Thursday, January 3, 2008

Bahasa Keagamaan sebagai Metafora

Kiri: fakta. Kanan: metafora

Editing mutakhir 8 Mei 2018

Baca juga Agama Butuh Fiksi dan Imajinasi Yang Bebas.

Metafora atau bahasa figuratif simbolik dipakai dalam banyak bidang kehidupan, termasuk dalam bidang sains.

Descartes, misalnya, pernah berkata, “Saya telah menggambarkan Bumi ini beserta seluruh alam semesta yang kelihatan seolah-olah ini adalah sebuah mesin.” Kata “mesin” di sini adalah sebuah metafora; dan metafora ini telah membantu perkembangan fisika klasik yang membayangkan alam semesta sebagai sebuah mesin.

Begitu juga, ketika alam semesta ini dibayangkan terbentuk, memuai dan mengembang dengan diawali oleh sebuah “dentuman besar” (big bang), “dentuman besar” ini, yang tidak pernah didengar oleh manusia manapun dan kapanpun, adalah sebuah metafora. Di sini, metafora membantu mengonseptualisasi realitas jagat raya.

Dengan memakai metafora kosmologis “balon yang terus mengembang” dengan permukaan yang makin luas, kita lebih mudah memahami dan membayangkan pemuaian jagat raya yang kini sedang berlangsung dengan makin cepat karena bekerjanya forsa antigravitasi dari energi gelap. 

Dalam bidang keagamaan, metafora banyak dipakai. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa bahasa keagamaan terutama adalah bahasa metaforis. Apa tujuan dikonstruksinya sebuah metafora untuk kepentingan keagamaan kita temukan dalam makna kata metafora sendiri.

Sebagai sebuah kata Yunani, metafora dibentuk dari kata depan meta (artinya “melampaui” atau “mentransendir”, Inggris “beyond”) dan kata kerja ferein (artinya “menyeberang” atau “memindahkan”). Dengan demikian, metafora adalah wahana sastrawi atau nonsastrawi yang berfungsi untuk membawa atau memindahkan si pembaca atau si pendengar atau si pemandangnya dari dunia kodrati sehari-hari, dunia nilai-nilai biasa sehari-hari, masuk atau melintas ke dunia adikodrati atau kawasan nilai-nilai yang agung, kawasan adinilai.

Tanpa lewat metafora, kawasan yang lebih tinggi ini, kawasan yang melampaui atau yang mentransendir kawasan dunia kodrati rutin sehari-hari, mustahil dimasuki, sulit atau mustahil dibayangkan, dipahami dan dibawa masuk ke dalam kehidupan insan-insan kodrati dalam dunia alamiah sehari-hari. Metafora menghubungkan langit dan Bumi, sorga dan dunia, dunia atas dan dunia bawah, Tuhan dan manusia, para malaikat dan anak-anak manusia, keabadian dan kefanaan.

Alkitab, misalnya, luar biasa kaya dengan metafora yang mampu menggerakkan hati, kalbu, perasaan dan pikiran para pembacanya.

Ada metafora alkitabiah yang pesannya jelas dan gamblang, satu arah, misalnya ketika dikatakan “Yesus adalah terang dunia.” Jelas maksud metafora ini bukanlah Yesus itu faktual Matahari atau lampu neon atau lampu petromaks, melainkan ajaran-ajarannya sebagai firman Allah memang dapat menjadi pembimbing untuk orang dapat dengan terang menjalani kehidupannya, atau bahwa ajaran-ajarannya sebagai firman Allah sangat diperlukan untuk pencerahan dunia ini.

Atau, ketika dikatakan “Yesus anak domba Allah”, maksudnya jelas, Yesus itu bukan anak domba sungguhan yang mau disembelih tanpa bisa melawan, melainkan suatu kurban yang Allah sediakan untuk memikul dosa dunia.

“Memikul dosa dunia” juga adalah suatu ungkapan metaforis, sebab bola Bumi ini, dunia ini, tidak bisa berbuat dosa karena merupakan benda mati, dan Yesus tidak terbungkuk-bungkuk memikul bola dunia sungguhan yang teramat berat.

Yang terlihat dengan gamblang adalah tiga metafora kristologis tersebut menghubungkan sorga dan dunia, kawasan terang dan kawasan gelap, Allah dan manusia, cinta ilahi dan kemalangan manusia.

Pada tingkatan yang lebih rumit dan kaya nuansa, metafora religius, terutama yang berbentuk narasi-narasi metaforis, berfungsi sebagai sebuah “jendela” atau sebuah “pintu gerbang” (juga sebuah metafora) untuk melihat dan masuk ke realitas lain yang transenden, realitas lain yang diyakini ada dan berlangsung di luar sejarah, transhistoris, dan di luar dunia kehidupan kodrati sehari-hari. Lewat kisah-kisah metaforis ini, kita berkendara perahu melaju menuju dunia transenden lewat, tentu saja, aktivitas kognitif.

Tetapi itu tidak berarti bahwa metafora keagamaan selalu tidak berpijak pada sejarah. Ada metafora keagamaan yang diciptakan dengan memakai memori historis sebagai titik pijaknya; dengan kata lain memiliki historical core, inti sejarah. Membungkus inti sejarah ini, ada banyak dedaunan dan kembang-kembangnya. Inilah yang disebut memory metaphorized, memori sejarah yang dimetaforakan (lihat Marcus J. Borg, Jesus [2006], 51-76).

Lewat memori yang dimetaforakan, suatu kejadian atau pengalaman partikular di masa lalu diubah atau bermetamorfosa menjadi suatu kejadian atau pengalaman yang universal, terabadikan, melintasi zaman-zaman dan tempat-tempat, dengan daun-daun dan kembang-kembang yang makin banyak karena berlangsung aktivitas cerdas adaptasi dan kontekstualisasi.

Tetapi, kebanyakan metafora keagamaan menunjuk pada suatu realitas yang faktualitasnya tidak ditemukan dalam dunia sehari-hari. Namun, ketika metafora disusun dan dipakai, manusia, tidak bisa lain, harus memakai bahasa yang sudah dihasilkan dan dipakai manusia di dalam kebudayaan mereka. Kita tak sedang berada di kahyangan, tapi di muka Bumi.

Manusia bisa berkata-kata dengan efektif dan komunikatif hanya dengan bahasa (sebagai sistem tanda-tanda dan simbol-simbol) yang sudah diciptakan, diterima dan terus dikembangkan mereka dalam kebudayaan. Di sinilah juga terletak keterbatasan sebuah metafora: metafora mau menyibak realitas adikodrati yang bukan bagian dari pengalaman sehari-hari dengan memakai bahasa sehari-hari. Tapi ya tak ada wahana lain selain wahana metaforis yang terbatas.

Ketika ekspresi bahasa telah menjadi bagian dari sebuah metafora, bahasa ini tidak bisa lagi dibaca dan dipahami secara literalistik atau harfiah, atau sebagai bahasa yang mau menyampaikan faktualitas dalam dunia kodrati. Sebab yang menjadi acuan pokok dari bahasa metaforis religius bukanlah sejarah dan dunia sehari-hari, melainkan hal-hal di luar sejarah, hal-hal transhistoris, realitas transenden adikodrati, yang hanya bisa dibayangkan dan diimajinasikan dengan kreatif. Tak ada jalan lain, dari manapun imajinasi ini diyakini berasal.

Semua metafora memang dibuat bukan untuk dipahami secara literalistik, harfiah atau faktual, melainkan harus secara simbolik, figuratif atau alegoris. Jika suatu metafora dipahami secara literalistik atau sebagai faktualitas objektif, metafora itu dipermiskin, maksud dan pesannya salah ditangkap atau malah menghilang, dan orang karenanya akan menemukan ketidakbenaran. Lewat cara ini, si pembaca jadi terfiksasi, terpatri, pada konten literalnya sehingga pesan historis nonliteralnya luput ditemukan. Alhasil, si pembaca literalis jadi tersesat.

Ketika sebuah metafora religius berhasil dipahami secara simbolik, figuratif atau alegoris, hal-hal transhistoris dan adikodrati yang disampaikannya akan dapat dengan ampuh dan kuat mengubah emosi dan kehidupan si pembaca atau pendengar metafora itu di masa kini dalam dunia ini. Camkanlah bahwa setiap metafora adalah bahasa imajinatif, evokatif dan emotif yang bisa sangat powerful menggugah hati dan pikiran (lihat Zoltán Kövecses, Metaphor and Emotion, 2003).

Keadaannya memang demikian, karena sebuah metafora religius memang memiliki kemampuan dan daya imajinatif, emotif, evokatif untuk mengarahkan dan menggerakkan kehidupan masa kini ke arah masa depan yang penuh dengan pengharapan pembebasan dan pembaruan, masa depan yang lebih baik, lebih bernilai dan berkwalitas, dan lebih tercerahkan. 

Lewat metafora, semangat yang patah dibangunkan kembali. Harapan yang putus disambung kembali. Mata yang redup berubah jadi mata yang terbuka lebar bercahaya-cahaya. Gerbang yang tertutup menjadi gerbang yang terbuka. Perasaan yang tumpul dan mati, diasah dan dihidupkan lagi.

Daya emotif evokatif dari sebuah metafora akan menghilang jika metafora itu dipahami secara literalistik faktual. Menemukan dan merenungi visi tentang masa depan yang lebih baik dan kehidupan masa kini yang lebih berkwalitas inilah, yang seharusnya dilakukan jika orang sedang membaca dan mencoba memahami sebuah narasi metaforis religius.

Sebuah metafora keagamaan sama sekali tidak perlu membuat orang terlibat dalam debat mengenai apakah realitas yang disebut-sebut dalam suatu narasi metaforis betul-betul secara harfiah ada atau faktual terjadi di dalam dunia ini. Sebab sudahlah jelas, sebuah metafora religius memuat realitas lain yang tidak bisa diungkapkan dalam bahasa biasa yang sehari-hari.

Itu tidak berarti bahwa suatu metafora religius, karena harus dipahami secara simbolik, figuratif atau alegoris, bisa ditafsir sembarang saja, di mana setiap orang bisa dengan bebas memberi tafsirannya sendiri-sendiri secara subjektif.

Langkah bertanggungjawab terpenting dalam menemukan dan memahami dengan tepat pesan dan makna suatu metafora religius adalah menempatkan metafora itu di dalam konteks sosial, kultural, politis dan historis di dalam mana metafora itu diciptakan. Sebab situasi-situasi sosial, kultural, politis dan kesejarahan yang sedang dialami oleh suatu komunitas keagamaanlah yang membuat mereka mencipta metafora-metafora religius. Di sinilah terjadi apa yang disebut history metaphorized

Setiap metafora adalah suatu konstruksi sosial-kultural historis, dibangun oleh masyarakat dan kebudayaan; sekaligus juga berefek balik merancangbangun masyarakat dan kebudayaan (Kövecses, Metaphor and Emotion, 13-18, 115). Melalui sebuah metafora religius, pengharapan dan visi tentang masa depan yang seluruhnya lebih baik dibuat berdampak kuat pada kehidupan masa kini dari komunitas keagamaan penghasil metafora itu.

Ada metafora religius yang sangat politis, misalnya narasi-narasi metaforis yang terdapat di dalam Kitab Wahyu Yohanes yang sama sekali tidak bisa dipahami secara literalistik dan faktual. Melalui metafora religius-politis ini, kekuatan-kekuatan penghancur dan pembinasa real yang faktual ada dalam sejarah dan di sekitar komunitas keagamaan dalam dunia masa kini diekspresikan dalam bentuk gambaran-gambaran dan wujud-wujud simbolik dan figuratif yang diproyeksikan ke kawasan adikodrati sebagai kekuatan-kekuatan langit transhistoris yang najis dan anti-Allah.

Kekuatan-kekuatan ini dilukiskan, dalam Kitab Wahyu itu, sedang mengguncang kosmos dan sedang berhadap-hadapan dengan kekuatan-kekuatan suci dari para bala tentara Allah. Pada gilirannya, metafora religius politis semacam ini membentuk masyarakat dan kebudayaan yang di dalamnya si pembuat metafora hidup; masyarakatnya menjadi diberdayakan untuk melawan kekuatan-kekuatan penghancur itu sekaligus untuk merancang masa depan yang telah dibebaskan. Memakai metafora dalam kitab Wahyu, langit dan Bumi lama diganti dengan langit dan Bumi baru.

Ada metafora yang bagus, edukatif, membangun mental dan moral manusia, dan mengangkat derajat manusia ke peringkat yang lebih agung dan lebih tinggi. Perumpamaan-perumpamaan yang disusun Yesus dengan kreatif dan imajinatif, yang terdapat dalam injil-injil Perjanjian Baru, termasuk metafora yang bagus dan edukatif.

Tapi ada juga metafora yang jelek, yang merusak hati dan pikiran, memadamkan wawasan, menghancurkan mental dan moral insani, merendahkan serta mengerdilkan martabat manusia, mematikan karsa dan inisiatif untuk mengubah dan membangun kehidupan dan peradaban ke arah yang lebih maju, lebih mulia dan lebih bernilai. Metafora tentang Allah yang memimpin perang suci untuk membela dan memenangkan bangsa Israel, dengan membinasakan tanpa ampun musuh-musuh Israel, tergolong metafora yang buruk.

Jadi, kita memang perlu memilah-milah dengan cerdas, waras, luas dan tangkas metafora mana yang kita mau gunakan dan metafora mana yang harus kita tinggalkan. 

Ihwal patut atau tidak patut, relevan atau tidak relevan, konstruktif atau destruktif, mendewasakan atau mengerdilkan, mencerdaskan atau menutup akal, memang harus kita pertimbangkan dengan cermat ketika kita sedang berhadapan dengan metafora-metafora, baik metafora yang religius maupun metafora yang nonreligius.

Di zaman sekarang di mana konservatisme dan fundamentalisme religius muncul di mana-mana, dalam semua agama dunia, kesadaran bahwa bahasa keagamaan terutama adalah bahasa metaforis cenderung menghilang.

Umat-umat beragama terlibat persaingan dan pertarungan sengit, internal maupun eksternal, untuk masing-masing mempertahankan dan membela narasi-narasi besar keagamaan yang mereka miliki sebagai narasi-narasi faktual objektif yang sungguh-sungguh pernah terjadi dalam sejarah dunia, padahal sebetulnya narasi-narasi itu semula disusun dan ditulis terutama sebagai narasi-narasi metaforis. 

Akibatnya, teks-teks metaforis membangkitkan agresi dan pertikaian, alih-alih mendatangkan pembaruan dan pemberdayaan kehidupan manusia dan alam seperti yang semula diinginkan para penyusun metafora.

Memperlakukan metafora keagamaan sebagai sejarah faktual dan realitas empiris bisa jadi adalah sebuah kecelakaan terbesar dalam dunia kehidupan agama-agama dalam era modern ini, era yang ironisnya mempertanyakan keabsahan klaim-klaim keagamaan berdasarkan perspektif-perspektif sains empiris dan teknologi modern.

Dengan memahami metafora-metafora religius secara literalistik sebagai fakta-fakta real empiris, mereka, tanpa sadar, telah mengubah teks-teks keagamaan menjadi teks-teks ilmu pengetahuan

Mereka perlu diingatkan, teks-teks ilmu pengetahuan itu bergerak dalam dunia fakta-fakta empiris, koherensi logis, teori-teori dan model-model keilmuan, yang harus terus-menerus diuji kembali, diverifikasi atau difalsifikasi. Ironisnya, pada sisi lain, para literalis religius dalam semua agama terang-terangan memperlihatkan perlawanan dan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang mereka nilai sedang merongrong kebenaran-kebenaran mutlak agama mereka. 

Pasti mereka tidak akan pernah siap jika teks-teks metaforis keagamaan mereka, lantaran dipandang oleh mereka sebagai teks-teks fakta-fakta empiris, mau diverifikasi atau difalsifikasi lewat metode ilmu pengetahuan.

Pada satu sisi, mereka melawan dan membenci ilmu pengetahuan, tapi, pada sisi lain, mereka juga memperlakukan teks-teks metaforis keagamaan sebagai teks-teks ilmu pengetahuan. Mereka terjebak dalam suatu labirin oxymoron, dan tak pernah bisa keluar lagi ke alam terbuka.


Stay blessed.


Wednesday, January 2, 2008

Penulisan Sejarah dan Penelitian Makam

Tulisan saya di lembaran Bentara Kompas, 5 April 2007, yang berjudul Kontroversi Temuan Makam Keluarga Yesus, telah menyulut berbagai kontroversi dan reaksi meluas. Sebuah tanggapan terbuka terhadap tulisan itu, berjudul Historisasi Makam Kosong Yesus, telah dimuat di lembaran yang sama dalam koran yang sama pada 5 Mei 2007, ditulis oleh Deshi Ramadhani, seorang dosen tafsir Perjanjian Lama dari STF Driyarkara, Jakarta. Berikut ini (sudah terbit di Bentara Kompas, 31 Mei 2007) adalah sebuah tanggapan terhadap tulisan Deshi Ramadhani ini.

Penulisan sejarah

Jika ilmu sejarah dipahami dalam pengertian modern, penulisan sejarah adalah penulisan tentang sebuah peristiwa di masa lampau yang asal-usul kejadiannya harus dicari hanya pada penyebab-penyebab empiris natural, sosiologis dan kultural. Penulisan sejarah bukanlah penulisan sebuah teologi. Di dalam teologi (khususnya di dalam agama-agama monoteistik), penyebab-penyebab sebuah kejadian dalam dunia dijelaskan tidak terlepas dari keterlibatan Allah di dalamnya, keterlibatan faktor non-empiris supernatural, non-sosiologis dan non-kultural. Adalah asumsi dasariah dalam teologi bahwa Allah bertindak dalam kehidupan dunia manusia; teologi hanya bisa dijalankan jika asumsi ini diterima. 

Sedangkan asumsi dasariah dalam penulisan sejarah adalah segala sesuatu dapat terjadi dalam dunia ini hanya karena sebab-sebab empiris natural, sosiologis dan kultural. Jikalau seorang sejarawan menulis sebuah uraian sejarah dengan ke dalamnya dia melibatkan intervensi Allah ke dalam dunia kodrati, maka dia berhenti menjadi seorang sejarawan, berubah menjadi seorang teolog, dan karya tulisnya berubah menjadi sebuah teologi. Beberapa ilustrasi dapat diajukan.

Ketika seorang pakar sejarah Indonesia sedang menulis misalnya tentang Perang Diponegoro, dan di dalam tulisannya itu dia menyatakan bahwa Pangeran Diponegoro mendapatkan keberanian dan mampu mengembangkan taktik dan strategi tempur melawan kolonial Belanda karena Allah dan bala tentara surgawi membantu sang Pangeran secara langsung, sang ahli sejarah ini bukan sedang menulis sejarah, melainkan sedang menulis sebuah teologi atau sebuah epos religius. Tentu saja dalam perjuangannya Pangeran Diponegoro bisa saja dipengaruhi sangat kuat oleh imannya kepada Gusti Allah, dan karenanya bisa saja dia mengklaim bahwa Allah telah membantunya dalam perang melawan Belanda. 

Tetapi, ketika seorang sejarawan modern menulis tentang Perang Diponegoro, maka dia akan menyatakan bukan bahwa Gusti Allah dengan kuasa-Nya telah membantu dan menopang Pangeran Diponegoro, melainkan bahwa sang Pangeran sangat dipengaruhi oleh ideologi keagamaannya. Seorang sejarawan tidak berurusan dengan Allah yang dipercaya Pangeran Diponegoro, tetapi dengan ideologi religius sang pangeran sebagai sebuah variabel sosio-kultural historis yang ikut berperan dalam kiprah-kiprah kejuangannya.
Kitab Kisah Para Rasul adalah sebuah dokumen dalam Perjanjian Baru yang mengisahkan kelahiran dan pertumbuhan gereja-gereja Kristen perdana berkat kerja keras para rasul, terutama rasul Paulus, berawal di Palestina lalu meluas ke kawasan dunia Laut Tengah kuno di luar Palestina, sampai ke kota Roma. Dilihat dari perspektif modern tentang penulisan sejarah, apa yang dituturkan penulis kitab Kisah Para Rasul ini bukanlah sebuah tulisan sejarah, tetapi sebuah teologi karena di dalamnya dilaporkan bahwa kelahiran dan perluasan gereja Kristen oleh para rasul itu terjadi karena Roh Kudus atau Roh Yesus Kristus menyertai mereka dan melalui mereka mengadakan banyak mukjizat. “Mirakulisasi” atau pengajuan klaim bahwa suatu kejadian adalah mukjizat (Latin: miraculum) ilahi diperlukan hanya dalam teologi, bukan dalam penulisan sejarah. Tentu ada beberapa catatan sejarah faktual di dalam dokumen yang dinamakan Kisah Para Rasul ini; tetapi secara keseluruhan dokumen ini bukanlah dokumen sejarah dalam pengertian modern.

Ketika seorang dokter Kristen sedang menangani seorang pasien yang sedang sakit berat, dan dia diharapkan dapat menyembuhkan sang pasien, dia tidak bisa berdiam diri secara pasif saja menyerahkan sang pasien kepada Yesus untuk secara ajaib menyembuhkannya. Jika dia melakukan hal ini, dia bisa dituntut dan diajukan ke pengadilan dengan suatu tuduhan bahwa dia telah tidak menjalankan tugas profesionalnya sebagai seorang dokter yang wajib (karena dia berada di bawah sumpah!) melakukan serangkaian prosedur medik ilmiah untuk mengobati sang pasien. Seorang dokter bisa percaya bahwa mukjizat bisa terjadi dalam dunia ini; tetapi, ketika dia menjalankan profesinya sebagai seorang dokter, dia wajib mewujudkan kesembuhan untuk pasiennya dengan memakai segenap kemampuan profesionalnya dan mengikuti semua prosedur keilmuan yang dikuasainya. Sebagai seorang dokter, dia tidak boleh menyerah pada keganasan penyakit yang sedang diderita pasiennya, tetapi harus tetap tekun dan taat asas melaksanakan tugas-tugas profesionalnya sebagai seorang dokter.

Begitulah, seorang sejarawan yang melakukan kajian sejarah terhadap figur Yesus harus tetap konsisten berjalan pada jalur ilmiah dari ilmu sejarah, ilmu yang memperhitungkan hanya faktor-faktor empiris natural, sosiologis dan kultural. Taat asas dalam prosedur keilmuan bidangnya, adalah suatu syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang mengklaim diri ilmuwan. Pencampuradukan profesi seorang sejarawan dengan profesi seorang teolog akan menimbulkan ketidakdisiplinan ilmiah, perancuan kategoris dan penyesatan informasi. Meskipun jelas tidak ada uraian sejarah yang obyektif sepenuhnya, dan selalu akan ada faktor subyektif dari si sejarawan yang ikut berperan, namun si sejarawan harus pasti dalam satu hal, yakni bahwa dia akan memperhitungkan hanya faktor-faktor empiris natural, sosiologis dan kultural, dalam dia menyusun suatu historiografi.

Kisah-kisah tentang mukjizat

Yang ditemukan dalam Alkitab bukanlah mukjizat-mukjizat, tetapi kisah-kisah tentang mukjizat. Pembaca masa kini bukanlah penyaksi mukjizat-mukjizat yang dikisahkan di dalamnya, tetapi hanya sebagai para pembaca kisah-kisah itu. Kisah-kisah tentang mukjizat harus diterima apa adanya, yakni sebagai kisah-kisah. Memperlakukan kisah-kisah tentang mukjizat sebagai sama dengan fakta-fakta mukjizat empiris obyektif adalah suatu lompatan yang terlampau jauh, melampaui keterbatasan kisah-kisah yang ditulis sebagai karya-karya sastra. Lagi pula, dalam Perjanjian Baru, kisah-kisah tentang mukjizat Yesus ditulis bukan oleh para saksi mata. Selalu akan ada kesenjangan antara apa yang dikisahkan dan apa yang faktual telah terjadi.

Sebagai kisah-kisah, kisah-kisah tentang mukjizat dapat dianalisis secara rasional ilmiah, dengan mengajukan antara lain pertanyaan-pertanyaan berikut: dalam konteks sosial-kultural historis dan religius apa kisah-kisah itu ditulis; faktor-faktor apa yang berperan di dalam penulisan kisah-kisah itu; untuk kisah-kisah tentang mukjizat dalam Perjanjian Baru, adakah kisah-kisah paralel yang dapat ditemukan dalam dunia Greko-Romawi; apa tujuan penulisan kisah-kisah tentang mukjizat dalam konteks luas dunia Greko-Romawi; di tempatkan dalam konteks zamannya dan dalam konteks temuan-temuan arkeologis mutakhir dan kajian-kajian antropologis lintas-budaya, apakah ada hal-hal yang dikisahkan yang tidak mungkin terjadi dalam sejarah; termasuk ke dalam jenis sastra ( literary genre) apakah kisah-kisah tentang mukjizat itu; dalam konteks seluruh dokumen sastra yang memuat kisah-kisah mukjizat itu, apa fungsi sastrawi dari kisah-kisah tentang mukjizat itu, dan mengapa kisah-kisah ini muncul dalam suatu konteks sastra tertentu dan bukan dalam suatu konteks sastra lainnya.

Mengajukan serangkaian pertanyaan rasional semacam di atas, bukanlah melakukan demirakulisasi (= penghilangan mukjizat) atas kisah-kisah tentang mukjizat, tetapi suatu keharusan prosedural metodologis untuk merekonstruksi sejarah kehidupan dari orang-orang atau komunitas-komunitas yang membuat kisah-kisah tentang mukjizat tersebut.


Yesus memberi makan 5000 orang hanya dengan 5 ketul roti dan 2 ekor ikan. Jika demikian halnya, mengapa kelaparan masih merupakan problem besar dunia masa kini? 

Ambil sebuah contoh, yakni kisah tentang Yesus memberi makan lima ribu orang (laki-laki) dengan lima roti dan dua ekor ikan (Matius 14:13-21 dan paralelnya). Di sini kita berhadapan dengan kisah Injil tentang mukjizat Yesus, bukan dengan mukjizat Yesus itu sendiri. Hanya dalam Injil Yohanes dikatakan bahwa Yesus sendiri langsung membagi-bagikan makanan itu kepada lima ribu orang itu (Yohanes 6:11); sedangkan dalam Injil-injil lainnya para murid Yesuslah yang membagi-bagikan makanan yang sebelumnya mereka telah terima dari Yesus. Bukan tempatnya di sini untuk mengajukan semua pertanyaan di atas kepada kisah ini.

Terhimpunnya dalam satu hari orang laki-laki sampai lima ribu orang (belum termasuk perempuan dan anak-anak) bukanlah kejadian mudah; ini adalah sebuah tindakan yang tidak mungkin dilakukan Yesus dengan aman-aman saja, mengingat baik Herodes Antipas (penguasa Galilea dan Perea) maupun Roma (penjajah seluruh tanah Palestina zaman Yesus) akan segera bereaksi secara represif militeristik terhadap setiap usaha menghimpun massa dalam jumlah besar, seperti telah terjadi pada Yohanes Pembaptis yang dibunuh Herodes Antipas karena kekuatirannya atas massa pengikut Yohanes Pembaptis (baca tuturan tentang ini dalam Flavius Yosefus, Antiquities 18.116 dyb) dan pada kegiatan-kegiatan sejenis lainnya seperti telah dilaporkan juga oleh sejarawan Yahudi yang sama, Yosefus. 

Jadi, dilihat dari konteks sosio-politis zaman Yesus, sangat mustahil kalau Yesus bisa menghimpun lima ribu orang laki-laki dengan dirinya tetap aman-aman saja. Selain itu, harus diingat, total penduduk di kawasan-kawasan di sekitar tempat terjadinya pemberian makan lima ribu orang itu jelas tidak mencapai angka lima ribu.

Ada tiga golongan penafsir atas kisah tentang mukjizat pemberian makan lima ribu orang ini. Yang pertama adalah kalangan supernaturalis, yang menyatakan bahwa Yesus, dengan kekuatan supernaturalnya, betul-betul faktual pernah melakukan mukjizat memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan, dengan sisa dua belas bakul (dari mana bakul-bakul ini berasal?). Masalah dari tafsiran kalangan supernaturalis ini adalah kesulitan orang entah untuk membayangkan terhimpunnya bergunduk-gunduk roti dan ikan mendadak sehabis makanan-makanan ini (lima ketul roti dan dua ekor ikan) didoakan Yesus, atau pun untuk membayangkan bahwa di tangan para murid yang membagi-bagikan makanan itu akan langsung muncul roti-roti dan ikan-ikan baru tidak habis-habisnya sampai semua orang yang duduk berhimpun mendapat makanan. Para mentalist dan illusionist dalam zaman modern yang piawai memakai trik teknologis dan trik mental untuk memperdaya masyarakat juga pasti tidak bisa mengadakan kejadian semacam ini: mengadakan gundukan roti secara mendadak bergunung-gunung di sekitar diri mereka!

Penafsir kedua adalah dari golongan rasionalis. Mereka menyatakan bahwa prakarsa Yesus dan para murid untuk membagi makanan itu kepada beberapa orang yang sedang duduk di barisan terdepan telah mendorong orang-orang lain di dalam perhimpunan besar itu untuk juga membagi-bagi makanan yang mereka telah bawa dari rumah masing-masing kepada orang-orang lainnya, sehingga akhirnya semua orang mendapatkan roti dan ikan yang cukup, tanpa perlu mukjizat terjadi. Kesulitan tafsiran rasionalis ini adalah teks Injil-injil jelas-jelas tidak berbicara tentang sharing of bread dan sharing of fish semacam itu. Sebaliknya, dalam Injil-injil dikatakan bahwa orang-orang yang berhimpun di situ sama sekali tidak membawa makanan apa pun, kecuali hanya lima roti dan dua ekor ikan (yang ada pada seorang anak).

Tetapi harus diakui bisa saja hal yang dibayangkan kalangan penafsir rasionalis ini secara faktual historis benar; tetapi karena kejadian historis yang semacam ini tidak membuat Yesus tampil sakti mandraguna, maka sejarah diubah oleh para penulis kitab-kitab injil dalam Perjanjian Baru (mulai dari Markus) sehingga lahirlah kisah-kisah hebat tentang Yesus membuat mukjizat pemberian makan 5000 orang ini yang kita dapat baca sekarang dalam injil-injil PB. Sudah menjadi suatu kecenderungan umum di kalangan orang Kristen perdana dulu untuk semakin lama semakin mempermuliakan dan mengagungkan Yesus, bahkan akhirnya sampai menempatkan Yesus setara dengan Allah sendiri, karena mereka dengan tidak mau kalah sedang terlibat dalam suatu persaingan ideologis sengit dengan kalangan-kalangan lain di dunia Yunani-Romawi yang sudah memiliki figur-figur mahaagung mereka sendiri, seperti Kaisar Augustus yang dipandang orang Roma sebagai sang juruselamat dunia yang kelahirannya membawa kabar baik dan keselamatan untuk seluruh kawasan kekaisaran.

Tafsiran ketiga yang paling mungkin diterapkan adalah dengan memperlakukan kisah ini sebagai sebuah kisah teologis mitologis, bukan kisah sejarah. Tafsiran teologis sesuai dengan hakikat setiap Kitab Suci sebagai sebuah kitab keagamaan, sebuah kitab teologis, bukan sebuah kitab sejarah. Bagi teologi penulis Injil Matius, Yesus adalah “Musa yang baru”, yang membawa hukum baru, dan yang mengulangi kembali bahkan melampaui kisah-kisah besar yang pernah dikisahkan tentang Nabi Musa. Kalau dulu untuk memelihara umat Israel yang sedang berada dalam perjalanan di padang gurun di bawah pimpinan Musa (dan Harun) Allah telah memberi mereka makan “daging” dan “roti” (yang disebut manna) (lihat Keluaran 16), kini, untuk umat Allah yang baru, yaitu Israel baru, Yesus sebagai Musa yang baru atau bahkan lebih besar dari Musa juga telah memberi himpunan besar para pengikutnya roti dan daging ikan sampai mereka kenyang, langsung dari tangannya sendiri. Di tangan penulis Injil Matius, Musa adalah tipologi Yesus, Yesus yang muncul kemudian dalam sejarah Israel. Pemberian makan ini hanya ada dalam teks, dalam dunia kisah, dalam dunia ide teologis, bukan dalam sejarah insani faktual.

Nah, memperlakukan kisah tentang mukjizat Yesus memberi makan lima ribu orang ini sebagai kisah teologis, bukan kisah sejarah, bukanlah melakukan demirakulisasi, tetapi diharuskan oleh sifat-sifat kisah tentang mukjizat ini sendiri.

Makam keluarga Yesus dan kajian sejarah

Ada pada kita bukti material objektif arkeologis berupa sebuah makam keluarga di Talpiot yang berisi osuarium yang bertuliskan nama “Yesus anak Yusuf” dan osuarium-osuarium lain yang bertuliskan lima nama lain yang berhubungan erat dengan Yesus sebagai satu keluarga, yang hampir semuanya adalah nama-nama yang ditemukan dalam Perjanjian Baru. Dan ada juga pada kita sebuah osuarium lain yang sudah dapat dipastikan berasal dari makam yang sama, yakni osuarium yang berinskripsi “Yakobus anak Yusuf, saudara dari Yesus”. Ini adalah sebuah fakta objektif material arkeologis, bukan rekayasa Yahudi untuk (seperti dituduhkan banyak orang Kristen belakangan ini) menjatuhkan agama Kristen. 

Juga ada data ilmiah dari ilmu statistik modern bahwa temuan arkeologis makam keluarga di Talpiot ini sangat unik, dengan peluang (menurut Feuerverger yang hanya memperhitungkan empat nama saja) hanya satu kali dari antara enam ratus kasus (1:600). Belakangan, John Koopmans juga melakukan perhitungan statistik serupa, tetapi kali ini dengan memperhitungkan tujuh nama yang ada, termasuk nama “Yakobus anak Yusuf, saudara dari Yesus”, dan dengan melipatgandakan penduduk kota Yerusalem sampai tiga puluh kali dari angka rata-rata yang sebenarnya. Menurut Koopmans, peluangnya adalah 1:42.723.672. Artinya, hanya akan ada satu makam keluarga seperti makam Talpiot dari 42.723.672 keluarga di Yerusalem pra-tahun 70. Angka-angka statistik ini telak menunjukkan tidak akan ada lagi kasus semacam makam Talpiot.

Yang baru dicatat di atas adalah fakta-fakta dan data ilmiah, bukan kesimpulan sejarah. Kesimpulan sejarah hanya akan bisa dihasilkan, apakah makam Talpiot adalah makam keluarga Yesus dari Nazareth (Yesus yang dipercaya orang Kristen sebagai Tuhan dan Kristus), apabila dilakukan pengkajian-pengkajian prosopografis lebih lanjut untuk menemukan “fit” atau “kecocokan” antara data material arkeologis dan data dari teks-teks kuno, termasuk teks-teks Perjanjian Baru. 

Jadi, usaha-usaha membuktikan makam Talpiot adalah makam keluarga Yesus dari Nazareth sama sekali bukanlah usaha-usaha demirakulisasi, melainkan usaha-usaha bidang kajian prosopografis untuk menemukan (melalui kajian ilmiah) kecocokan sejarah antara bukti material arkeologis dan keterangan-keterangan di dalam teks-teks kuno. Biarkan mereka yang sedang melakukan pengkajian prosopografis ini bekerja dengan taat asas di alur disiplin ilmu pengkajian arkeologis dan ilmu sejarah; jangan mereka dikecam atas nama teologi atau doktrin Kristen apapun.

by Ioanes Rakhmat


Friday, December 14, 2007

Jesus According to the Testimonium Flavianum




Joseph ben Matthias, the Jewish historian. Image source: worldhistory.org.


The Antiquitates Judaicae or Jewish Antiquities is a work that was completed in 93 or 94 CE by the Jewish historian Flavius Josephus (or Joseph ben Matthias)./1/

Note: The original Greek text from Josephus is no longer extant; the text available for the Antiquities is based on Greek manuscripts of the eleventh century. 

In the history of literature, chapter 18:63-64 of the Jewish Antiquities is often referred to as Testimonium Flavianum, “the Testimony of Flavius (Josephus)” to Jesus; (and in what follows it will be noted as the Testimony). 

The text of the Testimony which is quoted below is that found in Louis H. Feldman’s translation of the Jewish Antiquities./2/

“About this time there lived Jesus, a wise man, if indeed one ought to call him a man. For he was one who wrought surprising feats and was a teacher of such people as accept the truth gladly. He won over many Jews and many of the ­­­­Greeks. He was the Messiah. When Pilate, upon hearing him accused by men of the highest standing amongst us, had condemned him to be crucified, those who had in the first place come to love him did not give up their affection for him. On the third day he appeared to them restored to life, for the prophets of God had prophesied these and countless other marvelous things about him. And the tribe of the Christians, so called after him, has still to this day not disappeared.” (Antiquities 18:63-64)


The Problem of Authenticity
 

Since the sixteenth century, the authenticity of the Testimony has been widely debated. John P. Meier has distilled four positions which have emerged in this long debate:/3/ 

1) The Testimony, in its entirety, is a Christian interpolation into Josephus’ text; 
2) While there are signs of heavy Christian redaction, some mention of Jesus (perhaps a pejorative one) in the original text of the Testimony led a Christian scribe to substitute a positive, Christian text; the original wording, as a whole, has been lost, but some traces of what Josephus wrote may still be found; 
3) The text is basically what Josephus wrote; the two or three insertions by a Christian scribe can be easily isolated from the non-Christian core; 
4) In its entirety, the Testimony is exactly as it was written by Josephus. 

In the modern scholarship, the literature on this debate is enormous,/4/ but a large number of scholars judge the “basic kernel” of the Testimony to be authentic./5/ This kernel consists of everything in the above quotation, except for the words in italics which are considered to be those from a Christian interpolator./6/ 

The reasons advanced for the authenticity of the Testimony stripped of those three Christian additions are apparently exhaustive./7/ 

But, if most of the Testimony is as originally written by Josephus, the next question is whether or not that authentic material is an account of actual history. 

As an historian, Josephus most likely used certain sources, written and/or oral, and this likelihood then raises the question of the historical value of those sources. 

There is also the question of the influence of Josephus’ personal feelings when he interpreted what he accepted as history. 

Concerning this, Per Bilde, after doing a comprehensive study of Josephus’ works, maintains that “to a high degree, Josephus’ personal engagement and his personal interpretation of the historical material appears to be offset by a passionate historical interest in what actually took place.”/8/ 

Shaye J. D. Cohen is of the opinion, on the one hand, that in Josephus’ account of the events of the Jewish War (66-70 CE), he “can invent, exaggerate, over-emphasize, distort, suppress, simplify, or, occasionally, tell the truth. Often we cannot determine where one practice ends and another begins. Thus it is easy to destroy Josephus’ account, but nearly impossible to construct a more truthful one.”/9/ 

But, on the other hand, Cohen is convinced that Josephus “still retained significant echoes of the original, especially of the documentary material.”/10/ 

In harmony with this, Helen K. Bond expresses her judgment that, as long as Josephus is used with caution, he is still an historical source of unique rank and his records are “generally trustworthy.”/11/

As to the matter of Josephus’ use of a source, John P. Meier has stated that “all opinions on the question of Josephus’ source remain equally possible because they remain equally unverifiable.”/12/ 

Yet, in a recent study, G. J. Goldberg has come to the conclusion that the Testimony and the simplified or “dedramatized” version of the Emmaus narrative in the Gospel of Luke (Luke 24:19-21; 24:25-27) both have a very early Jewish-Christian source which each author used independently, with Josephus producing an interpreted historical report and Luke creating a narrative account./13/

Goldberg’s hypothesis is very instructive, for if it can be shown to contain the correct analysis, then Josephus’ references to the role of Jewish leaders in interrogating and accusing Jesus and to that of Roman authorities in passing the death sentence on him have stronger historical grounding and make more certain the existence of a pre-gospel tradition about those developments./14/

With regard to this matter of Josephus’ sources, Gerd Theissen and Annette Merz/15/ take the view that perhaps Josephus had contacts in Rome with a Christianity of the type reflected in Luke; at the same time, they note that Josephus’ roots in Palestine make it possible that he also used reports and popular traditions current in Jerusalem. 

Crossan is among those scholars who are of the opinion that “the basic kernel” of the Testimony is authentic. 

As Crossan puts it, the Testimony contains “basic historical facts”, namely that there was a movement initiated by Jesus, there was an execution because of that movement, and there was a continuation of the movement./16/

As Crossan interprets the Testimony, it is a writing which reveals how Jesus and the Jesus movement looked to Josephus, a prudent, diplomatic, and cosmopolitan Roman Jew, in the last decade of the first century. 

Josephus saw that movement as marked by miracles and teachings, conversion of Jews and Greeks, roles played by “our men of highest standing” and by Pilate, the occurrence of crucifixion, and still the movement’s continuation. 

The problem with Crossan’s interpretation however lies in the speculation he does concerning the legal basis of Jesus’ execution. 

Pilate and the “Men of the Highest Standing Amongst Us” 

In the Testimony, the words “When Pilate, upon hearing him accused by men of the highest standing amongst us (tōn prōtōn andrōn par hēmin), had condemned him to be crucified...” are considered by most scholars to be in keeping with the actual historical developments. 

However, for Crossan, these words do not point to any investigation of Jesus, even to any kind of trial of Jesus. Rather, what lies behind these words is “a standing agreement between Caiaphas and Pilate” that, during the Passover celebrations, any subversive action against the Temple or the populace would be met by immediate crucifixion of those found responsible, in the conviction that such action would be a warning and deterrent to others. Of course, it is possible that such a standing agreement was in effect. 

Still, it must be questioned whether such an agreement was indeed implied by the above-quoted words. Who were these “men of the highest standing amongst us,” and what did they do? 

Based upon Josephus’ writings and the New Testament, most probably they were, we infer, members of the ruling priestly aristocracy together with their associates,/17/ including the Pharisees who claimed to be the party of accurate and specific understanding and rigorous observance of the Torah/18/ (see Josephus: Jewish War 2. 162-3; cf. 1.108-109; Antiquities 13. 171-3; Life 191; Acts 26:5; 22:3). 

They based themselves and were active primarily in Jerusalem, but they also made periodic visits to villages and towns outside of Jerusalem/19/ (see Mark 3:22; 7:1; Matthew 15:1; Luke 15:1). 

In keeping with their role in the ordinary Judaean political processes,/21/ the Pharisees must have been consulted about the formulation of the accusations made against Jesus. In order to formulate those accusations, the Jewish leaders would have taken the initiative/21/ to hold a meeting, during which they could investigate possible criminal activities of Jesus. 

Their conclusions would then be formulated as accusations and forwarded to the Roman governor. This use of an investigative process was the same as that used by the High Priest Ananus, in the mid-60s, against James the Just, the leader of the Jerusalem community of Jewish Christians (see Acts 15:1 ff., 21:17 ff.); and this resulted in James’ execution by stoning (Antiquities 20.200)./22/

Another part of the Testimony that is most likely in harmony with actual historical developments is the picture of the involvement of the Roman governor in sentencing Jesus, on the basis of the accusations brought against him by the Jewish leaders. 

On this point, Raymond E. Brown’s note should be kept in mind: “[W]hen the Jews or their leaders had come to a decision about a prisoner, Roman independence was preserved. [A] Roman trial of Jesus conducted independently of a preceeding Jewish trial or interrogation and keeping open the possibility of release or condemnation is not implausible. There is nothing in the Gospels to suggest a mere confirmation of the Jewish sentence.”/23/

In Josephus’ account of the treatment of Jesus, son of Ananias (Jewish War 6.5.3; #300-309) who had cried out against Jerusalem and the Temple, there is another depiction of the role played by a Roman procurator (Albinus [62-64 CE]) in investigating an accused Jewish person (no Roman condemnation is included in this depiction). 

Josephus in Antiquities 20.5.4; # 115-17 tells us about the procurator Cumanus (48-52 CE) who executed a soldier for tearing up publicly a copy of the Law of Moses, blaspheming against it; the soldier was executed because he had committed a public outrage. 

Then, too, there is the statement by the Roman historian Tacitus that Pontius Pilate sentenced Jesus to die by crucifixion (Tacitus, Annals 15.44.3). 

And, we know, from the time of the Emperor Augustus (31 BCE-14 CE), the Roman prefect or his deputies in Egypt had the authority to conduct judicial processes of “status examination” on both Roman and non-Roman citizens./24/

In sum, therefore, we have evidence to conclude that, in the first century CE, a Roman governor or prefect could play a determining role in a judicial procedure ― investigation and/or trial ― of an ordinary citizen or non-citizen./25/

And this means that, in the case of Jesus, there is no need to postulate a standing agreement between Caiaphas and Pilate that would cause Jesus’ immediate execution without some investigation or trial. 

Josephus’ Testimony is actually very clear: Jesus was put to death by crucifixion, and before his execution there was some kind of interrogation and trial carried out by Jewish leaders and the Roman governor, Pontius Pilate. 

Notes 

/1/ Josephus lived from 37/38 until sometime after 100 CE, and came from a priestly family in the Jerusalem aristocracy. 

/2/ Josephus: Jewish Antiquities, Book XVIII-XX, translated (based on eclectic Greek texts, the earliest one dates from the eleventh century), edited and annotated by Louis H. Feldman (Cambridge, Massachusetts/London: Harvard Univ. Press/William Heinemann, 1969 [19651]) 48-51, in LCL 9 (9 vols; translated, edited and annotated by Henry St. John Thackeray, Ralph Marcus, Allen Wikgren and Louis H. Feldman); 

See Louis. H. Feldman, “Flavius Josephus Revisited: the Man, His Writings, and His Significance”, Aufstieg und Niedergang der römischen Welt (ANRW) II. 21.2, ed. W. Haase & H. Temporini (Berlin/New York: de Gruyter, 1984) 763-862. 

/3/ See John P. Meier, A Marginal Jew, 1.56-69, 70-88, esp. p. 59; “Jesus in Josephus: A Modest Proposal”, Catholic Biblical Quarterly 52 (1990) 76-103, esp. 81f.; cf. Zvi Baras, “Testimonium Flavianum: The State of Recent Scholarship”, in Michael Avi-Yonah and Zvi Baras (eds), Society and Religion in the Second Temple Period (London: W.H. Allen, 1977) 303-13, 378-85; idem, “The Testimonium Flavianum and the Martyrdom of James” in Louis H. Feldman and Gohei Hata (eds.), Josephus, Judaism and Christianity (Leiden: E.J. Brill, 1987) 338-348, esp. 339; Steve Mason, Josephus and the New Testament (Peabody, Massachusetts: Hendrickson, 1992) 163-175. 

/4/ In Feldman’s lists of modern scholarship (1937-1980): 83 studies on the Testimony in general; 11 studies on the Testimony’s references to Jesus; 1 study on Josephus’ sources for the Testimony; 14 studies on the phrase “He was the Messiah”; 5 studies on Origen and Eusebius in relation to the Testimony; 7 studies on the context of the Testimony; 10 studies on the language of the Testimony; 3 studies on Jesus’ appearance according to the reconstructed original Testimony; 17 studies on the Arabic and Syriac versions of the Testimony — in totality 156 studies. 

See his work Josephus and Modern Scholarship (1937-1980) (general editorship of Wolfgang Haase, Tübingen) (Berlin/New York: Walter de Gruyter, 1984) 679ff. 

And in Josephus. A Supplementary Bibliography (New York/ London: Carland Publishing, 1986), Feldman compiles 120 studies on the Testimony. 

See also Paul Winter’s bibliography on the pro’s and con’s put forth by scholars regarding the authenticity of the Testimony in his “Josephus on Jesus and James Antiquities xviii 3, 3 (63-64) and xx 9, 1 (200-3),” in Emil Schürer, The History of the Jewish People in the Age of Jesus Christ (175 B.C.- A.D. 135) (a new English version revised and edited by Geza Vermes and Fergus Millar; Edinburgh: T. &T. Clark, 1973), Excursus II, 1. 428-41. 

/5/ Louis H. Feldman, Josephus. Jewish Antiquities, Book XVIII-XX, LCL, IX, p. 49 n.b; “The Testimonium Flavianum: The State of the Question”, in R. F. Berkey and S.A. Edwards (eds.), Christological Perspectives (H.K. McArthur Festschrift; New York: Pilgrim, 1982) 179-199, 288-293, esp. 181, 199; Josephus and Modern Scholarship, 690; “A Selective Critical Bibliography of Josephus” in Louis H. Feldman and Gohei Hata (eds.), Josephus, the Bible and History (Leiden: E.J. Brill, 1989) 330-347; “Flavius Josephus Revisited”, 822.

See also Paul Winter, “Josephus on Jesus and James”, 1. 428-41; On the Trial of Jesus (rev. and ed. T.A. Burkill and Geza Vermes; Berlin/New York: Walter de Gruyter, 19742) 40; S.G.F. Brandon, Jesus and the Zealots: A Study of the Political Factor in Primitive Christianity (Manchester: Manchester University Press, 1967) 359-64; The Trial of Jesus of Nazareth (London: B.T. Batsford, 1968) 151 ff; Zvi Baras, “Testimonium Flavianum: The State of Recent Scholarship”, 303-13, 378-85.

Additionally, see also James H. Charlesworth, Jesus Within Judaism (New York, etc.: Doubleday, 1988) 90-98; Crossan, Cross That Spoke, 93-94; Historical Jesus, 372-74; Jesus, 161-63, 197; Who Killed Jesus?, 5, 147, 208f; Meier, A Marginal Jew, pp. 56-88; “Jesus in Josephus”, 87; Steve Mason, Josephus and the New Testament, 173-74; E.P. Sanders, The Historical Figure of Jesus (London, etc.: Allen Lane Penguin Press, 1993) 50, 298n.3; Raymond E. Brown, Death of Messiah, 1. 373-76; Craig A. Evans, Jesus and His Contemporaries: Comparative Studies (Leiden, etc.: Brill, 1995) 42-45; idem, “Jesus in Non-Christian Sources”, in Bruce Chilton and Craig A. Evans (eds.), Studying the Historical Jesus: Evaluations of the State of Current Research (Leiden, etc.: Brill, 1998) 443-78, esp. 466-77. 

/6/ A Major argument that the words printed in italics are later Christian interpolations, is that all are “obviously Christian” and “interrupt the flow of what is otherwise a concise text carefully written in a fairly neutral — or even purposely ambiguous — tone”; see John P. Meier, A Marginal Jew, 1. 60-62; “Jesus in Josephus”, 85, 87. 

/7/ Summary of the principle arguments either for authenticity or against genuineness can be found in the sources cited above. 

See also Brown, Death of Messiah, 1. 374, and Meier’s arguments drawn from the text’s history, context, language, and christological content in A Marginal Jew, 1. 62-69; idem, “Jesus in Josephus”, 88f. 

See also Theissen and Merz’s discussion in The Historical Jesus: A Comprehensive Guide (Minneapolis: Fortress Press, 1998; trans. John Bowden from the German Der historische Jesus: Ein Lehrbuch, 1996) 64-74. 

Four reasons have been put forward for the authenticity of the Testimony: 

(1) The Greek text of the Testimony is found in all the surviving mss. of the antiquities and was cited with some variations in the early fourth century by Eusebius in his three works, firstly in Demonstratio Evangelica 3.5.124-25, secondly in Historia Ecclessiastica 1.9.3.; 1.11.7-8, and thirdly in Theophania which survives only in a Syriac translation. Some form of the Testimony may have been known in the early third century by Origen, who dealt with the fact that though Josephus mentioned Jesus he did not believe that he was the Messiah (see Contra Celsum 1.47; also Comm. in Matt. 10.17 on ­­­­­­­­13:55 [GCS 40.22]); 

(2) Minus Christian additions, the style of writing and a great deal of the vocabularies of the Testimony are Josephan; concerning Jesus the authentic Testimony reflects a “low christology” (He is sophos anēr, “a wise man”) in contrast to, for example, “high christology” of the third and fourth centuries which claimed divine sonship for Jesus; its literary context is in agreement with the whole context of Josephus’ reporting of the heightening tension between the Jews and Rome. 

A clear tendency of the canonical gospels to exculpate Pilate and to put all the blame and responsibility upon the Jews and their leaders does not cohere with the role given to them in the Testimony. 

Furthermore, outside the Testimony, there is no evidence in the first-century for any reference to Christians as “tribe” or “clan” (for genuine Josephus’ usage, see Jewish War 3.8.3; # 354: “the tribe of the Jews”); moreover, something dismissive if not hostile can be detected in the whole sentence in which this reference appears (that is, “to this day the tribe of Christians ... has not died out”) which was aimed at Christians of his own day most likely not by a Christian interpolator but by Josephus himself (see, e.g., Meier, A Marginal Jew, 1. 66; “Jesus in Josephus”, 95f.); 

(3) Josephus’ reference to Jesus in Antiquities 20.200 needs an earlier mention of Jesus to make intelligible the reference at this point; 

(4) An Arabic version of the account from the tenth-century preserved by Agapius contains little or no sign of Christian additions. One recent article advancing arguments against authenticity of the entire Testimony is K.A. Olson’s, “Eusebius and the Testimonium Flavianum”, Catholic Biblical Quarterly 61 (1999) 305-322. Comparing the Testimony to the works of Eusebius, Olson contends that the text was created by Eusebius himself to refute pagan attacks on Jesus’ character. 

Olson states that the text contains words or phrases peculiar to Eusebius, except for two phrases which are more typical of Josephus, i.e., “receive with pleasure” (hēdonē[i] talēthē dechomenōn) and “first men” (prōtōn andrōn); these were brought into the text by Eusebius when revising his earlier version (in Dem. Evangelica 3.5. 124-125) so as to make it more in keeping with Josephus, the result being the text which now stands in his Historia Ecclessiastica. A Christian scribe then took it from the Historia and inserted it into Josephus’ account of Pilate’s administration. 

I find out that Olson’s argument inconclusive on two grounds. 

First, it is not only the two phrases just-mentioned which belong to Josephus; rather, a good number of words or phrases which Olson claims as Eusebius’ actually come from Josephus. This fact should force us to be open also to the possible authenticity of certain parts of the Testimony. 

Second, if Olson is correct in claiming that Eusebius inserted only the two phrases peculiar to Josephus into his revision of the Testimony, whereas the remaining words and phrases are his own, it follows that Eusebius knew the Josephan vocabularies quite well. 

And, if so, why did he not compose the entire Testimony in harmony with Josephus’ vocabularies, either to convince his readers of the authenticity of the account or to hinder him from revising it? 

Also, why did Eusebius feel the need to add those two phrases only later? And why did Eusebius introduce his own phrase, “wise man”, but then qualify it by introducing another of his own phrases: “if indeed one should call him a man”? 

In so doing, is it not evident that Eusebius well knew that the phrase “wise man,” applied to Jesus, was Josephan? 

Is it not possible that Eusebius had the original text of the Testimony at his disposal, but considered it unfriendly or hostile to Jesus so that he felt urged to revise it by interpolating Christian confession into it, to make it usable in his polemic against non-Christians? 

In short, could not this problem simply point to the complicated history of the transmission of the original Josephus’ Testimony, and not to the creative and editorial hand of Eusebius? 

/8/ Per Bilde also states that “No one can be in doubt that in a great many respects Josephus did not write merely to record history. 

Nevertheless, at the same time he claims as a historian he is primarily guided by regard for the historical truth. 

He maintains that the writer of history must not allow himself to be led by a desire to please and flatter; nor by a wish to excel in rhetorical style. 

Above all, the historian should remain impartial and suppress his own personal emotions. He should write soberly and objectively about the events he himself has experienced or which he has found well documented in historical sources.” 

According to Bilde, Josephus displays these principles in his prefaces to Jewish War (1.1-16) and Antiquities (1.1-4), but also in several other places, such as Jewish War 5.20; Antiquities 16.183-187; 20.154-156; Life 336-339, 357-367; Apion 1.1-56. 

Bilde comments that “(in Jewish War) Josephus’ intention is to represent the facts,... but at the same time... he wants to express his own emotions on what took place; he writes with grief for the misfortunes of the Jewish people, while at the same time, he endeavours to write accurately, painstakingly and impartially.” 

See his work Flavius Josephus Between Jerusalem and Rome: His Life, His Works and their Importance (Sheffield: Sheffield Academic Press, 1988) 73, 192-95, 200. 

Yet, unbelievably, regarding the historical value of the Testimony, Bilde is of the negative opinion that “as such (the Testimony) was indeed looked upon and celebrated for centuries, but more recent investigations have shown that, at best, the text is partly genuine and most likely a thoroughly secondary Christian fabrication. Hence, we can disregard this text with good conscience” (pp. 222-23). 

/9/ Shaye J. D. Cohen, Josephus in Galilee and Rome. His Vita and Development as a Historian (Leiden: E.J. Brill, 1979) 181. 

/10/ Shaye J. D. Cohen, Josephus in Galilee and Rome, p. 47. 

/11/ Helen K. Bond, “New Currents in Josephus Research” in Currents in Research: Biblical Studies 8 (2000) 177f. [162-190]. 

/12/ Meier, A Marginal Jew, pp. 68, 64f ; “Jesus in Josephus”, 98, 94. 

/13/ G. J. Goldberg, “The Coincidences of the Emmaus Narrative of Luke and the Testimonium of Josephus”, Journal for the Study of the Pseudepigrapha 13 (1995) 59-77; idem, “The Josephus-Luke Connection” in The Flavius Josephus Home Page (http://members.aol.com/fljosephus/LUKECH.htm); idem, “Testimonium-Luke Comparison Table”; “Statistical Significance of the Testimonium-Luke Correspondences. Comparison with Other Early Jesus Descriptions”, “Quantitative Content Analysis of Jesus Texts”, “Content Analysis of Jesus Texts. Pairwise Analysis” (all in the same Home Page). 

/14/ Moreover, the fact that Luke 24 lacks the reference to Pilate’s role may permit one to suggest that Josephus’ Testimony could be closer to that early Jewish-Christian common source. 

/15/ Gerd Theissen and Annette Merz, Historical Jesus, 74 [64-74]. 

/16/ Jesus, 162-63, 197; Who Killed Jesus?, 5f. 

/17/ See Paul Winter, On The Trial of Jesus, p. 40 n.26, referring to Antiquities 20.251; Craig A. Evans, “Jesus in Non-Christian Sources” in Studying the Historical Jesus, 472-73; idem, “Authenticating the Activities of Jesus”, in Bruce Chilton and Craig A. Evans (eds.), Authenticating the Activities of Jesus (Leiden, etc.: Brill, 1999) 3-29, esp. 17-20. 

Although the central figure was the High Priest himself, the Jewish aristocracy, through which Roman rule worked (see Antiquities 20.251), included other officers of the Temple, the leading members of the high priestly families who were also members of the Sanhedrin, and certain relatives or descendants of Herod who played an influential role in Judaean affairs even though they did not occupy any formal office. 

The core of the Jewish aristocracy, however, was composed of a few wealthy priestly families. The nineteen or so occupants of the High Priestly office between 6 and 66 CE were from only four highly influential families, who must have formed a fairly tight-knit clique in their control of Judean (and other Jewish) affairs. See Richard A. Horsley, “High Priests and the Politics of Roman Palestine. A Contextual Analysis of the Evidence in Josephus” in Journal for the Study of Judaism XVII/1, June 1986, 30-34 [23-55]; Emil Schürer, History of the Jewish People, 2.235-236; Joachim Jeremias, Jerusalem in the Time of Jesus (Philadelphia: Fortress, 1969) 147-182. 

/18/ The Pharisees’ self-understanding can be inferred from their name as pārôšîm which, they maintained, meant “the speci­­fiers”, namely, ones of “the party of accurate and specific observance of the law”; see A.I. Baumgarten, “The Name of the Pharisees”, Journal of Biblical Literature 102/3 (1983) 420, 426 ff. [411-428]. 

/19/ Richard A. Horsley, Archaeology, History, and Society in Galilee. The Social Context of Jesus and the Rabbis (Pennsylvania: Trinity Press International, 1996) 152-3; Martin Goodman, The Ruling Class of Judaea. The Origins of the Jewish Revolt against Rome A.D. 66-70 (Cambridge: Cambridge University Press, 1987, repr. 1988) 73; G. Vermes, Jesus and the World of Judaism (London: SCM Press, 1983) 31, 153 n.8. 

Though there remains no evidence outside the Christian gospels about the activities of the Pharisees as representatives of the Jerusalem authorities in Galilee during the early first century (except Josephus’ Life 196-97, the one and only mention in the whole of Josephus’ work, about three Pharisees and another delegation visiting Galilee, dispatched from Jerusalem, to effect his dismissal from the post of regional commander-in-chief), Horsley accepts the historical credibility of those Christian records: 

“Given the institutional political-economic-religious structure in first-century Palestine, if there was any representation of Jerusalem interests in Galilee, scribal retainers of the temple-state such as the Pharisees would have been the obvious candidates”. See Horsley, Archaeology, History, and Society in Galilee, 31, 33f. 

/20/ See also R. A. Horsley and John S. Hanson, Bandits, Prophets, and Messiahs: Popular Movements at the Time of Jesus (Minneapolis, etc.: Winston Press, 1985) 153, 157-59 [reviewed by T.L. Donaldson, “Rural Bandits, City Mobs and the Zealots”, Journal for the Study of Judaism in the Persian, Hellenistic and Roman Period 21 (1990) 19-40]; Martin Goodman, The Ruling Class of Judaea, 73f., 84, 150; Urban C. Von Wahlde, “The Relationship Between Pharisees and Chief Priests: Some Observations on the Texts in Matthew, John and Josephus”, New Testament Studies 42/4 (1996) 506-22. 

It should be remembered that “ordinary Judeans did not necessarily share the views of the Pharisees and often came into conflict with the priestly aristocracy” and that “it is highly doubtful that the high priesthood or its scribal ‘retainers’ (including the Pharisees) would have been able to mount a program by which the Galileans could have been effectively ‘resocialized’ into habitual loyalty to the Temple and the Torah (or the ‘laws of the Judeans’)” and that “the opposition between Jesus and the Pharisees is another aspect of the conflictual relations between Jerusalem rulers and the Galilean villagers”; see Horsley, Archaeology, History, and Society in Galilee, 182f. 

In the NT, in the references to the make-up of the Sanhedrin as “the priests, the elders, and the scribes”, there may have been Pharisees among the last-mentioned group, although the gospels do not stress it. The synoptic joining of scribes and Pharisees (some fifteen times) certainly gives this impression; in addition, there is mention in Matt. 27:62 of the Pharisees who together with the chief priests gathered before Pilate after the execution of Jesus; and in John 11:47 and Acts 5:34; 23:6 mention is made of the Pharisees as part of the Sanhedrin. See Brown, Death of Messiah, 340 n.26, 352 nn.52,53, and Appendix V, B2. 

/21/ Craig A. Evans, “Jesus in Non-Christian Sources” in Bruce Chilton and Craig A. Evans (eds.), Studying the Historical Jesus: Evaluations of the State of Current Research (Leiden, etc.: Brill, 1998), pp. 443-78, esp. p. 477. 

/22/ Antiquities 20.200-202. As has been noted, the story is placed within the context of political events in Judaea in the mid-60s. The Roman governor, Porcius Festus, has died in office (62 CE), and the emperor Nero sends Albinus to replace him (62-64 CE). 

Having been granted control over the high priesthood by the Roman authorities, King Agrippa II bestows this priestly office on Ananus II. 

However, in the eyes of Josephus, the High Priest Ananus is not different from other Sadducees who “are savage beyond all (other) Jews” (Antiquities 20:199). 

To illustrate Ananus’ impetuous conduct, including atrocities, in Antiquities 20:203 Josephus relates how, having been convinced by a delegation that had come to him, the new governor, Albinus, became infuriated at Ananus’ improper action in bypassing the Roman governor’s approval which was necessary for convening the Sanhedrin and for passing the death sentence; and Albinus then wrote to Ananus, threatening punishment for this affront to the power of the Roman governor. However, King Agrippa steps in, and deposes Ananus from the high priesthood after only three months in office. 

/23/ Brown, Death of Messiah, 1. 715. 

/24/ About a hundred papyrus documents dated to the first three centuries CE record the process of status examination (epikrisis or eiskrisis) which was enforced on Roman or non-Roman citizens in Roman Egypt. 

Procedurally, an individual’s application for clai­ming the right to a particular status would be examined, verified and determined. If the applicant was properly qualified and his formal application was granted, the new status was then conferred and a certificate declaring the new status was issued. 

The official declaration of the new status of the applicant was important for, among other matters, claiming an inheritance or receiving other rights of citizenship, for example, enrollment in the military service or being wholly exempt from the poll-tax or having the right to reside in a province. 

Carroll A. Nelson in his Status Declarations in Roman Egypt (American Studies in Papyrology vol. XIX; Amsterdam: Adolf M. Hakkert, 1979) has studied a number of such papyrus documents and analysed the form and function of such status declarations in Roman Egypt. 

Of the papyrus documents Nelson has analysed, some, dated from the begin­ning (103 CE) to the end of the second century (188 CE), contain records of examinations directly by the prefect of Egypt or by his representatives upon Roman citizens and their dependents (slaves and freedmen) in matters such as establishing status or guaranteeing rights (pp. 40-46). 

Nelson states, “that the prefect or his deputies conduc­ted the examinations... means that the highest administrative office in the province handled the epikrisis of these citizens either because they were Romans or because their epikrisis involved something which was not or could not be handled on the nome [a province of ancient Egypt] or metropolis level of government.” (p. 44). 

Some of the papyri Nelson analysed (for exam­ple, P. Oxy II 257; P. Oxy X 1266; P. Oxy XII 1452; P. Oxy. XVIII 2186; PSI V 457; PSI VII 731) contain a reference to, or a citation from, a list or a documentary account dated to 4 or 5 CE (“in the thirty-fourth year of Augustus” [31 BCE - 14 CE]) (pp. 28-35). 

Con­clusively, Nelson stresses that “In the first place, all available evidence points to these declarations and the examinations for status as exclusively Roman procedures which probably were initiated during the reign of Augustus and were part of an administrative reorganization by the Roman government” (p. 66) and “through status declarations and the records which they provided for nome and provincial officials, the Roman government was able to administer and control more efficiently her citizens and subjects in Egypt.” (p. 67). 

/25/ Raymond Brown (Death of Messiah, 1.719) cautions that it would be wrong to imagine that the governor consulted law books every time he had to deal with a provincial accused of a crime. However, one can justifiably imagine that what governed the treatment of a noncitizen such as Jesus was not a specific law, but a general principle of maintaining order in a subject province.