Monday, April 16, 2012

Betulkah Doktrin tentang Surga dan Neraka Perlu Supaya Dunia Aman?





“Pikiran dapat membuat neraka jadi sorga, atau sorga jadi neraka.”
― John Milton (pujangga Inggris, 1608-1674)

“Baik sorga maupun neraka sesungguhnya ada di dalam diri kita.”
― Mahatma Gandhi (pejuang kemerdekaan India, 1869-1948)

“Apakah aku harus serakah pada kehidupan? Tidak. Tapi aku harus hidup sebaik mungkin sementara umur membatasiku. Kata Yesus, aku harus hidup dengan terus mencari untuk mendapatkan dan dengan terus mengetuk pintu untuk gerbang dibukakan”.
 ― Ioanes Rakhmat

“Kebenaran itu tidak selalu indah; begitu juga, kata-kata yang indah tidak selalu kebenaran.
― Lao Tzu (604 SM)



N.B. Update mutakhir 11 April 2021



“Metafora” tangga-tangga


Perhatikan lukisan di atas. Sorga ke atas dan sejuk, neraka ke bawah dan sangat panas. Manusia hidup di tengah-tengah, di Bumi, di antara sorga dan neraka. Ini alam pemikiran kuno tentang kosmologi tiga lapis. Fakta empirikkah ini, ataukah sebuah gambaran simbolik atau sebuah metafora? 

Apakah kosmos kita memang tersusun tiga lapis: di lapis bawah neraka, di lapis tengah Bumi, di lapis atas sorga? Menurut kosmologi modern, faktanya tidak! Jadi, ya lukisan di atas adalah sebuah metafora. 

Menurut kosmologi modern dan teori dawai (string theory) dalam fisika, jagat raya kita ini terus-menerus mengembang, ibarat sebuah balon raksasa yang terus-menerus ditiup, mengembang dengan makin cepat dan tanpa batas (ini salah satu skenario kosmologis, masih ada dua atau tiga skenario lain); dan ada tidak hanya satu jagat raya (the universe) yang sejauh ini sudah dapat diobservasi oleh iptek, tapi ada banyak jagat raya lain yang paralel (the multiverse).

Anak-anak tangga pada lukisan di atas itulah metafora, kata majemuk yang dibentuk dari dua kata Yunani meta dan ferein.

Sebagai sebuah metafora, tangga itu “menyeberangkan” (Yunani: ferein) manusia entah ke sorga di atas atau pun menyeberangkan manusia ke neraka merah membara di bawah, ke kawasan-kawasan lain yang “melampaui” atau yang ada “setelah” atau “beyond (Yunani: meta) kawasan Bumi tempat kita hidup dengan real setiap hari. 

Tanpa metafora, kawasan-kawasan lain yang melampaui dunia kita, yakni kawasan transenden, tidak dapat kita bayangkan atau kita pikirkan, atau masuki. Tanpa metafora, kisah-kisah teologis yang kait-mengait dengan dunia lain, the otherworld, tidak dapat disusun. Metafora menghubungkan the worldly dengan the otherwordly, dan sebaliknya.

Lewat metafora, kita masuk ke kawasan-kawasan lain yang lebih besar, di luar dunia kita sehari-hari, kawasan transenden, kawasan yang melampaui atau mentransendir kehidupan rutin sehari-hari kita yang sudah tidak kita renungkan lebih luas dan lebih dalam lagi. 

Lewat metafora, kita “menyeberang”, “berpindah tempat” (ferein), ke kawasan-kawasan lain yang lebih besar, yang lebih memukau, atau yang lebih dalam, “menembus” (meta) dunia sehari-hari kita yang sudah usang, biasa dan rutin, memasuki kawasan adinilai.




Gambar di atas adalah versi modern metafora kosmologi tiga lapis: Atas, sorga; Tengah, Bumi; dan Bawah, neraka.

Well, saya lanjutkan dengan sebuah catatan pendahuluan yang serius, berikut ini.

Anda bebas mau pilih apa

Pertama, anda bebas untuk percaya bahwa neraka yang bernyala-nyala abadi ada di alam baka dan akan dirasakan orang jahat setelah kematian mereka. Kalau anda memegang kepercayaan ini, meskipun tidak ada seorangpun yang bisa membuktikannya dengan objektif atau mengetahui koordinatnya pada gelembung balon jagat semesta, seyogianya kepercayaan anda ini membuat anda hidup sangat berhati-hati, dalam pikiran, perkataan, kehendak dan perbuatan, dalam dunia sekarang ini, supaya anda tidak dicemplungkan ke dalam neraka sesudah anda mati.

Artinya, kepercayaan anda ini hendaklah membuat anda mampu hidup dengan bermoral, beretika, selama masih hidup di muka Bumi. Sebab, ada juga orang yang karena percaya neraka ada setelah kematian, malah hidup seenaknya sendiri, tanpa akhlak, di dalam dunia ini sekarang karena mereka berpikir berlawanan. Kata mereka: “Ah bukankah hukuman di neraka itu nanti, bukan sekarang di dunia? Jadi, ya sekarang bebas saja untuk berbuat apapun. Tokh tidak akan sekarang masuk neraka.”

Kedua, jika anda memilih untuk tidak percaya pada keberadaan neraka di alam baka, setelah kematian, ya anda bebas untuk mengambil posisi ini. Pertanyaannya sekarang, hal-hal apa yang dapat memandu anda kini di dunia ini untuk menjadi sosok-sosok yang hebat, agung dan mulia, dalam pikiran, perkataan, kehendak, dan perbuatan anda.

Orang bisa menjadi baik, agung dan luhur, memang tidak harus karena mereka takut pada ancaman hukuman di neraka sesudah wafat. Ini fakta. Ada banyak faktor yang berperan dalam membentuk jalan kehidupan, etika, gaya hidup, dan watak setiap orang, tidak harus agama atau doktrin tentang ancaman hukuman di neraka. Orang besar yang beragama ada banyak; begitu juga, ada sangat banyak sosok agung yang tidak beragama.

Lewat ilmu pengetahuan pun sangat banyak orang dapat menjadi agung dan memberi kontribusi-kontribusi besar dan langgeng yang real untuk dunia dan peradaban manusia. Obor penerang peradaban malah bernyala lebih banyak dan lebih benderang dalam diri para ilmuwan, tentu sejauh mereka tidak menjual diri lalu menjadi para ilmuwan politis yang digerakkan sebagai pion-pion oleh kekuatan-kekuatan sosialpolitis dan ekonomis besar dunia ini― para ilmuwan penjual diri ini lazim dinamakan “junk scientists”.

Ketiga, anda juga bebas untuk tetap memegang ide tentang adanya neraka, tetapi ide ini anda tidak perlakukan secara harfiah, melainkan secara metaforis. Bagi orang yang mengambil posisi ini, neraka itu suatu gambaran simbolik atau sebuah metafora yang menggambarkan situasi dan kondisi kehidupan manusia yang sangat menyiksa dan menimbulkan penderitaan sangat berat dalam jangka panjang.

Sikon kehidupan yang buruk dan menyakitkan ini, bagi mereka, tidak usah ditunggu setelah kematian, tetapi dapat ditemukan dan dialami di dalam dunia ini di mana-mana dan di sepanjang sejarah umat manusia.

Neraka, jika anda memegang posisi yang ketiga ini, terlihat real di dalam kemiskinan, kelaparan, kemelaratan, keterlantaran, keterbelakangan, kerentanan, kebodohan, ketidakadilan sosial, sakit penyakit, kesenjangan ekonomi yang lebar, perang, kehancuran peradaban, penyiksaan, kematian mengenaskan, serangan berbagai bencana alam yang dahsyat, rasialisme, pembunuhan karakter, perbudakan, dan berbagai bentuk penderitaan lain, yang sekarang sedang dialami banyak orang di muka Bumi.

Data perbudakan global

Dari data The Global Slavery Index 2016 Report,/1/ kita ketahui bahwa dalam dasawarsa kedua abad ke-21 di era modern kini, neraka perbudakan sedang dialami 45,8 juta orang di dunia ini sekarang, bukan setelah kematian. Duabelas negara teratas yang paling luas mempraktekkan perbudakan adalah Korea Utara, Uzbekistan, Kamboja, India, Qatar, Pakistan, Republik Demokratik Kongo, Sudan, Irak, Afghanistan, Yemen, dan Suriah.

Banyak orang menderita rabun dekat yang parah sehingga mereka tidak bisa melihat fakta bahwa neraka perbudakan ini sangat real di muka Bumi sekarang ini, karena sepasang mata mereka terbiasa memandang ke dunia lain yang jauh dan tidak kelihatan.



Menurut Global Slavery Index 2018, ada 167 negara yang mempraktekkan perbudakan. Dari antaranya, 10 negara teratas mencakup: 1. Korea Utara; 2. Eritrea; 3. Burundi; 4. Republik Afrika Tengah; 5. Afghanistan; 6. Mauritania; 7. Sudan Selatan; 8. Pakistan; 9. Kamboja; 10. Iran.

Ada setidaknya dua faktor utama pendorong perbudakan di era modern di 10 negara tersebut, yakni rezim-rezim yang sangat represif dan konflik dalam negeri./2/



10 negara teratas yang mempraktekkan perbudakan di zaman modern. Angka-angka menunjukkan jumlah korban per 1.000 penduduk



Persentase kerentanan terhadap perbudakan di 10 negara dalam era modern



Nah, baiklah, tiga posisi di atas bebas anda pilih dan ambil. Anda bisa mempercayai yang satu, dan tidak mempercayai dua yang lainnya; atau, anda juga bebas ambil ketiga-tiganya sekaligus bergantung sikon kehidupan yang sedang anda jalani atau sedang anda lihat.

Berikut ini, saya mau menyumbang sebuah wacana lain yang tidak klise tentang ide atau doktrin tentang sorga dan neraka. Semoga tulisan saya ini dapat mendatangkan pencerahan lebih jauh kepada teman-teman yang masih melihat diri sedang berziarah di lelautan kehidupan, dan tidak pernah sampai ke pelabuhan terjauh yang selalu masih samar terlihat di depan.

Zoroastrianisme

Umumnya dipercaya bahwa dalam agama-agama yang berpangkal pada kitab suci Ibrani atau Tenakh Yahudi atau yang biasa disebut “agama-agama Abrahamik”, konsep-konsep tentang sorga dan neraka, serta konsep tentang Setan/Iblis, sangat kuat dipengaruhi oleh kepercayaan-kepercayaan Zoroastrian yang berkembang di Iran atau Persia kuno./3/ 

Nabi Zoroaster atau Zarathustra (antara abad ke-7 SM dan abad ke-6 SM) dipercaya menerima sebuah visi religius pada usia 30 tahun ketika dia sedang mandi di sebuah sungai saat sedang dilaksanakan ritual purifikasi pagan. Di tepi sungai itu, dia melihat suatu “Sosok Cahaya Benderang” yang menyatakan diri kepadanya sebagai Vohu Manah (“Pikiran Yang Baik”).

Lalu Vohu Manah membawa Zoroaster ke hadirat Allah yang esa, yang bernama Ahura Mazda (“Tuhan Yang Arif”), Allah yang berbelarasa, adil, lurus, benar, dan pencipta jagat raya. Ada tujuh sifat yang dikenakan pada Ahura Mazda, yakni mahatahu, mahakuasa, mahahadir, tak terbayangkan oleh manusia, abadi, sang Pencipta kehidupan, Sumber segala kebajikan dan kebahagiaan. Lewat sifat-sifat Ahura Mazda ini manusia mengenal Allah.

Ahura Mazda disembah sebagai Allah yang agung. Segala yang diciptakan-Nya murni, tak bercacat  dan harus diperlakukan dengan penuh kasih sayang dan terhormat, termasuk semua yang ada dalam dunia alam. Karena itu, sejak dulu orang-orang Zoroastrian tidak mencemari sungai-sungai, hutan-hutan, Bumi dan atmosfir. Ada yang menyebut Zoroastrianisme sebagai “agama ekologis yang pertama”.

Di sisi Ahura Mazda terlihat ada enam sosok cahaya lain yang disebut Amesha Spentas (“Sosok-sosok abadi yang suci”) yang “keluar” atau “beremanasi” dari Ahura Mazda dan menjadi manifestasi sifat-sifat Allah Ahura Mazda. Bersama Ahura Mazda, Amesha Spentas ikut menciptakan jagat raya, dan masing-masing dikaitkan dengan suatu segi khusus ciptaan yang mencerminkan prestasi spiritual masing-masing.

Enam Amesha Spentas itu adalah:
• Vohu Manah (“pikiran yang baik dan tujuan yang baik”)
• Asha Vahishta (“kebenaran dan kelurusan”)
• Spenta Ameraiti (“pengabdian yang suci, kedamaian, dan kebaikan hati”)
• Khashathra Vairya (“Kuasa dan pemerintahan yang adil”)
• Hauravatat (“Keutuhan dan kesehatan”)
• Ameretat (“panjang umur dan keabadian”)

Itulah visi religius pertama yang dilihat Zoroaster, yang kemudian disusul dengan visi-visi lainnya. Setiap kali Zoroaster mengalami suatu visi, dia mengajukan banyak pertanyaan. Dipercaya, jawaban-jawaban yang diberikan kepadanya menjadi fondasi-fondasi agama Zoroastrianisme.

Sebagaimana lazimnya dalam setiap agama, Allah Ahura Mazda juga memiliki lawan-Nya yang dinamakan Angra Mainyu (artinya “roh penghancur/perusak”). Angra Mainyu inilah asal-usul kematian dan segala hal yang batil dan durjana dalam jagat raya.

Sebagai Allah yang sempurna, Ahura Mazda berdiam dalam sorga, sedangkan Angra Mainyu berdiam di dasar-dasar kedalaman neraka. Hal apakah seseorang setelah mati akan masuk sorga atau akan masuk neraka, bergantung pada perbuatan-perbuatan mereka masing-masing sewaktu masih hidup dalam dunia.

Dualisme dalam Zoroastrianisme/4/

Dalam Zoroastrianisme, ada konsep tentang dualisme yang terdiri atas dualisme kosmik dan dualisme etik/moral.

Dualisme kosmik mengacu kepada dua kekuatan yang berlawanan yang ada dalam jagat raya, yang terus-menerus bertempur satu sama lain, yaitu kekuatan Kebaikan (Ahura Mazda) sebagai energi kreatif dan kekuatan Kejahatan (Angra Mainyu) sebagai energi perusak. Energi kreatif yang ada pada Allah Ahura Mazda dinamakan Spenta Mainyu.

Allah menciptakan suatu dunia yang murni melalui energi kreatifnya, yang terus-menerus diserang oleh Angra Mainyu untuk membuat dunia tercemar, sehingga timbullah penuaan, sakit-penyakit, kelaparan, kejahatan, bencana-bencana alam, kematian dan seterusnya.

Dualisme kosmik inilah yang membuat manusia mengalami kehidupan dan kematian, siang dan malam, terang dan gelap, sorga dan neraka, perang dan perdamaian, kekerasan dan kelembutan, angin sepoi-sepoi dan badai taifun, keberlimpahan dan kelaparan, keberhasilan dan kegagalan, musim hujan dan musim kering, paceklik dan panen, dst. Yang satu tidak dapat dipahami tanpa yang lainnya. Kehidupan adalah campuran dua kekuatan yang berlawanan ini.

Dualisme etik/moral mengacu ke perlawanan dan pertempuran antara hal yang baik dan hal yang jahat, hal yang benar dan hal yang salah, yang semuanya berawal dalam pikiran manusia

Ahura Mazda memberi kehendak bebas atau freewill kepada manusia, sehingga manusia mempunyai pilihan untuk mengikuti jalan Kejahatan/Kebatilan (druj) atau jalan Kebaikan/Kebenaran (asha).

Jalan Kejahatan/Kebatilan membawa orang ke penderitaan dan akhirnya ke Neraka. Sebaliknya, jalan Kebaikan atau jalan Kebenaran mendatangkan kedamaian dan kebahagiaan abadi dalam Sorga. 

Jadi, sorga dan neraka adalah akibat-akibat akhir dari hal-hal yang bermula dalam pikiran manusia yang kemudian mendorong manusia berkata dan bertindak. Apa dan bagaimana kehidupan anda dan dunia ini, ditentukan dengan signifikan oleh apa yang semula menjadi isi pikiran anda. 

Tersedia bagi kita polaritas kebahagiaan dan kesedihan, kebenaran dan dusta, kebaikan dan kejahatan, dst, yang harus kita pilih berdasarkan kehendak bebas kita. Pilihan yang kita ambil sangat krusial sebab pilihan kita ini menentukan apakah kita membantu Ahura Mazda atau kita memihak Angra Mainyu. Jika umat manusia memilih menjadi penolong Ahura Mazda, maka kejahatan dan kebatilan akan akhirnya dikalahkan dan Sorga di Bumi akan terwujud.

Dalam Zoroastrianisme modern, umat manusia dipandang positif bahwa pada dasarnya manusia itu baik, dan kebaikan yang ada pada manusia akhirnya akan menang, dan kebatilan serta kejahatan akan dilenyapkan. Ini sejalan dengan kodrat ciptaan yang semula yang murni yang dijadikan oleh energi kreatif Ahura Mazda, sebelum Angra Mainyu menyerangnya untuk mencemarkan dan menghancurkan segenap ciptaan. 

Dualisme etik akan berdampak besar pada dualisme kosmik. Sebaliknya juga betul, dari pilihan anda terhadap kutub-kutub dualisme kosmik, entah kutub Ahura Mazda atau pun kutub Angra Mainyu, anda menentukan kekuatan mana yang akan menang dalam kawasan dualistik etik, baik bagi anda pribadi maupun bagi dunia ini.

Tradisi Yahudi-Kristen

Konsep tentang akhir zaman, kitab kehidupan, pemilihan, kebangkitan orang mati, kehidupan kekal di sorga, dan kengerian yang kekal di neraka, dalam tradisi keagamaan Yahudi-Kristen muncul pertama kali dalam kitab Daniel 11-12 (dalam Perjanjian Lama) yang ditulis pada abad kedua SM. Dalam dua pasal kitab Daniel ini, eskatologi apokaliptik muncul dengan kuat. Di dalamnya perang demi perang digambarkan, tanpa dengan eksplisit menyebut negara-negara yang terlibat: Syria, Persia, Yunani, Mesir, Palestina, Roma, Libia, Ethiopia. 

Di masa itu, bangsa Yahudi sedang mengangkat senjata melawan Imperium Seleukid (Syria) yang diperintah raja lalim Antiokhus IV Epifanes yang sedang melancarkan politik hellenisasi besar-besaran atas negeri Israel. 

Hellenisasi adalah usaha-usaha politik dan militerisme untuk menjadikan kebudayaan dan agama-agama Yunani ― yang disebut hellenisme ― sebagai kebudayaan dan agama-agama bangsa-bangsa jajahan Aleksander Agung dan para penerusnya. Dalam sejarah Yahudi, perang ini dikenal sebagai Perang (Pemberontakan) Makkabe (167-160 SM), karena dipimpin oleh keluarga Makkabeus.

Silakan bandingkan “apokalipsis Daniel” dengan “apokalipsis” atau Wahyu Yohanes (dalam Perjanjian Baru) 19:11-21:27. Kitab Wahyu ini ditulis oleh seorang yang bernama Yohanes (1:1,4,9; 22:8). Meski bagian-bagian tertentu kitab ini mungkin sudah ditulis sebelum kejatuhan kota Yerusalem di tahun 70 M, kumpulan tulisan ini dibuat sebagai satu kesatuan kitab menjelang akhir kekuasaan Kaisar Domitianus (81-96 M) yang telah mengasingkan si penulisnya di pulau Patmos (1:9)./5/

Dua tujuan 

Nah, konsep sorga dan neraka diciptakan pada awalnya oleh suatu komunitas keagamaan atau suatu bangsa beragama (dalam hal ini, bangsa Yahudi kuno) yang sedang ditindas suatu bangsa asing adidaya, dan mereka tidak memiliki kekuatan militer yang unggul. Akibatnya mereka mengalami banyak kekalahan, dan tidak sedikit dari antara mereka mati dalam banyak perlawanan yang tampak sia-sia, juga tak sedikit yang tidak tahan ditindas lalu menyeberang ke pihak musuh.

Dalam kondisi perang semacam ini, para tokoh keagamaan mereka, yang juga bertanggungjawab dalam kehidupan politik dan militer, menyusun konsep tentang sorga dan neraka, baik berupa doktrin maupun berupa kisah-kisah kejuangan para martir.

Ada dua tujuan dalam mereka menyusun doktrin tentang sorga dan neraka. 

Pertama, untuk membangun suatu semangat tempur sampai titik darah penghabisan dalam diri para pejuang. Kepada para pejuang ini, lewat doktrin sorga dan neraka dan kisah-kisah heroik para syuhadah, dijanjikan bahwa kendatipun mereka akan mati dalam perang, mereka harus jangan menyerah, sebab sekalipun mereka mati mereka akan diberi pahala masuk sorga sesudah mati syahid, menerima “hidup yang kekal” “pada akhir zaman” yang akan segera terjadi (Daniel 11:40; 12:2,8-13).

Janji pahala sorga ini, dalam suatu perang, sangat efektif untuk membangun suatu semangat tempur sampai titik darah penghabisan, tentu kalau perangnya dilangsungkan karena alasan keagamaan. Itulah yang terjadi pada para pejuang Makkabe.

Pada zaman kuno ketika belum dikenal pemisahan antara agama dan politik, perang dilakukan karena alasan agama dan politik sekaligus, yang satu tidak dipisahkan dari yang lain. Pemisahan agama dari politik, dan politik dari agama, yang dikenal sebagai sekularisasi, sama sekali belum dikenal ketika semua agama besar lahir dalam dunia-dunia kuno. Sekularisme adalah sebuah gagasan modern. 

Sekularisasi tidak bertujuan menghapus agama-agama dari dunia modern yang dibangun oleh iptek modern dan kearifan modern, tetapi menempatkan agama-agama dalam kawasan privat individual dan komunal, tidak mencampuri politik dan pengembangan iptek.

Hingga abad ke-21 ini ada agama-agama yang masih tidak membuka diri pada sekularisasi umumnya, yakni agama-agama konservatif. Agama Islam misalnya, khususnya kalau kita mengacu ke era Islam klasik, sangat kuat menolak sekularisasi. Menyebut Islam sebagai sebuah agama apolitis adalah suatu oxymoron. Es yang panas, itu sebuah oxymoron. Begitu juga, segitiga lingkaran, atau kemarahan yang riang, atau duka yang menghibur, atau sungai yang mengalir ke puncak gunung, si cantik yang jelek, semuanya contoh oxymoron.

Tetapi, tentu saja, saya melihat sendiri, sangat banyak sosok intelektual Muslim di mana-mana yang sudah berpikiran maju dan progresif, dan menjalani kehidupan modern dan menyumbang dengan positif pada modernitas. Mereka tidak ragu bergerak ke depan. Pantang mundur.

Nah, bangsa beragama di zaman kuno, yang terancam kalah, dihadapkan pada sebuah pertanyaan besar: Mengapa Allah mereka diam saja, dan tampak kalah juga ketika berhadapan dengan musuh mereka? Ketahuilah, bagi bangsa beragama di zaman dulu, kalau bangsa ini kalah perang, berarti Allah mereka juga kalah.

Nah, sebagai tujuan kedua, pertanyaan besar ini dijawab dengan doktrin tentang neraka: Jangan takut dan jangan kehilangan kepercayaan, sebab akan tiba saatnya, ketika zaman dan sejarah dunia berakhir tak lama lagi, semua musuh mereka akan dengan adil dibalas oleh Allah dengan membuang mereka semua ke dalam “api neraka” (“kehinaan dan kengerian yang kekal”, Daniel 12:2), yang akan memanggang mereka selamanya.

Doktrin tentang hukuman di neraka, dengan demikian, adalah sebuah doktrin tentang kebencian dan dendam membara yang tidak bisa hilang, tetapi dipelihara sampai ke alam baka. Tidak ada cinta di dalam doktrin ini. Malah, doktrin ini dibangun di atas dasar doktrin keadilan Allah yang mahapembalas. 

Tapi, sebetulnya tidak ada keadilan di dalam doktrin tentang hukuman di neraka. Bayangkan, usia seorang manusia di Bumi paling lama katakanlah 80 tahun, tetapi jika si manusia ini dihukum di api neraka transenden, hukumannya berlangsung abadi, bermilyar-milyar-milyar tahun, tanpa ada suatu akibat positif apapun bagi si manusianya yang terus-menerus di panggang dalam api bak setusuk sate yang tak kunjung matang dipanggang di atas bara merah api. 

Santo Augustinus pun sampai bisa menulis, “Lewat keajaiban yang dibuat Allah yang mahakuasa, mereka [makhluk-makhluk hidup yang diganjar hukuman di neraka] dapat terbakar tanpa hangus dan menderita tanpa mati.” (City of God, book 21, ch. 9). Artinya jelas, tanpa Augustinus sadari, bahwa neraka adalah kawasan non-fisik dan non-indrawi. Dus, rasa sakit terbakar dan rasa sangat menderita atau sekarat, juga tidak ada. Real tidak ada.

Juga, kita patut bertanya, Apa manfaat hukuman ini buat Tuhan? Buat memuaskan keadilan-Nya sajakah lewat ketidakadilan-Nya? Buat melampiaskan kemurkaan-Nya sajakah tanpa Dia sanggup membatalkan atau menghilangkan penyebab kemurkaan-Nya yang telah terjadi di saat para penghuni neraka-Nya masih hidup di Bumi?

Saya jujur saja tak sanggup berpikir bahwa karena sadisme, Tuhan sambil menari-nari bersukahati melihat orang terpanggang abadi dalam api neraka berkobar yang dibuat-Nya. Ini bukan Tuhan yang saya imani. Tuhan yang saya percayai dan muliakan selamanya adalah Tuhan yang rahmani dan rahimi, panjang sabar dan berlimpah kasih karunia, mahapengampun, mahapenolong, mahapenanggung, dan bukan pendendam.

Karena ada janji sorga dan ancaman neraka, doktrin tentang sorga dan neraka umumnya dilengkapi beberapa doktrin lain: doktrin-doktrin tentang kiamat (berakhirnya sejarah dunia), tentang bencana sejagat, tentang kebangkitan orang mati, tentang pengangkatan orang yang masih hidup ke angkasa, tentang pengadilan di akhir zaman, tentang merajalelanya aktivitas makhluk-makhluk demonik (setan atau iblis atau dajjal atau “anti-Kristus”), tentang figur sang hakim jagat raya yang akan turun dari kawasan adikodrati pada akhir zaman, dan tentang kitab kehidupan yang di dalamnya tercatat biografi orang per orangan selama mereka hidup di Bumi, yang akan dijadikan landasan pengadilan di akhir zaman. 

Secara keseluruhan, seperti telah disebut di atas, itulah konten pemikiran keagamaan eskatologi apokaliptik, harfiah berarti ajaran tentang akhir zaman (Yunani: eskhatologos), yang diterima dan disampaikan sebagai wahyu (Yunani: apokalipsis).

Belakangan, doktrin tentang sorga dan neraka mengalami pergeseran fungsi, khususnya ketika doktrin ini tetap dipercaya dan dipegang meskipun umat tidak sedang berperang. Doktrin ini berubah fungsi menjadi sebuah doktrin yang digunakan para rohaniwan untuk mengontrol perilaku umat orang per orangan dan memaksakan kehendak mereka sendiri.

Seperangkat aturan moral (moral code) disusun, seperangkat doktrin dibangun, dan seperangkat ritual ditetapkan, untuk diikuti dan dijalankan umat tanpa hak dan kewajiban bertanya. Para rohaniwan mengingatkan mereka dengan keras: Jika moral code dan seperangkat doktrin dan ritual ini tidak diikuti dan dijalankan sepersisnya, orang yang melawan ini akan masuk neraka abadi. Sebaliknya, anggota umat yang menaati semuanya akan menerima pahala sorga.

Jelas, dengan bisa mengontrol perilaku dan keyakinan umat, para rohaniwan ini tetap memegang kendali atas seluruh komunitas, dan mereka tetap bisa menjadi leader atau pemimpin dengan kedudukan politik yang kuat, yang dapat memberi mereka banyak keuntungan lain (ekonomi, hak istimewa, hak menetapkan doktrin, hak menentukan kebenaran atau kesalahan, hak menghakimi, hak atas kehidupan dan kematian orang lain, dan hak-hak lainnya).

Limbo dan purgatori

Dalam kehidupan Gereja Roma Katolik (GRK) sekarang ini, doktrin tentang penghukuman di api neraka diperluas dengan dua doktrin lain tentang bagian-bagian kehidupan di akhirat yang mengawali atau menggantikan kehidupan sengsara di api neraka, yakni doktrin tentang limbo dan purgatori.

Limbo adalah kehidupan di akhirat yang diberikan kepada orang-orang pagan yang tak jahat tetapi penuh kebaikan dan kebajikan, noble pagans, sehingga mereka tak pantas dimasukkan ke dalam neraka, dan juga kepada bayi-bayi yang meninggal ketika belum menerima baptisan Kristen yang dipercaya penting untuk keselamatan mereka. 

Limbo dibayangkan sebagai suatu tempat yang di dalamnya tak ada siksaan berat dan kekal seperti di neraka, tetapi juga tidak ditemukan kesukaan dan kebahagiaan seperti hidup dalam sorga. Limbo adalah situasi tengah-tengah antara neraka dan sorga.

Doktrin tentang limbo ini dirancangbangun tidak lain untuk mengurangi rasa bersalah para rohaniwan GRK yang semula mengancamkan neraka kepada semua kaum pagan yang berakhlak luhur dan orang-orang yang baik tetapi tidak termasuk ke dalam komunitas GRK, dan tentu juga untuk memperkuat doktrin tentang neraka sebagai suatu tempat yang disediakan untuk orang-orang yang memang sangat patut dan sah dimasukkan ke dalamnya.

Debat di dalam GRK tentang apakah doktrin limbo masih harus dipertahankan makin menguat sekarang ini ketika kasus-kasus janin yang diaborsi semakin menggunung, sementara GRK sangat menentang aborsi yang dilakukan dengan alasan apapun.

Purgatori, yang dikenal juga sebagai “api penyucian”, menyediakan suatu tempat dan kurun di mana seseorang dimungkinkan untuk terhindar dari hukuman abadi dalam api neraka, dengan menjalani suatu penghukuman sementara, yang sebenarnya lebih tepat disebut “penyucian” atau “pemurnian” dalam jangka waktu tertentu sebelum akhirnya terbebaskan sama sekali dari siksa di neraka abadi.

Menurut doktrin ini, ketika periode siksaan atau pemurnian terbatas ini selesai dijalani, orang yang menjalaninya dikeluarkan dari purgatori lalu diterima masuk ke dalam sorga abadi, berdasarkan kalkulasi bahwa kejahatannya selama hidup di muka Bumi sudah lunas dibayar olehnya selama berada dalam purgatori. Orang semacam ini dikalkulasi tidak terlalu jahat tetapi juga tidak terlalu baik.

Kita tahu, reformator Gereja Protestan pada abad ke-16, Martin Luther, dibuat sangat murka ketika GRK pada zamannya memanfaatkan doktrin tentang purgatori ini untuk menggalang dana besar bagi pembangunan Gereja Santo Petrus di Vatikan, melalui penjualan surat penghapusan dosa.

Pada masa itu, GRK mengajarkan, jika seorang Katolik yang berdosa telah dengan cukup memberi sumbangan uang ke kas gereja untuk membangun gereja besar ini, dengan membeli surat penghapusan dosa, orang ini akan terhindar dari purgatori ketika dia wafat nanti dan arwahnya akan langsung masuk sorga; atau, kalau orang ini memberi sumbangan uang demi seorang anggota keluarganya yang sudah meninggal, maka, begitu mata uang berdenting di kas gereja, arwah orang yang sudah meninggal ini dijamin gereja akan langsung dikeluarkan dari purgatori lalu dimasukkan ke dalam sorga abadi.

Tentu saja dengan jujur saya harus katakan bahwa Martin Luther benar, dan bahwa doktrin yang dilawannya ini memang penuh hal-hal yang tak masuk akal sehat, apalagi akal ilmiah yang melampaui akal sehat. 

Tapi ya, imajinasi bebas atau sesuatu yang melawan akal sehat atau hal yang irasional sejak dulu sudah menjadi bagian dari kandungan agama apapun, ketika era ilmiah atau era modern belum tiba, dan kosmologi modern belum dikonstruksi. 

Jadi, ya memang kita tidak bisa memindahkan agama-agama yang dibangun jauh di zaman dulu begitu saja ke dunia masa kini yang modern. Diperlukan ilmu tafsir interdisipliner dan hermeneutika jika kita mau menarik dan menerapkan pesan-pesan agama-agama yang dikonstruksi di masa-masa lampau di tempat-tempat lain bagi kita yang hidup sekarang di dunia kita masing-masing yang berlainan./6/

Jelaslah, doktrin tentang sorga dan neraka adalah sebuah doktrin politis religius, yang semula disusun untuk kepentingan perang, dan kemudian untuk mengendalikan perilaku dan kehidupan umat oleh para rohaniwan ketika doktrin ini tetap dipegang dalam konteks bukan perang dan ditambahi dengan doktrin tentang limbo dan purgatori.

Sebetulnya, adakah?

Kalau ditanya, apakah sorga dan neraka betulan akan ada dan dialami sesudah kematian, jawabnya adalah: seandainya manusia hidup terus dalam rupa roh sesudah kematian fisik di muka Bumi, maka roh yang tidak memiliki tubuh, indra dan otak sama sekali tak akan bisa merasakan entah nikmat sorga atau pun siksa neraka. Pernyataan saya ini memiliki landasan pada neurobiologi manusia yang saya segera beberkan cukup singkat saja pada kesempatan ini.

Sebelum ke situ, saya ingin mengungkapkan isi hati dan pikiran saya pribadi.

Saya sungguh ingin masuk sorga setelah kematian, tapi sejauh dalam sorga di dunia lain ini, jika ada, saya masih bisa punya pengalaman real dan kerja yang juga real dan bermanfaat, apalagi jika di sana tidak ada sakit penyakit dan berbagai kelemahan atau gangguan mental, serta rasa letih dan mengantuk dan kehabisan tenaga.

Saya ingin di sana tetap bisa berpikir bebas dan inovatif, juga dapat menulis, membangun dan memajukan ilmu pengetahuan, serta mengantar anak-anak ke sekolah, kemudian melihat putera dan puteri saya telah menjadi sarjana. Juga mengunjungi panti-panti asuhan, berbuat bajik bagi sesama. Menghasilkan karya-karya agung dalam berbagai bidang, dan melukis, mendengarkan musik, menulis puisi, main petak umpet, menonton film. Juga memelihara tanaman dan hewan jinak, jalan-jalan ke pegunungan. Bermeditasi. Dan lain-lain.

Tapi, tanpa tubuh biologis/protoplasmik lengkap, mulai dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, tanpa lima indera, tanpa organ-organ tubuh, khususnya tanpa organ otak, tentu saja semua kebutuhan saya di atas tidak akan pernah muncul lagi berulang di sorga adikodrati.

Tetapi, bagaimanakah halnya seandainya kehidupan di sorga akan seperti yang saya harapkan di atas? Tentu saja mustahil saya bisa menjawabnya selama saya dan anda masih hidup dalam dunia sekarang ini yang kita semua ketahui dan sedang jalani, dan yang di dalamnya kita membangun iptek modern yang membuat kita tahu bahwa hanya dengan tubuh biologis, manusia baru bisa hidup dengan aktif dan memiliki berbagai pengalaman. 

Beriman atas adanya sorga yang aktif setelah kita tidak memiliki tubuh biologis tentu boleh, tak bisa dilarang, dengan harapan iman ini menghasilkan manusia-manusia beriman yang hidup dengan sungguh-sungguh berkualitas, cerdas, berpengetahuan luas, dan tangguh dalam banyak bidang kehidupan dalam dunia sekarang ini.

Komposisi kimiawi tubuh biologis

Bagaimana pun juga, kita perlu dilengkapi gambar susunan atau komposisi kimiawi tubuh biologis manusia. Perhatikan gambar di bawah ini.



Tertulis pada gambar di atas, tubuh biologis manusia terdiri atas air 62%, mineral 6%, karbohidrat 1%, lemak 16%, protein 16%, dan kandungan lain >1%. 

Sedangkan elemen-elemen kimiawinya mencakup oksigen 65%, karbon 18%, hidrogen 9,5%, nitrogen 3,2%, kalsium 1,5%, fosfor 1,2%, potasium 0,4%, sulfur 0,2%, sodium 0,2%, khlorin 0,2%, magnesium 0,1%, lain-lain > 1%.




Pada gambar di atas, terbaca tubuh biologis manusia terbangun atas unsur-unsur oksigen 65%, karbon 18,5%, hidrogen 9,5%, kalsium 1,5%, fosfor 1%, potasium 0,4%, sodium 0,2%, khlorin 0,2%, magnesium 0,1%. 

Jika tubuh biologis manusia lenyap lewat pembusukan dalam kurun tertentu, sebagian besar unsur kimiawi yang memiliki massa itu melepaskan energi lewat pendaurulangan di muka Bumi, tidak terbang ke mana-mana, dan unsur karbon (c) dapat mengambil berbagai peran dalam terbangunnya bentuk-bentuk kehidupan lain yang tidak terprediksi, lewat proses yang tidak sederhana.

Jadi, kalau sorga tak bisa diisi dengan aktivitas-aktivitas yang hanya mungkin dilakukan jika para penghuninya memiliki tubuh biologis, sorga seperti apakah itu? Bermaknakah? 

Nah, jika sorga adalah suatu kawasan rehat abadi, atau tempat bernyanyi tanpa berhenti selamanya (bisakah kita bernyanyi tanpa selaput suara dan lidah?), apakah sorga yang seperti itu menarik hati dan pikiran saya? Tidak, dan bukan pilihan saya. Hidup kekal tapi menganggur abadi, atau monoton kekal, tanpa kerja, tanpa pengalaman, tanpa tanggungjawab, tanpa prestasi, tanpa warna-warni, hanya akan bermuara pada kebosanan, stres dan depresi yang makin lama makin dalam.

Lebih baik saya memilih puas dengan kehidupan yang hanya sekali di Bumi tetapi saya isi, sebisa mungkin, dengan hal-hal real yang mulia, agung dan bernilai abadi. Itu sudah cukup. 

Saya tak mau menyerakahi kehidupan baka di alam lain yang tak berisi hal-hal fisik; dan juga tidak mau menyerakahi kehidupan masa kini di dunia yang kita tinggali bersama. Sesudah kita, masih menunggu generasi-generasi masa depan yang akan berprestasi jauh lebih hebat dan lebih agung dari kita. Kewajiban kita adalah membimbing dan mengedukasi mereka dengan cerdas, sekarang, bukan memperjuangkan masuk sorga nanti buat diri kita sendiri.

Dalam sebuah kisah Buddhis, sosok-sosok agung yang dinamakan bodhisatwa yang sebetulnya sudah layak dan memenuhi segala syarat untuk masuk Nirwana yang dilukiskan sebagai suatu kawasan yang luar biasa indah dan membahagiakan, malah memilih untuk kembali ke dunia. Mereka menitis lagi di muka Bumi, dan menyatu dengan insan-insan biasa dalam kehidupan sehari-sehari.

Kok begitu? Ya memang begitu. Nirwana yang sangat mempesona bukan pilihan mereka. Di dunia kembali mereka terus menyebarkan kebajikan dan pengetahuan. Mereka bersumpah untuk mencerahkan semua insan, bahkan membawa terang budi sampai semua serangga, jangkrik, belalang, semut, kunang-kunang, kupu-kupu, capung hingga rerumputan dan pohon-pohon dan danau, telaga serta air terjun, semua mengalami pencerahan. Mereka telah kehilangan musuh terbesar mereka: egoisme, keakuan, pahala.

Neurobiologi

Nah, sekarang fokus ke neurobiologi. Rasa sakit, nyeri, tersiksa secara fisik, muncul dari aktivitas korteks anterior cingulate and anterior insula dalam otak manusia. Selain itu, juga karena teraktivasinya sistem saraf dan sistem pengindraan tubuh kita./7/

Sedikitnya ada tujuh neurotransmitters atau hormon kimianeural yang dihasilkan kelenjar-kelenjar dalam otak dan dalam tubuh kita, yang menjadi pemicu timbulnya rasa senang, bahagia, lega, nikmat, tenang, damai, kuat, percaya diri, agung, bernilai, bersahabat, sosial, optimis, dan yang sejenis. Lewat aliran darah hormon-hormon ini terbawa ke seluruh tubuh, sehingga kita mengalami keadaan-keadaan mental dan fisik yang seperti itu.

Tujuh hormon kebahagiaan dan kedamaian itu adalah endokannabinoid (molekul rasa bahagia dan damai), dopamin (molekul hadiah), oksitosin (molekul pengikat hubungan sosial), endorfin (molekul pembunuh rasa sakit, “morfin yang dihasilkan tubuh sendiri”), GABA (molekul anti-cemas), serotonin (molekul kepercayaan diri), adrenalin (atau epinefrin, molekul tenaga)./8/

Ketika otak, sistem saraf dan sistem pengindraan tubuh kita lenyap, maka pikiran dan perasaan apa pun lenyap. Tanpa perangkat lunak otak yang menyimpan data neural seluruh kehidupan anda, maka semua indra, identitas, memori, dan kesadaran diri anda lenyap sama sekali.

Banyak orang berpendapat tanpa bisa membuktikan bahwa kesadaran atau consciousness itu abadi, tidak terikat pada tubuh atau otak manusia. Tubuh atau otak boleh lenyap, tetapi kesadaran tidak akan lenyap, tapi pindah ke suatu kawasan lain ketika orang sudah menjadi mayat. Sebagai tanggapan, saya mau segera beberkan singkat saja apa temuan neurosains tentang kesadaran manusia.

Sebuah temuan baru neurosains telah dicapai oleh para ilmuwan dari Harvard Medical School yang masih harus dikaji dengan sampel yang lebih luas. Tapi temuan ini telah menghasilkan pengetahuan baru untuk membuat pasien koma sadar kembali.

Alih-alih datang dari dunia supernatural, kesadaran (“consciousness”) muncul dari jejaring aktif interkoneksi antar tiga bagian otak manusia:

• Rostral Dorsolateral Pontine Tegmentum (RDPT) pada batang otak (brainstem)
• Ventral Anterior Insula (VAI) kiri pada korteks
• Pregenual Anterior Cingulate Cortex (PACC) pada korteks

Jika interkoneksi aktif jejaring neural tiga bagian ini terganggu atau rusak, kesadaran langsung hilang, si penderita masuk ke keadaan koma atau berada dalam kondisi vegetatif./9/

Dilihat dari sudut-sudut pandang ilmiah di atas, maka harus dinyatakan bahwa sorga dan neraka sesudah kematian ada hanya dalam doktrin, dalam kisah teologis imajinatif, dalam mitologi, dan tidak ada dalam realitas faktual apapun.



Imajinasi siksa di neraka. Kekejaman di Bumi yang diproyeksikan ke alam baka! Kekejaman tanpa akhir. Justru ini yang dipertahankan agama yang seharusnya menebar kasih sayang!


Menjadikan orang lebih baik?

Banyak orang tentu tak setuju pada pernyataan yang saya baru tulis di alinea di atas, bahwa sorga dan neraka tidak ada dalam realitas apapun di akhirat. Mereka akan berkeras beranggapan, bahwa kalau doktrin tentang sorga dan neraka sesudah kematian tak diajarkan, tak dicekoki, tak diindoktrinasikan, kejahatan di muka Bumi akan semakin meningkat.

Selain itu, jika hukuman neraka tidak ada, maka, kata mereka dengan galak, orang jahat akan keenakan sesudah kematian, karena tidak ada pembalasan atas kejahatan mereka selama hidup di Bumi.

Anggapan di atas salah total, tak tertolong, karena beberapa alasan.

Pertama, kekuasaan untuk mengadili dan menjatuhkan hukuman di muka Bumi ada pada pemerintah suatu negara. Jadi, untuk mengurangi atau menekan angka prevalensi kejahatan di muka Bumi, hukum positif dalam suatu negara harus dibangun, ditegakkan dan diberlakukan dengan konsekwen dan konsisten pada semua orang tanpa pilih bulu.

Kalau ada orang bisa lolos dari jerat hukum, misalnya karena pemerintahan di dalam suatu negara lemah, buruk dan korup, jalan keluarnya bukanlah menakut-nakuti rakyat dengan doktrin tentang neraka yang panas dan berlangsung abadi, melainkan membereskan hukum dalam negara itu dengan sungguh-sungguh.

Kini, dalam era globalisasi, yang mengikat manusia di suatu negara bukan hanya hukum positif nasional, tetapi juga hukum internasional; dan yang ada bukan hanya lembaga pengadilan dalam negeri, tetapi juga lembaga pengadilan internasional. Sudah banyak terjadi, seorang yang lolos dari jerat hukum di negerinya sendiri akhirnya diadili dan dijatuhi hukuman di luar negeri.

Kedua, perlu kita ketahui bahwa dalam zaman modern ini jumlah orang yang tak lagi bisa menerima doktrin tentang sorga dan neraka sangat banyak, di antara mereka termasuk orang-orang yang potensial melakukan kejahatan. Kalau orang zaman modern ditakuti-takuti hanya dengan sebuah doktrin keagamaan tentang hukuman di neraka, dan hukum positif dalam suatu negara tak ada atau dihapuskan, jelas kejahatan di dunia akan semakin meningkat.

Ketiga, ketaatan yang ditimbulkan oleh doktrin tentang api neraka adalah ketaatan yang tak dewasa, immature, tak keluar dari kesadaran nurani sendiri, tetapi muncul karena rasa takut yang besar. Doktrin tentang hukuman di neraka melahirkan bukan conscience, nurani, melainkan fear, ketakutan.

Untuk membangun suatu masyarakat yang warganya taat hukum dan tak melakukan kejahatan, yang dibutuhkan adalah pembinaan moralitas bertahap dan terus-menerus untuk menghasilkan nurani yang fungsional, matang, bertanggungjawab, mature and accountable.

Dalam rangka membangun suatu moralitas individual dan sosial semacam ini pendekatan “reward and punishment” sekuler dipakai. Ganjaran kebaikan diberikan kepada warga yang baik; dan penghukuman kepada warga yang jahat. Doktrin tentang ancaman api neraka tak akan menghasilkan conscience atau nurani yang fungsional, accountable dan mature dalam diri warga masyarakat, melainkan akan menghasilkan suatu masyarakat yang penuh ketakutan yang tak membangun, a society of fear, masyarakat yang ketakutan pada hal-hal yang tak real.

Keempat, kalau orang baru mau hidup beragama dan bermoral dengan baik hanya jika mereka diiming-imingi hadiah sorga, dan ditakut-takuti ancaman hukuman di api neraka, kehidupan bermoral dan beragama semacam ini berada baru pada tahap kanak-kanak, bukan tahap dewasa.

Kita tahu umumnya kanak-kanak akan baru mau belajar dengan baik jika kepadanya diiming-imingi hadiah permen atau sebuah boneka, atau bahkan kalau kepadanya diperlihatkan sebilah rotan yang siap dipukulkan ke pantatnya.

Orang yang beragama baru pada tahap kanak-kanak ini, yakni beragama secara egoistik dan dipenuhi ketakutan, akan memakai agamanya sebagai alat untuk mencapai kepuasan pribadinya saja, dan untuk mendatangkan kesusahan pada orang lain. Seorang anak sangat senang jika boneka milik kakaknya atau boneka milik temannya direbut untuk diberikan kepadanya, dan dia tak akan peduli kalau kakaknya atau temannya itu jadi menangis sedih.

Sufi agung perempuan pertama Rabia al-Adawiyya (717-801 M), yang kerap berlari-lari di pasar-pasar kota Basrah sambil menenteng seember air dan juga mengacungkan ke atas sebuah obor terang bernyala, ketika ditanya orang apa maksud tindakannya yang ganjil itu, sang sufi yang hebat ini menjawab: Akan kubakar sorga dengan api obor ini; dan akan kusiram neraka dengan seember air ini hingga padam, supaya orang menyembah Tuhan Sang Kekasih bukan karena ketakutan api neraka dan juga bukan karena iming-iming hadiah sorga, tetapi hanya karena cinta.

Ya, cinta kasih sebagai agama, itu sudah cukup. Ya karena Tuhan itu sang cinta kasih tanpa batas, bukan kebencian, kemarahan, perang, kebrutalan dan pembunuhan tanpa batas. Cinta kasih mengalahkan ketakutan pada neraka; juga membuat iming-iming sorga tak punya daya pikat lagi. 

Kelima, doktrin tentang hadiah sorga dan hukuman di neraka sesudah kematian menghasilkan orang beragama yang melihat kehidupan yang bermakna hanya ada di alam baka setelah kematian. Bagi mereka, kehidupan di Bumi sekarang ini hanya sementara, hanya untuk dilintasi, tak bermakna penuh, bahkan maya atau semu atau palsu saja.

Orang beragama yang berpandangan semacam ini bisa tak akan peduli pada banyak persoalan dan penyakit sosial di dunia masa kini. Mereka tak menyumbang apapun dalam usaha global memerangi banyak kejahatan, sakit-penyakit, berbagai bentuk kemiskinan, penindasan dan azab. Mereka juga tak akan terdorong untuk terlibat dalam pembangunan dan pengembangan peradaban modern global. Usaha menjaga dan meningkatkan ketahanan planet Bumi dalam menghadapi berbagai bencana alam dan bencana buatan manusia sama sekali tidak mereka pedulikan.

Kalangan yang seperti ini mengibaratkan kehidupan di muka Bumi itu seperti sebuah jembatan saja untuk dilintasi, supaya masuk ke kawasan lain, di seberang jembatan itu. Begitu juga, tubuh mereka, dipandang oleh mereka sebagai sebuah penjara saja, yang dari jerat dan belenggu dan kurungannya, orang harus dibebaskan.

Apa ibarat yang benar? 

Menurut saya, ibarat-ibarat itu salah. Kehidupan ini bukan sebuah jembatan, tetapi sebuah perjalanan panjang yang menggairahkan, dengan segala pemandangan alam yang bisa dinikmati, dengan anekaragam kondisi yang bisa menyehatkan tubuh dan pikiran, tetapi juga bisa melelahkan.

Anda berada dalam sorga jika kehidupan anda, anda jalani dan arungi dengan riang, happy, dan terus bergairah, dan dengan menabur kebajikan, ilmu pengetahuan dan kasih sayang, bersama banyak orang lain. Entah dengan mengendarai sebuah mobil atau dengan sebuah bus umum, atau dengan menggoes sebuah sepeda, atau dengan sebuah perahu atau kapal laut yang besar. Entah dengan lewat jalan tol atau dengan lewat jalan-jalan kecil berkelok-kelok, atau di lelautan yang tenang atau di lelautan yang berombak besar.

For me, life is a journey, a wonderful voyage, worth carrying out, to the unknown future of enlightenment! Life is beautiful even though you will not be always happy in your life. 

Artinya, bagiku, kehidupan ini adalah suatu perjalanan, suatu pelayaran yang mempesona, yang patut dilakoni, menuju masa depan pencerahan yang tidak kita ketahui sekarang! Kehidupan itu indah meskipun anda tidak akan selalu berbahagia dalam kehidupan anda.



Hidup ini suatu perjalanan panjang....


Begitu juga, tubuh ini bukan sebuah penjara bagi jiwa, sebab jiwa dan tubuh kita tidak bisa dipisahkan, kapanpun juga, seperti pikiran tak bisa dicerai dari organ otak; keduanya membentuk satu kesatuan, sebagai satu unit psikosoma. Betapa malangnya kita, manusia, jika jiwa kita dikerangkeng oleh tubuh kita.

Syukurlah, tidak demikian halnya. Tubuh dan jiwa itu seperti relasi sebuah sepeda dan si pengayuhnya. Sepeda baru akan jalan ke depan kalau si pengendaranya terus mengayuh sepedanya. Harus terjadi kerjasama antara keduanya dengan berimbang.

Itulah hubungan tubuh dan jiwa. Saling memerlukan. Tidak terpisah. Saling mengimbangi. Saling menggenggam. Apa yang terjadi pada tubuh berpengaruh pada jiwa, begitu juga sebaliknya. Tanpa tubuh, jiwa juga tidak ada, tidak pergi ke mana-mana. 

Saat anda telah menjadi mayat, tubuh anda pun bertahap terurai, lalu lenyap, dan sebagian berubah kembali menjadi senyawa-senyawa kimia karbon yang abadi di muka Bumi dan akan berperan dalam kemunculan beranekaragam bentuk kehidupan lain.

Jiwa dan tubuh itu juga bak sebuah gunting yang memiliki dua bilah mata yang tidak bisa dicopot satu sama lain jika gunting ini mau berfungsi baik. 

Jika kedua bilah mata gunting bekerjasama, yang satu bergerak ke atas dan yang satunya lagi bergerak ke bawah dengan berimbang dan harmonis, barulah gunting ini bisa memotong sehelai kain atau sehelai kertas atau seutas tali. 

Dengan gunting yang dipakai dengan benar, dan sepasang bilah matanya sudah tajam diasah, seperti kita rajin mengasah otak, kita bisa menghasilkan berpasang-pasang busana yang indah dan menawan 

Jiwa dan tubuh tidak bisa dipisah, sama seperti organ biologis otak tidak bisa dipisah dari pikiran yang nonmaterial. Otak dan pikiran adalah satu kesatuan. Karena organ otak ada, pikiran muncul. Karena kita bisa berpikir, maka otak ada.

Tidak ada pikiran yang bisa lepas dari otak, kecuali sebagian isi pikiran ini telah dituangkan ke dalam sebuah buku, atau lewat brain-machine interface telah ditransfer ke sebuah perangkat lunak nonbiologis, misalnya sebuah superchip komputer jika teknologi untuk ini sudah ada yang akan menjadikan kita abadi secara digital. 

Keabadian digital atau reinkarnasi digital bukanlah fiksi sains. Dalam bentuk yang belum advanced, ada aplikasi-aplikasi digital yang difungsikan untuk menghadirkan kembali sosok-sosok manusia yang sudah wafat. Aplikasi ini dibangun lewat sangat banyak info dan data digital yang diambil dan diolah dari sangat banyak media sosial dan media lain.

Malah bisa bertambah jahat!

Kepercayaan pada adanya sorga, malah bisa menghasilkan kejahatan besar. Anda tidak percaya? Ada banyak contohnya. Para pejihad Muslim yang sangat percaya pada keberadaan sorga dan neraka, sangat ingin segera masuk sorga dan di sana menerima banyak hadiah istimewa dari Alloh SWT, dengan melakukan terorisme atas nama Alloh ini untuk membunuh kaum kafir, infidel, sebanyak-banyaknya!

Seperti sudah saya tegaskan di bagian awal tulisan ini, saya tetap menghormati kepercayaan siapapun dan apapun tentang neraka. Tapi saya sungguh mengalami kesukaran besar untuk bisa membayangkan bagaimana para pejihad itu di alam baka bisa menikmati 72 bidadari (houri) sementara para pejihad itu sudah tidak memiliki baik organ seksual lagi maupun jejaring neural seks dalam organ otak. Saya menunggu hidayah pencerahan supaya saya bisa lepas dari kesulitan kognitif itu./10/

Dari iptek modern, bagaimanapun juga, pencerahan sudah saya dapat. Karena Tuhan itu dipercaya MahaTahu, maka tentu saja iptek adalah suatu wahana dan medium yang sangat penting yang dipakai Tuhan untuk secara bertahap, kumulatif, lewat dialektika tesis versus antitesis yang melahirkan sintesis (sebagai sebuah tesis baru), pasti juga progresif, dan partisipatif, menyalurkan kemahatahuan-Nya itu kepada umat manusia tanpa pernah bisa habis. 

Cinta kepada Tuhan YMTahu adalah akar kebajikan, kecerdasan, ilmu pengetahuan dan kemajuan. Cinta sejati kita kepada Tuhan akan mendorong kita hidup sebagus dan sebajik mungkin, juga secerdas dan sebijak mungkin untuk membangun iptek dan peradaban insani, kini di dalam dunia ini. Semua agama ada di dunia ya untuk keperluan manusia untuk dapat hidup seperti itu dalam dunia, sekarang dan di sini. 

Neurobiologi seks

Nah, dengan menggunakan instrumen-instrumen seperti fMRI, PET dan EEG, para neurosaintis kini sudah dapat menjelaskan dengan berbasis bukti-bukti empiris seluk-beluk berbagai mekanisme sistemik dalam otak yang berkaitan dengan seksualitas manusia, yang juga menjadi salah satu fokus studi genetik. Teori-teori psikoanalisis Sigmund Freud tentang seksualitas manusia kini sudah menjadi usang, ditinggalkan; meskipun demikian, tetap masih ada kalangan yang mempertahankan Freudianisme sebagai sebuah dogma.

Mekanisme sistemik rangsangan, respons dan aktivitas serta kenikmatan dan kepuasan seksual, semuanya berbasis neural. Maksudnya, mekanisme sistemik ini bekerja lewat proses-proses kimiawi elektrik dalam dan lewat neuron-neuron atau sel-sel saraf otak kita, dengan teraktivasinya bagian-bagian tertentu otak dan terproduksinya hormon-hormon seksual karena ada rangsangan-rangsangan fisik dan non-fisik.

Setidaknya, ada lima faktor neural hormonal yang terlibat dalam berbagai segi seksualitas manusia. Sederhananya, saya gambarkan berikut ini.

Pertama, terproduksinya hormon seks testosteron (pria) dan hormon seks wanita (oestrogen, progesteron, dan juga testosteron yang diproduksi sedikit dalam ovarium dan dua kelenjar kecil adrenalin dekat ginjal) yang melibatkan bagian-bagian tertentu otak dan kelenjar-kelenjar hormonal yang teraktivasi karena rangsangan-rangsangan seksual.

Kedua, struktur amygdala dalam organ otak kita teraktivasi, alhasil hasrat dan gairah seksual timbul. Jika terdapat kerusakan atau tumor pada bagian-bagian otak yang berlokasi dekat amygdala, si penderita akan cenderung berperilaku seksual yang agresif dan hyperaktif.

Ketiga, bagian otak yang dinamakan ventral striatum ambil bagian lebih lanjut dalam mekanisme sistemik seksualitas manusia dengan menimbulkan rasa nikmat dan terpuaskan secara seksual lewat orgasme yang lazimnya dibarengi dengan jeritan-jeritan dan desis-desis sensual.

Keempat, korteks orbitofrontal memberi anda kemampuan atau libido seksual untuk tertarik secara seksual pada seseorang dan tidak pada seorang lainnya. Selanjutnya, anda menggandeng pilihan mitra seksual anda untuk berkencan atau untuk bercinta dan bersetubuh di suatu tempat. Kemampuan ini tidak pernah melorot; dus, perlu dikontrol.

Tetapi umumnya, dorongan seksual anda berfluktuasi, turun naik, seperti harga saham yang diperdagangkan. Begitu juga halnya dengan peringkat kepuasan seksual. Ada banyak faktor berperan dalam timbul atau tenggelamnya gairah syahwat pria dan juga wanita, dan dalam tingkat kepuasan seksual.

Kelima, saraf vagus membuat komponen-komponen genital tubuh anda (kelamin, payudara, bibir, dll) yang menerima rangsangan seksual (fisik atau non-fisik) meneruskan rangsangan ini ke otak, lalu otak memprosesnya untuk mempersiapkan anda bagi suatu aktivitas seksual.

Itulah gambaran yang disederhanakan dari mekanisme sistemik seks yang lebih rumit, yang semuanya diproses di dalam otak yang juga melibatkan kelenjar-kelenjar tertentu dalam tubuh./11/

Jadi, dengan berdasar pada sains, kita mau tak mau harus terima fakta ini: sekali tubuh kita sudah menjadi mayat, dan otak kita yang menyimpan data neurodigital kita sudah membusuk lalu lenyap, maka tidak akan pernah lagi ada kenikmatan dan kepuasan seksual apapun setelah kematian!

Kita menolak kekerasan

Bagaimanapun juga, doktrin tentang sorga dan neraka yang mendorong orang melakukan terorisme demi menerima yang satu dan terhindar dari yang lainnya, sama sekali bukan doktrin yang memberi rasa aman pada bagian terbesar penduduk dunia. Syukurlah, kaum Muslim yang sudah matang beragama menolak terorisme sebagai suatu jalan masuk ke sorga! Dan mereka, saya terus berharap, adalah bagian terbesar umat Muslim di seluruh dunia.

Bagaimana dengan kekristenan? Kepercayaan Kristen untuk orang Kristen segera masuk sorga, yang akan dihadiahi Yesus saat dia telah datang untuk kedua kalinya, juga telah dan terus-menerus melahirkan banyak gerakan Kristen yang bercorak apokaliptik.

Dalam gerakan-gerakan Kristen semacam ini, para penganut fanatik kepercayaan ini yakin bahwa Yesus akan pasti datang kedua kalinya kalau dunia dapat mereka segera bawa ke dalam banyak perang nuklir sejagat, yang akan memaksa Yesus turun ke dunia lagi untuk menyelamatkan orang-orang yang sangat setia kepadanya, yang sedang berada dalam kondisi-kondisi genting.

Mereka umumnya mengarahkan perhatian mereka ke segala konflik di Timur Tengah yang melibatkan negara Israel. Mereka percaya, konflik-konflik regional di Timur Tengah akan akhirnya menyeret banyak negara kuat dan sekutu-sekutu mereka ke dalam perang nuklir sejagat yang mereka sedang tunggu-tunggu sebagai bagian pendahuluan jadwal waktu kedatangan Yesus kembali.

Alih-alih memperjuangkan perdamaian dunia dan kelanggengan planet Bumi, mereka malah ingin Bumi segera lenyap, dan sorga dari atas turun untuk menyambut mereka. Mereka, celakanya, malah ingin dengan segala cara mempercepat waktu bagi keinginan atau khayalan mereka ini terwujud sepenuhnya.

Selain itu, kita semua tahu, para penganut agama apapun sejak dulu berlomba-lomba dan bersaing satu sama lain untuk membawa orang lain sebanyak-banyaknya masuk ke dalam agama mereka supaya para petobat ini menerima pahala sorga yang ditawarkan agama mereka, sambil mengancamkan neraka jahanam kepada para calon petobat yang menolak pindah ke agama mereka. 

Itu kiat dagang yang tidak cerdas, tidak simpatik dan menimbulkan rasa mual di perut. Sorga jenis A dipertandingkan dengan sorga jenis B; neraka jenis X dibuat lebih seram dari neraka jenis Y. Adu indah, sekaligus adu seram! Bukankah masih ada sangat banyak hal lain dalam kehidupan beragama yang dapat menyumbangkan kebaikan, keluhuran dan kemajuan, ketimbang terus-menerus mengancamkan orang dengan hukuman di api neraka?

Faktanya sangat jelas, ketimbang mendatangkan keamanan dan kedamaian dalam dunia, doktrin tentang sorga dan neraka sangat besar andilnya dalam memunculkan ketidakpedulian orang beragama pada kehidupan masa kini dan planet Bumi.

Selain itu, doktrin yang sama juga telah menjadi suatu sumber besar ideologis utama bagi keresahan dan pertikaian antar umat beragama, lewat segala aktivitas dakwah dan siar agama, yang kerap bermuara pada perang agama, dalam skala kecil maupun dalam skala besar!

Umat-umat keagamaan saling mengancamkan neraka terganas, dan saling menawarkan dan menjual sorga terlezat masing-masing. Ide-ide tentang kawasan imajiner yang dinamakan sorga dan neraka ada dalam semua agama, berkembang bertahap sejalan dengan sejarah pemikiran masing-masing agama dan dibeberkan dalam, tentu saja, aneka doktrin yang berlainan, dengan disertai teologi atau dengan tanpa teologi.




Poin pentingnya ini: karena final destination atau tujuan akhir kehidupan keagamaan umumnya adalah masuk sorga atau dibuang ke dalam neraka, maka sorga atau neraka menjadi isi paling esensial semua ajaran agama misioner tradisional yang sudah berumur panjang. Semua umat keagamaan aktif bergerak ke segala arah dan lini untuk mencari dan merebut para petobat, ya demi ajaran yang dianggap esensial ini.

Alhasil, tepat jika disimpulkan bahwa pertikaian dan perang agama tidak sedikit dipicu oleh ide-ide orang-orang beragama sendiri tentang kawasan-kawasan fiktif imajiner mereka masing-masing tentang neraka terseram dan sorga terindah yang dibangun dan diajarkan dalam agama-agama masing-masing pihak yang berperang.

Ketika dikarang pertama kali, ide-ide ini dimaksudkan untuk memperkuat semangat berperang dan bertempur hingga gugur di medan tempur; di masa kini, ide-ide ini mendatangkan perang di dalam suatu dunia yang semula teduh dan damai.

Akal budi dan kalbu yang diberi Tuhan sekarang mereka buat tertidur atau mereka matikan demi membela khayalan-khayalan fantastik mereka. Seorang pelukis Spanyol yang ternama, Goya (1746-1828), menulis kata-kata “Ketika akal tertidur, maka monster-monster bermunculan” pada sebuah lukisannya yang termashyur (1799).




Religiopreneurs di segala tempat di muka Bumi sangat sibuk dengan kegiatan-kegiatan mempropagandakan kenikmatan sorga yang dijanjikan agama mereka dan kedurjanaan panas api nereka yang diancamkan agama mereka, sejak dulu hingga kini.

Acapkali saya berjumpa dengan para pedagang sorga ini, saya selalu bertanya, “Kenapa anda tidak memberi contoh kepada umat anda dengan pergi duluan cepat-cepat ke sorga dan tidak pernah kembali lagi? Sorga itu, kata anda, bukankah kawasan kenikmatan tiada tara nan abadi?”

Mereka tahu, mereka tidak bisa menyatakan terus-terang hal yang sudah kita semua ketahui: hidup nikmat dalam dunia ini lebih perlu daripada mati sekarang lalu masuk sorga.

Berakar dalam pikiran

“Jika engkau memperbaiki pikiranmu, maka kehidupanmu selanjutnya akan berjalan pada rel yang benar.
― Lao Tzu (604 SM)

Tetapi, saya mengakui sorga dan neraka juga sebuah fakta, maksud saya bukan saja berupa kebahagiaan besar dalam dunia ini dan kesengsaraan mengerikan di muka Bumi, tetapi juga sebagai fakta-fakta dalam pikiran kita yang dimetaforakan sebagai dua ekor binatang yang berdiam di dalamnya, yang terus-menerus berkelahi dan bertarung satu sama lain.

Dilihat dari sudut ini, sorga dan neraka adalah metafora tentang sisi baik dan sisi buruk dalam diri setiap individu yang satu sama lain terus bertempur. Ikuti kisah metaforis berikut ini.




Seorang sesepuh Indian Cherokee sedang mengajarkan cucunya tentang kearifan dalam kehidupan. Tuturnya kepada sang bocah:

“Dalam diriku berlangsung suatu pertarungan.

Sungguh-sungguh suatu pertarungan dahsyat antara dua ekor serigala.

Serigala yang satu jahat. Serigala ini adalah kemarahan, iri hati, duka lara, rasa sesal, ketamakan, kesombongan, rasa kasihan pada diri sendiri, dendam, rasa rendah diri, tipu daya, kebanggaan diri yang palsu, rasa paling unggul, keraguan pada diri sendiri, dan ego.

Serigala yang satu lagi baik. Serigala ini adalah sukacita, kedamaian, cinta, pengharapan, ketenangan, kerendahan hati, kemurahan, kebajikan, empati, kedermawanan, kebenaran, belarasa, dan kepercayaan.

Pertarungan yang sama juga berlangsung dalam dirimu, dan di dalam diri setiap orang lain juga.

Sang cucu memikirkan sejenak kata-kata sang opa, lalu dia bertanya, “Opa, serigala manakah yang akan menang?”

Sesepuh itu menjawab pendek saja, “Serigala yang engkau beri makan!”

Dalam ajaran kebajikan kehidupan Yahudi juga dikenal ada dua kecenderungan dalam diri setiap manusia: kecenderungan jahat, dan kecenderungan baik. Masing-masing kecenderungan ini dapat juga diungkap sebagai roh yang jahat dan roh yang baik. Kedua roh ini bertempur satu sama lain terus-menerus. Bergolak dalam diri setiap orang. Roh mana yang akan menang, bergantung kepada roh yang mana setiap individu memihak dan mendukung dan memberi makan.

Dalam Al-Qur’an tentu saja ada teks-teks yang menggambarkan dalam jiwa manusia ada dua kecenderungan itu, atau dua sifat binatang itu, yang juga bertempur satu sama lain, berebut pengaruh pada diri manusia.

Teks surah 91, As Syam ayat 8-10, misalnya, menyatakan: “Tuhan mengilhamkan kepada jiwa manusia (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Maka sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” Jelas, kefasikan dan ketakwaan adalah dua ekor serigala yang saling bertempur dalam jiwa manusia.

Serigala yang jahat adalah kefasikan, dan serigala yang baik adalah ketakwaan. Manusia harus memilih membesarkan serigala yang baik, yakni ketakwaan, dan tidak memberi makan serigala yang jahat, yakni kefasikan.

Ketakwaan membuahkan hanya kebaikan, kedamaian, kebahagiaan dan kemajuan semua ciptaan. Kefasikan membuahkan hanya keburukan, perang, penderitaan dan kemunduran semua makhluk.

Memilih serigala yang baik berarti hidup suci. Memilih serigala yang jahat berarti hidup kotor. Kesucian dan kekotoran adalah dua kekuatan yang saling bertempur dalam jiwa manusia. Menangkanlah kesucian. Buang dan hilangkanlah kekotoran.

Dua pakar neurosains Andrew Newberg dan Mark Robert Waldman menerapkan ajaran Indian ini pada otak manusia./12/ Amygdala dalam sistem limbik dalam otak adalah serigala yang jahat. Neokorteks, khususnya anterior cingulate, yang bekerja sama dengan lobus frontalis, dan striatum, adalah serigala yang baik. Mana yang akan memenangkan pertarungan, bergantung pada serigala mana yang anda beri makan paling banyak dengan teratur setiap hari.

Sistim limbik itu pusat neural fanatisme, fundamentalisme dan radikalisme; dengan kata lain, pusat agama amarah. Anterior cingulate dan lobus frontalis itu pusat toleransi, keterbukaan, wawasan universal, nurani, dan cinta; dengan kata lain, pusat agama ramah. Sebuah perspektif yang menarik, bukan?

Hati-hati, andalah yang memiliki kemampuan apakah mau menghadirkan sorga dalam dunia ini, atau malah neraka, lewat pikiran dan kehendak anda, yang kemudian anda aktualisasikan dalam realitas. 

Karena itu, berhati-hatilah dalam berpikir, dan berpikirlah makin luas, dan dalam banyak perspektif. Kembangkan soft skill metakognitif, yang membuat anda cakap memikirkan dan mengevaluasi pikiran-pikiran anda sendiri dengan kritis. 

Perbaiki pikiran-pikiran anda terus-menerus, supaya anda dapat menjalani kehidupan anda di rel yang benar. Jangan keranjingan memantau pikiran orang lain, sehingga lupa memantau pikiran sendiri. K.H. Ahmad Mustofa Bisri menyatakan hal yang bagus. Kata beliau, “Orang yang sibuk dengan keyakinan orang lain, boleh jadi karena mereka kurang yakin dengan keyakinan mereka sendiri.

Jangan takut mengkritik pikiran sendiri. Juga jangan risau kalau anda menemukan pikiran anda salah, karena anda masih mempunyai kemampuan untuk melepaskan pikiran yang salah, memperbaikinya lalu hidup dengan pikiran yang baru dan benar. Jika ini kita jalankan, kita bergerak maju, dan suatu saat nanti kita akan memiliki pikiran-pikiran yang besar.

Siddhartha Gautama berujar bahwa apa yang kita pikirkan, itulah diri kita yang sebenarnya. Katanya juga, lewat pikiran anda, anda membentuk dunia ini.

Jadi, kalau anda memiliki pikiran-pikiran besar yang terus berkembang lewat kegiatan pembelajaran, anda akan ikut membentuk dunia kita dengan positif. Anda tentu mau berperan demikian.

Sebuah ucapan Zen menyatakan bahwa terhadap pikiran yang teduh dan tenang, seluruh alam menundukkan diri.

Seorang guru spiritual India, Shree Rajneesh, yang juga dikenal sebagai Osho, menyatakan bahwa “jika engkau menderita, engkau sendirilah penyebabnya. Jika engkau merasa berbahagia, juga engkaulah penyebabnya. Tidak ada orang lain manapun yang bertanggungjawab bagimu. Hanya engkau, dan engkau sendirilah. Engkau adalah sorgamu sendiri, dan juga nerakamu sendiri.”

Penutup

“Kita tak dapat mencegah burung-burung terbang di atas kepala kita, tapi kita dapat mencegah burung-burung itu membuat sarang di atas kepala kita. Begitu juga, pikiran-pikiran buruk kadang muncul dalam benak kita, tapi kita dapat memilih apakah kita membiarkan pikiran-pikiran tersebut hidup di dalamnya, membangun sebuah sarang di situ lalu melahirkan tindakan-tindakan keji.
― Leo Tolstoy

Renungilah dengan mendalam ucapan Leo Tolstoy di atas. Anda pasti diubah olehnya.

Mengelola pikiran, sekali lagi: mengelola pikiran, adalah jalan mewujudkan sorga dalam dunia ini. Pertaruhannya bukan sesudah mati, tetapi sekarang, ketika anda masih hidup, mungkin hingga usia 70 tahun atau 100 tahun.

Kalau bagian terbesar dari 70 tahun atau 100 tahun usia anda, anda isi dengan pikiran yang agung dan perbuatan yang akbar, maka ketika mati, anda mati sebagai seorang manusia yang memiliki nilai, makna dan martabat yang agung. Inilah hadiah sorga terbesar buat anda. Anda menjadi sosok agung insani segala zaman.

Tetapi, jika anda mengisinya dengan pikiran yang jahat, licik dan kotor, dan tindakan yang kejam, brutal dan keji, maka ketika anda mati, anda mati sebagai insan tanpa nilai, tanpa makna dan tanpa martabat.

Anda yang termasuk manusia jenis ini, selama anda hidup, anda hanyalah segumpal daging tanpa akal, tanpa nurani dan tanpa kebajikan, tanpa wawasan. Setelah mati, anda diingat hanya sebentar sebagai seorang penjahat, lalu selamanya dilupakan orang atau dihina tanpa akhir sebagai seekor kutu busuk atau suatu kuman yang mematikan saja.

Tidak ada penghukuman dan kemalangan yang lebih besar pada diri setiap insan, selain mati tanpa nilai, tanpa makna dan tanpa martabat. Seratus tahun hidup, hanya membuang waktu. Kesia-siaan sempurna! Kondisi ini lebih mengerikan dan lebih panas dari api neraka apapun yang manusia dapat bayangkan seliar-liarnya.


Jakarta, 16 April 2012
oleh Ioanes Rakhmat

Editing mutakhir 11 April 2021


Catatan-catatan

/1/ Gary Haugen, “45 million people are victims of modern slavery. Here are five steps to setting them free, World Economic Forum, 3 Jan 2017, https://www.weforum.org/agenda/2017/01/45-million-people-are-victims-of-modern-slavery-here-are-five-steps-to-setting-them-free.

/2/ Walk Free, “2018 Global Findingshttps://www.globalslaveryindex.org/2018/findings/global-findings/.

/3/ BBC, “Zoroastrian beliefs about God, BBC, last updated 02 October 2009,
https://www.bbc.co.uk/religion/religions/zoroastrian/beliefs/god.shtml.

/4/ BBC, “Dualism in Zoroastrianism, BBC, last updated 02 October 2009,
https://www.bbc.co.uk/religion/religions/zoroastrian/beliefs/dualism.shtml.

/5/ Tentang penglihatan-penglihatan mengenai akhir zaman dalam tradisi keagamaan Yahudi-Kristen, lihat 
Ioanes Rakhmat, Kiamat dan Nasib Planet Bumi di Masa Depan, Freidenk Blog, 2 Juni 2012, dimutakhirkan 04 September 2021,
https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/06/kiamat-dan-nasib-planet-bumi-di-masa.html?m=0.    

/6/ Tentang ilmu tafsir yang dipakai dalam menafsir teks-teks Alkitab, lihat Ioanes Rakhmat, “Langkah-langkah Menafsirkan Sebuah Teks Alkitab”, Freidenk Blog, 3 November 2010, diperluas 29 Agustus 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2012/06/kiamat-dan-nasib-planet-bumi-di-masa.html?m=0.

/7/ Alan Fogel, “Emotional and Physical Pain Activate Similar Brain Regions, Psychology Today, 19 April 2012, https://www.psychologytoday.com/blog/body-sense/201204/emotional-and-physical-pain-activate-similar-brain-regions.

/8/ Christopher Bergland, “The Neurochemicals of Happiness, Psychology Today, 29 Nov 2012, https://www.psychologytoday.com/blog/the-athletes-way/201211/the-neurochemicals-happiness.

/9/ David B. Fischer, Aaron D. Boes, Joel C. Geerling et al., “A human brain network derived from coma-causing brainstem lesions, Neurology, 4 November 2016, http://m.neurology.org/content/early/2016/11/04/WNL.0000000000003404.short

Lihat juga Fiona Macdonald, “Harvard Scientists Think They've Pinpointed The Physical Source of consciousness, Science Alert, 8 November 2016, http://www.sciencealert.com/harvard-scientists-think-they-ve-pinpointed-the-neural-source-of-consciousness.

/10/ Cukup dengan memeriksa terma Houri dalam Wikipedia, saya memperoleh informasi-informasi yang memadai tentang houri. Beberapa saja saya tulis di sini, dengan sangat selektif dan terbatas. 

Dalam bahasa Arab klasik, kata hūr adalah bentuk jamak dari kata benda maskulin 'ahwar dan kata benda feminin hawrā, yang dapat diterjemahkan sebagai “memiliki sepasang mata berwarna hitam dan putih yang sangat kontras atau “memiliki sepasang mata yang sangat hitam yang sangat kontras dengan selaput pelangi yang putih.

Menurut M.A.S. Abdel Haleem (2011), dalam Al-Qur’an tidak ada sebutan tersurat tentang hubungan seksual di Firdaus. Namun, di luar Al-Qur’an, yakni dalam hadis, tafsir dan komentar-komentar Islami, sebutan itu ada. 

Pakar hadis Sunni, Jami at-Tirmidhi, mengutipkan sebuah hadis yang menyatakan bahwa “pahala terkecil untuk orang-orang di sorga adalah sebuah tempat tinggal yang di dalamnya disediakan 80.000 pembantu dan 72 houri. Di atasnya ada kubah yang dihiasi... sepanjang jarak dari al-Jabiyyah ke San'a.

Tirmidhi juga menyebut sebuah hadis yang menyebut pahala yang diberikan khusus ke para syuhadah. Bunyinya, “Ada 6 pahala yang Allah berikan ke seorang syuhadah. Dia diampuni dosanya dengan aliran pertama darahnya; dia diperlihatkan tempatnya di Firdaus,..., dia dikawinkan dengan 72 isteri dari antara para houri yang bermata lebar yang ada di Firdaus, dan dia dapat berdoa syafaat bagi 70 anggota keluarga dekatnya.

Tetapi, Muhammad ibn Jarir al-Tabari menyatakan bahwa semua perempuan yang hidup benar, berapapun usia mereka dan bagaimanapun kondisi tubuh mereka yang sudah uzur selama hidup di Bumi, akan dihidupkan kembali sebagai para pembantu perempuan yang masih perawan dan akan, seperti pasangan lelaki mereka, selamanya belia di Firdaus. 

Selain itu, dengan mengutip Al-Qur’an 32:17 dan sebuah hadis dalam Bukhari dan Muslim, Muhammad Assad percaya bahwa rujukan-rujukan ke houri dan gambaran-gambaran lain tentang Firdaus harus dipahami secara alegoris, tidak bisa secara harfiah, sebab, “mustahil manusia dapat sungguh-sungguh membayangkan Firdaus

Keyakinan Muhammad Assad ini bahwa mustahil Firdaus dibayangkan oleh manusia didukung oleh sebuah hadis lain yang dipercaya autentik, yang bunyinya “Allah bersabda, ’Aku telah mempersiapkan bagi hamba-hamba-Ku yang benar apa yang mata tidak pernah lihat, dan apa yang telinga tidak pernah dengar, dan yang tak pernah muncul dan terpikirkan dalam hati manusia’”. 

/11/ Kristian Adams, Bellinda Favaloro, Brendan Dundas, et al., “Sex and the Brain. What Parts are Involved, Neuroscience Fundamentals, August 2011, http://neurosciencefundamentals.unsw.wikispaces.net/Sex+and+the+Brain.+What+parts+are+involved%3F.

Lihat juga Carl Zimmer, “The Brain: Where Does Sex Live in the Brain? From Top to Bottom, Discover Magazine, Sept 10, 2009, http://discovermagazine.com/2009/oct/10-where-does-sex-live-in-brain-from-top-to-bottom.

Juga artikel “Hormones That Affect Sexual Desire, OBOS Sexuality and Relationship, 8 January 2015, https://www.ourbodiesourselves.org/health-info/hormones-affecting-sexual-desire.

Selain itu, artikel “What's the ’Right Amount’ of Sexual Desire? That Depends on You, OBOS, 15 October 2011, revisi 10 January 2015, https://www.ourbodiesourselves.org/health-info/sexual-desire-how-much-is-normal.

/12/ Andrew Newberg dan Robert Waldman, How God Changes Your Brain: Breakthrough Findings from a Leading Neuroscientist (New York: Ballantine Books, 2009), hlm 131-133.