Tuesday, March 13, 2018

TKA Yang "Qualified" Makin Dibutuhkan Indonesia Sekarang Ini

 
CRANE iptek yang makin tinggi Indonesia perlukan



N.B. diedit 15 Desember 2021

Apakah judul tulisan ini membuat anda kaget? Mudah-mudahan tidak. Tapi jika anda terkejut, ya tidak apa-apa juga. Tapi kalau anda mau berpikir, tulisan ini akan membangkitkan komitmen anda untuk membuat Indonesia makin maju.

Hingga Maret 2018 ini TKA di Indonesia meningkat hingga total mencapai 126 ribu orang, atau naik 69,85 % dibandingkan di 2016. Data ini diungkap dalam berita di sini https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20180306201957-92-280945/jumlah-tenaga-kerja-asing-membludak-mayoritas-dari-china.

Sebagian besar TKA ini datang dari China, tentu, pikir saya, karena menyewa mereka diasumsikan jauh lebih murah dibandingkan jika menyewa experts dari Barat.

Dan jika ada kerjasama ekonomi antara pemerintah Indonesia dan pemerintah China yang menjadi koridor masuknya banyak TKA China, itu berarti China telah menanam investasi besar di Indonesia yang turut menggerakkan ke depan roda perekonomian Indonesia.

Selain itu, jangan dilupakan, China sekarang sudah sangat maju luar biasa di banyak sekali bidang iptek yang membuat USA ketar-ketir dan jerih juga. Mengapa ambil TKA ahli jauh-jauh dari USA atau UK dll, kalau di China sudah tersedia?

Banyak orang tanpa perenungan dulu, langsung marah atas isi berita tentang TKA itu, lalu mereka sebut banyak hal negatif dari sana-sini yang tidak didukung bukti data faktual objektif. Yang menonjol adalah kemarahan, bahkan kebencian, tanpa perenungan mendalam.

Kalau saya baca dan pahami dengan cermat, poin-poin penting berita itu banyak, antara lain TKA tidak bisa selonongan masuk dan kerja di negeri kita. Pengawasan dan kontrol sangat ketat. Izin tinggal terbatas.

Selain itu, yang dibutuhkan adalah TKA yang qualified, cakap, kompeten dan berilmu, di bidang-bidang strategis yang tidak bisa ditangani TKI sendiri karena orang kita sendiri tidak memiliki kecakapan, kompetensi dan ilmu yang mutlak diperlukan.

Dan jangan lupa fakta ini, jumlah penduduk Indonesia besar banget, sekitar 250 jutaan, seperempat milyar orang. Jumlah 126 ribu itu berapa persennya? Cuma 0,00504%. Kecil bangeeeeetttt deh.

Penduduk NKRI berjibun, tapi kenapa kita kekurangan SDM yang cakap dan kompeten untuk mengerjakan proyek-proyek strategis?

Jika ada segelintir WNI jenius dan cakap, kompeten dan berilmu tinggi, umumnya mereka memilih kerja di Barat atau di negara-negara maju non-Barat.

Kenapa? Ya karena "scientific culture" (budaya keilmuan) dan "science literacy" (melek iptek) belum menjadi bagian dari gaya hidup sebagian besaaaaar WNI.

Dus, mereka yang cerdas itu tak betah, lalu pilih hidup dan bekerja di negeri-negeri asing yang sudah melek iptek dan budaya keilmuan di sana sudah berakar dan menjadi etos hidup sehari-hari. Lagian, gaji di sana jauh lebih tinggi kendati biaya hidup juga tinggi.

Bukan cuma gaji yang memuaskan. Keterbukaan di sana juga begitu besar pada eksperimen-eksperimen dan temuan-temuan iptek terobosan. Untuk dapat berprestasi dan kreatif serta produktif, semua ilmuwan memerlukan kondisi ini.

Tengok negeri kita sendiri, terlihat nyata, kita jauuuuuh ketinggalan dalam sangat banyak hal. Kita takut iptek. Kita takut temuan-temuan baru. Kita takut laboratorium iptek. Kita takut menjadi bangsa dan negara yang maju dan modern. Kita takut menjadi cerdas. Kita takut berpikir beda dan baru. Kita takut memasuki kawasan-kawasan yang belum dikenal untuk menyibak berbagai misteri jagat raya. Serba takut. Serbaaaaa! Why?

Kita tampak melalaikan bidang riset dan pengembangan iptek modern dan pendidikan tinggi yang kompetitif dengan pendidikan tinggi di Barat dan negara-negara maju lain yang non-Barat seperti China yang kini sedang memepet USA di bidang iptek anekaragam dan ekonomi nasional dan global.

Kenapa kita lalai di bidang kemajuan iptek? Ya mungkin karena kita terlalu banyak habiskan (99 persen) waktu dan energi otak dan tubuh untuk soal-soal agama-agama melulu. Dari bangun tidur, hingga tidur lagi, agama-agama yang jadi fokus utama kita. 

Masuk kerja di kantor? Ya, masuk, tetapi di kantor kita sibuk mengurusi dan memikirkan agama-agama. Padahal kita digaji ya bukan untuk mengurusi agama-agama (kecuali mungkin kalau anda bekerja di Departemen Agama), melainkan untuk memajukan perusahaan swasta dan BUMN tempat kita bekerja lewat pengerahan segenap hard skills dan soft skills yang kita miliki dan wajib kita kembangkan terus-menerus.

Saya usulkan jalan keluar sementara ini: pakailah 80 persen waktu kita, energi kita, dan otak kita untuk belajar iptek, untuk melakukan riset dan pengembangan iptek dan membangun keunggulan ekonomi. Ini utama, mendesak, terpenting dan tugas yang tak pernah selesai.

Meraih dan memajukan ilmu pengetahuan adalah jalan agung tanpa ujung menuju kemahatahuan Tuhan yang mahatahu yang diberi Tuhan tahap demi tahap, kumulatif, dinamis, dialektis dan progresif, kepada manusia lintas zaman dan lintas lokasi geografis.

Semakin anda panjang dan lebar dan dalam mencintai Tuhan anda yang mahatahu, maka semakin kuat anda terdorong untuk dekat pada ilmu pengetahuan, untuk terus-menerus bersama banyak orang lain membangun dan menyusun serta menguji iptek-iptek terobosan baru yang tak akan pernah habis dihasilkan.

Jika agama anda (apapun) membuat anda tak berakal lagi, tak mampu bernalar lagi, tak cerdas lagi, dan benci iptek, maka pastilah ada yang salah dalam ajaran agama yang anda telah terima. Atau, anda sengaja salah dalam memahami pesan-pesan kemajuan dalam agama anda.

Lalu, 20% sisa waktu, ya bolehlah kita pakai untuk urusan agama-agama. Tujuan utama dan terpenting dari kita beragama adalah untuk membuat kita berbudipekerti luhur, memiliki kebajikan, dan mampu menyayangi sesama manusia yang berasal dari anekaragam latarbelakang, dan mencintai semua bentuk kehidupan lain.

Jika itu tujuan utama kita beragama, maka planet Bumi dan kehidupan kita menjadi indah, tenteram, damai, sejuk, semarak, beranekawarna, terpelihara dan tertopang oleh kesalingbergantungan yang seimbang dan sehat antarsemua organisme.

Jika ada ajaran-ajaran agama anda---- apa pun agama yang anda anut---- yang membuat anda tidak bisa menyayangi sesama manusia yang berbeda latarbelakang, tidak bisa memaafkan dengan tulus dan cerdas (ya, dengan cerdas, supaya anda tidak dimanfaatkan dan dikadalin oleh kalangan yang tak tahu diri) orang-orang yang (anda nilai) telah berbuat salah pada anda, dan terus-menerus makin membenci mereka, bahkan membenci bangsa-bangsa dan etnisitas-etnisitas tertentu seumur kehidupan anda, dan tidak bisa merawat planet Bumi ini, serta tak mampu bersahabat dengan bentuk-bentuk kehidupan lain yang memiliki kesadaran, pastilah ada yang salah dalam ajaran-ajaran agama yang telah ditanamkan ke dalam hati dan pikiran anda. Atau, pastilah anda salah memahami pesan-pesan besar agama anda.

Nah, jika perubahan alokasi waktu ini (80% dan 20%) kita jalankan mulai sekarang, mulai di usia dini anak-anak Indonesia, tak lama lagi NKRI akan jadi salah satu dari sepuluh besar negara termaju dunia di bidang iptek dan ekonomi. Saya optimis tentang ini. 

Saya selalu berharap, Indonesia terus-menerus dipimpin oleh sosok-sosok yang cerdas, visioner, berilmu dan berwawasan luas, merakyat, dan beretika. 

Jika setuju, tinggal action. Jika tak setuju, ya tak apa-apa. Anda cukup berdoa saja.

Cukuplah segitu.

Ioanes Rakhmat

13 Maret 2018
pk. 1:00 AM


Saturday, February 24, 2018

Kegagalan Model Kekuasaan Machiavellianisme


Empati dan belarasa lewat sentuhan 

Saya baru saja membaca sebuah tulisan pendek yang bagus yang perlu saya bagi ke anda setelah memperluasnya di sana-sini.

Judul tulisan itu "Power Can Corrupt Leaders. Compassion Can Save Them", ditulis oleh Rasmus Hougaard dkk, dan terbit di Harvard Business Review, 15 Februari 2018. Selengkapnya baca di sini https://hbr.org/2018/02/power-can-corrupt-leaders-compassion-can-save-them.

Menurut Rasmus Hougaard dkk, kekuasaan besar yang dipikul para pemimpin cenderung membuat mereka "corrupt", mengalami kerusakan mental. Alhasil, mereka mudah menindas dan mengeksploitasi orang lain yang berposisi lebih lemah, tanpa mereka sendiri merasa gamang, terluka atau bersalah. Kita katakan, mereka telah kehilangan empati.

Akibat akhirnya lazimnya buruk buat para pemimpin yang sudah tak mampu berempati, dan juga buat sangat banyak orang lain dalam masyarakat manapun dan kapanpun.

Perilaku tanpa empati ini terkait dengan gangguan dalam aktivitas "neuron cermin" dalam sistem saraf otak. Sistem neuron cermin bekerja terkoordinasi dan terinterkoneksi di lebih dari satu bagian otak, yakni korteks frontalis, lobus parietal, lobus temporalis, anterior insula (dalam area olfaktori), korteks somatosensori dan korteks pra-motorik

Sistem neuron cermin dalam otak, yang bekerja otomatik, memampukan kita untuk meniru, atau seolah melakukan juga, apa yang kita lihat sedang dilakukan orang lain, dan untuk mampu menangkap dan merasakan apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain, yakni mampu berempati.

Ibaratnya, ketika kita melihat ke sebuah cermin, yang kita lihat dalam cermin adalah orang lain, alih-alih diri kita sendiri. Kita berada pada posisi orang lain, dan orang lain menempati posisi kita. Kita mengalami orang lain dengan segala persoalan mereka sebagai diri kita sendiri. Inilah "empati", yakni kemampuan mental kita untuk ikut merasakan dan berada  "di dalam penderitaan orang lain".

Dalam suatu artikel, empati didefinisikan sebagai suatu "kemampuan atau kecakapan untuk menyamakan diri dengan orang lain yang sedang menderita". Kecakapan ini digolongkan sebagai salah satu "soft skill" yang dibutuhkan dalam orang membangun kehidupan sosial insani yang ramah dan bersahabat serta ditandai oleh kepedulian dan kebaikan hati.

Empati sebagai "soft skill" dibagi oleh mereka dalam 3 jenis yang dapat muncul serentak dan interaktif atau sebagian-sebagian saja, yang melibatkan seluruh bagian otak manusia. Yakni:

• Empati refleksif, yaitu kemampuan untuk merasakan penderitaan orang lain sebagai respons neurologis dari bagian otak yang mengontrol rasa sakit saat seseorang melihat langsung penderitaan orang lain;
• Empati emosional, yakni kemampuan ikut merasakan azab dan nestapa dalam emosi dan perasaan orang lain hanya dengan mengetahui atau mendengar beritanya saja, tanpa melihat langsung; dan
• Empati kognitif, yaitu kemampuan untuk memahami dan mengerti sesuatu dari sudut pandang orang lain, dan dapat dengan akurat membayangkan pengalaman orang lain itu. Empati kognitif menimbulkan keinginan kuat untuk menolong, berbaik hati, peduli dan berperilaku prososial tinggi.

Lebih rinci, tentang empati sebagai "soft skill" lihat artikel "Empathy Is Essential: The 'Soft Skill' that Engages the Whole Brain", Nebraska Children, 15 January 2014, https://blog.nebraskachildren.org/2014/01/15/empathy-is-essential-the-soft-skill-that-engages-the-whole-brain. Dalam tulisan ini, terdapat sejumlah petunjuk praktis bagaimana menumbuhkan empati pada kanak-kanak.


Kemampuan berempati muncul di saat sistem neuron cermin teraktivasi. Lebih jauh tentang sistem neuron cermin, bacalah artikel Lea Winnerman yang diberi judul "The Mind's Mirror", di sini http://www.apa.org/monitor/oct05/mirror.aspx.

Tentang asal-usul empati, ada temuan yang menarik yang memungkinkan kita menyimpulkan bahwa bayi di usia dini memiliki kapasitas empati ontogenetik fondasional, maksudnya: kapasitas yang sudah terbentuk sejak pembuahan sel telur, menjadi janin lalu tumbuh makin lengkap dan matang dalam rahim sebagai suatu organisme hingga saat dilahirkan. Kapasitas ini menjadi fondasi bagi pertumbuhan moralitas yang lebih tinggi dan perilaku sosial ketika bayi-bayi sudah dilahirkan, lalu tumbuh tahap demi tahap menjadi individu-individu dewasa dalam interaksi dan adaptasi mereka dengan lingkungan kehidupan lewat berbagai aktivitas mereka.

Kapasitas mental fondasional bawaan lahir ini membuat bayi-bayi, yang belum bisa berkomunikasi lisan, memilih untuk menyukai orang dewasa yang memiliki sifat suka menolong dan menghibur bayi lain yang sedang menangis, dan tidak membenarkan dan tidak suka pada individu dewasa lain yang bersikap cuek terhadap bayi lain yang sedang mewek. Hal ini ditemukan Kiley Hamlin dkk dari Yale University di tahun 2007 lewat observasi mereka.

Bayi-bayi usia 4 bulan dan 12 bulan diperlihatkan video-video yang menayangkan adegan seorang perempuan sedang melipat pakaian sementara di dekatnya ada seorang bayi yang terdengar sedang menangis. Bayi-bayi itu lebih lama menatap layar ketika perempuan itu mengabaikan si bayi yang sedang mewek itu. Sikap bayi-bayi ini menunjukkan bahwa mereka sangat berharap si perempuan itu segera mendatangi si bayi itu dan menghiburnya.


Temuan Kiley Hamlin dkk ini dan temuan-temuan yang sejenis memberitahu kita bahwa kita dilahirkan ke dalam dunia ini dengan membawa harapan-harapan untuk kesejahteraan orang lain kita pedulikan, atau kemampuan berempati ini begitu cepat kita kembangkan sejak kita dilahirkan dengan berpijak pada fondasi moralitas bawaan kelahiran.

Selengkapnya tentang empati pada bayi, bacalah laporan penelitian J. Kiley Hamlin, Karen Wynn dan Paul Bloom, "Social Evaluation by Preverbal Infants", Nature, vol. 450, 22 November 2007, hlm. 557-560. Berkas Pdf-nya tersedia https://www.nature.com/articles/nature06288.epdf. Lihat juga Anil Ananthaswamy, "Young babies disapprove when they see adults acting immorally", Daily News, 9 March 2018, https://www.newscientist.com/article/2163313-young-babies-disapprove-when-they-see-adults-acting-immorally.

Temuan terbaru tentang hubungan gen dan empati baru saja dipublikasi online 12 Maret 2018. Adakah peran genetik dalam empati?

Riset yang dilakukan kooperatif antara para peneliti dari Universitas Cambridge, UK, Institute Pasteur, Universitas Paris Diderot di Paris, dan perusahaan analisis genetik personal 23andMe, mengavaluasi empati berdasarkan nilai-nilai Empathy Quotient (EQ) para partisipan yang mengisi kuesioner (60 pertanyaan) dan analisis genetik lewat saliva (liur) masing-masing. EQ yang diukur mencakup empati kognitif (kemampuan untuk memahami pikiran dan perasaan orang lain) dan empati afektif (kapasitas mental untuk merespons emosi orang lain dengan emosi yang tepat).

Riset tersebut dilakukan terhadap 46.861 orang (laki dan perempuan) lewat analisis DNA mereka dengan memakai metode analisis statistik yang dinamakan "Genome-Wide Association" (GWA). Inilah riset GWA terbesar sejauh ini. Mereka berhasil menunjukkan ada hubungan antara variasi-variasi genetik (yang tak berhubungan dengan seksualitas) dan perubahan-perubahan empati (juga dengan autisme, anorexia nervosa, skizofrenia, dan extraversi).

Dengan menganalisis 10 juta varian genetik, Varun Warrier dkk menemukan fakta bahwa varian-varian kecil genetik ini (tidak disebut secara spesifik gen-gen yang dimaksud) secara kolektif berkontribusi 10 (atau 11) persen terhadap perbedaan-perbedaan tingkat empati, sementara genetik berperan lumayan dalam membentuk keseluruhan perilaku manusia, yakni 30 persen hingga 50 persen menurut temuan kajian-kajian terhadap orang kembar dan orang satu keluarga seperti yang dilakukan Peter K. Hatemi dkk (lihat antara lain Peter K. Hatemi, Smith K, Alford JR, Martin NG, Hibbing JR, "The Genetic and Environmental Foundations of Political, Psychological, Social, and Economic Behaviors: A Panel Study of Twins and Families", Twin Research and Human Genetics, June 2015, vol. 18 (3), pp. 243-255. Diterbitkan online 21 Mei 2015, https://www.cambridge.org/core/journals/twin-research-and-human-genetics/article/genetic-and-environmental-foundations-of-political-psychological-social-and-economic-behaviors-a-panel-study-of-twins-and-families/FFF68ECB6FD69384D94C1FEB1E1B466C/core-reader).

Tentang studi GWA yang sudah disebut di atas, selengkapnya lihat laporan Pdf hasil riset Varun Warrier, Roberto Toro, Simon Baron-Cohen et al., "Genome-Wide Analyses of self-reported empathy: Correlations with autism, schizophrenia, and anorexia nervosa", Translational Psychiatry 8:35 (2018), diterbitkan online 12 Maret 2018, https://www.nature.com/articles/s41398-017-0082-6. Lihat juga Olivia Goldhill, "Your ability to empathise is determined by your genes", World Economic Forum and Quarts, 15 March 2018, https://www.weforum.org/agenda/2018/03/the-ability-to-feel-empathy-or-not-is-shaped-by-your-genes.

Ditemukan juga dalam penelitian itu, kaum perempuan (50,4 dari 80) lebih empatetis dibandingkan pria (41,9), tapi bukan karena faktor genetik, tapi lantaran perbedaan cara anak laki-laki dan anak perempuan diasuh dan dibesarkan, pengalaman hidup dan gaya pergaulan sosial (dan mungkin juga karena faktor-faktor hormonal dalam rahim saat seorang perempuan sedang hamil). Selanjutnya lihat Victoria Allen, "Women AREN'T genetically-wired to be more empathetic than men but are more caring 'due to how they are brought-up", DailyMail, 11 Maret 2018 (updated 12 Maret 2018), http://www.dailymail.co.uk/sciencetech/article-5488705/Cambridge-uni-study-women-arent-biologically-empathetic.html.

Perlu diingat bahwa kendati empati dipengaruhi gen sampai 10 persen, ini tidak berarti bahwa empati tidak dapat dikontrol. Ada faktor lingkungan hidup dan faktor budaya juga (misalnya cara dan suasana seseorang diasuh dan dididik sejak usia dini) yang memberi andil dominan dalam menentukan ada atau tidak adanya empati dalam diri seseorang, dan dalam meningkatkannya.

Ya, sejalan dengan peningkatan kematangan emosional dan kognitif manusia, empati berkembang, dari yang semula hanya tertuju kepada sesama anggota "in-group" menjadi empati kepada kalangan "out-group". Selanjutnya, berkembang menjadi "empati universal" yang ditujukan dengan ikhlas kepada beranekaragam sesama manusia dan sesama organisme yang memiliki kesadaran yang bersama-sama menghuni satu planet Bumi.

Nah, sekarang fokus kita alihkan ke kekuasaan Machiavellian yang tanpa empati. Kita umumnya sudah mengetahui sejarawan dan politikus Inggris John Emerich Edward Dalberg-Acton, yang lebih dikenal sebagai Lord Acton (1834-1902). Beliau termashyur lewat sebuah pernyataan pendeknya bahwa "kekuasaan cenderung korup. Kekuasaan yang absolut, korup dalam segala hal."

Ya, apa yang dikatakan Acton tetap benar hingga saat ini sejauh anda menjalankan kekuasaan model Machiavellian yang membenarkan setiap penguasa, demi tetap berkuasa, untuk bertindak impulsif dan sewenang-wenang dan mematikan kemampuan mental mereka untuk memahami perasaan dan keinginan serta sikon kehidupan orang lain.


Niccolò Machiavelli (3 Mei 1469 – 21 Juni 1527) dalam karyanya yang terbit di abad ke-16, The Prince, menulis bahwa "jauh lebih aman dan terjamin jika anda ditakuti alih-alih dicintai." Lima ratus tahun setelahnya, Robert Greene menjabarkan perspektif kekuasaan Machivellian dalam bukunya yang laku keras yang berjudul 48 Laws of Power. Kedua orang ini membuat banyak orang percaya bahwa untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan, orang perlu menggunakan kekuatan pemaksa, tipudaya, pemelintiran fakta, manipulasi dan tekanan-tekanan fisik dan psikis dalam segala cara.

Namun, menurut Dacher Keltner dalam artikelnya "The Power Paradox" (baca di sini https://greatergood.berkeley.edu/article/item/power_paradox), kekuasaan yang dibangun menurut model Machiavellian kini makin terdesak oleh suatu model lain kekuasaan yang "berakar pada kecerdasan sosial, tanggungjawab dan kerjasama."

Sesungguhnya, kajian-kajian mutakhir tentang kekuasaan menunjukkan bahwa pendapat dan keyakinan Machiavellian keliru total. Di sisi lain, para neurosaintis juga sudah menemukan fakta bahwa kerusakan pada bagian otak yang dinamakan lobus orbitofrontalis menimbulkan sikap dan kelakuan yang sangat impulsif dan mati rasa pada manusia. Sangat mungkin, kondisi gangguan dan kerusakan bagian otak ini dialami banyak penguasa Machiavellian.

Lobus orbitofrontalis, yang biasa juga disebut korteks orbital (terletak di bagian pusat otak yang mencakup sistim limbik, dan dasar lobus frontalis dan lobus temporalis), terlibat dalam pengaturan emosi, impuls, moralitas dan agresi. Tingkat kemampuan berempati ditentukan juga oleh level aktivitas di korteks ini.

Lewat pemindaian dengan instrumen fMRI, ditemukan fakta bahwa jika korteks orbital kurang aktif, empati berkurang. Jika seseorang tidak mampu berempati sama sekali, dan kerap agresif, jelaslah ada gangguan fungsional dan kelainan struktural yang serius pada korteks orbitalnya. Para psikopat memiliki masalah atau kelainan serius pada korteks orbital mereka. Tentang hal ini, bacalah lebih lanjut di https://www.businessinsider.com.au/psychopath-who-studies-psychopaths-2015-7.

Psikopati (disebut juga sosiopati, atau lebih luas sebagai "antisocial personality disorder" atau APD, atau "dissocial personality disorder" atau DPD) adalah suatu gangguan kepribadian yang serius, yang membuat seseorang tidak memiliki kewarasan moral dan kemampuan berempati dan bergaul dengan sesama manusia dalam batas-batas etika sosial yang dapat dipertanggungjawabkan dan tidak bisa mengakui dan memberikan hak-hak orang lain.

Psikopati memiliki banyak ciri. Prof. William Hirstein, Ph.D., seorang peneliti pikiran manusia (ilmuwan kognisi), mendaftarkan 9 ciri orang psikopat yang ditemukan para neurosaintis dan psikolog. Berikut ini (uraian rincinya lihat di https://www.psychologytoday.com/blog/mindmelding/201706/9-signs-you-re-dealing-psychopath):

1. Tidak memiliki kepedulian pada perasaan orang lain ("berhatidingin");
2. Emosi sosial (seperti rasa malu, rasa bersalah, rasa menyesal) dangkal;
3. Tidak dapat dipercaya, tidak memiliki tanggungjawab setelah tahu mereka bersalah kepada orang lain;
4. Suka berdusta, tidak jujur, demi meraih tujuan-tujuan yang tamak, hanya mencari kesenangan dan keuntungan buat diri sendiri, sebagai predator;
5. Terdelusi bahwa diri mereka besar dan hebat;
6. Tidak mampu mengalihkan perhatian pada hal-hal lain di saat kondisi-kondisi telah berubah, alhasil mereka tampak impulsif, kaku, keras kepala, dan picik;
7. Loba, egosentrik, dan tidak bisa mengasihi orang lain;
8. Tidak mampu berpikir dan membangun rencana jauh ke depan;
9. Tidak toleran, mudah tersinggung, agresif dan biasa melakukan kekerasan tanpa beban rasa bersalah.

Alih-alih Machiavellianisme para psikopat bertahan langgeng dan sukses, malah kini terlihat, sebagaimana ditulis Keltner, bahwa "kekuasaan bekerja paling efektif ketika digunakan dengan bertanggungjawab oleh orang yang terbuka dan aktif terlibat dan peduli pada kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan orang lain." Dengan kata lain, oleh orang yang memiliki empati.

Selanjutnya Keltner menegaskan bahwa "empati dan kecerdasan sosial jauh lebih penting dalam ihwal mendapatkan dan menjalankan kekuasaan, ketimbang penggunaan bermacam-macam kekuatan pemaksa, tipudaya, kebohongan, atau teror." Tulis Keltner, "Jika untuk tetap bisa diakui sebagai penguasa seseorang harus dengan segala cara mengendalikan orang lain, kondisi ini menandakan bahwa kekuasaan orang itu tidak stabil, sedang tergelincir."

Kecerdasan sosial yang memampukan anda bergaul dan membangun hubungan-hubungan sosial yang empatetis adalah sesuatu yang esensial bukan hanya dalam mendapatkan kekuasaan, tapi juga dalam merawat dan mempertahankannya.

Sudah banyak diperlihatkan oleh kajian-kajian empiris bahwa para pemimpin yang memperlakukan bawahan-bawahan mereka dengan respek, membagi kekuasaan mereka dan membangun semangat persahabatan dan kepercayaan terhadap mereka, dipandang sebagai para pemimpin yang lebih adil, lebih fair dan lebih mampu menyelami batin dan pikiran mereka.

Jika empati dan kecerdasan sosial anda sebagai seorang pemimpin meningkat, maka bawahan-bawahan anda dapat membangun aliansi yang kuat dan mendukung tindakan-tindakan anda sebagai seorang yang berkuasa. Seperti dikatakan filsuf Lao-Tzu, "Untuk memimpin orang, anda perlu berjalan berdampingan di samping mereka", bukan mengontrol dan menekan mereka. Filsafsat Timur Lao-Tzu ini berbeda tajam dari filsafat kekuasaan Machiavellian, dan sejalan dengan temuan-temuan banyak kajian empiris mutakhir tentang kekuasaan.

Jalan keluar dari cengkeraman hitam dan kebuasan kekuasaan Machiavellian bukan membuang kekuasaan, tapi mengontrol dan menjalankannya bersama dengan belarasa, "compassion", yang anda harus latih dan praktekkan sebagai seorang pemimpin.

"Compassion" berarti bersama-sama atau ikut menanggung ("co") penderitaan ("passion")  orang lain; bukan cuma mampu secara mental memahami penderitaan orang lain dari suatu jarak tertentu, tanpa ikut menanggungnya. Kata Indonesia untuk "compassion" adalah "belarasa".

Oleh Dacher Keltner dalam artikelnya yang berjudul "The Compassionate Instinct", "compassion" atau belarasa diartikan sebagai "kepedulian yang kita rasakan untuk membuat orang lain berbahagia dan sejahtera." Selengkapnya baca di sini https://greatergood.berkeley.edu/article/item/the_compassionate_instinct.

Dari mana belarasa berasal? Keltner menyatakan bahwa "belarasa berakar dalam dan kuat pada kodrat manusia, memiliki suatu basis biologis dalam tubuh dan otak. Manusia dapat mengkomunikasikan belarasa lewat mimik dan isyarat wajah dan sentuhan. Cara-cara memperlihatkan belarasa ini memainkan fungsi sosial yang vital. Ini semua menunjukkan dengan kuat bahwa belarasa memiliki suatu basis evolusi biologis. Ketika diungkap, belarasa mengalahkan kepentingan-kepentingan yang tamak dan memotivasi perilaku altruistik."

Jadi, belarasa merupakan salah satu bagian terpenting dari kemampuan kodrati kita untuk membuat keputusan moral dan memenuhi kontrak sosial dan berperilaku manusiawi.

Jika dilatih, dipraktekkan dan diungkap serta dikembangkan dalam suatu konteks kehidupan yang tepat, di dalam kehidupan perkawinan, keluarga, pengasuhan oleh orangtua, pendidikan, pergaulan dan pekerjaan, dan berbagai pranata sosial, belarasa akan menjadi suatu kecakapan dan kebajikan yang berbasis pada biologi kita.

Jika kita mempraktekkan belarasa, tubuh kita memberi reaksi neurokimiawi dengan memproduksi hormon sosial dan kebahagiaan yang dinamakan oksitosin (oxytocin) (yang diproduksi oleh nukleus paraventrikular hypothalamus dan dialirkan oleh kelenjar pituitari posterior dalam otak).

Selanjutnya hormon sosial ini, karena menimbulkan rasa bahagia, makin mendorong kita untuk bertindak dengan makin penuh belarasa lagi. Dengan cara ini, kebaikan yang lebih besar bagi kehidupan komunal umat manusia akan dibudidayakan.

Jangan tanya mana jalan menuju belarasa, atau cara mencapai belarasa. Sebab belarasa itu adalah jalan. Jalan untuk mengembalikan empati ke dalam diri anda sementara anda berada pada suatu posisi puncak yang memberi anda kekuasaan besar dalam hierarki suatu kepemimpinan.

Belarasa dapat dilatih untuk timbul, dan jika sudah terbiasa anda praktekkan, maka kekuasaan yang anda punya akan mendatangkan banyak kebaikan untuk orang lain. Untuk masyarakat dan dunia ini. Anda akan mampu merasakan dan ikut berada di dalam penderitaan orang lain, situasi kehidupan orang lain, duka dan kemalangan yang sedang dipikul orang lain. Seorang pemimpin yang baik harus mampu menjadi sahabat dan penolong yang ikhlas bagi orang yang dipimpinnya.

Melatih dan mengembangkan mental belarasa dapat berlangsung sederhana, membutuhkan waktu sekitar 45 menit per hari. Jangan anda enggan melakukannya, karena kepemimpinan yang dilengkapi dan dijiwai belarasa akan berpeluang jauh lebih besar untuk berhasil.

Anda duduk bersila, berkonsentrasi pada tarikan dan hembusan nafas anda. Saat anda sedang menarik nafas dalam-dalam dan setelah itu menahannya beberapa detik, lalu menghembuskannya kembali perlahan, bayangkanlah dalam benak anda orang-orang yang anda kenal dan ketahui sedang menderita karena masalah-masalah berat tertentu.

Rasakan azab mereka. Dengarkan seruan dan erangan mereka. Ratapan ketidakberdayaan mereka. Jika anda percaya Tuhan, doakan mereka, dan mohon kepada Tuhan anda supaya bagi anda dibukakan jalan, entah jalan apapun, untuk anda dapat mendatangi dan memberi pertolongan kepada mereka sehingga harapan dan daya juang mereka timbul lagi dengan kuat.

Jika anda sedang berada di sebuah perusahaan yang anda pimpin, mintalah info dari manajer personalia anda tentang siapa saja dari antara semua bawahan anda dan semua pekerja di perusahaan yang anda kelola, di manapun mereka berada, yang sedang menanggung persoalan, kemalangan dan duka berat. Lalu hubungi mereka. Berbicaralah dengan mereka dan hiburlah mereka. Atau kirim sebuah pesan singkat digital kepada mereka untuk menguatkan dan memberi asa kepada mereka.

Jika mereka tinggal di suatu lokasi yang ada dalam jangkauan anda, entah dengan berjalan kaki atau dengan mengendarai sebuah sepeda atau mobil anda, sempatkan diri untuk melawat mereka, sesuai dengan waktu yang anda bisa berikan untuk mereka. Jika anda sanggup membantu untuk dengan signifikan meringankan penderitaan mereka, atau untuk melepaskan mereka dari azab mereka sepenuhnya, lakukanlah tanpa ragu-ragu dan tanpa pamrih.

Ingatlah, anda dibutuhkan bukan hanya untuk ikut merasakan duka orang lain, bukan hanya mampu berempati, tapi untuk juga mampu bersama-sama menderita dengan orang lain. Dengan kata lain, untuk anda mampu  ber-"compassion", berbelarasa.

Dan karena anda mempunyai kekuasaan yang besar, anda mampu mengeluarkan dan membebaskan mereka dari azab dan kesusahan mereka yang anda sendiri dapat rasakan juga.

Pemimpin masa kini memerlukan bukan hanya "skill of management and leadership", kecakapan memimpin dan mengelola suatu kegiatan (bisnis dan politik, atau kegiatan lain apapun), tapi juga empati dan belarasa. To perform a good leadership and a successful management is to require empathy and compassion.

Jika sebagai seorang pemimpin yang memiliki kekuasaan yang besar, anda juga memiliki dan mempraktekkan empati dan belarasa, maka masyarakat anda dan dunia ini, tentu juga perusahaan anda, bangsa dan negara anda, akan makin sehat, sejahtera, berbahagia, kuat dan kohesif, dan siap untuk berkembang dan maju makin jauh ke depan.

Jika itu yang menjadi visi anda, maka sebagai seorang pemimpin, anda akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi seorang penguasa atau seorang pemimpin yang baik, yang bercahaya di tengah para begundal yang berperilaku buruk, durjana, gelap, dan tidak pantas.

Jika kehidupan anda berisi penuh belarasa, pastilah tidak berlaku bagi anda apa yang ditulis Machiavelli dalam The Prince bahwa "siapapun yang mencoba menjadi orang yang selalu baik setiap saat, niscaya akan menjadi reruntuhan di tengah-tengah sejumlah besar orang yang buruk. Karena itu, seorang pangeran yang ingin tetap berkuasa haruslah belajar tentang bagaimana caranya untuk tidak menjadi orang baik, lalu memakai pengetahuan itu, atau, jika diperlukan, tidak menggunakannya."

Empati dan belarasa yang otentik tidak dapat direkayasa. Jika ada orang yang jahat dan tamak kekuasaan dan uang berpura-pura memiliki empati dan belarasa demi kepentingan politik mereka, kepura-puraan mereka ini tidak akan bertahan lama karena memang sangat menyiksa batin dan pikiran mereka sendiri.

Sekarang ini dan seterusnya, negeri Indonesia memerlukan pemimpin-pemimpin puncak yang bukan saja harus cerdas akal, tapi juga harus cerdas sosial, yakni memiliki empati dan belarasa yang otentik, bukan yang bermental Machiavellian.

24 Februari 2018
ioanes rakhmat

☆ Update mutakhir 14 Maret 2018


Wednesday, January 24, 2018

Percakapanku dengan seorang Muslim sekitar QS Al-Kafirun 6



QS Al-Kafirun ayat 6:
"Untukmu agamamu, dan untukku agamaku"

Di Facebook Mas AA, seorang dosen UI, saya menulis sebuah comment yang bernada biasa dan bersahabat yang saya tujukan ke dua orang yang tampaknya menjadi "haters" Mas AA.

Seperti halnya Mas AA, saya tentu saja menjaga diri untuk tidak membenci haters Mas AA. Saya dibesarkan dan dididik dalam dua agama besar Buddhisme dan Kekristenan yang membuat saya yakin bahwa siapapun tidak boleh dan tidak benar jika kita benci. Sebaliknya, karena didorong rasa cinta yang cerdas dan celik, saya merasa perlu ikut juga dalam berbagai usaha mencerdaskan masyarakat Indonesia, ya antara lain lewat percakapan-percakapan, tulisan-tulisan dan buku-buku saya.

Komen saya itu mula-mula membeberkan bahwa monoteisme Islam telah berubah menjadi HENOTEISME (agama keluarga, dinasti, klan dan suku), bukan lagi MONOTEISME, jika orang non-Muslim TIDAK BOLEH MEMBICARAKAN atau MEMBAHAS agama Islam. Kita tahu, dalam trajektori sejarah perkembangan agama-agama, henoteisme jauh mendahului monoteisme.

Dalam monoteisme, Tuhan YME itu kreatif, kaya dengan perspektif, sehingga Tuhan, lewat beranekaragam cara yang tidak terbatas dalam jagat raya ini, dan tentu saja dengan memakai insan-insan kreatif lintaszaman dan lintasgeografis, menciptakan banyak agama dan jalan yang majemuk sebagai wahana-wahana untuk mengenal-Nya tanpa pernah habis dan tanpa pernah selesai.

Semua jalan yang beranekaragam itu menuju ke Tuhan YME yang tanpa batas. Diversitas dan unitas diterima sekaligus. Unity-in-diversity adalah suatu konsekuensi logis teologis yang niscaya dari monoteisme.

Sebaliknya, dalam bingkai henoteisme (gabungan dua kata Yunani "henas", artinya "satu", dan "theos" yang bermakna "Allah"), berhubung setiap keluarga, dinasti, klan dan suku punya "satu Tuhan sendiri-sendiri", maka jagat raya ini diyakini berisi sangat banyak Tuhan individual yang berbeda satu sama lain. Bahkan setiap Tuhan ini kerap terlibat dalam kompetisi dan perang satu sama lain sejalan dengan berbagai kompetisi dan perang antarkeluarga, antardinasti, antarklan, dan antarsuku. Dus, henoteisme pada dasarnya bermuara pada politeisme. 

Nevertheless, harus segera saya ingatkan satu hal, ini: politeisme yang di dalamnya Tuhan-tuhan atau Dewa-dewi dipercaya selalu harmonis dan berkolaborasi untuk mendatangkan kebaikan bagi dunia kehidupan manusia dan semua organisme lain, termasuk dunia flora dan dunia fauna, adalah politeisme yang hebat dan patut diagungkan, dan dirawat serta dipertahankan.

Itulah "agama-agama alam" atau natural religions yang sangat menghormati dan memelihara kekudusan alam. Dengan artistik para penganut agama-agama ini membuat personifikasi-personifikasi ragawi berbagai fenomena dan kekuatan alam. Alam dekat dengan mereka, dan mereka menceburkan diri ke dalam samudera alam yang tanpa tepi, lalu berenang-renang dengan gembira dan teduh.

Lalu, tampaknya untuk menutup keterlibatan saya lebih jauh di FB Mas AA itu, teks Al-Qur'an Al-Kafirun ayat 6 dikutip dan disodorkan ke saya.

Bukannya diam dan mundur teratur, saya malah membalas orang itu dengan menjelaskan duduk soal konten pernyataan teks Al-Qur'an itu. Saya memaparkan pikiran saya dengan nada bersahabat, dan tentu dengan sistimatik. Berikut ini, saya copypaste dari ruang FB Mas AA, sekaligus saya perluas di sana sini. Nikmatilah. Dan kritiklah dengan cerdas.

Loh Mas, itu nas Al-Qur'an sudah direnungi dalam-dalam atau belum? Apakah ada di dunia ini AGAMA YANG 100 PERSEN MURNI, yang tidak memakai nilai-nilai dan ekspresi-ekspresi sosiobudaya LOKAL yang sudah ada sebelumnya, dan yang tidak memuat ajaran atau wejangan kearifan atau adat-istiadat yang UNIVERSAL? Sejauh sudah saya kaji, TIDAK ADA TUH AGAMA YANG MURNI 100 PERSEN tanpa menyerap unsur-unsur LOKAL dan unsur-unsur UNIVERSAL.

Bagaimana dengan Islam? Nah, coba anda cek sendiri dengan jujur, cermat dan terbuka. Cek, apakah di dalam Islam tidak ada unsur-unsur besar dalam agama tawhid Yahudi yang sudah ada berabad-abad sebelum kelahiran Islam, dan juga tidak ada unsur-unsur sosiobudaya dan sosiopolitik lokal Arab atau non-Arab pra-Islam.

Coba juga cek dengan cara yang sama, tentang Nabi Isa, apakah dalam kitab suci Muslim tidak ada teks-teks yang asal-usulnya sebetulnya bisa ditelusuri jauh ke belakang, sampai abad kedua, ketiga dan keempat M, teks-teks beberapa kalangan Kristen aliran gnostik. Coba kaji, tentu dengan pendekatan ilmiah. Saya sudah menulis tentang topik ini: nisbah berbagai kekristenan gnostik dan teks-teks naratif tentang Isa dalam Al-Qur'an.

Lalu coba cek, apakah dalam Islam tidak ada wejangan-wejangan kearifan dan wejangan-wejangan etika sosial dan adat-istiadat yang juga ada di dalam agama-agama lain? Misalnya wejangan kebijaksanaan untuk hidup tekun menuntut ilmu. Ini wejangan universal lintaszaman, lintastempat, lintasbudaya dan lintasagama.

Jika bagi anda Tuhan itu mahatahu, maka Tuhan adalah sumber segala pengetahuan. Makin dekat dan cinta anda kepada Tuhan YMTahu, makin cinta dan dekat juga anda ke banyak pengetahuan, dus membuat anda makin berwawasan luas dan cerdas.

Pengetahuan yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan tentu pengetahuan yang diberi oleh ilmu pengetahuan. Dus, dengan makin meningkatnya ilmu pengetahuan anda dengan tanpa batas tahap demi tahap, maju terus ke depan, makin dekat dan makin meningkat juga pengenalan anda pada Tuhan YMTahu.

Jadi, ilmu pengetahuan sesungguhnya adalah jalan agung dan mulia tanpa ujung menuju Tuhan YMTahu tanpa batas. Jadi, adalah suatu keanehan dan tak logis jika orang yang cinta Tuhan YMTahu malah membenci dan anti ilmu pengetahuan. Siapapun yang bertuhan, lewat agama apapun, tidak mungkin mereka akan bilang bahwa Tuhan mereka tidak maha tahu.

Juga cek, apakah wejangan etika sosial untuk orang memperhatikan dan membela orang yang lemah dan rentan (yatim, miskin, kelaparan, bodoh, cacat, dll) dan orang yang menjadi korban ketidakadilan dan tindakan sewenang-wenang pihak lain yang lebih kuat dan berkuasa, tidak ada di dalam agama-agama lain, tapi cuma ada di agama Islam? Tolong cek ya.

Jadi, agamaku atau agama anda, kemurniannya atau partikularitasnya, ada pada unsur yang mana? Harus dicek JIKA ADA.

Jika ternyata ada jauh lebih banyak unsur UNIVERSALITAS-nya, yakni unsur-unsur yang JUGA ADA DALAM BANYAK AGAMA LAIN atau dalam SEMUA AGAMA LAIN (bisa akidah, doktrin, bisa juga hikmat, wejangan, pepatah, filsafat sederhana, atau etika sosial, atau tata-krama dan adat-istiadat, atau kisah-kisah), maka anda masih harus bekerja keras untuk menemukan dalam hal-hal apa ISLAM ITU KHAS, UNIK dan ISTIMEWA. Jika hal-hal yang unik ini ada, mungkin sebatas itulah "AGAMAKU yang BUKAN AGAMAMU".

Yang mana yang unik dari Islam? Bantu saya untuk menemukannya, dan saya gembira kalau sudah berhasil mengetahuinya, khususnya HAL-HAL UNIK YANG ESENSIAL, bukan yang periferial.

Tawhid? Ya, sudah ada dalam agama-agama pra-Islam, misalnya Yudaisme yang dalam kitab sucinya (dinamakan TANAKH) termuat syahadat kuat tawhid. Di dalam kitab suci yang sama, teks tertuanya berasal dari abad ke-10 SM.

Nabi Besar? Ya ini keunikan setiap agama lain juga; masing-masing punya nabi besar sendiri-sendiri. Unik, tapi juga suatu kebutuhan yang universal. Tentu saja sosok nabi-nabi agung ini beda-beda. Sebaiknya dan seharusnya, nabi-nabi agung ini jangan diadu dan dipertandingkan, tapi dijadikan sahabat-sahabat sesaudara.

Ringkas kata, maksud saya begini:

Pertama, jika ada orang yang mengklaim agama A agamaku, bukan agamamu, perjelaslah dalam segi-segi apa saja agama A anda itu UNIK, TIDAK ADA PARALEL DI LUARNYA, TIDAK TERDAPAT KESEJAJARANNYA DI DALAM AGAMA-AGAMA LAIN. Sebutkanlah hal-hal yang esensial unik dalam agama anda sehingga anda bisa bilang "INI AGAMAKU, BUKAN AGAMAMU!"

Kedua, dalam SEMUA AGAMA SELALU ADA UNSUR-UNSUR YANG JUGA ADA DI DALAM AGAMA-AGAMA LAIN yang juga dihayati dan dipegang umat-umat dari agama-agama lain. Jadi, dalam sikon ini, pernyataan "AGAMAKU AGAMAKU, AGAMAMU AGAMAMU" harus tidak boleh menutup pintu untuk mengakui ada banyak titik temu atau paralelisme atau kesejajaran antaragama-agama.

Artinya, TIDAK ADA "AGAMAKU" ATAU "AGAMAMU" YANG SEPENUHNYA BEDA SATU SAMA LAIN. Dus, terbukalah pintu untuk saling bersahabat, bersaudara, dan saling mengenal dan menimba kekayaan antaragama. Karena tidak ada satupun agama yang 100 persen partikular. Selalu ada universalitas dalam semua agama.

Mari berpaling ke psikologi perkembangan kepribadian manusia. Sejak kita dilahirkan, sebagai bayi, lalu tumbuh menjadi kanak-kanak, kemudian remaja, lalu masuk ke usia pemuda, apakah kita semua tumbuh terisolasi dari pergaulan sosial dengan orang-orang lain? Tentu tidak. Kalau pun ada yang tumbuh terisolasi, orang sejenis ini akan menjadi manusia yang punya banyak masalah dan gangguan kejiwaan.

Nah, karena kita normalnya tumbuh besar dan menjadi dewasa dalam pergaulan dan interaksi sosial, maka kepribadian khas individual kita juga dilengkapi tahap demi tahap, dari waktu ke waktu, dengan bagian-bagian kepribadian-kepribadian orang lain, mulai dari yang terdekat dengan kita, yang terintegrasi dengan apik dan mulus dengan inti kepribadian kita. Adakah individu sehat yang memiliki kepribadian sendiri yang khas dan unik 100 persen? Ya tidak ada. Kita semua organisme sosial, saling memberi dan saling menerima, jika kita hidup dan tumbuh normal fisik dan mental.

Mau tahu lebih jauh? Kajian-kajian genetik yang luas yang mencakup sangat banyak ras dan etnis dan suku bangsa manusia sedunia bermuara pada satu temuan kuat yang luar biasa: gen setiap orang, dari ras dan etnis dan kebangsaan apapun, ternyata tidak ada yang murni 100 persen. Kita semua memiliki gen hibrid, gen kombinasi dari berbagai gen dan varian gen lain.

Kembali ke agama. Selain itu, karena dalam setiap agama ada keunikan masing-masing, maka kegiatan "saling mengenal dan menimba" ini akan produktif dan memberi nilai tambah bagi semua agama. Saya menyebut ini "KEUNIKAN RELASIONAL", yang berlawanan dengan "keunikan eksklusif". Kita tahu, yang selama ini ditampilkan dengan gagah-gagahan oleh para juru propaganda dan apologetika agama adalah keunikan eksklusif.

Para juru kampanye keagamaan yang bermental eksklusif ini selama ini lebih suka memperlakukan titik-titik keunikan agama-agama mereka sebagai titik-titik perang atau titik-titik tengkar antaragama-agama, titik-titik adu menang, adu unggul, dan akhirnya adu otot dan adu pedang. Padahal, semakin besar dan matang jiwa seseorang, semakin mampu dia bersahabat dan membangun relasi dengan orang-orang lain yang berbeda, yang memiliki kekhasan atau keunikan masing-masing.

Pada sisi lain, sudah saatnya unsur-unsur umum dan universal yang ada dalam semua agama mendorong orang-orang yang beragama untuk makin serius dan luas mencari dan menemukan titik-titik temu, titik-titik rekonsiliasi, yang menjadi landasan bersama untuk membangun percakapan-percakapan timbalbalik yang cerdas dan bermarwah dan berbagai bentuk kerjasama sosial yang real dalam masyarakat.

Dus, kegiatan "saling mengenal dan menimba" yang saya sebut di atas harus bukan cuma kesibukan intelektual atau spiritual saja, tapi HARUS BERDAMPAK POSITIF DAN SIGNIFIKAN bagi pembangunan kehidupan semesta yang lebih baik lewat berbagai sarana, misalnya lewat karya-karya kebajikan dan prestasi-prestasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Jelaslah bahwa aktivitas saling mengenal dan saling menimba ini menutup rapat peluang terjadinya intoleransi dan ekstrimisme dalam kehidupan semua umat beragama.

Begitulah, agama-agama apapun terbuka untuk dipelajari dan dikaji dengan cermat, bahkan lewat pendekatan keilmuan di universitas-universitas dan di lembaga-lembaga pengkajian agama-agama, oleh siapapun, kapanpun dan di manapun. Kecuali jika suatu agama sudah diisolasi ke dalam sebuah ruang karantina, dan tidak boleh lagi menjadi bagian dari kekayaan alam pemikiran dan budaya global. Tapi, adakah agama sejenis ini, terkarantina, dipasung? Jika ada, ya agama itu, betapa malangnya, akan cepat punah, atau minimal makin terasing dan tidak relevan lagi dalam dunia masa kini.

Nah, terlihat bukan, bahwa cakupan teks QS AL-KAFIRUN ayat 6 itu ternyata tidak sesederhana seperti yang anda pikirkan semula SEJAUH ANDA MAU BERPIKIR LEBIH JAUH. Sudah saya perlihatkan, dan tentu anda kini paham, penafsiran isolasionis eksklusif atas teks ini tidak sejalan dengan realitas sosial baik di zaman dulu maupun di zaman sekarang.

Selamat berpikir makin jauh, berpikir "out of the box", sebab Tuhan lebih sering memilih hadir di tempat-tempat yang tidak biasa. Tuhan itu tak terbatas oleh hal apapun. Jika Tuhan kita bisa batasi atau kita masukkan ke dalam saku kita yang memakai risleting lalu kita tutup, ya bukan Tuhan lagi namanya. Entah apa.

Begitulah sebuah contoh lagi tentang berpikir tertib. Tidak mandek. Tidak baper. Itu kalau anda mau cerdas beragama dan berwawasan makin jauh, menuju Tuhan tahap demi tahap, tanpa akhir.

Oh ya, sebetulnya saya masih ingin menemukan maksud teks Al-Qur'an itu lewat kajian komprehensif penafsiran dengan metode critical history sebagai salah satu bidang keahlian akademik saya. Tapi, lain lain lain kali saja deh.

Akhir kata, semoga anda dkk tidak serta-merta menanggapi tulisan saya ini dengan ucapan yang sama itu lagi, "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku!"

Tapi jika itu itu juga tanggapan anda, ya tak apa-apa. Bukankah tidak ada paksaan dalam orang bertuhan lewat agama atau lewat jalan-jalan lain.

Salam,

23 Jan 2017

N.B. Dimuat pada blog ini dengan sedikit tambahan pada 24 Jan 2018.

ioanes rakhmat

Silakan share.
Harap TIDAK di-copypaste sebagian atau seluruhnya.


Sunday, January 14, 2018

Gen, otak, kepribadian, dan perilaku politik


Mari kita mulai dengan ajakan John Alford dkk. Mereka menulis,

"para ilmuwan politik kami desak untuk memasukkan dan memperhitungkan pengaruh-pengaruh genetik, khususnya interaksi-interaksi antara warisan genetik dan lingkungan sosial, ke dalam model-model pembentukan perilaku politik."

Sebagai pakar genetika behavioris Universitas Rice, Houston, Texas, John Alford dkk di tahun 2005 telah melakukan analisis data yang dihimpun dari dua dekade kajian genetika perilaku, termasuk juga basisdata pendapat politik dari 30.000 orang kembar dari Virginia. Analisis Alford dkk ini diterbitkan di American Political Science Review, vol. 99, no. 2, May 2005./1/ 

Menurut Alford dkk, genetika memainkan suatu peran penting dalam membentuk sikap dan perilaku politik dan ideologi, tapi berperan sedang-sedang saja dalam seseorang mengidentifikasikan dirinya dengan suatu partai politik. Karena sikap dan perilaku politik kita, atau perilaku lain apapun, diproses dan muncul dari kerja otak kita, maka gen orientasi politik kita mengendalikan pilihan-pilihan politik kita di dalam otak.

Alford menyimpulkan bahwa

"pilihan politik kita berakar dalam dan terbangun di dalam otak kita. Jadi, usaha mempersuasi [membujuk dan meyakinkan] seseorang untuk tidak jadi liberal [atau sebaliknya: tidak jadi konservatif] ibaratnya sama dengan usaha mempersuasi seseorang yang bermata biru untuk tidak memiliki mata biru. Jadi kita harus memikirkan kembali usaha untuk mempersuasi orang."

Jadi, bagi Alford, sama seperti mata biru itu bentukan gen yang tidak bisa ditolak seseorang yang telah dilahirkan, begitu juga halnya dengan posisi dan perilaku politik seseorang. Bagi Alford, gen itu "takdir alam" yang tak bisa dihambat, cepat atau perlahan, untuk membentuk perilaku politik dan perilaku lain apapun, meskipun gen sendiri berinteraksi dengan konteks kehidupan.

Dalam suatu tanggapan John Alford dkk terhadap keberatan beberapa kalangan terhadap usaha mengaitkan gen dengan perilaku politik, Alford dkk menulis,

"Kajian-kajian terhadap orang kembar memastikan bahwa ada suatu komponen genetik yang signifikan bagi orientasi-orientasi politik. Dus, ada alasan kuat untuk melakukan kajian-kajian lebih jauh terhadap hakikat peran itu dengan menggunakan metodologi-metodologi lain, termasuk genetika molekuler."/2/

Pada sisi lain, kini sedang tumbuh sebuah disiplin ilmu pengetahuan baru yang terkait dengan ilmu politik atau "political science" yang sudah lama dikenal. Disiplin baru ini dinamakan "neuropolitics".

"Neuropolitics" atau neurosains politik memang relatif baru dalam kajian-kajian perilaku politik. Disiplin baru ini, sebagaimana dibentangkan oleh Ingrid J. Haas dari Universitas Nebraska, mengintegrasikan ilmu politik dengan biologi, psikologi dan neurosains. Haas menegaskan bahwa "perilaku politik dapat  dipahami lewat lensa psikologi manusia, biologi dan neurosains", dilengkapi dengan neurosains kognitif dan sosial, psikologi politik dan sosial, dan studi-studi konteks.

Dengan demikian, posisi dan perilaku politik seseorang kini dipandang berakar dalam kerja otaknya, bagian dari fungsi otaknya yang khas. Hard-wired!/3/

Dalam rangka neuropolitik, baik kita tengok sejenak Liya Yu, dosen di UVA's Woodrow Wilson, Department of Politics, yang kini sedang studi Ph.D. di Universitas Columbia.

Yu menyatakan bahwa otak kita memasok ke dalam kesadaran kita banyak bias atau prasangka, di antaranya prasangka yang membuat kita berpikir bahwa orang-orang yang berbeda dari kita, orang-orang luar, "out-group", harus kita perlakukan berbeda dari orang-orang kita sendiri, orang dalam, "in-group" kita. Akibatnya, perpecahan dalam masyarakat terjadi. Kerap sangat tajam.

Selain itu, pada waktu yang bersamaan dan secara spontan, otak kita juga mendehumanisasi "out-group" dan menghumanisasi "in-group" kita sendiri. Dehumanisasi yang muncul dalam kesadaran kita yang dibawa otak sering bocor, merembes ke dalam retorika politik. Masyarakat pun makin terpecahbelah. Ketika hal ini sedang terjadi, di saat orang luar mengatakan sesuatu, otak kita menerimanya sebagai suatu serangan terhadap kita.

Dalam sikon dunia yang terpecahbelah dan penuh dengan prasangka primordial SARA semacam itu, Liya Yu berpendapat bahwa neurosains akan bisa menolong. Katanya, "Neurosains memberi suatu middle ground atau kawasan tengah terbaik untuk menangani banyak prasangka dan perpecahan politik, dan pada waktu yang sama melindungi pikiran yang mandiri dan kebebasan memilih."

Liya Yu melihat bahwa lewat banyak studi neurosains dalam tiga dekade terakhir ini, kita makin mengerti bahwa materi abu-abu (gray matter) otak kita yang terlibat dalam menjalankan fungsi penyimpanan memori, kontrol diri dan pengambilan keputusan yang dikerjakan otak kita, bertambah besar volumenya jika seseorang menerima makin banyak pendidikan dan informasi baru yang masuk ke dalam memori otak.

Pendek kata, pendidikan yang mencerdaskan dan informasi yang membuat kita tambah pengetahuan baru, jika dijalankan dan diterima dengan sinambung, akan makin memperbesar volume materi abu-abu otak kita.

Jika kondisi di atas terjadi, kita akan makin mampu mengingat, makin mampu mengontrol diri, dan makin mampu mengambil keputusan dalam banyak bidang kehidupan dengan lebih baik. Jika hal ini berjalan, politik pun akan lebih baik, lebih humanis, dan jauh dari berbagai prasangka primordial yang merusak harmoni sosial dan mendehumanisasi manusia./4/

Penyusutan volume materi abu-abu dalam otak terpantau jika seseorang makin kurang menerima pendidikan, alias jika otaknya tidak dilatih dan tidak diasah untuk berpikir dan belajar dan tidak pernah menjalani berbagai pelatihan peningkatan kecerdasan. Lewat pembelajaran dan pendidikan, otak kita mengalami apa yang dinamakan "pemetaan kembali" atau "remapping" otak, dengan akibat volume materi abu-abu meningkat.

Neuron-neuron dan materi abu-abu dalam organ otak bisa bertambah karena otak kita memiliki kemampuan neurogenesis (kelahiran neuron-neuron baru) dan neuroplastisitas yang menyebabkan penambahan atau penyusutan volume materi abu-abu.

Neurogenesis dan neuroplastisitas berlangsung di seluruh organ otak kita di sepanjang usia kita. Otak memiliki mekanisme neural yang rumit untuk bisa meremajakan diri sebelum sistem biologis kita roboh dan luruh seluruhnya karena entropi yang bekerja dalam semua sistem yang ada dalam jagat raya, baik yang biologis maupun yang nonbiologis.

Penyusutan materi abu-abu, yang berakibat penurunan tingkat kecerdasan dan kemampuan mengingat dan mengambil keputusan, dapat terjadi karena banyak hal lain. Beberapa di antaranya dapat disebut.

Dehidrasi dalam jaringan fisiologis serebral dan materi abu-abu membuat materi ini menyusut. Autisme juga ditandai oleh kurangnya materi abu-abu dalam otak. Ketika sudah lansia, materi abu-abu bahkan bagian-bagian lain tertentu dalam otak, mengalami pengerutan, dengan akibat dementia.

Selain itu, suatu studi klinis menemukan bahwa volume materi abu-abu juga menyusut akibat serangan penyakit kronis seperti osteoarthritis yang menimbulkan rasa sakit. Dalam kasus ini, penyusutan materi abu-abu terjadi di anterior cingulate cortex (ACC), right insular cortex and operculum (RICO), dorsolateral prefrontal cortex (DLPC), amygdala, dan batang otak (brain stem). Jika penyakit kronis ini ditangani dengan baik dan rasa sakit hilang, penyusutan volume materi abu-abu terhenti lalu berangsur kembali ke volume normal./5/

Kembali ke John Alford dkk yang melihat perilaku politik seseorang dibentuk oleh gen. Alhasil, menurut mereka, genetika molekuler perlu diintegrasikan ke dalam ilmu politik. Posisi Alford dkk ini banyak yang menentang.

Mari sekarang fokus kita arahkan ke psikolog Frank Sulloway, psikolog John Jost, dan dua genetikus behavioris Brad Verhulst dan Peter Hatemi. Mereka mencari variabel-variabel lain yang ikut menentukan pilihan-pilihan politik seseorang./6/

Frank Sulloway, psikolog dari Universitas California, Berkeley, menolak pendapat Alford. Dengan ringkas Sulloway menyatakan bahwa

"Tidak ada suatu gen dalam diri kita yang membuat kita benci kaum hippies."

Sulloway selanjutnya menegaskan bahwa poinnya bukanlah bahwa kita memiliki gen-gen politik, melainkan bahwa pilihan-pilihan politik kita dipengaruhi kepribadian kita.

Tentu ada bagian-bagian kepribadian kita yang diwariskan secara genetik, atau ikut dibentuk oleh faktor-faktor hormonal epigenetik yang terproduksi dalam rahim setiap bunda yang terkait dengan kondisi-kondisi mentalnya selama mengandung. Tetapi masih ada lebih banyak faktor lain yang ikut membentuk kepribadian kita.

Di tahun 2003, John Jost, psikolog Universitas New York, bersama kawan-kawannya, melakukan riset atas 88 studi yang mencakup lebih dari 20.000 orang di 12 negara.

Ada sejumlah temuan John Jost. Antara lain, ada beberapa sifat dan watak kepribadian yang terhubung dengan pilihan politik. Tetapi ada jauh lebih banyak faktor kepribadian yang berpengaruh terhadap pilihan politik seseorang, ketimbang yang selama ini diduga.

Misalnya, orang yang takut mati ternyata lebih banyak yang menjadi konservatif, selain juga karena sifat mereka yang kaku dan berpembawaan dogmatis. Pada sisi lain, orang yang suka dengan pengalaman-pengalaman baru condong menjadi liberal. Di samping itu, Jost juga menemukan bahwa kalangan konservatif lebih menyukai lukisan-lukisan, puisi-puisi dan nyanyian-nyanyian yang jelas, tidak abstrak, dan sederhana.

Berbeda dari Alford dkk, Jost tidak mencoba mengaitkan perilaku-perilaku personal tersebut dengan suatu gen spesifik seseorang. Dia menempatkan perilaku-perilaku tersebut dalam model-model kepribadian yang ada, misalnya model yang membagi kepribadian manusia dalam lima tipe, yakni:

1. Tipe hati-hati, cermat, penuh pertimbangan, peka pada suara hati (tipe "conscientiousness")
2. Tipe terbuka, mau maju, berubah dan berkembang (tipe "openness")
3. Tipe terarah keluar, mengarahkan tenaga, waktu, pikiran dan perhatian ke hal-hal lain di luar diri sendiri (tipe "extroversion")
4. Tipe peramah, mudah serasi, kooperatif, memahami orang lain, menyenangkan (tipe "agreeableness")
5. Tipe neurotisis, yakni orang yang serba takut, tak bisa bergaul, serba kaku, tak mampu beradaptasi, mudah stres, menyimpang dari norma-norma sosial yang umum (tipe "neuroticism")

Jost menemukan dari lima tipe kepribadian ini, tipe pertama hingga tipe ketiga memang berhubungan dengan perilaku politik. Tipe keempat dan tipe kelima kurang berdampak pada perilaku politik.

Tentu tipe-tipe kepribadian ini dapat diturunkan secara genetik. Dalam beberapa studi ditemukan ihwal sejauh mana seseorang dapat menjadi pribadi yang terbuka (tipe "openness") memang terkait dengan perbedaan-perbedaan genetik. Begitu juga, sifat mudah bergaul dan bersosialisasi dipengaruhi oleh hormon-hormon neurotransmitter dalam otak.

Berhubung hormon-hormon otak yang dialirkan ke seluruh tubuh ini terkait dan dikendalikan juga oleh gen-gen, maka tipe-tipe kepribadian, misalnya kepribadian yang terbuka, dus juga perilaku politik, dalam taraf-taraf tertentu dikendalikan oleh gen-gen. Tetapi ini belum menjelaskan semua persoalan.

Sebagaimana sudah diungkap di atas, ada faktor epigen juga yang bekerja saat seorang bunda mengandung. Jika di saat mengandung sang bunda ini mengalami banyak stres mental, hormon stres kortisol yang terproduksi dalam tubuh si bunda teralirkan ke dalam otak bayi yang sedang dikandungnya.

Kortisol sangat mengurangi kemampuan placenta untuk menyaring nutrisi dan zat-zat lain yang lewat sang bunda masuk ke tubuh si janin atau si bayi. Dalam placenta, karena stres si bunda, jumlah enzim 11 beta-HSD2 yang berfungsi untuk menghancurkan kortisol jauh berkurang. Akibatnya, hormon stres masuk ke otak si janin atau si bayi yang selanjutnya menghambat perkembangan otak si janin.

Alhasil, sudah ada epigen stres yang diwariskan ke si bayi lewat hormon, dan sifat personal mudah stres atau neurotis atau bahkan kelambanan kerja otak akan menjadi bagian dari kepribadian si bayi sejak dilahirkan dan seterusnya. Tapi dengan pengasuhan yang baik, penuh kasih sayang, dan kehidupan yang berlangsung dalam lingkungan yang bersahabat dan menopang, epigen stres ini tidak akan berpengaruh besar pada si bayi ketika dia tumbuh makin besar dan menjadi dewasa.

Hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa meski gen-gen berpengaruh dalam taraf-taraf tertentu pada kepribadian, atau bahwa setiap tipe kepribadian memiliki inti genetiknya, tapi faktor inti genetik ini bukan satu-satunya faktor yang menentukan pilihan politik seseorang.

Kita semua tentu sepakat bahwa pilihan politik hanya dapat kita ambil setelah kita tumbuh dewasa, dalam arti setelah kita memahami politik. Faktor genetik dari kepribadian kita yang berkaitan dengan pilihan politik baru aktif dan bekerja setelah kita tumbuh dewasa.

Juga jangan dilupakan bahwa sementara kita tumbuh dewasa dan makin matang, dan pengetahuan-pengetahuan dan informasi-informasi kita peroleh lebih banyak lewat pendidikan dan pergaulan dan bacaan-bacaan, kemungkinan untuk kita berubah sangat besar. Materi abu-abu otak kita makin besar volumenya.

Brad Verhulst, genetikus behavioris dari Universitas Commonwealth, Virginia, Amerika, bertanya "apakah kepribadian dan politik berhubungan kausal? Yang satu menjadi penyebab yang lainnya?" Verhulst menjawab bahwa "Suatu hubungan antara kepribadian dan kecenderungan politis adalah suatu hal yang sepenuhnya masuk akal untuk diharapkan."

Tapi dalam studinya yang melibatkan sampel 28.877 orang dari Daftar Kembar Mid-Atlantic (daftar yang dikenal sebagai Virginia 30.000 yang sudah dirujuk di atas) dan lewat studi lainnya yang berupa kajian longitudinal yang terpisah (yang mengobservasi lebih dari dari 8.000 kembar dan orang-orang yang sesaudara selama 10 tahun), Brad Verhulst tidak menemukan bukti adanya hubungan kausal antara pilihan politik dan kepribadian.

Sebaliknya, Verhulst menemukan hubungan dan jejaring yang jauh lebih rumit terkait pilihan-pilihan politik seseorang.

Ditemukan, pilihan-pilihan politik dan sifat-sifat kepribadian ditentukan bukan hanya oleh faktor genetik, tetapi lebih kuat oleh faktor-faktor lain yang berasal dari lingkungan kehidupan seseorang (dinamakan faktor-faktor environmental) yang sudah bekerja jauh lebih awal sebelum seseorang mengambil posisi politiknya, bersamaan dengan peran gen yang potensial (dus, belum pasti efektif) berpengaruh tahap demi tahap.

Dengan kata lain, politik, gen dan kepribadian dapat berhubungan. Tapi fakta bahwa seseorang itu liberal tidak otomatis membuatnya lebih toleran, sama halnya sifat toleran tidak otomatis berarti orangnya liberal sejati dan konsisten. Lingkungan ikut berperan kuat. Gaya hidup juga. Kesehatan tubuh dan mental juga memberi andil.

Dalam kajian Virginia 30.000, Verhulst menemukan bahwa sementara ada hubungan yang sedang-sedang saja antara sifat seseorang dan pilihan politiknya (misalnya, antara pandangan ekonomi yang konservatif dan kadar neurotisisme), namun tidak ada bukti yang memperlihatkan ada hubungan kausal antara keduanya.

Studi-studi genetik memang tricky, mudah mengecoh, berhubung kita cenderung berpendapat bahwa gen kita serba berkuasa dalam menjadikan siapa dan bagaimana kita secara fisik dan mental. Padahal tidak begitu.

Karena itu, Verhulst dan Peter Hatemi mencoba melakukan suatu kajian longitudinal, yakni dengan mengikuti kehidupan sekelompok orang dari waktu ke waktu, memetakan kecenderungan-kecenderungan politik dan kepribadian mereka, dan memantau dan melihat apakah jika kepribadian tumbuh dan berubah, pilihan politik juga akan berubah, dan sebaliknya.

Dalam studi longitudinal ini, dua peneliti itu memakai dua kelompok sampel. Yang pertama terdiri atas 7.610 kembaran dewasa dan orang seayah seibu yang berusia antara 19 dan 28 tahun di tahun 1980. Sampel kedua mencakup remaja muda yang terdiri dari 1.061 kembaran dan orang sesaudara, yang berumur antara 16 dan 19 tahun, di tahun 1998. Masing-masing kelompok orang ini diuji dalam dua gelombang, satu sama lain terpisah jarak 10 tahun.

Pada dua kelompok ini para peneliti  memperhatikan perilaku dan sifat kepribadian mereka dan perilaku dan posisi politik mereka (seperti pandangan mereka tentang aborsi, perkawinan sejenis, dan tanggapan-tanggapan mereka terhadap pernyataan-pernyataan seperti "Aku percaya bahwa kita harus mencari dan mengikuti sepenuhnya pemuka-pemuka agama kita dalam mengambil keputusan-keputusan moral.").

Apa yang mereka temukan?

Ternyata kepribadian orang-orang yang sedang diteliti terus-menerus bergeser dan berubah seiring perjalanan waktu, tidak dalam tingkat yang besar dan sekejap, tetapi jelas teramati dengan baik.

Ditemukan bahwa lambat-laun orang dapat berubah, entah makin tambah atau makin kurang ekstrovert, makin mudah atau makin sulit berkompromi, atau makin lebih berhati-hati dan berhatinurani atau malah makin ceroboh dan kehilangan nurani. Dalam hal-hal lain, kondisi mental yang  berubah positif atau yang berubah negatif juga ditemukan.

Tapi dalam perilaku politik, terpantau relatif lebih stabil baik di kalangan dewasa maupun di kalangan remaja. Orang yang konservatif sejak usia lebih muda cenderung tetap konservatif ketika usia bertambah.

Poin terpenting yang mereka temukan adalah ini: perubahan kepribadian tidak memprediksi perubahan posisi dan perilaku politik. Dus, Verhulst dan Hatemi menyimpulkan bahwa "sifat-sifat kepribadian dan perilaku politik adalah hal-hal yang tidak saling bergantung, satu sama lain mandiri, dari struktur bangunan arsitektural psikologi seseorang."

Meski mereka tidak menutup kemungkinan adanya korelasi antara sifat-sifat kepribadian dan sejumlah kepercayaan ideologis, mereka bertanya apa makna korelasi ini. Soalnya, kepribadian seseorang berperan di semua aspek kehidupan yang dijalani meskipun bukan satu-satunya faktor penentu.

Lantas mereka menyimpulkan bahwa "kami tidak menemukan bukti bahwa ciri dan sifat kepribadian memainkan peran kausal dalam pembentukan perilaku politik. Kalaupun ada korelasi ini, korelasinya tidaklah kausal langsung. Ada banyak faktor lain yang berperan."

Kesimpulan yang saya dapat tarik adalah:

1. Tidak ada hubungan kausal linier antara gen dan epigen dan sikap, perilaku dan posisi politik seseorang.
2. Artinya, tidak ada gen yang langsung bertanggungjawab atas, atau membentuk, perilaku liberal atau perilaku konservatif, atau sikap antisains atau sikap pro-sains, atau perilaku humanis atau perilaku antihumanis.
3. Instruksi genetik tidak otomatis akan efektif mencetak keseluruhan kondisi fisik dan mental setiap orang. Pengondisian genetik selalu berlangsung dalam interaksi dengan pengondisian oleh berbagai faktor eksternal seperti pendidikan, pengasuhan, lingkungan hidup, ekologi dan gaya hidup
4. Aneka ragam sifat dan pembawaan kepribadian yang terus berubah seiring dengan perjalanan waktu jelas ikut berpengaruh, dengan kadar yang berbeda, dalam seseorang mengambil posisi politik dan perilaku politiknya.
5. Selain ilmu politik yang sudah dikenal selama ini yang juga dikembangkan secara interdisipliner, sudah saatnya kini neuropolitik juga diperhitungkan dengan sungguh-sungguh dalam setiap usaha memahami dan memprediksi sikap dan perilaku politik seseorang.
6. Sikap, perilaku, posisi dan orientasi politik seseorang ada yang relatif bersifat menetap kendati usia makin bertambah, dan ada juga yang berubah karena adaptasi, penambahan pengetahuan dan informasi dan kesehatan otak yang makin baik.
7. Perilaku dan orientasi politik seseorang muncul sebagai interaksi dari banyak faktor, yang dapat berlangsung linier dan terprediksi, tapi juga dapat multilinier dan tidak terprediksi.
8. Akhirnya, setiap individu harus mempertanggungjawabkan sendiri dengan dewasa setiap sikap dan perilaku serta orientasi politik mereka. Gen atau otak atau lingkungan kehidupan tidak bisa dijadikan kambing-kambing hitam atas setiap sikap dan perilaku politik seseorang, apalagi yang destruktif, meskipun sikap dan perilaku politik muncul akibat pengondisian banyak faktor internal dan eksternal. Tanpa pengondisian, kehidupan individual yang bebas untuk memilih tidak pernah ada.

Jakarta,
Minggu, 14 Januari 2018

Ioanes Rakhmat


Catatan-catatan

/1/ Lihat John R. Alford, Carolyn L. Funk dan John R. Hibbing, "Are Political Orientations Genetically Transmitted", American Political Review vol. 99, no. 2, May 2005, pp. 153-167. Terpasang juga di https://www.cambridge.org/core/journals/american-political-science-review/article/are-political-orientations-genetically-transmitted/C6D3A60FBE6779C8E6E798600785A4C9.
John Alford dikutip juga dalam Jim Giles, "Are Political Leanings All in the Genes", New Scientists, 30 January 2008, https://www.newscientist.com/article/mg19726411-800-are-political-leanings-all-in-the-genes.

/2/ Lihat lebih lanjut John R. Alford, Carolyn L. Funk dan John R. Hibbing, "Twin Studies, Molecular Genetics, Politics, and Tolerance: A Response to Beckwith and Morris", Perspective on Politics, vol. 6, issue 04, Dec 2008, pp. 793-797.

/3/ Lihat Ingrid J. Haas, "Political Neuroscience", University of Nebraska, Lincoln, Political Science, 2016, https://digitalcommons.unl.edu/poliscifacpub/74/. Diterbitkan juga di Neuroimaging Personality, Social Cognition, and Character, edited by John R. Absher and Jasmine Cloutier (Academic/Elsevier, 2016), pp. 355-370.

/4/ Lebih lanjut lihat Katie McNally, "This Is Your Brain on Politics: The Neuroscience That Shapes Our Views", UVAToday, 2 March 2017, https://www.news.virginia.edu/content/your-brain-politics-neuroscience-shapes-our-views.

/5/ Lihat Rea Rodriguez-Raecke, Andreas Niemeier, Kristin Ihle, Wolfgang Reuther, Arne May, "Brain Gray Matter Decrease in Chronic Pain Is the Consequence and Not the Cause of Pain", The Journal of Neuroscience, 4 Nov 2009, vol. 29 (44), pp. 13746-13750.

/6/ Uraian selanjutnya disarikan dari Maria Konnikova, "Politics and Personality: Most of What You Read Is Malarkey", The New Yorker, 23 August 2016, https://www.newyorker.com/science/maria-konnikova/politics-and-personality-most-of-what-you-read-is-malarkey. Lihat juga Josh Hill, "Are You Conservative or Liberal? Your Political Preferences Might be Hard-Wired", The Daily Galaxy, 11 Feb 2008, http://www.dailygalaxy.com/my_weblog/2008/02/are-political-a.html.



Tuesday, January 9, 2018

Cari jodoh, nikah, lalu cerai. Urusan siapa?

ADA YANG TANYA SAYA:
Wujud cinta terbesar apa? 

JAWAB SAYA: 
mengampuni orang yang bersalah ke kita, meski dia belum minta maaf; merangkul dan memeluknya kembali ketika dia datang dan meminta maaf ke kita; lalu jalan bersama lagi dalam suatu kehidupan bersama yang lebih diperkuat.
☆ Ioanes Rakhmat


Pilih-pilih jodoh, lalu nikah, ya ini urusan dan  keputusan si pasangan manusia yang menikah itu sendiri. Masak urusan dan keputusan Tuhan? Yang mau nikah siapa? Kan anda.

Manusia itu, meskipun organisme cerdas, rentan berpikir salah, atau lupa, atau rentan menyangkal dan menolak pikirannya sendiri yang sebetulnya sudah benar. Akibatnya, kita semua rentan mengambil keputusan dan sikap yang salah. Dalam hal teman hidup, kita rentan salah dalam menjatuhkan pilihan. Atau si pria A dipaksa menikahi si wanita B karena si B ini sudah dihamili oleh si A meskipun cinta sejati si A ditujukan ke si D yang juga jadi ikut patah hati.

Atau anda diharuskan nikah oleh orangtua anda dengan pasangan yang anda tak cintai sedikitpun karena orangtua anda ingin meraih manfaat ekonomis atau manfaat politis dari perkawinan anda. Anda tak kuasa melawan. Pesta nikah anda besar-besaran. Pernikahan anda diberkati di gereja dalam suatu ibadah yang di dalamnya anda diwajibkan bersama pasangan anda mengucapkan janji setia seumur kehidupan anda. Dengan hambar saja anda ucapkan janji setia itu.

Tentu saja masih banyak kejadian lain yang tragis terkait pilihan pasangan hidup yang tidak sesuai dengan isi hati dan pikiran pasangan yang menikah.

Nah dalam kasus-kasus di atas, apakah Tuhan yang salah? Ya tidak. Apakah Tuhan yang mutlak menentukan jodoh anda, satu orang dan satu kali untuk selamanya? Ya tidak. Lantas siapa? Ya anda sendiri penentu jodoh anda, bisa mandiri jika anda kreatif, bisa juga lewat bantuan orang lain atau bantuan suatu biro jodoh jika anda tidak kreatif. Mencari dan menemukan jodoh, adalah suatu seni kreatif.


Rumah tangga bermasalah berat, tambal-sulam tak menolong, lalu berantakan. Pasangan memutuskan cerai. Ya cerai juga buatan si pasangan manusia. Masak harus  keputusan dan buatan Tuhan?

Kata orang saleh, apa yang sudah dipersatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan manusia.

Kalau memang begitu, mustinya tidak ada satupun pernikahan orang saleh yang tidak berbahagia, yang berantakan, lalu karam, pecah berhamburan. Jika karam, artinya kan Tuhan tidak berdaya menjaga keutuhan dan kebahagiaan langgeng suatu pernikahan pasangan yang Tuhan sudah persatukan. Artinya, jika karam, bukan si pasangan manusia yang salah, tapi Tuhan yang salah. Masak begitu?

Atau, supaya tidak ada perceraian, semua pernikahan harus dibuat Tuhan serba sempurna! Ah anda ngelindur! Anda mulai ngatur-ngatur Tuhan.

Pernikahan anda sendiri, sorga atau neraka? Jawablah dengan jujur. Jika neraka, apakah anda tidak boleh keluar, meninggalkan neraka itu? Saya tak yakin, anda akan punya daya tahan untuk hidup abadi dalam panggangan api neraka rumah tangga anda. Atau, anda sosok Iron Man?

Lagipula, tak ada UU negara yang berhukum positif yang melarang perceraian jika sang hakim dll di pengadilan gagal mendamaikan dan merujukkan kembali pasangan yang mau bercerai lewat proses hukum.

Jika semua-muanya dikembalikan ke Tuhan, loh apa gunanya manusia diberi Tuhan kemampuan berpikir, menimbang-nimbang lalu mengambil keputusan?

Neokorteks pada lapisan terluar terbesar otak anda itu (juga ada pada Kera-kera Besar, gajah, dan lumba-lumba) bukan sebuah fosil purba. Neokorteks inilah yang membuat anda mampu berpikir rasional, bernalar, menimbang-nimbang lalu mengambil keputusan. Siapa pemberi neokorteks ini? Ya Tuhan, masak setan?

Ingatlah, sekalipun otak kita punya neokorteks, kita tetap rentan salah dalam banyak hal. Pikiran kita bukan pikiran Tuhan, tapi tetap pikiran kita sendiri. Jangan sekali-kali berpikir bahwa anda sudah menjadi Tuhan atau pikiran anda pikiran Tuhan yang tidak bisa salah. Tak ada sesuatu hal lain apapun yang mahatakterbatas dan mahatahu, kecuali Sang Mahatakterbatas dan Sang Mahatahu itu sendiri, yaitu Tuhan.

Karena kita bukan Tuhan yang tidak bisa salah, tak pelak lagi kita perlu selalu siap mengoreksi dan mengubah pendapat-pendapat, pandangan-pandangan, harapan-harapan, keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap serta keputusan-keputusan kita, jika fakta-fakta dan bukti-bukti dan kondisi-kondisi kehidupan kita mengharuskan.

Tetapi kesiapan mengubah dan berubah ini semua bisa tidak ada dalam diri anda jika anda sudah diikat kaku dan kuat oleh iman dan keyakinan keagamaan anda yang anda absolutkan.

Jika hidup beriman anda kaku dan kejang begitu semacam yang telah saya gambarkan di atas, pasti gak enak betul, karena anda hidup dalam penjara iman anda. Padahal, iman itu seharusnya membebaskan anda untuk hidup otentik, cerdas dan dewasa, bukan hidup penuh kemunafikan, tak berakal dan kekanak-kanakan.

Jodoh itu anda cari dan pilih di Bumi, bukan diturunkan dari langit.

Anda tidak mungkin mendadak kejatuhan dari sorga satu sosok malaikat yang luar biasa tampan atau super cantik dan maha sempurna ke dalam pelukan anda. Kalau ini terjadi, ya hanya dalam dongeng-dongeng kasmaran.

untuk mama dan papaku!

Menikah itu ibarat menempuh perjalanan panjang, meniti sebuah jembatan gantung yang selalu dihembus angin, yang menghubungkan dua puncak gunung yang berjauhan. Pasangan suami-isteri, bukan Tuhan, yang harus meniti jembatan gantung yang tinggi dan panjang ini. Caranya, ya terserah masing-masing pasangan bersama-sama.

Ingat, jika meniti bersama, bergandengan tangan, saling menjaga, diikat cinta kasih tanpa batas, sederap, barulah jembatan gantung yang panjang dan tinggi dan bergoyang itu akan dapat dilewati bersama dengan perjuangan berat. Ini pernikahan ideal. Tapi realitas tidak selalu begitu.

Jika ada banyak pasangan suami-isteri sampai akhirnya memutuskan cerai, itulah realitas. Cinta kasih tanpa batas, ada di mana? Saya tak tahu jawabnya. Tapi ada suatu ungkapan metaforis yang bagus: Tuhan itu cinta, God is love. Apakah cinta Tuhan yang tanpa batas ini real dialami semua orang? Ya anda sudah tahu jawabannya.

Dalam diri saya, tentu ada cinta, sebagai benih yang terus tumbuh, tumbuhnya perlahan dan tidak pernah selesai, selalu terbatas sekaligus selalu berkembang. Jatuh bangun, bangun jatuh, tapi bergerak ke depan, meniti jembatan gantung itu, baru seperempat jalan. Banyak juga pasangan yang sudah berhasil mencapai tiga perempat jalan.


Tapi banyak juga pasangan yang terjungkal begitu mulai atau tak lama setelah meniti jembatan gantung ini, jatuh melayang ke dalam lembah kelam jauh di bawah, tak kuasa melawan forsa gravitasi. JATUH CINTA itu elok, suatu awal yang, jika berbalas, dapat bermuara pada  suatu perkawinan. Tapi, CINTA JATUH itu tidak elok, karena pasti menghancurkan suatu ikatan perkawinan. Tapi, forsa gravitasi tidak ikut campur baik dalam hal jatuh cinta maupun dalam hal cinta jatuh.

Jadi, dalam soal mabuk kasmaran, atau dalam hal badai cinta jatuh lalu cerai, jangan salahkan gravitasi atau cari-cari kesalahan lewat dalil-dalil lain.

Tak perlulah anda stres dan geram lalu buat petisi segala untuk mencegah suatu rencana perceraian orang lain. Ingat loh, yang mau cerai itu orang lain, bukan bagian keluarga anda. Sekalipun kitab suci anda sama, anda bukan orang dalam. Anda orang luar.

Bukankah kata anda, kalau Tuhan sudah mempersatukan, tak ada yang dapat menceraikan? Jika anda konsisten, ya serahkan saja urusannya kepada Tuhan. Gak perlu bikin keramaian. Sunyi dan hening itu indah dan nikmat.

Jakarta, 9 Jan 2018
ioanes rakhmat