual mereka berdasarkan teks-teks kitab sucinya, baik teks-teks kisah teologis mitologis maupun teks-teks kisah sejarah.

Jadi, pendekatan kritis historis tidak bermaksud merongrong atau tidak merongrong iman keagamaan dan spiritualitas, melainkan mau mencari fondasi-fondasi kesejarahan suatu iman keagamaan. 

Pada dasarnya, iman Kristen sama sekali tidak anti-sejarah, malah memberi suatu tempat penting pada sejarah dunia ini, sebab sang Firman (ho Logos) yang berada di dunia transenden (kawasan pada mulanya) telah masuk ke dalam sejarah manusia dengan menjadi satu sosok manusia yang real berdaging, kai ho Logos sarks egeneto (Yohanes 1:14a).

Jadi, adalah suatu kekeliruan besar jika seorang Kristen anti-sejarah atau menolak mutlak metode tafsir historis kritis. 

Tanpa pijakan kuat pada sejarah, lebih khusus lagi: pada Yesus sejarah, Yesus orang Nazareth yang mati disalibkan, kekristenan akan berubah menjadi suatu institusi bayang-bayang atau suatu institusi fatamorgana. Syukurlah, faktanya tidak demikian. 

• Editing mutakhir 18 Agustus 2022





Friday, January 22, 2010

Injil Thomas # 93

Injil Thomas # 93:
Jangan beri apa yang suci kepada anjing, atau anjing-anjing itu akan melemparnya ke gundukan rabuk. Jangan lempar mutiara-mutiara kepada babi, atau babi-babi itu akan menghancurkannya.” (Matius 7:6; Lukas 14:35; Didakhe 9.5; Pseudo-Klementin Rekognisi 2.3; 3.1; Ahmad ibn Hanbal, al-Zuhd, h. 144 [no. 477])

Kata Yesus kepada murid-muridnya: “
Wahai murid-muridku, jangan lempar mutiara kepada babi, sebab babi itu tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dengan mutiara itu. Jangan ajarkan hikmat kepada orang yang tidak menginginkannya, sebab hikmat lebih mulia dari mutiara dan barangsiapa menolak hikmat orang itu lebih buruk dari seekor babi.” (Ahmad ibn Hanbal, al-Zuhd, hlm 144, no 477)
Komentar:
Dalam logion 92 diungkapkan bahwa ada hal-hal yang menyangkut pengajaran yang Yesus sebelumnya tunda untuk menjelaskannya. Alasan penundaan ini diberikan dalam logion 93 ini. Yesus sangat berhati-hati dalam menyampaikan ajaran-ajarannya karena dia khawatir akan ada ajaran-ajarannya yang “suci” dan “berharga” jatuh kepada orang yang tidak patut (yang dikiaskannya sebagai “anjing” dan “babi”). Dalam
Pseudo-Klementin Rekognisi 2.3 ditemukan tafsiran yang sama atas logion 93 ini: “Kita harus sangat berhati-hati supaya kita tidak melemparkan mutiara kita kepada babi” pada saat kita mengkhotbahkan firman kebenaran kepada para pendengar yang dipenuhi orang yang patut dan yang tidak patut sekaligus. Seorang pengajar kebenaran harus berhati-hati ketika dia mengemukakan kebenaran di tengah orang banyak yang bercampur-baur karena “jika dia menyampaikan kebenaran yang murni kepada orang yang tidak ingin mendapatkan keselamatan, dia sesungguhnya melukai dia yang telah mengutusnya dan yang darinya dia telah menerima perintah untuk jangan melempar mutiara ucapan-ucapannya kepada babi dan anjing” (Rekognisi 3.1).


Thursday, January 21, 2010

Injil Thomas # 42

Injil Thomas # 42:
Yesus berkata, “Jadilah pelintas.”
(Bdk Pseudo-Klementin Homili 2.9; ’Abdallah ibn Qutayba, ’Uyun 2.328)

Komentar
:
Kata “Jadilah pelintas” dalam logion ini dalam bahasa Yunaninya adalah este parerkhomenoi, yang sangat mungkin adalah terjemahan dari kata Ibrani avar, yang dapat diterjemahkan “Jadilah musafir” atau “Jadilah pelintas”. Jika logion 42 ini dikaitkan dengan logia 39-41 yang berisi nasihat kepada murid-murid Yesus untuk tidak mengikuti orang Farisi dan para ahli kitab, terjemahan “Jadilah pelintas” lebih tepat sebab dengan ucapannya ini Yesus meminta murid-muridnya untuk “melintasi” atau “melewati”, dalam arti: tidak memperhatikan ajaran-ajaran orang Farisi dan para ahli kitab yang tidak membawa mereka kepada pengetahuan, tetapi menaruh komitmen hanya kepadanya. Jika dipahami demikian, logion 42 ini sejajar dengan nasihat dalam Pseudo-Klementin Homili 2.9 yang meminta seseorang untuk melewati atau tidak memperhatikan semua ajaran lain, kecuali ajaran Yesus saja, dan untuk “mengikatkan dirinya sepenuhnya hanya kepada sang Nabi Kebenaran”. Sebagai pembanding, teks Mazmur 119:37 dapat dirujuk: “Lalukanlah mataku dari pada melihat hal yang hampa, hidupkanlah aku dengan jalan-jalan yang Kautunjukkan!”

Jika diterjemahkan “Jadilah musafir”, logion 42 ini jadi bisa diartikan sebagai perintah untuk murid-murid Yesus tidak terikat pada dunia ini tetapi menarik diri dari dalamnya, sehingga menampilkan suatu gaya hidup asketis soliter (atau: enkratis), yang sebetulnya bukan merupakan gaya hidup komunitas Yahudi-Kristen yang memakai Kernel Injil Thomas. Sebuah ucapan dalam ’Abdallah ibn Qutayba, ’Uyun 2.328 berbunyi “Dunia ini adalah sebuah jembatan. Seberangi jembatan ini tetapi jangan membangun di atasnya.” Ucapan ini menampilkan suatu gaya hidup asketis soliter ini, gaya hidup tidak mengikatkan diri pada dunia ini.