Tuesday, July 14, 2009

Yesus Berjalan di atas Air: Betulkah?


Berperahu pada malam hari, di tengah danau yang bergelombang besar dan melawan tiupan angin keras, adalah suatu kejadian yang tidak akan dilakukan murid-murid Yesus yang sudah berpengalaman berlayar. Ini adalah suatu bentuk pengisahan yang disengaja untuk mencapai tujuan-tujuan teologis yang telah dipertimbangkan oleh si penulis kisah, untuk menyampaikan suatu ajaran kemuridan bagi gereja Markus.
 ioanes rakhmat

Selain itu, klaim bahwa Yesus itu Allah sering membuat orang Kristen mengabaikan suatu fakta yang sudah sangat pasti bahwa Yesus dari Nazareth adalah seorang manusia seperti kita yang memiliki tubuh jasmaniah yang kongkret, yang dapat disentuh dan memiliki berat, yang telah dipaku pada kayu salib dan mengeluarkan darah lalu mati.
 

ioanes rakhmat

N.B. Diperluas 13 Agustus 2021

Pengantar

Segala sesuatu yang ada dan terjadi dalam alam harus bisa dijelaskan oleh sains sebagai sesuatu yang sejalan dengan hukum-hukum alam (the laws of nature atau natural laws), meskipun sains pada masa kini belum bisa menjelaskan dengan tingkat kepastian yang tinggi seluruh jalannya hukum-hukum alam, dalam "dunia" partikel dan dalam jagat semesta. 

Sains dihasilkan oleh akal budi yang digunakan dengan kritis dan konsisten, melalui metode observasi atas fakta-fakta dan fenomena, melalui eksperimentasi dengan objek-objek empiris dengan memakai instrumen-instrumen, atau lewat model-model yang dibangun (model komputer, model statistik, model matematis, dll). Koherensi dengan teori-teori besar yang sudah ada juga menjadi penuntun ketika para ilmuwan menyusun berbagai konstruksi keilmuan yang baru.

Belum semua hukum alam sudah diketahui. Masih banyak fenomena yang beyond hukum-hukum alam yang sudah dikenal dalam jagat raya kita, belum lagi dalam jagat-jagat raya lain, bukan kontra hukum-hukum alam.

Jika ada suatu fenomena alamiah yang tidak bisa dijelaskan oleh sains pada masa kini, tidak berarti bahwa fenomena ini terjadi karena sebab-sebab supra-alamiah (misalnya karena campur tangan Allah atau campur tangan dewa-dewi) dan karenanya disebut sebagai mukjizat. Melainkan berarti bahwa sains pada masa kini belum bisa menjelaskannya dan terbuka kemungkinan untuk sains di masa depan bisa menjelaskannya. 

Sains pada dasarnya tidak akan membiarkan hal apapun tanpa penjelasan ilmiah. Semakin sains dan teknologi berkembang maju, semakin menakjubkan juga penjelasan-penjelasan keilmuan yang dapat diberikan atas berbagai fenomena.

Penjelasan sains bisa salah, ini sudah jelas; tetapi sains pada dirinya sendiri memiliki kemampuan dan pengetahuan untuk mengoreksi diri. Tak ada sains yang mutlak bertahan abadi. Sains tak akan pernah menjadi dogma-dogma suci. Alhasil, sains, dan teknologi sebagai terapannya, terus berkembang makin maju. Koreksi diri, itulah kunci penting bagi kemajuan apapun.

Salah satu "soft skills" yang dibutuhkan untuk siapapun mampu dan cakap mengoreksi diri adalah "metacognitive skill", atau kecakapan metakognitif. Nah, m
etakognisi adalah "pikiran (kita) tentang pikiran (kita) sendiri". Jadi, kecakapan metakognitif adalah kemampuan dan kecakapan untuk dengan kritis dan dengan kesadaran penuh memantau, memikirkan, mempertimbangkan dan mengevaluasi terus-menerus pikiran-pikiran kita dan kinerja kita sendiri, sebagai pemikir dan pembelajar. /1/ 

Setelah proses metakognitif itu berjalan, kita selanjutnya cakap mengadaptasi pikiran-pikiran, hasil-hasil pembelajaran dan kinerja kita dengan konteks-konteks yang baru dan senantiasa berubah, dan dengan tugas-tugas dan tanggungjawab yang baru dalam dunia yang terus berubah dalam sangat banyak bidang./ 2/

Nah, jika kepercayaan pada adanya Allah dipertahankan, maka harus dikatakan bahwa Allah berkarya melalui dan di dalam hukum-hukum alam, dan tidak menentang atau melawan hukum-hukum alam. 

Lebih jauh bahkan dapat ditegaskan bahwa hukum-hukum alam itu sendiri adalah kehendak dan pikiran Allah yang paling langsung dan paling jelas dapat diketahui manusia dalam dunia alam. Orang yang bergerak dalam alur teologi naturalis tidak mengalami kesulitan apapun untuk menerima hal ini.

Beberapa abad lalu, Baruch de Spinoza (24 November 1632 – 21 Februari 1677) sudah berpikir demikian ketika dia menyatakan “Deus sive Natura”, Allah atau Alam, maksudnya: Allah adalah alam, atau bahwa hukum-hukum alam itu adalah Allah sendiri, yang satu tidak bisa dipilih dan yang lain dibuang. Michio Kaku, seorang kosmolog masa kini yang kondang, juga mengaku bisa menerima keberadaan Allah, tetapi Allahnya bukanlah Allah dalam tiga agama monoteistik (Yudaisme, Kristen, dan Islam), melainkan Allah yang dipahami Spinoza!

Dengan demikian, jika ada suatu laporan apapun bahwa telah terjadi sesuatu yang menurut sains selamanya tidak akan mungkin terjadi secara alamiah di Bumi atau di alam semesta karena melanggar hukum-hukum alam, maka laporan ini tidak boleh diperlakukan sebagai suatu laporan tentang sesuatu yang faktual empiris alamiah sungguh terjadi dalam dunia.

Laporan semacam ini harus dilihat sebagai suatu laporan palsu yang direkayasa untuk melayani kepentingan-kepentingan insani tertentu. Atau sebagai suatu laporan yang memang harus dipahami bukan sebagai suatu laporan faktual tentang suatu kejadian historis, tetapi sebagai suatu kisah teologis yang memang ditemukan dalam tulisan-tulisan keagamaan dari berbagai zaman di tempat yang berbeda-beda.




Lihat gambar di atas. Air yang bergelombang besar tidak bisa menelan Yesus, sang Tuhan gereja. Sebaliknya, Yesus menginjak-injaknya. Berkonsentrasilah, fokuslah, pada Yesus, Tuhan yang hidup, maka anda pun akan berjalan di atas air yang besar bergelora dalam kehidupan anda.


Metafora

Ketahuilah, suatu laporan atau kisah teologis bertujuan bukan untuk melaporkan suatu kejadian historis dalam dunia alamiah manusia, tetapi bermaksud menyampaikan kebenaran-kebenaran lain yang berada dalam kawasan nilai-nilai, misalnya untuk menyampaikan ajaran-ajaran moral tentang hal yang baik dan hal yang jahat, hal yang benar dan hal yang salah, hal-hal yang menguatkan dan memberdayakan mental, dan seterusnya. 

Atau untuk menimbulkan efek dan respons pada perasaan, emosi, pikiran dan perilaku manusia terhadap sesuatu atau terhadap suatu figur insani tertentu yang menjadi objek-objek devosional atau penyembahan dan pemujaan keagamaan. 

Kisah-kisah semacam itu lazim dinamakan metafora (dari dua kata Yunani "meta" dan "ferein"). Yaitu suatu bentuk wahana sastra yang "menyeberangkan" (Yunani: ferein) si pembacanya, masuk ke kawasan lain yang "melampaui" atau "beyond" (Yunani: meta) kawasan dunia rutin sehari-hari, yakni kawasan adinilai, kawasan yang "sangat besar" atau transenden, yang melampau "batas-batas yang biasa". Kawasan ini memukau, mengejutkan, menggerakkan hati dan pikiran, dan mengubah kehidupan.

Tanpa metafora-metafora, maka pengenalan, pengalaman, penghayatan, gambaran dan internalisasi kita atas kawasan transenden, kawasan yang "sangat besar" yang melampaui dunia sehari-hari kita yang rutin, kawasan yang selalu berdimensi lebih tinggi, kawasan Misteri Besar, kawasan "the Wholly Other", akan sangat terbatas, bahkan tak dapat ada, tak dapat kita alami dan masuki, tak dapat mempesona dan tak dapat membuat kita tergetar dan tersungkur dalam keheningan, in deep silence

Rudolf Otto (dalam bukunya Das Heilige, 1917) menyebut Misteri Besar ini sebagai Mysterium tremendum et fascinans (Latin) atau "Misteri yang menakutkan sekaligus berkasihkarunia" (Inggris: fearful and merciful Mystery/Wholly Other"). Misteri ini, dalam bahasa Jerman, disebut oleh Rudolf Otto (1869-1937) sebagai "schauervolles und faszinierendes Geheimnis", atau sebagai "Ganz Andere", "Wholly Other" atau "Sang Lain" yang asing sepenuhnya, sang Serbalain./3/ 

Misteri Besar ini hanya bisa kita masuki dan alami lewat metafora-metafora besar yang dibangun dengan bagus, dan menghasilkan kebaikan dan cinta pada kehidupan.

Tanpa metafora, teologi apapun tak dapat dibangun, baik teologi cerita maupun teologi proposional, karena setiap teologi mengacu dan mau masuk ke Misteri Besar ini, misteri yang dahsyat sekaligus rahimi, yang melampaui segala sesuatu yang kita kenal dan persepsi dalam dunia biasa rutin sehari-hari kita. 

Untuk masuk ke Misteri Besar ini, ke "Ganz Andere", kita perlu menyeberang, memasukinya, lewat wahana metafora. Ya, karena misteri ini sepenuhnya melampaui atau berbeda dari dunia kita yang sehari-hari dan rutin, sehingga bahasa yang biasa, yang rutin, tak mampu menggerakkan dan membawa kita memasukinya. Metafora adalah bahasa, tapi bahasa yang lain, yang lewatnya kita mendatangi Sang Lain.

Misteri Sang Lain ini dahsyat dan mengerikan, tapi juga penuh kasih karunia dan menimbulkan kegembiraan, kesukaan, dan semangat. 

Lewat interaksi, metafora membawa kita memasuki kawasan transenden ini, sekaligus mendatangkan kawasan ini, Sang Lain ini, ke kita dan menyentuh kita dengan lembut sekaligus menyentak. 

Kita terbenam dalam keheningan di saat ini terjadi, di saat bertemu dengan, dan dijumpai oleh, the holy silent, the Wholly Other, Sang Lain. Itulah, the power of a metaphor.

Selanjutnya, silakan baca dengan cermat dan dada plong tulisan saya Teologi Adalah Metafora. Apa itu Metafora? Tulisan ini akan lebih luas membuka cakrawala pengetahuan anda tentang metafora, sejauh anda masih sedang berlayar ke depan, menuju cakrawala yang selalu samar dan menjauh./4/

Pencitraan diri

Ada sebuah tayangan audio-visual di youtube/5/ yang menampilkan Dedy Corbuzier (DC), seorang mentalist Indonesia, berjalan di atas air sementara kedua tangannya menggenggam sebuah handycam di sebuah kolam renang di Jakarta. Dalam sebuah tayangan lain, DC malah, seperti spiderman, berjalan ke atas pada sebuah dinding tembok dari sebuah bangunan tinggi dengan garis tubuhnya membentuk sudut 90 derajat dengan garis vertikal tembok. 

Menurut sains, berdasarkan hukum-hukum alam dan hukum-hukum fisika, dalam kondisi normal alamiah manusia manapun di Bumi ini tidak bisa berjalan di atas air yang dalam (kecuali di atas air yang kedalamannya hanya 10-20 cm) sebab massa jenis tubuh normal alamiah manusia lebih besar dari massa jenis air, dan juga tidak bisa berjalan normal alamiah ke atas pada dinding tembok sebab di Bumi ini secara alamiah bekerja gaya gravitasi Bumi yang akan menariknya jatuh ke bawah, seperti sebuah apel akan pasti jatuh ke bawah jika apel ini terlepas dari ranting pohon apel.

Jika DC betul-betul berjalan di atas air kolam renang yang dalam dan gambar acting-nya ini dapat secara objektif diambil oleh sebuah kamera, DC sangat boleh jadi telah berjalan (dalam dugaan saya semula) di atas sambungan balok-balok es batu yang panjang dan cukup besar yang telah disiapkan sebelumnya, yang mengapung di atas air kolam renang dan tidak bisa tertangkap oleh penglihatan biasa. 

Atau, ini yang sudah dipastikan, DC berjalan di atas tiang-tiang balok kaca yang disebut plexiglass, yang dipasang tegak lurus dengan dasarnya menyentuh dasar kolam renang. Plexiglass tidak bisa dilihat oleh mata biasa, tetapi dapat ditangkap oleh kamera khusus. 

Atau, tayangan DC berjalan di atas air atau berjalan ke atas pada dinding tembok semuanya adalah rekayasa teknologi canggih pembuatan film. 

Seorang lagi, yang telah menyihir publik, adalah Criss Angel. Si Angel ini diambil gambarnya sedang berjalan di atas air sebuah kolam renang, tanpa membawa handycam, dengan sangat berhati-hati, dan berusaha mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Dia dikelilingi gadis-gadis cantik yang dibayar. Sudah disingkap bahwa Criss bukan berjalan di atas air, tetapi di atas plexiglass. Lihat tayangan videonya dan analisisnya di youtube./6/ 

Kembali ke DC. Tujuan tayangan-tayangan tentang DC ini tidak lain adalah untuk membangun sebuah citra metaforis DC, bahwa DC adalah seorang superman atau seorang spiderman kebangsaan Indonesia, bangsa yang merindukan seorang  superman benar-benar dilahirkan untuk mengangkat citra bangsa ini di mata dunia. 

Pencitraan diri semacam itu dibangun oleh banyak kalangan serebritas di seluruh dunia, bagaimana pun juga caranya, termasuk dengan cara menyihir atau memukau masyarakat (yang lugu) melalui teknologi canggih sinematografi atau melalui trik-trik material dan mental lainnya.

Yang sungguh tak bisa saya pahami adalah pendapat sekian pendeta yang disampaikan langsung kepada saya, bahwa DC memang sungguh-sungguh berjalan di atas air, bukan sebuah acting rekayasa untuk hiburan atau mencari nama, dan apa yang telah dilakukan DC ini, tegas para pendeta itu, membenarkan kisah-kisah injil Perjanjian Baru tentang Yesus berjalan di atas air! Walah, walah, argumen mereka kok jadi begitu? Kepercayaan pada mukjizat Yesus dipakai oleh mereka untuk membenarkan acting DC, dan sebaliknya juga.

Sekarang, mari kita cermati teks-teks injilnya. Tahap demi tahap kita perlu melangkah untuk dapat menemukan makna dan pesan teks, maksud dan tujuan teks ditulis dan dipublikasi oleh penulis-penulis injil.

Hukum alam yang baru?

Dalam Injil Markus 6:45-52 (paralel Matius 14:22-33; Yohanes 6:16-21) dikisahkan bahwa Yesus berjalan di atas air Danau Galilea (atau Danau Tiberias). Kita bertanya: Apakah Yesus bisa betulan berjalan di atas air danau yang dalam?

Jawabnya: Yesus secara alamiah tidak bisa berjalan di atas air di tengah Danau Galilea yang dalam, karena massa jenis tubuh Yesus lebih besar dari massa jenis air danau. Dan pasti, Yesus juga tidak bisa berjalan melayang di atas muka air danau itu, sebab Yesus memiliki tubuh yang memiliki massa atau berat, dan Dia bukan roh atau angin atau hantu tanpa tubuh. Ini adalah jawaban berdasarkan pandangan saintifik.

Ingatlah bahwa jika suatu hukum alam dilanggar, maka hasilnya adalah suatu hukum alam yang lain dan baru. Apakah sekarang kita sudah temukan hukum alam yang baru itu yang membuat kita dengan bobot tubuh kita dapat berjalan di muka air yang dalam secara alamiah (tanpa bantuan tenaga jet)? Ya, hukum alam yang seperti itu tidak ada. Kita semua tahu hal ini.

Prapaham dogmatis mengendalikan

Orang Kristen kalangan tertentu, karena kesalehan dan devosi mereka pada Yesus, umumnya akan berkeras menyatakan bahwa Yesus pasti bisa berjalan di atas air karena Dia adalah Allah yang sanggup melakukan mukjizat apapun, yang melanggar hukum-hukum alam, dan bahwa Yesus pasti bisa berjalan di atas air karena Alkitab melaporkannya demikian! 

Sikap keras atau kesalehan keras ini susahnya membuat pesan sebenarnya kisah ini ketika dulu ditulis hilang, tidak pernah bisa ditangkap mereka.

Sikap keras mereka itu timbul dari perlakuan dan ide mereka yang salah tentang hubungan teks-teks skriptural Alkitab dengan iman atau keyakinan mereka tentang Alkitab. Mereka umumnya menamakan iman atau keyakinan mereka ini sebagai bibliologi. 

Teks-teks Alkitab apapun begitu saja, dengan naif, tanpa pengetahuan yang benar, mereka pakai untuk mendukung dan membenarkan iman atau keyakinan mereka tentang Alkitab. Bibliologi mereka itu sebetulnya adalah prapaham-prapaham dogmatis mereka tentang Alkitab, bukan pengetahuan (Yunani: logos) yang benar tentang Alkitab (Yunani: biblion) atau teks-teks Alkitab. 




Argumen "kucing kejar buntutnya sendiri"


Argumen mereka jelaslah argumen yang sirkular. Maksudnya: prapaham-prapaham dogmatis mereka tentang Alkitab menentukan, menuntun dan mengendalikan pemahaman mereka (yang jelas literalis, naif dan keliru) atas teks-teks Alkitab, lalu pemahaman mereka yang oleh mereka telah dimasukkan ke dalam teks-teks Alkitab ini, yang mereka klaim telah diangkat dari teks-teks Alkitab, pada gilirannya memperkuat dan mengabsahkan prapaham-prapaham dogmatis mereka tersebut. Ini ibarat seekor kucing yang berputar-putar sirkular mengejar buntutnya sendiri. Lalu, pada gilirannya, si buntut mengejar sang kucing pemilik buntut--- terus demikian, tak pernah tiba di tujuan.

Ada banyak prapaham dogmatis mereka tentang Alkitab. Beberapa dapat saya sebutkan, berikut ini. 

• Doktrin "inerrancy of the Bible", bahwa segala info dan data dalam Alkitab, bahkan sampai ke titik dan koma semua tulisan di dalamnya, tidak akan pernah keliru, tapi selalu benar dan akurat; 

• Ide bahwa bukan akal dan ilmu pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami Alkitab tapi hanya iman. Posisi ini dinamakan fideisme (Latin: fides, iman), yang mencampakkan akal dan ilmu pengetahuan;

• Ide bahwa para penulis Alkitab dikendalikan sepenuhnya oleh roh Allah ketika mereka menulis teks-teks Alkitab, sehingga akal budi, kehendak dan konteks real kehidupan mereka tidak berperan sama sekali. Posisi ini mengakibatkan mereka mengambil pemahaman ahistoris terhadap Alkitab;

• Ide bahwa bukan akal dan ilmu pengetahuan, melainkan hanya Roh Kudus, yang dapat dengan benar menuntun para pembaca Alkitab untuk memahami Alkitab; 

• Ide bahwa kehendak dan pikiran Allah sudah terbaca dalam semua teks Alkitab apa adanya, sebagaimana telah tertulis, tanpa perlu ditafsir lagi. Ini yang dinamakan literalisme skriptural yang naif, dan dapat berbahaya;

• Ide bahwa Alkitab selalu serba tahu dan serba benar tentang segala hal yang telah ada, yang sekarang ada, dan yang akan ada, dalam dunia ini. Ya, lantaran penulis Alkitab yang sesungguhnya adalah Allah yang mahatahu dan mahabenar, sebagai sang Arsitek Agung penyusun Alkitab. Inilah yang disebut totalitarianisme skriptural yang sangat naif, keliru, dan dapat berbahaya.

Semua prapaham dogmatis itu sudah ada dan kekal berdiam dalam benak mereka sebelum mereka membaca teks skriptural apapun. Makanya, dinamakan pra-paham atau lebih tepat pra-anggapan  atau presuppositions, yang bagi mereka sudah tidak bisa diubah lagi, bahkan oleh teks-teks Alkitab sendiri. Meskipun mengaku bahwa mereka mempertahankan prinsip Protestan sola scriptura ("hanya Alkitab"), namun yang sebenarnya berlaku dan mereka pertahankan adalah sola doctrina, "hanya doktrin" atau "hanya dogma".

Well, yang seharusnya dilakukan mereka, jika mereka terpelajar dalam pengetahuan keilmuan tentang Alkitab, adalah teks-teks Alkitab yang dipahami dengan benar dipakai untuk mengoreksi prapaham-prapaham dogmatis mereka tentang Alkitab. Hal inilah yang tidak bisa mereka lakukan, ya lantaran mereka bukan exegetes, tapi para apologet. Saya seorang exegete yang terlatih, tak pernah bisa menjadi seorang apologet. Selain itu, "soft skill" metakognitif sangat mungkin tidak mereka miliki.

Nah, satu soal lagi. Ihwal apakah Yesus adalah Allah atau bukan, bergantung pada keyakinan masing-masing orang; jadi klaim teologis ini bersifat subjektif doktrinal. Ya, bisakah anda memberi definisi insani pada Allah yang dipercaya tak terbatas, infinite? Semua orang teistik tidak bisa. Hal yang "infinite", tidak dapat dikurung dalam pembatasan-pembatasan atau definisi-definisi. Dapatkah anda dengan objektif membuktikan bahwa Yesus itu God? Ya, tidak bisa, tapi anda dapat mempercayai bahwa Yesus itu God

Tentu saja, jika anda mempercayai Yesus itu Allah, mempercayai God Jesus, dan kepercayaan anda ini membuat anda dapat hidup dengan penuh cinta kasih kepada segenap bentuk kehidupan dan alam, dan tidak membuat anda serba ofensif dan agresif, kepercayaan anda ini fungsional positif, kepercayaan yang membangun kehidupan. Tetapi soal kita sekarang adalah menemukan maksud dan tujuan penulisan kisah injil tentang Yesus berjalan di atas air. Jangan kehilangan fokus.

Anti-Kristus

Klaim bahwa Yesus itu Allah sering membuat orang Kristen mengabaikan suatu fakta yang sudah sangat pasti bahwa Yesus dari Nazareth adalah seorang manusia seperti kita yang memiliki tubuh jasmaniah yang kongkret, yang dapat disentuh dan memiliki berat, yang telah dipaku pada kayu salib dan mengeluarkan darah lalu mati.

Jika fakta Yesus itu sosok manusia yang real disangkal, para penyangkalnya tergolong penganut doketisme dalam kekristenan gnostik, yang oleh gereja awal dulu telah dinyatakan sesat, sebagai anti-Kristus. Tentang ini, ada teks-teksnya dalam Perjanjian Baru (1 Yohanes 2:18, 22; 4:2-3; dan 2 Yohanes 1:7). Silakan dibaca dengan cermat.

Suatu tubuh yang dapat dipaku pada kayu salib lalu mengeluarkan darah dan akhirnya mati, setelah tubuh ini mengalami kesakitan dan penderitaan yang amat sangat, adalah tubuh yang pasti tenggelam di air danau yang dalam, sama pastinya dengan tenggelamnya sebutir kelereng begitu kelereng ini dilempar dan masuk ke danau. 

Selain itu, karena Alkitab adalah kitab keagamaan, bukan buku sejarah, dan juga bukan buku sains, maka tidak semua berita atau kisah di dalamnya adalah sejarah atau sejalan dengan pandangan sains! 

Dus, hindarilah usaha saintifikasi Alkitab, atau usaha mengalkitabiahkan sains. Kedua usaha ini selalu kandas, terperosok ke dalam praktek cocokologi yang sia-sia, praktek mencocok-cocokkan Alkitab dan sains atau sebaliknya, praktek yang superfisial dan melelahkan para agamawan.

Jika anda sebagai seorang literalis ngotot menyatakan dan meyakini bahwa "Alkitab itu serba tahu dan serba benar tentang segala hal", maka anda menyamakan dan menyetarakan Alkitab (to biblion) dengan Allah (ho Theos) yang mahatahu. Selangkah ke depan, atau mundur selangkah ke belakang, anda pun otomatis memuja bahkan memberhalakan Alkitab. Inilah bibliolatri yang anda punyai, selain bibliologi. Apakah praktek keagamaan anda ini betul dan Kristiani?

Jelas, sains dan akal budilah, bukan iman, bukan doktrin, yang menentukan dan menilai apakah suatu laporan atau suatu kisah dalam Alkitab adalah suatu laporan atau kisah sejarah faktual. Roh kudus Allah tentu saja juga bekerja lewat ilmu pengetahuan dan akal budi manusia, termasuk ketika orang mau memahami teks-teks Alkitab.

Dengan memakai pendekatan saintifik, setiap kisah mukjizat dalam Alkitab harus dipahami pertama-tama sebagai sebuah kisah yang berisi pesan-pesan teologis, dan tidak semua kisah adalah sejarah. Sejarah memang kisah, tetapi kisah nyata insani, bukan kisah teologis. 

Sejarah berurusan dengan dunia ini, "this world"; sedang kisah-kisah teologis, atau teologi umumnya, berurusan dengan dan memasuki "dunia yang lain", "the otherworld".

Teks-teks yang mendahului

Mari sekarang kita ikuti bagaimana ihwal Yesus berjalan di atas air dikisahkan sebagai sebuah kisah. Maksud dan tujuan kisah ini ditulis menunggu kita temukan.

Kalau Yesus bisa berjalan di atas air yang dalam (katakanlah karena dia memiliki “ilmu meringankan tubuh” yang konon, menurut dongeng, dimiliki para guru silat Biara Shao Lin), Dia sebetulnya memiliki suatu kesempatan emas untuk mendemonstrasikan kepandaian hebat-Nya ini di hadapan orang banyak -- konon berjumlah sampai lima ribu orang laki-laki; lihat Markus 6:30-44, sebuah perikop yang langsung mendahului perikop Yesus berjalan di atas air Markus 6:45-52-- untuk membuat mereka terkesima lalu menjadi percaya pada-Nya. 

Tetapi, menurut teks yang kita baca, dengan disaksikan orang banyak yang terus mengikuti-Nya, Yesus dan murid-murid-Nya “mengasingkan diri dengan perahu ke tempat yang sunyi” (Markus 6:32).

Demikian juga, dalam kisah sebelumnya tentang Yesus meredakan angin ribut (Markus 4:35-41), di hadapan orang banyak yang melihat-Nya dan dengan dikelilingi perahu-perahu lain yang sedang berlayar di Danau Galilea di siang hari, Yesus seharusnya mendemonstrasikan kehebatan-Nya jika memang Dia bisa berjalan di atas air. Tetapi apa kata teks yang kita baca?

Bukannya Yesus memperlihatkan diri berjalan di atas air danau, Dia malah “duduk” lalu “tidur” dalam perahu yang membawa-Nya bertolak bersama murid-murid-Nya. 

Bukankah orang banyak akan makin terkesima lalu percaya pada Yesus jika Yesus bukan saja memperlihatkan kemampuan-Nya meredakan angin ribut (4:39) tetapi juga kemampuan-Nya berjalan di atas air?

Jadi, bertolak dari teks-teks ini logis jika kita menyimpulkan bahwa Yesus sebetulnya tidak bisa berjalan di atas air. Ganjil kalau Yesus dalam kejadian-kejadian itu tidak mau berjalan di atas air, sebab dengan demikian Dia melewatkan kesempatan-kesempatan emas itu. 

Membaca teks dalam konteks

Nah, jika demikian halnya, mengapa Markus 6:45-52 mengisahkan Yesus berjalan di atas air di tengah Danau Galilea? Inilah pertanyaannya! This is the question!

Untuk menjawabnya, kita perlu ingat konteks sejarah yang melahirkan kisah ini, dan memperhatikan, dalam konteks sastranya, bagaimana tuturan kisahnya berjalan dan berkembang. Membaca teks apapun harus cermat kalau kita memang mau mendapatkan pesan teks, dan maksud serta tujuannya ditulis dalam suatu konteks kehidupan yang real, bukan mau berapologetika.

Kisah Markus ini tidak bermaksud melaporkan suatu kejadian sejarah faktual (bahwa Yesus dulu betulan berjalan di atas air yang dalam), melainkan mau menyampaikan ajaran tentang kemuridan (discipleship)—ajaran tentang bagaimana orang seharusnya bersikap dan menjalani kehidupan sebagai murid Yesus dalam sikon nyata yang keras yang sedang mereka hadapi.

Harus diingat bahwa kitab Injil Markus pertama kali dibaca bukan oleh murid-murid asli Yesus---"inner circle" yang konon berjumlah 12 orang, yang bisa diartikan secara simbolik sebagai 12 suku bangsa Israel yang sedang dipulihkan lewat gerakan Yesus--- pada tahun 30-an, tetapi oleh komunitas Kristen pada tahun 70 (abad pertama Masehi) yang menjadi alamat tujuan Injil Markus yang ditulis menjelang akhir Perang Yahudi I melawan Roma (66-70/74 M). 

Dalam komunitas ini, Yesus, seperti pada masa kini oleh gereja-gereja Kristen di abad ke-21, juga oleh saya, disapa sebagai Tuhan dalam doa dan dipercaya hadir dalam roh di tengah kehidupan umat Kristen.

Nah, kepada komunitas Kristen yang berdiri 40 tahun setelah kematian Yesus inilah kisah Yesus berjalan di atas air Danau Tiberias semula ditujukan. Apa yang diajarkan oleh kisah ini kepada gereja Markus ini?

Sekali lagi, fokuslah dan perhatikan kisahnya dengan seksama: Yesus berjalan di atas air ketika “hari sudah malam” (Markus 6:47), bukan di siang hari yang benderang, ketika perahu yang ditumpangi murid-murid-Nya terkena “angin sakal” dan gelombang air besar menghambat pelayaran mereka (6:48), dengan disaksikan hanya oleh murid-murid-Nya dalam perahu itu, bukan oleh orang banyak. 

Berperahu pada malam hari, di tengah danau yang bergelombang besar dan melawan tiupan angin keras, adalah suatu kejadian yang tidak akan dilakukan murid-murid Yesus yang sudah berpengalaman berlayar. Ini adalah suatu bentuk pengisahan yang disengaja untuk mencapai tujuan-tujuan teologis yang telah dipertimbangkan oleh si penulis kisah, untuk menyampaikan suatu ajaran kemuridan bagi gereja Markus.

Gambaran tentang kegelapan malam dan angin sakal yang menerpa adalah alegori yang memuat gambaran menakutkan tentang keadaan real kehidupan keras dan berat yang sedang menimpa gereja Markus, sementara di Palestina sedang berlangsung perang orang Yahudi melawan Roma yang segera berakhir dengan kekalahan telak bangsa Yahudi, dengan kota Yerusalem dan Bait Allah dihancurleburkan (tahun 70).  

Gambaran menakutkan tentang perang dalam Markus 13:7-13 tampak mengacu dengan jelas pada pengalaman komunitas yang menanggung beban berat Perang Yahudi melawan Roma tahun 66-70./7/

Pembaca Injil Markus pada abad pertama dulu juga pasti tahu kisah mitologis tentang Air Bah yang pada zaman Nabi Nuh, dikisahkan, melanda dunia dan membinasakan semua kehidupan kecuali Nuh dan keluarganya serta binatang-binatang yang dibawanya dalam bahtera (Kejadian 7-8). Kisah dalam Perjanjian Lama ini jelas mengambil alih dan mengadaptasi kisah serupa yang dikisahkan dalam Epik Gilgamesh, epik dari Mesopotamia yang ditulis pada tahun 3.000 SM.

Dalam pandangan Alkitab, air bisa menjadi lambang penyucian dan pengudusan (Zakharia 13:1; Efesus 5:26), sepertinya halnya dengan air baptisan Kristen, atau lambang kehidupan (Yesaya 55:1; Yeremia 2:13a; 17:13b; Yehezkiel 47; Yohanes 4:10; 7:38; Wahyu 7:17; 21:6; 22:1), tetapi juga, khususnya dalam kisah Air Bah (lihat juga Bilangan 5:19, 22), bisa menjadi lambang kutuk, ancaman maut, pembinasaan dan pemusnahan!  

Dengan demikian, kisah Markus tentang Yesus berjalan di atas air jelas adalah kisah tentang bagaimana menjadi murid Yesus dalam suatu kondisi kehidupan yang berat, sukar, rentan, dan mengancam kehidupan.

Nah, ketika gereja Markus sedang diterpa kekerasan dan penderitaan dalam kehidupan mereka dan terancam musnah, Yesus yang mereka panggil dalam doa didengar (via teks skriptural) bersabda, “Tenanglah! Aku ini, jangan takut!” (Markus 6:50), sementara Dia menginjak-injak dan meremehkan air yang ada di bawah kaki-Nya.

Ya, siapa yang tidak takut kalau hidup dikitari peperangan, azab, kekalahan dan ancaman kemusnahan!? 

Tetapi, kalau gereja di tengah kehidupan yang sukar dan berat ini tetap memandang dan berkonsentrasi pada Yesus yang berkuasa atas air, semua kesukaran, keberatan dan ancaman kebinasaan ini, kata Markus, dapat diatasi. Lihat Petrus yang semula ketika berkonsentrasi pada Yesus sanggup juga, kata Matius (di tahun 85), berjalan di atas air (lihat Matius 14:29), di atas gelombang air danau yang bergelora mematikan, di tengah kegelapan malam, ketika biduk kehidupan dilanda angin sakal kehidupan. 

Kalau berjalan di atas air dapat diparalelkan dengan melayang di atas muka air, tentu saja umat Kristen perdana yang membaca kisah Yesus berjalan di atas air akan pasti teringat pada tuturan dalam Kejadian 1:2 yang menyatakan bahwa pada waktu Allah sedang menciptakan Bumi, “Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.”

Ingatan pada teks kitab Kejadian ini akan membuat mereka menemukan di dalam kisah-kisah injil tentang Yesus berjalan di atas air suatu pesan bahwa Yesus memiliki kuasa Roh Allah sehingga Dia sanggup “melayang” di atas muka air. Kepada Yesus yang memiliki kuasa Roh Allah inilah, mereka dapat mempercayakan diri, karena Dia hadir bukan untuk menghancurkan dan membinasakan, tetapi untuk mencipta dan membangun kehidupan.

Penutup

Nah, itulah berita, penguatan dan ajaran kemuridan dari penulis Injil Markus (dan penulis Injil Matius), yang disampaikan melalui kisah Yesus berjalan di atas air. Jika pesan ini kita tangkap dan hayati, maka secara figuratif metaforis Yesus memang berjalan di atas air, bahkan kita juga, sebagai gereja Yesus Kristus, sanggup berjalan di atas air.

Saya pun, ketika bersama Yesus dalam doa, dan diselubungi oleh Roh-Nya yang hadir bercahaya gemilang, melihat diri saya mampu berjalan di atas gelombang air yang keras menerjang kehidupan saya. Air yang bergelora keras saya injak-injak, bersama Yesus.

Well, kalau DC di zaman modern berhasrat menjadi sang hero untuk bangsa Indonesia sehingga dia menyihir publik dengan rekayasa berjalan di atas air, penulis Injil Markus dan penulis Injil Matius menampilkan Yesus Kristus sebagai sang hero buat komunitas-komunitas Kristen mereka, sang hero yang sedang menginjak-injak air Danau Galilea di abad pertama.

Tetapi sangat berbeda dari tujuan acting DC, para penulis sastra injil ini tidak bermaksud memperdaya dan menyihir komunitas-komunitas Kristen mereka, melainkan untuk, lewat sarana kisah metaforis, menguatkan dan memberdayakan mereka, untuk membuat mereka bisa tetap tabah menjalani kehidupan dalam suatu konteks sosial yang berat dan sulit.

Lewat kisah-kisah metaforis Tuhan juga berfirman, tidak cuma lewat fakta-fakta. Ya, karena Tuhan itu kreatif, dan dunia seni adalah bagian terpadu dari jagat raya yang diciptakan-Nya. Lewat seni sastra dan semua karya seni lainnya, kita menjumpai Allah sebagai sosok Seniman Agung yang kreatif, yang menyampaikan pesan-pesan besar.

Orang akan bertanya lebih dari satu kali, meminta jawaban tegas, apakah Yesus dulu betulan berjalan di atas air danau yang dalam? Jawabnya: Ya, lewat kisah metaforis, Yesus Kristus berjalan di atas air, tetapi dalam fakta Yesus tak bisa!

Dan ingatlah: ada metafora yang bisa membangun kehidupan, dan ada juga metafora yang bisa membinasakan kehidupan. Cermat-cermatlah dalam memilih dan menghayati kisah-kisah metaforis.

Teman-teman perlu tahu, bahwa metafora Yesus berjalan di atas air terus-menerus menyeberangkan saya, masuk ke dunia adinilai, dunia transenden, berjumpa dengan Sang Lain yang memberikan kekuatan dan daya tahan besar yang saya perlukan dalam kehidupan saya di dunia rutin sehari-hari. Metafora ini empowers, memberdayakan, saya.

Well, kita telah mendapatkan makna, pesan, maksud dan tujuan penulisan, kisah injil Yesus berjalan di atas air. Kisah yang besar. Kisah yang menawan. Kisah yang memberi kehidupan. Metafora besar yang abadi.

Be blessed. Be strong.

ioanes rakhmat

14 Juli 2009
N.B. Diperluas 13 Agustus 2021

Catatan-catatan

/1/ Nancy Chick, "Metacognition", Center for Teaching, Vanderbilt, 2013,
https://cft.vanderbilt.edu/guides-sub-pages/metacognition/.

 /2/ John D. Bransford, Ann L. Brown, Rodney R. Cocking, eds, How People Learn: Brain, Mind, Experience, and School (expanded edition, Washington DC, The National Academic Press, 2000), hlm. 12, https://www.nap.edu/read/9853/chapter/1; dan https://www.nap.edu/catalog/9853/how-people-learn-brain-mind-experience-and-school-expanded-edition.

/3/ Rudolf Otto, Das Heilige: Über das Irrationale in der Idee des Göttlichen und Sein Verhältnis zum Rationalen (München: C.H. Beck'sche Verlagsbuchhandlung, 1917, cetakan kedua 1936). Terjemahan Inggris oleh John W. Harvey, The Idea of the Holy (Oxford University Press, 1923; edisi kedua 1950). 

/4/ Ioanes Rakhmat, "Teologi Adalah Metafora. Apa Itu METAFORA?", Freidenk Blog, 11 Agustus 2021, https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2021/08/teologi-adalah-metafora-apa-itu-metafora.html?m=0.

/5/ Saksikan sendiri tayangannya di http://youtu.be/8OtzHpiLsFs.

/6/ Tayangannya dapat anda saksikan sendiri di http://youtu.be/nTE3WmMnovY.

 /7/ Bdk. Daryl D. Schmidt, The Gospel of Mark (Sonoma, California: Polebridge Press, 1990), hlm. 127.

Baca juga: 


*) Versi awal tulisan ini adalah sebuah pengantar acara diskusi kritis kisah-kisah mukjizat dalam Alkitab, 15 Juli 2009, Komisi Dewasa Gereja Kristen Indonesia (Jawa Barat) Kepa Duri, Tomang Barat, Jakarta Barat, Indonesia.

Monday, June 29, 2009

Again: The Titulus Crucis

Regarding the historicity of the titulus crucis[*], Raymond E. Brown states that “there is ... nothing implausible about it as a charge that a Roman governor, deciding a case according to extraordinary proceedings typical of provincial administration in a minor area like Judea, could relate to the general policy of the Lex Iulia de maiestate in the ordinary jurisprudence of Rome.”[1] To strengthen this statement of Brown, a reference should be made to the formal Roman administrative judicial procedure which was enforced early in the first-century. With this procedure being employed, only the Roman prefect or other subordinate Roman authorities on behalf of the prefect could officially condemn Jesus to death on account of a political charge that had been brought forth by the Jewish leaders.


In the provinces, only the governors, and in Egypt the prefect, had imperium and hence iurisdictio; and normally petitions,
that is, a petition or application for the case of accusing the defendant (accusatio) and confronting him/her with a trial (cognitio), would be directed to the governor or Prefectus Aegyptie. But no governor could hear all the cases directed to him, and as the result he would assign or delegate (exanapompēs) some cases to subordinate magistrates, iudices pedanei (or dati), a term rendered simply as kritai in the Greek of the eastern provinces.[2] That this official administrative judicial procedure was enforced early in the first-century, is attested by P. Oxy. 37-38 (dated to 49 CE)[3] and P. Oxy. 3464 (dated to ca. 54-60 CE).[4] We even can push its enforcement back to the reign of Augus­tus (31 BCE-14 CE), if we take into consideration the judicial process of “status examination” (epikrisis or eiskrisis) for Roman or non-Roman citizens in Roman Egypt. These examinations, sometimes conducted by the prefect or his deputies, were initiated during Augustus’ reign and were part of an administrative reorganization by the Roman government. The following comparative information concerning the Roman judicial procedure of status examination should be kept in mind.

About a hundred papyrus documents dated to the first three centuries CE record the process of status examination (epikrisis or eiskrisis) which was enforced on Roman or non-Roman citizens in Roman Egypt. Procedurally, an individual’s application for clai­ming the right to a particular status would be examined, verified and determined. If the applicant was properly qualified and his formal application was granted, the new status was then conferred and a certificate declaring the new status was issued. The official declaration of the new status of the applicant was important for, among other matters, claiming an inheritance or receiving other rights of citizenship, for example, enrollment in the military service or being wholly exempt from the poll-tax or having the right to reside in a province.

Carroll A. Nelson in his Status Declarations in Roman Egypt[5] has studied a number of such papyrus documents and analysed the form and function of such status declarations in Roman Egypt. Of the papyrus documents Nelson has analysed, some, dated from the begin­ning (103 CE) to the end of the second century (188 CE), contain records of examinations conducted directly by the prefect of Egypt or by his representatives upon Roman citizens and their dependants (slaves and freedmen) in matters such as establishing status or guaranteeing rights (pp. 40-46). Nelson, on p. 44, states, “that the prefect or his deputies conduc­ted the examinations ... means that the highest administrative office in the province handled the epikrisis of these citizens either because they were Romans or because their epikrisis involved something which was not or could not be handled on the nome [a province of ancient Egypt] or metropolis level of government.” Some of the papyri Nelson analysed (for exam­ple, P. Oxy II 257; P. Oxy X 1266; P. Oxy XII 1452; P. Oxy. XVIII 2186; PSI V 457; PSI VII 731) contain a reference to, or a citation from, a list or a documentary account dated to 4 or 5 CE (“in the thirty-fourth year of Augustus” [31 BCE-14 CE]) (pp. 28-35). Con­clusively, Nelson stresses that “In the first place, all available evidence points to these declarations and the examinations for status as exclusively Roman procedures which probably were initiated during the reign of Augustus and were part of an administrative reorganization by the Roman government” (p. 66) and “through status declarations and the records which they provided for nome and provincial officials, the Roman government was able to administer and control more efficiently her citizens and subjects in Egypt.” (p. 67).

Notes


[*] The image of the titulus crucis attached on this post is unusual. You should read the second and the third lines of the text from right to left, an unusual manner of writing in Greek and Latin. But I love it as an expression of art. In this blog, I have provided another image of the titulus crucis which is written in a normal way; to see this, click here.

[1] Brown, Death of Messiah, 2.967-68; cf. 1.717-19.


[2] Gary A. Bisbee, Pre-Decian Acts of Martyrs and Commentarii (HDR 22; Philadelp­hia: Fortress Press, 1988) 22; Peter Garnsey, “The Criminal Jurisdiction of Governors” in Journal of Roman Studies 58 (1968) 51-59; A. H. M. Jones, The Crimi­nal Courts of the Roman Republic and Principate (Oxford: Blackwell, 1972) 104; Naphta­li Lewis, “The Prefect’s Conventus: Proceedings and Procedures” in Bulletin of the American Society of Papyrologists 18 (1981) 125 [119-128].


[3] Bernard P. Grenfell and Arthur S. Hunt (eds.), The Oxyrhynchus Papyri Part I (London: Egypt Exploration Fund, Graeco-Roman Branch, 1898) 79-82; Revel A. Coles, Reports of Proceedings in Papyri (Papyrologica Bruxellensia 4; Brussels: Fondation Egyptologique Reine Elisabeth, 1966); Gary A. Bisbee, Pre-Decian Acts, 91.


[4] A. Bülow-Jacobsen and J.E.G. Whitehorne, eds., The Oxyrhynchus Papyri vol. xlix (London: Egyptian Exploration Society, 1982) 117-119; idem, The Oxyrhynchus Papyri nos. 3431-3521 (London: Egyptian Exploration Society, 1980); Gary A. Bisbee, Pre-Decian Acts, 24, 29.


[5] (American Studies in Papyrology vol. XIX; Amsterdam: Adolf M. Hakkert, 1979).



Wednesday, June 17, 2009

John D. Crossan’s Thought about Jesus’ Burial and Resurrection




Empty but full....


What did happen historically to the dead body of the crucified Jesus? Was his body buried as firmly testified by NT gospel stories? At first, John Dominic Crossan simply judged that “nobody knew what had happened to Jesus’ body.”[1] 

He also wrote: “[A]n indifferent burial by Roman soldiers becomes”, in the early Christian reflection, “eventually a regal entombment by his faithful followers.”[2] 

Crossan’s hardest judgment, however, came out later on: if Jesus’ body had been left on the cross, it would have been eaten up by wild beasts, carrion crows and birds of prey; or, if it had been buried by Roman soldiers as part of their job in a shallow grave barely covered with dirt and stones, the scavenger dogs that had been waiting for their food would have the body as their meal to help finish the Roman brutal job. 

For Crossan, the stories about Jesus’ burial by his friends are totally fictional and unhistorical accounts in which the Jewish legal injunction about burying the executed man on the same day as recorded in Deuteronomy 21:22-23 functioned as the formative force. 

Crossan baldly states that “Mark created that burial by Joseph of Arimathea in 15:42-47. It contains no pre-Markan tradition”, and “the empty-tomb story is neither an early historical event nor a late legendary narrative but a deliberate Markan creation.”[3] 

Crossan recently (1999), however, has modified his position. As to the burial, he states “that Jesus was buried is certainly possible and, if Paul intends ‘that he was buried’ (1 Cor 15:4) as received tradition, it may even be probable.[4] 

But the horror is this: the major alternative to the body abandoned on the cross is the body dumped in a limed pit.[5] 

For Crossan, in his earlier thought, the stories of Jesus’ resurrection and apparition (= resurrectional, revelatory appearances in and through the disciples’ vision[6]) are not stories about factual, historical happening, but fictional stories created literarily and ideologically in connection with the political power struggle within the authoritative leadership of the early Christian communities. 

They are therefore not stories about Jesus’ power over death but about the apostles’ political power over the community.[7] 

Helmut Koester also has noted that “the written passion narratives that were circulated, as well as the writings that became Gospels, reveal a political interest.”[8] 

The genre of the resurrection appearance story itself, as Kelber has pointed out, would have been suited to the practices of simultaneously instituting and enhancing esoteric knowledge concerning Jesus and apostolic authority.[9] 

However, with regard to the resurrectional apparition, on the basis of writings such as Virgil’s Aeneid Book 2, the assertion of the pro-Christian defender Justin Martyr, in 1 Apology 21, as well as the passage from the anti-Christian attacker Celsus, On the True Doctrine, Crossan recently concludes that in the general Mediterranean culture in antiquity, at the time of Christianity’s beginnings, post-death apparition and ascension into heaven were accepted as possibilities rather than as completely unique and abnormal events.[10] 

Furthermore, using the insights of studies in the psychosocial and cross-cultural anthropology of comparative religion, and the insights drawn from modern psychiatric studies in grief and bereavement, Crossan draws the conclusion that a vision of a deceased person alive again is a possibility common to our humanity, a possibility hard-wired into our brains, factually and historically happened both in the first century and in the modern times.[11] 

Crossan even can speak about the “bodily” or “fleshly” resurrection of Jesus; but, for him, it “has nothing to do with a resuscitated body coming out of its tomb. And neither is it just another word for Christian faith itself.” It “does not mean, simply, that the spirit of Jesus lives on in the world. And neither does it mean, simply, that the companions or followers of Jesus live on in the world.” 

Rather, it means that “the embodied life and death of the historical Jesus continues to be experienced, by believers, as powerfully efficacious and salvific in this world. That life continues, as it always has, to form communities of like lives.”[12] 

With this perspective, Crossan finally clearly interconnects the presence of the resurrected Jesus with that of the historical Jesus. Hence, the transcendence and the immanence intersect.

by Ioanes Rakhmat

☆ Paragraphs edited May 20, 2022


Notes 

[1] John D. Crossan, Historical Jesus, 394; in harmony with, a.o., Gerd Lüedemann, The Ressurrection of Jesus: History, Experience, Theology (SCM Press, 1994) 180. 

[2] Crossan, “Empty Tomb and Absent Lord” in Werner H. Kelber, ed., Passion in Mark (1976) 152 (135-152). 

[3] Birth of Christianity, 555, 558 (emphasis original); Jesus, 123-127, 152-158, 160; Four Other Gospels, 153f., 164. 

[4] Cf. Gerd Lüdemann, De Opstanding van Jezus: Een Historische Benadering (Baarn: Ten Have, 1996) 38: “... omdat de tradities eenstemming verhalen van een kruisafname (ook I Kor. 15:4 gaat daarvan uit). Daarom zou de begrafenis van Jezus kunnen behoren tot de uitzonderingsgevallen, waarbij de Romeinse autoriteiten het lijk vrijgaven.” 

[5] Crossan, “Historical Jesus as Risen Lord” in The Jesus Controversy. gen. ed. Gerald P. McKenny (RLS; Harrisburg, Pennsylvania: Trinity Press, 1999) 17 [1-47]; Birth of Christianity, 528, 555. In this regard, Crossan refers to Marianne Sawicki, Seeing the Lord: Resurrection and Early Christian Practices (Minneapolis: Fortress Press, 1994) 180, 257. 

[6] Crossan uses the terms vision and apparition interchangeably (“Historical Jesus as Risen Lord”, 6). 

[7] That is, they give witness to the trajectory of Jesus’ revelatory apparition, moving the emphasis of the revelation slowly but steadily and hierarchically from general community to leadership group to specific leaders with apostolic authority—a trajectory originating, in a sense, from Paul which was, later in the canonical gospels’ context, colored by questions, debates, and even controversies and deliberate political dramatizations over direction, leadership, and authority within the early Christian communities. See Historical Jesus, 395-416; Jesus, 165ff.; Who Killed Jesus?, 202ff. 

[8] Koester, “Writings and the Spirit: Authority and Politics in Ancient Christianity” in Harvard Theological Review 84:4 (1991) 369 [253-372]. On p. 359: “the so-called theology of Paul’s letters must... be understood as secondary when compared to the political intent of the letter”; on p. 368: “the development of the gospel literature was a process that is analogous to the establishment of the authority of Christian epistolary literature.” 

[9] Kelber, “Narrative and Disclosure: Mechanisms of Concealing, Revealing, and Reveiling” in Semeia 43 (1988) 6 [1-20]. 

[10] “Historical Jesus as Risen Lord”, 6f., 26-31. For surveys of the literary history of the genre of the resurrection stories, see , e.g., Johannes Leipoldt, “The Resurrection Stories” in Journal of Higher Criticism 4:1 (1997) 138-149; Gregory J. Riley, Resurrection Reconsidered: Thomas and John in Controversy (Minneapolis: Fortress, 1995) 7-68.

[11] “Historical Jesus as Risen Lord”, 6-7; Jesus, 87-88; “Why Is Historical Jesus Research Necessary?” in James H. Charlesworth and Walter P. Weaver (eds.), Jesus Two Thousand Years Later (Harrisburg, PA: Trinity Press International, 2000) 17-18 [7-37]. Cf. Lüdemann, De Opstanding van Jezus, 176-178 [114-178]. 

[12] “Historical Jesus as Risen Lord”, 45-46.


Tuesday, June 9, 2009

The Non-Apocalyptic Jesus and the Kingdom of Nobodies

by Ioanes Rakhmat

In his recen
t essay “A Future for the Christian Faith?” (1999), published in 2000, John Dominic Crossan, referring to his work In Parables (1973), reminds his readers, “You know that almost thirty years I have argued in print that Jesus’ Kingdom of God was eschatological but not apocalyptic.”[1] By eschatological, Crossan means “any vision or program for which this world is so radically unjust that only transcendent remedy is possible.” It is a world-negating vision. It indicates “a radical criticism of culture and civilization and thus a fundamental rejection of this world’s values and expectations.”[2] By apocalyptic, he means “that type of echatology that awaits an imminent divine intervention to eradicate injustice and violence here below and to establish a utopian world of justice and peace on earth.”[3]

Crossan terms the eschatology of Jesus “ethical eschatology” or “ethicism.” The ethical eschatology of Jesus stands in contrast to the apocalyptic eschatology of John the Baptist, Jesus’ mentor, which awaits imminent intervention of God in the world.[4] Jesus broke with John’s apocalyptic vision[5] and developed quite a different message for his own program which emphasized the permanent presence of God for human beings here and now, of a God who challenges the world and shatters its complacency repeatedly.[6] When one adopts apocalyptic eschatology, he or she is waiting for the imminent advent and interventional act of the avenging and violent God here in the world. Apocalypticism “negates the world by announcing that in the future, and usually the imminent future, God will act to restore justice in an unjust world.” In ethical eschatology, God is understood as waiting for us to act here and now. When people adhere to ethical eschatology, they “negate the world by actively protesting and nonviolently resisting a system judged to be evil, unjust, and violent.” In ethicism, as distinct from apocalypticism, God is depicted as a nonviolent God of a nonviolent kingdom, a God of nonviolent resistance to structural as well as individual evil.[7]


The kingdom of God in the teachings and deeds of the non-apocalyptic Jesus is the kingdom that knows no hierarchy and domination of one upon the other. No distinction of rank and status will exist in this kingdom. Jesus heals, and his companions are told to go do the same. Jesus’ companions can do exactly what Jesus himself was doing. The kingdom is not his monopoly; it is for anyone with courage enough to accept it. Jesus announces its presence, its abiding, permanent possibility. He does not initiate its existence. He does not control its access.[8] The unmediated Kingdom was Jesus’ alternative symbolic universe which “negated alike and at once the hierarchical and patronal normalcies of Jewish religion and Roman power” and espoused the “unmediated physical and spiritual contact with God and unmediated physical and spiritual contact with one another.”[9] Lest he be interpreted and hoped for as simply a new broker of a new God, Jesus “moved on constantly, settling down neither in Nazar­eth nor Capernaum. He was neither broker nor mediator, but, somewhat paradoxi­cally, the announcer that neither should exist between humanity and divinity or between humanity and itself.”[10] In short, God’s kingdom in Jesus’ vision and program is a “companionship of empowerment”, not a realm of domination, nor a kingdom of control and mastery.[11]


Jesus’ companions were increasingly dispossessed peasants forced off their lost farms into survival on the roads of the countryside or in the streets of the cities.[12] Jesus himself was a tektōn, namely, a dispossessed Jewish peasant,[13] a landless laborer, a marginalized peasant.[14] Thus, the kingdom of God is the kingdom for the religiously and economically poor,[15] for the persecuted,[16] for the hungry.[17] God is for the poor, that is, for the destitute, the beggars, the vagrants, the powerless, the hungry and the persecuted, the undesirables, the unholy, because their situation is structurally unjust. The beatitude of Jesus declared blessed not the poor, but the destitute, not poverty but beggary. Jesus spoke of a Kingdom of the unclean, degraded, and expendable classes.[18] The ethical Kingdom of God is the Kingdom for “children,”[19] that is, for “nobodies,” since, Crossan asserts, “to be a child” in the ancient societies of the Mediterranean world, “was to be a nobody.”[20] Jesus and his companions were “nobodies”; his Kingdom movement was therefore a movement of nobodies and nuisances.[21]

Due to his view of Jesus’ social status as a nobody, a nonentity, a nuisance, and his kingdom movement as a movement of nobodies, Crossan has strongly determined his judgment that there is no Jesus’ trial in history. Crossan’s judgment is very clear that “there would be no need to go very high up the chain of command for a peasant nuisance nobody like Jesus, no need for even a formal interrogation before Caiaphas, let alone a detailed trial before Pilate. In the case of Jesus, there may well have been arrest and execution but no trial whatsoever in between.”[22] However, there is another point in Crossan’s assessment of the Jesus’ movement that seems to be contradictory to his judgment that Jesus was a nobody.


Crossan asserts that Jesus was the Temple’s functional opponent, alternative and substitute;[23] and the Kingdom movement he initiated was “clearly a deliberate challenge to the Kingdom of Caesar”[24] as well as to the Jewish Temple state. When Jesus went to Jerusalem, according to Crossan, the egalitarianism in spiritual and economic realm he preached in Galilee exploded in indignation at the Temple as the seat and symbol of all that was nonegalitarian, patronal, and even oppressive on both the religious and the political level. His demonstration in the Temple actualized what he had already said in his teachings, effected in his healings, and realized in his mission of open commensality.[25] Furthermore, Crossan asserts that “Jesus was not a victim but a martyr. Pilate got it right: he was subversive, he was dangerous―but he was far more subversive and far more dangerous than Pilate imagined.”[26] He then concludes that martyrdom is the final act of ethical eschatology, the ultimate and public act of nonviolent resistance to violent authority.[27] With this, Crossan seems to have boxed himself into a corner, for, if Jesus was so subversive and dangerous, and his movement was a serious, deliberate challenge to both the Kingdom of Caesar and the Jewish Temple state, one wonders, why Crossan does not proceed to the logical consequence of this argument that it was no surprise that Jesus was finally arrested and then tried by the Jewish authorities and the Roman prefect on the charge of sedition, that is, of arousing people to rebel against the Jewish Temple state and Roman Empire. Found guilty of this charge, he was executed by crucifixion.


Notes


[1] Crossan, “A Future for the Christian Faith?” in The Once and Future Jesus (the collection of keynote addresses delivered in the Jesus Seminar’s celebration at Santa Rosa, CA, October 1999; Polebridge Press: Santa Rosa, CA, 2000) 118 [109-129]; Crossan in Robert J. Miller, ed., The Apocalyptic Jesus. A Debate (Santa Rosa, California: Polebridge Press, 2001) 119; Birth of Christianity, 257-58.

The non-apocalyptic view of Jesus is characteristic of the Jesus Seminar’s point of view. At least three other scholars in the Jesus Seminar guild can be mentioned as entertaining the non-apocalyptic view about Jesus: Marcus Borg (Jesus in Contemporary Scholarship [Valley Forge: Trinity Press International, 1994] 74-84; see also in Robert J. Miller, ed., The Apocalyptic Jesus. A Debate, 31-48, 114-119, 131-137, 152-157); Stephen J. Patterson (“The End of Apocalypse: Rethinking the Eschatological Jesus” in Theology Today 52/1 [1995] 29-48; idem, The God of Jesus: The Historical Jesus and the Search for Meaning [Pennsylvania: Trinity Press International, 1998] 163-84; see also in Robert J. Miller, ed., The Apocalyptic Jesus. A Debate, 69-82, 123-127, 142-146, 160-163) and Robert J. Miller, “Is the Apocalyptic Jesus History?” in the Jesus Seminar’s publication, The Once and Future Faith (Santa Rosa, California: Polebridge Press, 2001) 101-134.

In response to, a.o., Dale C. Allison’s work Jesus of Nazareth (see also Allison’s position in Robert J. Miller, ed., The Apocalyptic Jesus. A Debate, 17-29, 83-105, 109-114, 147-152) the Fellows of the Jesus Seminar (in the Spring meeting of March 3, 2000, in Santa Rosa, California), voting on the “red”, reaffirmed and “agreed strongly” that the “imminent eschatological expectation misrepresents what Jesus was all about.” See The Fourth R 13/3 (2000) 3-5; cf. W. Barnes Tatum’s book review in The Fourth R 14/1 (2001) 8-10; cf. also The Five Gospels, 4. Allison himself maintains that the elimination of apocalyptic eschatology from the earliest tradition is utterly implausible (Dale C. Allison, Jesus of Nazareth, 65). In keeping with Allison’s view, see Bart D. Ehrman, Jesus. Apocalyptic Prophet of the New Millennium (New York: Oxford, 1999); idem, The New Testament. A Historical Introduction to the Early Christian Writings (New York, Oxford: Oxford University Press, 20043 [2000]) 250-274. Another recent book on the apocalyptic Jesus is that of Paula Fredriksen, Jesus of Nazareth, King of the Jews (New York: Vintage Books, 2000 [1999]) (p. 97: “Moving backward along a trajectory from later text to earlier text to, finally, Jesus himself, we might hypothesize a gradient of increasing apocalyptic intensity.” P. 197: “Jesus shared with John the same urgent message to prepare for God’s fast-approaching Kingdom.”).

[2] Jesus, 52.


[3] “A Future for the Christian Faith?”, 118 (emphasis removed). In Historical Jesus (p. 285), Crossan understands “apocalyptic” “not in the sense of a destroyed earth and evacuation heavenward for the elect, but rather of something like a heaven on earth.”


[4] In a debate concerning the apocalyptic or non-apocalyptic Jesus, Crossan suggested six distinctions within apocalyptic eschatology (that is, destructive or transformative apocalypse, material or social apocalypse, primary or secondary apocalypse, negative or positive apocalypse, passive or active apocalypse, instantive or durative apocalypse), and claimed that “[A]n ‘apocalyptic’ Jesus... where the emphasis is on transformative, social, secondary, positive, active, and durative apocalyptic rather than on destructive, material, primary, negative, passive, and instantive apocalyptic, is so close to what I termed ethical eschatology or the radicality of divine ethics.” See Robert J. Miller, ed., The Apocalyptic Jesus. A Debate, 69 [48-69]; see also Crossan’s articles: “A Future for the Christian Faith,” 109-129; “Eschatology, Apocalypticism, and the Historical Jesus” in Marvin Meyer and Charles Hughes, eds., Jesus Then and Now: Images of Jesus in History and Christology (Harrisburg, PA: Trinity Press International, 2001) 91-112.


[5] The texts that indicate the break between Jesus and John the Baptist which occurred after the death of the latter, are Gospel of Thomas 78:1-3, Q Gospel in Luke 7:24b-27 (= Matthew 11:7b-10); Gospel of Thomas 46:1-2, Q Gospel in Luke 7:28 (=Matthew 11:11); Gospel of Thomas 113:1-4 = 3:1-3 = 51:1-2 = 18:1-3; Q Gospel in Luke 17:23-24 (= Matthew 24:26-27); Mark 13:21-13 (= Matthew 24:23-25); Luke 17:20-21; Mark 2:18-20, Q Gospel in Luke 7:33-34 (= Matthew 11:18-19). See Historical Jesus, 236-238, 259, 260; Jesus, 46-48; Birth of Christianity, 305-316.


[6] In Parables, 26.


[7] Birth of Christianity, 279, 283-284, 287, 317-344.

[8] Birth of Christianity, 333, 336.

[9] Historical Jesus, 422.

[10] Historical Jesus, 422, cf. 346.

[11] Birth of Christianity, 336-337.


[12] Birth of Christianity, 336.


[13] Here I deliberately do not mention Crossan’s Jesus as a peasant Jewish Cynic, but rather only as a Jewish peasant (minus the word “Cynic”). In response to his critics, Crossan recently has conceded that “If cynicism had never existed, nothing would change in my reconstruction of Jesus as a Mediterranean Jewish peasant. I use the doctrine of Cynicism comparatively but do not need it constitutively. I have never considered a Cynic Jesus as some sort of replacement for a Jewish Jesus; indeed, I find that idea little short of absurd. My reply to the Cynic hypothesis was and is: if you want to imagine a Cynic Jesus, go ahead, but you better imagine a Jewish peasant Cynic” (Birth of Christianity, 334).

It must be noted however that, in comparison to his earlier treatment in Historical Jesus (1991) of the historical Jesus in which Jesus’ cynicism was put on the overriding center (see pp. 72-90; 303-353, esp. pp. 338-44; 421f.), here in Birth of Christianity (1998; see especially pp. 280-81, 333-35, 412-13), as well as in Jesus (1994; see pp. 102-22, 197f.), the very Jewishness of Jesus comes to a prominent place and the fundamental differences between Jesus’ movement and the Cynic preachers are significantly stressed. I note several changes in Crossan’s Christology. For instance, first, in Historical Jesus we find the following assertions: “The historical Jesus was, then, a peasant Jewish Cynic. His peasant village was close enough to a Greco-Roman city like Sepphoris that sight and knowledge of Cynicism are neither inexplicable nor unlikely” (p. 421); “Jesus ... is establishing... a Jewish and rural Cynicism rather than Greco-Roman and urban Cynicism” (p. 340). Second, in Jesus, Crossan admits that “We have, in the final analysis, no way of knowing for sure what Jesus knew about Cynicism, or whether he knew about it at all. That, however, is not really the point. Maybe he had never even heard of the Cynics and was just reinventing the Cynic wheel all by himself.... Maybe Jesus is what peasant Jewish Cynicism looked like.” (p. 122; emphasis added). And finally, in Birth of Christianity (cf. Historical Jesus, p.338f.): “It is especially in the symbolic catecheses of their [that is, Jesus’ and the Cynic’s] dress codes that comparison is most instructive. I find this very illuminating, even if Jesus knew nothing whatsoever about Cynicism.” (p. 334f.; emphasis added).

[14] Birth of Christianity, 350, 352. Employing Gerhard Lenski’s typology of human societies which divides agrarian societies into upper and lower strata (see Lenski’s work, Power and Privilege: A Theory of Social Stratification [New York: McGraw-Hill. 1966]), Crossan places Jesus in the social stratum of Peasant Artisan class. Peasants are exploited and oppressed farmers, and, by definition, illiterate; they live at subsistence level in the ecology and sociology of urban-rural interchange where the cities exploit the countrysides of the peasants (Birth of Christianity, 155, 158, 216-18, 223, 234-35). Peasant artisans were lower, not higher, than peasant farmers in social class, but higher than the “Uncleaned and Degraded Class” (e.g., porters, miners, and prostitutes, namely those who “had only their bodies and animal energies to sell and who were forced to accept occupations which quickly destroyed them­”) and the lowest “Expendable Class” (which comprised “a variety of types, ranging from petty criminals and outlaws to beggars and underemployed itinerant workers, and numbered all those forced to live solely by their wits or by charity.”) (Ibid., pp. 155). See also Crossan, Historical Jesus, 125-28; idem, Jesus, 25.


[15] Gospel of Thomas 54; Q Gospel in Luke 6:20 = Matthew 5:3.


[16] Gospel of Thomas 68 = 69:1; Q Gospel in Luke 6:22-23 = Matthew 5:11-12.


[17] Gospel of Thomas 69:2; Q Gospel in Luke 6:21a = Matthew 5:6.


[18] Birth of Christianity, 318-322; Historical Jesus, 270-282.


[19] Gospel of Thomas, 22:1-2; Mark 10:13-16 = Matthew 19:13-15 = Luke 18:15-17; Matthew 18:3; John 3:1-5, 9-10.


[20] Historical Jesus, 269.


[21] Jesus, 54ff.


[22]Who Killed Jesus?, 117; Jesus, 152.


[23] Historical Jesus, 303-53, esp. 332ff., 355, 360.


[24] “A Future for the Christian Faith”, 127.


[25] Historical Jesus, 360; Jesus, 133-36; Who Killed Jesus?, 65. Open commensality, that is, eating together without using table (because table was considered as a miniature map of society’s vertical discriminations and lateral separation) was the heart of Jesus’ original Kingdom movement; it was his strategy for building or rebuilding peasant community on principles radically opposed to those of honor and shame, patronage and clientage (Historical Jesus, 341, 344; Jesus, 66-70).


[26] Birth of Christianity, 285.


[27] Birth of Christianity, 289.