Kalangan ateis berpendapat bahwa adanya banyak penderitaan di dunia, terlebih lagi penderitaan yang tidak patut dialami anak-anak manusia, adalah sebuah bukti bahwa Tuhan tidak ada. Kalaupun Tuhan ada, fakta penderitaan menunjukkan Tuhan ini impotent, powerless, lemah dan tanpa daya, berhubung Dia tidak bisa melenyapkan penderitaan.
Kata mereka lagi, kalau Tuhan ada, dan Tuhan itu mahapengasih dan mahakuasa, mustinya semua penderitaan manusia telah dihapus dan dilenyapkan Tuhan sendiri. Karena Tuhan tidak menghapus penderitaan, niscaya Dia adalah Tuhan yang bukan saja lemah dan tidak berdaya, tetapi juga kejam dan jahat. Kekejaman dan kejahatan, dengan demikian, ada pada diri Tuhan sendiri.
Dus, para ateis bertanya: Jika Tuhan itu lemah dan tanpa daya, kejam dan jahat, mengapa manusia dengan sangat bodoh masih menyebut dan menyembah-Nya sebagai Tuhan, dan bahkan masih percaya Dia ada?
Trilema Epikurus
Filsuf Yunani Epikurus (341-270 SM), yang mendirikan mazhab filsafat Epikurianisme,/1/ adalah orang yang mengajukan penalaran logis yang sudah saya bentangkan pada beberapa alinea di atas, yang dikenal sebagai “Trilemma of Epicurus”./2/
Sayangnya, orang ateis yang selalu memanfaatkan trilema ini dalam apologetika mereka tidak pernah berpikir bahwa trilema ini lahir dari kesalahan dan kedangkalan berpikir, seperti saya akan perlihatkan tuntas di bawah ini.
Sebelum ke situ, baiklah saya sajikan sepersis-persisnya kata-kata Epikurus yang membangun sebuah trilema, sebagaimana dirumuskan David Hume (1711-1776) dalam karyanya Dialogues Concerning Natural Religion: Apakah Allah ingin mencegah kejahatan, tapi Dia tidak mampu? Jika begitu, maka Dia adalah Allah yang tidak mahakuasa. Jika Dia mampu, tetapi tidak ingin, maka Dia adalah Allah yang kejam. Apakah Dia mampu sekaligus ingin? Jika demikian, dari mana kejahatan datang?/3/
Trilema ini biasa disebut sebagai “problem kejahatan”, the problem of evil. Dalam teologi monoteistik, problem ini dinamakan problem teodise (bentukan dari dua kata Yunani theos yang berarti Tuhan/Allah dan dikÄ“ yang bermakna keadilan): Apakah Tuhan itu tetap penyayang, pengasih, mahaadil dan mahakuasa, sementara dalam dunia real banyak orang benar dan saleh harus terus-menerus menanggung kesengsaraan, kejahatan dan penderitaan berat dan Tuhan tidak menolong?
Setelah mengajukan trilema itu, Epikurus menutupnya dengan sebuah pertanyaan, “Jika Dia tidak mampu dan juga tidak ingin, maka mengapa masih memanggil Dia Allah?”
Dalam penilaian David Hume di abad ke-18, trilema Epikurus ini belum juga terjawab dan terpecahkan! Tulisan saya ini segera menjawab dan memecahkan tuntas, bahkan mempreteli habis, trilema ini. Dalam tulisan ini, problem teodise yang sudah sering saya telaah,/4/ saya buat RIP selamanya alias tamat. Teodise RIP.
Pertama-tama saya perlu menegaskan bahwa perspektif orang ateis yang dibangun di atas Trilema Epikurus sangat mengherankan. Sangat dangkal.
Apakah mereka, pertama-tama, tidak berpikir bahwa seandainya ateisme sudah dianut semua orang di muka Bumi (jumlahnya sekarang di tahun 2014, 7 milyar kepala lebih; di bulan November 2021 sudah mencapai 7,9 milyar, menurut Worldometer), dan Tuhan sudah dihapus dari kesadaran dan memori manusia, penderitaan dan kejahatan masih akan terus ada dalam dunia ini? Artinya, ihwal ada atau tidak adanya kejahatan dan penderitaan, tidak bergantung pada ada atau tidak adanya Tuhan.
Apakah mereka juga tidak berpikir bahwa untuk ateisme bisa menang di muka Bumi sebagai satu-satunya kepercayaan di muka Bumi (kepercayaan bahwa Tuhan tidak ada), mereka perlu membantai dan melenyapkan semua agama dan ideologi tandingan, dus mereka harus menciptakan perang sejagat atas nama ateisme untuk memenangkan ateisme?
Jika perang ini betul terjadi nanti (tentu saja, tidak akan pernah!), bukankah ini juga sebuah bukti kuat bahwa ateisme juga sebuah sumber ideologis kuat munculnya kesengsaraan dan penderitaan dalam dunia?
Banyak orang ateis yakin bahwa ateisme sebagai sebuah ideologi anti-Tuhan tidak akan menyulut perang di dalam dunia ini, tidak seperti agama-agama yang, kata mereka, sudah terbukti dalam sejarah dan dalam situasi masa kini kerap menimbulkan perpecahan, pertikaian, bahkan perang.
Mereka, khususnya kalangan pemeluk New Atheism, rupanya tidak menyadari bahwa perang kultural yang kini sedang mereka kobarkan terhadap agama-agama akan dengan mudah, di masa depan, jika situasinya sudah matang, berubah menjadi bentrokan fisik, yang tidak mustahil akan berubah pula menjadi perang terbuka. Kita tunggu dan lihat saja di depan! Hopefully not!
Apakah mereka juga tidak tahu, bahwa sebelum agama-agama muncul penderitaan sudah dialami manusia sebagai keadaan yang alamiah?
Dulunya, bagaimana?
Sejauh sudah ditemukan sains, agama tertua di planet Bumi ini baru muncul 70.000 tahun lalu di antara orang Basarwa, di Ngamiland, Bostwana, Afrika Selatan, yang memuja gambar seekor Ular Sanca besar yang diukir pada dinding sebuah goa sebagai sang pelindung mereka./5/ Sedangkan, spesies homo dengan anatomi tubuh modern, Homo sapiens, sudah muncul, juga di Afrika Selatan, jauh sebelumnya, yakni sekitar 300.000 tahun lalu./6/
Temuan mutakhir mtDNA hominin di Spanyol bahkan menempatkan kurun asal-usul moyang manusia lebih jauh lagi, yakni 400.000 tahun lalu./7/
Pada sekitar 45.000 hingga 60.000 tahun lalu barulah Homo sapiens dengan cepat bergerak, menyebar, keluar dari Afrika, lalu masuk ke segala penjuru benua-benua Eurasia, dan akhirnya memenuhi seluruh dunia./8/ Tetapi menurut kajian-kajian mutakhir, moyang manusia sudah bermigrasi keluar Afrika jauh lebih awal lagi, 130.000 tahun lalu, lewat rute utara, yakni lewat Mesir dan Sinai, lalu masuk ke segala penjuru Eurasia./9/
Kini para saintis dapat dengan mudah memperoleh genom populasi manusia kuno berhubung sekarang kita punya teknik sekuensing DNA yang murah dan teknik-teknik lab butik yang dapat dengan cermat memisahkan DNA kuno yang sudah berkondisi sangat buruk dari kontaminan-kontaminannya yang berasal dari zaman kita.
Dengan kemajuan pesat semacam itu, studi-studi mutakhir atas DNA-DNA manusia-manusia Eropa kuno yang diekstrasi dari 170 kerangka manusia yang ditemukan di negara-negara mulai dari Spanyol hingga Russia, melahirkan sebuah kesimpulan bahwa orang-orang Eropa masa kini adalah keturunan-keturunan dari tiga kelompok manusia yang berbeda yang bergerak masuk ke Eropa dalam kurun-kurun sejarah yang berbeda.
Tiga kelompok itu mencakup: Pertama, kelompok para pemburu yang hidup dengan memakan hasil buruan mereka (kelompok “hunter-gatherers”), yang tiba kurang lebih 45.000 tahun lalu di Eropa. Kedua, kelompok para petani yang tiba dari Timur Dekat kira-kira 8.000 tahun lalu. Akhirnya, ketiga, kelompok para penggembala nomadik dari Russia barat dan Ukraine, kawasan yang dinamakan Yamnaya, yang tiba kira-kira 4.500 tahun lalu. Diduga juga bahwa bahasa orang Yamnaya adalah bahasa induk dari semua bahasa percakapan yang dipakai orang-orang Eropa masa kini./10/
Dulu sekali moyang manusia berbicara dalam hati atau secara lisan kepada sosok-sosok MahaKuat yang tidak kasat mata atau yang kasat mata, baik yang dibayangkan hidup di antara mereka, atau yang dibayangkan berada di atas langit. Ritual-ritual keagamaan juga mereka jalankan dengan teratur sebagai cara untuk mengikat sosok-sosok ini dengan mereka. Pastilah, hal yang mereka pertama-tama pinta adalah kelepasan dan pembebasan dari berbagai penyakit dan aneka ragam bentuk penderitaan lain.
Dalam kehidupan sederhana moyang manusia, yang paling mereka butuhkan adalah hal-hal eksistensial yang paling mendasar. Menurut Abraham H. Maslow, dari lima (atau delapan) jenjang kebutuhan manusia, kebutuhan fisiologis-biologis (makan dan minum, udara, tidur, seks, tempat berteduh, kehangatan) dan kebutuhan keselamatan pribadi (perlindungan, keamanan, ketahanan, keteraturan, hukum, stabilitas, kebebasan dari ketakutan) berada pada dua peringkat yang paling dasar./11/
Nah, orang ateis hendaklah tahu bahwa Tuhan kemudian dikonsep justru untuk antara lain menyatakan bahwa manusia tidak perlu merasa terbuang dan disendirikan dalam mereka menanggung penderitaan. Ada sosok-sosok MahaKuat atau dewa-dewi atau TUHAN yang setia kepada mereka dan yang memahami betul penderitaan mereka dan yang mau menolong dan menyelamatkan mereka.
Jadi, teologi sebetulnya dibangun (mula-mula tentu sangat sederhana, tidak reflektif sistematik!) untuk mengobati duka, penyakit, dan luka batin manusia karena adanya penderitaan, bukan untuk menyatakan bahwa penyebab penderitaan adalah Allah atau bahwa Allah powerless dan kejam.
Kelihatan dengan jelas, orang ateis itu mau menyerang teologi, tapi tidak paham apa esensi teologi pada mulanya. Kaum ateis telah salah memahami, dan dengan memelas telah sesat berpikir.
Mereka tidak mampu berpikir bahwa Tuhan dikonsep justru, sebagai salah satu tujuan utamanya pada awalnya, untuk menguatkan orang yang sedang didera masalah berat. Tuhan bukan sumber penderitaan, tapi Sosok yang melawan penderitaan.
Jika orang ateis memandang Tuhan sebagai sumber penderitaan atau sebagai sosok yang tidak berdaya di hadapan realitas penderitaan, mereka telah melakukan kesalahan berpikir. Sesat berpikir, alhasil terlalu naif untuk mengatakan mereka pemikir yang tangguh.
Kodrat kosmologis
Mari kita masuk ke horison yang lebih luas. Kenapa kita menderita?
Salah satu hal pokok yang membuat kita merasa menderita adalah kenyataan bahwa kita mengalami kondisi eksistensial degeneratif.
Kita semula kuat dan sehat. Lambat laun kita menjadi makin lemah dan sakit-sakitan, makin parah, dan akhirnya mati, lenyap dari dunia orang hidup. Dari semula tubuh kita kuat dan gagah, perlahan berubah jadi lemah, renta, lisut, sakit-sakitan, ringkih, lalu berakhir di liang makam. Proses degeneratif ini kita jalani umumnya dengan disertai banyak keluhan, omelan, kemarahan dan ketidakberdayaan. Oh ya, tentu ada orang uzur yang pendiam.
Melihat dan memikirkan fakta-fakta itu saja, seperti konon dialami Pangeran Siddhartha Gautama, sudah membuat kita merasa sedih dan menderita, apalagi mengalaminya langsung. Dan jika kita punya banyak orang yang mengasihi kita, mereka juga ikut menderita ketika kita menderita. Melihat orang lain menderita karena kita menderita, menambah beban penderitaan kita.
Patut kita tahu, sementara orang ateis sekarang ini mengambinghitamkan Tuhan atas adanya penderitaan dalam dunia ini, Gautama Buddha dulu di zaman kuno (c. 563 SM - 483 SM) sedikitpun tidak melihat ke Tuhan apalagi mempersalahkan Tuhan.
Sebaliknya, sang Buddha memutuskan untuk merenungi sendiri dalam-dalam fakta adanya dukkha atau penderitaan, lalu dia bermeditasi cukup lama, sampai akhirnya dia tercerahkan, menemukan sendiri hal-hal apa saja yang menjadi sumber dan akar dukkha dan jalan-jalan untuk membebaskan diri sendiri dan orang lain dari dukkha. Harfiah, dukkha berarti rasa pedih dan sakit luarbiasa yang timbul dari ujung-ujung tulang yang patah yang menusuk dan menancap pada daging yang membungkusnya.
Penemuan-penemuan Gautama Buddha ini ditawarkannya kepada banyak orang, dan oleh para pengikutnya kepada dunia.
Menurut Gautama Buddha yang sudah mengalami pencerahan budi, ada Empat Kebenaran Mulia, yakni:
• Penderitaan itu ada
• Penyebab penderitaan itu ada
• Penderitaan dapat diakhiri
• Ada jalan untuk mengakhiri penderitaan
Jika empat kebenaran tersebut diterima dan dipahami seseorang, maka orang ini menjadi orang yang mulia, luhur dan agung.
Gautama Buddha menunjukkan Delapan Jalan Mulia untuk mengakhiri penderitaan, yakni:
• Berpandangan benar
• Berkeinginan benar
• Berbicara benar
• Bertindak benar
• Hidup benar
• Berupaya benar
• Berkesadaran benar
• Berkonsentrasi benar
Jika seseorang dapat dengan sungguh-sungguh menjalankan delapan jalan tersebut, orang ini menjadi mulia, agung dan luhur, dan penderitaan, meski tetap dialami, tak berkuasa lagi atas dirinya.
Jadi, pertanyaan yang muncul adalah: Apakah fakta adanya penderitaan harus dihubungkan dengan Tuhan, lalu oleh para ateis dijadikan dasar untuk menyatakan Tuhan tidak ada, atau Tuhan itu lemah dan kejam dan karenanya tidak perlu dipercaya?
Ya, itu argumen klise kalangan ateis yang sebetulnya sangat lemah dan keliru, dan memperlihatkan bahwa mereka tidak punya horison semesta dalam memandang kehidupan ini. Maksud saya berikut ini.
Lahir, usia muda, perkasa, lalu menua, lemah, loyo, lansia, sakit-sakitan, lumpuh lalu berakhir dengan kematian, adalah fakta kosmologis yang sudah berlangsung bermilyar-milyar tahun lalu, hingga sekarang dan akan terus demikian selama jagat raya masih ada dan selama evolusi jagat raya berlangsung terus tanpa batas, bersiklus ad infinitum.
Beberapa ratus ribu tahun setelah terciptanya jagat raya lewat peristiwa fisika, yang dinamakan big bang (terjadi 13,8 milyar tahun lalu), mulailah terbentuk unsur-unsur elementer yang akhirnya membentuk galaksi-galaksi. Di dalam galaksi-galaksi ada bintang-bintang, planet-planet, puing-puing antariksa, dark matter, dark energy, berbagai radiasi, plasma, gelombang gravitasional, suara bising, nebulae, dll, dan pada inti setiap galaksi terdapat sebuah lubang hitam (black hole).
Nah, saat dilahirkan, semua unsur galaksi dan galaksinya sendiri berusia belia, dengan kekuatan yang juga hebat dan perkasa. Tapi ketika waktu terus berjalan ke depan, semuanya makin tua, lalu akhirnya ada yang akan menjadi benda-benda mati, atau, terkait dengan bintang-bintang, berubah menjadi white dwarf setelah sebelumnya menjadi Red Giant, atau meledak sebagai supernova(e).
Itu terjadi bukan hanya untuk benda-benda inorganik, tapi juga untuk benda-benda organik, misalnya kehidupan, baik bentuk kehidupan yang sederhana sekali (bersel tunggal, contohnya bakteri atau eukariota) maupun bentuk kehidupan yang bersel majemuk (multiselular). Kehidupan dan benih-benihnya ada di mana-mana, dalam berbagai bentuk dan sifat, mengisi seluruh ruang kosmos. Ini dinamakan panspermia.
Bentuk-bentuk kehidupan ini secara alamiah mengalami masa kelahiran, kanak-kanak, remaja, pemuda, lalu mulai menua, sampai akhirnya mati.
Fakta lahir, usia muda, lansia, lalu mati, sudah berlangsung bermilyar-milyar tahun yang lampau, jauh sebelum Bumi dan sistem Marahari kita terbentuk 4,5 milyar tahun lalu. Dan akan terus demikian sampai, milyaran tahun dari sekarang, jagat raya kita mencapai titik jenuh pengembangannya. Di momen itulah, jagat raya akan menciut lagi yang mengakibatkan semua isi jagat raya bertabrakan satu sama lain sebagai bencana-bencana kosmis mahadahsyat, lalu akhirnya mengerucut, kembali ke kondisi awal yang dinamakan “singularitas” big crunch.
Jika momennya sudah tiba, singularitas ini akan mendentum kembali sebagai “big bang” baru yang akan memulai kembali kelahiran jagat raya. Demikian seterusnya, limitless, ad infinitum, jagat raya mengulang kembali siklus kelahiran, pengembangan, penuaan, dan kebinasaan.
Lahir, kanak-kanak, muda, tua, loyo, sakit, lalu binasa, adalah hukum alam yang abadi. Tidak ada yang bisa menghentikannya.
Begitu juga, keteraturan, kekacauan, kehancuran, kebinasaan dan kepunahan, adalah fakta-fakta kosmik yang sudah ada sejak jagat raya ini tercipta dan terus berevolusi.
Entropi dalam semua sistem
Nah, tanpa ada Tuhan pun (sebagaimana diyakini orang ateis), evolusi jagat raya dari kelahiran, keteraturan, kekacauan, sampai kebinasaan dan kepunahan, sudah berlangsung, dan akan terus berlangsung.
Jangan lupa, dalam kosmologi sekarang, khususnya menurut teori dawai atau string theory dalam fisika, ada bukan cuma satu jagat raya (the universe), tapi ada banyak jagat raya paralel yang dapat ada (the multiverse).
Dasar fisika atas kondisi makin merosotnya jagat raya dan semua bentuk kehidupan, sampai akhirnya mengalami kekacauan sistemik, lalu disusul kebinasaan dan kepunahan, ada pada Hukum Kedua Thermodinamik dalam apa yang dinamakan entropi dalam semua sistem.
Apa itu entropi dalam Hukum Kedua Thermodinamik? Istilah “entropi” diciptakan oleh fisikawan Jerman yang bernama Rudolph Clausius tahun 1865.
Entropi adalah potensi chaotic, potensi disorder, yang, sejalan dengan waktu yang bergerak linier ke depan, makin lama makin besar dalam semua sistem sampai akhirnya sistem ini berantakan, berhenti bekerja lalu luruh dan punah.
Semua sistem, termasuk sistem biologis tubuh kita, juga sistem jagat raya, tunduk pada Hukum Kedua Thermodinamik: potensi entropi makin meningkat seiring perjalanan waktu.
Waktu yang melesat ke depan membuat segala sesuatu, segala sistem, yang biologis dan yang nonbiologis, menjadi tua, uzur, lalu berantakan, dan akhirnya binasa dan punah. Ini hal yang niscaya, tidak lain karena bekerjanya entropi atau the arrow of time, dengan energi penghancur yang makin besar.
Apa yang kita alami di Bumi sebagai fakta kelahiran, keteraturan, kekacauan, sampai kematian, adalah hal lumrah dalam jagat raya kita, sejak sistem Matahari, dengan Bumi di dalam sistem ini, terbentuk 4,5 milyar tahun lalu.
Manusia (Homo sapiens, artinya: organisme cerdas, organisme arif yang mampu bernalar) baru muncul kurang lebih 300.000 tahun lalu di Afrika, sementara bentuk kehidupan bersel tunggal di planet ini muncul 3,5 milyar tahun lalu. Fakta lahir dan lenyap ini sudah dialami dan dirasakan oleh bentuk-bentuk kehidupan yang sederhana sejak 3,5 milyar tahun lalu.
Hanya organisme cerdas sentien Homo sapiens yang memiliki kemampuan merenungi, memikirkan dan mengabstraksi dan mencari makna atas fakta-fakta kemerosotan dan kepunahan itu. Mulailah Homo sapiens merasakan penderitaan besar karena fakta-fakta ini, lalu mencari sebab-musabab dan jalan-jalan mengatasinya, lewat berbagai cara dan sarana.
Homo sapiens tertua tidak berpikir bahwa fakta-fakta penderitaan ini terkait dengan sosok Tuhan apapun, karena agama saat itu belum muncul, belum dikonsep. Agama tertua muncul di planet Bumi baru 70.000 tahun lalu di Afrika Selatan. Dus, usia agama masih sangat muda. Inipun bukan agama teisme, tapi agama-agama alam. Usia teisme sendiri di bawah 3.000 tahun, jauh lebih muda lagi.
Jadi, adanya penderitaan (mulai dari kelahiran sampai kebinasaan) yang dapat muncul karena berbagai sebab adalah bagian integral dari struktur dan kodrat kosmos itu sendiri. Sudah berlangsung sejak jagat raya ini terbentuk 13,8 milyar tahun lalu dalam bentuk lahir dan lenyapnya unsur-unsur jagat raya dan berbagai bentuk kehidupan. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan ada atau tidak adanya Tuhan, artinya tidak terkait baik dengan teisme maupun dengan ateisme.
Anda bertuhan atau tidak, teis ataupun ateis atau pun agnostik, anda pasti akan mengalami apa yang kita rasakan sebagai derita dan duka. Kesengsaraan dan duka sewaktu-waktu menerjang siapa saja, setiap orang, tanpa pilih bulu. Jika anda berpikir bahwa dengan menjadi ateis, anda akan sama sekali luput dari penderitaan, anda sedang bermimpi. Bangunlah segera! Cuci muka, sikat gigi lalu sarapan pagi!
Menyusun metafora
Nah, ketika berbagai bentuk teisme muncul, barulah dikonsep berbagai metafora teologis untuk menjelaskan dan memaknai fakta adanya penderitaan ini, to make sense the reality of suffering. Inilah salah satu tujuan mengapa teologi atau agama-agama dibangun. Berbagai teologi bermunculan. Sangat kaya. Kreatif. Enjoyable. Itulah dunia metafora, dunia kisah-kisah teologis.
Apa itu metafora (kata Yunani yang dibentuk dari dua kata meta dan ferein)?
Sebagaimana sudah sering saya jelaskan dalam berbagai kesempatan, metafora adalah suatu medium linguistik (juga ada yang non-linguistik) yang manusia bangun untuk mengungkapkan dalam bahasa insani sehari-hari hal-hal yang tidak dapat diekspresikan (inexpressible) atau hal-hal yang tidak dapat dipahami (inexplicable) supaya orang kebanyakan dapat masuk ke dalamnya, memahaminya dengan gamblang dan menjalaninya dengan kreatif.
Lewat media metafora, baik yang sastrawi maupun yang nonsastrawi, anda menyeberang (Yunani: ferein) dari dunia kodrati sehari-hari, masuk ke dunia nilai-nilai yang lebih tinggi yang melampaui atau yang mentransendir (Yunani: meta) dunia nilai-nilai kodrati yang biasa.
Lewat metafora, hal-hal yang termasuk kawasan adikodrati, dunia adinilai, dunia transenden yang terlalu besar, diseberangkan sehingga masuk ke dalam dunia kodrati kita dan dirayakan oleh insan-insan kodrati. Atau, sebaliknya, lewat metafora, kita menyeberangi dunia kita, this world, lalu masuk ke kawasan the otherworld, yang melampaui dunia sehari-hari kita.
Tanpa metafora, hal-hal yang transenden, hal-hal yang luarbiasa besar, yang melampaui pemahaman dan pengertian kita, kawasan adinilai, tak akan bisa kita bayangkan dan rasakan lewat mekanisme kognitif insani kita.
Karena agama-agama mengklaim mengungkapkan hal-hal yang tak terungkapkan atau yang tak terpahami dalam dunia transenden, dunia adinilai, sosok Tuhan misalnya, maka agama-agama memakai banyak metafora untuk menyampaikan pesan-pesan dari “dunia atas” (ini sebuah metafora) kepada manusia yang hidup di “dunia bawah” (ini juga sebuah metafora).
Carolyn Jane Bohler menyatakan bahwa meskipun metafora-metafora tentang Tuhan bukanlah deskripsi-deskripsi formal, tidak ada jalan bagi kita untuk memikirkan Tuhan tanpa menggunakan metafora-metafora./12/
Tentu kita sudah tahu bahwa pesan-pesan keagamaan berada dalam wilayah nilai-nilai (values), yang mencakup nilai-nilai moral, kognitif, afektif, estetis dan artistik, eksistensial sapiensial, dan juga nilai-nilai yang bersumber dari ilmu pengetahuan, bukan berada dalam wilayah fakta-fakta atau teori-teori ilmiah. Wilayah fakta-fakta sains, ya wilayah para ilmuwan yang sudah mengecap pendidikan sangat lama dan sudah sangat terlatih.
Sebagai media atau wahana penyampai nilai-nilai, setiap metafora tidak bisa atau tidak perlu diverifikasi atau difalsifikasi secara empiris (misalnya dengan menggunakan kamera, teleskop, mikroskop, stetoskop, persamaan matematis, atau rumus-rumus fisika). Setiap metafora hanya bisa dinikmati, dirasakan, dihayati, dirayakan, diapresiasi, ketika membentuk moralitas, suasana batin dan pikiran, serta sifat dan kelakuan manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Metafora-metafora, seperti halnya pengasuhan dan pendidikan, adalah bagian dari faktor-faktor environmental yang ikut membentuk diri kita, selain faktor-faktor genetik dan epigenetik.
Ada metafora yang bisa dipahami dan diterima secara literalistik/harfiah, ada juga yang tidak bisa. Kebanyakan metafora tidak bisa dipahami dengan harfiah, dan harus dipahami secara figuratif dalam konteks kisah-kisah dan dalam konteks sosioreligius, sosiobudaya dan historis para penyusun metafora-metafora.
Ada metafora yang bagus dan bermanfaat untuk kehidupan dan peradaban; ada juga metafora yang tidak bagus dan tidak bermanfaat untuk kehidupan dan peradaban. Ada metafora yang berdampak positif pada pikiran, batin dan kelakuan manusia, ada yang berdampak negatif pada pikiran, batin dan kelakuan manusia. Ada metafora yang relevan dan ada yang tidak relevan dengan konteks sosiobudaya dan ekologi kita sendiri. Jadi, tidak semua metafora harus kita terima. Kita perlu selektif, berpengetahuan dan arif.
Kita harus pandai-pandai menyeleksi metafora. Karena kanak-kanak umumnya suka dengan berbagai metafora, hidup dalam dunia metafora, mereka harus dengan arif didampingi dan dibimbing supaya mereka juga bisa menyeleksi metafora dan mengambil hanya nilai-nilai metaforis yang bermanfaat buat kehidupan mereka kini dan di masa depan.
Jangan sampai metafora Superman membius dan menutup akal sehat anak-anak, yang dapat membuat mereka terjun dari lantai dua puluh empat apartemen mereka karena bermaksud terbang ke bawah dengan memakai kostum sosok hebat khayalan ini.
Ada metafora yang dengan pasti kita ketahui sebagai fiksi, dan ada yang boleh dikata faktual, dan ada yang merupakan percampuran fiksi dan fakta, gabungan mitos dan sejarah, perpaduan kisah teologis dan kisah sejarah.
Metafora Unicorn atau metafora Sinterklas atau metafora Spiderman atau metafora Doraemon, misalnya, sudah pasti fiksi semuanya. Kepastian ini sama sekali tidak perlu diperdebatkan. Hanya orang yang sudah tidak punya akal sehat atau yang kemampuannya memilah mana fakta dan mana fiksi sudah tidak ada lagi, akan selalu memperdebatkannya.
Hanya orang yang sudah tidak waras, akan meminta anda memberi bukti empiris bahwa Sinterklas atau Unicorn atau Spiderman atau Doraemon tidak ada dalam dunia real. Lebih rusak lagi, kalau mereka menyatakan bahwa memperdebatkan apakah Unicorn atau Sinterklas atau Spiderman atau Doraemon itu fiksi atau fakta, adalah kegiatan ilmiah.
Ihwal keberadaan Tuhan
Tetapi metafora teologis Tuhan, atau metafora teologis tentang dunia transenden atau kawasan adinilai, sekian kali harus saya katakan, tidak bisa kita yakini dengan mutlak sebagai fiksi. Apa alasannya saya menyatakan demikian?/13/
Alasannya adalah sains hingga kini belum dapat prove atau disprove keberadaan Allah atau keberadaan dunia supernatural. Dalam hal ini, posisi agnostik adalah posisi yang paling mungkin, sementara ini.
Seorang agnostik menolak menjawab dengan mutlak-mutlakan apakah Tuhan ada atau tidak ada. Mereka menghindari pemutlakan-pemutlakan, tetapi serius dengan hal-hal yang terkait dengan kawasan-kawasan transenden yang memiliki dimensi-dimensi yang terlalu besar untuk tuntas dipahami dan ditangkap pikiran manusia yang terbatas dan terus bergerak maju dengan dinamis.
Perkembangan-perkembangan belakangan dalam fisika quantum memperlihatkan (lewat studi Max Planck dan David Bohm, misalnya) bahwa dalam dunia mekanika quantum partikel-partikel subatomik memiliki baik materi (aspek materi partikel) maupun semacam “proto-kesadaran” atau “freewill” (aspek gelombang dari partikel). Dalam dunia subatomik ini, materi dan nonmateri muncul serentak. Ini membuka kemungkinan di masa depan sains akan menemukan bahwa dimensi materi dan dimensi nonmateri dari realitas, atau dunia imanen dan dunia transenden, bertumpang-tindih atau berpotongan.
Wilayah interseksi materi dan nonmateri ini bisa jadi adalah wilayah yang hingga saat ini menjadi wilayah agama-agama. Lewat ilmu pengetahuan, kita jadi tahu bahwa dunia nonmateri sama sekali bukanlah dunia gaib, tetapi menjadi bagian dari jagat raya sendiri, yang dimulai dari dunia subatomik. Kita bisa menyebut dunia nonmateri ini sebagai dimensi nonmateri dalam jagat raya.
Jangan jauh-jauh. Dalam diri kita sendiri nonmateri pikiran tidak bisa dipisah, meski dapat dibedakan, dari materi organ biologis otak.
Mana yang sebetulnya terjadi, pikiran yang membuat otak berfungsi, atau otak yang membuat pikiran, the mind, muncul? Ini suatu topik yang hangat diperdebatkan, baik dalam debat keilmuan, maupun dalam debat filosofis. Apapun juga, materi abu-abu otak manusia tidak dapat dipisahkan dari nonmateri pikiran, dan juga sebaliknya.
Jadi, posisi teis atau posisi ateis sama sekali tidak bisa dimutlakkan sebagai posisi paling benar. Keduanya bergerak masih dalam wilayah kepercayaan, wilayah agama. Yang satu kepercayaan atau agama yang percaya pada Tuhan yang supernatural (kepercayaan teisme); dan yang satu lagi kepercayaan atau agama yang tidak percaya pada Tuhan yang supernatural (kepercayaan ateisme). Keduanya hingga saat ini masih belum dapat di-prove atau di-disprove, belum dapat diverifikasi atau difalsifikasi.
Problem besarnya adalah sementara teisme dengan jujur mengakui diri sebagai agama, ateisme diklaim para penganutnya sebagai posisi ilmiah. Kalau anda masih memiliki kejujuran dan kerendahan hati, anda yang ateis mustinya celik sehingga bisa melihat bahwa ateisme juga masuk ke wilayah agama tanpa Tuhan supernatural.
Alhasil, agnostisisme niscaya adalah pilihan yang paling cerdas: hingga saat ini kita tidak bisa mengetahui dengan mutlak apakah Allah atau dunia transenden itu ada atau tidak ada. Saya cenderung mendukung posisi agnostik ini, sambil tetap bersikap open-minded terhadap segala kemungkinan yang akan dicapai iptek modern di masa depan.
Kecenderungan saya itu dibangun atas dua premis, yang lalu saya padukan, dan melahirkan suatu spiritualitas.
Premis atau dasar pemikiran pertama bercorak teologis: Tuhan itu mahatahu, dus Tuhan adalah sumber segala pengetahuan, termasuk ilmu pengetahuan.
Premis kedua, ilmu-ilmu pengetahuan tidak akan pernah tiba di titik ujung atau di garis finish, tetapi terus bergerak progresif ke depan, tanpa akhir, lewat dialektika, sehingga pengetahuan-pengetahuan manusia akan terus terakumulasi, berkembang maju, dan akan makin integratif dan menyatukan atau unifying.
Nah, dua premis itu berkonvergensi dalam satu koridor kesimpulan: para ilmuwan yang bekerja konsisten dengan kecerdasan mereka, berkolaborasi lintaszaman dan lintasgeografis, adalah para sahabat Tuhan yang mahatahu, para rekan sekerja Tuhan, para pelayan Tuhan, yang lewat ilmu-ilmu pengetahuan sebagai jalan-jalan agung sedang berjalan tanpa akhir menuju Tuhan yang mahatahu, sang Sumber segala pengetahuan dan kearifan.
Itulah yang saya namakan spiritualitas saintifik: beriman pada Tuhan yang mahatahu sekaligus terus-menerus mengembangkan kecerdasan dan ilmu pengetahuan. Jadi, konfrontasi dikotomis antara iman-agama dan akal, kecerdasan dan ilmu pengetahuan, sudah saya atasi dan lampaui. Dengan begitu, cerdas beragama itu suatu keniscayaan. Lihat ilustrasi yang saya susun di bawah ini.
Belief system
Kalau Tuhan dalam teisme dipandang sebagai nilai tertinggi (the highest value), maka mustinya dalam ateisme ada pengganti nilai tertinggi ini. Para ateis sendiri yang harus menjawab, apa nilai tertinggi dalam kepercayaan ateisme mereka. Saya lihat, posisi nilai tertinggi ateisme ya ideologi ateisme sendiri.
Orang ateis, dus, percaya pada kepercayaan ateisme mereka. They believe in their belief system named atheism. Posisi ini tentu saja narsis. Mereka terkesima dan jatuh cinta pada belief system mereka sendiri yang mereka lihat begitu tampan.
Kaum teis hemat saya lebih maju dan tidak narsis: orang teis percaya pada Tuhan supernatural, bukan pada belief system mereka sendiri. Tuhan supernatural ini melampaui teisme sendiri; teisme adalah wahana metaforis yang menunjuk ke entitas yang lebih tinggi, yakni Tuhan supernatural. Teisme adalah sebuah wahana antariksa yang membawa anda ke planet Mars, tetapi bukan planet Mars itu sendiri!
Tapi sayangnya, ada banyak orang teis yang menyamakan agama mereka sebagai wahana dengan Tuhan sebagai tujuan mereka berkendara. Agama ya Tuhan, dan Tuhan ya agama. Jadinya, kecelakaan juga terjadi dalam teisme: mereka juga percaya pada sistem kepercayaan mereka. Jika begitu, sama narsisnya dengan orang ateis. Mereka jatuh cinta dan terpana pada belief system teisme mereka sendiri, yang mereka persepsi sangat tampan dan jelita tak ada taranya.
Tapi, ingatlah, sangat banyak penganut teisme yang tidak narsis. Mereka sadar penuh dan menerima dengan kalem bahwa Tuhan yang mahatahu dan yang mahabesar tidak bisa disamakan dengan agama apapun.
Tuhan dan Kemalangan Manusia
Kembali ke topik derita dan duka. Nah, anehnya, meskipun para ateis yakin bahwa Tuhan itu tidak ada, mereka kerap dengan nada mengolok-olok mendesak kaum teis untuk menyusun teologi tentang Tuhan yang sanggup menghapus semua penderitaan dalam dunia ini supaya terbukti Tuhan ini tidak lemah dan tidak kejam, dan karenanya dapat dipercaya dan layak disebut Tuhan.
Ternyata orang teis jauh lebih cerdas dari kaum ateis. Kaum teis akan menyatakan kepada para ateis demikian: “Tuhan yang menghapus seluruh penderitaan dalam dunia adalah Tuhan kamu, Tuhan para ateis, bukan Tuhan kami, kaum teis. Bagi kami, berhubung kami tahu penderitaan adalah bagian dari struktur dan kodrat kosmologis, yang sudah ada jauh sebelum agama teisme disusun, teologi semacam yang dituntut kalian, para ateis, adalah teologi isapan jempol kaum ateis. Bukan teologi itu yang kami butuhkan! Kami mencari dan membangun metafora-metafora teologis yang lain!”
Pada pihak lain, jelas orang ateis tidak melihat bahwa jika Tuhan harus menghapus seluruh penderitaan dalam dunia ini, seperti yang mereka dan juga Epikurus tuntut, itu berarti Tuhan juga harus melenyapkan seluruh jagat raya, sebab penderitaan adalah bagian dari struktur dan kodrat jagat raya sendiri. Selama masih ada jagat raya, selama itu pula penderitaan tetap ada. Hanya jika jagat raya lenyap selamanya, penderitaan juga akan lenyap selamanya. Inikah yang diminta orang ateis?
Teologi kiamat
Hal yang luar biasa adalah bahwa permintaan orang ateis ini sejajar dengan kehendak orang beragama yang fundamentalis dan radikal. Radikalisme ada dalam setiap agama.
Para fundamentalis radikal melihat berbagai penderitaan yang dialami komunitas-komunitas keagamaan mereka hanya bisa diakhiri jika dunia dan kehidupan yang berlangsung sekarang ini ditumbangkan dan diakhiri sepenuh-penuhnya, sampai ke akar-akarnya, dan selamanya, lalu diganti dengan dunia lain dan kehidupan lain di alam lain, di luar sejarah.
Bagi mereka, penderitaan akan diakhiri hanya apabila jagat raya yang ada sekarang berakhir. Inilah yang dinamakan doomsday theology, teologi kiamat!
Tentu saja kiamat yang digambarkan dalam teks-teks apokaliptik monoteis adalah metafora yang tidak bagus, eskapis, dan mencerminkan mental insani yang sudah rontok di dalam suatu dunia yang menekan berat.
Sekalipun ada entropi, jika kita bergerak dalam model kosmologis siklikal, entropi juga menjadi suatu kemungkinan kelahiran kembali sistem yang sudah hancur dengan memanfaatkan enerji yang terlepas dari muara entropi.
Para ilmuwan dan semua orang yang berakal panjang dan berwawasan jauh ke depan malah menginginkan dan berjuang ke arah yang sebaliknya: berupaya cerdas dan tekun untuk menyelamatkan planet Bumi dan untuk mempertahankan eksistensi Homo sapiens dan peradaban yang terus dibangun organisme cerdas ini kekal dalam sistem Matahari kita dan dalam jagat raya.
Entropi sedang dilawan. Proses penuaan ingin dihentikan. Degenerasi sedang diupayakan dibelokkan menjadi regenerasi. Homo sapiens sedang diarahkan ke tahap evolusi lanjutan, untuk menjadi organisme digital yang hidup abadi. Reinkarnasi digital bukan fiksi sains. Atau menjadi organisme transhuman, gabungan biologi dan mesin-mesin supercerdas dan kokoh.
Memakai tipologi Bryan Ronald Wilson yang menggolongkan gerakan-gerakan keagamaan sektaris dalam empat kelompok (konversionis, revolusionis, introversionis, dan manipulasionis), para pendukung teologi kiamat adalah kalangan revolusionis yang memiliki tujuan akhir untuk mengakhiri dan menumbangkan sampai ke akar-akarnya (inilah maksud terma radikal, dari kata Latin radix, akar) dunia lama dan fondasi ideologisnya untuk diganti dengan dunia baru di dalam sejarah sementara, atau samasekali di luar sejarah./14/
Untuk sejarah, kehidupan manusia dan dunia yang ada sekarang ditumbangkan dan dihabisi dengan radikal, mereka percaya bahwa mereka harus menggunakan segala cara, termasuk terorisme, dan tentu saja perang nuklir sedunia seperti juga dikehendaki gerakan Zionis Kristen!
Teologi kiamat semacam ini tumbuh subur dalam semua agama, seperti dengan komprehensif dan jeli telah dibeberkan oleh Mark Juergensmeyer dalam dua bukunya Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence dan Global Rebellion: Religious Challenges to the Secular State, From Christian Militias to Al Qaeda, juga oleh Robert Pape dalam bukunya Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism./15/
Tentu anda terperanjat saat melihat kebenaran poin ini, dan kini anda jadi paham bahwa antara ateisme dan fundamentalisme religius ternyata dapat ada hal-hal yang paralel!
Tuhan yang menguatkan
Jika anda bukan seorang ateis dan juga bukan seorang teis yang fundamentalis dan radikal, anda akan dengan kreatif membangun berbagai metafora teologis yang lain.
Ada sebuah metafora teologis yang bagus, yang menyatakan bahwa Tuhan ada justru untuk menemani dan menguatkan setiap insan yang menderita. Ini dinamakan teologi “Immanuel” (kata Ibrani), artinya teologi “Tuhan beserta kita”!
Bahkan dalam metafora teologis terkuat dalam kitab suci Perjanjian Baru, digambarkan bahwa Allah sendiri mati di kayu salib untuk menanggung semua penderitaan manusia. Allah yang sungguh-sungguh berempati.
Lepas dari apakah metafora ini efektif dan mujarab dengan real (bahwa iman kepada pengorbanan Yesus di kayu salib akan otomatis dan magis membebaskan semua orang Kristen dari fakta penderitaan), hal yang pasti adalah umat yang sedang menanggung azab umumnya, secara psikologis subjektif, dan lewat ritual-ritual, merasa dikuatkan oleh metafora solidaritas Allah ini. Metafora ini dirayakan dan dihayati lewat ritual-ritual Kristen yang intens dan takzim yang mampu merilis hormon-hormon kelegaan dan ketenangan dari kelenjar-kelenjar hormon lalu mengalir ke seluruh tubuh.
Jelas, Tuhan bukan sumber derita dan juga bukan tak berdaya terhadap kemalangan manusia. Tuhan justru membuat setiap insan yang menderita tabah dan kuat dan tetap punya harapan.
Tentu, saya mengakui terus-terang, setiap orang melihat ada bahasa kekerasan dalam gambaran tentang Yesus orang Nazareth yang dibunuh lewat penyaliban. Bahasa kekerasan ini saya nilai sangat buruk dan sangat mengusik orang pencinta kehidupan dan kelembutan.
Film Mel Gibson The Passion of the Christ (2004) dilihat banyak orang sebagai suatu “pornografi kekerasan” lantaran film ini mempertontonkan dengan telanjang dan vulgar berbagai kekerasan fisik dan mental yang menurut tradisi Kristen dialami Yesus menjelang dan di saat Dia dieksekusi di kayu salib.
Tetapi, jangan lupa, metafora “Allah yang dibunuh” ini disusun para penulis Perjanjian Baru bukan untuk menonjolkan kekerasan, kebrutalan dan kesengsaraan yang dialami Yesus. Film Mel Gibson tersebut tidak dibuat para penulis Perjanjian Baru. Mereka, para penulis Perjanjian Baru, bukan para pemuja sadisme atau masokhisme!
Kekerasan dan kebrutalan sudah terjadi, dan Yesus telah faktual dibunuh sebagai seorang kriminal (di mata para penegak hukum Romawi) dan seorang yang dikutuk Tuhan (di mata hukum agama Yahudi). Semuanya tidak terelakkan. Mustahil murid-murid dan para pengikut perdana Yesus menyangkali, atau dengan licik menyembunyikan, fakta-fakta yang keras dan mempermalukan mereka ini.
Penyaliban dan kematian kejam Yesus di kayu salib adalah fakta sejarah!
Tetapi kekerasan dan kebrutalan itu, dan kesengsaraan serta kematian Yesus, seburuk dan sekeras apapun juga, masih harus bisa bermakna positif. Inilah reaksi proaktif positive thinking yang memerlukan energi mental yang besar, atau juga suatu jalan keluar dari krisis kognitif yang dinamakan dissonansi kognitif.
Para penulis Perjanjian Baru berusaha keras untuk menemukan hikmah positif dari hal-hal buruk ini, dan berupaya melakukan rasionalisasi teologis atas kejadian-kejadian brutal dan mengerikan yang telah dialami Yesus.
Mereka mencari penjelasan-penjelasan yang dapat masuk akal dan dapat melegakan batin atas rentetan peristiwa tragis yang sudah dialami Yesus yang berujung pada kematian-Nya. Tidak mau mereka dibuat patah semangat oleh fakta-fakta keras ini, yang sudah terjadi pada Yesus orang Nazareth yang mereka cintai betul.
Lewat penafsiran-penafsiran tertentu (dengan menggunakan teks-teks suci yang tersedia dan sastra-sastra lain yang umum dibaca di kawasan Yunani-Romawi kuno), akhirnya mereka menemukan makna dan hikmah positif yang mereka cari: di dalam kesengsaraan dan kematian Yesus, Allah menanggung kesengsaraan manusia, Allah berempati sedalam-dalamnya.
Tuhan bukan sumber penderitaan, tidak kalah terhadap kesengsaraan, tetapi mengalahkan penderitaan.
Teologi tentang Allah penanggung derita umat ini mula-mula disusun oleh Rasul Paulus, pertama-tama karena kebutuhan pribadinya sendiri untuk bisa lepas dari rasa bersalah yang besar dalam dirinya karena dia, sebelum menjadi rasul, pernah menganiaya orang-orang Kristen.
Semua orang Kristen tahu, metafora Allah yang dieksekusi pada kayu salib diikuti oleh metafora lain tentang Allah yang mengalahkan kematian lewat kebangkitan dan pemuliaan dan peninggian Yesus.
Nah, jika metafora-metafora yang bagus dan dapat menggerakkan hati itu dihina dan dicemooh para ateis, saya sungguh tidak bisa paham apa yang mengisi pikiran mereka.
Insan yang mandiri
Tentu saja, saya terbuka untuk mengakui, ada banyak orang di dunia ini yang tidak memerlukan juruselamat atau penanggung derita apapun dalam kehidupan mereka dan bagi diri mereka sendiri. Mereka menolak menjadi manusia pecundang yang perlu dimenangkan oleh pengorbanan kehidupan orang lain.
Mereka sanggup hidup mandiri sepenuhnya dalam segala bidang. Mereka sangat respek pada diri mereka sendiri. Mereka memandang diri mereka sendiri sebagai juruselamat untuk diri mereka sendiri. Mereka memandang diri mereka sendirilah yang menjadi pemikul tanggungjawab atas semua kesalahan, kegagalan dan kekurangan mereka di sepanjang kehidupan mereka.
Untuk orang-orang hebat seperti itu, yang tidak menganut agama apapun tapi memiliki kepribadian yang agung, metafora Kristen tentang Allah yang menanggung kesengsaraan manusia, tentu saja tidak mereka perlukan, tidak menggerakkan hati dan pikiran mereka.
Orang-orang yang luarbiasa semacam itu bisa jadi sudah berada pada peringkat kebutuhan teratas (peringkat kelima) manusia dalam piramida kebutuhan-kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow yang sudah disinggung di atas, yakni orang-orang yang sudah berhasil mengaktualisasi diri. Yaitu orang-orang yang sudah mencapai segala hal yang mereka dapat capai, sudah meraih setinggi-tingginya apa yang mereka dapat raih, “to become the most that one can be”.
Atau, dalam piramida kebutuhan manusia yang Maslow sudah kembangkan lebih lanjut (di tahun 1960-an dan 1970-an), sudah mencapai tahap teratas kedelapan, yakni tahap insan-insan transenden, yakni insan-insan adinilai. Yaitu orang yang sudah sanggup melepaskan atau mentransendir segala kebutuhan personal keakuan mereka, dan menjalani kehidupan untuk mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan bagi orang lain dan bagi semua bentuk kehidupan dan untuk melestarikan alam.
Ada banyak orang ateis di jenjang-jenjang tersebut, tentu. Juga, pastilah sosok-sosok agung yang beragama banyak yang sudah mencapai level insan-insan transenden. Mereka tidak menyebarkan agama mereka, tapi menjadi teladan manusia-manusia mahatma.
Klik gambarnya untuk memperbesar.
Tetapi sayangnya, hal yang negatif dalam diri orang ateis pada umumnya juga kelihatan sangat jelas. Mereka sangat membenci agama-agama. Religiofobia sudah menjadi bagian integral dari sistem kepercayaan ateisme mereka. Jika seseorang masih membenci, orang ini belum bisa hidup dengan tenang, dus tidak bisa membawa ketenangan ke dalam dunia ini.
Mereka tidak bisa melihat masih ada sangat banyak keindahan yang menyentuh hati dalam dunia agama-agama, kendatipun dewasa ini banyak persoalan besar yang muncul dari dunia agama-agama. Sayang sekali jika agama-agama mau dilenyapkan oleh mereka, diganti dengan agama baru yang namanya ateisme, agama tanpa Tuhan supernatural. Tapi masih ada sebuah kisah lain yang perlu kita dengarkan juga.
Kesengsaraan buatan manusia
Bagaimana halnya dengan penderitaan yang terjadi bukan karena sebab natural? OK. Ini sebuah pertanyaan yang sangat penting.
Lihat dan renungi gambar di bawah ini. Buka mata, buka hati, dan buka mata akal anda. Penderitaan yang dipesankan oleh gambar di bawah ini tidak membutuhkan ateisme untuk bisa diatasi, tetapi membutuhkan cinta kasih, solidaritas, dan keadilan mendistribusi kekayaan dunia!
Keduanya menunggu sesuatu....
Penderitaan semacam ini bukan datang dari Tuhan, bukan juga sebuah bukti Tuhan itu impotent, powerless, jahat dan kejam, tetapi datang dari sesama manusia yang rakus, jahat dan kejam, dan sebagai bukti sedang bekerjanya sistem ekonomi dunia yang tidak adil. Dan, jangan dilupakan, azab yang memilukan ini juga terjadi karena iklim yang keras menyengat dan tanah-tanah luas yang gersang yang hanya bisa dilawan dan diubah oleh iptek terapan yang musti datang dari negara-negara maju.
Kekejaman dan kejahatan serta duka dan azab semacam ini bersumber dari struktur-struktur dan sistem-sistem yang tidak adil, yang menindas orang yang lemah dan miskin, tetapi menyuburkan dan memakmurkan orang yang kuat, berkuasa dan kaya raya.
Lewat anda yang terketuk hati, Tuhan mau kesengsaraan keras semacam itu teratasi. Sekali lagi, bukan lewat ateisme, tetapi lewat kerjasama global memerangi kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi, bukan oleh Tuhan, tetapi oleh semua orang yang memiliki cinta, solidaritas dan juga kekuatan. Bergerak sendiri-sendiri tidak akan terlalu efektif. Diperlukan jejaring dan kerjasama global lintasagama, lintasideologi, lintasilmu dan lintasbidang kehidupan.
Anehnya, kaum ateis menghendaki kemalangan berat dan memelas karena ulah manusia ini dipelintir menjadi kemalangan karena ulah Tuhan.
Katanya mereka menolak teologi apapun, tetapi anehnya mereka sendiri berteologi saat mereka mengasalkan derita ini kepada Tuhan. Katanya mereka tidak percaya Tuhan, tapi anehnya mereka luarbiasa sibuk dan riuh memikirkan dan memandang Tuhan sebagai kejam, tak punya daya, dus tidak layak disebut sebagai Tuhan. Ateisme memang penuh kontradiksi internal, yang juga ada dalam semua agama.
Tak pelak lagi, inilah nasihat saya kepada para ateis: Kutuklah manusia-manusia tamak dan sistem ekonomi yang tidak adil dan struktur-struktur sosial yang jomplang dan tidak seimbang; bukan mengutuk Tuhan. Berapa banyakpun anda mengutuk Tuhan, keadaan yang memelas ini tidak akan hilang. Sumber azab ini bukan Tuhan, tetapi manusia. Periksalah berapa banyak orang ateis kapitalis rakus yang ikut serta berperan dalam melahirkan azab semacam ini!
Pada sisi lain, harus jangan kita lupakan bahwa kesengsaraan dan penderitaan yang dialami manusia, baik yang datang dari kekuatan-kekuatan alam maupun yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan manusia sendiri, telah menjadi salah satu faktor pendorong kuat kemajuan dan perkembangan sains dan teknologi modern.
Dalam hal ini khususnya sains dan teknologi yang berkaitan langsung dengan tubuh dan mental manusia, seperti ilmu dan teknologi kedokteran dan pengobatan, ilmu nutrisi, ilmu gizi, psikologi, psikoanalisis, psikiatri, neurosains, ilmu bedah, dll.
Juga dengan lingkungan tempat manusia hidup sehari-hari, seperti sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu kesehatan lingkungan dan masyarakat, ekologi, ilmu pertanian, ilmu kelautan, dll.
Selain itu, nanti, dengan bencana-bencana alam yang akan dapat diprediksi dengan akurat dan dikendalikan, dibelokkan atau dicegah oleh iptek modern masa depan.
Karena didorong oleh kebutuhan untuk mengalahkan atau mengurangi penderitaan manusia, berbagai sainstek terus berkembang dan semakin maju. Jika Allah menghapus semua penderitaan dunia, seperti yang dikehendaki para ateis, maka sains dan teknologi juga akan tidak berkembang, atau malah tidak pernah ada. Kebutuhan untuk kita survive adalah salah satu pendorong kuat lahir dan berkembangnya sainstek.
Tentu idealnya kita semua dapat hidup dengan baik dan sehat sepenuhnya, tanpa mengalami duka dan kemalangan dalam bentuk apapun atau sekecil apapun. Tetapi hal yang ideal ini sungguh tidak dimungkinkan sebab peristiwa kelahiran sampai ke kejadian-kejadian lain yang bermuara pada kematian adalah bagian dari struktur kosmos dan kodrat jagat raya.
Kalau jagat-jagat raya bisa menjawab dalam bahasa manusia, tanyailah apakah mereka juga sedang menanggung penderitaan.
Psikologi dan teologi
Bagaimanapun juga, tokh relatif masih ada banyak manfaat positif dari penderitaan yang kita alami. Lewat penderitaan yang manusia alami, berbagai sains terus berkembang. Lewat duka yang harus kita tanggung, kita ditempa lahir dan batin yang membuat kita tumbuh dari saat ke saat menjadi pribadi-pribadi yang makin tangguh, kuat, kokoh, tenang, berdisiplin, kaya dengan pengalaman, dan arif bijaksana.
Tentu ada banyak penderitaan yang tidak berfungsi edukatif membangun mental manusia, melainkan malah merusak dan menghancurkan ketahanan mental manusia, yang kerap berakhir dengan tindakan bunuh diri karena rasa putus asa yang tak terpikul lagi.
Akhir yang tragis dan memilukan hati ini bukan terutama bersumber dari Tuhan, dari teologi, tetapi dari rasa putus asa manusia, jadi dari psikologi. Bisa juga dari teologi yang buruk dan brutal.
Karena itu, untuk bisa menang dari penderitaan, setiap orang harus bisa membangun psikologi dirinya sendiri sedemikian rupa, yang dapat menopang daya tahan kehidupan sendiri. Psikologi positif semacam ini haruslah juga menghasilkan teologi yang positif.
Jika psikologi anda positif, dan juga teologi anda, sangat besar peluangnya untuk anda dapat hidup dengan sangat sehat, sekalipun anda harus memikul penderitaan!
Persoalannya yang krusial tidak terletak pada Tuhan pada diri-Nya sendiri, tetapi pada bagaimana anda membangun psikologi dan teologi anda, pada kemampuan mental anda membangun konstruk-konstruk kognitif.
Siapa kita ini, dibentuk terus-menerus oleh isi kognisi kita, isi pikiran kita. Karena itu, kembangkan kecakapan metakognitif anda, yaitu kecakapan untuk menilai dan mengevaluasi dengan sadar dan kritis isi semua pikiran atau kognisi anda sendiri.
Jadi, hendaklah orang ateis tahu, mempersalahkan Tuhan bukanlah sebuah jalan keluar, sebab sikap pengecut dan teologi yang jelek semacam ini hanya memperburuk daya tahan psikologis manusia.
Bangunlah teologi yang bagus!
Ya ada juga teologi yang buruk, yang tidak menghasilkan psikologi yang bagus dan tidak menunjang kehidupan dan daya tahan manusia.
Misalnya, teologi yang menjanjikan semua orang yang saleh akan hidup selalu sukses dan kaya raya, karena Tuhan itu kaya raya dan mahaberkelimpahan dan tidak menghendaki anak-anak-Nya menderita dan hidup miskin. Teologi semacam ini biasanya dinamakan teologi sukses (success theology) atau teologi kemakmuran (prosperity or wealth theology) atau teologi anak sang Raja.
Ketika si saleh melihat dirinya tidak kunjung kaya raya dan tidak pernah hidup berkelimpahan, tetapi terus saja miskin, hina-dina, papa dan kere, si saleh ini dapat putus asa.
Dalam keputusasaan ini, dia pun mulai menyerang dan membenci sang Tuhan yang semula disembah dan dipuji-pujinya. Rasa putus asa dan penyerangan ke Tuhan tentu saja dialami sebagai penderitaan, dan pasti menambah berat penderitaan yang sedang dialaminya karena ketidakikhlasannya.
Tentu saja, ketika hal itu terjadi, yang bersalah ya bukan Tuhan. Tak ada gunanya menjadikan Tuhan sebagai kambing hitam.
Yang salah adalah teologi atau konsep anda tentang Tuhan atau tentang kehidupan beragama. Jalan keluarnya bukanlah mencaci dan menyerang Tuhan, atau berubah menjadi ateis; tetapi menyusun ulang teologi anda. Susun dan bangunlah teologi yang berdampak positif dan sehat pada psikologi anda!
Bagi orang yang hidup miskin, teologi yang cocok adalah teologi tentang Tuhan yang memberi mereka ketekunan bekerja, kesabaran meniti jalan-jalan kehidupan, keuletan dalam bekerja keras, dan yang selalu solider dan setia menemani mereka dalam suka dan duka. Teologi positif semacam ini akan berdampak positif pada psikologi anda, pada daya tahan psikologis anda.
Tentu saja, tanpa teologi apapun, maksudnya: tanpa kepercayaan bahwa Tuhan ada atau Tuhan menyertai, ada juga orang yang bisa hidup positif, sehat, bahagia, tekun, sabar, ulet dan tangguh. Sebagian orang ateis termasuk orang yang semacam ini, selain tentu saja banyak juga orang ateis yang menjalani kehidupan mereka dengan penuh keluhan dan tidak tangguh, yang berakhir dengan depresi dan tindakan bunuh diri.
Ihwal apakah ateisme meningkatkan kemauan orang yang sedang depresif untuk bunuh diri, tentu saja sebuah pertanyaan yang kontroversial. Tetapi ada sebuah kajian psikiatris klinis yang memperlihatkan bahwa kepercayaan keagamaan mampu mencegah orang bunuh diri; sementara hidup tanpa agama kurang atau malah tidak mampu mencegah orang bunuh diri./16/
Tentu anda yang ateis perlu mengajukan keberatan terhadap kajian psikiatris yang kesimpulannya menyudutkan ateisme semacam itu, seperti telah diajukan dengan bagus oleh Richard Carrier dalam blognya Freethought Blogs./17/
Pantaulah, sekarang ini sedang bermunculan makin banyak orang ateis garang dan agresif, suatu bukti ateisme juga suatu ideologi penimbul stres dan depresi yang dapat mendorong orang jadi sanger. Ingatlah, ateisme dan juga teisme bukan pil-pil serba mujarab untuk menyembuhkan segala penyakit! Bukan hanya ateisme, teisme pun bisa menjadi penyebab depresi.
Teisme dan depresi
Pada sisi lain, jika anda seorang teis, anda juga harus mengakui bahwa teisme juga bisa membawa orang ke dalam depresi yang berkepanjangan. Anda tidak percaya? Banyak contohnya.
Misalnya, seorang yang terlalu possessive terhadap Tuhannya, terlalu ingin menguasai Tuhannya, terlalu menggebu-gebu cintanya kepada Tuhannya, terlalu yakin dirinya sangat dicintai dan selalu dipelihara dan dijaga oleh Tuhannya, potensial akan jatuh ke dalam kondisi kebingungan dan akhirnya depresif. Kok begitu?
Ya, karena dia mengalami kenyataan bahwa Tuhannya ternyata telah meninggalkannya sendirian, terus saja berdiam diri, saat dia sedang mengalami banyak persoalan berat dalam suatu episode kehidupannya.
Si teis yang sangat saleh ini heran, lalu stres dan akhirnya depresif ketika doa-doa, permohonan-permohonannya bahkan puasanya selama berhari-hari, tidak kunjung didengar, dijawab dan diperhatikan oleh Tuhan yang selama ini dipercayanya sangat mencintai dan selalu melindunginya.
Jeritan Yesus orang Nazareth di kayu salib, jeritan yang keluar dari rahim teodise, “Ya Allahku, ya Allahku, mengapa Engkau menelantarkan aku?”, juga menjadi jeritan si saleh ini, yang tidak kunjung dijawab oleh Tuhannya. Jika si saleh yang terjatuh ke dalam depresi ini tidak ditangani dengan benar dan profesional, dia akhirnya bisa bunuh diri.
Problem teodise bahwa Allah yang mahaadil dan mahakasih serta mahakuasa ternyata tidak menolong orang saleh yang sedang menanggung penderitaan berat, lahir dan batin, memang dapat serius bermuara pada rasa putus asa dan bunuh diri.
Dalam situasinya, persoalan berat muncul lebih dulu, lalu si saleh itu berpaling ke imannya yang kokoh kepada Tuhannya dan yakin persoalannya akan segera diselesaikan oleh Tuhannya; sampai momen ini, dia tidak depresif karena kepercayaannya yang kuat kepada Tuhannya. Imannya pada momen ini berfungsi positif.
Tetapi ketika Tuhannya ternyata tidak kunjung turun tangan menolongnya, imannya pun mulai berfungsi negatif: dia jadi kecewa kepada Tuhannya, lalu mulai marah kepada Tuhannya, dan akhirnya dia menghujat dan mengutuki Tuhannya habis-habisan.
Ketika itu terjadi, lewat suatu proses yang menekan dan melelahkan, akhirnya dia terperosok ke dalam depresi yang berat dan parah. Dalam situasi dan kondisi ini, iman dan kepercayaan teismenya yang kokoh, bukan terutama persoalannya yang berat, menjadi sumber dan akar utama depresinya.
Tetapi sebaliknya juga bisa terjadi: depresinya bersumber dan berakar pada persoalannya yang berat; alhasil, dalam keadaan depresif yang berat, dia tidak bisa lagi beriman, tidak bisa lagi percaya pada Allahnya.
Ingatlah, depresi itu sebuah penyakit mental yang termanifestasi lewat emosi yang rusak, pikiran yang terganggu, dan raga yang makin lemah.
Baru saja ditemukan, lewat meta-analisis genome wide association, dalam diri manusia ada 44 varian genetik yang berfungsi sebagai faktor risiko biologis terkena depresi berat (Major Depressive Disorder, atau MDD) yang menjadi aktif ketika berbagai faktor risiko environmental memicu. Teridentifikasi juga bagian-bagian otak yang terlibat yang menunjukkan perbedaan-perbedaan anatomis pada orang yang terserang MDD. Selain itu, ditemukan juga risiko terkena MDD makin meningkat pada orang yang berpendidikan makin rendah dan pada orang yang terlalu gemuk./18/
Nah, situasi kehilangan iman ini membuat depresi si saleh makin dalam dan makin parah. Jika dalam kondisi-kondisi ini anda menasihati si saleh itu untuk tambah beriman, maka benarlah apa yang dikatakan Richard Carrier bahwa “menganjurkan seseorang untuk lebih beriman pada Allah ketika seseorang kehilangan iman terhadap Allah berhubung dia sedang depresif, adalah tindakan yang dungu.”
Berbeda dari Richard Carrier, saya ingin menegaskan lagi bahwa ateisme, sama seperti teisme, juga bisa menjadi sumber depresi dan penyakit-penyakit mental lainnya! Pada sisi lain, ada betulnya, kepercayaan yang sehat dan dewasa pada Tuhan yang dipercaya mahapenolong dapat menjadi suatu bemper penahan serangan dan benturan rasa putus asa.
Begitu juga, kapitalisme yang sanggup membuat orang kaya raya luarbiasa, juga kerap membuat banyak orang depresif! Jika kehidupan kita pandang sebagai sesuatu yang paling ajaib dan paling agung yang diberikan alam, tokh kita juga tahu bahwa kehidupan sendiri sering menjadi sumber depresi.
Karena itu, bagi orang yang tidak bisa melepaskan diri mereka dari kepercayaan kepada Tuhan, dari teologi, dari agama, dari teisme, saya anjurkan, bangunlah teologi yang berdampak positif pada psikologi anda, dan bangunlah psikologi pribadi anda yang berdampak positif pada teologi anda.
Ingatlah, psikologi anda kait-mengait dengan teologi anda, dan juga sebaliknya, yang semuanya muncul dan tumbuh dari lahan sosiologis dan ekologis serta biologis tertentu.
The gospel of wealth
Kembali ke teologi sukses atau teologi kemakmuran. Ternyata, pada pihak lain, teologi sukses atau teologi anak sang Raja dapat sangat disukai oleh orang-orang yang memang sudah sejak awal kaya raya dan sukses.
Bagi orang-orang yang kaya raya dan sukses ini, teologi ini berfungsi untuk melegitimasi seluruh gaya hidup dan praktek-praktek bisnis kapitalis mereka yang telah membuat mereka kaya raya dan sukses besar; alhasil, teologi ini malah melahirkan dan membenarkan kegiatan-kegiatan bisnis dan ekonomi yang kebanyakan tidak bermoral.
Kata mereka, “Kami menjadi kaya raya, makmur dan sukses besar karena kami punya Tuhan yang mahakaya. Sebagai anak-anak sang Raja, kami tidak dibiarkan miskin dan gagal oleh Tuhan, sang Raja kami! Semua kegiatan bisnis kami diberkati oleh Raja kami ini!”
Teologi sang anak Raja atau teologi kemakmuran atau yang dikenal juga sebagai “the gospel of wealth” meyakinkan para penganutnya bahwa Tuhan mereka membenarkan praktek-praktek bisnis mereka, sekalipun praktek-praktek yang tidak etis, termasuk jika mereka, sebagai para pemimpin gereja, diberi berbagai fasilitas sangat mewah oleh gereja-gereja tempat mereka bekerja.
Baiklah kita sebut saja seorang pendeta gereja di Amerika Serikat aliran teologi kemakmuran, Pdt. Creflo Augustus Dollar yang baru-baru ini telah disetujui oleh majelis gerejanya (World Changers Church International, di Fulton County, Georgia) untuk diberi fasilitas pesawat jet Gulfstream G650 seharga USD 70 juta.
Kata gerejanya, “Kami berencana untuk mendapatkan sebuah pesawat jet Gulfstream G650 karena inilah pesawat terbaik, dan mencerminkan tingkat keunggulan yang organisasi kami pilih untuk jalankan. Pesawat jet antarbenua yang berbadan panjang dan berkecepatan tinggi adalah sebuah wahana yang perlu untuk memenuhi misi kami mengabarkan injil ke seluruh dunia.”
Sebetulnya, sebelum persetujuan ini diambil oleh majelis gerejanya, sudah timbul banyak kontroversi tajam atas permintaan sang hamba Tuhan ini untuk dibelikan sebuah pesawat jet jenis itu. Tapi sang pendeta ini tidak mau mundur! Maju tak gentar, katanya! Yesus mendukungnya!
Pdt. Creflo Dollar dan pesawat jet yang dimintanya!
Pdt. Dollar juga tanpa malu-malu menyatakan, “Jika aku mau percaya bahwa Allah akan memberiku sebuah pesawat jet seharga USD 65 juta, anda tidak dapat menghalangi saya. Anda tidak bisa menghentikan impian saya. Saya akan terus bermimpi sampai Yesus datang!”/19/
Sejak Maret 2015, Pdt. Creflo Dollar telah meminta umatnya (di tahun 2007, tercatat berjumlah 30.000 orang) untuk memberi donasi USD 300 per orang untuk mencapai keinginannya ini. Pdt. Creflo Dollar (lahir 28 Januari 1962) kini berdiam di Atlanta, Georgia, AS.
Pemain bola basket terbesar dunia kebangsaan Amerika, Kareem Abdul-Jabbar, memberi komentar-komentar tajam terhadap Pdt. Creflo Dollar. Kareem paham betul bahwa umat yang dipimpin Pdt. Dollar terdiri sebagian besar atas orang Amerika Afrika, kaum evangelikal, dan orang-orang yang kurang terdidik.
Kata Kareem, misalnya, bahwa para pemuka gereja yang menganut teologi kemakmuran “terbang di angkasa menuju sorga sudah seperti malaikat-malaikat yang mengurapi diri mereka sendiri, dan mereka berpura-pura menjadi para pemimpin spiritual, padahal mereka sebetulnya dimotivasi oleh ketamakan! Mereka telah menyimpangkan ajaran-ajaran Yesus hanya untuk mengisi penuh kocek-kocek kemeja-kemeja sutera mereka!” Kata Kareem juga dengan tajam bahwa para penganjur teologi kemakmuran “tidak lagi berperang melawan kemiskinan, tapi kini berperang melawan orang miskin.”/20/
Sekalipun Kareem sudah menjadi seorang Muslim, menurut saya komentarnya tentang Pdt. Creflo Dollar sangat pas dan kena!
Bergantung isi teologi
Jadi, faktanya adalah ini: Pada satu sisi, teologi sukses atau teologi kemakmuran jelas melahirkan para kapitalis dan pemimpin rohani yang rakus, sangat kaya, tetapi tidak berakhlak. Pada sisi lain, sebagai akibat buruknya, teologi yang sama menimbulkan kesenjangan sosioekonomi yang makin lebar antara orang kaya dan orang miskin dalam masyarakat.
Jadi, teologi ini menimbulkan kehidupan yang serba berkelimpahan dalam diri para kapitalis besar, sekaligus juga melahirkan kemiskinan dan penderitaan yang makin berat dalam diri orang miskin dalam masyarakat.
Jadi, orang ateis juga perlu tahu bahwa Tuhan yang sama, lewat teologi-teologi yang dibangun manusia, pada satu pihak dapat mendatangkan kehidupan yang makmur dan berkelimpahan, lepas dari nyaris semua bentuk penderitaan. Tetapi pada sisi lain, dapat juga menimbulkan penderitaan berat pada banyak orang lain yang terus-menerus tidak pernah lepas dari borgol-borgol kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi.
Jika kita mau Allah memberi sumbangan penting bagi masyarakat, khususnya dalam usaha-usaha manusia untuk melenyapkan berbagai bentuk penderitaan manusia, misalnya kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi, ya kita susun dan bangun teologi-teologi yang sesuai dan terarah ke tujuan itu. Sudah ada teologi jenis ini, misalnya teologi pembebasan, teologi rakyat, teologi kejuangan, dan juga teologi pembangunan, bahkan juga, dalam konteks Indonesia, teologi Pancasila.
Jadi, orang ateis yang langsung menyalahkan Tuhan atau agama sebagai penyebab-penyebab penderitaan dan kejahatan adalah orang yang berakal pendek dan tidak tahu bahwa kita semua, manusia, bebas menyusun dan membangun teologi apapun yang di dalamnya berbagai metafora teologis dikonstruksi.
Pada sisi sebaliknya, jika orang ateis menyatakan bahwa penderitaan dan kejahatan membuktikan Tuhan tidak ada, mereka juga terlihat tidak cerdas, dan berakal pendek.
Kita, manusia, sungguh-sungguh bebas untuk membangun berbagai metafora teologis yang menyampaikan pesan bahwa Tuhan berada bersama manusia, solider, setia, berempati dan berjuang bersama manusia, untuk melenyapkan penderitaan dan kejahatan.
Tak perlu membuang teologi
Bagi saya yang membuka diri, teologi, seperti juga psikologi, psikoanalisis dan sosiologi dan lain-lain, harus tidak kita buang, tetapi harus kita manfaatkan dengan kreatif dan cerdas justru untuk ikut membantu mencerdaskan orang beragama supaya mereka (sejumlah empat milyar orang dewasa!) dapat juga membangun dunia ini dan peradaban manusia! Beriman yang cerdas! Jauhkan diri anda dari iman yang memperbodoh anda.
Jika orang ateis mau mengubah dunia, tapi mereka mengabaikan dan menyepelekan sejumlah sangat besar penduduknya, mereka jelas sekali tidak cerdas, tidak arif, tidak strategis, dan takabur.
Akhirnya harus kita simpulkan bahwa Trilema Epikurus itu bukanlah fakta yang real dalam kehidupan manusia, tetapi teologi Epikurus sendiri tentang Allah (di dunianya: tentang dewa-dewi!) dalam hubungannya dengan kejahatan dan penderitaan.
Sayangnya, teologinya ini belum tuntas, tidak lengkap, karena belum menjawab pertanyaan dari mana penderitaan atau hal-hal yang jahat berasal, dan apakah Allah memang lumpuh, tanpa daya, kejam dan jahat.
Apa yang tidak dijawab Epikurus, dan yang memang dia biarkan tanpa jawaban, telah saya jawab tuntas dalam tulisan ini. Dengan demikian, berbeda dari yang dilihat David Hume di abad ke-18, the Trilemma of Epicurus now solved entirely! Trilema ini sudah saya pecahkan seluruhnya.
Jadi, pandangan para ateis bahwa penderitaan bersumber dari Tuhan, atau bahwa penderitaan adalah bukti bahwa Tuhan itu kejam, jahat dan lumpuh, atau bahwa Tuhan itu tidak ada, atau bahwa orang yang percaya pada Tuhan itu orang bodoh, dungu dan lemah, adalah pandangan yang salah sama sekali. Tidak ada harganya. Tidak perlu didengarkan dengan serius. Karena sangat dangkal dan cetek, dan bernada sumbang, parau dan kering.
Saya mau kemukakan apa yang saya pikirkan tentang Tuhan dibandingkan manusia, kita semua. Ini: Kita saja, manusia, yang punya kecerdasan terbatas, ingin selalu bisa berbuat baik dan berhasil mengalahkan semua pikiran jahat yang muncul dalam pikiran kita. Apalagi Tuhan, yang kita percaya mahatahu dan mahacerdas: pasti dalam dirinya tidak ada kejahatan apapun!
Itu kalau Tuhan ada. Jika Tuhan tidak ada, dan mengingat ada milyaran orang di masa kini yang memilih bertuhan, maka, hemat saya, jauh lebih berguna jika kita merumuskan teologi metaforis tentang Tuhan yang di dalam diri-Nya tidak ada kejahatan, ketimbang kita berubah menjadi ateis lalu menyerang agama-agama.
Jangan dilupakan, semakin anda menyerang banyak hal dalam kehidupan anda, semakin anda tidak berbahagia, dan semakin jauh anda dari sesama anda. Sejujurnya, saya ingin orang ateis juga berbahagia dalam kehidupan mereka.
Seandainya Tuhan tak ada
Selama ini ada asumsi bahwa tanpa Tuhan, teologi tak bisa dibangun. Tapi bagi saya, seandainyapun misalnya Tuhan tidak ada, teologi metaforis yang bagus tetap perlu dan dapat kita konstruksi. Asumsi paling dasar dari teologi adalah Allah atau theos itu ada, sekalipun, andaikanlah, Allah tidak ada.
Tentu anda tahu sosok termashyur yang bernama Voltaire (nama asli: François-Marie Arouet) (1694-1778), seorang filsuf dan penulis Prancis yang menganut Deisme. Voltaire terkenal dengan pernyataannya bahwa “seandainya Tuhan tidak ada, maka kita perlu menciptakannya.”/21/
Saya sependapat dengan Voltaire. Tentu saja, “Tuhan” yang dimaksud olehnya adalah teologi, yaitu suatu perenungan dan doktrin yang dibangun untuk menggambarkan apa, siapa, bagaimana Tuhan, dan mengapa Dia kita renungkan dan butuhkan.
Dunia kita sekarang ini masih memerlukan teologi berhubung agama-agama masih begitu kuat dan vital dianut oleh empat milyar orang dewasa yang beragama.
Kita harus menyusun teologi-teologi baru yang dihasilkan dari pertemuan intensif antara ilmu pengetahuan dan agama-agama, teologi-teologi yang cerdas dan mencerahkan manusia dan yang mampu ikut membangun peradaban modern. Membuang teologi, hemat saya, adalah sebuah langkah yang bodoh, tidak arif dan tidak strategis.
Sayang, ateis Christopher Hitchens tidak bisa melihat hal yang dengan jelas saya lihat, ketika dia membuat pernyataan ini: “Kendatipun aku tidak suka berbeda dari seorang yang bernama besar, Voltaire betul-betul tak masuk akal saat dia menyatakan bahwa seandainya Tuhan tidak ada, maka kita perlu menciptakannya. Problem yang pertama-tama muncul justru diciptakannya Allah oleh manusia.”/22/
Penutup
Memang agama-agama sekarang ini bisa juga menjadi bagian dari problem besar dunia, sejauh agama-agama tidak tanggap pada kehidupan modern dan tertambat mati di masa lampau, dan mengambil bentuk sebagai a cult of death yang membunuh banyak sekali manusia demi agama yang dianut. Saya sangat menyadari keadaan ini.
Jika itu kondisinya yang suram, marilah kita bersama-sama mengubah agama-agama dengan kreatif, arif dan cerdas. Kita bangun teologi yang mencerdaskan akal, ikut mendorong kemajuan ilmu pengetahuan, dan melahirkan spiritualitas saintifik.
Perubahan adalah tanda pertumbuhan dan kehidupan, dan juga tanda sedang belajar. Kita perlu belajar bersama dan juga bergerak bersama.
Peace be with all the living.
Stay blessed.
Selamat merayakan HUT NKRI 17 Agustus 2014!
Editing mutakhir
6 Mei 2018
18 September 2021
26 November 2021
Catatan-catatan
/1/ Menurut mazhab Epikurianisme tujuan utama filsafat adalah mencapai kehidupan yang tenteram dan berbahagia, yang dicirikan oleh ataraksia (kedamaian dan kondisi terbebaskan dari rasa takut), aponia (kondisi terbebaskan dari rasa sakit) dan kehidupan yang mandiri dalam segala hal dan dikelilingi banyak sahabat.
/2/ Mungkin sekali trilema ini pertama kali diajukan bukan oleh Epikurus, tetapi oleh seorang penulis skeptik yang bernama Karneades (214-129 SM). Lihat Mark Joseph Larrimore, The Problem of Evil: A Reader (Malden, MA: Blackwell, 2001; cetakan ke-3 tahun 2003), hlm. xx.
/3/ David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion (London, edisi ke-2 tahun 1779), hlm. 186. Lihat juga idem, Dialogues Concerning Natural Religion (diedit oleh Richard H. Popkin) (Indianapolis/Cambridge: Hackett Publishing Company, edisi pertama 1980; edisi kedua 1998), hlm. 63.
/5/ Lihat laporan Yngve Vogt (diterjemahkan oleh Alan Louis Belardinelli), “World’s oldest ritual discovered. Worshipped the python 70,000 years ago”, Apollon (University of Oslo research magazine), 30 November 2006. Editing mutakhir 1 Februari 2012, http://www.apollon.uio.no/english/articles/2006/python-english.html. Lihat juga reportase yang berjudul “World’s oldest religion discovered in Botswana”, Afrol News, 1 December 2006, http://www.afrol.com/articles/23093.
/6/ Lihat L. Vigilant, M. Stoneking, H. Harpending, K. Hawkes, AC. Wilson, “African populations and the evolution of human mitochondrial DNA”, Science Vol. 253 no. 5027 (27 September 1991), hlm. 1503-1507, doi:10.1126/science.1840702.
Oleh L. Vigilant dkk, usia moyang umum mtDNA manusia ditempatkan antara 166.000 hingga 249.000 tahun. Lihat juga Max Ingman, Henrik Kaessmann, Svante Paabo, dan Ulf Gyllensten,“Mitochondrial genome variation and the origin of modern humans”, Nature 408 (7 December 2000), hlm. 708-713, doi:10.1038/35047064, http://www.nature.com/nature/journal/v408/n6813/full/408708a0.html.
Teori bahwa Afrika Selatan adalah tempat asal-usul homo dengan anatomi tubuh modern, kembali dikonfirmasi oleh kajian mutakhir oleh Brenna M. Henn, Marcus W. Feldman et al., “Hunter-gatherer genomic diversity suggests a Southern African origin for modern humans”, Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS), Vol. 108, no. 13 (29 March 2011), hlm. 5154-5162, doi:10.1073/pnas.1017511108; http://www.pnas.org/content/108/13/5154.full.
/7/ Berlandaskan temuan DNA mitokondrial hominin (moyang Homo sapiens) yang diekstrasi dari sebuah fosil tulang paha yang berumur 400.000 tahun yang ditemukan di Spanyol dalam sebuah goa yang dinamakan Sima de los Huesos (dalam bahasa Spanyol, artinya Lubang Tulang-tulang).
Lihat laporan temuan ini oleh Matthias Meyer, Qiaomei Fu, et al., “A Mitochondrial genome sequence of hominin from Sima de los Huesos”, Nature 505 (16 January 2014), hlm. 403-406, doi:10.1038/nature 12788, diterbitkan online 04 Desember 2013, http://www.nature.com/nature/journal/vaop/ncurrent/full/nature12788.html.
Temuan mutakhir ini menimbulkan misteri-misteri baru mengenai asal-usul manusia. Lihat tinjauan hasil kajian ini oleh Carl Zimmer, “Baffling 400.000-Year-Old Clue to Human Origins”, The New York Times Science, December 4, 2013, http://www.nytimes.com/2013/12/05/science/at-400000-years-oldest-human-dna-yet-found-raises-new-mysteries.html?_r=0.
/8/ Lihat Brenna M. Henn, L.L. Cavalli-Sforza, dan Marcus W. Feldman, “The great human expansion”, Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America (PNAS), Vol. 109, no. 44 (30 October 2012), hlm. 17758-17764, doi:10.1073/pnas.1212380109, http://www.pnas.org/content/109/44/17758.full.
/9/ Lihat Charles Q. Choi, “Humans Trekked Out of Africa Via Egypt, Study Suggests”, Live Science, 28 May 2015, http://www.livescience.com/51005-humans-migrated-out-of-egypt.html. Lihat kajian ilmiahnya, Luca Pagani, Stephan Schiffels, Chris Tyler-Smith, et al., “Tracing the Route of Modern Humans out of Africa by Using 225 Human Genome Sequences from Ethiopians and Egyptians”, American Journal of Human Genetics, Vol. 96, Issue 6, 4 June 2015, pp. 986-991, http://www.cell.com/ajhg/abstract/S0002-9297%2815%2900156-1; Doi:http://dx.doi.org/10.1016/j.ajhg.2015.04.019.
/10/ Lihat reportase studi DNA ini yang disusun Carl Zimmer, “DNA Deciphers Roots of Modern Europeans”, The New York Times, 10 June 2015, http://www.nytimes.com/2015/06/16/science/dna-deciphers-roots-of-modern-europeans.html. Laporan lengkap studi ini, lihat Ewen Calaway, “DNA data explosion lights up the Bronze Age”, Nature, 10 June 2015, http://www.nature.com/news/dna-data-explosion-lights-up-the-bronze-age-1.17723.
/11/ Penjelasan-penjelasan pendek dan mudah dipahami tentang teori Maslow semula (5 jenjang kebutuhan; 1943) dan perkembangan selanjutnya (tujuh dan delapan jenjang kebutuhan, 1960-an dan 1970-an), lihat Saul McLeod, “Maslow’s Hierarchy of Needs”, Simply Psychology (2007; updated 2014), http://www.simplypsychology.org/maslow.html.
Untuk makalah Maslow tahun 1943 yang membentangkan teori hierarki lima kebutuhan manusia, lihat bukunya A Theory of Human Motivation (Martino Fine Books, June 2003) yang disunting oleh David Webb.
Dalam buku yang disunting Webb ini, makalah-makalah Maslow sebelumnya yang dirujuk dalam makalah 1943 ini, disajikan apa adanya, yakni “Conflict, Frustration, and the Theory of Threat”, “The Dynamics of Psychological Security-Insecurity”, dan “Preface to Motivation Theory”. Makalah 1943 muncul dalam hlm. 66-100. Makalah ini pertama kali diterbitkan di jurnal Psychological Review 50 (1943), hlm. 370-396. Tersedia online pada Classics in the History of Psychology, August 2000, http://psychclassics.yorku.ca/Maslow/motivation.htm.
Ada 6 karya Abraham H. Maslow yang perlu dibaca dengan cermat, jika kita ingin memahami lebih dalam piramida 5 hingga 8 jenjang hierarkis kebutuhan-kebutuhan manusia. Yakni: 1) “A Theory of Human Motivation”,
Psychological Review 50 (4), 1943, hlm. 370-396; 2)
Motivation and Personality (New York: Harper and Row, 1954); 3)
Toward A Psychology of Being (Princeton: D. Van Nostrand Company, 1962); 4)
Motivation and Personality (New York: Harper and Row, 1970); 5)
Religions, Values, and Peak Experiences (New York: Penguin, 1970. Original work published 1966); 6)
Motivation and Personality (Delhi, India: Pearson Education, third edition, 1987).
/12/ Carolyn J. Bohler, God the What? What Our Metaphors for God Reveal about Our Beliefs in God (Woodstock, Vermont: Skylight Paths, 2008), hlm. xiii.
/13/ Tentang ihwal keberadaan Tuhan, saya mengambil posisi positif bahwa Tuhan itu ada, tetapi “Dia” melampaui semua definisi yang manusia dapat bangun, atau malah Tuhan itu tidak terdefinisikan.
Lihat Ioanes Rakhmat, “TUHAN itu tidak terdefinisikan. Heninglah!”, Freidenk Blog, 31 Agustus 2021, diedit 15 September 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2021/08/tuhan-itu-tidak-terdefinisikan-heninglah.html?m=0; dan Ioanes Rakhmat, “Apakah Tuhan itu ada? Sebuah jawaban ilmiah kepada para ateis”, Freidenk Blog, 12 Agustus 2014, updated 20 Mei 2018, editing paragraf 29 Agustus 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2014/08/apakah-tuhan-itu-ada.html?m=0.
/14/ Lihat Bryan R. Wilson, “An Analysis of Sect Development”, American Sociological Review 24, (I) 1959, hlm. 3-15; idem, Religion in Secular Society: A Sociological Comment (Harmondsworth, Middlesex, etc.: Penguin Books, 1969; cetakan pertama oleh C. A. Watts, 1966), hlm. 224-226.
/15/ Mark Juergensmeyer, Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (edisi ketiga; Berkeley: University of California Press, 2005); idem, Global Rebellion: Religious Challenges to the Secular State, From Christian Militias to Al Qaeda (Berkeley, etc.: University of California Press, 2008). Lihat juga buku sejenis yang banyak dibicarakan karya Robert Pape, Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism (New York: Random House, 2005).
/16/ Lihat misalnya Kanita Dervic, Maria A. Oquendo, J. John Mann et al., “Religious Affiliation and Suicide Attempt”, The American Journal of Psychiatry, Vol. 161, Issue 12, December 2004, doi: 10.1176/appi.ajp.161.12.2303, hlm. 2303-2308, http://ajp.psychiatryonline.org/doi/full/10.1176/appi.ajp.161.12.2303.
/17/ Richard Carrier, “Bad Science: No, Atheism Does Not Cause Suicide”, Freethought Blogs, 19 February 2014, http://freethoughtblogs.com/carrier/archives/5181.
/18/ Lihat selanjutnya laporan riset Naomi R. Wray, Stephen Ripke,....., Patrick F. Sullivan, "Genome-wide association analyses identify 44 risk variants and refine the genetic architecture of major depression", Nature Genetics 50 (2018), hlm. 668-681, https://www.nature.com/articles/s41588-018-0090-3.
Artikel populernya, lihat Maria Cohut, "Depression: Pioneering study pinpoints 44 genetic culprits", Medical News Today 27 April 2018, https://www.medicalnewstoday.com/articles/321652.php.
/19/ Lihat artikel Steve Siebold, “The Biggest Scam of All: Pastor Creflo Dollar Will Get His USD 55 Million Luxury Jet”, Huffington Post. The Blog, 5 June 2015, http://www.huffingtonpost.com/steve-siebold/the-biggest-scam-of-all-p_b_7521170.html.
/20/ Lihat reportase Ray Nothstine, “Kareem Abdul-Jabbar Slams Prosperity Gospel and Creflo Dollar; Says Spiritual Leaders ‘Are Flying the Heavens Like Self-Annointed Angels’”, CP U.S., 15 June 2015, http://m.christianpost.com/news/kareem-abdul-jabbar-slams-prosperity-gospel-and-creflo-dollar-says-spiritual-leaders-are-flying-the-heavens-like-self-anointed-angels-140408/.
Lihat juga kolom Kareem Abdul-Jabbar, “Prosperity Gospel Is War on the Poor”, Time, 8 June 2015, http://time.com/3912366/kareem-abdul-jabbar-prosperity-gospel/.
/21/ Teks Prancis-nya: Si Dieu n'existait pas, il faudrait l'inventer. Sumber: Épître à l'Auteur du Livre des Trois Imposteurs (1770-11-10).
/22/ Christopher Hitchens, God Is Not Great: How Religion Poisons Everything (New York/Boston: Twelve Hatchette Book Group, 2007, 2008), hlm. 112.