Thursday, December 4, 2014

Burung dalam sangkar!



Berbahagiakah mereka berdua?


Apakah sekarang ini anda hidup bak seekor burung dalam sangkar, terkerangkeng oleh berbagai hal yang menghalangi anda untuk terbang bebas di angkasa?

Banyak hal yang kerap memenjara manusia, batin dan akal manusia khususnya, misalnya doktrin-doktrin agama yang keras dan sudah beku, ideologi-ideologi, pemujaan kekayaan, ketamakan, rasa haus kekuasaan, kebebasan yang tak bermoral, keakuan tanpa batas, dan masih banyak lagi.

Tetapi, sangkar terkuat yang sering mengurung seseorang adalah pikirannya sendiri yang dianggapnya sudah final.

Jika seekor burung dikurung dalam sangkarnya, sang burung akan mati perlahan-lahan sebelum dia mengecap kebebasan untuk terbang dengan merdeka dan riang di angkasa. Hidup sang burung ini sangat memedihkan jiwa.




Banyak usaha kini sedang dilakukan untuk mencegah berbagai jenis burung punah. Usaha ini harus didukung, tetapi tentu saja bukan dengan cara mengurung burung-burung dalam sangkar sempit yang akan membunuh mereka perlahan-lahan.

Lagu “Burung dalam Sangkar” berikut ini memedihkan dan memporakporandakan jiwa dan hati para pendengarnya. Ini liriknya:

Wahai kau burung dalam sangkar
sungguh nasibmu malang benar
tak seorangpun ambil tahu
duka dan lara dihatimu

Reff:
Wahai kau burung dalam sangkar
dapatkah kau menahan siksa
dari kekejaman dunia
yang tak tahu menimbang rasa

Batinmu nangis hati patah
riwayat tertulis penuh dengan
tetesan air mata

Sungguh ini satu ujian
tetapi hendaklah kau bersabar
jujurlah kepada Tuhan

Saya belum tahu pasti siapa pencipta lagu dukkha ini, apakah Koes Plus, ataukah May Sumarna yang dilantunkan oleh Emillia Contessa. Kalau ada teman yang tahu, siapa pencipta sebenarnya dan pada tahun berapa, tolong infokan ke saya. Saya juga tidak tahu siapa yang dimaksud dengan “burung dalam sangkar” dalam lagu ini.

Ada seseorang yang baik hati, tak saya kenal, muncul cuma sekali. Dia memberitahu saya bahwa aslinya lagu Burung dalam Sangkar diciptakan oleh seorang Malaysia yang bernama Ahmat Wan Yet, dan dinyanyikan oleh Abdullah Chik di tahun 1959 dalam film Korban Fitnah. Semoga info ini benar. Kalau salah, ya nanti akan saya perbaiki.

Jika anda tahan rasa pedih dan dukkha, nikmatilah lagu ini yang dinyanyikan Emillia Contessa di youtube ini http://youtu.be/P9CRbvJNDSk.




Jika anda adalah sang burung dalam lagu itu, segeralah buka pintu sangkar anda, sekuat tenaga, lalu keluarlah dan terbanglah. Hirup udara bebas. Jangan kembali lagi ke dalam sangkar penjerat itu!

Sekarang, hayatilah puisi saya ini, yang dapat membantu anda untuk membebaskan diri dari sangkar apapun yang sedang mengurung anda dalam duka nestapa atau kedamaian yang palsu.

KELUARLAH DAN TERBANGLAH!

Burung-burung ingin terbang bebas dan liar
Tapi manusia jahat menangkapi mereka
Lalu mengurung mereka dalam sangkar
Akhirnya matilah mereka karena tekanan jiwa

Angkasa luas membuat jiwa lapang
Sangkar-sangkar sempit menekan sukma
Mereka ingin keluar dari sangkar pengekang
Tapi mereka tak punya daya dan tenaga

Makanan dan air disediakan si empunya
Tapi kebebasan mereka telah direnggut
Selera makan mereka tak punya
Selera minum pun telah dibawa air hanyut

Jiwa dan tubuh makin lemah tersayat
Mata terus terkatup makin sipit dan rapat
Berdiri dan berjalan pun tak lagi kuat
Akhirnya mati teronggok sebagai mayat

Tak ada madah perkabungan dilantunkan
Si empunya mengambil bangkai si burung malang
Dibuang begitu saja ke tong sampah di halaman
Hanya siul indah si burung masih mengiang

Oh, oh nasibmu sang burung yang malang!
Pedih, perih, memilukan hati dan sanubari
Dari zaman ke zaman terus berulang
Kapankah engkau jadi raja buat dirimu sendiri?

Wahai burung-burung, hiburlah dirimu sendiri!
Banyak manusia malang juga sedang terkurung
Oleh sangkar-sangkar yang mereka buat sendiri
Sampai ajal mereka terus terkurung

Uang mengikat kuat tubuh selamanya
Kekuasaan mengurung pikiran dan jiwa
Ketamakan memborgol pikiran bulat-bulat
Keakuan membui kuat dan rapat

Tapi kawan, dengarlah ucapanku ini!
Sangkar terkuat adalah pikiranmu sendiri
Saat engkau menganggap pikiranmu sudah final
Tidak bisa lagi selamanya diubah dan disoal

Kau yang cerdas menjadi pandir dan dungu
Saat engkau gigih dan ngotot mempercayai
Pikiranmu tak bisa salah dan tak bisa keliru
Seolah engkau adalah sang Tuhan sendiri

Padahal Tuhan itu sendiri sebuah teka-teki besar
Mengundang orang bersoal dan menduga-duga
Untuk memecahkan teka-teki itu tanpa gentar
Tawa, canda dan guyon meramaikan suasana

Temukan di mana dirimu tersangkar
Hancurkan, remukkan sangkar itu sekuat tenaga
Keluarlah dan terbanglah bebas ke angkasa luar
Sekarang! Karena hidupmu sebentar saja! 

Nah, kini terbanglah dengan riang. Hidup ini hanya sebentar. Belum apa-apa, waktu anda sudah habis! Akan cepat berlalu. Jangan menunda lagi. Jangan sedih lagi. Jangan murung lagi. Rianglah! Bebaslah! Terbanglah menembus langit tanpa batas!


Jakarta, 4-12-2014

Diedit mutakhir 
26 Feb 2020
25 September 2021




Tuesday, December 2, 2014

Bagaimana rupa wajah Yesus yang sebenarnya? Bule atau berkulit coklat hitam?

Diedit 
01 September 2021
16 Juli 2024


Menurut anda bagaimana rupa wajah Yesus yang sebenarnya?

Pertanyaan itu penting berhubung kita tidak mempunyai lukisan wajah Yesus langsung yang dibuat pada masa kehidupan-Nya di abad pertama. Juga tidak ada deskripsi tentang rupa wajah Yesus yang ditulis oleh saksi-saksi mata.




Di atas ini adalah gambar wajah Yesus yang kita umumnya kenali, dan sangat sulit atau tak bisa kita lepaskan dalam bayangan mental kita ketika kita berdoa memanggil nama-Nya berhubung kita sudah sangat lama terkondisikan begitu. Sumber gambar: wallpaperaccess.com

Apakah Yesus itu sosok yang berkulit putih, berambut panjang pirang dan berombak, berbiji mata biru, berjanggut dan berkumis tebal, seperti misalnya tampak pada gambar di atas, yang mungkin dipajang pada dinding kamar belajar anda?

Aah, itu adalah wajah Yesus dari para pelukis Zaman Barok (Renaissance) di Eropa (abad 14 sampai abad 16), yang mula-mula merupakan salah satu dari sekian lukisan wajah Ceasare Borgia, seorang putera berkepribadian buruk dari Paus Aleksander VI (dikenal juga sebagai Rodrigo Borgia) (1431-1503).



Ceasare Borgia yang wajahnya dijadikan model wajah Yesus Zaman Barok


Wajah Ceasare Borgia ini dilukis oleh Michelangelo Buonarroti dan Leonardo da Vinci atas permintaan ayahnya pada tahun 1492 (menurut sebuah catatan Aleksandre Dumes, Celebrated Crimes, jilid I). Loh, jika memang begitu, lantas wajah Yesus yang sebenarnya bagaimana? Ya, tentu anda penasaran, dan juga saya. 

Namun tak sedikit peneliti yang menarik suatu kesimpulan bahwa wajah Yesus model Zaman Barok sebetulnya diambil dari wajah suatu dewa Mesir, yang bernama Serapis, yang dipandang mempunyai fitur-fitur gabungan dewa-dewa Mesir dan dewa-dewa Yunani. 

Pemodelan wajah Serapis sebagai wajah Yesus Kristus sudah terjadi jauh sebelum Zaman Barok, yakni ketika Kaisar Konstantinus Agung berkuasa (abad ke-4 M) dan menetapkan wajah Dewa Serapis sebagai wajah Yesus sang Kristus. Tentu, dalam hal ini, motif sang Kaisar adalah gabungan motif politik dan motif keagamaan lewat sinkretisme simbol-simbol religiopolitik, untuk mengonsolidasi kekaisarannya.


 
Wajah Dewa Serapis yang menjadi model wajah Yesus Kristus sejak abad ke-4 M


Sekarang kita masuk ke suatu usaha merekonstruksi wajah Yesus dengan memakai sains dan teknologi modern. 

Patung 3-Dimensi kepala dan wajah seorang laki-laki di bawah ini tentu tidak anda kenal, bukan? Perhatikanlah: dia berwajah lebar, berhidung besar, berkulit gelap sawo matang dan sedikit hitam, atau coklat kekuningan, berambut tebal, pendek, berkeriting kusut dan berwarna hitam, kedua biji matanya berwarna coklat, berkumis dan berjenggot tebal, dan berewokan.

Anda perlu tahu, patung ini adalah sebuah patung kepala Yesus orang Nazareth yang dirancangbangun dengan suatu metode ilmiah oleh sebuah tim yang ditugaskan oleh TV BBC London dengan memakai bukti-bukti medis forensik, arkeologis, geografis dan artistik yang diperoleh dari abad pertama Masehi, masa kehidupan Yesus sendiri. 

Potret wajah Yesus ini dipublikasi pertama kali secara khusus pada suatu acara tayangan TV BBC selama musim Paskah 2001. Ini tayangan serial yang terdiri atas 3 bagian, yang diberi judul Son of God. Tayangan perdana dimulai Minggu, 25 Maret 2001./1/




Gambar 1: Wajah Yesus menurut tim ilmuwan BBC. Ganteng dan teguh!


Bentuk dan volume tengkorak patung ini dirancang dengan memakai sebuah model dari sebuah tengkorak laki-laki yang ditemukan di Israel, yang berasal dari abad pertama. 

Hal itu harus dilakukan sebab, seperti dijelaskan oleh tim BBC itu, “Kepala orang-orang Yahudi pada masa kini berbeda dari kepala mereka pada 2000 tahun lalu; karena itulah tim kami mencari sebuah tengkorak seorang laki-laki Yahudi dari masa kehidupan Yesus.”

Selain itu, tim BBC juga mempelajari dengan cermat wajah-wajah orang Yahudi pada abad pertama.

Pengonstruksian patung kepala sosok Yesus orang Nazareth ini sendiri ditangani oleh seorang seniman medis forensik Richard Neave dari Universitas Manchester. Setelah semua tahap riset keilmuan dijalankan, wajah Yesus tim BBC dihasilkan lewat komputer. Tim BBC menyatakan, potret wajah Yesus yang mereka hasilkan adalah potret wajah pertama yang true-to-life.

Salah seorang anggota tim BBC itu, Joe Zias, seorang arkeolog Israel, menyatakan,

“Dalam merekonstruksi kepala ini, kami tidak mengklaim bahwa inilah persisnya wajah Yesus; tetapi kami mencoba untuk menyingkirkan semua citra buruk sekian banyak figur Yesus yang bukan-bukan, yang dilukiskan berambut pirang, bermata biru, yang menjadi ciri produk-produk Hollywood.” 

Jeremy Brown, presenter tayangan Son of God ini, berkomentar, “Yesus bukanlah seorang yang berambut pirang dan bermata biru, seperti yang sangat sering digambarkan dalam kartu-kartu Paskah. Citra yang kami telah bangun jauh lebih realistik.”

Ya, kita perlu menyatakan bahwa wajah Yesus yang dihasilkan tim BBC itu juga suatu tafsiran. Suatu tafsiran rekonstruktif lintaskeilmuan, bukan suatu tafsiran teologis.

Dr. Mark Goodacre, pakar Perjanjian Baru dari Universitas Birmingham, yang terlibat dalam usaha keilmuan tim BBC untuk merekonstruksi tengkorak pria Timur Tengah dari abad pertama, mengatakan bahwa “hal yang termudah ditentukan adalah rambut Yesus. Ada suatu rujukan dalam suatu surat Paulus yang menyatakan adalah sesuatu yang tidak pantas jika seorang lelaki memelihara rambut panjang. Jadi tampaknya lumayan pasti bahwa di masa itu kaum pria haruslah memiliki rambut yang pendek yang dapat diterima umum. Gambaran-gambaran tradisional tentang Yesus yang memiliki rambut panjang berwarna emas yang berombak sangat mungkin tidak akurat.”

Ihwal tentang warna kulit Yesus lebih sulit ditentukan. Goodacre menyatakan bahwa “tampaknya bagi kita adalah bahwa Yesus memiliki kulit berwarna yang relatif gelap. Memakai ungkapan masa kini, aku pikir, hal yang paling aman adalah membicarakan Yesus sebagai 'seorang kulit berwarna'. Mungkin sekali ini berarti Yesus adalah seorang lelaki yang kulitnya berwarna coklat kekuningan.”/2/

Kalau ditelusuri ke belakang, ternyata gambar-gambar atau ikon-ikon wajah Yesus yang bukan gambar-gambar dari Zaman Barok cukup banyak tersedia, yang memperlihatkan Yesus bukan seorang kulit putih, berambut pirang dan bermata biru. 

Perhatikanlah beberapa gambar atau ikon dan patung di bawah ini, yang lebih mirip dengan gambar patung kepala Yesus orang Nazareth yang dihasilkan tim BBC di atas.



Gambar 2. Kristus Pantokrator. Credit: Hardscarf (CC BY-NC-SA). Dipublikasi 21 November 2013. Sumber image Worldhistory.org.


Nah, gambar 2 di atas adalah ikon tertua dari abad ke-6 M, sejauh diketahui, yang masih ada, yang menampilkan Yesus sebagai Khristos Pantokratōr atau Kristus sang Penguasa Segalanya atau Kristus Mahakuasa, sebagai suatu konsep teologis Gereja Ortodoks Timur atau Gereja Katolik Timur. Di Gereja Barat atau Katolisisme Latin, ikon ekuivalennya dinamakan Kristus dalam Kemuliaan (“Christ in Majesty”). Dalam Septuaginta (LXX), gelar Pantokrator dipakai untuk menerjemahkan nama Allah dalam bahasa Ibrani (YHWH Tsabaoth atau TUHAN semesta alam, atau El Shaddai atau Allah Mahakuasa).

Ikon Kristus Pantokrator di atas, yang kini ditempatkan dalam Biara Santa Khaterina, Mesir, memperlihatkan wajah Yesus Kristus yang berbeda dari ikon zaman Barok, dan lebih dekat ke ikon yang dihasilkan tim BBC. Meski masih terlihat sedikit rambut yang berwarna kecoklatan, namun nyaris keseluruhan rambut Yesus dan kumis serta jenggotnya berwarna hitam. Biji kedua matanya berwarna coklat, bukan biru. Tangan kirinya mendekap kitab suci gereja, dan tangan kanannya menunjukkan sang Kristus yang sedang mengajar dan memberkati.



Gambar 3


Wajah Yesus berkulit gelap kehitaman dengan sepasang mata hitam di atas ini berasal dari sebuah gereja di Roma, dari kurun tahun 530 M. Gambar ini sama sekali tidak mirip dengan gambar wajah Yesus Zaman Barok manapun yang dilukis jauh lebih kemudian.



Gambar 4


Patung seorang perempuan di atas ini terkenal sebagai Black Madonna, Bunda Maria Hitam, yang sedang memangku kanak-kanak Yesus yang tentu saja juga berkulit hitam. 

Patung itu bukanlah patung-patung yang dibangun di zaman modern untuk mempropagandakan Teologi Hitam sebagaimana dihayati banyak orang Kristen kulit hitam di Afrika maupun di Amerika Utara oleh orang-orang Amerika kulit hitam modern. 

Patung-patung Madonna Hitam semacam ini, ada yang dibuat dari kayu dan ada juga yang dari batu, jumlahnya sampai lima atau enam ratusan dan dibuat pra-zaman Barok, pada zaman Abad Pertengahan (abad ke-11 sampai abad ke-15), dan sekarang ini tersebar di banyak gereja, kuil, tempat suci dan museum di banyak kota di Eropa Barat, mula-mula dibuat di Italia pada abad ke-13 atau abad ke-14. 

Mengapa keduanya berkulit hitam? Salah satu penjelasan yang paling masuk akal, sebagaimana dipertahankan banyak peneliti, adalah bahwa Black Madonna menampilkan warna kulit yang sebenarnya dari Bunda Maria dan puteranya, Yesus.



Gambar 5


Perhatikan raut wajah Yesus dari Ethiopia abad ke-17 atau abad ke-18 pada gambar di atas ini. Kulit wajahnya berwarna sawo matang, dengan rambutnya hitam kelam tebal dan sepasang biji matanya berwarna hitam. Wajah Yesus Ethiopia abad ke-17 ini sama sekali tidak mirip dengan wajah bule Yesus Zaman Barok.



Gambar 6


Di atas ini adalah sebuah lukisan wajah Yesus berkulit gelap, berambut hitam tebal kusut dan bermata hitam, dari tahun 1960. Wajahnya hampir serupa dengan wajah Yesus yang dibangun oleh tim BBC di atas. 

Apa kesimpulan yang bisa ditarik? 

Ya, tidak lain, bahwa wajah Yesus berkulit putih, berambut pirang panjang dan bermata biru, Yesus Zaman Barok, bukanlah wajah asli Yesus orang Nazareth. Dan, tentu saja, orang Kristen yang sudah terbiasa berpaling ke Eropa untuk mencari sumber-sumber kekayaan ikonografis, dogmatis dan spiritual mereka akan sangat tidak menyukai sang Yesus yang berkulit gelap sawo matang, berambut hitam pekat, pendek dan agak kusut, serta berbijimata coklat, seperti yang telah berhasil direkonstruksi oleh tim BBC. 

Bagi orang-orang Kristen ortodoks Eropa, termasuk orang-orang Kristen ortodoks Indonesia, Yesus dari tim BBC ini sungguh tidak membahagiakan, sungguh suatu ajaran yang heterodoks dan karenanya patut ditolak. 

Yesus heterodoks dari tim BBC ini sangat membuat mereka merasa diserang dan dilukai.
 Persis sama dengan perasaan orang-orang Farisi ketika mereka melihat Yesus orang Nazareth sedang duduk dan makan semeja dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa, padahal sang rabi informal ini boleh dikata sama pekerjaannya dengan mereka sebagai guru-guru masyarakat. 

Tetapi, orang harus tidak boleh lupa, di dalam heterodoksi terdapat juga kebenaran yang malah sering lebih kentara, ketimbang yang ada di dalam ortodoksi. 

Pujangga yang juga dikenal sebagai penulis dan filsuf kebangsaan Inggris, G. K. Chesterton (1874-1936), berkata, 

“Filsuf modern mengatakan kepadaku berulang-ulang bahwa aku berada di tempat yang benar, namun aku tetap merasa sangat tertekan sekalipun diam-diam aku setuju. Tapi ketika sebelumnya aku mendengar bahwa aku berada di tempat yang salah, malah jiwaku bernyanyi gembira bak seekor burung di musim semi.” 

Jadi, berbahagialah dan bergembiralah mereka yang berani heterodoks dengan terpelajar! Kata benda heterodoksi berarti ajaran yang berbeda, yang lain, perspektif lain. Makin banyak perspektif yang diambil terhadap sesuatu, semakin kita diperkaya, semakin kita terkesan. Warna-warni itu indah, dan alamiah.

Lalu, apa makna rekonstruksi ilmiah wajah asli Yesus itu bagi saya, dan bagi anda juga?

Bagi saya, temuan ini membuat saya berbahagia sebab telah ditunjukkan kepada kita bahwa Yesus orang Nazareth ternyata adalah bagian dari umat manusia yang memiliki kulit berwarna, seperti kulit saya, bukan bagian dari mereka yang berkulit putih.

Kenyataan ini bisa meningkatkan penghayatan persekutuan kita masing-masing dengan sang Tuhan gereja ini. Yesus ternyata bukan orang Barat, tapi orang berkulit sawo matang, dengan wajah non-Barat. 

Anda yang menjadi kecewa dengan wajah sebenarnya Yesus (keluh anda, “Kok wajah Yesus begitu ya!”) mungkin sekali akan menghibur diri; kata anda, “Wajah tidak penting. Yang penting adalah ajaran-ajaran Yesus!” 

OK, ajaran-ajaran Yesus tentu penting. Tapi bagi saya, mengetahui wajah Yesus dan ajaran-ajaran Yesus, sama-sama menarik dan signifikan. Ajaran bisa diekspresikan lewat gambar wajah, dan wajah juga menyimpan banyak pesan dan makna.




Beranekaragam wajah Yesus terus dilukis, karena Yesus Kristus itu Tuhan yang hidup, yang selalu mengelak jika ada kalangan yang mau menguasai-Nya. Kolase tafsiran wajah Yesus di atas dihasilkan oleh Project Odessa Life. Sumber gambar: stjameswh.org.


Ini hanya bisa dialami dalam gereja-gereja Kristen, yang sama sekali tidak melarang warga mereka untuk menggambar wajah-wajah Yesus yang beranekaragam, sejalan dengan kemajemukan watak, ciri dan sistem sosiokultural and sosioantropologis yang di dalamnya perenungan-perenungan tentang siapa dan bagaimana sosok Yesus itu dilakukan dengan serius. 

Wajah Yesus yang sebenarnya kini untuk pertama kalinya, lewat rekonstruksi ilmiah, berhasil diketahui, sampai kita nanti mendapatkan sebuah rekonstruksi lain hasil kajian tim-tim yang lain. 

Mengenal dan menjumpai Yesus, sesungguhnya tidak pernah selesai. Setelah bertemu Yesus dan hidup di dalam-Nya, suatu saat nanti kita dapat berjumpa Dia kembali, dari sudut pandang yang baru, untuk pertama kalinya./3/ 

Yesus tidak bisa dikuasai siapapun. Yesus selalu mengelak, “elusive”, ketika siapapun mau menyimpan-Nya dalam saku atau celengan sendiri. He is the Living Lord! The Living Word.

Tapi, hemat saya, sejauh yang dipakai adalah ilmu pengetahuan dan metode ilmiah, hasil-hasil rekonstruksi wajah asli Yesus oleh siapapun tidak akan berbeda jauh satu sama lain. 

Hanya ada satu wajah asli sosok Yesus orang Nazareth, tetapi ada banyak dan beranekaragam perenungan tentang siapa dan bagaimana sosok Yesus sang Kristus, yang dengan dinamis terus dilakukan dari zaman ke zaman, dan dari tempat ke tempat. Yesus yang satu, melahirkan empat kitab injil yang berbeda dalam Perjanjian Baru. Ini sudah terjadi di abad pertama M (antara tahun 70 hingga tahun 95). Apalagi sampai abad ke-21.

Hanya ada satu sosok Yesus sejarah, tetapi ada banyak perenungan dan kepercayaan tentang siapa dan bagaimana Yesus itu bagi orang yang hidup di zaman-zaman lain dan di tempat-tempat yang berbeda, dengan kebudayaan dan alam pemikiran yang tentu saja juga berlain-lainan. 

Perenungan dan kepercayaan ini kita namakan kristologi atau doktrin atau ajaran atau dogma tentang siapa dan bagaimana Yesus ketika sosok historis ini sudah tidak ada dalam dunia, tetapi tetap disembah dalam gereja-gereja sebagai sang Kristus dan Tuhan. Fakta ini biasa diungkap begini: There is only one historical Jesus, but there are so many Christs of faith! Hanya ada satu sosok Yesus dalam sejarah, tetapi ada begitu banyak Kristus yang menjadi isi kepercayaan gereja!

Kok bisa begitu? Ya karena satu sosok Yesus orang Nazareth ditafsir dan ditafsir, direnungi dan direnungi, terus-menerus, dari bermacam-macam perspektif, sejak Yesus hidup bersama para pengikut-Nya di abad pertama hingga abad ke-21, dan seterusnya.

Kristologi-kristologi tidak akan berakhir dicari dan diartikulasikan, lewat banyak tulisan, banyak syahadat, dan lewat gambar-gambar, ikon-ikon, madah-madah, puisi-puisi, novel-novel, dan patung-patung yang terus disusun dan diciptakan! 

Di saat kristologi-kristologi dirancang dan dibangun, dan bersamaan dengan itu wajah-wajah Yesus dengan imajinatif digambar untuk keperluan-keperluan kontekstualisasi kristologi, maka seni dan kristologi pun menyatu, melahirkan keindahan dan spiritualitas yang artistik, spiritualitas yang puitis! A poetic spirituality.

Pelukis dan pemahat patung terkenal Pablo Picasso melihat tujuan “seni adalah mencuci bersih debu-debu dari kehidupan jiwa kita sehari-hari.”/4/ Jadi, wajah-wajah Yesus yang dilukis, ketika dihayati, diresapi dan diapresiasi, mampu membersihkan debu-debu kotor dari kehidupan kita setiap hari.

Selain itu, ingatlah, kristologi adalah meditasi, perenungan dan pengagungan sosok Yesus Kristus, bukan sejarah meskipun berfondasi pada sosok faktual Yesus orang Nazareth yang pernah hidup dalam sejarah, di abad pertama Masehi di Tanah Yahudi yang sedang dijajah Imperium Romawi.  

Semua orang Kristen diberi kebebasan untuk merumuskan sendiri kristologi masing-masing. Dalam hal ini, kekristenan sudah dewasa. Dalam dunia ini, kekristenan itu tidak cuma satu, tetapi banyak. Hanya orang yang mempertuhan diri mereka sendiri akan ngotot menyatakan bahwa kekristenan ada cuma satu, yaitu kekristenan versi mereka.

Supaya kristologi yang dihasilkan sehat dan bertanggungjawab, tidak serampangan dan hanya untuk melayani kepentingan dan ketamakan diri sendiri, tentu ada sejumlah kriteria yang perlu dipenuhi. Tentang kriteria kristologis ini, sudah pernah saya tulis juga. 

Aah, untuk ketamakan diri sendiri? Ya, ada kristologi yang dibangun untuk melegitimasi dan memuaskan kerakusan manusia terhadap harta. Lazimnya dinamakan teologi sukses atau teologi anak Raja, atau teologi keberlimpahan harta, atau teologi kemakmuran individual. Dus, ada kristologi sukses juga.  

Nah, siapapun juga yang memperalat dan memakai Yesus untuk melegitimasi kerakusan mereka terhadap uang dan harta, akan selalu terbentur keras pada ucapan Yesus yang ditujukan-Nya kepada seorang yang sangat kaya. Sabda Yesus kepadanya, “... pergilah, juallah apa yang engkau miliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin.” (Markus 10:21 dan par.)

Nah, saya telah mendaftarkan dua belas poin kriteria yang perlu dijadikan pemandu dalam usaha-usaha merumuskan kristologi-kristologi yang setia pada sosok Yesus orang Nazareth sekaligus relevan dengan zaman dan dunia yang terus berubah. Bacalah tulisan yang telah matang dipikirkan, berjudul Kriteria Kristologi Autentik./5/

Ioanes Rakhmat

02 Desember 2014

N.B. Dibaca kembali dan ditambahkan dua ilustrasi 28 Agustus 2021. Diperluas 1 September 2021. Diperluas lagi 16 Juli 2024.


Notes

/1/ Lihat Jason Deans, Is this the face of Christ?”, The Guardian, 26 March 2001,
https://www.theguardian.com/media/2001/mar/26/bbc.broadcasting1. Lihat juga BBC News, Why do we think Christ was white?”, BBC NEWS, 27 March 2001,
http://news.bbc.co.uk/2/hi/1244037.stm.

/2/ Giles Wilson, “So What Colour Was Jesus?”, BBC News Online Magazine, 27 October 2004, https://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/magazine/3958241.stm.

/3/ Ihwal berjumpa Yesus kembali untuk pertama kalinya, lihat misalnya Marcus J. Borg, Meeting Jesus Again for the First Time: The Historical Jesus and the Heart of Contemporary Faith (San Francisco: HarperCollins, 1994). Terjemahan Indonesia oleh Ioanes Rakhmat, Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali: Yesus Sejarah dan Hakikat Iman Kristen Masa Kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997).

/4/ Pablo Picasso dianggap sebagai pencipta ucapan tersebut oleh kritikus sastra Aline Saarinen pada acara tinjauan program jejaring TV NBC, 21 Januari 1964, yang diberi nama The Art of Collecting.

Namun, ucapan terkenal tersebut sebenarnya berasal dari Berthold Auerbach dalam novel Jermannya yang berjudul Auf der Höhe: Roman in acht Buchern von Berthold Auerbach, Vol. 2, (Stuttgart, Germany: Cotta'schen Buchhandlung, 1864, 1866), hlm. 70, https://babel.hathitrust.org/cgi/pt?id=hvd.hwdrn7&view=1up&seq=6.

Dalam buku berbahasa Jerman itu, Auerbach menulis “...die Musik wÀscht ihnen den Alltagsstaub von der Seele...

Dalam bahasa Inggris, Fanny Elizabeth Bunnett menerjemahkannya “Music washes away from the soul, the dust of everyday life” (1867). Terjemahan 1883, “Music washes away from the soul the dust of everyday life.” (dalam “The Speaker's Garland and Literary Bouquet”).

Jadi, aslinya ucapan Auerbach tersebut berbunyi “Musik mencuci bersih debu-debu kehidupan sehari-hari dari jiwa kita.

Untuk riset singkat literatur tentang sumber ucapan tersebut, lihat Quote Investigator, “Music Washes Away from the Soul the dust of Everyday Life”, 17 February 2016, https://quoteinvestigator.com/2016/02/17/soul/. 

/5/ Lihat Ioanes Rakhmat, “Dua belas kriteria kristologi yang autentik”, Freidenk Blog, 6 Agustus 2014, diedit 6 Maret 2020,  https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2014/08/dua-belas-kriteria-kristologi-yang.html?m=0.

Saturday, November 22, 2014

Fideisme, ada. Saintisme, tidak ada!

Tangga menuju sorga di langit atas, tentu hanya ada dalam iman, alias ada hanya dalam angan-angan!

N.B. Baca juga Benarkah para saintis mempertuhan pikiran mereka?


Apa itu fideisme? Dari kata Latin “fides” (artinya: iman/kepercayaan) yang ditambah isme, fideisme adalah suatu sikap mental, sekaligus ide atau ideologi, yang menganggap iman keagamaan berada di atas segala-galanya, bahkan di atas semua fakta sains.

Orang yang bermental fideis, dalam setiap perbedaan pendapat, akan dengan kepala batu berkata, Pokoknya gue mau percaya begini apapun kata loe! Pokoknya gue percaya iman gue paling benar, tidak pernah bisa salah, persetan dengan fakta-fakta ilmiah! Pokoknya gue mau percaya begini, apapun kata semua orang, sampai dunia kiamat, dan gue akan pasti ketemu Tuhan yang akan bela gue nanti!  

Jangan harap anda bisa mengubah mental dan pikiran setiap orang fideis. Tentu kita harus bersyukur jika seorang fideis berubah, menjadi terbuka pada pandangan-pandangan saintifik, dan menjadi ramah dan mau berdialog. Berubah tidak lagi nyinyir dan nyolot kalau bercakap-cakap dengan orang lain yang berbeda. Tetapi, mustahil berharap mereka akan berubah drastis seperti ini. Allah sendiripun yang mahatahu dan mahabijaksana bisa jadi sudah kewalahan dengan setiap fideis.

Apa itu saintisme? Kali ini, saya mau menyoroti saintisme dari sudut negatif yang dilihat para fideis, yang mereka pandang sebagai dogma sesat para ilmuwan. Saintisme dalam arti positif, yakni sebagai sikap dan pendirian yang konsisten ilmiah, sudah saya telaah di sebuah tulisan lain.

Dari kata Latin scientia (Inggris: science; artinya: ilmu pengetahuan, atau sains) yang ditambah isme, saintisme (Inggris: scientism) diartikan para fideis sebagai suatu sikap mental dan ide atau ideologi yang dianut para saintis, yang membuat para saintis bermental sama dengan mental para fideis dan memiliki asumsi yang sama dengan yang dipegang para fideis tetapi berlaku dalam dunia sains. Itu kata para fideis.

Kata para fideis, saintisme membuat setiap ilmuwan akan ngotot beradu mulut, demikian, Pokoknya gue mau pegang kebenaran saintifik milik gue, apapun kata loe. Pokoknya gue mau percaya sains gue selalu tidak bisa salah, selalu paling benar dibandingkan hal-hal lain, sejak sekarang sampai dunia berakhir! Nanti gue akan ketemu sang Dewa Sains, dan sang Dewa ini pasti akan membenarkan gue!

Adakah fideisme? Ada, dan merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari dalam dunia ini. Dalam masyarakat kita, para penganut fideisme ini petantang-petenteng berkoar-koar mempropagandakan dan memaksakan kepercayaan-kepercayaan mereka.

Adakah saintisme? Dalam realitas pasti tidak ada, sebab semua saintis tidak pernah akan menyatakan sains tidak bisa salah, apalagi sains yang mereka bangun sendiri. Lagi pula, tidak ada sains personal atau sains privat. Sains selalu milik jagat raya, dirumuskan oleh manusia-manusia cerdas untuk seluruh umat manusia dan dunia. Sains hanya tunduk pada bukti-bukti, dan akan berubah hanya jika bukti-bukti baru yang sudah dapat dipahami dengan benar, menyatakan lain. Sains selalu membutuhkan koreksi, membutuhkan falsifikasi dan verifikasi, dan hal ini membuat sains terus berkembang dan mampu menjelaskan makin banyak fenomena, mulai dari fenomena dalam dunia partikel sub-atomik, dalam dunia kehidupan banyak organisme, sampai dalam jagat raya tanpa batas.

Meskipun daya jelajah sains begitu luas, semua saintis akan dengan rendah hati menyatakan bahwa sains masa kini belum mampu untuk menjelaskan segala perkara dan segala fenomena, tetapi di masa depan akan dapat. Sains bukan menyerah menjelaskan, tetapi dengan rendah hati menunda menjelaskan, jika memang belum mampu menjelaskan. Di depan, hal-hal yang kini belum bisa dijelaskan, akan pasti bisa dijelaskan, sejauh para saintis mau terus bekerja keras dan bekerja cerdas untuk menyelidiki dan menjelaskan dan mengembangkan berbagai metode penyelidikan.

Jika ada hal-hal yang sudah bisa dijelaskan sains, yang sebelumnya para saintis belum ketahui, mereka dengan bertanggungjawab akan menjelaskannya kepada masyarakat dengan terang dan benar. Sifat para saintis ya itu, menjelaskan secara ilmiah, dan juga secara populer. Obor-obor pencerahan kini bernyala di tangan para saintis, bukan lagi di tangan para filsuf. Itu kata mahafisikawan Stephen Hawking.

Setiap saintis tentu memiliki komitmen dan konsistensi untuk terus bersikap dan berpandangan ilmiah dalam berhadapan dengan semua perkara dan semua fenomena dalam dunia ini. Bersikap selalu ilmiah, adalah sebuah kebajikan, yang jika dimiliki semua anggota masyarakat, peradaban kita akan terus berkembang, makin maju dan makin meluas. Tentu saja, kita semua, baik saintis maupun bukan-saintis, tahu, bahwa selain membutuhkan sains, kita dalam kehidupan sehari-hari juga butuh kesenian, butuh nonton film, butuh lihat pameran lukisan, butuh pacaran, butuh memadu cinta kasih, butuh kasih sayang, butuh berhubungan seks, butuh komunitas-komunitas sosial, butuh kepercayaan dari orang lain, butuh mempercayai orang lain dan berbagai hal lain, butuh membesarkan anak-anak kita, dan seterusnya; pendek kata, kita semua membutuhkan nilai-nilai kehidupan yang nyaris tanpa batas, yang membuat kehidupan kita terasa tambah bermakna dan penting dan berguna untuk kita jalani. 

Karena komitmen mereka pada dunia sains, mustahil para saintis tiba-tiba berubah menjadi percaya pada paranormalitas atau pada takhayul-takhayul dan mitos-mitos kuno atau pada akidah-akidah keagamaan tanpa bukti. Tetapi jika keadaan buruk ini menimpa seorang saintis, maka otomatis gugurlah statusnya sebagai saintis.

Menggabung kata sains dan isme, hanya menghasilkan sebuah oxymoron, yakni gabungan dua kata/istilah yang bertentangan, sehingga membentuk sebuah istilah lain yang tidak ada dalam realitas. Contoh oxymoron: es krim bakar, kebisuan yang bising, segi tiga lingkaran, dukacita yang menguatkan, si takabur yang rendah hati, konglomerat yang miskin, es cair, api yang dingin, dan seterusnya.

Oxymoron banyak dipakai dalam retorika politik untuk menyerang lawan, dan juga sebagai metafora artistik atau sebagai ekspresi puitis, misalnya malam yang terasa siang, kesedihanku membahagiakan hatiku, orang kecil yang besar, pikiran yang diam, Tuhan yang insani, dan sebagainya.

Kenapa saintisme sebuah oxymoron? Karena yang dinamakan sains, tidak akan pernah menjadi sebuah ideologi, sebuah isme, yang diabsolutkan!  

Tetapi saintisme bisa ada, yakni hanya dalam retorika politis para pembenci sains, para scientiafobik, yang ingin memuntahkan rasa muak mereka kepada para saintis dan dunia sains. Para fideis sering memakai retorika ini. Semoga para saintis tidak ada yang bermental fideis. Ya, saintis fideis juga sebuah oxymoron.

Tentu ada hal-hal yang dipercaya para saintis, misalnya mereka percaya bahwa sains adalah metode paling tepat untuk kita tiba pada kebenaran-kebenaran, bahwa segala hal akan bisa dijelaskan oleh sains secara bertahap dan kumulatif, bahwa sains berperan besar dan utama dalam membangun peradaban, bahwa sains akan memberi manusia kehidupan yang lebih baik dan lebih sehat, bahwa sains terbatas sekalipun batas-batasnya tidak pernah kita temukan hingga saat ini, bahwa hukum-hukum alam itu tidak bisa dibatalkan, bahwa sains akan terus berkembang, dan demokrasi dibutuhkan untuk sains bisa berkembang, dan seterusnya.

Para fideis dengan naif kerap menyatakan, bahwa sains juga dibangun dengan iman, tanpa bukti, lalu mereka menyebut aksioma dalam dunia sains sebagai iman, sama halnya dengan iman keagamaan. Ini sebuah kekeliruan besar para fideis. Tak bisa dimaafkan karena sangat memperbodoh.

Aksioma (= postulat) dalam dunia sains objektif ada, bisa digambarkan pada papan tulis atau pada monitor komputer anda. Misalnya, aksioma dari geometri bidang datar, yang antara lain menyatakan bahwa garis lurus adalah jarak terpendek dua buah titik pada bidang datar. Nah, para saintis tidak ada yang meragukan aksioma ini, tetapi hanya menerimanya benar, tanpa keraguan apapun. Apakah aksioma ini diimani saja? Sama sekali tidak. Anda bisa memperlihatkan kebenaran aksioma ini secara objektif pada papan tulis, dengan menggambarkannya sambil menjelaskan. Semua orang, di mana saja dan kapan saja, yang akalnya masih sehat, akan pasti menerima kebenaran aksiomatik ini, bahwa garis lurus adalah jarak terpendek dua buah titik pada bidang datar. Aksioma ini bukan iman, tapi fakta objektif.

Tetapi jika anda sebagai fideis percaya Tuhan itu ada, nah saya persilakan anda menggambarkan sang Tuhan ini pada sebuah papan tulis atau pada monitor PC anda, lalu, kalau anda bisa, cek apakah semua orang akan setuju bahwa gambar anda itu gambar Tuhan Allah. Jika betul itu gambar Tuhan Allah, semua orang di segala tempat dan di segala zaman pasti akan setuju. Ujilah sendiri! Dalam agama-agama tertentu (Yudaisme dan Islam), malah menggambarkan wajah Allah dinilai keras sebagai musyrik.

Orang Kristen punya Allah yang bisa digambar, yang bernama Yesus Kristus. Masalahnya, wajah Yesus yang telah digambar dan akan terus digambar, satu sama lain berbeda, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, dari satu etnisitas ke etnisitas lainnya, dari satu zaman ke zaman lain, dari satu tempat ke tempat lain; dan mereka semua tidak pernah sepakat bagaimana wajah Yesus yang sebenarnya. Bagi pemeluk agama Yahudi dan bagi umat Islam, menggambar wajah Tuhan Allah sebagai wajah Yesus yang beranekaragam itu, adalah suatu dosa syirik yang konon tidak bisa dimaafkan. Iman pada Allah sebagai Yesus Kristus, memang menimbulkan persoalan sendiri. Dalam kalangan Kristen sendiri, debat tidak pernah selesai, apakah Yesus Kristus itu manusia, ataukah dia itu Allah. Kenapa? Karena mereka, dan semua orang beragama, tidak punya kriteria objektif yang berlaku universal dan abadi, bagaimana atau siapa Allah itu. Ini terjadi, sebagian karena setiap bangunan teologi adalah juga bangunan psikologi subjektif si pembangunnya. Hati-hati, apa dan bagaimana Allah itu dalam pandangan anda, adalah juga apa dan bagaimana psikologi diri anda sendiri, juga ekologi dan sosiologi anda. Allah itu begitu dekat dengan anda; dia menyatu dengan kehidupan anda, tanpa anda duga sebelumnya.

Dalam politeisme kuno, tidak adanya kriteria objektif ini adalah salah satu penyebab muncul dan disembahnya banyak dewa dan dewi, dengan wajah masing-masing yang dilukis berbeda-beda, dan dengan sifat-sifat yang juga dipandang berlain-lainan. Saat monoteisme membuang dewa-dewi dan allah-allah lain, dan menggantikan mereka semua dengan satu Allah terbesar, problem juga tetap muncul: mereka hanya percaya Allah itu mahaesa, tapi mereka juga sama sekali tidak tahu wajah Allah mereka dan bahkan, karena memang mereka tidak tahu, ditulis larangan keras untuk menggambarkan wajah Allah yang mahaesa atau membuat patung Allah yang mahaesa. Dalam monoteisme, aktivitas seni lukis tentang dunia ilahi hilang dari kebudayaan manusia. Hilang? Oh, tidak juga! Dalam Islam, misalnya, aktivitas seni lukis wajah-wajah para dewa-dewi, diganti dengan aktivitas kaligrafi, sebab jiwa seni para Muslim juga mencari jalan-jalan untuk mendapatkan penyaluran. Sisi lainnya, karya-karya kaligrafis kerap malah juga dipandang suci, berwibawa ilahi, entah karena pesan-pesan karya-karya ini atau karena semua aksara Arab dipandang sebagai aksara-aksara sorgawi. Apapun juga, seni adalah bagian terpadu dari kemampuan luar biasa otak manusia, tidak bisa dihilangkan oleh siapapun. Tanpa seni, kehidupan ini bisa jadi akan sangat membosankan, dus akan sangat melelahkan. Friedrich Nietzsche menyatakan, “Tanpa musik, kehidupan ini akan menjadi suatu kekeliruan, suatu penderitaan, suatu pembuangan.”/1/

Kembali ke para saintis. Jelas sekali, meskipun ada cukup banyak hal yang dipercaya para saintis, mereka tidak percaya pada wahyu ilahi sebagai sumber sains, pada ritual-ritual keagamaan, pada kitab-kitab suci yang diabsolutkan, pada mitos-mitos kuno, pada syahadat-syahadat keagamaan, pada paranormalitas, pada mukjizat ilahi, pada takhayul-takhayul, pada jin-jin, dedemit, lelembut, roh-roh orang mati yang bergentayangan, dan setan-setan, pada sang Dewa sains yang tidak bisa salah, dan seterusnya. Mereka juga tidak membutuhkan gambar-gambar yang diklaim sebagai gambar-gambar wajah allah-allah dan dewa-dewi, meskipun tentu saja setiap saintis pasti menyukai lukisan-lukisan indah. 

Jadi? Sains ya sains, tak pernah menjadi agama. Agama ya agama, tak pernah menjadi sains. Ada wilayah masing-masing yang berbeda, tidak usah dicampuraduk. 

Kalaupun agama-agama mau menyumbang ke dunia sains, konsentrasi harus diarahkan ke bidang etika, bukan ke bidang sains itu sendiri. Semakin jelas kini bahwa dialog perlu diadakan antara para saintis dan para pakar etika berkaitan dengan banyak kajian dan temuan sains modern dewasa ini. Untuk dialog ini dapat berlangsung cerdas dan bermartabat, tentu saja para etikus harus memahami sains sebagai sains. Ini adalah tugas yang sangat berat buat para etikus, khususnya para etikus yang datang dari dunia agama-agama tradisional.   


Jakarta, 22-11-2014
by ioanes rakhmat

Notes

/1/ Friedrich Nietszsche, Twilight of the Idols, Or, How to Philosophize With the Hammer (1st publication 1889; Indianapolis, Indiana: Hackett Publishing Company, 1997), hlm. vii (“Letter to Koselitz, 1/15/88”).  


Thursday, November 20, 2014

Puisiku: Namamu Siapa?


My mystical poem


Aku ini bak seorang bocah tanpa ayah dan ibu
Bagaimana aku bisa ada dalam dunia ini?
Siapakah ayah dan ibuku?
Apakah engkau orangtuaku sejati?

Jawablah aku!
Jawablah aku!
Jangan engkau terus kelu membisu
Sudah berlaksa tahun terus kumenunggu

Apapun rupa dan wujudmu
Tak bernama sekalipun engkau
Entah di manapun tempat tinggalmu
Aku selalu dirundung rindu kasih sayangmu


Bak seorang remaja yang sedang kasmaran
Kugubah puisi-puisi cinta bagi sang perawan
Dalam akalku engkau terus ada tak tertahan
Waktu merambat begitu pelan

Hari itu kaulambaikan tangan-tanganmu
Memanggilku untuk mendekatmu rapat-rapat
Engkau bentangkan ribuan lenganmu untukku
Kitapun saling memeluk rapat dan erat

Kasih sayangmu tak terbendung tak tertahan
Pintu-pintu waduknya telah terbuka lebar-lebar
Membanjirlah cintamu tak tertahan
Kuberenang di dalamnya mondar-mandir

Terlebur aku menyatu dalam cinta yang teduh
Aku adalah engkau dan engkau adalah aku
Satu tubuh, satu akal, satu ruh
Waktu dan ruang berangkulan menyatu

Realitas ruang mewahyukan diri
Jagat raya memperanakkan jagat raya lain
Atom menjadi dawai yang bervibrasi
Materi dan kesadaran berdansa senada violin

Sang Ada dan Sang Tak-Ada menjadi satu
Mendentum dengan kekuatan mahadahsyat
Jagat raya ada dari ketiadaan segala sesuatu
Mengembang dahsyat dan terus melesat cepat

Oh, engkau yang dahsyat, siapakah namamu?
Berilah aku namamu tentu jika kau suka
Bukankah kita dalam cinta sudah menyatu?
Bukankah kita kini berdansa senada biola?

Dengan senyap engkau menyahut pendek:
“Namaku Sang Quantum!”
Bergetar seluruh planet Bumi kaget tersentak
Nama itu menyimpan misteri sangat dalam

Akupun menemukan diriku lagi
Sebagai sang bocah tak berayah dan tak beribu
Tapi kini aku tak sendiri lagi tak sunyi lagi
Oleh Sang Quantum segalanya satu denganku

Aku adalah engkau
Engkau adalah aku
Aku adalah dia
Dia adalah aku juga

Aku adalah atom
Engkau adalah molekul
Aku adalah partikel
Engkau adalah atom

Partikel dan gelombang dua sifatmu
Yang satu materi, yang lain kesadaran
Keduanya satu dalam cinta yang teduh syahdu
Berdansa dan bergetar seirama akordion

Cerahkan aku, cerahkan aku, terus!
Perahuku tanpa lelah terus kukayuh
Menuju langit tinggi tanpa batas terus terus
Sampai jagat raya kembali luruh

Dalam singularitas semua kembali bertemu
Menghimpun lagi kekuatan dari segala wujud
Siap mendentum kembali tak pernah ragu
Sang Quantum wujud dari segala wujud

Berenang-renanglah di dalam dia!
Dalam kolam-kolam lubang-lubang hitam
Aku tersedot melawan tak bisa tak berdaya
Saat itulah aku terbebaskan di malam hitam kelam


Tidak lagi mencari, tidak lagi dicari
Tidak lagi menjawab, tidak lagi bertanya 
Tidak lagi bergerak, tidak lagi berhenti
Semuanya ada, dan semuanya tidak ada 

Jakarta, 20 September 2014
Ioanes Rakhmat