Monday, December 31, 2012

Bisakah seorang saintis menjadi “fundamentalis sains”?

Tulisan ini menanggapi sekian orang di Twitter yang baru saja menuduh asbun bahwa kalangan saintis bisa menjadi fundamentalis.

Mari mulai dengan sebuah definisi. Seorang fundamentalis  adalah seorang “berkacamata kuda” yang mengabsolutisasi pandangan dan keyakinan keagamaannya di hadapan bukti-bukti yang menyatakan lain. Kata seorang fundamentalis, “Pokoknya gua mau percaya begini; lo mau apa?


oxymoron: harus stop, tapi juga harus jalan terus!

Setiap agamawan ada dalam suatu risiko besar menjadi fundamentalis karena baginya agamanya absolut tak bisa salah dan selalu benar. Fundamentalisme menjadi fitur esensial dan potensial dalam setiap agama karena absolutisme dan triumfalisme serta superiorisme dipertahankan dalam setiap agama. Fundamentalisme adalah sebuah risiko besar dalam setiap agama karena setiap agama diklaim para penganutnya sebagai agama satu-satunya yang terbenar dalam dunia ini. Fundamentalisme tak terhindar dalam setiap agama karena setiap agama memiliki sebuah kitab suci atau lebih yang dipandang sudah final, definitif dan tak bisa salah dalam segala hal oleh umat beragama yang memakainya. Fundamentalisme tak terhindar dalam setiap agama karena setiap agama menekankan iman-tanpa-bukti terhadap dunia adikodrati, sebagai fondasi utamanya.

Nah, sekarang kita periksa apakah semua fitur agama yang memunculkan fundamentalisme itu ada dalam sains modern.

Apakah ada sains yang sudah absolut, definitif, sudah final, tak bisa salah, terbenar satu-satunya, dan tak bisa berubah lagi? Tidak ada! Jika sains disebut absolut atau sudah final sebagai sains absolut”  atau “sains final”, sebutan-sebutan ini adalah “contradictio in terminis”, istilah yang berkontradiksi dalam dirinya sendiri. Jika tak ada sains yang absolut, sudah final, definitif, tak bisa salah, selalu benar, atau malah satu-satunya yang terbenar dengan membuang yang lainnya, maka tidak akan ada seorang saintis pun yang akan menjadi fundamentalis sains.


oxymoron: suara yang hening

Menyebut seorang saintis sebagai fundamentalis sains adalah sebuah oxymoron, tak ada dalam realitas tapi ada hanya dalam retorika politis ad hominem. Anda tentu tahu apa arti kata “oxymoron”, bukan? Oxymoron adalah gabungan dua kata atau lebih untuk membentuk sebuah kata majemuk yang berkontradiksi dalam dirinya sendiri, tapi hanya dipakai dalam retorika politis dan dalam dunia puisi. “Pakar amatir”, “pensiun aktif”, “rudal anti-rudal”, “desas-desus yang akurat”, “kebetulan yang disengaja”, “lingkaran segi tiga”, “es cair”, “kedukaan yang membahagiakan”, “sains final”, adalah beberapa contoh oxymoron.

Meskipun sains tak bisa final dan tak absolut, tentu saja ada poisisi-posisi saintifik yang sudah kokoh dan bisa menjelaskan kerja nyaris seluruh mesin jagat raya kita.

Apa yang digolongkan sebagai teori-teori saintifik besar (grand theories) dan hukum-hukum besi fisika, adalah posisi-posisi sains yang sudah kokoh. Hukum-hukum Newton, prinsip-prinsip relativitas Einstein, “the standard model” dalam fisika partikel, juga sudah kokoh, tapi semuanya belum final.

Dalam dunia sains, bukan absolutisme, tapi skeptisisme menjadi motor pendorong kelahiran, perkembangan dan kemajuan sains. Bersikap skeptik adalah watak dasar setiap saintis sejati yang membuatnya selalu meragukan dan mempertanyakan segala hal yang dipandang sudah mapan, atau meragukan segala klaim yang luar biasa namun tak berlandaskan bukti apapun. Apakah seorang saintis yang selalu skeptik, bisa menjadi fundamentalis? Sama sekali tidak bisa. Skeptisisme dan fundamentalisme adalah bak air dan minyak yang selalu terpisah.

Karena semua saintis mendasarkan klaim-klaim mereka bukan pada iman membuta, tapi pada bukti dan fakta, bisakah mereka jadi fundamentalis? Karena bukan iman membuta tapi bukti dan fakta yang menjadi fondasi sains, tak ada saintis yang akan menjadi fundamentalis. Karena watak dinamis sains, setiap saintis akan dengan konsisten mengikuti ke mana bukti-bukti menuntun dan membawanya, sekalipun bukti-bukti ini akan akhirnya mengharuskannya mengganti pandangan-pandangan lamanya.

Apakah dalam dunia sains ada sebuah kitab suci yang dipandang diilhamkan Allah, dus tak bisa salah dan berlaku mutlak? Tidak ada!

Tentu ada buku-buku sains yang luar biasa yang ditulis great scientists, tapi buku-buku ini bukan kitab-kitab suci yang diberi aura dan otoritas ilahi. Tentu ada buku-buku sains yang telah menjadi klasik besar, tapi buku-buku ini juga tidak diperlakukan sebagai kitab-kitab suci ilahi. Para penulis buku-buku sains besar adalah para saintis agung yang bisa salah, terbatas, fana dan insani belaka. Semua buku sains yang luar biasa suatu saat bisa disanggah oleh buku-buku sains yang lebih maju dan lebih integratif.

Mengakui keterbatasan buku-buku sains besar dan keterbatasan para saintis penulis buku-buku ini bukanlah hal yang aib atau ditabukan dalam dunia sains. Setiap saintis akan mengaku dengan kalem bahwa mereka semua terbatas dan bisa salah; dus tak akan pernah ada seorang saintis yang fundamentalis berkacamata kuda.

Sekali lagi, memberi label fundamentalis kepada seorang saintis adalah sebuah oxymoron yang ada hanya dalam retorika politis yang ad hominem

Bahkan luar biasanya, dan sangat patut disesalkan, fisikawan Peter Higgs, yang telah memprediksi keberadaan partikel Higgs Boson dan dia telah terbukti benar, baru saja (26 Desember 2012) memakai oxymoron ini ketika dia melabelkan biolog termashyur Richard Dawkins sebagai seorang fundamentalis jenis lain. Tetapi, pada tahun 2007 dalam sebuah postnya di situs webnya, yang berjudul “How dare you call me a fundamentalist”, Dawkins menulis demikian, cermatilah: “Harap jangan menyamakan semangat (passion), yang dapat mengubah pikirannya, dengan fundamentalisme yang tak akan berubah. Dalam hal semangat, seorang Kristen evangelikal dan saya dapat dengan seimbang dipertemukan. Tetapi semangat saya dan fitur fundamentalisnya tidak sama. Saintis sejati, betapapun dia dapat sangat bersemangat ‘percaya’, percaya pada evolusi misalnya, tahu dengan tepat apa yang dapat mengubah pikirannya: bukti! Seorang fundamentalis religius tahu bahwa tidak ada sesuatupun yang akan dapat mengubah pikirannya.”/1/ Pakar genetika Jerry A. Coyne, Ph.D., telah dengan tangkas memberi respons kepada Higgs dengan menyatakan bahwa Higgs adalah “seorang yang secara intelektual tidak jujur” dan, berkaitan dengan tuduhannya bahwa Dawkins adalah seorang fundamentalis jenis lain, bertanya kepada sang fisikawan ini, “Apa persisnya jenis ‘fundamentalisme’ Dawkins? Dapatkah anda sungguh-sungguh menyamakan ketaatan membuta pada teks-teks kuno buatan manusia dengan keraguan bahwa teks-teks itu membuktikan hal apapun mengenai suatu hakikat ilahi? Mengapa seseorang harus dicap ‘fundamentalis’ ketika orang ini meminta bukti, dan menantang orang-orang yang memeluk dogma di hadapan bukti-bukti yang berbicara lain? Mengapa memberi label ‘fundamentalis’ kepada seseorang yang mengambil sikap saintifik yang berpijak pada bukti terhadap klaim-klaim agama, tetapi tidak kepada klaim-klaim para penggembala kambing di zaman kuno?”/2/ 

Tentu dunia sains juga mengenal apa yang dinamakan aksioma atau postulat yang di atasnya sains bekerja.

Aksioma adalah sebuah pernyataan tentang sesuatu yang diterima sebagai benar tanpa perlu diragukan atau dibuktikan lagi. Para agamawan seringkali dengan naif menyamakan aksioma saintifik dengan iman-tanpa-bukti dalam dunia agama-agama.

Kata para agamawan, apa bedanya sains dari agama, tokh sains juga berpijak pada aksioma tanpa bukti, seperti iman dalam agama. Tapi, ada perbedaan mendasar antara aksioma dalam sains dan iman-tanpa-bukti dalam agama.

Ambil satu contoh aksioma geometri Euklidean bidang datar yang jumlah seluruhnya ada lima. Aksioma geometris itu menyatakan “garis lurus adalah jarak terpendek dua buah titik  pada bidang datar”.

Bisakah aksioma geometris Euklidean ini disamakan dengan iman-tanpa-bukti bahwa Allah itu ada dalam dunia agama-agama teistik? Aksioma geometris itu dan iman keagamaan tidak bisa sama sekali disamakan atau disejajarkan!

Aksioma geometris itu objektif dapat diperlihatkan dengan menggambarkannya lewat tanda, bentuk, huruf, angka, karakter, gambar dan simbol pada bidang datar seperti papan tulis atau pada monitor LCD notebook anda. Orang di mana saja dan kapan saja secara universal bisa melihat kebenaran objektif aksioma geometris itu. Tapi coba minta seorang agamawan saleh untuk menggambarkan Allah yang dipercayanya ada pada sebuah papan tulis. Bisakah dia? Jelas tidak bisa. Jadi, aksioma dalam dunia sains sama sekali tidak bisa disamakan atau disejajarkan dengan iman membuta dalam dunia agama.

Kaum agamawan juga sering menyatakan bahwa sains itu tidak mutlak karena bergantung pada model yang dipakai. Mereka benar sekali, karena memang sesungguhnya sains itu relatif dan tidak absolut, seperti sudah dikatakan sebelumnya.

Tapi jika model yang dipakai dalam dunia sains dianggap membuat sains kehilangan keabsahannya, anggapan ini salah sama sekali. Model dalam dunia sains tidak dibangun sembarangan dan juga tidak berdasar pada iman membuta, tapi harus memenuhi kriteria saintifik.

Stephen Hawking dalam bukunya The Grand Design memberi  empat kriteria untuk sebuah model saintifik dapat dengan bagus dibangun dan digunakan. Pertama, sebuah model harus sederhana dan cerdas. Kedua, harus berisi sedikit unsur acak dan unsur yang adjustable. Ketiga, harus sejalan dengan semua observasi empiris saintifik yang ada, dus, harus sesuai bukti-bukti. Keempat, harus mampu memprediksi observasi-observasi di masa depan yang dapat menfalsifikasi model jika prediksi-prediksi ini gagal terpenuhi./3/

Jadi, model yang dipakai dalam dunia sains haruslah model yang dibangun sejalan dengan metode saintifik, bukan asal dibangun semau-maunya. Justru dengan dipakainya model, sains malah makin objektif dan makin memberi kemungkinan berkembang lewat prediksi-prediksinya, yang bisa diverifikasi ataupun difalsifikasi.

Sebetulnya, bukan hanya sains eksakta, semua bidang sains lain juga memerlukan model untuk sains ini dapat beroperasi.

Sosiologi berjalan karena para sosiolog mengonstruksi model-model dalam memahami dan menafsirkan realitas sosial yang sebenarnya sangat rumit. Dalam sosiologi ada berbagai model: model fungsionalisme struktural, model konflik, model interaksionisme simbolik, dan model simbolik.

Dalam menghayati keberagamaan, kaum agamawan juga membangun dan memilih model-model. Ada model religiositas konservatif fundamentalis, ada model progresif liberal, dan model in-between, dan juga model religiositas mistikal.

Dalam menafsir kitab-kitab suci, para penafsir juga memakai model-model, tak ada yang puritan tanpa model. Dalam dunia tafsir kitab suci, ada model literalis a-historis, model historis kritis, model feminis, model sosial-saintifik, model naratif, model tanggapan-pembaca, dlsb.

Sebetulnya kita semua memakai model tertentu ketika kita memandang kenyataan dan mencoba memahaminya. Tanpa memakai model tertentu, realitas akan jadi tampak begitu rumit, tak terpahami, tak dapat dijelaskan dan tak dapat dijalani.

Model adalah penyederhanaan cerdas atas realitas objektif yang sebenarnya rumit supaya kita bisa memahaminya dengan baik dan memberi respons. Model adalah semacam “kaca mata kognitif” yang kita pakai untuk dapat melihat, merangkum dan menafsirkan dunia ini secara terfokus dan bermakna minimal buat diri kita sendiri.

Jadi, aksioma dan model yang dipakai dalam dunia sains membuat sains dapat beroperasi dalam memahami jagat raya, dan sama sekali tidak mendelegitimasi sains.

Hingga sejauh ini, saya telah memperlihatkan tidak mungkin sama sekali seorang saintis menjadi seorang fundamentalis berkacamata kuda. Label “fundamentalis sains” adalah sebuah istilah yang kontradiktif pada dirinya sendiri, ada sebagai oxymoron hanya dalam retorika dan propaganda politik ad hominem.

Tapi melabelkan seorang beragama sebagai “fundamentalis religius” adalah label yang berdasar pada realitas, dan di Indonesia nyaris setiap hari kita lihat sepak terjang mereka yang berwacana membuta tentang keyakinan-keyakinan keagamaan mereka, dan yang bertindak terhadap sesama manusia dengan melawan akal sehat dan nilai-nilai humanis universal.

Bagaimana dengan istilah “saintisme” yang kerap juga dipakai orang untuk menuduh dunia sains sebagai dunia politik ideologis? Sains itu universal, tak pilih bulu, tak bersifat politis sektarian, dan bukan ideologi apapun. Coba anda temukan adakah ideologi politik sektarian dalam persamaan Einstein E=MC2? Atau, bisakah anda temukan sebuah ideologi politik sektarian dalam sebuah aksioma geometris Euklidean bahwa “garis lurus adalah jarak terpendek dua buah titik dalam bidang datar” atau bahwa “jika ada sepotong garis lurus, maka sebuah lingkaran dapat dibuat dengan menjadikan potongan garis lurus ini jari-jari lingkarannya dan salah satu titik ujung potongan garis lurus ini pusat lingkarannya”? Jika anda bisa menemukannya, saya akan langsung meninggalkan dunia sains yang sudah saya geluti dua tahun terakhir ini!

Kata “saintisme” tak ada dalam dunia sains, tapi digunakan sebagai oxymoron (gabungan kata “sains” dan kata “isme”) oleh para pembenci sains sebagai retorika politis mereka. Begitu juga, sebutan-sebutan “sains politik”, “sains Nazi”, “sains Leninis”, “sains Kristen”, “sains Islam” atau “sains Hindu”, semuanya adalah oxymoron, tak ada dalam realitas tapi hanya ada dalam retorika dan propaganda politis.

Tentu aplikasi sains dalam bentuk teknologi bisa dibisniskan dan bisa dimanfaatkan oleh partai-partai politik dalam suatu negara. Tapi, membisniskan dan mempolitisasi pemanfaatan sains lewat teknologi tak ada hubungan langsung dengan sains sebagai sains.

Dalam politik, selain dalam agama, orang bisa berhaluan politik konservatif fundamentalis.

Karena sains bukan sebuah ideologi politik, mustahil seorang saintis menjadi fundamentalis sains. Bisa saja seorang saintis jadi berkacamata kuda dalam mempertahankan teori-teorinya yang sudah terbukti tidak akurat; tapi, jika dia bersikap demikian, kredibilitasnya sebagai seorang saintis akan langsung hilang, dan dia pasti akan terpental tanpa ampun dari komunitas saintifik dunia.

Jika istilah oxymoron “saintisme” dipaksa untuk digunakan, istilah ini jauh lebih nobel ketimbang istilah “fideisme”.

Dalam arti positifnya, “saintisme” mengacu ke sikap konsisten saintifik yang mencari kebenaran-kebenaran objektif hanya lewat sains dan metode saintifik.

Sebaliknya, “fideisme” mengacu ke sikap seorang religius berkacamata kuda, yang mau mati syahid demi iman (Latin: fidem) yang dipertahankannya mati-matian, yang diklaim mutlak benar tanpa didukung bukti apapun.

Jika harus memilih “saintisme” atau “fideisme”, saya dengan senang akan merangkul saintisme dan menolak fideisme. Saya percaya, siapapun yang sungguh-sungguh mau mencari kebenaran-kebenaran objektif, bukan kebenaran-kebenaran khayalan, orang yang mencarinya akan tiba di dunia sains dan akan tetap konsisten saintifik.

Pendek kata, label “fundamentalis sains” adalah sebuah oxymoron yang hanya ada dalam retorika politis para pembenci sains yang memakai argumentum ad hominem. END.

Catatan:

/1/ Lihat Alok Jha, “Peter Higgs criticises Richard Dawkins over anti-religious
‘fundamentalism”, The Guardian, 26 December 2012, pada http://www.guardian.co.uk/science/2012/dec/26/peter-higgs-richard-dawkins-fundamentalism?CMP=twt_gu. Lihat juga Richard Dawkins, How dare you call me a fundamentalist”, The Richard Dawkins Foundation for Reason and Science: News, 14 May 2007, pada  http://old.richarddawkins.net/articles/1071-how-dare-you-call-me-a-fundamentalist.

/2/ Lihat Jerry A. Coyne, Peter Higgs, the Boson Man, takes out after Richard Dawkins for the usual reasons, Why Evolution Is True blog, 27 December 2012, pada http://whyevolutionistrue.wordpress.com/2012/12/27/peter-higgs-the-boson-man-takes-out-after-richard-dawkins-for-the-usual-reasons/

/3/ Stephen Hawking dan Leonard Mlodinow, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010) hlm. 51.

Sunday, December 30, 2012

Era Mitologis versus Era Saintifik

Lewat kitab-kitab suci, kita tahu dulu nabi-nabi bermunculan dalam masyarakat manusia sebagai para utusan Tuhan dan pemandu ke masa depan. Semua nabi agama-agama besar muncul dalam zaman pra-ilmiah dan pra-modern, dan sekularisasi belum melanda dunia. Dalam memasuki masa depan, nabi-nabi ditanyai karena mereka dipandang memiliki kemampuan ilahi untuk melihat masa depan dan bernubuat.


perjalanan ke angkasa luar lewat fantasi mistikal dalam era mitologis

Era nabi-nabi adalah era di mana worldview mitologis mengendalikan cara pandang manusia atas kenyataan. Dalam worldview mitologis, dunia adikodrati dan dunia kodrati menyatu tak terpisah, Allah dan malaikat-malaikat diyakini berada bersama manusia dalam dunia material.

Dalam worldview mitologis yang menaklukkan segala sesuatu pada kehendak dunia adikodrati, pemikiran ilmiah atas segala fenomena alam tidak muncul. Semua peristiwa alamiah dipersonifikasi sebagai peristiwa-peristiwa yang ditimbulkan oleh berbagai kegiatan dewa-dewi. Dalam worldview mitologis, mukjizat dipandang sebagai hal yang normal, karena Allah dipandang campurtangan penuh dalam segala urusan manusia dan dalam semua aktivitas alam. 



mengelilingi planet Bumi lewat angkasa 
dengan pesawat jet dalam era saintifik

Ketika revolusi saintifik terjadi pada abad ke-17 di Eropa, diawali oleh Kepler dan Galilei, worldview mitologis tergempur dan ambruk. Revolusi saintifik memperkenalkan sebuah worldview baru, yakni worldview saintifik, yang bertabrakan dengan worldview mitologis. Era modern adalah era di mana worldview saintifik mengendalikan cara manusia memandang dan menjelaskan semua fenomena alam.

Dalam era saintifik, ketika manusia ingin mengetahui masa depan, mereka tidak mencari nabi-nabi, tapi datang kepada para saintis futurologi (atau futuris) yang mampu memprediksi masa depan dengan memakai berbagai metode pengkajian saintifik. Ketika mencari orang-orang pintar, dalam era saintifik kita tak datang ke nabi-nabi, tapi ke para ilmuwan. Dalam era saintifik, di kalangan terpelajar, buku yang paling banyak dibaca adalah buku-buku sains, bukan lagi kitab-kitab suci.

Dalam worldview saintifik, ketika mau melanglang angkasa luar, manusia merancang wantariksa, dan tak memakai jalur fantasi neurologis perjalanan mistik lagi. Kalau dulu hanya para mistikus bisa keliling angkasa lewat fantasi perjalanan mistik, kini siapapun dengan menumpang sebuah pesawat jet bisa keliling angkasa dan memutari planet Bumi, dan dalam beberapa dekade di depan akan bisa berwisata ke Bulan bahkan ke planet Mars dengan menumpang wantariksa berbahan bakar nuklir.

Dalam era saintifik, hukum-hukum alam tidak ditakuti dan tidak disembah lagi, tetapi dikaji secara saintifik lalu melahirkan sains. Dalam era saintifik, hukum-hukum alam menjadi bagian dari hukum-hukum sains dan dipandang berlaku abadi dalam jagat raya kita. Dalam era saintifik, misteri-misteri jagat raya tidak dikeramatkan lagi, tidak dijaga sebagai misteri ilahi, tapi dieksplorasi secara saintifik tanpa henti, alhasil sains maju dan berkembang. Dalam era saintifik, berbagai kejadian alam tidak lagi dipandang sebagai pekerjaan para dewa, tetapi sebagai kejadian-kejadian alamiah biasa yang bisa dijelaskan dengan sempurna oleh sains modern.

Dalam era saintifik, kita menemukan hukum-hukum alam sebagai fondasi dan pilar-pilar eksistensi jagat raya yang aktif. Dus, melanggar hukum-hukum alam sama dengan membuat keseluruhan jagat raya ambruk berkeping-keping. Karena itu, dalam era saintifik, mukjizat yang dipandang sebagai kejadian-kejadian yang melanggar hukum-hukum alam dinyatakan tak pernah ada.

Dalam era mitologis, kisah-kisah tentang mukjizat ditulis untuk berbagai kepentingan religio-politik, bukan sebagai kisah-kisah faktual. Dalam kitab-kitab suci, kisah-kisah tentang mukjizat umumnya adalah kisah-kisah “post factum”, yang ditulis sesudah kejadian sebenarnya yang alamiah belaka, yang ditafsir dan dituturkan dengan sangat dilebih-lebihkan demi melayani kepentingan-kepentingan religio-politik pihak-pihak tertentu. Kisah-kisah mukjizat pada era mitologis sangat efektif untuk mengangkat citra religio-politis figur-figur yang ditakzimkan.

Kalau dulu klaim-klaim individual tentang mukjizat membuat si pengklaim termashyur, sekarang, dalam era saintifik, klaim-klaim semacam itu ditanggapi dengan sangat skeptis. Kalau dulu klaim-klaim tentang mukjizat menjadi bagian dari bahasa devosi keagamaan, kini semua klaim itu akan diperiksa secara saintifik dengan secermat mungkin dan tanpa pilih bulu. Dalam era saintifik, berlaku ini: extraordainary claims require extraordinary evidence.

Kalau dulu agama dan para nabi memandu perjalanan kehidupan manusia dan kebudayaannya, kini sains dan para saintis, tentu bersama para praktisi seni-budaya, mengambilalih peran pemandu ini. Kalau dalam era mitologis, orang pintar hanya sedikit sebagai para nabi, kini siapapun bisa menjadi pandai dan berwawasan luas dan jauh lewat pendidikan modern di sekolah-sekolah yang terbuka luas untuk umum.

Kalau dulu, dalam era mitologis, sakit influenza dianggap pekerjaan setan yang tak terlihat, kini virus-virus ditemukan sebagai setannya dan ditangkal lewat obat-obat anti-virus. Kalau dulu ritual agama dilakukan untuk mengusir setan dari orang yang sedang sakit perut, kini berbagai jenis antibiotika mengalahkan si setan, dengan mematikan bakteri-bakteri mikrobial jahat yang hidup dalam perut.

Kalau dalam era mitologis, teokrasi dan elitisme mencirikan kehidupan masyarakat, sekarang demokrasi modern dan pendidikan umum mengambil alih. Kalau dulu pengetahuan-pengetahuan tinggi dikuasai segelintir orang dan dirahasiakan, kini ilmu-ilmu tinggi (high sciences) dibeberkan kepada setiap orang yang sedang belajar, yang diminta untuk mengembangkan ilmu-ilmu ini lebih jauh lagi.

Masih sangat banyak perubahan positif yang sudah terjadi dalam era saintifik jika dibandingkan era mitologis. Apakah anda dan bangsa anda sekarang sudah hidup dalam era saintifik, atau masih terpenjara dalam era mitologis? Anda bersalah jika membiarkan bangsa dan negeri anda tetap terkungkung dalam penjara era mitologis, tidak beranjak ke era saintifik, sementara negeri-negeri tetangga anda di Asia, China, Jepang, Korea dan Taiwan, terus melesat dalam pencapaian teknologis dan pengembangan sains.


Saturday, December 22, 2012

350 juta hingga 600 juta tahun setelah big bang


Di atas adalah sebuah foto baru yang diambil oleh Teleskop Antariksa Hubble dalam rangka kampanye 2012 Hubble Ultra Deep Field (HUDF). Foto ini menyingkapkan suatu populasi tujuh galaksi yang sebelumnya tidak terlihat, yang berlokasi sangat jauh di kedalaman samudera jagat raya kita, yang terbentuk ketika jagat raya kita masih berusia sangat muda, yakni 350 juta hingga 600 juta tahun setelah terjadinya big bang 13,72 milyar tahun lalu. Cahaya dari kumpulan tujuh galaksi ini baru tiba sekarang di planet Bumi dan ditangkap oleh Teleskop Hubble. 

Untuk dapat menangkap bagian-bagian jagat raya yang sangat jauh (dari Bumi) para astronom memakai cahaya "near-infrared" karena pengembangan jagat raya menyebabkan cahaya ultraviolet dan cahaya-cahaya lain yang terlihat dari galaksi-galaksi terentang masuk ke dalam panjang gelombang "infrared", sebuah fenomenon yang dinamakan "redshift". Semakin jauh sebuah galaksi, semakin tinggi "redshift"-nya. 

Kajian astronomi yang menghasilkan foto di atas mempunyai tujuan utama untuk menentukan berapa cepat sejumlah galaksi berkembang dari saat ke saat dalam jagat raya perdana. Jika kecepatan ini dapat ditentukan, ini adalah bukti kunci untuk menetapkan berapa cepat galaksi-galaksi membentuk bintang-bintang yang menjadi unsur-unsur besar di dalam galaksi ini.

Para astronom telah lama berdebat mengenap ihwal apakah bintang-bintang yang panas di dalam galaksi-galaksi yang masih sangat muda itu dapat menyediakan radiasi yang cukup untuk menghangatkan hidrogen dingin yang terbentuk segera sesudah big bang. Proses ini, yang disebut "re-ionisasi", dipikirkan telah terjadi 200 juta hingga 1 milyar tahun setelah kelahiran jagat raya 13,72 milyar tahun lalu. Proses ini membuat jagat raya menjadi transparan lewat cahayanya sehingga para astronom dapat melihat mundur jauh ke dalam waktu. Kumpulan tujuh galaksi ini terlihat berada dalam kurun proses ini. 

Astronom dari Universitas Arizona di Tucson, Brant Robertson, menyatakan, "Data kami mengonfirmasi re-ionisasi sebagai suatu proses yang berlangsung gradual, terjadi dalam beberapa ratus juta tahun, dengan galaksi-galaksi perlahan-lahan membangun bintang-bintang dan unsur-unsur kimiawi galaksi-galaksi ini. Tidak ada satu momen tunggal dramatis ketika galaksi-galaksi terbentuk. Pembentukan galaksi-galaksi adalah suatu proses yang berlangsung gradual." Dengan kata lain, kosmos kita juga berevolusi. 

Sumber:
J.D. Harrington, Ray Villard, Donna Weaver, "NASA's Hubble Provides First Census of Galaxies Near Cosmic Dawn", pada http://www.nasa.gov/mission_pages/hubble/science/galaxy-census.html.


Monday, December 10, 2012

Magic and wonder in science

Sim salabim abrakadabra!

Semakin kita memasuki dengan dalam dunia sains, semakin banyak “magic” dan “wonder” kita temukan, yang membuat kita berdecak, terpukau, dan tertunduk dalam-dalam, sejauh magic and wonder dipahami sebagai hal-hal yang tidak biasa, tidak menjadi bagian dari pengalaman sehari-hari kita, hal-hal yang berada di luar ekspektasi normal dan pikiran sehari-hari. Sains dan teknologi modern memberi kita banyak magic dan wonder.

Hemat saya, dunia sains jauh lebih menakjubkan ketimbang klaim-klaim kaum agamawan tentang mukjizat yang dipahami sebagai kejadian-kejadian yang melawan hukum-hukum alam.

Biasanya kita membayangkan cahaya bergerak menurut garis lurus, tak bisa dibengkokkan. Ini pengalaman kita sehari-hari. Tapi apakah cahaya akan masih bergerak lurus jika sedang melewati sebuah black hole di angkasa luar, yang punya energi sangat besar untuk menyedot apapun ke dalamnya? Magic!

Kita biasanya melihat segala sesuatu muncul karena ada penyebabnya: cause menghasilkan effect. Ini pengalaman kita sehari-hari. Tetapi apakah demikian halnya dalam dunia mekanika quantum, dunia partikel-partikel subatomik, di mana sesuatu bisa muncul dari ketiadaan, without cause, from nothing to something? Magic!  


Kita biasa memandang manusia sebagai makhluk berdaging, makhluk biologis. Ini adalah pengalaman sehari-hari kita. Tetapi di ujung dua dekade di depan, sebagaimana diprediksi oleh ilmuwan Ray Kurzweil, biologi akan menyatu dengan teknologi robotik, sehingga akan tercipta bionic humans, percampuran atau hibrida daging dan baja, organ otak dan teknologi kecerdasan buatan. Di awal tahun 2030-an, bionic humans bukan lagi science fiction dalam film-film Hollywood, tapi realitas sehari-hari kita. Sebagai hibrida biologi dan teknologi robotik, organ otak dan teknologi kecerdasan buatan, bionic humans akan cerdas dan kuat luar biasa, tak terbayangkan. A wonder! 

Dalam pengalaman sehari-hari kita sekarang, akhir kehidupan manusia adalah kematian, yang membuat kita lenyap sebagai biologi yang membusuk. Tapi dengan sains cryogenics dan teknologi cryonics yang sekarang masih embrionik dan sedang dikembangkan, jasad manusia yang mati, yang sudah dibekukan absolut, akan bisa dihidupkan kembali apa adanya, pada waktu yang diminta dan disepakati. Magic!  

Dalam kehidupan sehari-hari sekarang ini, kepada kita terus-menerus diajarkan bahwa kehidupan itu pemberian Tuhan, dan hanya dari Tuhan datangnya. Tapi sains biologi sintetis kini, sebagaimana dipelopori oleh Craig J. Venter di Amerika Serikat, sudah bisa menciptakan kehidupan (dalam bentuk sel-sel sintetik yang bisa memperbanyak diri) hanya dari zat-zat kimiawi yang mati yang persenyawaannya diatur oleh informasi genomik yang disampaikan sebuah komputer. Magic!  

Dalam pengalaman sehari-hari sekarang ini, kita menerima terapi dan pengobatan modern lewat dokter dan alat-alat besar teknologi kedokteran. Tapi nanti saat nanoteknologi sudah advanced, yang akan menyembuhkan kita adalah mesin-mesin sebesar molekul yang disuntikkan ke dalam tubuh kita. Mesin-mesin sebesar molekul ini akan dikendarai robot yang akan berperang melawan sel-sel kanker dalam tubuh kita. Magic!  

Jadi, sekali lagi, ketika sains dan teknologi melesat maju, kita akan hidup seolah dalam dunia magic and wonder. Ilmuwan terkenal, Arthur C. Clarke, dengan tepat menyatakan, “Any sufficiently advanced technology is indistinguishable from MAGIC.” Amboi!

Sunday, December 9, 2012

Dr. Wendi Zarman mau membangun sains Islam?!


Seorang teman yang manis (bernama Lila) memberi saya sebuah tulisan bertema “Sains Islam” yang ditulis oleh Dr. Wendi Zarman dan terpasang online di http://www.hidayatullah.com/read/26246/07/12/2012/mengislamkan-sains:-apanya-yang-diislamkan?-.html. Saya tahu, Lila ingin saya menanggapi tulisan Dr. Zarman ini. Ok-lah, Lila! Tapi, silakan anda yang lain membaca dulu tulisan Dr. Zarman itu.

Saya baca tulisan Dr. Zarman itu sampai tiga kali untuk menemukan isi sains Islam-nya; tapi saya tak menemukannya sama sekali. Saya sangat berharap dapat menemukan matematika Islam, fisika Islam, ilmu kedokteran Islam, astronomi Islam, dll. Tapi tak ada di dalam tulisannya itu.

Saya hanya bisa menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan “sains Islam” oleh Dr. Zarman adalah teologi Islam tentang apa itu sains dan bagaimana sains itu harus dimanfaatkan. Yang menyusahkan hati saya adalah Dr. Zarman menyamakan teologi Islam tentang sains dengan sains itu sendiri.

Dalam teologi Dr. Zarman, sains adalah usaha memahami/menjelaskan alam sebagai ayat dan tanda keberadaan Alloh SWT. Jika sains dipandang sebagai suatu usaha menyingkap ayat dan tanda keberadaan Alloh, bagi Dr. Zarman, umat Islam akan bisa memanfaatkan sains dengan baik dan benar. Jadi, yang disampaikan Dr. Zarman bukanlah isi sains Islam per se, tapi moral atau etika Islam dalam pemanfaatan sains.

Ya, hal yang disampaikan oleh Dr. Zarman tentu saja akan bisa diterima oleh orang non-Muslim juga, bahkan oleh orang ateis. Siapa yang tidak setuju jika sains harus digunakan dengan bermanfaat oleh manusia, apapun agama mereka? Silakan saja umat Islam memakai astronomi untuk keperluan menentukan waktu ibadah, matematika untuk menghitung warisan, dst.  

Yang ingin saya temukan, misalnya matematika Islam, atau astronomi Islam, ilmu ukur Islam, ilmu kedokteran Islam, psikologi Islam, dll, apakah akan bisa ada dalam dunia ini? Misalnya, menurut ilmu ukur Islam, sudut siku-siku bukan 90 derajat, tapi 97 derajat, sudut lingkaran bukan 360, tapi 357 derajat. Atau, Dr. Zarman bisa usulkan, menurut kosmologi Islam, jagat raya kita baru berusia 6000 tahun, bukan 13,72 milyar tahun. Atau, Dr. Zarman bisa usulkan, menurut ilmu kedokteran Islam, segumpal janin dalam rahim seorang ibu memerlukan masa 2 tahun dalam kandungan sebelum dilahirkan sebagai seorang bayi yang sehat. Atau, dalam neurobiologi Islam, Dr. Zarman dapat mengusulkan bahwa setiap insan Muslim berpikir tidak dengan mekanisme neurologis dalam otak, tetapi dengan mekanisme kardiologis dalam jantung. Nah, sains-sains Islam yang khas dan unik inilah yang, jika ada, saya mau temukan dari pemikiran Dr. Zarman. Tapi dia tidak menyodorkannya; padahal saya berharap minimal contoh-contoh kecilnya saja dapat saya temukan dalam tulisannya.

Dr. Zarman juga menegaskan bahwa sains Islam harus pertama-tama bertolak dari “pengakuan” akan wujud dan keberadaan Tuhan Alloh SWT. Kalau memakai istilah sains yang umum, “pengakuan” (atau “keimanan”) disebut sebagai “aksioma” atau “postulat”. Ya, Dr. Zarman tentu benar, sebab setiap sains, termasuk sains eksakta, bukan hanya sains Islam, berpijak pada suatu aksioma atau postulat. Aksioma atau postulat adalah sebuah pernyataan tentang sesuatu yang kebenarannya tak diragukan lagi, hanya diterima benar apa adanya, tak perlu dibuktikan.  

Tapi ada perbedaan sangat mendasar antara aksioma dalam dunia sains, dan kepercayaan atau pengakuan atau iman dalam agama sebagai aksioma. Aksioma dalam sains jelas terlihat, bisa objektif digambarkan dengan angka, coretan, tanda, simbol, bentuk, dll, pada papan tulis atau pada layar LCD komputer anda. Aksioma dalam agama tidak demikian.  

Ambil contoh sebuah aksioma geometri (Euklidean, dari 5 aksioma yang ada): garis lurus adalah jarak terpendek dua buah titik. Aksioma ini bisa digambar pada bidang datar papan tulis dan berlaku universal dan abadi. Aksioma yang ditegaskan Dr. Zarman adalah aksioma agama: Alloh SWT itu ada. Aksioma Dr. Zarman ini tak bisa digambarkan pada papan tulis dalam bentuk apapun, dan tidak berlaku universal: bagi orang Yahudi, Yahweh Elohim yang menyatakan diri kepada Nabi Musa adalah Allah mereka; bagi orang Kristen, Allah mereka memiliki tiga kepribadian yang tidak bercampur dan juga tidak terpisah; bagi orang Yunani kuno, Dewa Zeus adalah Allah teragung mereka. Jadi, sebetulnya, setiap orang beragama akan mengakui dan mempercayai Allah mereka sendiri saja, dan akan menolak untuk mengakui dan mempercayai Allah orang yang beragama lain. Tidak ada teologi yang universal!

Nah, kalau Dr. Zarman ingin membangun sains Islam, dia minimal harus tunjukkan bahwa isi aksioma atau isi pengakuan imannya itu ada, bisa diperlihatkan, bisa digambar pada papan tulis. Artinya: kalau sains Islam mau dibangun dan harus diakui sebagai sains, semua aksioma Dr. Zarman harus bisa diperlihatkan objektif ada. Tegasnya: Dr. Zarman harus bisa minimal menggambarkan di papan tulis bahwa Alloh SWT itu ada, jika dia mau membangun sains Islam yang betul-betul sains, bukan agama yang “disains-sainskan”, atau sains yang “diagama-agamakan”.

Dr. Zarman juga telah dengan keliru menyatakan bahwa dalam sains modern, alam atau jagat raya dinilai sangat rendah oleh para saintis. Kata Dr. Zarman, jagat raya telah kehilangan makna rohani transendentalnya di mata para saintis sekuler. Betulkah? Tidak betul!

Setahu saya, jagat raya dengan segala kebesaran dan misterinya memukau hampir semua saintis yang mengeksplorasinya. Albert Einstein, misalnya, mengakui bahwa dia masuk ke dalam suatu “suasana spiritual” non-agamawi ketika dia terpesona dan dibuat kagum oleh struktur harmonis jagat raya yang tanpa batas. Richard Feynman menyatakan bahwa ketika dia memandang langit malam dari suatu kawasan di padang gurun, dia “merasakan” keindahan jagat raya dan bukan hanya mau menjelaskannya secara saintifik. Saya sendiri sedang mengembangkan sebuah spiritualitas yang saya namakan spiritualitas saintifik; simak di http://ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/12/menuju-spiritualitas-saintifik.html. Selain itu, dalam sains sendiri orang dapat menemukan banyak “magic” dan “wonder”, seperti beberapa di antaranya telah saya beberkan di  http://www.ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/12/magic-and-wonder-in-science.html.

Tetapi ada perbedaan sikap antara para agamawan dan para saintis ketika mereka masing-masing menatap pada kebesaran jagat raya dan misteri-misterinya. Para agamawan berusaha keras untuk menjaga misteri-misteri alam, yang diyakini mereka sebagai misteri-misteri ilahi yang tak boleh ditembus dan tak akan bisa dijelaskan; semakin mereka tak bisa memahami dan tak bisa menjelaskan misteri-misteri jagat raya, semakin yakin dan tahu mereka bahwa Allah itu ada. 

Sebaliknya, para saintis justru terdorong kuat untuk menyibak dan menembus semua misteri alam, tentu saja secara bertahap dan dengan tak kenal lelah. Kalau para saintis masih belum bisa menyibak sebuah misteri jagat raya, ya mereka dengan lapang dada akan mengakui keterbatasan mereka, dan tak akan membuat pernyataan-pernyataan yang spektakuler tanpa bukti apapun. Dalam dunia sains berlaku ini: extra-ordinary claims require extra-ordinary evidence! Jika anda mengajukan klaim-klaim yang luar biasa, sains menuntut anda untuk mengajukan bukti-bukti yang juga luar biasa untuk menopang kebenaran klaim-klaim anda itu!

Pada akhirnya adalah sebuah pertanyaan: Apakah mungkin membangun apa yang dinamakan sains agama atau sains skriptural? Usaha membangun sains agama atau sains skriptural adalah usaha keliru yang sia-sia belaka, seperti usaha menjaring angin, atau seperti usaha mengecat hamparan langit biru dengan cat warna merah. Kenapa?

Kata “sains” dan kata “agama” adalah dua kata yang bertabrakan satu sama lain, khususnya pada level epistemologi. 

Sains memakai epistemologi evidensialis (Latin: evidentia/bukti): setiap klaim saintifik yang benar dan absah harus dilandaskan pada bukti-bukti objektif autentik. Suatu kesimpulan saintifik, yang semula dijadikan hipotesis, ditarik lewat bukti, eksperimentasi, observasi, perhitungan matematis, pengukuran, dan penalaran yang konsisten, dan mempunyai kemampuan prediktif. 

Agama memakai epistemologi revelatif fideis: sesuatu diterima benar jika bersumber dari wahyu (Latin: revelationem) yang diterima hanya dengan iman (Latin: fidem), tanpa bukti. 

Jadi, menggabung kata “sains” dan kata “agama” hanya menghasilkan sebuah istilah yang berkontradiksi pada dirinya sendiri (contradictio in terminis) atau sebuah oxymoron

Jadi, beritahu Dr. Zarman di Institut Teknologi Bandung, membangun sains agama adalah suatu kegiatan yang naif dan sia-sia serta menyesatkan dan tidak mencerdaskan bangsanya sendiri, dan bisa ada hanya dalam dunia retorika saja sebagai oxymoron, tidak dalam dunia akademik.

Akhir kata: pernyataan Dr. Zarman “sains mendorong orang semakin religius” adalah sebuah pernyataan yang sangat patut diragukan kebenarannya! Kita patut bertanya, religius dalam arti apa? Bukankah orang yang sangat religius, sangat kuat memeluk agama mereka, umumnya malah jadi antisains dan tidak berani berpikir ilmiah. Kalau menurutnya hanya sains Islam yang dapat mendorong orang semakin religius, saya menunggunya untuk membeberkan isi sains Islamnya, sains Islam yang benar-benar sains, bukan teologinya tentang apa itu sains. Let science be science! Don't religionize science!



Sunday, December 2, 2012

Menuju Spiritualitas Saintifik



Tuhan Yang Mahatahu adalah sumber dan tujuan semua ilmu pengetahuan, sumber yang tak pernah habis dan tujuan yang tak pernah tuntas dicapai. Inilah spiritualitas saintifik, yang menjadikan setiap ilmuwan sejati hamba-hamba Tuhan.
 ioanes rakhmat


+ Maaf, Pak, apakah anda sekarang seorang ateis?
- Apa yang membedakan seorang beragama dari seorang ateis?
+ Seorang beragama percaya pada adanya Allah, seorang ateis tidak percaya.
- Apakah Allah itu dalam pemahaman anda?
+ Allah itu suatu entitas di luar dunia, yang maha kuasa, transenden, maha agung.
- Lalu apa hubungan Allah yang semacam itu dengan dunia, dengan anda?
+ Allah yang transenden itu menciptakan agama-agama untuk kehidupan manusia dalam dunia, dan saya memilih percaya pada satu agama.
- OK-lah, jika Allah bagi anda suatu entitas yang transenden, saya juga percaya pada suatu hakikat yang transenden.
+ Oh, jadi anda masih percaya pada Allah? Betulkah?
- Oh saya tak katakan saya percaya pada Allah seperti yang anda percayai, tapi saya akui ada suatu Hakikat Besar yang transenden.
+ Jika hakikat besar yang transenden yang anda akui itu bukan Allah, habis apa?
- Saya sedang berpikir dalam kerangka sains, ilmu pengetahuan, ketika saya  mengatakan ada suatu hakikat yang transenden.
+ Saya tak paham, bisa anda  jelaskan?
- Semua ilmuwan, khususnya yang bergelut dalam dunia material, tahu/sadar, objek kajian sains tak pernah bisa habis. Kalangan saintis tahu, selalu ada wilayah yang lebih besar, yang belum bisa dimasuki sains untuk dikaji, dan terus menantang sains.
+ Wilayah yang kudus, wilayah “the sacred”, wilayah ilahikah?
- Uups, saya tak mengatakan itu wilayah ilahi, tapi wilayah yang selalu mentransendir sains, kawasan yang selalu “beyond the present science”.
+ Wilayah yang bagaimana, apakah dalam wilayah yang anda sebut itu ada hakikat yang dinamakan Allah?
- Nah, sebaiknya anda mendengar dulu, jangan terus mendesakkan keyakinan anda.
+ OK deh, saya bersedia mendengar dulu.
- Kalangan saintis tahu, selalu ada kawasan “beyond the current science”, yang menantang untuk mereka eksplorasi terus, lalu menjelaskannya.
Kawasan ini, kalau boleh, saya sebut kawasan “super-scientific”, kawasan yang selalu berada di atas/melampaui sains yang dikenal pada masa kini. Jadi, sebagaimana orang bertuhan menganggap ada kawasan “supernatural”, adi-kodrati, ada juga kawasan “super-scientific”, kawasan adi-saintifik.
Sebagaimana ada makhluk yang adi-insani, super-human, begitu juga ada kawasan yang adi-saintifik, melampaui sains yang dikenal sekarang.
Sekalipun sekarang fisika Newton dan prinsip-prinsip relativitas Einstein bisa menjelaskan “kerja” jagat raya, dan “the standard model” untuk fisika partikel bisa menjelaskan dunia tak kasat mata sub-atomik,/1/ penjelasan-penjelasan dan model-model ini belum mencapai garis “finish”, terbuka kemungkinan di masa depan harus “re-modelled”, dibuat modelnya kembali, dan penjelasan-penjelasan baru harus diajukan, jika misteri-misteri alam makin terkuak. Seperti baru saja ditulis Michael Slezak, misalnya, suatu “fisika baru diperlukan dengan sangat mendesak berhubung model standard tidak menyebut materi gelap, membuat prediksi-prediksi yang tidak benar mengenai anti-materi jagat raya dan memerlukan ‘penyetelan kembali’ yang janggal untuk memasukkan massa Higgs.”/2/
Masih banyak fenomena alam yang belum bisa dijelaskan oleh sains sekarang, dan hukum-hukum alam juga belum sepenuhnya kita mengerti. Masih sangat banyak hal dalam alam ini yang belum kita tahu. Selalu masih ada kawasan “beyond the present science”, tapi kawasan ini bukan kawasan ilahi seperti yang dipahami agama-agama.
Kalaupun seluruh jagat raya kita dan semua fenomena alam dan hukum-hukum alam di dalamnya sudah bisa dijelaskan, ini bukanlah titik finish.
Menurut teori dawai (“string theory”), jagat raya kita bukan satu-satunya jagat raya; masih ada nyaris tak terhitung jumlahnya jagat raya lain. Kalau satu jagat raya kita saja nyaris tak bisa dijelaskan tuntas, apalagi kalau kita masih harus menjelaskan jagat-jagat raya lain. Mission impossible! 
Anda tahu, berapa jumlah jagat raya yang mungkin ada menurut prediksi teori dawai? Jumlahnya fantastis: 10500 (10 pangkat 500) (yakni angka 1 diikuti angka nol sebanyak 500)!
Sekarang, para saintis memakai bukan lagi kata “universe” (satu jagat raya tunggal), tapi “multiverse” (jagat raya berganda-ganda). Jangan dulu kita berkhayal bahwa multiverse akan kita bisa masuki sekarang ini. No way!
Dalam jagat raya kita saja, sekarang ini salah satu misteri besar yang belum dapat dijelaskan adalah misteri adanya apa yang para saintis namakan “energi gelap” (dark energy), yang tak terlihat, dan hingga kini mereka belum bisa menjelaskan hakikatnya, kendatipun energi gelap ini merupakan 73 persen (bayangkan!) dari isi seluruh jagat raya kita dan mengisi “ruang-waktu vakum” (yang dinamakan “kekosongan kosmik”, cosmic voids) dalam jagat raya kita. Dalam perhitungan mereka, energi gelap ini terbentuk ketika jagat raya kita berusia 8 milyar tahun setelah the big bang, dan sejak terbentuk energi ini sudah menguasai jagat raya kita dan diketahui merupakan energi yang makin mempercepat pengembangan jagat raya kita./3/
Tetapi, ada satu dunia lainnya yang sangat menawan.
Kalau anda masuk ke dunia tak kasat mata, dunia sub-atomik, yang biasa disebut dunia mekanika quantum, anda akan tercengang tak paham atas apa yang sebenarnya berlangsung di dalamnya. Kata Feynman, Jika seseorang mengklaim sudah paham sepenuhnya dunia quantum, orang ini sesungguhnya belum memahaminya sama sekali.
+ Dunia sub-atomik mencengangkan? Memang ada apa di dalamnya?
- Dalam dunia sub-atomik, dunia yang kata para saintis “weird”, dunia mekanika quantum, anda menemukan banyak “marvel”. Sekalipun dunia quantum sudah dapat dijelaskan oleh “the standard model” (fisika partikel), tetap saja dunia ini weird dan marvellous.
+ Marvel? Jadi mukjizat itu nyata?
- Ya boleh disebut “marvel”, keajaiban, tapi bukan “marvel” seperti yang anda sedang pikirkan sebagai orang bertuhan.
+ Loh? Habis apa?
- Dalam dunia sub-atomik mekanika quantum, terdapat sekian fenomena aneh/“weird”, yang memusingkan sekaligus menantang para saintis.
Sejauh yang saya sudah ketahui, selain sekian fenomena di dalamnya sudah bisa dijelaskan, namun ada sekian lagi yang masih tak terpahami benar, karena sangat weird.
Dalam dunia sub-atomik quantum, ada kejadian-kejadian yang timbul begitu saja tanpa penyebab, “without cause, from nothing to something”.
“Prinsip ketidakpastian” Werner Heisenberg dirumuskan justru dari fenomena dalam dunia yang sangat kecil, dunia quantum mechanics.
Dalam dunia mekanika quantum, sudah terpantau, “penyebab” bisa menjadi “akibat”, dan “akibat” bisa menjadi “penyebab”.  Puzzling indeed!
Ada yang berpendapat, “cause” bisa menjadi “effect” and vice versa, dalam dunia quantum, karena partikel-partikel di dalamnya bergerak melebihi kecepatan cahaya. Tapi, mungkinkah prinsip relativitas khusus Einstein tak berlaku dalam dunia quantum? Masih harus dibuktikan!
Apapun usaha para saintis untuk menjelaskan dunia quantum, dunia ini tetap weird, bizarre and marvellous.
Tapi ingat, kendatipun dunia quantum sangat weird, tetap tak ada roh tuhan immaterial di dalamnya: Higgs Boson bukan partikel tuhan apapun.
+ Lah, katanya Higgs Boson itu bukti adanya tuhan?! Kok anda bisa katakan begitu?
- Higgs Boson itu sebuah partikel (berwujud “material”), sangat penting karena berfungsi memberi massa pada semua materi dalam jagat raya.
Tanpa Higgs Boson, tak akan ada materi massif dan kohesif dalam jagat raya, dus jagat raya tak akan terbentuk, juga tubuh anda dan kancing-kancing baju anda. Higgs Boson itu bak seorang pengantin perempuan yang luar biasa cantik didandani dan luar biasa harum lembut, sehingga menarik semua tamu untuk berada dan terkonsentrasi di dekatnya, ketika dia baru memasuki ruang perjamuan kawin.
+ Oh, begitu ya duduk perkaranya. Kalau begitu selama ini saya telah memegang sebuah pandangan keliru tentang Higgs Boson.
- Ya, banyak orang beragama terperdaya oleh info-info keliru tentang sains tanpa mereka sadari. Mereka ignorantly korban pembodohan.
Nah, apa arti semua hal yang saya sudah kemukakan ini? Anda tentu tak sabar ingin tahu, bukan?
+ Ya saya ingin segera tahu, apa arti semua hal yang anda telah katakan.
- Artinya sebetulnya sudah jelas: saya menerima, dalam jagat raya kita dan jagat-jagat raya lain, selalu ada kawasan yang mentransendir sains.
Kawasan ini sangat menakjubkan, weird, bizarre, marvellous, so great, and scientifically transcendent. Inilah kawasan adi-saintifik: melampaui sains, tapi tidak menentang sains, dan hanya bisa dimasuki oleh sains secara parsial dan kumulatif.
Harus dicatat, kendatipun kawasan ini adi-saintifik, kawasan ini tidak ilahi, tidak divine, tapi tetap kawasan material duniawi.
Meskipun kawasan adi-saintifik ini tidak ilahi, kawasan ini sangat menakjubkan, menimbulkan rasa hormat, kerendahan hati, dan cinta. Karena semakin misteri-misteri jagat raya terungkap tahap demi tahap lewat sains, anda akan makin mencintai jagat raya ini dan semua isi di dalamnya, sebab lewat sains kita menjadi tahu bahwa kita adalah sama dan bagian tak terpisah dari jagat raya.
Pada level fundamental, dalam dunia quantum, sains sudah menunjukkan, kita ini dan semua materi dalam jagat raya terdiri dari partikel-partikel yang sama: quark, proton, neutron, positron, dan elektron.
Pada level fundamental, anda tidak beda dari kecoak, simpanse, tanah liat, batu kali, cacing, kubis, pisang, pohon beringin, toge, debu bintang, abu gosok, komet, mouse di tangan anda, dan Coca Cola yang sedang anda hirup. 
Kita dan jagat raya bersaudara, yang pada level mekanika quantum sehakikat, sebentuk. Maka cinta mengalir deras dalam diri kita, tertumpah ke seluruh jagat raya. Anda harus mengasihi tanah liat, genteng dan kendi dan tempayan, karena, kata kitab-kitab suci agama teistik, anda berasal dari situ. Jika anda bisa mencintai genteng dan kendi, pastilah anda bisa mencinta semua orang lain yang ada di sekitar anda, termasuk orang-orang yang anda harus cap bidah, heretik, kafir berhubung anda ditekan para pemimpin agama anda.
Jika rasa takjub, rasa hormat, kerendahan hati dan cinta ini dapat disebut sebagai spiritualitas, saya memiliki spiritualitas ini.
Spiritualitas ini tidak ilahi, tapi tetap transenden, adi-saintifik, juga saintifik, sekaligus imanen dan material, dan super-human, adi-insani.
+ Kalau tidak ilahi, ya Allah tetap ditolak. Jadi, tetap ateis, apakah demikian?
- Nah, tentang poin ini, saya sekarang ini ingin berbicara cukup banyak.
+ Silakan.
- Orang beragama jelas akan menuduh orang ateis telah menolak Allah; tapi, apakah seorang Kristen tidak menolak Allah Muslim, tidak menolak Allah sang Nabi Musa? Apakah seorang Muslim tidak menolak Allah bangsa Yahudi (sementara sebagian Muslim hingga saat ini bebuyutan benci benar terhadap bangsa Yahudi), tidak menolak dengan keras tanpa kompromi Allah Kristen yang ada tiga namun tetap bersatu, Tritunggal, the three-in-one, yang mereka pandang sebagai kemusyrikan? Semua orang beragama, to the point saja, adalah teis, sekaligus ateis! This is the real fact! Jangan sangkal fakta ini! 
Tetapi, fakta ini sudah dan terus disangkal oleh kebanyakan umat dari tiga agama monoteistik, Yahudi, Kristen dan Islam, bahkan juga oleh para pemuka keagamaan mereka masing-masing yang sebenarnya terpelajar. Umumnya mereka mengklaim, bahwa mereka semua sama-sama percaya dan menyembah Satu Allah, Allah Yang Maha Esa, Allah yang satu dan sama. Benarkah? Saya khawatir, ini sama sekali tidak benar! Klaim ini hanya mitos, bukan fakta. Orang yang beragama Yahudi (Yudaisme), orang Kristen (yang menyembah the divine three-in-one), dan umat Muslim, meskipun masing-masing mengklaim percaya dan menyembah Satu Allah, konsep (baca: teologi) mereka tentang Allah Yang Esa ini berbeda tajam di sana-sini, bahkan bertentangan dalam banyak segi! 
Bagi bangsa Yahudi YHWH itu Allah, bagi umat Kristen Bapa di sorga (dan Yesus, dan Roh Kudus) itu Allah, dan bagi umat Muslim Allohu Akbar itu Allah. Problem buat mereka semua: konsep mereka masing-masing tentang Allah tidak ada yang sama, bahkan dalam sekian hal berbenturan satu sama lain. Allah mana yang paling benar, paling asli, dari tiga Allah agama monoteistik ini? Masing-masing akan mengklaim, Allah sendirilah yang paling benar, paling asli, lalu mereka berkelahi, saling menjelekkan, saling bersaing memperebutkan para pengikut, dan... kedamaian hilang!
Orang Kristen mengklaim, Allah Yang Maha Esa sudah menjelma menjadi satu manusia suci yang bernama Yesus Kristus, yang menjadi satu-satunya mediator yang menghubungkan sorga dan Bumi, Allah dan manusia, lewat dirinya dan lewat ajaran-ajarannya; tapi, orang Yahudi hingga kini tidak bisa menerima klaim Kristen ini, sebab bagi mereka, mediator mulia dan agung antara YHWH dan bangsa Yahudi hanyalah Nabi Musa yang memberi bangsa Israel Taurat Allah. Begitu juga, sangat mustahil seorang Muslim bisa menerima kepercayaan teologis Kristen bahwa Allah YME telah menjelma menjadi manusia, yang namanya Yesus Kristus; sebab, dalam pandangan agama Islam, Allah YME, yang mereka panggil Allohhu Akbar SWT, adalah Allah yang sangat transenden, berada jauh di atas dunia kodrati, sang Khalik yang berbeda sangat tajam dari manusia sebagai makhluk. Konsep teologis inkarnasi (“Allah menjadi daging/manusia”) hanya ada dalam kekristenan, tidak ada dalam Islam dan dalam Yudaisme. 
Sementara orang Kristen mengklaim bahwa kitab suci Yahudi (yang orang Yahudi namakan Tanakh, yang dengan keliru dan pejoratif dinamakan Perjanjian Lama orang-orang Kristen) sudah digenapi oleh tulisan-tulisan apostolis yang mereka namakan Perjanjian Baru, orang Yahudi tidak menerima klaim ini, dan mereka memandang kitab suci mereka, Tanakh mereka, sudah penuh dan sempurna pada dirinya sendiri dan tak perlu digenapi oleh kitab-kitab suci lain yang ditulis belakangan. 
Selain itu, bagi orang Yahudi, Allah Yang Esa yang mereka sembah, mustahil disamakan dengan seorang manusia yang bernama Yesus Kristus; syahadat mereka mengenai keesaan Allah, yang dikenal sebagai Shema, melarang keras mereka untuk menyamakan manusia manapun dengan Allah Yang Maha Esa yang mereka sembah. Jadi, sementara orang Kristen tidak bisa hidup jika tidak menyembah Tuhan Yesus, orang Yahudi akan mati jika menyembah manusia Yesus, apalagi menyamakan sang manusia ini dengan Yahweh Elohim mereka. Selain itu, sebagai seorang mukmin Yahudi yang memegang kuat-kuat Tawhid Yahudi, yang diungkap dalam syahadat Shema, mustahil Yesus dari Nazareth memandang dirinya sendiri sebagai Tuhan Allah. Orang Kristen musti menyadari, kalau mereka yakin bahwa Yesus itu Tuhan, ini bukan karena Yesus dari Nazareth oleh dirinya sendiri mengaku Tuhan (Yahweh Elohim bangsa Yahudi), melainkan karena gereja awal dulu erat-erat mempertalikan Yesus dengan Yahweh Elohim bangsa Yahudi dan memberi-Nya glorifikasi puncak, yang keluar dari kasih mereka kepada Yesus. Ini disebut deifikasi atau apotheosis --- sebuah praktek religio-politis yang lazim dilakukan di dunia Yunani-Romawi, kawasan yang dari dalamnya kekristenan dilahirkan.
Masih banyak hal yang sebetulnya bisa diperlihatkan bahwa kendatipun umat Yahudi, umat Kristen dan umat Muslim masing-masing mengklaim percaya pada Allah Yang Esa, teologi mereka berbeda tajam di sana dan di sini, dan bertolakbelakang dalam banyak segi. Untuk saat ini, ulasan-ulasan yang saya sudah berikan di atas cukup memadai. Hanya perlu ditegaskan sekali lagi: Klaim bahwa mereka percaya dan menyembah Allah Yang Esa yang sama dan sebangun, adalah mitos. Jika klaim ini bukan mitos, mustinya tidak pernah terjadi persaingan sengit, bahkan peperangan, antara umat tiga agama ini yang masing-masing menyatakan diri sebagai penganut monoteisme, dan mustinya tiga agama mereka sudah bisa menjadi satu atau sekawan dengan harmonis sejak dulu, demi kemenangan monoteisme di atas politeisme atau ateisme.
Nah, pendek kata, saya sudah tak mau lagi hidup dalam dunia keagamaan yang takabur dan bengis semacam itu, yang penuh konflik dan penuh kemunafikan. Tapi, saya punya sebuah alternatif yang signifikan, sebuah spiritualitas alternatif
+ Oh begitu ya keputusan anda.
- Ya.
+ Bisa jelaskan lebih jauh tentang spiritualitas anda ini?!
- Isi spiritualitas yang saya hayati tidak bisa diberi nama apapun, karena melampaui dan ada di atas semua nama, beyond every name, above every name, scientifically transcendent.
Di hadapan kawasan yang mentransendir sains ini, kawasan yang weird and marvellous, so great to be conquered by the human mind, saya tunduk. Seperti tunduknya Albert Einstein di hadapan kemahabesaran jagat raya yang dilihatnya tertata dengan begitu mengagumkan, yang membuatnya terpesona, dazzled, sementara dia sendiri sudah tidak bisa lagi percaya pada Allah YHWH personal yang ditakuti nenek moyang Yahudinya. Sama seperti Baruch de Spinoza, juga seorang Yahudi, bisa menemukan Allah hanya sebagai nature, jagat raya, alam ini, sehingga dia menulis Deus sive Natura!
Kawasan yang mentransendir sains ini juga too great, too big, too weird, too huge, to be conquered and absorbed by any religious system.
Kawasan yang di hadapannya saya tunduk ini too immense, too enermous, too large, to be absorbed completely by any holy books.
Agama dan kitab suci apapun, sistem kepercayaan keagamaan apapun, meskipun semuanya signifikan bagi kehidupan manusia, jauh terlalu kecil, jauh terlalu terbatas, far too limited, far too small, untuk bisa menyerap kawasan transenden ini.
Media yang dapat mendekati kawasan yang “scientifically transcendent” ini bukan agama, tetapi sains dan nalar manusia, dan human affection, cinta kasih yang ada pada manusia.
Nah, jika orang mau menamakan penghayatan saya yang semacam itu tentang dunia transenden saintifik, sebagaimana sudah saya katakan di atas, sebagai “spiritualitas”, silakan.
+ Oh, saya mulai memahami anda; jadi anda meyakini punya spiritualitas juga?
- Ya, saya memiliki spiritualitas yang sangat dalam, sebuah “spiritualitas saintifik”, dalam terma-terma yang sudah saya uraikan tadi. Dalam spiritualitas saintifik ini, tak ada akidah, tak ada dogma; yang ada adalah keterpesonaan, kegentaran dan kekaguman tanpa batas terhadap kosmos, pemikiran saintifik, dan cinta. Jika kondisi mental ini mau anda sebut religius, ya saya tak berkeberatan.
+ Jadi, pendek kata, anda bukan seorang ateis?
- Hingga saat ini saya tak pernah menyatakan diri saya ateis kok. Cuma, dari antara orang-orang yang tak kenal saya, ada yang dengan semberono menuduh saya ateis, lalu mengancamkan ini dan itu kepada saya. Para penuduh saya ini, maklumlah, adalah orang-orang beragama yang anti-sains. Too young to know me! Terlalu muda untuk bisa kenal saya! Too proud to be humble! Terlalu sombong untuk bisa rendah hati! 
Menutup percakapan kita, saya mau mengutip sebuah ucapan Richard P. Feynman, “Pandangan-pandangan saintifik bermuara pada rasa takjub dan misteri, terhilang di ambang ketidakpastian, tetapi pandangan-pandangan ini tampak sangat dalam dan sangat mengesankan, sehingga teori yang menyatakan bahwa segala sesuatu telah dirancang dan disusun sebagai suatu tahap untuk Allah mengawasi pergumulan manusia antara hal yang baik dan hal yang buruk tampak tidak memadai.”/4/


Catatan-catatan


/1/ Sejauh ini, hanya dalam kajian-kajian fisika atas “black hole” prinsip relativitas umum Einstein dan mekanika quantum dapat diterapkan bersama-sama, suatu kasus yang tak sama dengan kasus-kasus lainnya dalam jagat raya di mana objek-objek pada skala subatomik diatur oleh mekanika quantum dan pada skala makro oleh relativitas umum; tentang ini, lihat Jennifer Quellette dan Simons Science News, “Black Hole Firewalls Confound Theoretical Physicists”, Scientific American, 21 Desember 2012, http://www.scientificamerican.com/article.cfm?id=black-hole-firewalls-confound-theoretical-physicists&print=true.

/2/ Michael Slezak, “Higgs Boson is too saintly and supersymmetry too shy” (23 November 2012), http://www.newscientist.com/article/mg21628923.800-higgs-boson-is-too-saintly-and-supersymmetry-too-shy.html.

/3/ Lihat ulasan pendek tentang dark energy, http://www.ras.org.uk/news-and-press/219-news-2012/2167-dark-energy-is-real-say-portsmouth-astronomers; juga tulisan Anil Ananthaswamy, “Dark energy hints hidden in cosmic voids” (22 November 2012), http://www.newscientist.com/article/mg21628924.100-dark-energy-hints-hidden-in-cosmic-voids.html. Tanpa diyakini Einstein sendiri, gagasan tentang adanya “dark energy” sebetulnya sudah muncul dalam persamaan matematis baru yang diajukan Einstein, ketika Erwin Schroedinger, di tahun 1918, memindahkan geometri ruang-waktu di sebelah kiri persamaan Einstein ke sebelah kanan (yang sebelumnya menjadi tempat energi), sehingga geometri ruang-waktu ini berubah menjadi suatu sumber energi bagi jagat raya; tentang ini lihat Lisa Grossman, “Einstein was first to dream up dark energy”, 10 December 2012, http://www.newscientist.com/article/dn22608-einstein-was-first-to-dream-up-dark-energy.html?full=true&print=true

/4/ Lihat http://www.brainyquote.com/quotes/authors/r/richard_p_feynman.html.