Menimbang-nimbang wahyu, iman dan akal. Sebuah kebajikan agung di era modern.
AKAL dan WAHYU: BERSAHABAT atau BERMUSUHAN?
Sebuah penjelajahan menuju sang Mentari
N.B.
Editing mutakhir 25 Januari 2024
Dalam tulisan ini, saya menyajikan dan menawarkan suatu posisi yang tidak klise, yang bukan itu itu juga sejak dulu, tentang hubungan antara akal dan wahyu. Perlu usaha untuk melangkah maju dan keterbukaan pikiran jika orang mau mendapatkan cahaya Mentari lewat tulisan ini. Jendela-jendela hati dan pikiran perlu dibuka supaya sinar sang Surya di pagi hari dapat masuk ke rumah akal dan hati.
Saya harus tekankan bahwa tulisan ini fokus pada pemahaman kekristenan tradisional, dan ditulis untuk menyapa warga gereja (yang di dalamnya pemahaman saya tentang Yesus dan Alkitab juga hidup, tumbuh lalu berkembang) dan para teolog dan pemikir Kristen manapun. Objektivitas juga saya pertahankan, sebisa mungkin.
Konsep tradisional wahyu
Dalam kekristenan pada umumnya, ketika orang berbicara tentang wahyu (Yunani: apokalipsis), yang mereka maksudkan adalah hal-hal yang diungkap dan disingkapkan oleh Allah di dunia adikodrati kepada manusia di dunia kodrati lewat berbagai perantara-Nya, dan bukan hal-hal yang dihasilkan oleh akal budi dan kemampuan-kemampuan mental lainnya yang dimiliki manusia.
Konsep teologis tentang wahyu ini ditopang juga oleh konsep-konsep teologis lain tentang watak dan sifat Allah, yakni Allah yang memberi wahyu itu adalah Allah yang mahatahu, mahamelihat, mahabisa, mahakekal, mahahadir, mahamenjawab, mahamenuntun, tak pernah berubah, tetap selamanya, kekal abadi, dulu, sekarang maupun di masa yang akan datang.
Dalam konsep itu, Allah selalu permanen kendatipun dunia manusia dan kehidupan mereka selalu impermanen. Masalahnya, sebagai suatu organisme yang impermanen, manusia tidak akan pernah bisa sepenuhnya memahami permanensi Tuhan. Permanensi Tuhan melahirkan impermanensi konsep-konsep teologis tentang Tuhan. Jadi, Tuhan Allah itu sekaligus permanen dan impermanen.
Konsep tradisional wahyu
Dalam kekristenan pada umumnya, ketika orang berbicara tentang wahyu (Yunani: apokalipsis), yang mereka maksudkan adalah hal-hal yang diungkap dan disingkapkan oleh Allah di dunia adikodrati kepada manusia di dunia kodrati lewat berbagai perantara-Nya, dan bukan hal-hal yang dihasilkan oleh akal budi dan kemampuan-kemampuan mental lainnya yang dimiliki manusia.
Konsep teologis tentang wahyu ini ditopang juga oleh konsep-konsep teologis lain tentang watak dan sifat Allah, yakni Allah yang memberi wahyu itu adalah Allah yang mahatahu, mahamelihat, mahabisa, mahakekal, mahahadir, mahamenjawab, mahamenuntun, tak pernah berubah, tetap selamanya, kekal abadi, dulu, sekarang maupun di masa yang akan datang.
Dalam konsep itu, Allah selalu permanen kendatipun dunia manusia dan kehidupan mereka selalu impermanen. Masalahnya, sebagai suatu organisme yang impermanen, manusia tidak akan pernah bisa sepenuhnya memahami permanensi Tuhan. Permanensi Tuhan melahirkan impermanensi konsep-konsep teologis tentang Tuhan. Jadi, Tuhan Allah itu sekaligus permanen dan impermanen.
Dalam konsep itu juga, Allah dipercaya sebagai satu Entitas Agung yang sudah selesai. Tidak ada proses pengembangan dan kemajuan lagi dalam diri Allah meski jagat raya belum berakhir, masih akan ada untuk kurun yang sangat panjang ke depan, belum atau tak akan pernah lenyap dan tak pernah selesai mengembang. Pemahaman ini berbeda dari teologi naturalis yang dikembangkan dalam Gereja Katolik Roma yang nanti akan saya uraikan juga.
Jarang orang mau berpikir bahwa kemahabesaran Allah membuat-Nya tidak pernah bisa difiksasi atau dipaku mati pada konsep-konsep teologis apapun. Semakin besar dan agung Allah, semakin mustahil Dia dikurung dalam konsep-konsep teologis yang dibangun manusia fana.
Dengan demikian, bagi kekristenan tradisional, wahyu Allah yang sudah dituliskan juga dipercaya telah sempurna, sudah selesai, abadi, selalu relevan, berlaku mutlak untuk segala zaman dan segala tempat, tak pernah usang, selalu permanen, tak pernah salah, selalu benar, selalu mengikat. Dus, Allah yang mahabesar disusutkan menjadi, atau disamakan dengan, wahyu yang diyakini sudah habis dituangkan ke dalam kitab suci.
Selain itu, untuk mempertahankan bahwa wahyu yang sudah diterima dan sudah dituliskan itu wahyu yang sepenuhnya murni dari Allah, disusun sebuah doktrin lain. Yakni bahwa si penerima dan pencatat wahyu dijaga betul-betul oleh Allah atau dinafasi oleh Allah atau dibuat hidup oleh Allah (Yunani: theopneustos) sehingga segala hal yang didengar, dilihat dan dicatat benar-benar sama dengan apa yang Allah telah perdengarkan dan perlihatkan, tanpa bias dan penyimpangan sekecil apapun.
Menurut pendapat di atas, dalam datang dan diterimanya wahyu, hanya Allah yang berperan dan berinisiatif; peran si manusia penerima wahyu nol, sama sekali tak ada. Dengan asumsi ini, dibangunlah asumsi kedua bahwa wahyu ilahi itu murni. Jika tidak murni, bukan wahyu. Masalahnya, untuk menentukan murni atau tidaknya sesuatu, kita butuh hal-hal yang lain sebagai pembanding. Jadi, iman atau kepercayaan pada kemurnian Wahyu skriptural membutuhkan pembuktian komparatif.
Dalam konsep tradisional Kristen tentang Wahyu, mata panah hanya satu, dari langit menukik tajam ke Bumi; tak ada respon yang sadar dari si insan Bumi penerima wahyu dengan dia melesatkan anak panah juga yang matanya terarah ke langit dari Bumi. Hanya satu arah. Tak ada interkomunikasi. Tak ada dialektika. Tak ada dialog. Tak ada penafsiran atas wahyu ilahi saat wahyu ini diterima. Inilah pemahaman tentang wahyu yang statis, tidak dinamis, mekanistik.
Dengan demikian, bagi kekristenan tradisional, wahyu Allah yang sudah dituliskan juga dipercaya telah sempurna, sudah selesai, abadi, selalu relevan, berlaku mutlak untuk segala zaman dan segala tempat, tak pernah usang, selalu permanen, tak pernah salah, selalu benar, selalu mengikat. Dus, Allah yang mahabesar disusutkan menjadi, atau disamakan dengan, wahyu yang diyakini sudah habis dituangkan ke dalam kitab suci.
Selain itu, untuk mempertahankan bahwa wahyu yang sudah diterima dan sudah dituliskan itu wahyu yang sepenuhnya murni dari Allah, disusun sebuah doktrin lain. Yakni bahwa si penerima dan pencatat wahyu dijaga betul-betul oleh Allah atau dinafasi oleh Allah atau dibuat hidup oleh Allah (Yunani: theopneustos) sehingga segala hal yang didengar, dilihat dan dicatat benar-benar sama dengan apa yang Allah telah perdengarkan dan perlihatkan, tanpa bias dan penyimpangan sekecil apapun.
Menurut pendapat di atas, dalam datang dan diterimanya wahyu, hanya Allah yang berperan dan berinisiatif; peran si manusia penerima wahyu nol, sama sekali tak ada. Dengan asumsi ini, dibangunlah asumsi kedua bahwa wahyu ilahi itu murni. Jika tidak murni, bukan wahyu. Masalahnya, untuk menentukan murni atau tidaknya sesuatu, kita butuh hal-hal yang lain sebagai pembanding. Jadi, iman atau kepercayaan pada kemurnian Wahyu skriptural membutuhkan pembuktian komparatif.
Dalam konsep tradisional Kristen tentang Wahyu, mata panah hanya satu, dari langit menukik tajam ke Bumi; tak ada respon yang sadar dari si insan Bumi penerima wahyu dengan dia melesatkan anak panah juga yang matanya terarah ke langit dari Bumi. Hanya satu arah. Tak ada interkomunikasi. Tak ada dialektika. Tak ada dialog. Tak ada penafsiran atas wahyu ilahi saat wahyu ini diterima. Inilah pemahaman tentang wahyu yang statis, tidak dinamis, mekanistik.
Faktanya, jika teks-teks kitab suci dikaji dengan komprehensif, akan terlihat bahwa sebagai Wahyu, teks-teks suci selalu dinamis dan dialektis: para penulis dan konteks sejarah ikut menentukan kelahiran dan makna setiap teks wahyu. Sorga dan bumi berinteraksi dialektis dinamis ketika Wahyu disampaikan dan disingkap.
Pemahaman dan keyakinan tentang wahyu yang statis mekanistik sudah merata dipegang dan dipertahankan oleh umat Kristen tradisional, tentu juga oleh kalangan terdidik dalam kebanyakan gereja Kristen, baik di Barat maupun di Timur.
Akibatnya, ketika memakai kitab suci yang dipercaya sebagai wahyu Allah, mereka hanya tinggal mengutip ayat-ayat dan memberlakukan ayat-ayat tersebut kepada orang lain dan kepada diri mereka sendiri. Bagi mereka, apa yang ditulis pada ayat-ayat, itulah harfiah yang mereka harus lakukan. Mereka disebut sebagai kalangan literalis.
Ingatlah, cara tinggal pakai ini, tinggal comot teks lalu terapkan apa adanya, mendatangkan banyak risiko, bahkan bisa membahayakan siapapun yang melakukannya, dan tak jarang membuat orang Kristen masa kini terasing jauh dari zaman sekarang dan dari kebudayaan sendiri. Mereka menjadi anakronistik (salah zaman) dan etnosentristik (salah budaya).
Di kalangan Kristen umum diajarkan bahwa bukan ilmu pengetahuan, tapi hanya bimbingan Roh Kudus yang dikirim Allah yang dapat menyingkapkan makna dan pesan teks-teks Alkitab sebagai wahyu kepada setiap orang Kristen yang sedang mencari kehendak Tuhan dan membaca Alkitab. Tentu saja bimbingan Roh Kudus dalam kenyataannya akan diyakini secara subjektif, berbeda-beda dari satu orang Kristen ke orang Kristen lainnya. Tidak ada kriteria objektifnya. Dan hal ini tentu membuat orang Kristen tidak tahu berbagai ilmu pengetahuan yang perlu dipakai dalam memahami teks-teks Alkitab. Bagi kalangan ini, tidak perlu ilmu insani apapun untuk dapat memahami teks-teks yang diklaim diwahyukan dengan murni.
Pemahaman dan keyakinan tentang wahyu yang statis mekanistik sudah merata dipegang dan dipertahankan oleh umat Kristen tradisional, tentu juga oleh kalangan terdidik dalam kebanyakan gereja Kristen, baik di Barat maupun di Timur.
Akibatnya, ketika memakai kitab suci yang dipercaya sebagai wahyu Allah, mereka hanya tinggal mengutip ayat-ayat dan memberlakukan ayat-ayat tersebut kepada orang lain dan kepada diri mereka sendiri. Bagi mereka, apa yang ditulis pada ayat-ayat, itulah harfiah yang mereka harus lakukan. Mereka disebut sebagai kalangan literalis.
Ingatlah, cara tinggal pakai ini, tinggal comot teks lalu terapkan apa adanya, mendatangkan banyak risiko, bahkan bisa membahayakan siapapun yang melakukannya, dan tak jarang membuat orang Kristen masa kini terasing jauh dari zaman sekarang dan dari kebudayaan sendiri. Mereka menjadi anakronistik (salah zaman) dan etnosentristik (salah budaya).
Di kalangan Kristen umum diajarkan bahwa bukan ilmu pengetahuan, tapi hanya bimbingan Roh Kudus yang dikirim Allah yang dapat menyingkapkan makna dan pesan teks-teks Alkitab sebagai wahyu kepada setiap orang Kristen yang sedang mencari kehendak Tuhan dan membaca Alkitab. Tentu saja bimbingan Roh Kudus dalam kenyataannya akan diyakini secara subjektif, berbeda-beda dari satu orang Kristen ke orang Kristen lainnya. Tidak ada kriteria objektifnya. Dan hal ini tentu membuat orang Kristen tidak tahu berbagai ilmu pengetahuan yang perlu dipakai dalam memahami teks-teks Alkitab. Bagi kalangan ini, tidak perlu ilmu insani apapun untuk dapat memahami teks-teks yang diklaim diwahyukan dengan murni.
Masalahnya, bimbingan Roh Kudus juga harus memerlukan akal dan nalar atau pikiran untuk dapat diikuti oleh para pembaca kitab suci. Tanpa kita berpikir, bimbingan Roh Kudus tidak akan jalan, tidak akan kita ketahui.
Itulah konsep yang seasli-aslinya tentang wahyu ilahi, yang dipertahankan dengan sangat yakin oleh kebanyakan orang Kristen tradisional. Mereka dapat disebut sebagai kalangan penganut teori pewahyuan mekanik.
Selalu ada ketidakjelasan, kenapa?
Karena Allah juga dipercaya selalu jelas berbicara dan berkomunikasi dengan manusia lewat wahyu-Nya yang sudah dituliskan, maka wahyu Allah juga dipandang sudah jelas secara harfiah atau secara literal, tak bisa ambigu. Alhasil, wahyu hanya harus diterima apa adanya, sebagai wahyu murni, dan dijalankan apa adanya, tak perlu lagi ditafsirkan atau ditafsir ulang oleh manusia kapan pun dan di mana pun.
Pandangan seperti itu tentu saja mengabaikan fakta bahwa di dalam Alkitab selalu terdapat ketidakjelasan-ketidakjelasan, kecil atau besar, mulai dari kata-kata yang bermakna majemuk, kalimat-kalimat yang sukar dipahami karena sintaksisnya tidak apik, sampai pada tersedianya banyak versi teks yang memiliki perbedaan (besar atau kecil) satu sama lain, yang dengan susah-payah harus dipilih salah satunya untuk dijadikan versi standard. Juga karena para penulis Alkitab memakai berbagai jenis sastra ("literary genre") yang menyampaikan berita-berita dan kebenaran-kebenaran lewat cara-cara dan wahana sastrawi yang berlainan.
Tambahan lagi, zaman terus bergerak maju, kebudayaan berubah, tempat berpindah. Akibatnya, tercipta kesenjangan sejarah dan kesenjangan budaya antara zaman, dunia dan budaya yang menjadi dipan kelahiran kitab-kitab dalam Alkitab yang dipercaya diwahyukan dan zaman, dunia dan budaya pembaca di masa kini dan di berbagai tempat.
Dua kesenjangan ini ada yang sangat lebar dan dalam, yang membuat pihak sana dan pihak sini terasing satu sama lain.
Sekaligus juga, dua kesenjangan ini membuat makna kata-kata selalu bergeser atau berubah. Banyak kata yang jadi tak bermakna lagi dan perlu diganti kata-kata lain yang sudah atau masih harus diciptakan. Juga kebudayaan-kebudayaan berubah dan berganti.
Alhasil, akan selalu ada problem tekstual, problem kesejarahan dan problem kebudayaan, di setiap saat orang zaman sekarang mau memahami teks-teks keagamaan yang berasal dari zaman-zaman yang sangat lampau dan tempat-tempat yang jauh.
Ilmu hermeneutik
Nah, jika wahyu dipandang otoritatif, maka orang akan mematikan akal mereka ketika sedang berhadapan dengan teks-teks Alkitab. Bisa dimaklumi, karena warga gereja tak kenal apa yang sekarang dinamakan hermeneutik, dan juga tak berniat mempelajarinya.
Kalau memakai hermeneutik, mereka tak bisa lagi memahami teks-teks kitab suci kekristenan secara literal dan juga tak mungkin lagi memberlakukan banyak pesan teks-teks kitab suci secara literal begitu saja di zaman dan tempat mereka.
Hermeneutik hanya mungkin diperkenalkan kepada, dan dipelajari dan dijalankan oleh, orang Kristen yang sudah mau memakai akal budi mereka untuk memahami wahyu ilahi. Tidak membenturkan keduanya.
Ketika akal budi dipakai untuk memahami teks-teks kitab suci, maka hermeneutik baru mungkin dijalankan, dan teks-teks mulai tampak memerlukan interpretasi dan re-interpretasi terus-menerus sejalan dengan tempat-tempat yang berganti dan zaman yang terus berubah, dan ilmu pengetahuan yang berkembang dan bertambah luas.
Jika anda memakai hermeneutik dalam memahami teks-teks kitab suci gereja, anda pertama-tama akan memahami teks-teks itu dalam konteks sejarah dan konteks kebudayaan para penulis kitab suci di zaman dulu di tempat lain, dan dalam konteks sastra-nya dalam kitab suci.
Untuk keperluan itu, anda memerlukan ilmu sejarah, antropologi budaya, arkeologi, ilmu bahasa, beranekaragam kritik sastra, kajian-kajian sosiologis, dan lain-lain, yang anda gunakan secara interdisipliner dan dukung-mendukung. Saat mengampu mata kuliah hermeneutik, pendekatan lintasilmu inilah yang saya pakai, dan melatih mahasiswa untuk piawai memahami Alkitab lewat pendekatan interdisipliner ini. Ini tidak mudah. Memerlukan ketekunan, ketelitian dan kecerdasan dan ketangguhan.
Ketika anda sudah menemukan pesan-pesan teks-teks Alkitab dalam konteks zaman dulu di dunia yang lain dari dunia anda, anda selanjutnya masuk ke tahap hermeneutik kedua. Yakni mengevaluasi dengan kritis apakah pesan-pesan teks kitab suci yang sedang anda pahami relevan atau tidak relevan lagi untuk dunia anda di zaman sekarang.
Langkah kedua ini juga langka keilmuan. Anda memerlukan sekian ilmu pengetahuan yang berinteraksi untuk dapat mengenali dan memahami serta mendeskripsikan konteks zaman dan tempat anda hidup sehari-hari di abad ke-21 ini. Anda perlu tahu betul hal-hal apa yang sedang berlangsung di dalamnya dan ke mana akan bergerak, dan apa pandangan-pandangan dunia serta kesenian dan kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang menyelimuti kita semua sekarang. Ini juga bukan hal yang mudah.
Itulah dua langkah hermeneutik yang kalau anda jalankan, anda tak akan menjadi literalis Kristen, tapi menjadi kontekstualis historis Kristen.
Kalau anda menemukan sebuah pesan teks Alkitab sudah tak relevan lagi dalam dunia masa kini di tempat anda, tetapi anda masih ingin memakai teks ini, anda perlu melakukan re-interpretasi cerdas dan bertanggungjawab atas teks ini.
Ada lebih dari satu pendekatan dalam melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan yang berasal dari era pramodern dan prailmiah. Tidak bisa sembarangan dan asal kena. Hal ini tidak dibahas pada kesempatan ini.
Faktanya, adakah wahyu murni?
Konsekuensi lainnya dari pemakaian hermeneutik dalam memahami kitab suci adalah pemahaman atas wahyu murni tak bisa lagi dipertahankan. Allah tidak membenci akal budi, kebudayaan, kesenian, ilmu pengetahuan dan kehidupan yang ada dalam setiap peradaban di segala zaman. Allah Yang Mahatahu memakai semuanya juga, karena semuanya itu berasal dari pemberian ilahi yang menyentuh.
Ketika akal budi bekerja dalam proses hermeneutik, pemahaman atas wahyu mengalami banyak perubahan. Wahyu mulai dipandang tak terpisahkan dari kebudayaan, sistem sosial, alam pemikiran dan konteks kehidupan si penerima wahyu. Inilah wahyu yang dinamis, dialogis, dialektis dan progresif.
Wahyu mulai dipandang datang dan sampai ke si penerimanya yang tidak pasif, tetapi berperan aktif lewat akal, pengalaman dan kebudayaannya, sistem sosial dan sistem nilai masyarakatnya, ketika menerima dan menuliskan wahyu yang tentu saja harus dipahami si penerima wahyu.
Bahkan para penerima wahyu di zaman kuno ketika kitab-kitab dalam Alkitab ditulis pun dipandang sudah menafsirkan dan membentuk ulang wahyu yang diterima mereka, ketika mereka memahami wahyu dari perspektif-perspektif dan kepentingan-kepentingan tertentu.
Begitu juga, membaca teks-teks asli Alkitab apapun yang ditulis di zaman dulu, memerlukan interpretasi dari si pembaca di masa selanjutnya yang berpikir dan bergaul dengan menggunakan bahasa ibu mereka, bukan bahasa asli teks-teks Alkitabiah.
Penafsiran ulang terus berlanjut ketika teks-teks kitab suci memasuki tempat-tempat dan zaman-zaman lain yang berbeda radikal dari tempat dan zaman ketika wahyu-wahyu semula diterima.
Interpretasi dan re-interpretasi juga tak terelakkan ketika wahyu diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain supaya dengan cepat dapat dibaca dan dipahami oleh orang-orang yang tidak memahami bahasa-bahasa asli kitab-kitab dalam Alkitab (Ibrani, sedikit bahasa Aram, dan Yunani koine).
Setiap penerjemahan selalu sebuah penafsiran, dan penerjemahan sendiri adalah sebuah langkah hermeneutis kultural yang cerdas. Setiap penerjemah bahasa harus orang yang terdidik, terlatih dan berpengalaman luas, dan kenal banyak kebudayaan. Kenapa? Karena menerjemahkan teks-teks dari zaman yang sangat lampau dan dari kebudayaan dan sistem sosial yang berbeda, menimbulkan banyak kesulitan dan persoalan pelik.
Menerjemahkan itu bukan sekadar mengganti kata suatu teks kuno dengan kata lain dari bahasa lain yang dianggap sepadan, tetapi membuat makna dasariah teks yang ditangkap pendengar atau pembaca zaman dulu juga dapat kita tangkap di masa kini dalam kebudayaan keseharian kita yang berbeda. Ini hal yang sulit. Dapat ditangkap tidak otomatis berarti suatu teks itu relevan. Selain itu, makna dasariah yang kita dapat tangkap sekarang tidak pernah bisa sepenuhnya sama dengan makna teks seutuhnya dalam tangkapan mental orang zaman dulu. Bahasa berubah. Makna sebuah kata bergeser. Alam pemikiran juga berbeda. Pengetahuan juga berkembang. Kehidupan berubah.
Teologi naturalis
Pengakuan bahwa ketika wahyu-wahyu dituliskan pertama kali di zaman kuno, para penerima dan penulis wahyu juga memakai akal budi mereka, mencapai puncaknya ketika diyakini bahwa wahyu Allah bukan hanya terdapat di dalam kitab-kitab suci, tetapi juga ditemukan di luar kitab-kitab suci, yakni di dalam pikiran-pikiran manusia, yang muncul dan berkembang tanpa kontrol apapun dari wahyu skriptural atau dari lembaga-lembaga keagamaan.
Tentu akal budi bisa dan tak jarang salah. Tapi ketika akal budi bekerja dan yang dihasilkannya ilmu pengetahuan, maka setiap ilmu pengetahuan, by definition, selalu memiliki kemampuan untuk mengoreksi diri. Dalam sikon inilah, skeptisisme menjadi suatu kebajikan besar dalam dunia ilmu pengetahuan.
Konsep tentang akal budi sebagai wahyu dipertahankan dalam teologi naturalis dalam Gereja Katolik Roma.
Di dalam ruang teologi naturalis, ilmu pengetahuan pun, sebagai produk akal budi yang bekerja secara sistematis metodikal, dipandang sebagai wahyu Allah.
Di dalam ruang kerja teologi naturalis, Allah dan alam jalin-menjalin, tak terpisah. Dunia adikodrati dan dunia kodrati berinteraksi dan saling mengisi, tapi dalam pengertian non-mitologis karena interaksi tersebut memerlukan rasionalitas insani.
Di kalangan gereja Roma Katolik, wahyu dari alam adikodrati dan akal dari alam kodrati berinteraksi, atau bersinergi. Perhatikan pernyataan-pernyataan berikut yang mendasari teologi naturalis.
• Gratia non destruit, sed supponit et perficit naturam (karunia ilahi tidak membinasakan tetapi mengandaikan adanya dunia kodrati dan menyempurnakannya)
• Gratia praesupponit naturam (karunia mengasumsikan adanya dunia kodrati)
• Gratia elevat naturam (karunia meninggikan dunia kodrati)
Jadi, wahyu (sebagai gratia, karunia, anugerah) tidak antagonistik dengan akal budi atau rasionalitas (sebagai bagian dunia kodrati, naturam).
Malah oleh karunia ilahi akal budi yang bisa salah disempurnakan dan diangkat ke status yang tinggi.
Pada pihak lain, karunia baru bisa bekerja jika sebelumnya sudah ada akal budi. Tanpa akal budi, karunia jadi tak bisa dipahami atau tanpa makna.
Jika perspektif teologi naturalis dipakai, maka wahyu pun dipandang tak pernah mencapai titik akhir atau garis finish, tetapi progresif, berproses dialektis, terus-menerus muncul dan datang, dialogis, sejalan dengan aktivitas-aktivitas rasional manusia yang tak pernah berhenti.
Aktvitas rasional ini melahirkan sains yang tak pernah mencapai titik final, tapi terus berkembang dari saat ke saat, dari zaman ke zaman, semakin maju dan semakin inklusif, kumulatif dan integratif.
Di dalam dunia teologi naturalis, beragama adalah berpikir dan bertindak rasional dan saintifik, dalam proses yang tak pernah selesai. Dan, konten keberagamaan kita akan terus makin disempurnakan, lewat anugerah sorgawi.
Di dalam rumah teologi naturalis, tak ada ortodoksi atau heterodoksi, tak ada finalitas dan absolutisme. Yang ada adalah kemajemukan perspektif dan relativisme, sejalan dengan kemampuan akal dan sains untuk terus-menerus melahirkan pandangan-pandangan baru yang tak akan pernah diabsolutkan.
Dengan demikian, Allah di dalam teologi naturalis adalah Allah yang selalu ada di depan, yang terus dinanti dan diharapkan, yang terus berubah, berproses. Jika tampak hadir di kekinian, Allah terus dikejar, dan selalu luput ketika mau ditangkap dan dikuasai, the elusive God. Allah selalu berada di luar jaring apapun yang kita gunakan untuk menangkap-Nya.
Tentu saja, hermeneutik dan teologi naturalis yang sudah digambarkan ringkas di atas, hanya akan diterima oleh orang-orang Kristen yang masih mau setia beragama dalam dunia modern yang dibangun oleh iptek modern, dan akan ditolak dan ditentang habis-habisan oleh orang Kristen tradisional yang anti-modernitas.
Itulah konsep yang seasli-aslinya tentang wahyu ilahi, yang dipertahankan dengan sangat yakin oleh kebanyakan orang Kristen tradisional. Mereka dapat disebut sebagai kalangan penganut teori pewahyuan mekanik.
Selalu ada ketidakjelasan, kenapa?
Karena Allah juga dipercaya selalu jelas berbicara dan berkomunikasi dengan manusia lewat wahyu-Nya yang sudah dituliskan, maka wahyu Allah juga dipandang sudah jelas secara harfiah atau secara literal, tak bisa ambigu. Alhasil, wahyu hanya harus diterima apa adanya, sebagai wahyu murni, dan dijalankan apa adanya, tak perlu lagi ditafsirkan atau ditafsir ulang oleh manusia kapan pun dan di mana pun.
Pandangan seperti itu tentu saja mengabaikan fakta bahwa di dalam Alkitab selalu terdapat ketidakjelasan-ketidakjelasan, kecil atau besar, mulai dari kata-kata yang bermakna majemuk, kalimat-kalimat yang sukar dipahami karena sintaksisnya tidak apik, sampai pada tersedianya banyak versi teks yang memiliki perbedaan (besar atau kecil) satu sama lain, yang dengan susah-payah harus dipilih salah satunya untuk dijadikan versi standard. Juga karena para penulis Alkitab memakai berbagai jenis sastra ("literary genre") yang menyampaikan berita-berita dan kebenaran-kebenaran lewat cara-cara dan wahana sastrawi yang berlainan.
Tambahan lagi, zaman terus bergerak maju, kebudayaan berubah, tempat berpindah. Akibatnya, tercipta kesenjangan sejarah dan kesenjangan budaya antara zaman, dunia dan budaya yang menjadi dipan kelahiran kitab-kitab dalam Alkitab yang dipercaya diwahyukan dan zaman, dunia dan budaya pembaca di masa kini dan di berbagai tempat.
Dua kesenjangan ini ada yang sangat lebar dan dalam, yang membuat pihak sana dan pihak sini terasing satu sama lain.
Sekaligus juga, dua kesenjangan ini membuat makna kata-kata selalu bergeser atau berubah. Banyak kata yang jadi tak bermakna lagi dan perlu diganti kata-kata lain yang sudah atau masih harus diciptakan. Juga kebudayaan-kebudayaan berubah dan berganti.
Alhasil, akan selalu ada problem tekstual, problem kesejarahan dan problem kebudayaan, di setiap saat orang zaman sekarang mau memahami teks-teks keagamaan yang berasal dari zaman-zaman yang sangat lampau dan tempat-tempat yang jauh.
Ilmu hermeneutik
Nah, jika wahyu dipandang otoritatif, maka orang akan mematikan akal mereka ketika sedang berhadapan dengan teks-teks Alkitab. Bisa dimaklumi, karena warga gereja tak kenal apa yang sekarang dinamakan hermeneutik, dan juga tak berniat mempelajarinya.
Kalau memakai hermeneutik, mereka tak bisa lagi memahami teks-teks kitab suci kekristenan secara literal dan juga tak mungkin lagi memberlakukan banyak pesan teks-teks kitab suci secara literal begitu saja di zaman dan tempat mereka.
Hermeneutik hanya mungkin diperkenalkan kepada, dan dipelajari dan dijalankan oleh, orang Kristen yang sudah mau memakai akal budi mereka untuk memahami wahyu ilahi. Tidak membenturkan keduanya.
Ketika akal budi dipakai untuk memahami teks-teks kitab suci, maka hermeneutik baru mungkin dijalankan, dan teks-teks mulai tampak memerlukan interpretasi dan re-interpretasi terus-menerus sejalan dengan tempat-tempat yang berganti dan zaman yang terus berubah, dan ilmu pengetahuan yang berkembang dan bertambah luas.
Jika anda memakai hermeneutik dalam memahami teks-teks kitab suci gereja, anda pertama-tama akan memahami teks-teks itu dalam konteks sejarah dan konteks kebudayaan para penulis kitab suci di zaman dulu di tempat lain, dan dalam konteks sastra-nya dalam kitab suci.
Untuk keperluan itu, anda memerlukan ilmu sejarah, antropologi budaya, arkeologi, ilmu bahasa, beranekaragam kritik sastra, kajian-kajian sosiologis, dan lain-lain, yang anda gunakan secara interdisipliner dan dukung-mendukung. Saat mengampu mata kuliah hermeneutik, pendekatan lintasilmu inilah yang saya pakai, dan melatih mahasiswa untuk piawai memahami Alkitab lewat pendekatan interdisipliner ini. Ini tidak mudah. Memerlukan ketekunan, ketelitian dan kecerdasan dan ketangguhan.
Ketika anda sudah menemukan pesan-pesan teks-teks Alkitab dalam konteks zaman dulu di dunia yang lain dari dunia anda, anda selanjutnya masuk ke tahap hermeneutik kedua. Yakni mengevaluasi dengan kritis apakah pesan-pesan teks kitab suci yang sedang anda pahami relevan atau tidak relevan lagi untuk dunia anda di zaman sekarang.
Langkah kedua ini juga langka keilmuan. Anda memerlukan sekian ilmu pengetahuan yang berinteraksi untuk dapat mengenali dan memahami serta mendeskripsikan konteks zaman dan tempat anda hidup sehari-hari di abad ke-21 ini. Anda perlu tahu betul hal-hal apa yang sedang berlangsung di dalamnya dan ke mana akan bergerak, dan apa pandangan-pandangan dunia serta kesenian dan kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang menyelimuti kita semua sekarang. Ini juga bukan hal yang mudah.
Itulah dua langkah hermeneutik yang kalau anda jalankan, anda tak akan menjadi literalis Kristen, tapi menjadi kontekstualis historis Kristen.
Kalau anda menemukan sebuah pesan teks Alkitab sudah tak relevan lagi dalam dunia masa kini di tempat anda, tetapi anda masih ingin memakai teks ini, anda perlu melakukan re-interpretasi cerdas dan bertanggungjawab atas teks ini.
Ada lebih dari satu pendekatan dalam melakukan reinterpretasi teks-teks keagamaan yang berasal dari era pramodern dan prailmiah. Tidak bisa sembarangan dan asal kena. Hal ini tidak dibahas pada kesempatan ini.
Faktanya, adakah wahyu murni?
Konsekuensi lainnya dari pemakaian hermeneutik dalam memahami kitab suci adalah pemahaman atas wahyu murni tak bisa lagi dipertahankan. Allah tidak membenci akal budi, kebudayaan, kesenian, ilmu pengetahuan dan kehidupan yang ada dalam setiap peradaban di segala zaman. Allah Yang Mahatahu memakai semuanya juga, karena semuanya itu berasal dari pemberian ilahi yang menyentuh.
Ketika akal budi bekerja dalam proses hermeneutik, pemahaman atas wahyu mengalami banyak perubahan. Wahyu mulai dipandang tak terpisahkan dari kebudayaan, sistem sosial, alam pemikiran dan konteks kehidupan si penerima wahyu. Inilah wahyu yang dinamis, dialogis, dialektis dan progresif.
Wahyu mulai dipandang datang dan sampai ke si penerimanya yang tidak pasif, tetapi berperan aktif lewat akal, pengalaman dan kebudayaannya, sistem sosial dan sistem nilai masyarakatnya, ketika menerima dan menuliskan wahyu yang tentu saja harus dipahami si penerima wahyu.
Bahkan para penerima wahyu di zaman kuno ketika kitab-kitab dalam Alkitab ditulis pun dipandang sudah menafsirkan dan membentuk ulang wahyu yang diterima mereka, ketika mereka memahami wahyu dari perspektif-perspektif dan kepentingan-kepentingan tertentu.
Begitu juga, membaca teks-teks asli Alkitab apapun yang ditulis di zaman dulu, memerlukan interpretasi dari si pembaca di masa selanjutnya yang berpikir dan bergaul dengan menggunakan bahasa ibu mereka, bukan bahasa asli teks-teks Alkitabiah.
Penafsiran ulang terus berlanjut ketika teks-teks kitab suci memasuki tempat-tempat dan zaman-zaman lain yang berbeda radikal dari tempat dan zaman ketika wahyu-wahyu semula diterima.
Interpretasi dan re-interpretasi juga tak terelakkan ketika wahyu diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain supaya dengan cepat dapat dibaca dan dipahami oleh orang-orang yang tidak memahami bahasa-bahasa asli kitab-kitab dalam Alkitab (Ibrani, sedikit bahasa Aram, dan Yunani koine).
Setiap penerjemahan selalu sebuah penafsiran, dan penerjemahan sendiri adalah sebuah langkah hermeneutis kultural yang cerdas. Setiap penerjemah bahasa harus orang yang terdidik, terlatih dan berpengalaman luas, dan kenal banyak kebudayaan. Kenapa? Karena menerjemahkan teks-teks dari zaman yang sangat lampau dan dari kebudayaan dan sistem sosial yang berbeda, menimbulkan banyak kesulitan dan persoalan pelik.
Menerjemahkan itu bukan sekadar mengganti kata suatu teks kuno dengan kata lain dari bahasa lain yang dianggap sepadan, tetapi membuat makna dasariah teks yang ditangkap pendengar atau pembaca zaman dulu juga dapat kita tangkap di masa kini dalam kebudayaan keseharian kita yang berbeda. Ini hal yang sulit. Dapat ditangkap tidak otomatis berarti suatu teks itu relevan. Selain itu, makna dasariah yang kita dapat tangkap sekarang tidak pernah bisa sepenuhnya sama dengan makna teks seutuhnya dalam tangkapan mental orang zaman dulu. Bahasa berubah. Makna sebuah kata bergeser. Alam pemikiran juga berbeda. Pengetahuan juga berkembang. Kehidupan berubah.
Teologi naturalis
Pengakuan bahwa ketika wahyu-wahyu dituliskan pertama kali di zaman kuno, para penerima dan penulis wahyu juga memakai akal budi mereka, mencapai puncaknya ketika diyakini bahwa wahyu Allah bukan hanya terdapat di dalam kitab-kitab suci, tetapi juga ditemukan di luar kitab-kitab suci, yakni di dalam pikiran-pikiran manusia, yang muncul dan berkembang tanpa kontrol apapun dari wahyu skriptural atau dari lembaga-lembaga keagamaan.
Tentu akal budi bisa dan tak jarang salah. Tapi ketika akal budi bekerja dan yang dihasilkannya ilmu pengetahuan, maka setiap ilmu pengetahuan, by definition, selalu memiliki kemampuan untuk mengoreksi diri. Dalam sikon inilah, skeptisisme menjadi suatu kebajikan besar dalam dunia ilmu pengetahuan.
Konsep tentang akal budi sebagai wahyu dipertahankan dalam teologi naturalis dalam Gereja Katolik Roma.
Di dalam ruang teologi naturalis, ilmu pengetahuan pun, sebagai produk akal budi yang bekerja secara sistematis metodikal, dipandang sebagai wahyu Allah.
Di dalam ruang kerja teologi naturalis, Allah dan alam jalin-menjalin, tak terpisah. Dunia adikodrati dan dunia kodrati berinteraksi dan saling mengisi, tapi dalam pengertian non-mitologis karena interaksi tersebut memerlukan rasionalitas insani.
Di kalangan gereja Roma Katolik, wahyu dari alam adikodrati dan akal dari alam kodrati berinteraksi, atau bersinergi. Perhatikan pernyataan-pernyataan berikut yang mendasari teologi naturalis.
• Gratia non destruit, sed supponit et perficit naturam (karunia ilahi tidak membinasakan tetapi mengandaikan adanya dunia kodrati dan menyempurnakannya)
• Gratia praesupponit naturam (karunia mengasumsikan adanya dunia kodrati)
• Gratia elevat naturam (karunia meninggikan dunia kodrati)
Jadi, wahyu (sebagai gratia, karunia, anugerah) tidak antagonistik dengan akal budi atau rasionalitas (sebagai bagian dunia kodrati, naturam).
Malah oleh karunia ilahi akal budi yang bisa salah disempurnakan dan diangkat ke status yang tinggi.
Pada pihak lain, karunia baru bisa bekerja jika sebelumnya sudah ada akal budi. Tanpa akal budi, karunia jadi tak bisa dipahami atau tanpa makna.
Jika perspektif teologi naturalis dipakai, maka wahyu pun dipandang tak pernah mencapai titik akhir atau garis finish, tetapi progresif, berproses dialektis, terus-menerus muncul dan datang, dialogis, sejalan dengan aktivitas-aktivitas rasional manusia yang tak pernah berhenti.
Aktvitas rasional ini melahirkan sains yang tak pernah mencapai titik final, tapi terus berkembang dari saat ke saat, dari zaman ke zaman, semakin maju dan semakin inklusif, kumulatif dan integratif.
Di dalam dunia teologi naturalis, beragama adalah berpikir dan bertindak rasional dan saintifik, dalam proses yang tak pernah selesai. Dan, konten keberagamaan kita akan terus makin disempurnakan, lewat anugerah sorgawi.
Di dalam rumah teologi naturalis, tak ada ortodoksi atau heterodoksi, tak ada finalitas dan absolutisme. Yang ada adalah kemajemukan perspektif dan relativisme, sejalan dengan kemampuan akal dan sains untuk terus-menerus melahirkan pandangan-pandangan baru yang tak akan pernah diabsolutkan.
Dengan demikian, Allah di dalam teologi naturalis adalah Allah yang selalu ada di depan, yang terus dinanti dan diharapkan, yang terus berubah, berproses. Jika tampak hadir di kekinian, Allah terus dikejar, dan selalu luput ketika mau ditangkap dan dikuasai, the elusive God. Allah selalu berada di luar jaring apapun yang kita gunakan untuk menangkap-Nya.
Tentu saja, hermeneutik dan teologi naturalis yang sudah digambarkan ringkas di atas, hanya akan diterima oleh orang-orang Kristen yang masih mau setia beragama dalam dunia modern yang dibangun oleh iptek modern, dan akan ditolak dan ditentang habis-habisan oleh orang Kristen tradisional yang anti-modernitas.
Carl Sagan, astronom Amerika yang termashsyur, memandang teologi naturalis sebagai rekan dialog ilmu pengetahuan modern.
Dalam bukunya yang berjudul The Varieties of Scientific Experience: A Personal View of the Search for God (diedit oleh Ann Druyan. New York: Penguin Press, 2006), Carl Sagan menyatakan bahwa dalam teologi naturalis "pengetahuan teologis dibangun oleh nalar dan pengalaman dan eksperimen saja. Bukan oleh wahyu, bukan oleh pengalaman mistikal, tapi hanya oleh nalar", "oleh bukti". Pendek kata, baginya teologi naturalis "adalah segala sesuatu tentang dunia ini yang tidak disediakan oleh wahyu." (hlm. 147, 152-153, xvii). Dalam jalur pemikiran Sagan ini, Allah ditransformasi menjadi Allah yang berilmu, sang Ilmuwan Besar yang melahirkan ilmuwan-ilmuwan insani.
Kenapa akal ditakuti? Akal itu pemberian Tuhan.
Sebagai seorang penganut fideisme (“hanya iman yang benar”) tokoh besar reformasi gereja di Jerman abad ke-16, Martin Luther, pernah menulis, “Semua pasal pengakuan iman Kristen kita yang Allah telah wahyukan di dalam Firman-Nya, jika diperhadapkan pada akal, akan sungguh-sungguh mustahil, absurd, dan salah”, dan lagi, “Akal sama sekali tak menyumbang apapun kepada iman.... Sebab akal adalah musuh terbesar iman; akal tak pernah membantu hal-hal spiritual.”
Pendapat Luther yang ekstrim itu, jika diperhadapkan pada ilmu pengetahuan kognisi dan neurosains, jelas keliru.
Kemampuan beriman, kemampuan mempercayai sesuatu, kemampuan emosional, kebutuhan spiritual yang timbul, bersumber dari otak yang sama yang menghasilkan kapasitas neural insani untuk berpikir logis dan bernalar dan membangun ilmu pengetahuan. Semua bagian otak dengan fungsi-fungsi yang berbeda bekerja secara interkonektif dan dalam jejaring neural yang tidak terkoyak.
Jauh sebelum Martin Luther, Santo Augustinus (354-430 M), yang dipuja dalam gereja dari abad ke abad, dengan terbuka mengutuki rasa ingin tahu (kuriositas) yang mendorong manusia untuk berpikir logis linier dalam kerangka relasi sebab dan akibat, cara berpikir ilmiah. Tulis Augustinus:
“Ada satu bentuk godaan lagi, bahkan lebih berbahaya, yakni penyakit ingin tahu. Rasa ingin tahu inilah yang selalu mendorong kita untuk mencoba menemukan rahasia-rahasia alam, rahasia-rahasia yang sebetulnya berada di luar kemampuan kita untuk memahaminya, yang hanya akan membuahkan kesia-siaan jika dicari, yang seharusnya manusia tidak ingin pelajari.”
Kenapa akal ditakuti? Akal itu pemberian Tuhan.
Sebagai seorang penganut fideisme (“hanya iman yang benar”) tokoh besar reformasi gereja di Jerman abad ke-16, Martin Luther, pernah menulis, “Semua pasal pengakuan iman Kristen kita yang Allah telah wahyukan di dalam Firman-Nya, jika diperhadapkan pada akal, akan sungguh-sungguh mustahil, absurd, dan salah”, dan lagi, “Akal sama sekali tak menyumbang apapun kepada iman.... Sebab akal adalah musuh terbesar iman; akal tak pernah membantu hal-hal spiritual.”
Pendapat Luther yang ekstrim itu, jika diperhadapkan pada ilmu pengetahuan kognisi dan neurosains, jelas keliru.
Kemampuan beriman, kemampuan mempercayai sesuatu, kemampuan emosional, kebutuhan spiritual yang timbul, bersumber dari otak yang sama yang menghasilkan kapasitas neural insani untuk berpikir logis dan bernalar dan membangun ilmu pengetahuan. Semua bagian otak dengan fungsi-fungsi yang berbeda bekerja secara interkonektif dan dalam jejaring neural yang tidak terkoyak.
Jauh sebelum Martin Luther, Santo Augustinus (354-430 M), yang dipuja dalam gereja dari abad ke abad, dengan terbuka mengutuki rasa ingin tahu (kuriositas) yang mendorong manusia untuk berpikir logis linier dalam kerangka relasi sebab dan akibat, cara berpikir ilmiah. Tulis Augustinus:
“Ada satu bentuk godaan lagi, bahkan lebih berbahaya, yakni penyakit ingin tahu. Rasa ingin tahu inilah yang selalu mendorong kita untuk mencoba menemukan rahasia-rahasia alam, rahasia-rahasia yang sebetulnya berada di luar kemampuan kita untuk memahaminya, yang hanya akan membuahkan kesia-siaan jika dicari, yang seharusnya manusia tidak ingin pelajari.”
Kita tidak bisa mengabaikan pesan Yesus Kristus untuk kita mengasihi Allah dengan segenap akal budi. Ketika akal budi diberi tempat, maka kita akan terus-menerus ingin mengenal Allah semakin dekat dan semakin dekat, semakin luas dan semakin luas, semakin dalam dan semakin dalam lagi. Kita menjadi progresif. Terus melangkah ke depan, semakin maju.
Ya, ada konflik!
Jika wahyu ilahi dipandang tak memerlukan akal budi manusia, wahyu sebagai wahyu dan akal sebagai akal, maka memang keduanya akan selalu bertentangan. Ya, sejauh wahyu dipandang statis, satu arah, non-partisipatif, non-dialogis, mekanistik.
Mari sekarang kita bandingkan keduanya sebagai dua hal yang berdiri sendiri-sendiri.
• Akal itu hasil kerja neuron-neuron dalam otak kita, bagian dari biologi manusia, sedangkan wahyu itu diklaim datang dari langit di luar otak manusia, tak ada hubungannya dengan biologi manusia.
• Subjek akal adalah manusia natural yang memiliki otak. Subjek wahyu adalah Allah yang tak memiliki raga dan dipercaya diam di dunia supernatural. Dengan demikian, akal dipertanggungjawabkan oleh manusia, sedangkan wahyu oleh Allah yang tak boleh digugat.
• Wahyu diklaim harus diterima begitu saja, tak boleh diragukan, selalu benar. Akal itu bisa salah, selalu bertanya, butuh koreksi, dan harus didebat dengan cerdas dalam ruang publik.
• Saat akal melahirkan sains, akal bekerja dengan landasan bukti-bukti empiris. Wahyu yang statis diklaim benar begitu saja, tak memerlukan bukti-bukti empiris, dan setiap orang yang meminta bukti-bukti kebenaran wahyu Allah akan dijauhi.
• Akal bisa melahirkan kejahatan. Wahyu diklaim datang untuk memberi kebaikan buat manusia dan mendorong manusia berbuat bajik, kendatipun banyak sekali orang yang percaya pada wahyu Allah tak malu-malu untuk melakukan berbagai tindak kejahatan dan kekerasan atas nama Allah atau dengan berlindung di dalam nama Allah.
• Akal terbatas kendatipun oleh kerja kumulatif akal sains terus berkembang tanpa batas. Wahyu diklaim tak terbatas, berlaku kekal sekali sudah datang. Timbul pertanyaan: Bukankah pernyataan “Berlaku kekal sekali sudah datang” adalah juga suatu pembatasan?
• Semua hal yang dihasilkan akal tak bisa diabsolutkan, selalu relatif, harus dikaji ulang. Wahyu dipandang absolut dan tak boleh dikaji ulang. Wahyu statis. Tidak dialogis. Non-partisipatif.
• Akal mempunyai kemampuan mengoreksi diri, dan kerap dikoreksi. Wahyu dipandang berlaku mutlak, tak bisa salah, tak memerlukan koreksi, dan tak memiliki kemampuan mengoreksi diri.
• Akal manusia modern muncul dari evolusi panjang organ otak manusia yang memunculkan neokorteks. Wahyu tak mengenal evolusi, dipercaya datang langsung dari dunia adikodrati, langsung ada dalam kondisi sempurna dan final, bisa dalam waktu relatif singkat, atau bisa juga dalam kurun yang panjang bertahap-tahap.
• Akal melahirkan sains dan teknologi yang kini sedang mengendalikan segala sesuatu dalam kehidupan kita sehari-hari. Wahyu memunculkan agama-agama dengan segala akidah dan ritualnya yang dipandang mengikat komunitas gereja. Sebagai agama, kekristenan tidak melahirkan terobosan-terobosan keilmuan dan teknologis baru, meski banyak orang Kristen, karena cerdas, berpendidikan tinggi dan berilmu dan kreatif, berhasil menjadi ilmuwan-ilmuwan besar.
• Akal dipandang berwibawa karena memberi kemampuan bernalar pada manusia yang memampukan mereka berpikir logis dan rasional. Wahyu dalam Alkitab berwibawa karena dipercaya datang dari Allah, kendatipun karena wahyu orang Kristen sering berpikir dan bertindak tidak logis dan irasional.
• Akal tidak mau begitu saja ditundukkan oleh iman, sekuat apapun iman ini, dan terus mencari bukti-bukti untuk tiba pada kebenaran-kebenaran. Wahyu harus diterima benar hanya dengan iman saja, dan akal harus tunduk pada kemauan iman.
• Wahyu diberi wewenang menggugat akal karena wahyu dipandang berada di atas otoritas akal budi. Akal tidak diberi wewenang mempersoalkan wahyu, karena akal dipandang lebih rendah dari wahyu. Padahal, bagaimana wahyu bisa dibaca, didengar, dimengerti dan dicerna, jika akal tidak bekerja?
• Akal mendorong manusia berjuang keras untuk bertahan hidup dan membangun kepercayaan diri yang besar dan menciptakan serta mengembangkan peradaban. Wahyu meminta orang berserah diri penuh pada Allah, dan mendorong mereka untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk celaka yang tak ada artinya dan serba lemah dan tak boleh punya kemauan sendiri dalam segala hal, dan seluruh jalan kehidupan mereka dipandang sudah ditetapkan atau digariskan sebelumnya oleh Allah. Bagi teologi ortodoks Kristen, manusia adalah pendosa, dan tidak memiliki hal apapun dalam dirinya yang tidak rusak.
• Akal membuat anda terus belajar dan menjadi makin cerdas dan berpikiran kritis. Wahyu kerap memusuhi, menindas dan mematikan pemikiran kritis dan akal sehat dan, apalagi, akal ilmiah yang lebih tinggi.
• Akal membawa anda ke masa depan tanpa akhir, yang memberi anda tugas-tugas baru untuk anda selesaikan dan teruskan ke generasi-generasi selanjutnya. Wahyu umumnya menambatkan anda di zaman lampau, yang harus anda bawa dan pindahkan ke zaman anda sendiri sekalipun zaman anda sudah berubah radikal dibandingkan zaman ketika wahyu diklaim datang.
• Wahyu dibatasi umumnya hanya ada dalam satu kitab suci, yaitu Alkitab. Akal melahirkan banyak buku tanpa henti, yang ditulis oleh banyak pemikir dan ilmuwan agung dunia ini, yang melahirkan banyak pemikiran dan teori-teori ilmiah besar yang dapat dikata dapat bertahan abadi dalam dunia ini.
• Akal tak pernah mati, terus hidup dan berkembang dari zaman ke zaman, melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan baru dan peradaban-peradaban besar silih berganti. Agama-agama yang bersumber dari wahyu banyak yang sudah punah, misalnya agama-agama Yunani-Romawi kuno, agama-agama Mesir kuno (misalnya monoteisme yang menyembah Dewi Isis sebagai Tuhan yang mahaesa), kekristenan Yahudi asli (yang dibangun Rasul Yakobus, saudara Yesus), agama-agama gnostik, dan seterusnya.
• Akal mendorong kita menguak misteri-misteri alam tanpa henti dan tanpa takut. Wahyu menjaga misteri-misteri alam yang dipercaya dan dipertahankan sebagai misteri-misteri ilahi yang abadi dan terlarang untuk dicoba dikuak.
• Karena tunduk pada wahyu, orang mematikan rasa ingin tahunya, yang sebetulnya menjadi salah satu pendorong kuat lahirnya sains. Kalau Tuhan itu mahatahu, kenapa orang Kristen takut pada keingintahuan akal?
• Akal tak dipandang sakral dan ilahi sehingga tak disembah. Wahyu dipandang sakral, kerap disamakan dengan Allah sendiri dan, karenanya, tak jarang juga disembah. Ini yang dalam kekristenan dinamakan bibliolatreia.
• Akal tak diklaim serba tahu dan serba menjawab, tapi selalu mencari jawaban-jawaban yang real, yang potensial bisa keliru. Wahyu diklaim serba tahu dan serba menjawab, kendatipun dalam realitanya berbagai jenis kekristenan sekarang ini makin kelihatan tidak fungsional dan makin tidak signifikan dalam kehidupan masyarakat modern. Di negeri-negeri Barat yang berfondasi kekristenan di zaman lampau, banyak gereja yang kosong, lalu dialihgunakan.
• Wahyu mendorong orang Kristen jadi fanatik dan beriman tertutup. Akal yang panjang membuat orang terbuka dan berpandangan luas.
• Wahyu tak boleh dimodernisasi, harus dipertahankan apa adanya ketika datang ke dalam dunia manusia pada zaman-zaman kuno. Akal membawa kita masuk ke zaman modern dan di situ kita berpikir modern. Dengan pikiran modern kita, peradaban-peradaban kita majukan dan kembangkan, tanpa batas.
Jadi, in the final analysis, akal sebagai akal dan wahyu sebagai wahyu yang statis, memang tidak bisa sejalan. Yakni jika keduanya saling menganulir. Kecuali jika akal juga dipandang sebagai bagian dari wahyu, dan wahyu dipandang memerlukan akal dan juga sebaliknya, sebagaimana dipahami dalam teologi naturalis. Selain itu, Roh Kudus, yang menjadi bagian dari kawasan ilahi atau kawasan anugerah, juga diyakini akan menyempurnakan prestasi-prestasi pikiran atau akal budi dengan cara-cara yang khas. Tak ada pertentangan antara kerja ilmu hermeneutik dan kerja Roh Kudus lewat akal dan pikiran.
Pertanyaannya sekarang: Apakah anda menerima teologi naturalis? Sebaiknya ya, sebab teologi naturalis akan mendorong anda untuk cerdas beragama.
Empat pintu masuk
Tapi jika anda yang Kristen membutuhkan bingkai atau koridor atau konstruksi pemikiran lain yang bukan berasal dari Gereja Katolik, yang universal, baiklah, saya ajukan sekarang. Cukup dalam empat poin konstruksi pemikiran dasariah berikut ini.
Pertama, dalam kekristenan umum diyakini dan didoktrinkan bahwa Tuhan itu adalah Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Hadir.
Jadi, Tuhan itu memiliki kemahatahuan yang tak terbatas, infinite, tak ada garis finish-nya, tak ada titik ujungnya, tak pernah habis, tak pernah selesai, selalu bergerak maju, progresif, dalam gerak, dinamis, tak pernah berhenti, selalu masih ada ruang yang luas tersedia, terus mengembang dan terus bertambah.
Kedua, kemahatahuan Tuhan ini ada di mana-mana, tak bisa dibatasi atau dikerangkeng dalam suatu ruang dan suatu waktu, atau dalam dimensi-dimensi yang sudah diketahui dan yang akan diketahui. Ketuhanan yang tritunggal, “the divine three-in-one”, yang perlu dilanjutkan dengan “the divine infinite modes of being”, sebetulnya juga mau menyampaikan infinitas Tuhan dalam kepercayaan gereja.
Ya, ada konflik!
Jika wahyu ilahi dipandang tak memerlukan akal budi manusia, wahyu sebagai wahyu dan akal sebagai akal, maka memang keduanya akan selalu bertentangan. Ya, sejauh wahyu dipandang statis, satu arah, non-partisipatif, non-dialogis, mekanistik.
Mari sekarang kita bandingkan keduanya sebagai dua hal yang berdiri sendiri-sendiri.
• Akal itu hasil kerja neuron-neuron dalam otak kita, bagian dari biologi manusia, sedangkan wahyu itu diklaim datang dari langit di luar otak manusia, tak ada hubungannya dengan biologi manusia.
• Subjek akal adalah manusia natural yang memiliki otak. Subjek wahyu adalah Allah yang tak memiliki raga dan dipercaya diam di dunia supernatural. Dengan demikian, akal dipertanggungjawabkan oleh manusia, sedangkan wahyu oleh Allah yang tak boleh digugat.
• Wahyu diklaim harus diterima begitu saja, tak boleh diragukan, selalu benar. Akal itu bisa salah, selalu bertanya, butuh koreksi, dan harus didebat dengan cerdas dalam ruang publik.
• Saat akal melahirkan sains, akal bekerja dengan landasan bukti-bukti empiris. Wahyu yang statis diklaim benar begitu saja, tak memerlukan bukti-bukti empiris, dan setiap orang yang meminta bukti-bukti kebenaran wahyu Allah akan dijauhi.
• Akal bisa melahirkan kejahatan. Wahyu diklaim datang untuk memberi kebaikan buat manusia dan mendorong manusia berbuat bajik, kendatipun banyak sekali orang yang percaya pada wahyu Allah tak malu-malu untuk melakukan berbagai tindak kejahatan dan kekerasan atas nama Allah atau dengan berlindung di dalam nama Allah.
• Akal terbatas kendatipun oleh kerja kumulatif akal sains terus berkembang tanpa batas. Wahyu diklaim tak terbatas, berlaku kekal sekali sudah datang. Timbul pertanyaan: Bukankah pernyataan “Berlaku kekal sekali sudah datang” adalah juga suatu pembatasan?
• Semua hal yang dihasilkan akal tak bisa diabsolutkan, selalu relatif, harus dikaji ulang. Wahyu dipandang absolut dan tak boleh dikaji ulang. Wahyu statis. Tidak dialogis. Non-partisipatif.
• Akal mempunyai kemampuan mengoreksi diri, dan kerap dikoreksi. Wahyu dipandang berlaku mutlak, tak bisa salah, tak memerlukan koreksi, dan tak memiliki kemampuan mengoreksi diri.
• Akal manusia modern muncul dari evolusi panjang organ otak manusia yang memunculkan neokorteks. Wahyu tak mengenal evolusi, dipercaya datang langsung dari dunia adikodrati, langsung ada dalam kondisi sempurna dan final, bisa dalam waktu relatif singkat, atau bisa juga dalam kurun yang panjang bertahap-tahap.
• Akal melahirkan sains dan teknologi yang kini sedang mengendalikan segala sesuatu dalam kehidupan kita sehari-hari. Wahyu memunculkan agama-agama dengan segala akidah dan ritualnya yang dipandang mengikat komunitas gereja. Sebagai agama, kekristenan tidak melahirkan terobosan-terobosan keilmuan dan teknologis baru, meski banyak orang Kristen, karena cerdas, berpendidikan tinggi dan berilmu dan kreatif, berhasil menjadi ilmuwan-ilmuwan besar.
• Akal dipandang berwibawa karena memberi kemampuan bernalar pada manusia yang memampukan mereka berpikir logis dan rasional. Wahyu dalam Alkitab berwibawa karena dipercaya datang dari Allah, kendatipun karena wahyu orang Kristen sering berpikir dan bertindak tidak logis dan irasional.
• Akal tidak mau begitu saja ditundukkan oleh iman, sekuat apapun iman ini, dan terus mencari bukti-bukti untuk tiba pada kebenaran-kebenaran. Wahyu harus diterima benar hanya dengan iman saja, dan akal harus tunduk pada kemauan iman.
• Wahyu diberi wewenang menggugat akal karena wahyu dipandang berada di atas otoritas akal budi. Akal tidak diberi wewenang mempersoalkan wahyu, karena akal dipandang lebih rendah dari wahyu. Padahal, bagaimana wahyu bisa dibaca, didengar, dimengerti dan dicerna, jika akal tidak bekerja?
• Akal mendorong manusia berjuang keras untuk bertahan hidup dan membangun kepercayaan diri yang besar dan menciptakan serta mengembangkan peradaban. Wahyu meminta orang berserah diri penuh pada Allah, dan mendorong mereka untuk melihat diri sendiri sebagai makhluk celaka yang tak ada artinya dan serba lemah dan tak boleh punya kemauan sendiri dalam segala hal, dan seluruh jalan kehidupan mereka dipandang sudah ditetapkan atau digariskan sebelumnya oleh Allah. Bagi teologi ortodoks Kristen, manusia adalah pendosa, dan tidak memiliki hal apapun dalam dirinya yang tidak rusak.
• Akal membuat anda terus belajar dan menjadi makin cerdas dan berpikiran kritis. Wahyu kerap memusuhi, menindas dan mematikan pemikiran kritis dan akal sehat dan, apalagi, akal ilmiah yang lebih tinggi.
• Akal membawa anda ke masa depan tanpa akhir, yang memberi anda tugas-tugas baru untuk anda selesaikan dan teruskan ke generasi-generasi selanjutnya. Wahyu umumnya menambatkan anda di zaman lampau, yang harus anda bawa dan pindahkan ke zaman anda sendiri sekalipun zaman anda sudah berubah radikal dibandingkan zaman ketika wahyu diklaim datang.
• Wahyu dibatasi umumnya hanya ada dalam satu kitab suci, yaitu Alkitab. Akal melahirkan banyak buku tanpa henti, yang ditulis oleh banyak pemikir dan ilmuwan agung dunia ini, yang melahirkan banyak pemikiran dan teori-teori ilmiah besar yang dapat dikata dapat bertahan abadi dalam dunia ini.
• Akal tak pernah mati, terus hidup dan berkembang dari zaman ke zaman, melahirkan ilmu-ilmu pengetahuan baru dan peradaban-peradaban besar silih berganti. Agama-agama yang bersumber dari wahyu banyak yang sudah punah, misalnya agama-agama Yunani-Romawi kuno, agama-agama Mesir kuno (misalnya monoteisme yang menyembah Dewi Isis sebagai Tuhan yang mahaesa), kekristenan Yahudi asli (yang dibangun Rasul Yakobus, saudara Yesus), agama-agama gnostik, dan seterusnya.
• Akal mendorong kita menguak misteri-misteri alam tanpa henti dan tanpa takut. Wahyu menjaga misteri-misteri alam yang dipercaya dan dipertahankan sebagai misteri-misteri ilahi yang abadi dan terlarang untuk dicoba dikuak.
• Karena tunduk pada wahyu, orang mematikan rasa ingin tahunya, yang sebetulnya menjadi salah satu pendorong kuat lahirnya sains. Kalau Tuhan itu mahatahu, kenapa orang Kristen takut pada keingintahuan akal?
• Akal tak dipandang sakral dan ilahi sehingga tak disembah. Wahyu dipandang sakral, kerap disamakan dengan Allah sendiri dan, karenanya, tak jarang juga disembah. Ini yang dalam kekristenan dinamakan bibliolatreia.
• Akal tak diklaim serba tahu dan serba menjawab, tapi selalu mencari jawaban-jawaban yang real, yang potensial bisa keliru. Wahyu diklaim serba tahu dan serba menjawab, kendatipun dalam realitanya berbagai jenis kekristenan sekarang ini makin kelihatan tidak fungsional dan makin tidak signifikan dalam kehidupan masyarakat modern. Di negeri-negeri Barat yang berfondasi kekristenan di zaman lampau, banyak gereja yang kosong, lalu dialihgunakan.
• Wahyu mendorong orang Kristen jadi fanatik dan beriman tertutup. Akal yang panjang membuat orang terbuka dan berpandangan luas.
• Wahyu tak boleh dimodernisasi, harus dipertahankan apa adanya ketika datang ke dalam dunia manusia pada zaman-zaman kuno. Akal membawa kita masuk ke zaman modern dan di situ kita berpikir modern. Dengan pikiran modern kita, peradaban-peradaban kita majukan dan kembangkan, tanpa batas.
Jadi, in the final analysis, akal sebagai akal dan wahyu sebagai wahyu yang statis, memang tidak bisa sejalan. Yakni jika keduanya saling menganulir. Kecuali jika akal juga dipandang sebagai bagian dari wahyu, dan wahyu dipandang memerlukan akal dan juga sebaliknya, sebagaimana dipahami dalam teologi naturalis. Selain itu, Roh Kudus, yang menjadi bagian dari kawasan ilahi atau kawasan anugerah, juga diyakini akan menyempurnakan prestasi-prestasi pikiran atau akal budi dengan cara-cara yang khas. Tak ada pertentangan antara kerja ilmu hermeneutik dan kerja Roh Kudus lewat akal dan pikiran.
Pertanyaannya sekarang: Apakah anda menerima teologi naturalis? Sebaiknya ya, sebab teologi naturalis akan mendorong anda untuk cerdas beragama.
Empat pintu masuk
Tapi jika anda yang Kristen membutuhkan bingkai atau koridor atau konstruksi pemikiran lain yang bukan berasal dari Gereja Katolik, yang universal, baiklah, saya ajukan sekarang. Cukup dalam empat poin konstruksi pemikiran dasariah berikut ini.
Pertama, dalam kekristenan umum diyakini dan didoktrinkan bahwa Tuhan itu adalah Tuhan Yang Maha Tahu dan Maha Hadir.
Jadi, Tuhan itu memiliki kemahatahuan yang tak terbatas, infinite, tak ada garis finish-nya, tak ada titik ujungnya, tak pernah habis, tak pernah selesai, selalu bergerak maju, progresif, dalam gerak, dinamis, tak pernah berhenti, selalu masih ada ruang yang luas tersedia, terus mengembang dan terus bertambah.
Kedua, kemahatahuan Tuhan ini ada di mana-mana, tak bisa dibatasi atau dikerangkeng dalam suatu ruang dan suatu waktu, atau dalam dimensi-dimensi yang sudah diketahui dan yang akan diketahui. Ketuhanan yang tritunggal, “the divine three-in-one”, yang perlu dilanjutkan dengan “the divine infinite modes of being”, sebetulnya juga mau menyampaikan infinitas Tuhan dalam kepercayaan gereja.
Kemahatahuan Tuhan itu ada di dalam partikel-partikel subatomik hingga di dalam jagat-jagat raya yang tanpa batas, juga di masa-masa lalu hingga ke masa-masa depan tanpa akhir, dan di semua dimensi dan ekstradimensi.
Ya, itulah hakikat kemahatahuan Tuhan karena Tuhan yang mahatahu juga Tuhan yang mahahadir.
Ketiga, dengan demikian, ilmu pengetahuan sebagai metode dan sarana serta wahana yang teruji untuk kita memperoleh pengetahuan-pengetahuan yang tak pernah habis, adalah jalan agung menuju kemahatahuan Tuhan.
Tahap demi tahap dan lewat dialektika dalam pengejaran ilmu pengetahuan, kemahatahuan Tuhan ini disingkap dan diberikan kepada manusia yang terus aktif mencari dan menyelidiki berbagai fenomena dalam jagat-jagat raya yang dapat diobservasi dan dipersepsi oleh lima indra atau lewat bantuan instrumen-instrumen teknologis, dan dapat diukur, dianalisis dan dideskripsikan dengan sistematik.
Keempat, karena Tuhan yang mahatahu itu juga mahahadir, maka seluruh jagat raya dengan segala isinya, dan seluruh dimensi yang telah dan akan dikenal, dan semua fenomena yang ada di dalam seluruh jagat mikro dan seluruh jagat makro yang tak ada batasnya, adalah kawasan-kawasan mahaluas tanpa batas di mana wujud-wujud kemahatahuan Tuhan dapat ditemukan satu demi satu, tentu lewat ilmu pengetahuan.
Ya bak menemukan butir-butir mutiara yang bercahaya, tahap demi tahap, terus diselidiki, dikaji, dipahami dan dideskripsikan dengan analitis dan sistematik.
Nah, jika empat konstruksi pemikiran dasariah tersebut di atas kita jadikan koridor atau matriks untuk kita, sebagai gereja, masuki dan jalani, kita tidak akan menjumpai konflik atau benturan apapun antara cinta dan ibadah kepada Tuhan yang mahatahu dan mahahadir dan semua ilmu pengetahuan yang terus dikembangkan dan bertambah maju dan makin integratif lewat dialektika dan koreksi serta partisipasi sangat banyak orang tanpa akhir. Lantas, setiap ilmuwan jadinya adalah hamba Tuhan juga.
Pendek kata, kita akan menjadi orang Kristen yang cerdas beragama. Kecerdasan keberagamaan yang tak pernah diam stagnan, tapi terus meningkat tanpa batas. As the sky is limitless, our intelligence and religiosity are limitless too.
Congrats! Wahyu yang dinamis dan akal ternyata bersahabat, berpelukan, tidak bermusuhan. Ada dialog. Ada dialektika. Ada dinamika. Ini saya sebut teori pewahyuan dialektik dinamik. Jika posisi ini diterima, maka peradaban akan bangkit dan maju.
Orang Kristen yang membuat keduanya bermusuhan dan berkelahi pasti tidak kenal baik wahyu maupun akal. Mereka membantutkan peradaban, bahkan bisa melenyapkannya.
Nah, akhirnya harus saya ingatkan bahwa pendekatan yang saya tawarkan ini tidak boleh membawa anda pada suatu kesimpulan bahwa anda boleh menyelaraskan dengan serampangan atau mencocok-cocokkan temuan-temuan akal lewat banyak ilmu pengetahuan dengan teks-teks Alkitab apapun.
Hal itu tidak bisa dilakukan sebab bagaimana pun juga tetap ada wilayah sendiri-sendiri bagi akal dan wahyu. Hal-hal yang dicapai akal tidak pernah habis. Sebaliknya, dalam teori pewahyuan mekanik, Wahyu sudah habis dan lengkap sempurna tertuang dalam kitab suci.
Meski begitu, keduanya bertemu dan bersumber pada kemahatahuan dan kemahahadiran Tuhan yang kreatif. Akal dan wahyu berdialektika lewat ilmu hermeneutik, bukan lewat teori pewahyuan mekanik.
Stay peaceful.
Keep thinking forward.
The future is limitless.