Sunday, May 19, 2019

Firman hidup versus apologetika



Hidup itu bertumbuh, bergerak, berbuah dan bertambah tinggi. Berubah makin maju karena proses belajar...

N.B. Baca juga pasangan tulisan ini Menjadi Seorang Ilmuwan Ph.D.

N.B. diedit 18 Oktober 2021

"Tidak ada sesuatu yang permanen, kecuali perubahan." --- Heraklitus (filsuf Yunani kuno pra-Sokrates, c. 535-c. 475 SM)


FIRMAN TUHAN YANG HIDUP, yang bersumber dari Yesus Kristus sang Tuhan yang hidup, the living Lord, selalu dinamis, kreatif, aktif, progresif, kontekstual, relevan, membangun martabat mulia manusia, menumbuhkan wawasan baru dan tindakan baru, memajukan peradaban dan kesejahteraan umum, dan tak pernah bantut.

Jika tidak demikian, itu bukan firman Tuhan, tetapi firman para dogmatikus yang sudah bantut dan tak hidup lagi. Mereka bekerja di museum teologi fosil, bukan di laboratorium penelitian dan pengkajian kehidupan dan beranekaragam teologi yang baru dan tanggap.

Sesuatu yang hidup itu selalu bergerak, tumbuh, berbuah, dan berubah tahap demi tahap. Selalu belajar. Learning as an ongoing and endless process. 

Bukti bahwa si B telah belajar dengan efektif adalah dia berubah dalam banyak dimensi pemikiran dan tindakan. Tanda tidak belajar adalah tidak ada perubahan mental dan kognisi untuk menuju kemajuan tanpa akhir.

Di lingkungan kekristenan yang saya kenal, di dalam dan di luar negeri, saya menemukan ada banyak orang cerdas lebih dari lima tahun telah belajar teologi tingkat doktoral di perguruan-perguruan tinggi teologi di dalam negeri atau di luar negeri. Mereka lulus dengan judicium sangat memuaskan atau malah "cum laude", artinya "dengan pujian". Tetapi ada yang mengherankan pada mereka itu, yang sulit dipahami. Apa?

Mereka telah menjadi purnasarjana dengan menyandang gelar doktor (ada lebih dari satu jenis gelar doktor, ada gelar doktor hasil Studi 6-9 bulan, ada juga gelar doktor hasil Studi 5-6 tahunan). Ya, mereka telah meraih gelar doktor, hasil belajar, tetapi dengan memiliki satu kecakapan atau kemahiran saja. Yakni membela mati-matian salah satu dari sekian dogma kuno yang dirumuskan di zaman lampau, ratusan hingga ribuan tahun lalu, di bagian-bagian dunia yang lain.

Kata mereka dengan yakin, bahwa suatu dogma yang mereka telah pelajari, harus dibela dan dilindungi serta dijagai dari segala kritikan dan dekonstruksi akademik yang telah dilakukan kalangan lain yang berpikiran maju dan progresif. 

Kalangan lain ini mampu dan cerdas melihat bahwa dunia kita sekarang, dunia modern, sudah tidak sama lagi dengan dunia-dunia zaman sangat lampau yang menjadi konteks sejarah dan konteks budaya asli bagi setiap kitab suci dan penulisan doktrin-doktrin keagamaan tradisional.

Setiap agama itu real ada dalam dunia, bukan bayangan Bumi pada permukaan Bulan. Dan, sudah pasti, agama-agama diperlukan hanya selama kita masih hidup di dunia ini. Jadi, ya setiap agama dapat dan perlu dikaji, seperti hal-hal lain yang empirik ada dalam dunia kita, yang kait-mengait dengan banyak segi kehidupan kita sekarang.

Mereka yang tidak progresif itulah yang dikenal sebagai para apologet agama-agama. Dengan keahlian satu-satunya membela dan menjaga apa adanya dogma-dogma dalam agama-agama mereka, yang dirumuskan di zaman-zaman dulu dan di tempat-tempat lain, dan diabsolutkan di zaman modern kita sekarang di kawasan-kawasan yang berbeda.

Bagi saya, mereka, para ahli apologetika itu, telah belajar tahunan untuk tidak belajar apa-apa. Bisanya hanya menjaga mati-matian dogma-dogma kuno. Tak boleh diubah sedikitpun. Tak boleh digeser-geser sejengkalpun. Tak boleh ditafsir ulang. Padahal setiap dogma gereja apapun, dulu dikonstruksi dalam rangka menjawab persoalan zaman-zaman dulu di tempat-tempat lain yang memiliki kebudayaan dan alam pemikiran yang berbeda.

Jadi, ketika zaman berganti, karena panah waktu terus melesat ke depan, dan tempat-tempat berpindah, dogma-dogma baru yang tanggap harus disusun, tak bisa tidak. Tuhan itu tak bisa dibuat tersangkut di masa lalu yang jauh. Tuhan juga bergerak maju, ke depan, karena Tuhan itu hidup, dan kreatif.

Sosok-sosok besar zaman kuno yang telah merancangbangun dogma-dogma untuk keperluan di zaman dan dunia mereka, pasti tidak ingin diri mereka dan hasil-hasil pemikiran mereka diawetkan untuk dipakai sepenuh-penuhnya, dicomot begitu saja, bagi zaman-zaman dan tempat-tempat lain yang sudah jauh berbeda dari zaman dan lokasi geografis mereka. 

Dus, kalangan apologet itu hidup, tapi tanpa pertumbuhan dan perubahan. Mereka bak suatu tanaman hidup, tapi bantut, tetap cebol dan kerdil, meskipun tetap mendapat pupuk dan air.

Padahal kata Rasul Paulus, setiap warga komunitas gereja adalah ciptaan baru yang terus-menerus dibarui dalam segala segi kehidupan. Langit baru dan Bumi baru, serta Eden yang baru, menurut penulis Wahyu Yohanes dalam Perjanjian Baru, adalah fokus perhatian komunitas gereja.

Nah, ketika anda sebagai pengikut Yesus Kristus selalu mampu dan cakap membarui diri lewat evaluasi kritis dan sadar atas seluruh keberadaan dan kemampuan mental anda, teristimewa pemikiran anda--- suatu kecakapan yang dinamakan metacognitive skill--- maka dunia anda, dunia sekitar anda, cara kehidupan anda dan gereja anda, juga dogma-dogma gereja, akan pasti mengalami pembaruan juga. 

Tanpa pembaruan teologi, gereja akan bantut, tersingkir dari peran di kawasan global, dan akan tidak relevan lagi, di dunia maju sekarang ini. Salah satu dokumen keesaan yang dirumuskan PGI diberi nama Dokumen Kemandirian Daya, Dana dan Teologi.

Selamat menjadi ciptaan-ciptaan baru yang senantiasa dibarui---what a privilege!

Tetapi jika anda telah bertekadbulat untuk seumur kehidupan anda menjadi seorang apologet, dan anda sadar penuh sejauh mana profesi anda bermanfaat dan berguna bagi gereja-gereja di masa depan dalam suatu dunia yang terus berubah, saya ucapkan selamat bekerja. Be happy. Be good. Dan biarkan saya terus mengikuti gerak dinamis Yesus, sang Tuhan yang hidup.

May God help enlighten us kindly.

ioanes rakhmat
19 Mei 2019

Expanded 23 September 2021