Apa bedanya anda dari batu kali?
Ada tiga
pandangan tentang asal-usul homo sapiens,
makhluk cerdas yang kita namakan manusia, anda dan saya dan mereka semua, yang baru muncul relatif muda, 300.000 tahun lalu di Afrika, sementara umur planet kita sendiri, Bumi, sudah 4,5 milyar tahun.
Pandangan
tertua ada dalam kitab-kitab suci agama semitik, bahwa manusia berasal dari
tanah, dibentuk oleh Allah jadi manusia yang hidup, langsung dewasa, sepasang lagi, dan tentu tanpa sebuah pusar sebab keduanya tak pernah berada dalam rahim seorang mama. Kata Ryu Hasan, jika
asal-usul kita dari tanah, maka kita bersaudara dengan kendi, genteng, pot,
keramik, tempayan tanah liat, dan (saya tambahkan) dengan tanah bebecekan di jalan-jalan di kampung-kampung pada musim hujan.
Pandangan
kedua, lebih maju sedikit, kita berasal dari nenek moyang yang sama yang
melahirkan kera, monyet, banobo, dus kita saudara mereka.
Pandangan
ketiga jauh lebih maju: lewat DNA dari angkasa luar yang menerjang masuk ke
Bumi lewat meteor, kita akhirnya muncul di Bumi. Dengan demikian, kita
bersaudara dengan aliens dalam jagat raya kita.
Mana yang
anda mau pilih: kita bersaudara dengan kendi, dengan monyet, atau dengan
aliens? Saya pilih yang ketiga.
Tapi pada
akhirnya, kita, homo sapiens, pada level yang fundamental (maksudnya: pada level dunia sub-atomik partikel-partikel, atau yang disebut dunia mekanika quantum), sama dengan semua
materi di jagat raya yang terdiri atas quark, proton, neutron, positron dan
elektron.
Kenyataan bahwa pada level
fundamental kita adalah quark, proton, neutron, positron dan elektron, sama seperti
batu kali, apakah menyedihkan hati anda? Jikalau kita sama dengan batu kali
atau abu gosok pada level fundamental, apakah ada yang anda bisa banggakan
sebagai manusia?
Orang sering
bangga konon karena status mereka sebagai makhluk bernyawa tertinggi, mahkota
ciptaan Allah. Benarkah kebanggaan ini, jika pada level fundamental kita tak
beda dari abu gosok?
Apa beda
diri anda sebagai homo sapiens dari abu gosok?
Jika anda sedang menggenggam abu gosok, ketika mencuci piring,
ingat-ingatlah bahwa pada level fundamental anda tidak beda darinya.
Jika pada
level fundamental anda tak beda dari abu gosok, mengapa anda petantang-petenteng
mau menjadi hakim atas sesama anda yang berbeda agama dan keyakinan? Jika evolusi biologis membuat anda sepupu dengan simpanse, dan pada level fundamental sama dengan kera, mengapa anda kerap menghina simpanse dan banobo?
Semakin anda
berilmu dan tahu rahasia-rahasia jagat raya, seharusnya anda semakin rendah
hati, karena anda paham diri anda pada
level fundamental tak beda dari abu gosok.
Apa bedanya anda dari seekor kecoak?
Ketika anda
menginjak mati seekor kecoak di kamar mandi, pada level fundamental anda
sebetulnya menginjak diri anda sendiri sampai mati.
Betullah
jika dilantunkan We are the world, we are
the children. Kita adalah anak-anak, sama seperti bintang-bintang,
planet-planet, galaksi-galaksi, nebulae, yang dilahirkan oleh ibu kandung kita bersama, sang bunda alam
semesta.
Semakin anda
berilmu dan tahu misteri-misteri jagat raya, semakin anda satu dengan jagat
raya dan dengan semua bentuk kehidupan, dan dengan segala meteor dan komet.
Ilmu yang
semakin tinggi, bukan menjauhkan diri anda dari abu gosok dan batu kali dan
kecoak, tapi menyatukan anda dengan semua yang ada, yang bernyawa maupun yang
tidak bernyawa. Ilmu sesungguhnya mempersatukan semua bentuk kehidupan dan
semua unsur jagat raya; dus, carilah ilmu tanpa henti.
Kalau
agama-agama memecah belah umat manusia dan menimbulkan perang, tinggalkanlah,
dan peluklah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan tak bisa membahayakan siapapun,
karena ilmu pengetahuan membawa anda ke dalam kebenaran yang makin besar dari
saat ke saat. Orang yang mencintai kebenaran, pasti akan mencintai ilmu
pengetahuan.
Tapi ketika
penerapan ilmu pengetahuan dalam bentuk teknologi jatuh di tangan jiwa-jiwa yang
rapuh, teknologi bisa memusnahkan kehidupan. Jelas, ancaman ini harus terus-menerus kita waspadai!
Karena ilmu
pengetahuan itu agung, yang di dalamnya kebenaran tersingkap terus-menerus, maka
semua saintis mustinya adalah orang-orang yang berjiwa agung, para mahatma.