Sunday, February 28, 2016

Lagi tentang LGBT: Menjilat pantat Barat... dan paranoia


Aaaahhhhhhsssshhh... segar dan nikmat!

Selengkapnya, baca Temuan-temuan Sains Modern tentang LGBT.


Seseorang yang bernama Mr. Macho mengecam saya. Katanya, “Anda membela LGBT karena anda telah menerima pendidikan modern di Barat. Anda kini mempromosikan LGBT di Indonesia. Anda penjilat pantat Barat yang kafir. Sementara anda mengecam Arabisasi atas Indonesia. Itulah diri anda yang sebenarnya.”

Ya... kecamannya pedas dan hemat saya diucapkan tanpa pengetahuan dan kesadaran yang matang. Berikut ini respons saya dalam dua poin.

Poin pertama. Mengapa saya membela LGBT meskipun saya bukan aktivis LGBT dan orientasi seksual (OS) saya dan keluarga saya semuanya hetero (hingga saat ini)?

Saya membela karena saya melihat LGBT di Indonesia cenderung akan makin ditindas berdasarkan ketidaktahuan masyarakat hetero di Indonesia bahwa kondisi sebagai LGBT bukan dosa dan juga bukan suatu kelainan jiwa atau penyakit dan gangguan mental. Berikut ini alasan-alasan saya mengapa saya berpendapat demikian.

Tuhan yang saya yakini mahapencipta bukanlah Tuhan dengan OS tertentu. Tuhan melampaui atau mentransendir semua OS HLGBT. Karena itu, Tuhan mahapencipta merangkul, memelihara, memberi kehidupan dan cinta kepada semua manusia yang memiliki OS apapun.

Semakin anda meyakini Tuhan itu mahapencipta, maka dia juga sanggup mencipta bukan hanya OS hetero, tapi juga LGBT. Karena dia mahapencipta, maka dia juga sanggup menciptakan apapun yang tidak dikisahkan atau ditulis dalam semua kitab suci.

Karena OS LGBT itu sunatullah, kejadian natural yang diciptakan Tuhan, maka LGBT juga Tuhan kehendaki untuk tetap ada dan terawat dan bertahan dalam dunia ini. Barangsiapa mencintai Tuhan, mereka juga akan mencintai LGBT. Dari mana saya tahu LGBT itu sunatullah? Tentu bukan dari Prof. Sarlito Wirawan, mahaguru psikologi UI.

Ya saya tahu dari ilmu pengetahuan yang bersumber dari Allah yang mahatahu. Semakin anda percaya Tuhan anda itu mahatahu, maka semakin bersemangat anda dalam mencari pengetahuan-pengetahuan baru. Bahkan sebagai sang pencipta yang mahabaik dan mahatahu, Tuhan juga menghendaki manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dengan tanpa batas dan menemukan dan membangun ilmu pengetahuan baru juga tanpa batas.

Semakin Tuhan itu dipercaya mahacerdas, maka semakin kuat keinginan anda untuk berakal dan bernalar dengan cerdas. Tuhan yang mahatahu, sebagai orangtua kita yang sayang pada kita, akan luar biasa masygul di hati jika manusia memilih berjalan di jalan kedunguan tanpa batas. Ilmu pengetahuan kerap mencapai batas terjauh di suatu era. Tapi kedunguan itu, kata Albert Einstein, tak punya batas.

Nah dari ilmu pengetahuan, kini kita tahu OS HLGBT terbentuk dari interaksi sejumlah faktor yang sudah diobservasi, yakni faktor-faktor genetik, epigenetik, biologis, serebral, hormonal, fisiologis, psikologis; dan lingkungan kehidupan juga ikut memberi andil. Semua hal lain yang menyangkut bentuk fisik dan keadaan mental dan pembawaan serta kebiasaan hidup kita juga dibentuk oleh faktor-faktor yang sama. Informasi genetik, bagaimanapun juga, berperan besar dalam membentuk diri seseorang dalam banyak aspek kehidupan.

Nah, karena OS itu berbasis biologis dalam arti luas, tentu saja sejak manusia cerdas (Homo sapiens) ada di muka Bumi, OS HLGBT tentu juga sudah ada.

Jauh sebelum kejadian yang menimpa kota Sodom dan kota Gomorah yang melibatkan Nabi Lot (atau Luth)yang kisahnya (cari tahu sendiri, apakah ini kisah faktual atau kisah fiktif!) selalu dijadikan landasan skriptural untuk mengecam dan mengutuk homoseksualitasOS LGBT sudah pasti ada.

Suatu saat nanti, kalau paleobiologi sudah semakin maju, para saintis akan bisa menemukan bukti-bukti biologis bahwa OS LGBT sudah ada sama tuanya dengan usia keberadaan manusia di muka Bumi. Yang sekarang sudah diketahui adalah bahwa homoseksualitas juga ada pada 1.500 spesies hewan non-manusia. Ini lagi menunjukkan bahwa OS homoseksualitas adalah sunatullah.

Kapan manusia cerdas pertama muncul di muka Bumi? Menurut kitab suci tertua teisme (yakni Tanakh Yahudi), Adam dan Hawa adalah pasangan manusia pertama pria dan wanita yang diciptakan Allah langsung besar tanpa memiliki udel. Menurut literalis Katolik yang hidup di abad ke-17, uskup agung Almargh yang bernama James Usher, setelah dia menghitung-hitung hari-hari, kejadian-kejadian dan silsilah-silsilah yang dikisahkan dalam Alkitab (baginya Alkitab adalah sebuah kitab sejarah yang ajaib dan serba akurat), jagat raya atau “langit dan Bumi” diciptakan Allah persis pada hari Minggu tanggal 23 Oktober 4004 SM. Jadi, sekarang ini di abad ke-21 jagat raya baru berusia 6.000 tahun.

Sedangkan menurut sains modern, jagat raya kita yang tercipta lewat big bang sudah berusia 13,8 milyar tahun. Sistem Matahari kita sendiri sudah berusia 4,5 milyar tahun. Mikroba pertama muncul pertama kali di Bumi 3,7 milyar tahun lalu, yang selanjutnya berevolusi tahap demi tahap.

Nah, kalau pendapat James Usher diikuti, berarti Homo sapiens baru muncul di Bumi ya juga kurang lebih 6.000 tahun yang lalu. Atau kita bulatkan saja, baru muncul 10.000 tahun lalu.

Tetapi dari ilmu pengetahuan, yang memakai bukti paleo-DNA mitokondrial, kita tahu bahwa Homo sapiens muncul 300.000 tahun lalu di Afrika, bukan di Taman Eden di kawasan Mesopotamia 10.000 tahun lalu. Kalau kita telusuri sedikit jauh ke belakang, anekaragam hominid yang menjadi moyang terdekat Homo sapiens muncul 400.000 tahun lalu.

Nah, dengan memakai temuan sains ini, lebih jauh kita dapat katakan bahwa LGBT pasti juga sudah ada 300.000 hingga 400.000 tahun lalu, jauh sebelum kisah Nabi Lot ditulis. LGBT sudah ada sama tuanya dengan usia keberadaan Homo sapiens di muka Bumi, tapi baru dipelajari dan dikaji secara ilmiah di abad ke-20 M.

Dari tempat asalnya di Afrika, Homo sapiens HLGBT dulu sekali menyebar dan bermigrasi ke segala arah hingga akhirnya berada di seluruh muka Bumi, termasuk di tanah Arab di Timteng, juga di nusantara Indonesia dan di semua tempat lain di muka Bumi.

Jadi, pesan saya kepada para ideolog anti-LGBT, jangan anda picik memandang LGBT hanya milik Barat. Jangan karena kebencian pada Barat, anda, Mr. Macho, melampiaskan kebencian ini kepada kaum LGBT sebagai kompensasi dan demo kemarahan anda pada Barat. LGBT itu manusia, dan LGBT WNI itu sesama warganegara yang wajib kita dan pemerintah NKRI sayangi dan lindungi karena jumlah mereka sangat sedikit dan juga tak akan berkembang pesat selama puluhan tahun ke depan, dan karena mereka rentan dizalimi oleh kalangan hetero yang jumlahnya ratusan juta kepala.

Jadi tidak ada alasan atau basis ilmiah untuk orang kini memandang LGBT sebagai suatu gangguan mental yang perlu diobati atau orang LGBT dipandang rendah, sakit jiwa, atau dikutuk Allah.

Nah, sebagaimana ada banyak hetero yang sakit jiwa dan hidup tak setia pada satu suami/satu istri, hidup freesex, suka nonton pornografi urakan, suka pesta seks gila, terkena dan menularkan HIV/AIDS, depresif, mau bunuh diri, hal yang sama juga bisa terjadi pada LGBT. Jadi, dalam hal ini hetero tidak lebih unggul dari LGBT, khususnya LGBT tipe distonik.

Juga, sebagaimana banyak hetero berhasil jadi orang termashyur karena kecerdasan otak, kinerja dan prestasi mereka dalam berbagai bidang kehidupan dan pekerjaan, dan khususnya dalam dunia sains-tek dan senibudaya, hal yang sama juga terbukti bisa diberikan kaum LGBT kepada dunia dan umat manusia, sejak dulu hingga kini, khususnya LGBT tipe sintonik

Jadi, daripada melakukan usaha sia-sia dan tak ilmiah untuk mereparasi LGBT, hal yang jauh lebih diperlukan adalah menemukan para LGBT sintonik yang cerdas di matematika atau dalam IPA, lalu mereka dimotivasi dan diberi beasiswa untuk sekolah setinggi-tingginya hingga akhirnya mereka menjadi para ilmuwan dunia yang terkenal.

Kembali ke Tuhan. Dia juga sanggup mencipta hukum-hukum alam yang tak pernah habis yang diberinya kuasa untuk berjalan dan berlaku sendiri tanpa kendalinya lagi. Dia juga sanggup membiarkan hukum-hukum alam berkembang dan berproses sendiri apapun akibatnya bagi dunia dan semua organisme dan non-organisme penghuni seluruh alam yang tanpa batas.

Dia juga memberi kehendak bebas atau freewill kepada bukan hanya manusia dan organisme sentien tapi juga kepada hukum-hukum alam untuk bekerja sendiri sejalan dengan kehendak internal hukum-hukum ini, termasuk hukum evolusi “by natural selection”, termasuk juga hukum fisika dan hukum kimiawi yang bekerja dalam tubuh setiap organisme sehingga setiap organisme dapat terbentuk, mula-mula sebagai embrio, lalu lahir dan tumbuh dan berkembang makin matang secara ragawi dan mental.

Poin kedua. Menurut saya, orang yang eling dan sehat mental adalah orang yang mau hidup maju terus, makin modern, menuju peradaban yang makin besar, dari peradaban Bumi menuju peradaban sistem Matahari. Dalam peradaban tahap dua lanjutan ini, Homo sapiens yang sudah merancang sendiri evolusinya akan mendiami bukan hanya planet Bumi, tapi juga planet-planet dan bulan-bulan lain dalam sistem Matahari dan membangun peradaban baru mereka di sana. Hanya orang yang mengalami masalah mental berat yang tak mau maju atau malah tak mau hidup lagi. Juga orang yang bodoh atau lahir dengan mental terbelakang.

Kemajuan peradaban realitanya berlangsung di dunia Barat modern, sebuah model dunia yang orang di dalamnya umumnya terbiasa berpikir saintifik. Sudah melek sains. Telah bebas dari buta sains. Dunia ini adalah dunia Amerika, Kanada, Eropa Barat, Australia, Jepang, Korsel, Rusia (pasca perang dingin) dan mungkin juga India dll negeri kecil di Asia. Juga Israel. Dengan Iran, saya tak yakin.

Barangsiapa ingin maju dan menjadi modern dan mau ambil bagian dalam pembangunan peradaban sistem Matahari strateginya hanya ini: bersahabat dengan Barat dan belajar dan mencari dan menguasai sains-tek Barat. Menjilat pantat Barat hanya dilakukan orang yang berjiwa kerdil dan bermental pengemis. Hanya akan menjadi budak Barat.

Alternatifnya yang kontras ya ini: Tetap saling membunuh dalam perang atas nama ideologi agama seperti yang kini sedang berlangsung di gurun-gurun pasir mulai dari negeri-negeri Arab di Timteng hingga Turki antar sesama negara Islam aliran-aliran berbeda. Perangnya perang agama. Ironinya, yang diperangi satu sama lain adalah agama yang sama, Islam itu sendiri. Barat intervensi? Tentu saja.

Anda pilih alternatif yang mana? Bawa budaya perang dan radikalisme agama Timteng ke NKRI yang akan memporakporandakan negeri luas ini? Atau mempertemukan budaya Indonesia nusantara yang saya lihat jauh lebih unggul dari budaya Arab dan mengawinkannya dengan modernitas supaya NKRI bisa ikut serta dalam membangun peradaban yang makin modern dan makin luas di luar planet Bumi sebagai peradaban sistem Matahari?

Kita semua perlu melahirkan Albert Einstein Indonesia. Martin Luther King Indonesia. Bill Gates Indonesia. Mark Zuckerberg Indonesia. Max Planck Indonesia. Fabiola Gianotti Indonesia. Peter Higgs Indonesia. Stephen Hawking Indonesia. Mozart Indonesia. Celine Dion Indonesia. Ray Kurzweil Indonesia. Michio Kaku Indonesia. Elon Musk Indonesia. Steven Allan Spielberg Indonesia. NASA dan ESA Indonesia.

Orang yang eling, cerdas dan tak taklid buta pada agama pasti akan pilih alternatif bersahabat dengan dan belajar dari Barat. Penjilat pantat itu bukan sahabat, tapi akan nantinya berubah jadi musuh yang akan menikam dari belakang.

Nah ini hal lain lagi. Ada juga orang yang menyatakan kepada saya dengan rasa cemas bahwa gerakan kaum LGBT yang marak dewasa ini sebetulnya punya tujuan jangka panjang untuk merebut kendali dunia dari tangan kalangan hetero yang kini sedang mengendalikan dunia. Katanya, para hetero yang anti-LGBT khawatir negeri-negeri berpenduduk besar seperti RRC dan Indonesia yang sekarang dipimpin para hetero nantinya akan jatuh ke tangan kalangan LGBT.

Apa tanggapan saya terhadap orang yang saya harus nilai sedang terkena neurotisisme paranoia itu? Dari semula mereka pakai alasan agama, kini mereka menambah alasan politik (konspirasi) dalam menyerang kaum LGBT. Berikut ini tanggapan saya lebih jauh.

LGBT di dunia ini minoritas dan mereka juga tak bisa membuat yang hetero jadi LGBT, karena jadi LGBT bukan pilihan sendiri, tapi berbasis genetis dan biologis. Pengaruh lingkungan bisa ada, tapi jauh lebih lemah dibandingkan sunatullah gen dan biologi secara umum.

Lagi pula tidak ada gerakan LGBT yang bertujuan mau mengubah seluruh warga masyarakat jadi LGBT. Yang sangat mungkin terjadi malah sebaliknya: kalangan hetero yang berideologi anti-LGBT punya banyak kekuatan untuk memusnahkan LGBT bak seekor gajah dengan tapak kakinya yang besar dengan tenang dan mudah menginjak seekor semut sampai lumat.

Di seluruh dunia, LGBT itu minoritas, juga di Indonesia. Maksimal di NKRI saya perkirakan hanya ada 0,5 persen saja yang LGBT dari 270 juta kepala, dan hanya sedikit yang sudah “coming out”, terang-terangan menyatakan diri kepada publik bahwa mereka ada. Sisanya tetap silent and hidden.

Jadi hanya orang yang paranoid saja yang berasumsi bahwa kaum LGBT akan merebut seluruh kendali dunia.

Lagipula, dengan sains-tek reproduktif baru, para homoseksual juga bisa punya anak sendiri yang satu gen dengan mereka lewat sel-sel kulit mereka yang dengan bantuan gen SOX17 dapat diubah menjadi sel-sel pendahulu sel sperma dan sel telur yang dapat dipertemukan untuk menghasilkan janin manusia yang sehat. Anak-anak dari orangtua LGBT tidak otomatis akan jadi LGBT juga. Ada banyak faktor lain yang berperan yang akan membentuk OS mereka.

Jadi paranoia semacam yang dibeberkan di atas sebaiknya disembuhkan dengan si penderitanya datang berobat pada psikiater. Bukan LGBT-nya yang dibawa ke psikiater untuk direparasi.

Daripada jilat pantat dan terkena paranoia, mari kita nikmati es krim saja dengan lidah kita. Nikmat dan fresh.

Jakarta, 28 Feb 2016
Ioanes Rakhmat 
Sang Sunyi


Tuesday, February 23, 2016

Freesex, Playboys, Playgirls, dan... LGBT

Kasus pedangdut SJ yang kini (Februari 2016) sedang ditangani pihak kepolisian RI atas laporan seorang lelaki muda korbannya, kini sedang dijadikan dalih oleh banyak ideolog anti-LGBT. Kata mereka, itulah kebejatan moral para LGBT dengan mereka mengacu ke SJ yang sudah dikonfirmasi sebagai gay dan juga pedofilik. Dengan dalih ini mereka makin bertekad kuat untuk memerangi LGBT di Indonesia. 

Sejumlah orang bertanya kepada saya, Bagaimana nih Pak jadinya ke depan untuk kalangan LGBT?Berikut ini jawaban pendek saya. 
Sama seperti banyak hetero yang mata keranjang, pacaran di tempat umum dengan berlebihan, hidup freesex, suka pesta sex gila, suka narkotik, jadi playboys/playgirls, dan suka cari dan bersetubuh dengan PSK ganti-ganti, dari level kelas rendah hingga ke level kelas atas, dan banyak yang terkena HIV/AIDS, tentu ada juga LGBT yang berlebihan. Tapi sama seperti ada banyak hetero yang punya martabat dan kawin monogamis, begitu juga halnya dengan LGBT. Realistiklah dalam memandang dunia ini.
Jika ada rekan yang LGBT, jalanilah kehidupan anda dengan relaks, kalem, cerdas, happy, jangan mata keranjang, jangan suka freesex. Pilihlah satu saja mitra hidup sejati, setia sampai mati satu sama lain, dan kerja keras dan kerja cerdaslah untuk dapat income halal. Jika ini jalan hidup teman-teman LGBT, maka anda semua adalah LGBT yang punya self-esteem, punya harkat dan martabat diri. Apalagi jika anda punya IQ tinggi. Bangun dan kembangkan sains dan teknologi di negeri kita supaya lewat anda yang LGBT, Indonesia dapat menjadi negara maju yang mampu bersaing di arena global dalam dunia sains dan teknologi.


Saya dengan lembut menganjurkan semua LGBT dan para ideolog anti-LGBT membaca dua buku ini yang membeberkan peran besar dan bermartabat yang pernah disandang para LGBT sejak zaman kuno dan seterusnya. Buku pertama karya Allan Bérubé, Coming Out Under Fire: The History of Gay Men and Women in World War II (edisi kedua; Chapel Hill: University of North Carolina Press, 2010; edisi pertama 1990). Buku kedua karya Robert Aldrich dan Garry Wotherspoon, Who’s Who in Contemporary Gay and Lesbian History: From Antiquity to World War II (2 jilid) (London/New York: Routledge, cetakan pertama 2001). 

Jika kalian LGBT, katakan serentak dengan lemah-lembut, We are proud of being dignified and noble LGBT humans!

Jakarta, 23 Februari 2016 

Thursday, February 18, 2016

Menurut APA, kepercayaan keagamaan menjadi gangguan mental jika....



Lewat kajian yang cukup lama, 5 tahun, APA (American Psychological Association) akhirnya menyatakan sesuatu yang banyak orang selama ini mungkin sudah melihatnya dan juga sudah mengatakannya dengan jelas.

Menurut APA, jika iman dan kepercayaan seseorang kepada Tuhannya membuat orang itu tidak bisa mengambil keputusan yang benar, yang berlandaskan kesadaran moral dan akal sehat dan akal ilmiah, atas banyak soal penting dalam kehidupannya, orang itu harus dikategorikan sedang mengalami gangguan mental. Dalam sikon terkena gangguan mental ini, orang lain (seorang dokter misalnya) dapat mengintervensi untuk menolong orang itu demi kebaikannya dan kebaikan keluarganya. 

APA antara lain menyatakan hal ini:
According to the American Psychological Association (APA), a strong and passionate belief in a deity or higher power, to the point where it impairs one’s ability to make conscientious decisions about common sense matters, will now be classified as a mental illness.
Saya terjemahkan:
Menurut APA, suatu kepercayaan yang kuat dan sangat bergairah pada suatu sosok yang diilahikan atau pada suatu kuasa adikodrati, yang berakibat melumpuhkan kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan-keputusan yang sadar dan benar tentang hal-hal yang lazim menurut akal sehat, kini dapat digolongkan sebagai gangguan mental.
Juga ditulis,
The controversial ruling comes after a 5-year study by the APA showed devoutly religious people often suffered from anxiety, emotional distress, hallucinations, and paranoia. The study stated that those who perceived God as punitive was directly related to their poorer health, while those who viewed God as benevolent did not suffer as many mental problems. The religious views of both groups often resulted in them being disconnected from reality.
Terjemahannya ini:
Keputusan resmi yang kontroversial ini diambil setelah diadakan studi selama 5 tahun. Lewat studi ini ditemukan bahwa orang yang sangat taat beragama seringkali menderita rasa cemas, keresahan emosional, halusinasi, dan paranoia. Studi ini menyatakan bahwa orang yang memandang Allah sebagai Allah penghukum terkait langsung dengan kondisi kesehatan mereka yang lebih buruk, sementara orang yang melihat Allah sebagai Tuhan yang mahapemurah dan mahabaik tidak menderita banyak masalah mental sebanyak orang yang pertama. Pandangan-pandangan keagamaan dua golongan orang ini membuat mereka terputus dari dunia nyata.
Juga ditegaskan hal lain lebih jauh bahwa
Religious belief and the angry God phenomenon has caused chaos, destruction, death, and wars for centuries. The time for evolving into a modern society and classifying these archaic beliefs as a mental disorder has been long overdue. This is the first of many steps to a positive direction.”
Ini terjemahannya:
Kepercayaan keagamaan dan fenomena Allah yang murka dan geram telah menimbulkan banyak kekacauan, kehancuran, kematian, dan perang, selama berabad-abad. Waktunya sudah lama dinanti untuk umat manusia berevolusi masuk ke era modern dan menggolongkan kepercayaan-kepercayaan purba ini sebagai suatu gangguan mental. Ini adalah sebuah langkah pertama dari banyak langkah menuju arah yang positif.
Detail beritanya silakan anda baca sendiri di sini http://tmzworldnews.com/american-psychological-association-classifies-belief-in-god-as-mental-illness/.


 Holy wars are not holy at all!

Jika anda karena agama anda, anda menjadi orang yang lemah-lembut, kalem, relaks, penuh cinta kasih kepada semua manusia tanpa diskriminasi (karena alasan-alasan beda agama, beda aliran, beda orientasi seksual, dst), murah hati, toleran, cinta dan memperjuangkan kedamaian dan persaudaraan, selalu memakai akal sehat, dan cinta ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan dalam kehidupan, dan ikut berjuang mempertahankan kehidupan dan memajukan peradaban, dan terus-menerus makin cerdas dan makin tegar dalam segala suka dan duka, maka jangan khawatir, anda sudah beragama dengan sehat, benar dan cerdas. Anda tidak sedang menderita gangguan jiwa. 

Be happy, relaxed and smart in being religious. Berbahagialah, santailah dan cerdaslah dalam beragama. 

N.B. Berita di atas adalah sebuah satir/sindiranya sindiran yang kena dan dengan memakai argumen yang valid. Mungkin masih diperlukan waktu minimal 5 tahun lagi untuk APA dengan resmi dapat mengambil posisi seperti yang telah dibeberkan dalam satir di atas.

Ok, saya mau lanjutkan. Kenalkah anda dengan neurosaintis dari Universitas Oxford, Inggris, Ms. Prof. Kathleen Taylor? Dia di tahun 2006 pernah menulis sebuah buku yang sangat membantu saya dalam memahami hubungan fanatisme ideologis (religius dan non-religius) dan cuci otak (brainwashing) sebagai sebuah metode mengontrol pikiran orang. Bukunya ini berjudul Brainwashing: The Science of Thought Control (2006). Bukunya yang mutakhir juga sangat berguna dalam kajian fenomena keagamaan, berjudul The Brain Supremacy.

Dalam kesempatan ceramah di Hay Literary Festivals di Wales, 2 Juni 2013, Ms. Kathleen Taylor menyatakan hal berikut ini: 
One of the surprises may be to see people with certain beliefs as people who can be treated. Someone who has for example become radicalized to a cult ideologywe might stop seeing that as a personal choice that they have chosen as a result of pure free will and may start treating it as some kind of mental disturbance.”/*/
Saya terjemahkan:
Salah satu hal yang mengejutkan bisa jadi adalah melihat orang yang menganut kepercayaan-kepercayaan tertentu sebagai orang yang dapat diobati. Seseorang yang, misalnya, menjadi radikal saat dia masuk ke suatu ideologi kultiskita dapat tidak lagi memandangnya sebagai satu pribadi yang dengan kehendak bebasnya yang murni telah memilih sendiri apa yang dia telah pilih. Kita perlu mulai memandangnya sebagai seorang yang sedang terkena sejenis gangguan mental. 
Ms. Kathleen Taylor bukan saja mengarahkan pandangannya itu ke para radikalis Muslim, tetapi juga ke banyak praktek yang dilakukan orang Barat juga. Bacalah sendiri pendapat-pendapatnya yang mencerahkan di sini: http://m.digitaljournal.com/article/351347#ixzz40X9wLrlu.

Note:
/*/ Lihat Johnthomas Didymus, Religious fundamentalism could soon be treated as mental illness, Digital Journal, 2 June 2013, pada http://www.digitaljournal.com/article/351347#ixzz40X9wLrlu

Jakarta, 18 Februari 2016
ioanes rakhmat

Wednesday, February 17, 2016

LGBT dalam dunia hewan non-manusia


Biolog Dr. Bruce Bagemihl telah menulis sebuah buku yang berjudul Biological Exuberance: Animal Homosexuality and Natural Diversity (New York: St. Martin's Press, 1999). Pada masa itu, sudah ditemukan ada 450 spesies hewan non-manusia yang memperlihatkan perilaku homoseksual; bahkan digolongkan sebagai LGBT. Angka 450 ini termasuk ke dalam 1 juta spesies yang sudah dikenal di Bumi. Tetapi jika penelitian dikaji lebih jauh, Dr. Bagemihl memperkirakan akan ditemukan antara 15 hingga 30 persen spesies hewan non-manusia yang berperilaku homoseksual dalam aneka bentuk, bahkan juga sebagai organisme biseksual dan transgender. 

Data mutakhir tentang perilaku homoseksual dalam dunia hewan non-manusia dapat ditemukan dalam Wikipedia (dalam artikel yang berjudul “Homosexual Behaviour in Animals”). Ini saya kutipkan bagian kesimpulannya.
“Perilaku homoseksual pada hewan-hewan adalah perilaku seksual di antara spesies-spesies non-manusia yang ditafsir sebagai homoseksual atau biseksual. Ini mencakup aktivitas-aktivitas seksual, percumbuan, percintaan, berpasang-pasangan, dan peran sebagai sepasang induk, di antara pasangan-pasangan hewan sesama jenis seks. Riset-riset menunjukkan bahwa berbagai perilaku homoseksual ini ditemukan di semua dunia hewan. Sampai 1999, sudah terdokumentasi 500 spesies yang menjalankan pola kehidupan homoseksual, mulai dari primata hingga ke cacing-cacing dalam perut. Menurut tim pengorganisasi pameran Against Nature? di tahun 2006, perilaku homoseksual telah teramati ada pada 1.500 spesies.”
Apakah hewan-hewan non-manusia yang mencapai jumlah 1.500 spesies ini melanggar agama mereka atau melanggar hukum negara mereka ketika mereka mempraktekkan hubungan homoseksual? Ya jelas tidak! Jadi, harus disimpulkan, bahwa homoseksualitas juga bagian dari pemberian alam kepada kehidupan sehingga memberi variasi yang rimbun dan kaya dalam kehidupan seksual banyak organisme. Homoseksualitas itu alamiah, kodrati. Bukan penyakit. 

Dua pinguin homoseksual sedang memadu cinta....

Orang yang berideologi anti-LGBT sangat mungkin akan mencerca saya dengan mengatakan begini: Apakah jika LGBT juga ada dalam banyak spesies hewan non-manusia, itu bisa dijadikan sebuah pembenaran bahwa manusia juga boleh dengan bebas melakukan pedofilia, nekrofilia, dan inses?

Ini jawab saya: Tak usah lihat ke dunia hewan non-manusiapun kita sudah tahu pedofilia itu tindak kriminal, nekrofilia itu kelainan, dan inses itu dinilai tidak pantas (meskipun akibat-akibat negatif biologisnya pada keturunan belum ditemukan dengan pasti). Lain halnya dengan LGBT. Bukti saintifik makin bertambah bahwa orientasi seksual LGBT memiliki basis genetik biologis. Artinya, menjadi orang LGBT itu bukan permintaan mereka sebelum dilahirkan. Kodrat sebagai LGBT bukan kriminal dan juga bukan kelainan jiwa. Mereka sehat walafiat. Mereka hidup bisa happy dan teraktualisasi selama masyarakat menerima mereka dengan terbuka, tidak menekan jiwa mereka, dan tidak memberi stigma negatif.

Ok deh. Saya sedang mencari data yang lebih mutakhir lagi tentang homoseksualitas dalam dunia hewan non-manusia. Sementara ini, buku Bruce Bagemihl itu perlu dibaca oleh para ideolog anti-LGBT. Para ideolog anti-LGBT ini hendaknya tahu bahwa Dr. Bagemihl adalah seorang gay yang sudah sejak awal diakuinya dengan terus terang. Dia tidak sakit jiwa. Pikirannya sehat. Cerdas. Jenius. Bukunya ini, yang ditulisnya setelah 9 tahun melakukan riset lapangan, memberi banyak pengetahuan baru tentang zoologi dan perilaku seksual hewan-hewan. Jika sebagai heteroseksual anda mencemooh Dr. Bagemihl, tanyalah diri anda sendiri, prestasi keilmuwan apa yang anda sudah sumbangkan ke dunia sains. Nol besar, bisa jadi. 

Video youtube ini menampilkan Dr. Bruce Bagemihl menjelaskan ihwal perilaku homoseksual dalam dunia hewan non-manusia https://youtu.be/VUwza5Grxos.



Tuesday, February 16, 2016

Terapi LGBT ke heteroseksualitas sangat berbahaya!

Sekarang ini, terutama karena alasan perintah Tuhan dan juga karena tak punya pengetahuan yang benar tentang spektrum orientasi seksual LGBT, banyak pihak dengan paksa meminta kalangan LGBT untuk menjalani terapi re-orientasi atau terapi konversi atau terapi penyembuhan atau terapi reparasi untuk mengubah mereka jadi heteroseksual. Seolah bagi mereka, menjadi atau tidak menjadi LGBT itu hanya perkara memindahkan sebuah tuas atau memencet sebuah tombol saja, dari OFF ke ON atau sebaliknya.



Kalangan yang sedang memaksakan kehendak mereka kepada kelompok minoritas LGBT memandang orientasi seksual LGBT sebagai suatu penyakit yang harus disembuhkan, bahkan sebagai suatu gangguan jiwa, dan juga sebagai kutukan Tuhan seperti dulu orang memandang penyakit kusta. Tak sedikit dari antara mereka bahkan melihat orang LGBT sebagai orang yang sedang kerasukan setan. Mereka melihat manusia normal itu hanya manusia heteroseksual, lelaki dan perempuan, Adam and Eve, bukan Adam and Steve. LGBT kata mereka bukan ciptaan Tuhan meskipun, anehnya, mereka juga keturunan Adam dan Hawa.

Kalangan pembenci LGBT tidak tahu bahwa nyaris semua lembaga kesehatan yang diakui dunia dan nyaris seluruh pakar seksologi yang terkemuka sudah menemukan banyak bukti klinis lintasilmu bahwa LGBT sama normal dan sama sehat dengan orang heteroseksual. LGBT bukan orang sakit. Mereka sehat dan juga sama happy dan sama normal dengan kalangan hetero jika mereka hidup wajar sehari-hari dan tidak dibebani tekanan sosiopsikologis dan berbagai stigma negatif dari masyarakat heteroseksual.

Ilustrasi: Ritual eksorsisme atau pengusiran setan terhadap seorang gay


Bahwa terapi reorientasi atau konversi atau reparasi terhadap LGBT sangat berbahaya dan merusak mental dan daya hidup kalangan LGBT dan tidak berdasar pada ilmu pengetahuan yang lengkap tentang orientasi seksual, sudah dinyatakan dengan tegas oleh seluruh lembaga kesehatan dunia dan oleh para pakar medik dan pakar seksologi yang profesional. Pernyataan-pernyataan mereka dapat dibaca dalam artikel “The Lies and Dangers of Efforts to Change Sexual Orientation or Gender Identity”, yang dipasang pada website Human Rights Campaign./1/

Dalam artikel tersebut di atas, yang memuat banyak info ilmiah penting tentang LGBT, dimuat juga antara lain pernyataan ini:
Fakta terpenting tentang terapi reparatif, yang kadang juga disebut sebagai 'terapi konversi', adalah bahwa terapi ini didasarkan pada suatu pemahaman tentang homoseksualitas yang telah ditolak oleh semua profesional utama kesehatan umum dan kesehatan mental. American Academy of Pediatrics, American Counseling Association, American Psychiatric Association, American Psychological Association, National Association of School Psychologists, dan National Association of Social Workers, yang semuanya mencakup lebih dari 477.000 profesional kesehatan umum dan kesehatan mental, bulat berpendapat bahwa homoseksualitas bukan suatu gangguan mental, dan dengan demikian tidak memerlukan suatu penyembuhan.
Dalam artikel yang sama, kita baca tentang hasil penelitian lapangan yang dilakukan Universitas Negara San Francisco tentang kekuatan mental kalangan LGBT yang tertekan dan ditolak jika dibandingkan kalangan LGBT yang dapat hidup happy dan wajar dan diterima. Ditemukan fakta bahwa dibandingkan dengan kaum LGBT yang tidak ditolak oleh orangtua dan pengasuh mereka karena mereka memiliki identitas gay atau transgender, orang LGBT yang ditolak dengan kuat memiliki peluang kemungkinan 8 kali lipat untuk bunuh diri, nyaris 6 kali lipat menglami depresi berat, lebih dari 3 kali lipat menggunakan obat-obat terlarang, dan lebih dari 3 kali lipat kemungkinan terkena HIV dan STDs.   



Di negeri kita Indonesia, Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan baru saja, 12 Februari 2016, menyatakan bahwa kaum LGBT ada untuk diayomi dan dilindungi sebagai sesama WNI yang minoritas, bukan untuk dibenci, diusir atau dibunuh./2/

Juga perlu kita ketahui bahwa para pakar kesehatan dan seksologi bangsa kita sendiri, atas nama Depkes RI, di tahun 1993 sudah menyatakan bahwa homoseksualitas bukan suatu penyakit gangguan jiwa.

Tetapi jika ada kalangan yang memandang LGBT sebagai suatu abnormalitas, suatu gangguan jiwa, suatu kutukan Tuhan, saya dorong mereka untuk mendirikan banyak klinik terapi LGBT, jika memang kalangan yang anti-LGBT ini didorong oleh cinta kasih kepada LGBT. Lalu kita wait and see, akan adakah pasien yang akan dengan ikhlas, rela dan happy mau datang berobat, gratis sekalipun. Atau semua klinik mereka akhirnya terpaksa ditutup karena tidak ada satu pasien pun yang datang untuk berobat. Alhasil, pihak donor dari Timteng atau dari Amerika pun akan mencak-mencak keki banget setelah gagal ubek-ubek NKRI. Anda tak usah heran, soal pro dan kontra terhadap LGBT saat ini membuka banyak peluang bisnis yang akan segera dikelola aliran-aliran keagamaan fundamentalis yang akan mendapat topangan dana besar dari kalangan anti-LGBT di luar negeri.

Be happy. Smile. God loves all humans impartially.

Jakarta, 16 Feb 2016
Ioanes Rakhmat

N.B.: Artikel saya yang panjang, dan boleh dikata terlengkap, yang ditulis dalam bahasa Indonesia, tentang LGBT, terpasang di sini http://ioanesrakhmat.blogspot.co.id/2015/09/lgbt-agama-teks-alkitab-dan-pandangan.html. Baca dan sebarkanlah. Thank you. 

Notes

/1/ Lihat artikel rujukan “The Lies and Dangers of Efforts to Change Sexual Orientation or Gender Identity”, Human Rights Campaign, pada http://www.hrc.org/resources/the-lies-and-dangers-of-reparative-therapy.

/2/ Lihat Stefanus Yugo, “Luhut: LGBT Punya Hak, Harus Dilindungi”, RimaNews, 12 Februari 2016, pada http://nasional.rimanews.com/keamanan/read/20160212/261397/Luhut-LGBT-Punya-Hak-Harus-Dilindungi.