"Sungguh, Engkau Allah yang menyembunyikan diri,..." (Yesaya 45:15)
Semalam mulai pk. 20:00 WIB, Minggu, 24 Desember 2017, saya bersama isteri dan puteri saya ikut kebaktian Natal di sebuah gereja di kawasan Jakarta Barat. Banyak warga yang ikut kebaktian. Saya senang dapat bertemu dan berbincang dengan banyak kawan lama. Melantunkan lagu-lagu gereja. Paduan suara gereja terdengar teduh dan riang. Lilin-lilin kecil pada saatnya dinyalakan. Indah berkelap-kelip. Nyanyian Holy Night dilantunkan bersama dengan syahdu. Sunyi. Kosong. Lengang. Senyap. Sendiri. Meski ramai dan penuh.
Dalam khotbah Natalnya, sang pendeta memberi penekanan utama pada ihwal Tuhan mencari manusia dengan dia turun ke dalam dunia, lahir sebagai sesosok bayi insani di sebuah kandang dan dibaringkan di sebuah palungan.
Seusai kebaktian, di luar pintu gerbang gereja, sang pendeta itu (DCN) bertemu lagi dengan saya, lalu kami terlibat percakapan pendek. Pada kesempatan itu, saya katakan kepadanya, bahwa ungkapan teologis "Allah mencari manusia" sebetulnya tidak tepat sebab berkontradiksi dengan sifat Tuhan sebagai yang mahatahu dan mahahadir.
Jika Tuhan mahatahu, ya dia sudah tahu di mana setiap orang berada. Dia tak perlu mencari-cari. Jika Tuhan mahahadir, maka di manapun kita berada, di saat apapun, Tuhan juga sudah tahu keberadaan kita masing-masing. Dia tak perlu mondar-mandir, ke sana sini, celingukan, turun lembah, naik gunung, mencari-cari kita hingga lelah. Juga tak perlu Tuhan keluar masuk berbagai mall, kebon, hutan, taman rekreasi atau universitas.
Lalu saya usulkan, pakailah metafora permainan petak umpet. Tuhan sengaja menyembunyikan diri-Nya dari kita. Nah, kitalah yang mencari-cari Tuhan yang tersembunyi, diam, sunyi, tak berbunyi, tak berisik, tak ada indikasi di mana Dia sembunyi dan merunduk. Karena kita tidak mahatahu dan tidak mahahadir, kita betul-betul tidak tahu di mana Tuhan berada.
Dalam mencari Tuhan, dalam permainan petak umpet ini, kita suatu ketika dapat melihat Tuhan di suatu tempat persembunyiannya, punggung-Nya terlihat sekelebat. Lalu kita yang sedang mencari Tuhan, secepat angin berlari menuju tempat Tuhan yang bersembunyi, yang sedang kita cari-cari. Ingin kita sentuh dan belai punggung-Nya.
Eeh, sayangnya, begitu kita sudah di dekat-Nya dan mau meraih dan membelai dan menepuk punggung belakang Tuhan, segera saja Tuhan menjauh lagi, jauh, jauh, jauh, bersembunyi lagi di balik punggung gunung di seberang atau melompat ke dalam telaga tanpa tepi dan tanpa dasar, atau melompat tinggi jauh ke angkasa, ke balik awan. Tuhan hilang lagi. Tersembunyi lagi. The hidden God. Kita cari-cari lagi.
Terlihat lagi, ujung jubah-Nya berkibar. Kita kejar dengan berlari. Eh hilang lagi. Sembunyi lagi. Terlihat lagi ujung rambut-Nya yang gemulai berkilau ditiup angin, lalu kita secepat kilat ngebut berlari ingin memegang dan mencium rambutnya yang semerbak. Sayangnya, Tuhan menghilang lagi, sembunyi lagi, jauh lagi.
Hilang
Ketemu
Hilang lagi
Terlihat
Tapi lenyap lagi
Sudah dekat
Dekat sekali
Eh jauh lagi
Di depan mata
Tahu-tahu sudah pindah lagi
ke seberang lautan tanpa pantai
Oh Tuhanku
Asyik bermain petak umpet dengan-Mu
Tak pernah aku bisa menguasai-Mu
Dalam genggaman dan dekapanku
Selalu Engkau berhembus berlalu
Sang Bayu yang semilir lalang-lalu
Tak pernah Engkau masuk jaringku
Tak bisa Engkau kukunci dalam saku
Bergairah aku karena rindu
Meski kita tak akan pernah menyatu
Walau dalam cinta kita satu
Kita terpisah dalam rantau
Berlari-larian kita selalu
Sembunyi-sembunyian di balik batu
Sang waktu tak sempat berlalu
Meski lonceng berbunyi bertalu-talu
Bermain petak umpet dengan Tuhan, pasti bukan cuma pengalaman saya sendiri.
Ini adalah pengalaman setiap peziarah, setiap musafir, yang menghayati kebertuhanan sebagai sebuah play, sebuah rekreasi, sebuah perjalanan, suatu pelayaran, penuh kegembiraan sekaligus kesunyian dan perasaan kerendahhatian.
Menolak absolutisme. Menolak triumfalisme. Menjauhkan diri dari superiorisme. Tak membusungkan dada. Tapi tertunduk kagum dan gentar pada dia yang mahatakterbatas, mahatahu, mahahadir.
Sang Tuhan yang selalu mengelak, berkelit, lalu menjauh, lepas, terbang dan berlari ke arah lain, ketika Dia mau kita tangkap, cengkeram, genggam dan kuasai. The elusive God.
Selamat hari Natal!
Kapan pun dan di manapun, saat engkau mencari pengetahuan, menabur cinta dan kebajikan, hidup aktif dan ceria, itulah Natal.
Jakarta, 25 Des 2017
ioanes rakhmat
Semalam mulai pk. 20:00 WIB, Minggu, 24 Desember 2017, saya bersama isteri dan puteri saya ikut kebaktian Natal di sebuah gereja di kawasan Jakarta Barat. Banyak warga yang ikut kebaktian. Saya senang dapat bertemu dan berbincang dengan banyak kawan lama. Melantunkan lagu-lagu gereja. Paduan suara gereja terdengar teduh dan riang. Lilin-lilin kecil pada saatnya dinyalakan. Indah berkelap-kelip. Nyanyian Holy Night dilantunkan bersama dengan syahdu. Sunyi. Kosong. Lengang. Senyap. Sendiri. Meski ramai dan penuh.
Dalam khotbah Natalnya, sang pendeta memberi penekanan utama pada ihwal Tuhan mencari manusia dengan dia turun ke dalam dunia, lahir sebagai sesosok bayi insani di sebuah kandang dan dibaringkan di sebuah palungan.
Seusai kebaktian, di luar pintu gerbang gereja, sang pendeta itu (DCN) bertemu lagi dengan saya, lalu kami terlibat percakapan pendek. Pada kesempatan itu, saya katakan kepadanya, bahwa ungkapan teologis "Allah mencari manusia" sebetulnya tidak tepat sebab berkontradiksi dengan sifat Tuhan sebagai yang mahatahu dan mahahadir.
Jika Tuhan mahatahu, ya dia sudah tahu di mana setiap orang berada. Dia tak perlu mencari-cari. Jika Tuhan mahahadir, maka di manapun kita berada, di saat apapun, Tuhan juga sudah tahu keberadaan kita masing-masing. Dia tak perlu mondar-mandir, ke sana sini, celingukan, turun lembah, naik gunung, mencari-cari kita hingga lelah. Juga tak perlu Tuhan keluar masuk berbagai mall, kebon, hutan, taman rekreasi atau universitas.
Lalu saya usulkan, pakailah metafora permainan petak umpet. Tuhan sengaja menyembunyikan diri-Nya dari kita. Nah, kitalah yang mencari-cari Tuhan yang tersembunyi, diam, sunyi, tak berbunyi, tak berisik, tak ada indikasi di mana Dia sembunyi dan merunduk. Karena kita tidak mahatahu dan tidak mahahadir, kita betul-betul tidak tahu di mana Tuhan berada.
Dalam mencari Tuhan, dalam permainan petak umpet ini, kita suatu ketika dapat melihat Tuhan di suatu tempat persembunyiannya, punggung-Nya terlihat sekelebat. Lalu kita yang sedang mencari Tuhan, secepat angin berlari menuju tempat Tuhan yang bersembunyi, yang sedang kita cari-cari. Ingin kita sentuh dan belai punggung-Nya.
Eeh, sayangnya, begitu kita sudah di dekat-Nya dan mau meraih dan membelai dan menepuk punggung belakang Tuhan, segera saja Tuhan menjauh lagi, jauh, jauh, jauh, bersembunyi lagi di balik punggung gunung di seberang atau melompat ke dalam telaga tanpa tepi dan tanpa dasar, atau melompat tinggi jauh ke angkasa, ke balik awan. Tuhan hilang lagi. Tersembunyi lagi. The hidden God. Kita cari-cari lagi.
Terlihat lagi, ujung jubah-Nya berkibar. Kita kejar dengan berlari. Eh hilang lagi. Sembunyi lagi. Terlihat lagi ujung rambut-Nya yang gemulai berkilau ditiup angin, lalu kita secepat kilat ngebut berlari ingin memegang dan mencium rambutnya yang semerbak. Sayangnya, Tuhan menghilang lagi, sembunyi lagi, jauh lagi.
Hilang
Ketemu
Hilang lagi
Terlihat
Tapi lenyap lagi
Sudah dekat
Dekat sekali
Eh jauh lagi
Di depan mata
Tahu-tahu sudah pindah lagi
ke seberang lautan tanpa pantai
Oh Tuhanku
Asyik bermain petak umpet dengan-Mu
Tak pernah aku bisa menguasai-Mu
Dalam genggaman dan dekapanku
Selalu Engkau berhembus berlalu
Sang Bayu yang semilir lalang-lalu
Tak pernah Engkau masuk jaringku
Tak bisa Engkau kukunci dalam saku
Bergairah aku karena rindu
Meski kita tak akan pernah menyatu
Walau dalam cinta kita satu
Kita terpisah dalam rantau
Berlari-larian kita selalu
Sembunyi-sembunyian di balik batu
Sang waktu tak sempat berlalu
Meski lonceng berbunyi bertalu-talu
Bermain petak umpet dengan Tuhan, pasti bukan cuma pengalaman saya sendiri.
Ini adalah pengalaman setiap peziarah, setiap musafir, yang menghayati kebertuhanan sebagai sebuah play, sebuah rekreasi, sebuah perjalanan, suatu pelayaran, penuh kegembiraan sekaligus kesunyian dan perasaan kerendahhatian.
Menolak absolutisme. Menolak triumfalisme. Menjauhkan diri dari superiorisme. Tak membusungkan dada. Tapi tertunduk kagum dan gentar pada dia yang mahatakterbatas, mahatahu, mahahadir.
Sang Tuhan yang selalu mengelak, berkelit, lalu menjauh, lepas, terbang dan berlari ke arah lain, ketika Dia mau kita tangkap, cengkeram, genggam dan kuasai. The elusive God.
Selamat hari Natal!
Kapan pun dan di manapun, saat engkau mencari pengetahuan, menabur cinta dan kebajikan, hidup aktif dan ceria, itulah Natal.
Jakarta, 25 Des 2017
ioanes rakhmat