Kajian yang berjudul “‘God is like a drug’: Explaining Interaction Ritual Chains in American Megachurches”, yang disajikan pada 19 Agustus 2012 dalam pertemuan tahunan American Sociological Association di Denver,/1/ berfokus pada kegiatan-kegiatan ibadah Minggu di gereja-gereja superbesar (megachurches) Amerika. Menurut kajian ini, kegiatan-kegiatan ibadah semacam ini sanggup menimbulkan euforia dan rasa sukacita yang besar dalam diri umat yang bersumber dari apa yang mereka klaim sebagai pengalaman memasuki lalu menyatu dengan dunia adikodrati. Dalam pengalaman ini, cinta serta kegairahan mereka terhadap Allah (atau Roh Kudus) dirasakan begitu real dan berbalas sehingga mereka ketagihan untuk terus-menerus ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan ibadah ini dari waktu ke waktu.
dalam gereja superbesar ini, Allah dialami sebagai candu...
Kita tahu bahwa pengalaman keagamaan
“melambungnya” umat ke dalam dunia transenden yang diikuti dorongan kuat untuk
terus-menerus menyatu dengan Allah, terjadi karena lewat semua aktivitas ibadah
itu, yang telah dirancang dengan sangat unik, hormon oksitosin (yang dijuluki
sebagai “hormon cinta”) dalam jumlah yang makin meningkat terpicu lepas dari
sel-sel otak, lalu masuk ke aliran darah dan berpengaruh pada seluruh tubuh.
Musik modern yang diangkat
bertubi-tubi, nyanyian-nyanyian yang melambung, kamera-kamera yang memindai
audiens dan memproyeksikan pada layar-layar lebar para peserta ibadah yang
sedang tersenyum, tertawa, berdansa, bernyanyi, menangis bahkan terjatuh
lunglai ke lantai dalam keadaan ekstasis, yang diselang-seling dengan
khotbah-khotbah para pengkhotbah kharismatis yang disengaja menyentuh dengan
sangat kuat hanya aspek-aspek emosional umat―semuanya ini berfungsi untuk
menaikkan suhu emosi setiap orang yang hadir, membawa mereka ke dalam
bayangan-bayangan memasuki dunia transenden, bertemu dengan Allah atau dipenuhi
kehadiran Roh Kudus, dan untuk membangun suatu identitas bersama sebagai satu
perhimpunan besar umat Allah yang dikasihi dan mengasihi Allah. Lewat ini
semua, hormon oksitosin dalam otak meningkat volumenya. Semakin banyak hormon
oksitosin dilepaskan lewat aksi-reaksi elektrokimiawi otak, semakin orang
dipersatukan secara sosial dan secara afektif dengan sesamanya dalam satu
himpunan besar orang, bahkan dengan objek-objek lain yang tak kasat mata (“gaib”)
yang dibayang-bayangkan ada bersama mereka.
Besarnya ukuran bangunan fisik
gereja dan jumlah umat ternyata tidak menjadi penghalang untuk semua yang hadir
mengalami pengalaman dipersatukan secara sosial dengan sesama umat dan dengan
Allah atau dengan Yesus Kristus, dan untuk mengalami euforia. Bisa jadi, fenomena sosiopsikologis
dan spiritual semacam ini menjadi penyebab utama megachurches di Amerika terus berkembang dengan pesat. Allah itu
seperti candu!
Selain khotbah-khotbah yang
disengaja menyentuh dalam-dalam emosi umat, musik dan nyanyian yang diangkat
dalam ibadah-ibadah di megachurches
sangat kuat berperan dalam melambungkan umat ke dalam pengalaman-pengalaman
rohani. Pertanyaannya, Apakah musik dan madah-madah yang meriah dan melambung
ini memang positif bagi kesehatan jiwa orang-orang yang ambil bagian aktif di
dalamnya atau yang mendengarkannya?
Kajian-kajian klinis neurosaintifik yang
dilakukan Lin ST dkk pada tahun 2011, yang diterbitkan di jurnal Harvard Review Psychiatry, dengan judul
“Mental health implications of music: insight from neuroscientific and clinical
studies”, menunjukkan bahwa musik dapat menjadi media yang mampu mempengaruhi
proses-proses neurobiologis yang rumit di dalam otak dan dapat memainkan suatu
peran yang penting dalam pengobatan. Kajian-kajian klinis memberi bukti bahwa
terapi musik dapat dilakukan sebagai sebuah terapi alternatif untuk mengobati
depresi, autisme, skizofrenia, dementia, dan juga masalah-masalah yang muncul
dari gejolak kejiwaan, kecemasan, insomnia, dan penyalahgunaan narkoba./2/ Tetapi,
sebagaimana dirujuk oleh Daniel C. Dennett dalam bukunya Breaking the Spell: Religion as a Natural Phenomenon, sebuah
penelitian lain mengenai musik yang dilakukan di Cambridge University and
Caltech yang diterbitkan di New York
Times, memperlihatkan bahwa musik sebenarnya buruk untuk kesehatan, menjadi
faktor besar penyebab penyakit Alzheimer dan serangan jantung, berperan besar
dalam melahirkan perilaku agresif, xenofobia dan lemahnya kemauan, dan
memperbesar kemungkinan orang melakukan tindak kekerasan./3/
Dua kesimpulan
yang berbeda tentang manfaat musik bagi kesehatan manusia ini sudah seharusnya
membuat setiap pecinta musik bijaksana dan cerdas dalam memilih jenis-jenis
musik dan suara. Terapis musik Jennifer Buchanan menyatakan, “musik dengan
cepat merangsang dan mengaktifkan pusat-pusat ‘hadiah’ dalam otak kita. Apa
yang terjadi pada kebanyakan kita hanya dalam beberapa detik adalah, kita akan
mengalirkan hormon-hormon ke dalam sistem saraf kita, seperti dopamin yang akan
membantu kita merasa damai, oksitosin yang akan menolong kita mempercayai orang
lain, dan serotonin yang dapat membantu kita tertidur lelap. Semuanya
bergantung pada jenis musik, lagu dan nadanya.”/4/
Catatan-catatan
/1/ Chris Lisee, “Megachurch ‘High’ May
Explain Their Success”, Huffington Post
20 August 2012, pada http://www.huffingtonpost.com/2012/08/20/megachurch-high-may-explain-success_n_1813334.html?;
juga American Sociological Association, “God as a drug: The rise of American
Megachurches”, Science Daily August
19, 2012, pada http://www.sciencedaily.com/releases/2012/08/120819153536.htm.
/2/ Lihat Lin ST, Yang P, et al., “Mental health implications of music: insight from
neuroscientific and clinical studies”, Harvard
Review Psychiatry, Jan-Feb 2011; 19 (1): 34-46, pada http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21250895.
/3/ Daniel C. Dennett, Breaking
the Spell: Religion as a Natural Phenomenon (London: Penguin Books, 2006)
hlm. 41.
/4/ Rebecca Zamon, “Music And Health: What Can Music Do For Your Mental Health?”, Huffington Post Living, 19 November 2012, pada http://www.huffingtonpost.ca/2012/11/19/music-and-health_n_2160571.html?just_reloaded=1#slide=1778649.
/4/ Rebecca Zamon, “Music And Health: What Can Music Do For Your Mental Health?”, Huffington Post Living, 19 November 2012, pada http://www.huffingtonpost.ca/2012/11/19/music-and-health_n_2160571.html?just_reloaded=1#slide=1778649.