Saturday, August 17, 2013
Kata “prihatin”
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi 3 (tahun 2005), sebagai kata sifat “prihatin” bermakna bersedih hati, waswas, bimbang (karena usahanya gagal, mendapat kesulitan, mengingat akan nasibnya, dsb); dalam arti ini, kata prihatin sama dengan kata sifat “concerned” dalam bahasa Inggris. Perhatikan kalimat berikut: She looked very much concerned about her own children. Terjemahan Indonesianya: Dia tampak sangat cemas mengenai anak-anaknya sendiri.
Sebagai kata kerja, menurut KBBI edisi 3, prihatin bermakna menahan diri, bertarak.
Sebetulnya kata prihatin juga mengungkapkan ketidaksetujuan seseorang pada suatu hal atau suatu kondisi, tetapi orang ini sama sekali tidak berdaya dan tidak memiliki kemampuan untuk mengubah hal tersebut atau kondisi tersebut. Sebagai contoh, perhatikan kalimat ini: Saya sangat prihatin dengan keadaanmu, tetapi sungguh saya tidak berdaya membantumu untuk mengubahnya.
Tetapi kata benda prihatin (Inggris: “concern”) juga memiliki makna positif, yakni mengungkapkan kepedulian dan perhatian besar seseorang pada suatu hal atau suatu kondisi. Perhatikan kalimat dalam bahasa Inggris ini: He has great concern for his nation. Terjemahan Indonesianya: Dia mempunyai perhatian (= keprihatinan) besar terhadap bangsanya. Dalam arti ini, kata prihatin (Inggris: “concerned”) bermakna “to be interested in something” atau “to take an interest”. Contoh kalimatnya: They were more concerned with how the other woman had dressed than in what the speaker was saying. Terjemahan Indonesianya: Mereka lebih memperhatikan bagaimana perempuan yang lain itu berpakaian ketimbang apa yang sedang diucapkan si pembicara.
Bapak Presiden kita, Pak SBY, semakin dikenal sebagai seorang kepala negara yang suka menyatakan keprihatinannya yang besar terhadap banyak perkara yang sedang belangsung dalam negara kita. Belakangan ini beliau sering mengungkapkan keprihatinannya khususnya terhadap intoleransi dalam kehidupan umat-umat beragama di Indonesia, yang sering membuahkan kekerasan fisik (dan kekerasan wacana) terhadap golongan-golongan umat minoritas yang berbeda (agama atau aliran keagamaan mereka).
Kita jadi bertanya-tanya, apa yang dimaksudkan oleh beliau dengan kata “prihatin” yang sering diungkap sebagai isi kalbunya. Apakah kata itu dipakai beliau untuk meyatakan bahwa beliau sekarang sedang bimbang, waswas, cemas, dan bersedih hati, atas intoleransi yang sedang berlangsung, atau apakah beliau sebetulnya sangat memperhatikan kondisi intoleransi ini tetapi beliau merasa dirinya tidak memiliki kewenangan dan kemampuan apapun untuk mencegah dan mengatasinya, atau apakah beliau sedang menahan diri dan hidup bertarak sehingga tak mau mencampuri urusan duniawi dalam negara yang sedang dipimpinnya.
Jika kata prihatin dalam ucapan-ucapan beliau bermakna negatif seperti digambarkan pada alinea di atas, kita tentu jadi bertanya-tanya: Bukankah seorang presiden memiliki kewenangan dan kemampuan politis untuk mengatasi semua hal yang membuatnya prihatin terus-menerus? Jika beliau hanya prihatin, tetapi tak mau dan tak mampu mengubah kondisi-kondisi yang membuatnya prihatin, apakah beliau memang masih seorang presiden negara besar Republik Indonesia?
Kita sebetulnya sangat ingin beliau mengatasi semua hal yang membuatnya prihatin dengan menggunakan kemampuan, kekuasaan dan kewenangan yang ada padanya sebagai seorang presiden. Jika hal ini tidak terjadi, kitalah sebagai rakyat yang, pada hari ini, 17 Agustus 2013, setelah NKRI merdeka selama 68 tahun, harus menyatakan keprihatinan sangat besar terhadap kinerja Bapak Presiden kita.