Tangga menuju sorga di langit atas, tentu hanya ada dalam iman, alias ada hanya dalam angan-angan!
N.B. Baca juga Benarkah para saintis mempertuhan pikiran mereka?
Apa itu fideisme? Dari kata Latin “fides” (artinya: iman/kepercayaan) yang ditambah “isme”, fideisme adalah suatu sikap mental, sekaligus ide atau ideologi, yang menganggap iman keagamaan berada di atas segala-galanya, bahkan di atas semua fakta sains.
Orang yang bermental fideis, dalam setiap perbedaan pendapat, akan dengan kepala batu berkata, “Pokoknya gue mau percaya begini apapun kata loe! Pokoknya gue percaya iman gue paling benar, tidak pernah bisa salah, persetan dengan fakta-fakta ilmiah! Pokoknya gue mau percaya begini, apapun kata semua orang, sampai dunia kiamat, dan gue akan pasti ketemu Tuhan yang akan bela gue nanti!”
Jangan harap anda bisa mengubah mental dan pikiran setiap orang fideis. Tentu kita harus bersyukur jika seorang fideis berubah, menjadi terbuka pada pandangan-pandangan saintifik, dan menjadi ramah dan mau berdialog. Berubah tidak lagi nyinyir dan nyolot kalau bercakap-cakap dengan orang lain yang berbeda. Tetapi, mustahil berharap mereka akan berubah drastis seperti ini. Allah sendiripun yang mahatahu dan mahabijaksana bisa jadi sudah kewalahan dengan setiap fideis.
Apa itu saintisme? Kali ini, saya mau menyoroti saintisme dari sudut negatif yang dilihat para fideis, yang mereka pandang sebagai dogma sesat para ilmuwan. Saintisme dalam arti positif, yakni sebagai sikap dan pendirian yang konsisten ilmiah, sudah saya telaah di sebuah tulisan lain.
Dari kata Latin “scientia” (Inggris: “science”; artinya: ilmu pengetahuan, atau sains) yang ditambah “isme”, saintisme (Inggris: scientism) diartikan para fideis sebagai suatu sikap mental dan ide atau ideologi yang dianut para saintis, yang membuat para saintis bermental sama dengan mental para fideis dan memiliki asumsi yang sama dengan yang dipegang para fideis tetapi berlaku dalam dunia sains. Itu kata para fideis.
Kata para fideis, saintisme membuat setiap ilmuwan akan ngotot beradu mulut, demikian, “Pokoknya gue mau pegang kebenaran saintifik milik gue, apapun kata loe. Pokoknya gue mau percaya sains gue selalu tidak bisa salah, selalu paling benar dibandingkan hal-hal lain, sejak sekarang sampai dunia berakhir! Nanti gue akan ketemu sang Dewa Sains, dan sang Dewa ini pasti akan membenarkan gue!”
Adakah fideisme? Ada, dan merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari dalam dunia ini. Dalam masyarakat kita, para penganut fideisme ini petantang-petenteng berkoar-koar mempropagandakan dan memaksakan kepercayaan-kepercayaan mereka.
Adakah saintisme? Dalam realitas pasti tidak ada, sebab semua saintis tidak pernah akan menyatakan sains tidak bisa salah, apalagi sains yang mereka bangun sendiri. Lagi pula, tidak ada sains personal atau sains privat. Sains selalu milik jagat raya, dirumuskan oleh manusia-manusia cerdas untuk seluruh umat manusia dan dunia. Sains hanya tunduk pada bukti-bukti, dan akan berubah hanya jika bukti-bukti baru yang sudah dapat dipahami dengan benar, menyatakan lain. Sains selalu membutuhkan koreksi, membutuhkan falsifikasi dan verifikasi, dan hal ini membuat sains terus berkembang dan mampu menjelaskan makin banyak fenomena, mulai dari fenomena dalam dunia partikel sub-atomik, dalam dunia kehidupan banyak organisme, sampai dalam jagat raya tanpa batas.
Meskipun daya jelajah sains begitu luas, semua saintis akan dengan rendah hati menyatakan bahwa sains masa kini belum mampu untuk menjelaskan segala perkara dan segala fenomena, tetapi di masa depan akan dapat. Sains bukan menyerah menjelaskan, tetapi dengan rendah hati menunda menjelaskan, jika memang belum mampu menjelaskan. Di depan, hal-hal yang kini belum bisa dijelaskan, akan pasti bisa dijelaskan, sejauh para saintis mau terus bekerja keras dan bekerja cerdas untuk menyelidiki dan menjelaskan dan mengembangkan berbagai metode penyelidikan.
Jika ada hal-hal yang sudah bisa dijelaskan sains, yang sebelumnya para saintis belum ketahui, mereka dengan bertanggungjawab akan menjelaskannya kepada masyarakat dengan terang dan benar. Sifat para saintis ya itu, menjelaskan secara ilmiah, dan juga secara populer. “Obor-obor pencerahan kini bernyala di tangan para saintis, bukan lagi di tangan para filsuf.” Itu kata mahafisikawan Stephen Hawking.
Setiap saintis tentu memiliki komitmen dan konsistensi untuk terus bersikap dan berpandangan ilmiah dalam berhadapan dengan semua perkara dan semua fenomena dalam dunia ini. Bersikap selalu ilmiah, adalah sebuah kebajikan, yang jika dimiliki semua anggota masyarakat, peradaban kita akan terus berkembang, makin maju dan makin meluas. Tentu saja, kita semua, baik saintis maupun bukan-saintis, tahu, bahwa selain membutuhkan sains, kita dalam kehidupan sehari-hari juga butuh kesenian, butuh nonton film, butuh lihat pameran lukisan, butuh pacaran, butuh memadu cinta kasih, butuh kasih sayang, butuh berhubungan seks, butuh komunitas-komunitas sosial, butuh kepercayaan dari orang lain, butuh mempercayai orang lain dan berbagai hal lain, butuh membesarkan anak-anak kita, dan seterusnya; pendek kata, kita semua membutuhkan nilai-nilai kehidupan yang nyaris tanpa batas, yang membuat kehidupan kita terasa tambah bermakna dan penting dan berguna untuk kita jalani.
Karena komitmen mereka pada dunia sains, mustahil para saintis tiba-tiba berubah menjadi percaya pada paranormalitas atau pada takhayul-takhayul dan mitos-mitos kuno atau pada akidah-akidah keagamaan tanpa bukti. Tetapi jika keadaan buruk ini menimpa seorang saintis, maka otomatis gugurlah statusnya sebagai saintis.
Menggabung kata “sains” dan “isme”, hanya menghasilkan sebuah oxymoron, yakni gabungan dua kata/istilah yang bertentangan, sehingga membentuk sebuah istilah lain yang tidak ada dalam realitas. Contoh oxymoron: es krim bakar, kebisuan yang bising, segi tiga lingkaran, dukacita yang menguatkan, si takabur yang rendah hati, konglomerat yang miskin, es cair, api yang dingin, dan seterusnya.
Oxymoron banyak dipakai dalam retorika politik untuk menyerang lawan, dan juga sebagai metafora artistik atau sebagai ekspresi puitis, misalnya “malam yang terasa siang”, “kesedihanku membahagiakan hatiku”, “orang kecil yang besar”, “pikiran yang diam”, “Tuhan yang insani”, dan sebagainya.
Kenapa saintisme sebuah oxymoron? Karena yang dinamakan sains, tidak akan pernah menjadi sebuah ideologi, sebuah isme, yang diabsolutkan!
Tetapi saintisme bisa ada, yakni hanya dalam retorika politis para pembenci sains, para scientiafobik, yang ingin memuntahkan rasa muak mereka kepada para saintis dan dunia sains. Para fideis sering memakai retorika ini. Semoga para saintis tidak ada yang bermental fideis. Ya, saintis fideis juga sebuah oxymoron.
Tentu ada hal-hal yang dipercaya para saintis, misalnya mereka percaya bahwa sains adalah metode paling tepat untuk kita tiba pada kebenaran-kebenaran, bahwa segala hal akan bisa dijelaskan oleh sains secara bertahap dan kumulatif, bahwa sains berperan besar dan utama dalam membangun peradaban, bahwa sains akan memberi manusia kehidupan yang lebih baik dan lebih sehat, bahwa sains terbatas sekalipun batas-batasnya tidak pernah kita temukan hingga saat ini, bahwa hukum-hukum alam itu tidak bisa dibatalkan, bahwa sains akan terus berkembang, dan demokrasi dibutuhkan untuk sains bisa berkembang, dan seterusnya.
Para fideis dengan naif kerap menyatakan, bahwa sains juga dibangun dengan iman, tanpa bukti, lalu mereka menyebut aksioma dalam dunia sains sebagai iman, sama halnya dengan iman keagamaan. Ini sebuah kekeliruan besar para fideis. Tak bisa dimaafkan karena sangat memperbodoh.
Aksioma (= postulat) dalam dunia sains objektif ada, bisa digambarkan pada papan tulis atau pada monitor komputer anda. Misalnya, aksioma dari geometri bidang datar, yang antara lain menyatakan bahwa garis lurus adalah jarak terpendek dua buah titik pada bidang datar. Nah, para saintis tidak ada yang meragukan aksioma ini, tetapi hanya menerimanya benar, tanpa keraguan apapun. Apakah aksioma ini diimani saja? Sama sekali tidak. Anda bisa memperlihatkan kebenaran aksioma ini secara objektif pada papan tulis, dengan menggambarkannya sambil menjelaskan. Semua orang, di mana saja dan kapan saja, yang akalnya masih sehat, akan pasti menerima kebenaran aksiomatik ini, bahwa garis lurus adalah jarak terpendek dua buah titik pada bidang datar. Aksioma ini bukan iman, tapi fakta objektif.
Tetapi jika anda sebagai fideis percaya Tuhan itu ada, nah saya persilakan anda menggambarkan sang Tuhan ini pada sebuah papan tulis atau pada monitor PC anda, lalu, kalau anda bisa, cek apakah semua orang akan setuju bahwa gambar anda itu gambar Tuhan Allah. Jika betul itu gambar Tuhan Allah, semua orang di segala tempat dan di segala zaman pasti akan setuju. Ujilah sendiri! Dalam agama-agama tertentu (Yudaisme dan Islam), malah menggambarkan wajah Allah dinilai keras sebagai musyrik.
Orang Kristen punya Allah yang bisa digambar, yang bernama Yesus Kristus. Masalahnya, wajah Yesus yang telah digambar dan akan terus digambar, satu sama lain berbeda, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, dari satu etnisitas ke etnisitas lainnya, dari satu zaman ke zaman lain, dari satu tempat ke tempat lain; dan mereka semua tidak pernah sepakat bagaimana wajah Yesus yang sebenarnya. Bagi pemeluk agama Yahudi dan bagi umat Islam, menggambar wajah Tuhan Allah sebagai wajah Yesus yang beranekaragam itu, adalah suatu dosa syirik yang konon tidak bisa dimaafkan. Iman pada Allah sebagai Yesus Kristus, memang menimbulkan persoalan sendiri. Dalam kalangan Kristen sendiri, debat tidak pernah selesai, apakah Yesus Kristus itu manusia, ataukah dia itu Allah. Kenapa? Karena mereka, dan semua orang beragama, tidak punya kriteria objektif yang berlaku universal dan abadi, bagaimana atau siapa Allah itu. Ini terjadi, sebagian karena setiap bangunan teologi adalah juga bangunan psikologi subjektif si pembangunnya. Hati-hati, apa dan bagaimana Allah itu dalam pandangan anda, adalah juga apa dan bagaimana psikologi diri anda sendiri, juga ekologi dan sosiologi anda. Allah itu begitu dekat dengan anda; dia menyatu dengan kehidupan anda, tanpa anda duga sebelumnya.
Dalam politeisme kuno, tidak adanya kriteria objektif ini adalah salah satu penyebab muncul dan disembahnya banyak dewa dan dewi, dengan wajah masing-masing yang dilukis berbeda-beda, dan dengan sifat-sifat yang juga dipandang berlain-lainan. Saat monoteisme membuang dewa-dewi dan allah-allah lain, dan menggantikan mereka semua dengan satu Allah terbesar, problem juga tetap muncul: mereka hanya percaya Allah itu mahaesa, tapi mereka juga sama sekali tidak tahu wajah Allah mereka dan bahkan, karena memang mereka tidak tahu, ditulis larangan keras untuk menggambarkan wajah Allah yang mahaesa atau membuat patung Allah yang mahaesa. Dalam monoteisme, aktivitas seni lukis tentang dunia ilahi hilang dari kebudayaan manusia. Hilang? Oh, tidak juga! Dalam Islam, misalnya, aktivitas seni lukis wajah-wajah para dewa-dewi, diganti dengan aktivitas kaligrafi, sebab jiwa seni para Muslim juga mencari jalan-jalan untuk mendapatkan penyaluran. Sisi lainnya, karya-karya kaligrafis kerap malah juga dipandang suci, berwibawa ilahi, entah karena pesan-pesan karya-karya ini atau karena semua aksara Arab dipandang sebagai aksara-aksara sorgawi. Apapun juga, seni adalah bagian terpadu dari kemampuan luar biasa otak manusia, tidak bisa dihilangkan oleh siapapun. Tanpa seni, kehidupan ini bisa jadi akan sangat membosankan, dus akan sangat melelahkan. Friedrich Nietzsche menyatakan, “Tanpa musik, kehidupan ini akan menjadi suatu kekeliruan, suatu penderitaan, suatu pembuangan.”/1/
Kembali ke para saintis. Jelas sekali, meskipun ada cukup banyak hal yang dipercaya para saintis, mereka tidak percaya pada wahyu ilahi sebagai sumber sains, pada ritual-ritual keagamaan, pada kitab-kitab suci yang diabsolutkan, pada mitos-mitos kuno, pada syahadat-syahadat keagamaan, pada paranormalitas, pada mukjizat ilahi, pada takhayul-takhayul, pada jin-jin, dedemit, lelembut, roh-roh orang mati yang bergentayangan, dan setan-setan, pada sang Dewa sains yang tidak bisa salah, dan seterusnya. Mereka juga tidak membutuhkan gambar-gambar yang diklaim sebagai gambar-gambar wajah allah-allah dan dewa-dewi, meskipun tentu saja setiap saintis pasti menyukai lukisan-lukisan indah.
Jadi? Sains ya sains, tak pernah menjadi agama. Agama ya agama, tak pernah menjadi sains. Ada wilayah masing-masing yang berbeda, tidak usah dicampuraduk.
Kalaupun agama-agama mau menyumbang ke dunia sains, konsentrasi harus diarahkan ke bidang etika, bukan ke bidang sains itu sendiri. Semakin jelas kini bahwa dialog perlu diadakan antara para saintis dan para pakar etika berkaitan dengan banyak kajian dan temuan sains modern dewasa ini. Untuk dialog ini dapat berlangsung cerdas dan bermartabat, tentu saja para etikus harus memahami sains sebagai sains. Ini adalah tugas yang sangat berat buat para etikus, khususnya para etikus yang datang dari dunia agama-agama tradisional.
Jakarta, 22-11-2014
by ioanes rakhmat
Notes
/1/ Friedrich Nietszsche, Twilight of the Idols, Or, How to Philosophize With the Hammer (1st publication 1889; Indianapolis, Indiana: Hackett Publishing Company, 1997), hlm. vii (“Letter to Koselitz, 1/15/88”).