• Ioanes Rakhmat
Charles Sanders Peirce
Peirce menerima ide-ide rasionalisme Cartesian, tapi juga mengintegrasikannya dalam suatu keseluruhan yang melampaui rasionalisme. Menurut Peirce, konsep-konsep rasional dapat bermakna dan bisa mengabstraksi kesimpulan-kesimpulan empiris. Hal ini sudah jelas, sebab sains yang tidak rasional tentu bukanlah sains.
Peirce menyatukan penalaran induktif dan penalaran deduktif sebagai dua jenis reasoning yang saling melengkapi, bukan saling menyingkirkan. Tapi Peirce dengan kreatif menambah satu jenis reasoning lagi yang dinamakannya penalaran abduktif (“abduction reasoning”).
Penalaran abduktif: Jika ada banyak teori tentang suatu pengetahuan, teori yang paling superior adalah teori yang sangat mungkin lebih benar jika dibandingkan teori-teori lainnya yang inferior. Penalaran abduktif dipakai untuk tiba pada teori-teori yang lebih benar dibandingkan teori-teori lainnya. Ini berkaitan dengan kaidah Occam’s Razor yang akan dibeberkan nanti.
Tiga penalaran yang diajukan Peirce (induksi, deduksi, dan abduksi) kini menjadi fondasi konseptual utama dalam metode-metode saintifik modern yang bernalar dan berakal.
Terhadap pertanyaan objek-objek apa saja yang menjadi fokus sains modern, Peirce menjawab demikian: objek-objek sains adalah hal-hal yang REAL, yang propertinya tidak bergantung pada persepsi manusia atas hal-hal ini. Hal-hal real ini ada secara objektif, terlepas dari persepsi si pengamat.
Kata Peirce, setiap orang yang punya pengalaman yang cukup tentang hal-hal yang real akan sepakat mengenai kebenaran hal-hal yang real itu.
Yang disebut REAL oleh Peirce dalam dunia sains sekarang disebut sebagai hal-hal yang empiris, yakni segala hal yang dapat ditangkap lima indra kita atau dengan bantuan instrumen-instrumen teknologis atau yang disusun dalam model-model keilmuan (model matematis, model statistik, model komputer, dll).
Hal yang sangat penting, kata Peirce, adalah bahwa semua kesimpulan sains selalu tentatif (sementara, tidak final, tidak absolut, dapat berubah sewaktu-waktu). Kata Peirce, rasionalitas metode sains tidak bergantung pada kepastian kesimpulan-kesimpulannya tapi pada wataknya yang selalu “self-corrective”, selalu mampu memperbaiki diri sendiri.
Kekuatan sains terletak di situ, selalu mampu memperbaiki diri, dus selalu hidup, dan selalu tahu kapan harus memperbaiki diri. Sains itu tahu diri. Kapan dan bagaimana?
Kata Peirce, sains akan memperbaiki diri jika bukti-bukti yang real sudah tak sejalan lagi dengan pandangan-pandangan saintifik sebelumnya.
Menyangkut metode-metode sains, Peirce menegaskan bahwa dengan terus-menerus dipakai, setiap metode saintifik akan membuat sains dapat mendeteksi dan mengoreksi kesalahan-kesalahannya sendiri. Tak usah diperintah siapapun.
Peirce, dengan demikian, menegaskan bahwa semua pandangan saintifik bisa salah, fallible. Inilah yang dikenal sebagai fallibilisme Peirce.
Lebih jauh Peirce menyatakan bahwa lewat ujicoba terus-menerus, metode-metode saintifik akhirnya akan bermuara pada kebenaran yang makin integratif dan makin unifying, makin menyatukan segala fenomena alam dalam suatu teori besar yang serba inklusif.
Terkait dengan sifat yang unifying atau menyatukan, ada sifat-sifat lain yang berkaitan, yakni sifat niscaya atau inevitable (yakni lengkap dan memuaskan), dan sifat simetris atau invarian (yakni, hasil eksperimen dan observasi selalu stabil dan sama, terlepas dari waktu dan tempat pengukuran).
Oh ya, jangan anda meremehkan sains karena wataknya yang bisa salah, fallible. Sesuatu yang diterima dapat salah, justru akan mendorong orang untuk selalu menguji ulang dan mengoreksi---alhasil, kemajuan diperoleh. Jika sesuatu itu anda absolutkan tidak bisa salah, maka sesuatu ini pasti bantut dan berubah menjadi fosil.
Oh ya, jangan anda meremehkan sains karena wataknya yang bisa salah, fallible. Sesuatu yang diterima dapat salah, justru akan mendorong orang untuk selalu menguji ulang dan mengoreksi---alhasil, kemajuan diperoleh. Jika sesuatu itu anda absolutkan tidak bisa salah, maka sesuatu ini pasti bantut dan berubah menjadi fosil.
Jangan lupa, kendatipun semua pandangan sains bisa salah, ternyata sains efektif bekerja: anda setiap hari memakai berbagai teknologi produk sains, dan karena sains yang bisa salah ini kita sekarang sudah bisa menerbangkan wantariksa-wantariksa tanpa awak ke berbagai planet dalam sistem Matahari kita. Sains itu real, dan menghasilkan hal-hal yang objektif.
Kalau anda kekeh menyepelekan sains (mungkin karena kesalehan keagamaan anda), baiklah saya ajak anda untuk tidak munafik: tinggalkanlah semua produk sainstek, jangan memakainya sama sekali, lalu kita lihat apakah anda masih akan bisa hidup lama dalam zaman sekarang ini.
Penangkapan oleh lima indra manusia (atau dibantu berbagai instrumen) atas hal-hal yang real, kata Peirce, berhubungan dengan konsepsi rasional atas hal-hal real itu. Maksudnya: penangkapan realitas oleh lima indra kita yang dibantu oleh berbagai instrumen teknologis akan selalu sejalan dengan penjelasan-penjelasan rasional tentang realitas ini.
Bahwa berbagai instrumen harus dipakai untuk membantu lima indra juga ditekankan oleh John Dewey (1859-1952), Bapak pragmatisme. Selain itu, kata Dewey, ide-ide baru akan dihasilkan oleh pemakaian instrumen-instrumen, lalu ide-ide baru ini juga akan berfungsi sebagai instrumen bagi eksperimen-eksperimen lain. Gagasan Dewey ini dinamakan instrumentalisme.
Hal yang penting adalah bahwa verifikasi, bagi Dewey dan para filsuf pragmatisme, haruslah dilakukan bagi setiap pernyataan saintifik, selogis apapun pernyataan ini, yang belum dibuktikan. Inilah yang dinamakan verifikasionisme.
Kalau anda kekeh menyepelekan sains (mungkin karena kesalehan keagamaan anda), baiklah saya ajak anda untuk tidak munafik: tinggalkanlah semua produk sainstek, jangan memakainya sama sekali, lalu kita lihat apakah anda masih akan bisa hidup lama dalam zaman sekarang ini.
Penangkapan oleh lima indra manusia (atau dibantu berbagai instrumen) atas hal-hal yang real, kata Peirce, berhubungan dengan konsepsi rasional atas hal-hal real itu. Maksudnya: penangkapan realitas oleh lima indra kita yang dibantu oleh berbagai instrumen teknologis akan selalu sejalan dengan penjelasan-penjelasan rasional tentang realitas ini.
Bahwa berbagai instrumen harus dipakai untuk membantu lima indra juga ditekankan oleh John Dewey (1859-1952), Bapak pragmatisme. Selain itu, kata Dewey, ide-ide baru akan dihasilkan oleh pemakaian instrumen-instrumen, lalu ide-ide baru ini juga akan berfungsi sebagai instrumen bagi eksperimen-eksperimen lain. Gagasan Dewey ini dinamakan instrumentalisme.
Hal yang penting adalah bahwa verifikasi, bagi Dewey dan para filsuf pragmatisme, haruslah dilakukan bagi setiap pernyataan saintifik, selogis apapun pernyataan ini, yang belum dibuktikan. Inilah yang dinamakan verifikasionisme.
Verifikasi adalah pengujian berlapis untuk mengetahui kebenaran atau kesalahan sebuah pengetahuan atau suatu posisi keilmuan atau setiap klaim kebenaran yang dilakukan berdasarkan bukti-bukti (Latin: evidentia, bukti) terbaru, teori-teori besar yang sudah teruji dan koheren, dan penalaran logis.
Dalam empirisisme logis, prinsip verifikasi diberlakukan: setiap proposisi yang sepenuhnya tidak logis, atau yang logis sekalipun tapi tidak dapat diverifikasi, adalah proposisi yang kosong makna.
Masih dari John Dewey: empirisisme ilmu pengetahuan akan terus berguna tanpa perlu melibatkan hal-hal yang tidak empiris atau yang supernatural. Lagi menurut John Dewey, penjelasan-penjelasan supernatural tidak memberi nilai tambah apapun bagi pemahaman saintifik atas hal-hal yang real.
Ya, lompatan iman dalam dunia sains selalu akan jatuh lagi karena ditarik forsa gravitasi verifikasionisme.
Nah, sekarang apa itu Occam’s Razor yang sudah dimunculkan di atas?
Occam’s Razor atau Ockham’s Razor (Latin: lex parsimoniae, artinya “kaidah yang paling hemat kata”) adalah sebuah kaidah filosofis saintifik yang diajukan oleh teolog dan filsuf skolastik Inggris William dari Ockham (c. 1287-1347). Kaidah ini mencakup tiga kaidah elementer dalam dunia sains.
Pertama: Jangan membuat rumit hal-hal yang sebenarnya tidak rumit.
Kedua: Teori yang paling mungkin benar adalah teori yang paling ringkas dan paling sederhana dari antara teori-teori yang ada yang lebih berbelit dan rumit. Makin simpel bangunan sebuah teori, maka makin superior teori ini.
Ketiga: Jika anda mau menjelaskan apapun, mulailah selalu dengan memakai hal-hal yang secara empiris sudah diketahui, jangan membuat lompatan-lompatan iman yang tidak memerlukan bukti-bukti dan teori-teori besar saintifik, tetapi penuh dengan asumsi-asumsi.
Makin sedikit asumsi-asumsi dipakai dalam sebuah penjelasan atas suatu fenomena, penjelasan yang hemat dan sederhana ini menjadi sebuah pilihan ilmiah yang didahulukan.
Perdebatan yang rumit dan dibuat menjelimet atau complicated seketika itu juga menjadi sederhana, simpel dan elegan, ketika disodorkan bukti-bukti empiris yang relevan, yang bisa diverifikasi. Bukti menyederhanakan, tetapi iman yang penuh dengan asumsi memperumit.
Dalam empirisisme logis, prinsip verifikasi diberlakukan: setiap proposisi yang sepenuhnya tidak logis, atau yang logis sekalipun tapi tidak dapat diverifikasi, adalah proposisi yang kosong makna.
Masih dari John Dewey: empirisisme ilmu pengetahuan akan terus berguna tanpa perlu melibatkan hal-hal yang tidak empiris atau yang supernatural. Lagi menurut John Dewey, penjelasan-penjelasan supernatural tidak memberi nilai tambah apapun bagi pemahaman saintifik atas hal-hal yang real.
Ya, lompatan iman dalam dunia sains selalu akan jatuh lagi karena ditarik forsa gravitasi verifikasionisme.
Nah, sekarang apa itu Occam’s Razor yang sudah dimunculkan di atas?
Occam’s Razor atau Ockham’s Razor (Latin: lex parsimoniae, artinya “kaidah yang paling hemat kata”) adalah sebuah kaidah filosofis saintifik yang diajukan oleh teolog dan filsuf skolastik Inggris William dari Ockham (c. 1287-1347). Kaidah ini mencakup tiga kaidah elementer dalam dunia sains.
Pertama: Jangan membuat rumit hal-hal yang sebenarnya tidak rumit.
Kedua: Teori yang paling mungkin benar adalah teori yang paling ringkas dan paling sederhana dari antara teori-teori yang ada yang lebih berbelit dan rumit. Makin simpel bangunan sebuah teori, maka makin superior teori ini.
Ketiga: Jika anda mau menjelaskan apapun, mulailah selalu dengan memakai hal-hal yang secara empiris sudah diketahui, jangan membuat lompatan-lompatan iman yang tidak memerlukan bukti-bukti dan teori-teori besar saintifik, tetapi penuh dengan asumsi-asumsi.
Makin sedikit asumsi-asumsi dipakai dalam sebuah penjelasan atas suatu fenomena, penjelasan yang hemat dan sederhana ini menjadi sebuah pilihan ilmiah yang didahulukan.
Perdebatan yang rumit dan dibuat menjelimet atau complicated seketika itu juga menjadi sederhana, simpel dan elegan, ketika disodorkan bukti-bukti empiris yang relevan, yang bisa diverifikasi. Bukti menyederhanakan, tetapi iman yang penuh dengan asumsi memperumit.
Patut diingat, sederhana dalam arti "simple", bukan "naïve" atau naif. Orang yang naif bukan orang yang mampu memberi penjelasan yang sederhana, tapi orang yang kurang pengetahuan atau tak memiliki pengetahuan, tak mempunyai hikmat, tak berpengalaman, dan kerap semberono, kehilangan pertimbangan dan tak memiliki kemampuan mengevaluasi dan menilai.
Jika sebuah teori atau model disebut elegan, itu maksudnya: memberi hasil yang kuat dan kokoh hanya dengan langkah-langkah yang sehemat mungkin dan menghindari kerumitan yang tidak relevan.
Itulah keseluruhan isi terminologi Occam’s Razor yang melahirkan penalaran abduktif yang diajukan Peirce, seperti sudah disebut di atas.
Jika anda memakai penalaran abduktif, anda akan memilih kesimpulan yang paling sederhana dan paling ekonomis, dan melepaskan kesimpulan yang rumit, penuh asumsi, dan tidak ekonomis.
Kesederhanaan konsep-konsep dalam dunia sains ditekankan oleh Jacob Bronowski ketika dia menulis bahwa “Einstein adalah seorang yang dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang luar biasa sederhana. Dan apa yang diperlihatkan oleh karya-karyanya adalah bahwa ketika jawaban-jawabannya juga sederhana, maka anda dapat mendengar Allah yang sedang berpikir.”
Ya, Tuhan itu simpel. Tapi sengaja dibuat rumit oleh para penjual agama, kata teman saya begitu. Apa ya?!
Nah, itulah landasan-landasan filosofis bagi sains yang diajukan Peirce, dan juga oleh John Dewey.
Tentu saja, tulisan saya ini jauh dari lengkap; saya tulis hanya untuk menyediakan ancang-ancang bagi anda untuk menelusuri sendiri lebih jauh dua tokoh besar ini, selain juga William James (1842-1910).
Anda musti tahu, para filsuf pragmatisme berkonsensus bahwa filsafat apapun harus memperhitungkan metode-metode dan wawasan-wawasan saintifik dalam uraian-uraian filosofis logis. Ya ini harus, jika mereka ingin filsafat mereka mempunyai kewibawaan berbicara tentang kebenaran atau tentang keabsahan sebuah pengetahuan, atau, dengan kata lain, tentang epistemologi dalam dunia ilmu pengetahuan.
Tanpa verifikasionisme terhadap bukti-bukti empiris, semua konstruksi atau rekonstruksi filosofis apapun dan yang selogis apapun atas segala fenomena terperosok ke jalan buntu, already dead.
Kata Stephen Hawking, filsafat sudah mati. Ya, karena semua proposisi logis filosofis tentang jagat raya spekulatif, tanpa bukti, dan tidak memperhitungkan temuan-temuan fisika modern.
Harapan saya, semoga anda ke depannya tidak kacau lagi dengan mencampur aduk sains dan agama. Agama beroperasi di atas landasan-landasan yang sama sekali berbeda. Kita katakan, epistemologi agama (yakni epistemologi lompatan iman atau epistemologi wahyu supernatural) tak sejalan dengan epistemologi ilmu pengetahuan (yakni epistemologi evidensialisme dan verifikasionisme).
Sebuah masyarakat tidak bisa maju dan tak akan berkembang, menjadi modern, ketika masyarakat itu, dan khususnya para pemukanya, mabuk agama.
Karena mabuk, mereka menyamakan kitab-kitab suci mereka dengan ilmu pengetahuan, tapi tidak mampu melakukan verifikasionisme atas semua klaim yang mereka baca dalam kitab-kitab suci mereka.
Kalau betul teks-teks kitab suci apapun adalah teks-teks ilmu pengetahuan, maka semua klaim dalam teks-teks ini tunduk pada prinsip verifikasionisme dan prinsip self-correction.
Tanpa prinsip verifikasionisme diterapkan terhadap semua klaim tentang kebenaran, klaim ini patut dicurigai, entah sebagai klenik, atau sebagai delusi.
Patut dicatat, agama adalah kepercayaan pada doktrin-doktrin, berisi banyak asumsi, bukan ilmu pengetahuan yang dibangun di atas fondasi bukti-bukti empiris.
Nah, jika anda mau beragama, beragamalah dengan fondasi kepercayaan-kepercayaan dan asumsi-asumsi keagamaan yang dapat menjadikan anda orang yang agung, mulia, serba eling, bermartabat, memiliki kebajikan, kehormatan diri, kesadaran diri, pengenalan diri, dan cinta kasih yang ikhlas kepada orang-orang lain yang berbeda dan bentuk-bentuk kehidupan lain.
Baca juga Tuhan Itu Simpel.
Stay blessed.
ioanes rakhmat
Baca juga Tuhan Itu Simpel.
Stay blessed.
ioanes rakhmat
N.B. diedit 7 Januari 2022