Belajarlah wahai insan-insan berakal
Pada patung-patung diam tertanam
Niscaya jiwamu akan tambah ikal
Akal dan hatimu akan makin menajam
Patung-patung berabab-abad membisu diam
Mereka setia hanya mendengar sabar
Mereka telaten hanya memandang tajam
Tak satupun dari mulut mereka kata terlontar
Patung-patung lain sekali dengan manusia
Sebelum mendengar cukup kata tertata . . .
Sebelum melihat luas dunia semesta . . .
Manusia sudah mengumbar berjuta kata
Kata-kata untuk menyerang
Kata-kata untuk membinasakan
Kata-kata untuk memarang
Diayunkan kuat memenggal korban
Ketika kau insan berakal menerjang patung
Kepala mereka kau buat buntung
Lengan-lengan mereka kau jadikan kudung
Sungguh akal muliamu lenyap tanpa gaung
Wahai insan yang mengaku berakal
Umurmu paling banter sepuluh windu
Apa yang kau telah lihat sekian kwartal?
Apa yang kau telah dengar hingga batas usiamu?
Pandang dan temukan apa yang ada
Dalam benak patung-patung di sana
Yang sudah berusia ribuan era di mayapada
Yang sudah mendengar berlaksa kata khazana
Wahai kau insan yang mengaku berakal
Saat kau umbar sejuta kata amarah membasmi
Hanya sehelai daun kering yang bergeser tak mental
Tapi kebisuan sang patung menggeser Bumi
Ternyata batu, besi dan kayu lebih mulia
Ketimbang daging, urat-gemurat dan tulang
Pada mulanya Tuhan menciptakan bukan manusia
Tetapi patung-patung indah gilang-gemilang
Patung-patung dicipta untuk dimenung renung
Hasil cipta dan karsa seni dan budaya adiluhung
Tak pernah mereka menjadi allah yang dijunjung
Hanya orang bebal yang akan geram pada patung
Hai Saudara, jadilah kawan karib patung-patung
Jadilah kau kekasih sejati patung-patung
Lindungilah mereka dan jangan kau pentung
Berkacalah pada sang patung supaya kau beruntung
Jakarta, 19 Mei 2015
ioanes rakhmat