Tuesday, January 21, 2014

Landasan-landasan filosofis bagi sains modern

Lompatan iman dalam dunia ilmu pengetahuan akan selalu jatuh lagi karena ditarik oleh forsa gravitasi verifikasionisme.
• Ioanes Rakhmat



Charles Sanders Peirce



Untuk memahami bagaimana sains modern berkeja, anda perlu kenal pikiran-pikiran Charles Sanders Peirce (1839-1914). Dia adalah pemikir yang dengan brilian memberi landasan-landasan filosofis pada sains modern. Darinya kita paham bahwa sains modern juga berpijak pada filsafat. Dia meletakkan landasan filosofis bagi metode saintifik empiris dalam dunia sains modern masa kini.


Peirce menerima ide-ide rasionalisme Cartesian, tapi juga mengintegrasikannya dalam suatu keseluruhan yang melampaui rasionalisme. Menurut Peirce, konsep-konsep rasional dapat bermakna dan bisa mengabstraksi kesimpulan-kesimpulan empiris. Hal ini sudah jelas, sebab sains yang tidak rasional tentu bukanlah sains.

Peirce menyatukan penalaran induktif dan penalaran deduktif sebagai dua jenis reasoning yang saling melengkapi, bukan saling menyingkirkan. Tapi Peirce dengan kreatif menambah satu jenis reasoning lagi yang dinamakannya penalaran abduktif (“abduction reasoning”).

Penalaran abduktif: Jika ada banyak teori tentang suatu pengetahuan, teori yang paling superior adalah teori yang sangat mungkin lebih benar jika dibandingkan teori-teori lainnya yang inferior. Penalaran abduktif dipakai untuk tiba pada teori-teori yang lebih benar dibandingkan teori-teori lainnya. Ini berkaitan dengan kaidah Occam’s Razor yang akan dibeberkan nanti.


Tiga penalaran yang diajukan Peirce (induksi, deduksi, dan abduksi) kini menjadi fondasi konseptual utama dalam metode-metode saintifik modern yang bernalar dan berakal.

Terhadap pertanyaan objek-objek apa saja yang menjadi fokus sains modern, Peirce menjawab demikian: objek-objek sains adalah hal-hal yang REAL, yang propertinya tidak bergantung pada persepsi manusia atas hal-hal ini. Hal-hal real ini ada secara objektif, terlepas dari persepsi si pengamat. 

Kata Peirce, setiap orang yang punya pengalaman yang cukup tentang hal-hal yang real akan sepakat mengenai kebenaran hal-hal yang real itu.

Yang disebut REAL oleh Peirce dalam dunia sains sekarang disebut sebagai hal-hal yang empiris, yakni segala hal yang dapat ditangkap lima indra kita atau dengan bantuan instrumen-instrumen teknologis atau yang disusun dalam model-model keilmuan (model matematis, model statistik, model komputer, dll).

Hal yang sangat penting, kata Peirce, adalah bahwa semua kesimpulan sains selalu tentatif (sementara, tidak final, tidak absolut, dapat berubah sewaktu-waktu). Kata Peirce, rasionalitas metode sains tidak bergantung pada kepastian kesimpulan-kesimpulannya tapi pada wataknya yang selalu “self-corrective”, selalu mampu memperbaiki diri sendiri. 

Kekuatan sains terletak di situ, selalu mampu memperbaiki diri, dus selalu hidup, dan selalu tahu kapan harus memperbaiki diri. Sains itu tahu diri. Kapan dan bagaimana?

Kata Peirce, sains akan memperbaiki diri jika bukti-bukti yang real sudah tak sejalan lagi dengan pandangan-pandangan saintifik sebelumnya.

Menyangkut metode-metode sains, Peirce menegaskan bahwa dengan terus-menerus dipakai, setiap metode saintifik akan membuat sains dapat mendeteksi dan mengoreksi kesalahan-kesalahannya sendiri. Tak usah diperintah siapapun.


Peirce, dengan demikian, menegaskan bahwa semua pandangan saintifik bisa salah, fallible. Inilah yang dikenal sebagai fallibilisme Peirce

Lebih jauh Peirce menyatakan bahwa lewat ujicoba terus-menerus, metode-metode saintifik akhirnya akan bermuara pada kebenaran yang makin integratif dan makin unifying, makin menyatukan segala fenomena alam dalam suatu teori besar yang serba inklusif.

Terkait dengan sifat yang unifying atau menyatukan, ada sifat-sifat lain yang berkaitan, yakni sifat niscaya atau inevitable (yakni lengkap dan memuaskan), dan sifat simetris atau invarian (yakni, hasil eksperimen dan observasi selalu stabil dan sama, terlepas dari waktu dan tempat pengukuran).

Oh ya, jangan anda meremehkan sains karena wataknya yang bisa salah, fallible. Sesuatu yang diterima dapat salah, justru akan mendorong orang untuk selalu menguji ulang dan mengoreksi---alhasil, kemajuan diperoleh. Jika sesuatu itu anda absolutkan tidak bisa salah, maka sesuatu ini pasti bantut dan berubah menjadi fosil.

Jangan lupa, kendatipun semua pandangan sains bisa salah, ternyata sains efektif bekerja: anda setiap hari memakai berbagai teknologi produk sains, dan karena sains yang bisa salah ini kita sekarang sudah bisa menerbangkan wantariksa-wantariksa tanpa awak ke berbagai planet dalam sistem Matahari kita. Sains itu real, dan menghasilkan hal-hal yang objektif.

Kalau anda kekeh menyepelekan sains (mungkin karena kesalehan keagamaan anda), baiklah saya ajak anda untuk tidak munafik: tinggalkanlah semua produk sainstek, jangan memakainya sama sekali, lalu kita lihat apakah anda masih akan bisa hidup lama dalam zaman sekarang ini.

Penangkapan oleh lima indra manusia (atau dibantu berbagai instrumen) atas hal-hal yang real, kata Peirce, berhubungan dengan konsepsi rasional atas hal-hal real itu. Maksudnya: penangkapan realitas oleh lima indra kita yang dibantu oleh berbagai instrumen teknologis akan selalu sejalan dengan penjelasan-penjelasan rasional tentang realitas ini. 

Bahwa berbagai instrumen harus dipakai untuk membantu lima indra juga ditekankan oleh John Dewey (1859-1952), Bapak pragmatisme. Selain itu, kata Dewey, ide-ide baru akan dihasilkan oleh pemakaian instrumen-instrumen, lalu ide-ide baru ini juga akan berfungsi sebagai instrumen bagi eksperimen-eksperimen lain. Gagasan Dewey ini dinamakan instrumentalisme


Hal yang penting adalah bahwa verifikasi, bagi Dewey dan para filsuf pragmatisme, haruslah dilakukan bagi setiap pernyataan saintifik, selogis apapun pernyataan ini, yang belum dibuktikan. Inilah yang dinamakan verifikasionisme.




Verifikasionisme 


Verifikasi adalah pengujian berlapis untuk mengetahui kebenaran atau kesalahan sebuah pengetahuan atau suatu posisi keilmuan atau setiap klaim kebenaran yang dilakukan berdasarkan bukti-bukti (Latin: evidentia, bukti) terbaru, teori-teori besar yang sudah teruji dan koheren, dan penalaran logis.

Dalam empirisisme logis, prinsip verifikasi diberlakukan: setiap proposisi yang sepenuhnya tidak logis, atau yang logis sekalipun tapi tidak dapat diverifikasi, adalah proposisi yang kosong makna. 

Masih dari John Dewey: empirisisme ilmu pengetahuan akan terus berguna tanpa perlu melibatkan hal-hal yang tidak empiris atau yang supernatural. Lagi menurut John Dewey, penjelasan-penjelasan supernatural tidak memberi nilai tambah apapun bagi pemahaman saintifik atas hal-hal yang real. 

Ya, lompatan iman dalam dunia sains selalu akan jatuh lagi karena ditarik forsa gravitasi verifikasionisme.

Nah, sekarang apa itu Occam’s Razor yang sudah dimunculkan di atas?

Occam’s Razor atau Ockham’s Razor (Latin: lex parsimoniae, artinya “kaidah yang paling hemat kata”) adalah sebuah kaidah filosofis saintifik yang diajukan oleh teolog dan filsuf skolastik Inggris William dari Ockham (c. 1287-1347). Kaidah ini mencakup tiga kaidah elementer dalam dunia sains. 

Pertama: Jangan membuat rumit hal-hal yang sebenarnya tidak rumit. 

Kedua: Teori yang paling mungkin benar adalah teori yang paling ringkas dan paling sederhana dari antara teori-teori yang ada yang lebih berbelit dan rumit. Makin simpel bangunan sebuah teori, maka makin superior teori ini.

Ketiga: Jika anda mau menjelaskan apapun, mulailah selalu dengan memakai hal-hal yang secara empiris sudah diketahui, jangan membuat lompatan-lompatan iman yang tidak memerlukan bukti-bukti dan teori-teori besar saintifik, tetapi penuh dengan asumsi-asumsi. 


Makin sedikit asumsi-asumsi dipakai dalam sebuah penjelasan atas suatu fenomena, penjelasan yang hemat dan sederhana ini menjadi sebuah pilihan ilmiah yang didahulukan.

Perdebatan yang rumit dan dibuat menjelimet atau complicated seketika itu juga menjadi sederhana, simpel dan elegan, ketika disodorkan bukti-bukti empiris yang relevan, yang bisa diverifikasi. Bukti menyederhanakan, tetapi iman yang penuh dengan asumsi memperumit.





Patut diingat, sederhana dalam arti "simple", bukan "naïve" atau naif. Orang yang naif bukan orang yang mampu memberi penjelasan yang sederhana, tapi orang yang kurang pengetahuan atau tak memiliki pengetahuan, tak mempunyai hikmat, tak berpengalaman, dan kerap semberono, kehilangan pertimbangan dan tak memiliki kemampuan mengevaluasi dan menilai. 

Jika sebuah teori atau model disebut elegan, itu maksudnya: memberi hasil yang kuat dan kokoh hanya dengan langkah-langkah yang sehemat mungkin dan menghindari kerumitan yang tidak relevan. 

Itulah keseluruhan isi terminologi Occam’s Razor yang melahirkan penalaran abduktif yang diajukan Peirce, seperti sudah disebut di atas.

Jika anda memakai penalaran abduktif, anda akan memilih kesimpulan yang paling sederhana dan paling ekonomis, dan melepaskan kesimpulan yang rumit, penuh asumsi, dan tidak ekonomis.

Kesederhanaan konsep-konsep dalam dunia sains ditekankan oleh Jacob Bronowski ketika dia menulis bahwa “Einstein adalah seorang yang dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang luar biasa sederhana. Dan apa yang diperlihatkan oleh karya-karyanya adalah bahwa ketika jawaban-jawabannya juga sederhana, maka anda dapat mendengar Allah yang sedang berpikir.” 

Ya, Tuhan itu simpel. Tapi sengaja dibuat rumit oleh para penjual agama, kata teman saya begitu. Apa ya?!

Nah, itulah landasan-landasan filosofis bagi sains yang diajukan Peirce, dan juga oleh John Dewey. 

Tentu saja, tulisan saya ini jauh dari lengkap; saya tulis hanya untuk menyediakan ancang-ancang bagi anda untuk menelusuri sendiri lebih jauh dua tokoh besar ini, selain juga William James (1842-1910).

Anda musti tahu, para filsuf pragmatisme berkonsensus bahwa filsafat apapun harus memperhitungkan metode-metode dan wawasan-wawasan saintifik dalam uraian-uraian filosofis logis. Ya ini harus, jika mereka ingin filsafat mereka mempunyai kewibawaan berbicara tentang kebenaran atau tentang keabsahan sebuah pengetahuan, atau, dengan kata lain, tentang epistemologi dalam dunia ilmu pengetahuan.

Tanpa verifikasionisme terhadap bukti-bukti empiris, semua konstruksi atau rekonstruksi filosofis apapun dan yang selogis apapun atas segala fenomena terperosok ke jalan buntu, already dead.

Kata Stephen Hawking, filsafat sudah mati. Ya, karena semua proposisi logis filosofis tentang jagat raya spekulatif, tanpa bukti, dan tidak memperhitungkan temuan-temuan fisika modern.

Harapan saya, semoga anda ke depannya tidak kacau lagi dengan mencampur aduk sains dan agama. Agama beroperasi di atas landasan-landasan yang sama sekali berbeda. Kita katakan, epistemologi agama (yakni epistemologi lompatan iman atau epistemologi wahyu supernatural) tak sejalan dengan epistemologi ilmu pengetahuan (yakni epistemologi evidensialisme dan verifikasionisme).

Sebuah masyarakat tidak bisa maju dan tak akan berkembang, menjadi modern, ketika masyarakat itu, dan khususnya para pemukanya, mabuk agama. 

Karena mabuk, mereka menyamakan kitab-kitab suci mereka dengan ilmu pengetahuan, tapi tidak mampu melakukan verifikasionisme atas semua klaim yang mereka baca dalam kitab-kitab suci mereka. 

Kalau betul teks-teks kitab suci apapun adalah teks-teks ilmu pengetahuan, maka semua klaim dalam teks-teks ini tunduk pada prinsip verifikasionisme dan prinsip self-correction.

Tanpa prinsip verifikasionisme diterapkan terhadap semua klaim tentang kebenaran, klaim ini patut dicurigai, entah sebagai klenik, atau sebagai delusi.

Patut dicatat, agama adalah kepercayaan pada doktrin-doktrin, berisi banyak asumsi, bukan ilmu pengetahuan yang dibangun di atas fondasi bukti-bukti empiris. 

Nah, jika anda mau beragama, beragamalah dengan fondasi kepercayaan-kepercayaan dan asumsi-asumsi keagamaan yang dapat menjadikan anda orang yang agung, mulia, serba eling, bermartabat, memiliki kebajikan, kehormatan diri, kesadaran diri, pengenalan diri, dan cinta kasih yang ikhlas kepada orang-orang lain yang berbeda dan bentuk-bentuk kehidupan lain.

Baca juga Tuhan Itu Simpel.

Stay blessed.
ioanes rakhmat

N.B. diedit 7 Januari 2022




Tuesday, December 31, 2013

Merenungi objektivitas historiografi bertolak dari kontroversi film Soekarno

Berkaitan dengan film Soekarno, dalam minggu kedua Desember 2013 terjadi perselisihan tajam yang sampai naik ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat antara Hanung Bramantyo (sutradara film ini) dan Rachmawati Soekarnoputri (adik Megawati Soekarnoputri)./1/ Meskipun demikian, film ini sejak 11 Desember 2013 sudah diputar di sejumlah bioskop tanpa kendala. Bersama isteri, saya sudah menonton film ini di bioskop XXI Mal Artha Gading, Jakarta, pada 17 Desember 2013, mulai pukul 21.15 WIB.

Saat acara jumpa pers di Universitas Bung Karno, Cikini, Jakarta, 12 Desember 2013, Rachmawati, yang kecewa karena film ini sedang diputar di bioskop-bioskop, menyatakan bahwa “film tentang Soekarno yang digarap Multivision Plus dan disutradarai Hanung Bramantyo tidak sesuai dengan sosok Soekarno asli. Film Soekarno memalukan.” Pertikaian ini menyangkut juga hak cipta film Soekarno. Menurut Rachmawati, karena dia adalah pengusul pembuatan film ini, dia telah disepakati sebagai pemegang hak ciptanya. 

Ada tiga adegan dalam film ini yang kata Rachmawati tidak pernah terjadi pada ayahnya, Soekarno, semasa hidupnya. Yakni: Adegan Soekarno ditampari oleh seorang polisi militer dan kepalanya dihantam popor senjata sampai dia terjatuh di lantai (kata Rachmawati adegan ini merendahkan ayahnya); adegan Soekarno merayu seorang perempuan yang berpakaian seronok di dalam sebuah kamar (adegan ini kata Rachmawati sangat melecehkan Soekarno); dan adegan Soekarno mendiktekan teks Naskah Proklamasi kepada Hatta yang menjadi penulis naskah, padahal naskah itu dibuat oleh Bung Hatta sendiri, bukan oleh ayahnya (dus, adegan ini menurut Rachmawati telah memutarbalik fakta sejarah)./2/

Friday, November 29, 2013

Seekor keledai dungu yang ternyata cerdas



Suatu hari seekor keledai seorang petani jatuh ke dalam sebuah sumur di halaman belakang rumahnya. Binatang ini berteriak-teriak memilukan minta dikasihani selama berjam-jam sementara si petani berpikir-pikir apa yang dia harus lakukan.

Akhirnya dia sampai pada sebuah keputusan. Karena keledai ini sudah tua maka tak patut diselamatkan, lagi pula sumur itu memang mau dia uruk. Lalu dia memanggil semua tetangganya untuk datang ke rumahnya dan membantunya.

Setiap tetangganya datang membawa sebuah sekop dan mulai menyendok tanah lalu melemparkannya ke dalam lubang sumur.

Ketika si keledai yang malang itu menyadari apa yang sedang terjadi, ketakutanlah dia dan berteriak-teriaklah dia dengan sangat kencang dan memilukan hati.

Mengherankan sekali, tiba-tiba saja si keledai yang ketakutan mati itu membungkam seribu basa.

Setiap sekop terus melemparkan seonggok tanah ke dalam sumur. Terus demikian. Lalu si petani melongok ke dalam lubang sumur untuk melihat apa yang sudah terjadi pada si keledai. Semula dia berpikir si keledai tentu sudah terkubur; tetapi dia terkejut sekali ketika dia melihat si keledai masih hidup dan sudah dekat ke permukaan lubang sumur.

Apa yang sedang terjadi dengan si keledai, hewan yang dikenal dungu itu? Ketika setiap lemparan onggokan tanah menimpa punggungnya, si keledai langsung mengguncang-guncangkan tubuhnya sehingga onggokan tanah itu jatuh ke kakinya, lalu dia naik setindak ke atas dengan berpijak pada tanah yang makin bertimbun di bawahnya. Hal ini terus dilakukannya tanpa diketahui orang banyak yang terus saja melemparkan onggokan-onggokan tanah ke dalam sumur.

Segera saja semua orang menjadi terheran-heran ketika mereka melihat si keledai sudah sampai di permukaan sumur, lalu melompat melewati pinggiran sumur, sampai di udara terbuka, lalu berlari pergi meninggalkan kerumunan orang.

Apa yang mau disampaikan kisah di atas? Pikirkanlah dengan sungguh-sungguh!

Tak ada orang yang dilahirkan dengan otak normal, akan menjadi bodoh dalam kehidupannya. Kebodohan hanya dialami karena seseorang tak mau memakai otaknya untuk berpikir, tak mau mengasahnya sampai tajam. 

Para neurosaintis sudah menemukan fakta bahwa kecerdasan setiap orang akan terus berkembang dan berubah, karena otak kita memiliki apa yang dinamakan neuroplastisitas, yakni kemampuan sel-sel otak untuk berkembang dan berubah karena berbagai pengalaman kehidupan kita dan berbagai aktivitas internal mental kita. Semakin anda aktif bekerja dan berpikir, dan semakin banyak anda mengecap berbagai pengalaman, akan semakin cerdas diri anda. 

Richard J. Davidson dan Sharon Begley, dalam buku mereka The Emotional Life of Your Brain (2013), menyatakan bahwa otak kita dapat berubah sebagai akibat dari pengalaman-pengalaman yang kita miliki dalam duniabagaimana kita bergerak dan bertindak dan sinyal-sinyal indrawi apa yang tiba di korteks kita. Otak dapat juga berubah sebagai respons terhadap aktivitas-aktivitas mental murni, mulai dari meditasi sampai ke terapi perilaku kognitif, dengan akibat aktivitas di dalam sirkuit-sirkuit yang spesifik dapat bertambah atau berkurang./1/  

Bahkan, dalam kisah di atas, seekor keledai yang dikenal sebagai hewan yang dungu, berubah menjadi seekor hewan yang cerdas ketika sang hewan ini menenangkan pikirannya, berkonsentrasi penuh, untuk menemukan jalan keluar dari ancaman kematian yang mula-mula sudah sangat pasti akan menjenguknya.

Setelah meninggalkan kepanikannya, sang keledai mendapatkan sebuah pencerahan: setiap onggokan tanah yang dilemparkan ke dalam sumur, yang seharusnya akan menimbunnya sampai mati, dijadikannya semacam batu loncatan, untuk dia bisa berada makin dekat ke permukaan sumur. Setiap persoalan atau ancaman bencana, lewat konsentrasi pikiran, lewat meditasi, malah berubah fungsi menjadi suatu batu loncatan untuk tiba pada keselamatan, pada kehidupan, pada udara bebas.

Lewat konsentrasi, lewat meditasi, ketenangan pikiran didapat, dan ketika pikiran sudah menjadi begitu tenang, pencerahan muncul, lantas orang akan tahu apa yang dia akan perbuat terhadap setiap masalah yang mendatanginya, yang mengancam dengan serius kehidupannya. Ternyata: berbagai masalah berat apapun, bisa berubah menjadi batu-batu loncatan yang makin mendekatkan kita kepada kebebasan, kehidupan, dan terang.  

Lewat meditasi, kita dapat mengamati dengan netral semua pikiran kita yang datang mengalir, silih berganti, bersama dengan berbagai perasaan yang muncul menemani pikiran-pikiran kita. Lewat teknik meditasi ini, yang dinamakan Vipassana atau mindfulness meditation” atau meditasi keterjagaan, kita akan menemukan bahwa kondisi-kondisi kehidupan yang sedang kita jalani, entah membahagiakan atau mendukakan, semuanya dibentuk oleh isi pikiran-pikiran kita. 

Dengan pikiran kita sendiri, kita mengawasi, mengamati, memahami pikiran-pikiran dan aliran perasaan-perasaan kita sendiri. Inilah meditasi metakognisi, meditasi yang di dalamnya pikiran kita mengamati dan memikirkan pikiran dan perasaan kita sendiri.

Ketika kita sudah tiba pada penemuan kondisi-kondisi kehidupan kita ini, kitapun sadar bahwa kita harus tidak boleh menyerah pada pikiran-pikiran kita, khususnya pikiran-pikiran kita yang mematahkan semangat juang kita, tapi harus mampu mengelola pikiran-pikiran kita sendiri

Lewat thought management ini, kita dapat memilih dan merangkul pikiran-pikiran kita yang membangun kehidupan kita dan menolak pikiran-pikiran kita yang merusak dan menghancurkan kehidupan kita. Lewat manajemen pikiran ini juga kita akan sanggup melihat selalu ada sisi-sisi positif dari setiap persoalan berat yang sedang melanda kehidupan kita. Ketika kita tiba pada kondisi ini, kita tercerahkan. Pencerahan pikiran adalah kunci penting yang akan membawa anda masuk ke ruang-ruang kehidupan yang lebih sehat dan lebih membahagiakan. 

Yakinlah, jika seekor keledai bisa sangat cerdas, apalagi anda. Paculah otak anda, supaya anda menjadi lebih cerdas dari waktu ke waktu, dan karenanya hidup anda akan lebih sukses dan lebih berbahagia. 

Sebagai orang yang beragama, jangan biarkan pandangan-pandangan lama membebani pundak anda. Jika ini yang terjadi pada anda, ibaratnya anda sudah terjatuh ke dalam lubang sebuah sumur yang gelap dan dalam. Masih bisakah anda keluar dari lubang sumur kegelapan ini, lalu melompat sigap untuk masuk ke dunia terang yang leluasa? 

Seperti yang dilakukan sang keledai yang cerdas itu, guncang-guncangkanlah tubuh dan pikiran anda supaya beban-beban pandangan-pandangan lama tak lagi menumpuk dan menindih berat di pundak anda, tetapi semuanya berjatuhan, dan sebagai akibatnya anda akan merasakan kelapangan yang menakjubkan dalam batin dan pikiran anda. Saat itulah pencerahan datang ke dalam diri anda.

Dalam dunia agama-agama, anda akan dapat menghasilkan banyak pandangan baru yang mencerahkan jika anda mau berpikir tidak biasa, di luar yang tradisional atau konvensional, berpikir OUT-OF-THE-BOX! Anda melawan arus. Perlu energi besar, komitmen, kecakapan dan keikhlasan jika anda memutuskan untuk berenang menuju sumber mata air yang ada di puncak sebuah gunung.

Kalangan liberal adalah kalangan yang mau mengembangkan kemampuan otak mereka terus-menerus lewat banyak kegiatan pembelajaran dan latihan berpikir kritis, alhasil mereka dapat memberi banyak jawaban atas sebuah pertanyaan. Sedangkan kalangan konservatif terus-menerus menumpulkan otak mereka lewat berbagai kegiatan indoktrinasi yang sistematis dan jangka panjang, alhasil mereka mampu untuk memberikan hanya satu jawaban bagi segala pertanyaan.

Satu jawaban tunggal untuk semua persoalan, ya ada hanya dalam dongeng, seperti halnya sebutir kacang polong mustajab yang mampu menyembuhkan segala penyakit. Dongeng adalah dunia kanak-kanak. Kalau sekarang di usia dewasa anda butuh dongeng, namanya bukan dongeng lagi, tapi science fiction yang sangat saya sukai. 

ioanes Rakhmat 

• Diedit 29 Agustus 2023

----------------------

/1/ Richard J. Davidson dan Sharon Begley, The Emotional Life of Your Brain: How Its Unique Patterns Affect the Way You Think, Feel, and Live, and How You Can Change Them (New York, N.Y.: Plume Penguin Group, 2013), hlm. 175.




Sunday, November 17, 2013

Elie Wiesel: Allah bangsa Yahudi telah terbunuh!

Pada waktu bangsa Yahudi dianiaya, diazab, dan dibantai oleh rezim Nazi Hitler yang berkuasa atas negeri Jerman dari 1933 sampai 1945 selama Perang Dunia II, orang Yahudi bergumul amat sangat, dan mereka bertanya di mana Allah mereka berada. Sekian jawaban diberikan oleh bangsa Yahudi, oleh para ahli teologi mereka. 

Ini adalah soal teodise: di mana Allah berada dan kepada siapa dia berpihak ketika orang-orang saleh dengan hati yang dipenuhi cinta dan rasa kemanusiaan tertimpa azab bertubi-tubi, tanpa penolong.

Kita kenal Elie Wiesel, dilahirkan 30 September 1928 di Sighet, Transylvania (kini Romania). Pada tahun 1986, Wiesel meraih Hadiah Nobel Perdamaian. 

Dia adalah seorang Yahudi yang selamat dari Holokaus setelah pada umur 15 tahun dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi di Auschwitz, Buna, Buchenwald dan Gleiwitz. 

Wiesel kemudian termashyur di dunia melalui novel-novelnya, khususnya melalui satu novel memoar pertamanya tentang Holokaus yang terbit pada tahun 1960 dengan judul Night (versi Prancisnya terbit dengan judul La Nuit). Setelah Night, terbit dua novel lagi Dawn (1961) dan Day (1962), yang keseluruhannya membentuk sebuah trilogi yang menyoroti dengan cermat kekejaman yang dilakukan manusia terhadap sesamanya./1/  

Eliezer Wiesel keluar selamat dari Holokaus untuk kemudian menjadi duta umat manusia

Apa kata Wiesel tentang di mana Allah berada ketika jutaan orang Yahudi dianiaya, disengsarakan dan dibunuh oleh Nazi? 

Dalam suatu bagian novel Night, Wiesel menyatakan bahwa Allah bangsa Yahudi telah terbunuh. Tulisnya, 

“Tak akan pernah aku melupakan malam itu, malam pertama dalam kamp, yang telah mengubah kehidupanku menjadi satu malam yang panjang, tujuh kali dikutuk dan tujuh kali disegel.... Tak akan kulupakan momen-momen itu yang telah membunuh Allahku dan jiwaku, dan mengubah mimpi-mimpiku menjadi debu.”/2/ 

Ya, bagi Wiesel, Allah telah tiada, karena terbunuh, sehingga bangsa Yahudi menderita azab besar tanpa penolong! 

Bangsa Yahudi harus meratapi bukan saja azab yang sedang mereka tanggung, tapi juga Allah mereka karena sang Allah ini sudah mati terbunuh. 

Itu sebuah gagasan yang tentu membingungkan dan mengagetkan orang-orang yang terbiasa hanya dengan ide tentang Allah yang mahahadir, mahakuasa dan mahapenolong. 

kamp konsentrasi di Auschwitz I, Desember 1944. Pohon Natal untuk blok 15

Tapi bagi Wiesel, dengan idenya tentang Allah yang telah terbunuh, Holokaus jadi dapat dijelaskan sebagai suatu bencana sejarah yang sangat berat bagi bangsa Yahudi, yang menimpa mereka bukan karena Allah Yahudi tidak perduli pada mereka, atau karena Allah menimpakan bencana ini kepada mereka. 

Sebaliknya, bagi Wiesel, Allah bangsa Yahudi tidak berperan sama sekali dalam Holokaus, malah sang Allah ini ikut terbunuh bersama enam juta orang Yahudi. Allah ini solider dengan nasib bangsanya. 

Di pihak Wiesel pribadi, jiwa dan mimpi-mimpinya ikut terbunuh dan terkubur bersama Allah yang terbunuh. Orang yang masih hidup pun melihat dirinya telah terbunuh bersama Allah yang telah terbunuh.

Dalam Tanakh Yahudi, ide tentang ketidakhadiran Allah diungkap dalam gambaran tentang Allah yang menyembunyikan diri. 

Allah menyembunyikan diri dari kehidupan orang saleh. Ini juga sebuah gambaran yang membuat ide-ide biasa kita tentang Tuhan terjungkal. 

Selama Allah masih bersama kaum saleh, Allah berfungsi sebagai sebuah benteng atau sebuah perisai yang melindungi mereka dari segala azab, nestapa, penderitaan, penganiayaan dan semua musuh (lihat antara lain 2 Samuel 22:2-4; Mazmur 18:3-4; Yeremia 16:19a). 

Jika Allah menyingkir dari orang saleh, maka orang saleh ini rentan diserang oleh kekuatan-kekuatan jahat kodrati maupun adikodrati, yang membuat mereka tersiksa dan teraniaya.

Dari kisah fiktif dalam Perjanjian Lama tentang Ayub yang sangat saleh, kita tahu bahwa penderitaan menerpa Ayub tak habis-habisnya ketika Allah menyingkir dari kehidupan Ayub dan Setan dibiarkan Allah berkuasa atas dirinya (Ayub 1:12; 2:6). 

Selama Ayub masih dalam penjagaan dan perlindungan Allah, Ayub sukses besar dan makmur dalam segala segi kehidupannya. Ketika Allah menjauh dan menarik diri dari Ayub, sekian azab menghancurkan seluruh kehidupannya.

Penulis Mazmur 89:47-52 dengan berat mengeluh bahwa dia menerima berbagai macam penghinaan dari segala bangsa ketika Allah bersembunyi dari dirinya terus-menerus. Penulis Mazmur 10:1 bertanya kepada Allah, “Mengapa Engkau berdiri jauh-jauh, Ya TUHAN, dan menyembunyikan diri-Mu dalam waktu-waktu kesesakan?”

Dalam suatu momen kegiatannya selaku seorang hamba Allah, nabi Yesaya sampai menyatakan bahwa Allah telah menyembunyikan diri-Nya (Yesaya 45:15). 

Pada masa aktivitas sang nabi, dia bersama bangsa Israel sama sekali tidak bisa melihat bagaimana Allah mereka bekerja untuk mereka, karena Allah yang mereka sembah dan andalkan ternyata bertindak dengan cara yang tidak lazim lewat tangan seorang raja asing, yakni Koresh, Raja Persia, yang ditetapkan-Nya sebagai Mesias pilihannya sendiri (44:28; 45:1, 13), yang akan menyelamatkan umatnya.

Menurut penulis Injil Markus dalam Perjanjian Baru, ketika Yesus menanggung azab di kayu salib, di manakah Allah yang Yesus biasa panggil dengan akrab sebagai sang Abba, sang Bapa, berada? 

Dalam ide penulis injil ini, ketika Yesus mengerang kesakitan dan meregang nyawa di kayu salib, Allah telah meninggalkan dirinya, sehingga Yesus menderita sendirian saja. 

Dalam kesakitannya, Yesus berteriak keras kepada Allahnya ini, “Eloi, Eloi, lama sabakhtani?”, jika diterjemahkan berarti “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” (Markus 15:34). 

Yesus sengsara di kayu salib karena Allah telah menyingkir darinya, menelantarkannya. Seandainya Allah masih bersama Yesus, dia tidak akan mati disalibkan. Yesus di sini, dalam tuturan Markus, terperangkap dalam sebuah problem teodise: Mengapa Allah yang mahakuasa, mahakasih, mahaadil, dan mahahadir, sampai tega meninggalkan orang yang saleh seperti dirinya ini sehingga si saleh ini menderita amat sangat, padahal si saleh sama sekali tidak bersalah?/3/

Dengan menyatakan bahwa Allah tidak hadir, bahwa Allah menjauh, bahwa Allah bersembunyi, bahwa Allah telah terbunuh, penderitaan yang menimpa orang-orang saleh jelas tidak dapat diasalkan pada diri Allah ini. 

Penderitaan dialami orang saleh bukan karena Allah yang menimpakannya kepada mereka. Bukan! Tetapi karena ada kekuatan-kekuatan lain yang dengan bebas menyengsarakan umat, tanpa bisa dihentikan oleh Allah karena Allah memang sedang tidak hadir di tempat. 

Apakah argumen semacam ini berhasil mengatasi problem teodise, dan tidak menimbulkan sejumlah problem lain? Jika anda cerdas, anda pasti akan menjawab tidak, berdasarkan beberapa alasan berikut.  

Pertama, kalau Allah bisa tersembunyi, bisa tidak hadir, maka hilanglah sifat mahahadir dan mahapenolong Allah yang sebetulnya ingin dipertahankan dengan kuat dalam teodise. 

Kalau Allah bisa tidak hadir, atau bisa tidak ada karena terbunuh, dan sebagai ganti diri-Nya ada kekuatan-kekuatan lain yang jahat, yang sedang berkuasa atas diri umat Allah, maka hilanglah juga sifat mahakuasa Allah. 

Kalau Allah tidak hadir dan dengan demikian kesengsaraan menimpa si mukmin yang saleh dan tak bersalah, maka hilanglah sifat mahaadil Allah yang sebetulnya juga ingin dipertahankan dalam teodise.  

Kedua, kalau karena Allah bersembunyi umat menjadi sengsara atau rentan terhadap serangan penderitaan, maka Allah yang semacam ini dapat diibaratkan sebagai seorang ayah yang tidak bertanggungjawab, tega hati dan pengecut, yang lari bersembunyi ketika anak-anaknya sedang atau akan dianiaya orang-orang jahat. 

Konsep tentang Allah yang semacam ini sama sekali tidak bisa diperdamaikan dengan nilai-nilai moral dan nilai-nilai sosial yang mau ditegakkan dalam suatu masyarakat yang bertanggungjawab, di mana setiap ayah dan ibu dipandang sebagai sosok-sosok agung pelindung dan pengayom anak-anak mereka.

Ketiga, jika si saleh menginginkan kehidupannya terbebas dari segala bentuk penderitaan dengan terus-menerus meminta Allah tetap hadir untuk melindungi dan menjaga dirinya, maka bisa terjadi si saleh ini akan menolak semua bentuk perlindungan dan pertolongan yang dapat diupayakan manusia melalui sains dan teknologi modern. 

Banyak sekali orang saleh di dunia ini dengan fanatik (baca: dengan bodoh) menolak pertolongan medis apapun karena mereka hanya bergantung pada Allah mereka melalui doa-doa dan ritual-ritual keagamaan mereka untuk kesembuhan penyakit mereka atau penyakit sanak famili mereka. Akibatnya, ya dari antara mereka atau dari antara sanak famili mereka banyak yang mati karena “iman” yang bodoh dan tidak cerdas!

Keempat, ihwal hadir atau tidak hadirnya Allah sebetulnya bukan ditentukan oleh diri Allah itu sendiri, tetapi ditentukan sendiri oleh manusia secara subjektif dalam teologi yang dikonsepnya sendiri. 

Bisa terjadi dalam suatu bencana dahsyat, seorang mukmin akan mengklaim bahwa dia merasa Allah ada di tengah kehidupannya, sementara seorang mukmin lainnya akan menyatakan bahwa Allah telah meninggalkan dirinya. 

Jadi, hemat saya, daripada memperdebatkan apakah Allah hadir atau Allah absen di dalam suatu kesulitan yang sedang menimpa manusia, jauh lebih konstruktif jika kita semua mau bertindak secara rasional untuk mengatasi berbagai macam azab dan penderitaan yang sedang menimpa umat manusia melalui berbagai macam kerja nyata kita di dalam masyarakat.

Kelima, jika kehadiran dan penyertaan Allah dipercaya sebagai sumber semua kemakmuran, kesenangan dan keberhasilan, maka konsep teologis semacam ini bisa berbahaya buat kehidupan etis manusia. Bahayanya di mana? 

Bahayanya: orang bisa berpura-pura melupakan bahwa harta kekayaan yang mereka miliki sebenarnya bersumber dari tindak pidana korupsi atau berbagai perbuatan melanggar hukum lainnya. 

Lalu, sebagai gantinya, mereka akan mengklaim bahwa semua harta kekayaan dan sukses mereka itu diperoleh sebagai berkat-berkat Allah yang mahabaik, mahapenolong dan mahahadir dalam kehidupan mereka. Jadi, di sini teologi dibuat untuk melegitimasi perbuatan tidak bermoral.

Keenam, orang ateis adalah orang yang menyatakan bahwa Allah tidak ada. Kalaupun para agamawan berpendapat Allah memang ada pada dirinya sendiri, orang ateis tidak memerlukan Allah ini sebagai sang pelindung mahakuasa mereka. 

Menurut estimasi Biro Sensus Amerika Serikat, pada 12 Maret 2012 penduduk dunia mencapai 7 milyar kepala; sedangkan menurut estimasi PBB jumlah ini tercapai pada 31 Oktober 2011. 

Dalam tahun 2013, menurut estimasi PBB jumlah penduduk dunia mencapai 7.116.744.393 kepala. Dari jumlah ini, diestimasi 18 % adalah orang ateis, setara dengan kurang lebih 1,3 milyar orang. 

Pertanyaannya adalah: Apakah semua orang ateis dalam jumlah sangat besar ini dengan demikian tidak terlindung dan karenanya akan selalu didera kekuatan-kekuatan jahat sehingga mereka sengsara? Kenyataannya tokh tidak demikian! 

Artinya: ketidakhadiran Allah tidak otomatis akan menimbulkan penderitaan bagi manusia. Manusia pada dirinya sendiri dan melalui sains dan teknologi dapat melindungi diri dari banyak bentuk penderitaan. 

Teologi tentang ketidakhadiran Allah malah bisa membuat orang makin mandiri, makin cerdas, makin dewasa dan makin tegar dalam menjalani kehidupan dalam dunia ini. 

Umumnya orang beranggapan bahwa kepercayaan keagamaan yang dipegang kuat-kuat akan membuat orang yang beragama lebih tahan stres dan tidak mudah terkena depresi dibandingkan orang yang sekuler atau orang yang tidak beragama. 

Tetapi sebuah studi mutakhir lintas-negara atas 8.318 orang yang berasal dari 7 negara menunjukkan bahwa:
  • dari antara orang-orang yang menyatakan memegang keyakinan spiritual atas kehidupan ini, 10,5 % mengalami episode depresi setahun setelah mengalami kejadian serius dalam kehidupan mereka
  • dari orang-orang yang beragama, angkanya 10,3 % 
  • dari kalangan sekuler (tak beragama), angkanya 7,0 %
Temuan di Inggris lebih mencolok lagi: kalangan spiritualis tiga kali lipat lebih mudah terkena depresi dibandingkan kalangan sekuler. Juga ditemukan bahwa makin kuat iman seseorang kepada Tuhannya, orang ini berisiko dua kali lipat terkena depresi dibandingkan orang yang beriman lemah. 

Sebagai kesimpulan: Tidak ada bukti bahwa agama bertindak sebagai bemper penahan depresi setelah orang mengalami goncangan serius dalam kehidupan mereka./4/ 

Dengan kata lain, tidak ada jaminan bahwa jika anda sangat percaya Allah selalu hadir dalam kehidupan anda dan selalu menjaga, melindungi dan menolong anda, khususnya saat anda sedang mengalami banyak persoalan berat, anda akan selalu tegar dan akan tampil sebagai pemenang atas semua masalah anda. 

Mungkin sekali terjadi, ketika kepercayaan anda ini tidak kunjung terbukti, rasa stres anda akan bertambah besar, yang akan secara bertahap membawa anda ke dalam depresi. Dalam situasi inilah iman anda sama sekali tak menolong anda, malah memperlemah daya tahan mental anda. 

Hal itu bisa terjadi karena anda terus-menerus memprotes Allah anda, bahkan memarahi sosok adikodrati ini dan anda memberontak terhadapnya. 

Jelas, kondisi mental anda ini yang orang namakan “dissonansi kognitif”,/5/ yang muncul dari iman dan kepercayaan yang tak terwujud, akan pasti memperburuk kondisi kejiwaan anda secara keseluruhan.

Tentu saja, anda dan saya tidak perlu menjadi ateis untuk dapat tegar dan kokoh ketika menjalani kehidupan kita yang kerap diterjang dan dihadang ombak-ombak besar persoalan, azab dan kesulitan yang terus datang, meradang, menendang dan menghalang. 

Untuk dapat meraih kondisi mental yang kokoh dan tegar, lepas dari dissonansi kognitif, yang dibutuhkan dari kita adalah kecerdasan dan kreativitas dalam beragama. Bagaimana cara memperoleh kecerdasan dan kreativitas ini?

Sementara pada satu pihak kita melihat dan mengakui ada enam problem besar dan rumit yang ditimbulkan oleh teologi tentang ketidakhadiran atau ketersembunyian Allah seperti sudah dibentangkan di atas, teologi semacam ini, pada pihak lain, dapat membantu kita lebih cerdas dan kreatif dalam beragama. Mungkin anda tak percaya. 

Kita umumnya sudah tahu, kalau kita bisa mengambil jarak dari sesuatu yang sedang dan sudah lama kita amati, pengetahuan kita tentang sesuatu yang kita sedang amati ini bisa lebih objektif, bisa lebih multidimensional, dan bisa lebih mendalam dan meluas. 

Begitu juga ihwalnya dengan pengetahuan kita mengenai Allah, kehendak dan keterlibatannya dalam dunia ini dan dalam kehidupan kita.

Kalau kita terlalu terbiasa dengan Allah, terlalu murah mengobral kata-kata tentang diri yang serba lain ini, terlalu gampang mengklaim hal ini dan hal itu tentang Allah, terlalu mudah mengait-ngaitkan diri Tuhan dengan diri kita dan dengan persoalan-persoalan kehidupan kita, maka gambaran-gambaran kita tentang Allah akan menjadi gambaran-gambaran yang datar, tawar, hambar, rutin, membosankan, terlalu terbuka, terlalu telanjang. Tidak lagi menantang, tidak lagi mengejutkan, tidak lagi tersembunyi, tidak lagi misterius, tidak lagi progresif, tidak lagi mencerahkan, dan tidak lagi mencerdaskan kita. 

Pendek kata: dogmatisme membuat kita bodoh, kehilangan kreativitas dan imajinasi.

Sesuatu yang terus-menerus rutin kita pikirkan, tak akan mencerdaskan kita lagi.

Sebaliknya, kalau kita menghayati suatu teologi tentang Allah yang tersembunyi, yang tidak hadir, yang misterius, yang bermain petak umpet dengan kita, bahkan, seperti dilihat Elie Wiesel, yang terbunuh, kita akan merasa sangat tertantang untuk terus-menerus mencari dan menemukan Tuhan kembali dalam perspektif-perspektif yang baru dan mengejutkan. 

Kreativitas dan imajinasi membuat Tuhan hidup kembali dalam berbagai penampilan, dalam berbagai titisan, dalam berbagai paras dan wajah, dalam berbagai gerak, dan dalam berbagai suara, yang semuanya berbeda dari sebelumnya. 

Kepercayaan atau iman yang hidup, kreatif, inovatif, aktif, dinamis dan bergairah semacam ini, akan sangat membantu anda saat anda sedang menghadapi banyak persoalan berat yang menimbulkan stres.

Seseorang mudah sekali terkena stres dan akhirnya terbenam dalam depresi berat ketika sedang menghadapi persoalan-persoalan berat sekalipun dia sangat saleh beragama, seperti telah diungkap oleh kajian psikologis mutakhir yang sudah dibeberkan di atas. 

Hal itu bisa terjadi karena si saleh ini hanya terpaku pada satu citra tentang Allah yang sudah dengan rutin ada dalam pikirannya sendiri. 

Allah yang rutin mengisi pikiran dan hatinya ini ditunggu-tunggunya untuk bertindak menolong dirinya. Tetapi karena Allahnya ini tak kunjung datang menolongnya, stresnya pun dari saat ke saaat makin bertambah berat. 

Si saleh yang semacam itu tidak bisa kreatif melihat Allah dalam penampilan, paras, wajah, dan suara yang berbeda, yang mengejutkannya, yang ditemukannya sebagai Allah yang lain dari biasanya.

Jika si saleh ini mencoba untuk dengan cerdas, kreatif dan inovatif melihat Allah dari sudut-sudut pandang yang lain, yang tidak biasa, yang tidak rutin, yang tidak terduga, yang mengagetkan, misalnya sebagai Allah yang tersembunyi, yang tidak hadir, atau bahkan sebagai Allah yang terbunuh, yang sedang berpetakumpet, sangat mungkin dia juga akan memandang semua persoalan beratnya dari sudut-sudut yang lain, yang tidak lazim. 

Jika itu terjadi, ada harapan, teologinya yang baru tentang Allah, akan membuatnya lebih kuat dan lebih kokoh dalam memikul semua persoalannya yang berat.

Ide tentang Allah yang tersembunyi, yang tidak hadir, yang terbunuh, akan dengan mengherankan membuat anda lebih cerdas beragama dan lebih tangguh dalam kehidupan ini, karena ide yang semacam ini akan bermuara pada penemuan kembali diri Allah sebagai Allah yang lain, yang tidak rutin, yang akan membangun semangat hidup anda kembali.

Ketidakhadiran Allah ternyata akan bisa sangat ampuh dan kuat mengubah diri anda, dari seorang yang lemah berubah menjadi seorang yang tangguh, dari situasi kegelapan malam masuk ke situasi fajar pengharapan, lalu bermuara di situasi pencerahan siang. 

Ini sungguh sesuatu yang mengejutkan sekaligus menakjubkan, lain dari perkiraan orang pada umumnya. Bisa jadi, inilah yang terjadi pada Elie Wiesel, yang setelah peristiwa Holokaus dipandang dunia yang beradab sebagai duta umat manusia untuk mengingatkan bangsa-bangsa manapun dalam dunia ini untuk tidak membantai bangsa lainnya atas alasan apapun. 

Perjalanannya dari Night, ke Dawn, lalu masuk ke Day, jelas bukan suatu perjalanan yang mudah, tapi suatu perjalanan yang sangat berat, yang akhirnya bermuara pada pencerahan di hari siang yang benderang dan gemilang. 

Perjalanan yang gembira sekaligus menimbulkan rasa duka yang menusuk lantaran Tuhan tidak selalu hadir, tapi bisa juga begitu saja nongol lagi yang membuat kita gembira, lalu berlari ingin memeluknya. 

Tapi Tuhan mengelak saat kita mau merangkulnya, hilang lagi, akibatnya duka dan azab menyerbu lagi, dalam banyak permainan petak umpet yang sambung-menyambung.

Tetapi tak ada pilihan lain. Hanya satu: kreatif dan rianglah dalam bermain petak umpet dengan Tuhan. Meski lelah, bermainlah terus. Setap kegiatan bermain itu menantang dan menyehatkan.

Stay blessed 
Even when God is hidden

Catatan-catatan

/1/ Elie Wiesel, The Night Trilogy: Night, Dawn, Day (terjemahan Inggris oleh Marion Wiesel) (New York, N.Y.: Hill and Wang, 1972, 1985, 2008).

 /2/ Elie Wiesel, Night (terjemahan baru Inggris oleh Marion Wiesel; dengan sebuah pengantar baru dari penulis) (New York, N.Y.: Hill and Wang, 1972, 1985, 2006), hlm. xix, 34; idem, The Night Trilogy, hlm. 17, 52.


/3/ Usaha teologis menelusuri sebab-musabab adanya penderitaan, dan pertanyaan-pertanyaan di mana Allah yang mahapengasih dan mahaadil berada di tengah realitas penderitaan manusia, dan kepada siapa Allah berpihak apakah kepada penyebab penderitaan atau kepada manusia yang menderita, masuk ke dalam bidang perenungan teologis yang dinamakan teodise (dari kata Yunani theos = Allah, dan dikē = keadilan). 

Dalam bukunya yang berjudul Gods Problem: How the Bible Fails to Answer Our Most Important Question, Why We Suffer (New York: HarperCollins Publishers, 2008), Bart D. Ehrman memperlihatkan Alkitab gagal menjawab pertanyaan terpenting manusia apa sebabnya atau mengapa manusia menderita. 

/4/ Lihat Leurent , B., Nazareth, I., et al., “Spiritual and religious beliefs as risk factors for the onset of major depression: an international cohort study”, Psychological Medicine vol. 43/Issue 10/Oct 2013, hlm. 2109-2120. Tersedia online 29 Januari 2013, http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?fromPage=online&aid=8826658&fulltextType=RA&fileId=S0033291712003066

Lihat ulasannya oleh Jennifer Dunning, “Religious believers more depressed than atheists: study”, CBCNews, 20 September 2013, http://www.cbc.ca/newsblogs/yourcommunity/2013/09/religious-believers-more-depressed-than-atheists-study.html.

/5/ “Dissonansi kognitif” adalah kondisi mental yang tertekan (“kognitif”) karena tak terwujudnya atau melesetnya (“dissonansi”) hal-hal yang semula sangat diyakini dan dipercaya sebagai kebenaran. 

Untuk keluar dari kondisi mental yang menekan berat ini, berbagai cara dilakukan. Misalnya membangun sikap "pokoknya kami benar, cuma...", mengakal-akali alias merasionalisasi isi keyakinan ideologis sekular atau religius yang sudah terbukti salah supaya kelihatan tetap masuk akal, dan makin aktif mencari pendukung tambahan atas ideologi dan keyakinan yang sudah meleset dan salah itu. Jika pengikut baru bertambah, berarti keyakinan ideologis yang sudah salah itu menjadi benar lagi. Akal-akalan dan membohongi diri sendiri.

Sumber primer tentang teori dissonansi kognitif, lihat Leon Festinger, H. W. Riecken dan S. Schachter, When Prophecy Fails: A Social and Psychological Study of a Modern Group That Predicted the Destruction of the World (New York: Harper and Row, 1956). Pemaparan lebih jauh teori ini, lihat Leon Festinger, A Theory of Cognitive Dissonance (Stanford, California: Stanford University Press, 1957). 
 

Sunday, November 10, 2013

Twelve lessons from the wonderful nature


rivers teach us to make our life flow eternally...


Sangat banyak hal kita bisa pelajari dari alam, baik untuk menambah ilmu pengetahuan kita dari saat ke saat, maupun untuk membuat kita lebih bijaksana dalam melakoni kehidupan kita masing-masing. Semua kitab suci agama-agama kuno juga berbicara banyak tentang manfaat alam sebagai media untuk menambah pengetahuan dan kearifan kita, bahkan sebagai media untuk manusia berjumpa dengan sang Tuhan sendiri.

Bahkan dalam natural religions yang lahir pada era mitologis dalam perkembangan evolusioner peradaban manusia, nature dan segala kekuatannya dipersonifikasi dalam berbagai sosok adikodrati dewa-dewi atau setan-setan atau makhluk-makhluk angkasa lainnya. Pada era mitologis, gerhana di angkasa, misalnya, dipandang bukan hanya sebagai suatu kejadian alam, tapi ditafsirkan sebagai pertarungan sosok-sosok adikodrati yang hidup di kawasan angkasa. Dalam mitologi bangsa Viking, berkaitan dengan gerhana, dua ekor serigala supernatural yang bernama Skoll dan Hati digambarkan memburu Matahari dan bulan. Ketika keduanya berhasil menangkap Matahari dan bulan, terjadilah gerhana-gerhana. Saat itulah manusia di Bumi bergerak cepat untuk menyelamatkan dua benda langit ini dengan membuat berbagai suara dan bunyi-bunyian yang keras, dengan harapan mereka dapat menakut-nakuti serigala-serigala itu sehingga dua binatang angkasa ini akan melepaskan kembali Matahari dan bulan agar keduanya dapat bersinar terang lagi.