Akal itu pelita iman (tap atau klik gambarnya untuk dapat ukuran lebih besar dan tulisan terbaca jelas)
"Akal itu adalah kognisi yang aktif, bernalar, bergerak koheren dan logis, mencari kebenaran yang teruji, kreatif, inovatif, inventif, enerjik, dinamis, kuat, progresif, problem-solving, membuka jalan-jalan baru, mencerahkan. Jika tidak demikian, itu bukan akal, tapi bantal." (Ioanes Rakhmat)
Pagi tadi, saya dikirimi via WA sebuah renungan harian dari seorang teman gereja. Isi renungannya tentang sosok Ayub dan sosok Naomi yang dikisahkan konon dihajar Tuhan habis-habisan, tapi mereka tetap harus teguh beriman dan percaya.
Ada sebuah ide teologis di belakang dua kisah Alkitab tersebut, bahwa Tuhan mendidik orang yang beriman kepada-Nya dengan hajaran dan gebukan maut, habis-habisan, dan keras serta mengancam nyawa.
Dalam dunia pendidikan modern, kita tahu bahwa aneka psikologi, ilmu kognisi, neurosains, dan ilmu kesehatan mental dan kesehatan lingkungan, menyadarkan kita semua, termasuk orang-orang yang bekerja profesional di dunia pendidikan anak dan selanjutnya, tentang satu hal yang sangat penting.
Yakni: semua aktivitas sehat belajar dan mengajar, aktivitas sehat pendidikan, haruslah dijalankan dalam suasana yang relaks, ceria, segar, bersahabat, terbuka, tanpa kekerasan, persuasif, dialogis, edukatif, dan tidak boleh berlangsung dalam suasana sanger, mencekam, keras, satu arah, indoktrinatif dan punitif atau menghukum dan menghajar.
Kembali ke sosok Ayub dan sosok Naomi. Sikon terlanda azab dan sekarat padahal mereka saleh dan beriman, menimbulkan sebuah problem teologis yang dinamakan TEODISE (bentukan dari dua kata Yunani "theos", artinya Tuhan, dan kata "dikē" artinya keadilan). Ringkasnya, problem teodise begini: Apakah Tuhan itu tetap adil dan penyayang meski si saleh menanggung azab tak tertahankan yang dibuat Tuhan? Para apologet berusaha keras untuk menjawab pertanyaan ini dengan positif; tapi kelihatan apologetika mereka sia-sia.
Saya tak mau mengulang menyoroti teodise saat ini. Ada hal lain yang akan saya kemukakan ringkas saja. Tapi jika anda mau mengetahui lebih jauh tentang teodise, sedikitnya ada dua tulisan saya di blog ini yang dapat anda baca, di sini dan di sini.
Satu hal sudah pasti, Tuhan Ayub dan Naomi yang semacam itu mustahil untuk saya imani.
Tuhan saya Alrahman Alrahim. Panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Mahapengampun dan mahapemaaf.
Tuhan saya memelihara burung-burung yang terbang ke sana dan ke sini di udara, tidak membunuh mereka. Tuhan yang saya percaya adalah Tuhan yang merawat dan mendandani bunga-bunga di padang, tidak menelantarkan dan mencoreng-coreng bunga-bunga itu.
Tuhan yang bengis dan tega mendera dan menghajar habis-habisan manusia, lewat cara apapun, sama sekali bukan Tuhan yang saya percayai. Teologi yang keras ini tidak bisa harmonis dengan psikologi saya.
Catatlah bahwa teodise dikonstruksi manusia, bukan disusun Tuhan sendiri; dan bahwa apa corak pilihan teologi anda ditentukan juga oleh psikologi diri anda pribadi, selain juga oleh lokasi dan kondisi sosiologis kultural anda, oleh posisi ekonomi anda, politik anda dan ekologi anda. Tidak ada teologi yang muncul begitu saja dari ruang vakum.
Hal yang saya tulis selanjutnya ini juga pikiran saya, tidak muncul dari langit atau dari ruang vakum kosmik. Saya usahakan bisa membebaskan dan mencerahkan akal dan perilaku serta sikap dan tindakan siapapun yang mau menerima pesan-pesannya. Tidak mau juga tak apa-apa. Feel free saja.
Iman itu bagian dari berbagai aspek mental seperti pikiran, emosi, kehendak, perasaan, kesadaran, kepekaan moral, empati. Semuanya dinamis, tak statis, karena mood mental dan pikiran kita dll adalah respons otak terhadap berbagai input dari luar yang tak pernah habis. Input dan output berinterkoneksi. Interaktif.
Karena dinamis, maka pikiran kita bergerak; kadang salah, lalu kita sadari dan koreksi. Begitulah, pikiran, dus ilmu pengetahuan, bergerak maju, berkembang, lewat uji coba, verifikasi, falsifikasi, eksperimen, dialektika tesis versus antitesis yang melahirkan sintesis sebagai sebuah tesis baru, dll.
"Trust" atau "belief in a god" juga dinamis, "up and down". Ada saatnya menolong, ada saatnya tidak menolong seperti saat kita pasrah, terima nasib yang kita klaim sudah ditetapkan Tuhan. Atau saat iman menutup pintu akal dan nurani. Saat pelita akal ditiup mati. Hasilnya: kegelapan.
Ada saatnya iman merusak segalanya, saat iman yang menggebu melahirkan kepicikan beragama dan radikalisme. Ini umumnya bermuara pada anarki dan destruksi. Akal ditutup, dibunuh; nurani dan kasih dimatikan, ditewaskan, dengan sengaja atau lewat pemaksaan seperti yang terjadi saat cuci otak atau indoktrinasi yang gencar dan koersif.
Itulah realitas pedih yang sedang terjadi dalam dunia luas ketika lampu pijar akal dicopot lalu dibanting pecah berantakan. Sebagai gantinya, fanatisme dan kepicikan ideologis (religius dan sekular) dijadikan watak, isi kepribadian, dan gaya hidup sehari-hari.
Jalan masih sangat panjang di depan. Untuk dapat dengan baik dan benar menempuhnya, kita semua memerlukan kemampuan menimbang-nimbang dan melihat dari berbagai sudut dan arah.
Itulah kemampuan kognitif multilinier dan multisirkular. Kemampuan ini memungkinkan kita bisa melihat seluruh sisi bulatan bulan purnama, baik yang menghadap ke Bumi maupun yang membelakangi Bumi.
Iman salah satu bahan pertimbangan, tidak boleh satu-satunya. Lagi, ingat dan lakukanlah, bahwa akal itu pelita iman dan kehidupan.
Silakan akal sebagai lampu pijar yang bercahaya terang, yang membuat anda tercerahkan dan makin banyak tahu dari waktu ke waktu dan ilmu pengetahuan berkembang tanpa akhir, anda lumpuhkan, bunuh dan pecahkan. Itu kebebasan anda. Kebebasan dalam kebodohan tanpa batas.
Tapi sadarilah satu hal ini: di saat itulah Tuhan YMTahu, sumber segala kearifan dan ilmu pengetahuan, yang telah memberi anda akal, telah pergi jauh dari diri anda dan tak lagi bercahaya bagi anda.
Tuhan telah pindah, entah ke mana. Carilah. Semoga anda masih beruntung, bisa jumpa Tuhan lagi, Tuhan yang mahacerdas, mahatahu dan mahapengasih dan mahapenyayang.
Stay blessed.
Jakarta, 27.8.2018