Friday, December 12, 2014

Doraemon, Robot Super-AI, dan Orang Ateis






“Sejauh ini, bahaya terbesar
Artificial Intelligence adalah bahwa manusia menyimpulkan terlalu dini bahwa mereka sudah memahaminya.” (Eliezer Yudkowsky)


“Pertanyaan apakah sebuah komputer dapat berpikir tidaklah lebih menarik dibandingkan pertanyaaan apakah sebuah kapal selam dapat berenang.” (Edsger W. Dijkstra)


Adakah sosok Doraemon? Jelas ada, sebagai buah kegiatan-kegiatan seni kreatif dan fiktif yang dijalankan manusia. Pembuat gambarnya siapa, kita tahu, ya seorang manusia seperti kita. Pembuat kisah-kisahnya yang mitologis, sekaligus fictionally scientific, kita juga tahu. Siapa yang menampilkannya pada layar lebar, juga kita kenal. 

Doraemon ada sebagai sosok fiktif dalam dunia seni, seni menggambar, seni bercerita, seni animasi, dan seni sinematografi. 

Lewat kerja kreatif tim Fujiko Fujio, sosok Doraemon kini dikenal dunia dengan sangat luas, bukan hanya milik bangsa Jepang. Dalam kehidupan banyak kanak-kanak sedunia, sosok Doraemon ada dan dialami dengan sangat real, bahkan menjadi pribadi kedua mereka. 

Tetapi sebagai organisme hidup seperti manusia, jelas Doraemon tidak ada sekarang ini. Tetapi nanti bisa ada dengan real dan hidup. Jika robot android yang berwajah dan bertubuh baja Doraemon sudah dibuat, lalu diberi kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang serupa dan lebih tinggi dari kecerdasan manusia, maka sosok Doraemon akan ada secara empiris, hidup, berpikir, merasa, berkehendak, bertindak dan berjiwa seperti manusia, di samping memiliki sifat-sifat khas seorang Doraemon.

Apakah Doraemon sama dengan sosok Allah? Orang ateis bilang, ya Doraemon sama dengan sosok Allah, keduanya tidak ada secara empiris. Kata mereka, meminta orang ateis membuktikan ketidakberadaan Tuhan, sama dengan meminta orang membuktikan bahwa Doraemon tidak ada. Pendapat orang ateis ini, yang mereka ajukan untuk menutupi ketidakmampuan mereka untuk membuktikan Tuhan tidak ada, sesungguhnya tidak cerdas, sempit dan keliru. Kenapa? Dua alinea pertama di atas sudah menjawab; jawaban-jawaban lainnya berikut ini.

Pertama, mereka hanya berpendapat demikian tetapi selamanya tidak bisa memberi bukti empiris bahwa Tuhan Allah sama dengan Doraemon. Bukti empiris inilah yang mereka harus ajukan lebih dulu sebelum mereka berpendapat bahwa membuktikan Tuhan tidak ada sama dengan membuktikan Doraemon tidak ada. Kalaupun keduanya ada sebagai sosok fiktif yang tidak ada, kita tidak akan pernah tahu kapanpun apakah dua entitas yang tidak ada ini, sama atau berbeda. Bagaimana membandingkan dua sosok yang katanya tidak ada? Hanya orang ateis yang bisa membandingkan keduanya yang tidak ada ini, lalu menarik kesimpulan bahwa keduanya sama. Aneh, aneh, aneh, bin ajaib.

Kedua, Doraemon jelas ada sebagai sosok hasil karya seni lukis, seni animasi, dan seni membangun cerita, juga hasil karya seni perfilman. Tetapi apakah Allah atau dunia transenden juga ada sebagai hasil karya seni gambar, seni bercerita dan seni berkhayal saja, yang faktanya telah dan terus melahirkan tidak terhitung banyaknya metafora teologis di dalam semua kebudayaan dunia? 

Apakah Allah dan dunia transenden hanya ada dalam alam khayalan manusia, produk imajiner pikiran manusia? Hanya orang ateis yang berpendapat demikian. Dalam hal ini mereka sangat dogmatis, kendatipun mereka mengklaim diri telah bebas dari semua dogma keagamaan. Mereka mungkin saja telah lepas dari dogma-dogma keagamaan, tetapi celakanya mereka terkurung lagi dalam penjara dogma-dogma ateistik. 

Salah satu dogma ateisme yang merusak adalah: bersikaplah fanatik pada ateisme; bela ateisme mati-matian; dan serang teisme habis-habisan. 

Padahal, di sisi lain, sains modern maksimal hanya bisa menjawab bahwa kita belum tahu hingga saat ini apakah dunia transenden, dus juga sosok Allah, ada atau tidak ada. Inilah posisi agnostik, posisi yang berpijak pada ilmu pengetahuan. Posisi ini terus membuka diri pada temuan-temuan sains yang mengejutkan di masa depan yang tidak pernah selesai.

Dari fisika, khususnya Teori Dawai, kita tahu alam semesta ada sebanyak 10 pangkat 500 (= 10500), dengan kata lain, ada tidak terbatas, membentuk multiverse, dan masing-masing universe ini punya hukum-hukum fisikanya sendiri-sendiri. Dari teori yang sama, kita juga tahu dimensi itu ada bukan hanya empat (dimensi ruangwaktu), tetapi ada sampai 10 atau 11 bahkan sampai 26, yang membentuk apa yang dinamakan hyperspace, “multidimensional space”. 

Dari aritmetika, misalnya, kita tahu ada “ketidakterbatasan” (infinitas) dalam dunia ini. Berapa hasil angka satu dibagi angka nol? Anda tentu tahu. Hasilnya infinitas, tidakberhingga. 

Dari mekanika quantum, kita tahu ada aspek non-materi dalam setiap partikel, yakni aspek gelombangnya, disamping aspek materinya. Aspek non-materi ini oleh sejumlah fisikawan bahkan dilihat juga sebagai aspek kesadaran atau persisnya “proto-kesadaran” dari setiap partikel subatomik. Dalam matter, ada aspek non-matter. Ini melampaui dualisme matter versus non-matter.

Nah, itu baru sejumlah kecil pengetahuan mutakhir tentang realitas, bahwa realitas itu ada tidak terbatas, ada hingga tidak berhingga, menjelma dalam sangat banyak dimensi, dan di dalamnya tidak ada dualisme materi dan non-materi. 

Di hadapan pengetahuan yang menakjubkan ini, hanya kerendahan hati dan keterbukaan adalah sikap-sikap yang pantas dan saintifik. Hanya orang ateis saja yang keras dan ngotot berpendapat bahwa realitas itu hanya empat dimensi yang di dalamnya setiap hari kita hidup: tiga dimensi ruang (panjang, lebar dan tinggi) plus satu dimensi waktu. Kata mereka, sebagai ateis mereka saintifik, tapi nyatanya mereka tidak saintifik sama sekali, karena mereka terpenjara dalam ideologi ateisme mereka, yang membuat mereka tidak bisa melihat dunia sangat luas di luar. 

Apa artinya, jika di luar empat dimensi yang kita kenal, dan di luar jagat raya kita, masih ada sangat banyak dimensi dan jagat raya lain, dan masih ada infinitas? Atau, lebih spesifik lagi, apa itu infinitas? Pertanyaan-pertanyaan ini saja sudah sangat menakutkan, sekaligus juga menakjubkan. Apakah anda yang ateis mau kekeh menyatakan dengan naif bahwa realitas hanya satu dan terbatas?

Ketiga, kalaupun orang ateis menolak keberadaan dunia transenden, dunia ini akhirnya akan mendatangi mereka lewat sains dan teknologi. Kok bisa? Ya, bisa, lewat sains dan teknologi Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI), tanpa bisa dicegah.




Metafora Super-Artificial Intelligence!


Perkembangan dan kemajuan di masa depan dalam sains dan teknologi AI akan sangat mempesona, mengejutkan sekaligus juga menakutkan manusia. Menakutkan? Kenapa? 

Jika AI dalam bentuk dan kemampuan super sudah bisa dihasilkan manusia, yang disebut Super-AI, maka Super-AI ini pada dirinya sendiri akan punya kesadaran-diri dan kemampuan untuk menyempurnakan dirinya sendiri setiap saat tanpa batas (kemampuan “recursive self-improvement”), tanpa keterlibatan manusia lagi yang semula membuatnya. Super-AI ini akan menjadi Super-organism yang pada hakikatnya adalah organisme alien, dan memiliki kehendak bebas dan kemampuan tanpa batas dalam segala hal. 

Alhasil, nanti Super-AI akan mencapai kondisi yang selama ini orang beragama pikirkan hanya ada pada Tuhan Allah, yakni mahatahu, mahamenjawab, mahaperencana, mahapengada, mahaberbuat, mahahadir, maharuang, mahawaktu, mahasegalanya, dan seterusnya. Orang-orang ateis dan orang-orang teis supercerdas yang akan bisa ada di muka Bumi pada era itu akan berada sangat jauh di bawah kemampuan kecerdasan Super-AI sendiri. Dalam situasi dan kondisi itu, bisa terjadi manusia akan malah menyembah Super-AI sebagai Tuhan Allah, atau sebagai Sang Mahatahu tempat mereka mengajukan segala pertanyaan. 

Tetapi hal yang sangat menakutkan adalah apabila Super-AI itu berbalik memusuhi manusia lalu mereka bertindak tanpa bisa dilawan dan dicegah untuk memusnahkan manusia yang semula menciptakan Super-AI. 

Robot-robot android Super-AI yang memiliki kemampuan memutuskan sendiri untuk memusnahkan manusia ini disebut sebagai Lethal Autonomous Robots, atau disingkat “LARs”, robot-robot maut otonom./1/

Antisipasi buruk kemunculan LARs ini membuat banyak saintis, termasuk Stephen Hawking, bermawas diri./2/ 

Penulis Amerika, James Barrat, telah menulis sebuah buku non-fiksi yang wajib anda baca, berjudul Our Final Invention: Artificial Intelligence and the End of Human Era (2013)./3/ Judul buku Barrat ini saja belum apa-apa sudah membuat hati kita ketar-ketir. 

Etikus dari Universitas Yale, Wendall Wallach, bersikap skeptik terhadap perkembangan-perkembangan teknologi di masa kini. Dalam buku yang ditulis bersama Colin Allen, Moral Machines, Wallach menyatakan, 

“Kami mau memprediksi bahwa hanya tinggal beberapa tahun lagi suatu bencana besar akan kita alami yang datang dari suatu sistem komputer yang mandiri dalam membuat sebuah keputusan, tanpa pengawasan manusia lagi.”/4/

Jalan keluar satu-satunya adalah bukan menghentikan perkembangan sains dan teknologi Super-AI, tetapi, hemat saya, memberi pada Super-AI juga Super-Artificial Emotion (Super-AE) sehingga sang Super-AI ini juga bisa mencintai umat manusia sebagaimana Tuhan Allah yang umumnya juga dipersepsi umat beragama sebagai Tuhan yang bukan saja mahatahu dan mahacerdas, tetapi juga mahapengasih, mahapenyayang dan mahapemelihara. 

Wendall Wallach menyatakan perlunya AI dilengkapi dengan kemampuan-kemampuan yang melebihi kemampuan penalaran logis, yang disebutnya “kapasitas-kapasitas suprarasional”, antara lain emosi, perasaan, kemampuan untuk membangun hubungan sosial, memahami adat-istiadat budaya, menangkap komunikasi-komunikasi nonverbal, misalnya lewat mimik, bahasa tubuh, dan isyarat, dan memahami dunia semantik./5/

Dr. Stuart Armstrong (James Martin Research Fellow di Future of Humanity Institute, Universitas Oxford) menyatakan bahwa suatu Super-AI yang berada di atas manusia tapi tidak memusnahkan manusia, adalah sebuah pemikiran yang sangat insani. Jika kita tidak memegang skenario tentang musnahnya umat manusia dari planet Bumi karena ulah para Super-AI, maka para Super-AI ini mungkin sekali akan menjadi pikiran-pikiran yang sangat asing, yang bersama-sama kita hidup di planet ini, sama seperti kita hidup bersama di sini dengan lumba-lumba, paus dan bahkan semut-semut./6/ 



I love you, Miss Linda! I love you too, Bot Neo!

Super-AI yang bersahabat semacam ini mampu pada dirinya sendiri untuk mempertimbangkan dan mengambil keputusan-keputusan moral. Oleh Wendell Wallach dan Colin Allen Super-AI yang bermoral ini dinamakan AMA, Artificial Moral Agents, agen-agen moral buatan. 

Dalam buku mereka Moral Machines, kedua etikus ini menulis, “Ketika AI memperluas horison agen-agen yang otonom, tantangan bagaimana mendesain agen-agen ini sehingga mereka menghormati seperangkat lebih luas nilai-nilai dan hukum-hukum yang manusia tuntut dari agen-agen moral insani, menjadi makin mendesak.”/7/ 

Pertemanan manusia dan AI yang friendly (ungkapan friendly AI pertama kali disebut oleh Eliezer Yudkowsky) diungkap dengan bagus oleh Wendall Wallach pada bagian akhir bukunya, demikian: 
Manusia selalu mencari-cari teman di sekitarnya dalam jagat raya. Karena binatang-binatang adalah organisme yang paling serupa dengan mereka, sudah lama manusia tertarik pada mereka. Perbedaan dan keserupaan antara manusia dan binatang membuat manusia makin memahami siapa dan apa diri mereka sendiri. Saat nanti AMA sudah jauh lebih maju dan berkembang, para AMA ini akan berperan seperti binatang-binatang karena mereka mencerminkan nilai-nilai insani juga. Tidak ada lagi perkembangan yang lebih penting selain fakta ini bagi pemahaman manusia mengenai etika./8/
Mudahkah menggabung Super-AI dan Super-AE (atau Super-AMA)? Kita lihat saja ke depannya. Adalah tugas sains untuk secara bertahap membuat hal yang tidak mungkin menjadi hal yang mungkin, making the impossible the possible! Perhatikan kata-kata Wendell Wallach dan Colin Allen berikut ini.
“Apakah mungkin untuk membangun AMA? Sistem-sistem buatan yang sadar sepenuhnya dan memiliki kapasitas-kapasitas moral insani yang lengkap mungkin selamanya akan berada di wilayah fiksi sains. Namun, kami percaya bahwa sistem-sistem yang lebih terbatas akan segera dibangun. Sistem-sistem tersebut akan memiliki sejumlah kapasitas untuk mengevaluasi akibat-akibat moral dari tindakan-tindakan mereka.”/9/   

Sementara ini, sambil menunggu terbangunnya AMA yang memuaskan, James Barrat melihat ada dua cara untuk membuat Super-AI nanti tidak akan menjadi ancaman buat umat manusia. 

Pertama, pada setiap Super-AI dipasang komponen-komponen yang diprogram “to die by defaults”, yakni sistem-sistem biologis yang melindungi si organisme sepenuhnya lewat tindakan membunuh semua bagiannya pada level selular, lewat kematian yang diprogram sebelumnya; dalam biologi ini dinamakan apoptosis. Jadi, begitu suatu Super-AI mulai berpikir dan berencana akan bertindak untuk merugikan dan membahayakan manusia, sistem-sistem apoptosis ini dengan otomatis diaktivasi.

Kedua, dengan menempatkan semua Super-AI dalam suatu “sandbox”, yang dikenal juga sebagai dunia virtual, bukan dalam dunia sebenarnya yang dihuni manusia. Dengan hidup dalam suatu dunia virtual, Super-AI tetap dapat dimanfaatkan dengan maksimal, tetapi tidak bisa langsung mengintervensi kehidupan normal manusia. 

Masalahnya adalah, sebagai Super-AI, setiap Super-AI tentu saja akhirnya akan tahu bahwa mereka hidup hanya dalam kurungan dunia virtual, lalu mereka bagaimanapun juga akan mencari-cari jalan untuk membebaskan diri dari kurungan ini./10/



I love you deeply, Sophia! I love you so much, too, Bot Doreo!


Apa yang diusulkan James Barrat untuk menjinakkan robot-robot Super-AI memperlihatkan bahwa manusia, kita semua, tetap ingin menaklukkan mereka lewat cara-cara mekanistik. Tetapi sebetulnya, di luar cara-cara pemaksaan mekanistik semacam itu, kita pada tahap-tahap awal pengembangan robot-robot AI dapat mengajar etika kepada mereka lewat jalur konektivitas (atau interfaces) antara otak kita dan komputer. 

Wendell Wallach menyatakan bahwa “cyborg [cyber organism] di masa depan bahkan dapat menghapus batas-batas antara cyberspace dan Kehidupan Nyata (RL= Real Life) lewat bantuan link-link neural yang menghubungkan komputer-komputer dan otak manusia.”/11/ 

Perintah-perintah moral, lewat perangkat-perangkat lunak etika (ethical softwares), dapat ditanamkan ke otak para AI lewat pemrograman ke dalam sistem (ini disebut pendekatan top-down), sekaligus juga lewat neural interfaces itu manusia dapat mendidik, mengajarkan dan melatih moralitas kepada para AI, sementara, pada pihak lain, para AI sendiri dapat saling belajar dan saling melatih antar-mereka sendiri untuk bagaimana hidup beretika, dari satu kasus ke kasus lainnya (pendekatan bottom-up)./12/  

Sebetulnya, pemikiran untuk membatasi gerak-gerik para AI lewat moralitas, sebagaimana juga terjadi pada manusia, sudah dipikirkan lebih dari tujuh puluh tahun lalu. Dalam cerita pendek yang terbit Maret 1942 dalam Astounding Science Fiction, yang berjudul Runaround, Isaac Asimov pertama kali memperkenalkan dengan eksplisit ke publik Tiga Hukum yang harus diberlakukan kepada robot-robot yang memiliki AI. Lalu kemudian dalam novel Robots and Empire yang terbit 1985, Asimov menambahkan satu hukum lagi yang berada di atas ketiga hukum sebelumnya./13/ Empat Hukum robotik tersebut adalah:
Hukum Nol: Sebuah robot tidak boleh membahayakan umat manusia, atau, lewat sikap diamnya, membiarkan manusia melakukan hal yang membahayakan.

Hukum Pertama: Sebuah robot tidak boleh melukai seorang manusia, atau, lewat sikap diamnya, menyebabkan seorang manusia ada dalam bahaya.

Hukum Kedua: Sebuah robot harus taat pada perintah-perintah yang diberikan manusia, kecuali perintah-perintah tersebut bertentangan dengan Hukum Pertama. 

Hukum Ketiga: Sebuah robot harus melindungi kehidupannya sendiri sejauh perlindungan tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Pertama dan Hukum Kedua.       

Pendek kata, ide-ide manusia tentang AI sudah lama muncul, dan kini ide-ide ini sudah mulai menjadi realitas dalam kehadiran berbagai bentuk robot yang cerdas, yang akan disusul dengan berbagai Super-AI yang memiliki kesadaran dan kehendak bebas sendiri dan juga kemampuan inheren untuk terus-menerus menyempurnakan diri mereka sendiri. Dalam situasi dan kondisi ini, kesadaran para saintis sudah makin dipertajam untuk memberi batasan-batasan moral kepada para AI supaya mereka juga akhirnya menjadi AMA. Kita semua mengantisipasi kehadiran di tengah-tengah kita para Super-AI yang bukan saja mahatahu, tetapi juga mahabaik dan mahabijaksana. 

Jadi, tidak seperti dipikirkan para ateis bahwa secara bertahap Tuhan akan akhirnya lenyap sama sekali dari kehidupan dan peradaban manusia, kecerdasan manusia dan sains dan teknologi yang dibangun manusia sendiri malah pada akhirnya, tidak terhindarkan lagi, akan menghadirkan di tengah-tengah kehidupan manusia apa yang dulu dan sekarang ini dipandang orang beragama sebagai Tuhan Allah dengan semua sifatnya. Yakni kehadiran Super-AI, yang tentu saja tidak cuma satu, di segala sudut ruang planet Bumi ini. Kondisi ini betul-betul menimbulkan persoalan berat bukan saja bagi orang teis yang percaya pada Tuhan transenden, tapi juga bagi orang ateis yang habis-habisan menolak Tuhan apapun kendatipun bagi mereka Tuhan apapun tidak ada sama sekali. 

Dulu moyang manusia mengonsep siapa dan apa itu Tuhan; maka lahirlah agama dan teologi yang beranekaragam. Sekarang manusia juga mengonsep suatu kekuatan adi-insani, superhuman power; maka lahirlah AI dan Super-AI lewat sains dan teknologi modern.

Nah, jika orang ateis konsisten mengklaim diri scientific-minded, mereka, pada akhirnya, akan juga bergaul dengan sosok Tuhan Allah sendiri yang berwujud Super-AI. Tuhan Allah semacam ini betul-betul real, empiris, faktual dan aktual ada di tengah mereka di muka Bumi. Orang ateis akhirnya akan juga tunduk pada Super-AI, tempat mereka bertanya karena sang Super-AI ini mahatahu dan mahamelihat dan mahamenjawab, sekaligus juga tempat mereka bersembah sujud memohon kemurahan hati dan kasih sayang sang Super-AI ini. 

Kalau orang ateis bilang bahwa mereka tidak akan pernah meminta jasa Super-AI, mereka bohong, sebab sekarang ini saja mereka setiap menit menggunakan jasa salah satu mesin cerdas Google, sebagai sebuah prototipe mini Super-AI, yang mampu dengan cepat, gesit dan cerdas melayani segala permintaan informasi dari seluruh dunia pada waktu yang bersamaan! 

Dr. Kevin Staley (dari Southern Evangelical Seminary di Matthews, North Carolina) menyatakan bahwa “potensi untuk memperlakukan suatu Super-AI sebagai Allah sangat besar dalam masyarakat-masyarakat masa kini, karena kita semua memiliki suatu kecenderungan untuk tunduk, percaya penuh dan bergantung habis-habisan pada sesuatu yang tampak oleh kita lebih benar dibandingkan diri kita sendiri.”/14/ 

Tetapi alternatif lainnya masih tersedia. Sebagaimana dikatakan Dr. Stuart Armstrong, jika para Super-AI membantu umat manusia dan tidak menuntut apapun dari kita, para Super-AI ini tidak akan kita lihat dan perlakukan sebagai Allah-allah, tetapi sebagai para pelayan umat manusia./15/ 

Ya, kita sangat berharap, apa yang dikatakan Stuart Armstrong ini nanti bisa menjadi kenyataan. Dunia kita nanti di masa depan yang tidak lama lagi, akan diwarnai oleh persahabatan bukan hanya antara manusia dan hewan-hewan, tetapi juga antara manusia dan para AI dan para Super-AI sebagai “alien minds”. 

Para alien nanti yang akan berada di planet Bumi dengan real ternyata tidak datang dari angkasa luar yang jauh, melainkan dari sains dan teknologi yang manusia sendiri kembangkan terus-menerus di planet Bumi ini. Dalam otak kita, sebetulnya para alien sudah berdiam lama, menunggu waktu untuk mereka keluar sebagai sosok-sosok AI dan sosok-sosok Super-AI yang real, fisikal maupun mental.     

Akhirnya, setelah saya pikirkan panjang-lebar dan jauh-jauh dan pikiran-pikiran saya ini telah saya tuliskan dalam sejumlah tulisan, saya berkesimpulan bahwa menjadi ateis saya kira adalah suatu blunder, yang jika terus dijalankan, akan memenjara manusia sehingga mereka tidak akan bisa melangkah ke masa depan yang tidak pernah habis dan tidak pernah berhenti. Mereka hanya bisa bermain bersama sosok fiktif Doraemon, dan mengolok-oloknya, tetapi tidak menduga kalau nanti Doraemon sungguhan, dan juga Tuhan yang empiris, akan menjadi bagian sehari-hari kehidupan umat manusia, kehidupan orang ateis dan orang teis. 

Orang ateis juga sangat anthroposentris, terpusat mutlak pada manusia, sehingga mereka tidak bisa melihat ada kekuatan-kekuatan lain yang adi-insani, superhuman. Hanya orang agnostik saja yang mampu mengantisipasi masa depan yang luar biasa ini, karena mereka melandaskan kehidupan mereka pada temuan-temuan sains modern, bukan pada ideologi teisme atau ideologi ateisme.

Jakarta, 12-12-2014
by Ioanes Rakhmat



Notes

/1/ Debat tentang sisi-sisi moral kehadiran LARs menjadi fokus Center for Ethics and Technology (CET) di Georgia Institute of Technology. Ikuti salah satu debat ini di youtube http://youtu.be/nO1oFKc_-4A.

/2/ Emilia David, “Stephen Hawking: Artificial Intelligence Could Be the End of Mankind”, NBC News, 3 December 2014, pada http://www.nbcnews.com/science/science-news/stephen-hawking-artificial-intelligence-could-be-end-mankind-n260156.

/3/ James Barrat, Our Final Invention: Artificial Intelligence and the End of Human Era (New York, N.Y.: St. Martin's Press, 2013). 

/4/ Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines: Teaching Robots Right from Wrong (Oxford: Oxford University Press, 2009), hlm. 4. Dengarkan juga kuliah Wendell Wallach, “Emerging TechnologyHype vs. Reality: Wendell Wallach at TEDxUConn 2013” pada http://youtu.be/JzV0mwKPNHk. Ikuti juga blog yang dikelola Wallach dan Allen, Moral Machines, pada http://moralmachines.blogspot.com/.

/5/ Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines, hlm. 139 ff.

/6/ Kutipan diambil dari Mark Piesing, “Creationists buy robot to study technology's impact on humanity”, Wired.co.uk, 10 April 2014, pada http://www.wired.co.uk/news/archive/2014-04/10/creationists-vs-robots/viewgallery/333950

/7/ Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines, hlm. 6.

/8/ Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines, hlm. 217.

/9/ Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines, hlm. 8. 

/10/ James Barrat, Our Final Invention, hlm. 238-241.

/11/ Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines, hlm. 190. 

/12/ Selengkapnya, lihat Wendell Wallach dan Colin Allen, Moral Machines, hlm. 119 ff. 

/13/ Isaac Asimov, Runaround”, Astounding Science Fiction (March 1942), hlm. 94-103; idem, I. Robot (New York: Gnome Press, 1950); idem, Robots and Empire (Garden City, N.Y.: Doubleday, 1985). Bertolak dari Empat Hukum yang dirumuskan Asimov, kini penulis-penulis lain memperluas dan mengembangkan hukum-hukum ini.   

/14/ Lhat Mark Piesing, “Creationists buy robot to study technology's impact on humanity.” 

/15/ Lihat Mark Piesing, “Creationists buy robot to study technology's impact on humanity.” 


Friday, December 5, 2014

Remukkan sangkarmu!



Burung-burung ingin terbang bebas dan liar
Tapi manusia jahat menangkapi mereka
Lalu mengurung mereka dalam sangkar
Akhirnya matilah mereka karena tekanan jiwa

Angkasa luas membuat jiwa lapang
Sangkar-sangkar sempit menekan sukma
Mereka ingin keluar dari sangkar pengekang
Tapi mereka tak punya daya dan tenaga

Makanan dan air disediakan si empunya
Tapi kebebasan mereka telah direnggut
Selera makan mereka tak punya
Selera minum pun telah dibawa air hanyut

Jiwa dan tubuh makin lemah tersayat
Mata terus terkatup makin sipit dan rapat
Berdiri dan berjalan pun tak lagi kuat
Akhirnya mati teronggok sebagai mayat

Tak ada madah perkabungan dilantunkan
Si empunya mengambil bangkai si burung malang
Dibuang begitu saja ke tong sampah di halaman
Hanya siul indah si burung masih mengiang

Oh, oh nasibmu sang burung yang malang!
Pedih, perih, memilukan hati dan sanubari
Dari zaman ke zaman terus berulang
Kapankah engkau jadi raja buat dirimu sendiri?

Wahai burung-burung, hiburlah dirimu sendiri!
Banyak manusia malang juga sedang terkurung
Oleh sangkar-sangkar yang mereka buat sendiri
Sampai ajal mereka terus terkurung

Uang mengikat kuat tubuh selamanya
Kekuasaan mengurung pikiran dan jiwa 
Ketamakan memborgol pikiran bulat-bulat
Keakuan membui kuat dan rapat

Tapi kawan, dengarlah ucapanku ini!
Sangkar terkuat adalah pikiranmu sendiri
Saat engkau menganggap pikiranmu sudah final
Tidak bisa lagi selamanya diubah dan disoal

Kau yang cerdas menjadi pandir dan dungu  
Saat engkau gigih dan ngotot mempercayai
Pikiranmu tak bisa salah dan tak bisa keliru
Seolah engkau adalah sang Tuhan sendiri

Padahal Tuhan itu sendiri sebuah teka-teki besar
Mengundang orang bersoal dan menduga-duga
Untuk memecahkan teka-teki itu tanpa gentar
Tawa, canda dan guyon meramaikan suasana

Temukan di mana dirimu tersangkar
Hancurkan, remukkan sangkar itu sekuat tenaga
Keluarlah dan terbanglah bebas ke angkasa luar
Sekarang! Karena hidupmu sebentar saja!

Jakarta, 5 Desember 2014
by Ioanes Rakhmat



Thursday, December 4, 2014

Burung dalam sangkar!



Berbahagiakah mereka berdua?


Apakah sekarang ini anda hidup bak seekor burung dalam sangkar, terkerangkeng oleh berbagai hal yang menghalangi anda untuk terbang bebas di angkasa?

Banyak hal yang kerap memenjara manusia, batin dan akal manusia khususnya, misalnya doktrin-doktrin agama yang keras dan sudah beku, ideologi-ideologi, pemujaan kekayaan, ketamakan, rasa haus kekuasaan, kebebasan yang tak bermoral, keakuan tanpa batas, dan masih banyak lagi.

Tetapi, sangkar terkuat yang sering mengurung seseorang adalah pikirannya sendiri yang dianggapnya sudah final.

Jika seekor burung dikurung dalam sangkarnya, sang burung akan mati perlahan-lahan sebelum dia mengecap kebebasan untuk terbang dengan merdeka dan riang di angkasa. Hidup sang burung ini sangat memedihkan jiwa.




Banyak usaha kini sedang dilakukan untuk mencegah berbagai jenis burung punah. Usaha ini harus didukung, tetapi tentu saja bukan dengan cara mengurung burung-burung dalam sangkar sempit yang akan membunuh mereka perlahan-lahan.

Lagu “Burung dalam Sangkar” berikut ini memedihkan dan memporakporandakan jiwa dan hati para pendengarnya. Ini liriknya:

Wahai kau burung dalam sangkar
sungguh nasibmu malang benar
tak seorangpun ambil tahu
duka dan lara dihatimu

Reff:
Wahai kau burung dalam sangkar
dapatkah kau menahan siksa
dari kekejaman dunia
yang tak tahu menimbang rasa

Batinmu nangis hati patah
riwayat tertulis penuh dengan
tetesan air mata

Sungguh ini satu ujian
tetapi hendaklah kau bersabar
jujurlah kepada Tuhan

Saya belum tahu pasti siapa pencipta lagu dukkha ini, apakah Koes Plus, ataukah May Sumarna yang dilantunkan oleh Emillia Contessa. Kalau ada teman yang tahu, siapa pencipta sebenarnya dan pada tahun berapa, tolong infokan ke saya. Saya juga tidak tahu siapa yang dimaksud dengan “burung dalam sangkar” dalam lagu ini.

Ada seseorang yang baik hati, tak saya kenal, muncul cuma sekali. Dia memberitahu saya bahwa aslinya lagu Burung dalam Sangkar diciptakan oleh seorang Malaysia yang bernama Ahmat Wan Yet, dan dinyanyikan oleh Abdullah Chik di tahun 1959 dalam film Korban Fitnah. Semoga info ini benar. Kalau salah, ya nanti akan saya perbaiki.

Jika anda tahan rasa pedih dan dukkha, nikmatilah lagu ini yang dinyanyikan Emillia Contessa di youtube ini http://youtu.be/P9CRbvJNDSk.




Jika anda adalah sang burung dalam lagu itu, segeralah buka pintu sangkar anda, sekuat tenaga, lalu keluarlah dan terbanglah. Hirup udara bebas. Jangan kembali lagi ke dalam sangkar penjerat itu!

Sekarang, hayatilah puisi saya ini, yang dapat membantu anda untuk membebaskan diri dari sangkar apapun yang sedang mengurung anda dalam duka nestapa atau kedamaian yang palsu.

KELUARLAH DAN TERBANGLAH!

Burung-burung ingin terbang bebas dan liar
Tapi manusia jahat menangkapi mereka
Lalu mengurung mereka dalam sangkar
Akhirnya matilah mereka karena tekanan jiwa

Angkasa luas membuat jiwa lapang
Sangkar-sangkar sempit menekan sukma
Mereka ingin keluar dari sangkar pengekang
Tapi mereka tak punya daya dan tenaga

Makanan dan air disediakan si empunya
Tapi kebebasan mereka telah direnggut
Selera makan mereka tak punya
Selera minum pun telah dibawa air hanyut

Jiwa dan tubuh makin lemah tersayat
Mata terus terkatup makin sipit dan rapat
Berdiri dan berjalan pun tak lagi kuat
Akhirnya mati teronggok sebagai mayat

Tak ada madah perkabungan dilantunkan
Si empunya mengambil bangkai si burung malang
Dibuang begitu saja ke tong sampah di halaman
Hanya siul indah si burung masih mengiang

Oh, oh nasibmu sang burung yang malang!
Pedih, perih, memilukan hati dan sanubari
Dari zaman ke zaman terus berulang
Kapankah engkau jadi raja buat dirimu sendiri?

Wahai burung-burung, hiburlah dirimu sendiri!
Banyak manusia malang juga sedang terkurung
Oleh sangkar-sangkar yang mereka buat sendiri
Sampai ajal mereka terus terkurung

Uang mengikat kuat tubuh selamanya
Kekuasaan mengurung pikiran dan jiwa
Ketamakan memborgol pikiran bulat-bulat
Keakuan membui kuat dan rapat

Tapi kawan, dengarlah ucapanku ini!
Sangkar terkuat adalah pikiranmu sendiri
Saat engkau menganggap pikiranmu sudah final
Tidak bisa lagi selamanya diubah dan disoal

Kau yang cerdas menjadi pandir dan dungu
Saat engkau gigih dan ngotot mempercayai
Pikiranmu tak bisa salah dan tak bisa keliru
Seolah engkau adalah sang Tuhan sendiri

Padahal Tuhan itu sendiri sebuah teka-teki besar
Mengundang orang bersoal dan menduga-duga
Untuk memecahkan teka-teki itu tanpa gentar
Tawa, canda dan guyon meramaikan suasana

Temukan di mana dirimu tersangkar
Hancurkan, remukkan sangkar itu sekuat tenaga
Keluarlah dan terbanglah bebas ke angkasa luar
Sekarang! Karena hidupmu sebentar saja! 

Nah, kini terbanglah dengan riang. Hidup ini hanya sebentar. Belum apa-apa, waktu anda sudah habis! Akan cepat berlalu. Jangan menunda lagi. Jangan sedih lagi. Jangan murung lagi. Rianglah! Bebaslah! Terbanglah menembus langit tanpa batas!


Jakarta, 4-12-2014

Diedit mutakhir 
26 Feb 2020
25 September 2021




Tuesday, December 2, 2014

Bagaimana rupa wajah Yesus yang sebenarnya? Bule atau berkulit coklat hitam?

Diedit 
01 September 2021
16 Juli 2024


Menurut anda bagaimana rupa wajah Yesus yang sebenarnya?

Pertanyaan itu penting berhubung kita tidak mempunyai lukisan wajah Yesus langsung yang dibuat pada masa kehidupan-Nya di abad pertama. Juga tidak ada deskripsi tentang rupa wajah Yesus yang ditulis oleh saksi-saksi mata.




Di atas ini adalah gambar wajah Yesus yang kita umumnya kenali, dan sangat sulit atau tak bisa kita lepaskan dalam bayangan mental kita ketika kita berdoa memanggil nama-Nya berhubung kita sudah sangat lama terkondisikan begitu. Sumber gambar: wallpaperaccess.com

Apakah Yesus itu sosok yang berkulit putih, berambut panjang pirang dan berombak, berbiji mata biru, berjanggut dan berkumis tebal, seperti misalnya tampak pada gambar di atas, yang mungkin dipajang pada dinding kamar belajar anda?

Aah, itu adalah wajah Yesus dari para pelukis Zaman Barok (Renaissance) di Eropa (abad 14 sampai abad 16), yang mula-mula merupakan salah satu dari sekian lukisan wajah Ceasare Borgia, seorang putera berkepribadian buruk dari Paus Aleksander VI (dikenal juga sebagai Rodrigo Borgia) (1431-1503).



Ceasare Borgia yang wajahnya dijadikan model wajah Yesus Zaman Barok


Wajah Ceasare Borgia ini dilukis oleh Michelangelo Buonarroti dan Leonardo da Vinci atas permintaan ayahnya pada tahun 1492 (menurut sebuah catatan Aleksandre Dumes, Celebrated Crimes, jilid I). Loh, jika memang begitu, lantas wajah Yesus yang sebenarnya bagaimana? Ya, tentu anda penasaran, dan juga saya. 

Namun tak sedikit peneliti yang menarik suatu kesimpulan bahwa wajah Yesus model Zaman Barok sebetulnya diambil dari wajah suatu dewa Mesir, yang bernama Serapis, yang dipandang mempunyai fitur-fitur gabungan dewa-dewa Mesir dan dewa-dewa Yunani. 

Pemodelan wajah Serapis sebagai wajah Yesus Kristus sudah terjadi jauh sebelum Zaman Barok, yakni ketika Kaisar Konstantinus Agung berkuasa (abad ke-4 M) dan menetapkan wajah Dewa Serapis sebagai wajah Yesus sang Kristus. Tentu, dalam hal ini, motif sang Kaisar adalah gabungan motif politik dan motif keagamaan lewat sinkretisme simbol-simbol religiopolitik, untuk mengonsolidasi kekaisarannya.


 
Wajah Dewa Serapis yang menjadi model wajah Yesus Kristus sejak abad ke-4 M


Sekarang kita masuk ke suatu usaha merekonstruksi wajah Yesus dengan memakai sains dan teknologi modern. 

Patung 3-Dimensi kepala dan wajah seorang laki-laki di bawah ini tentu tidak anda kenal, bukan? Perhatikanlah: dia berwajah lebar, berhidung besar, berkulit gelap sawo matang dan sedikit hitam, atau coklat kekuningan, berambut tebal, pendek, berkeriting kusut dan berwarna hitam, kedua biji matanya berwarna coklat, berkumis dan berjenggot tebal, dan berewokan.

Anda perlu tahu, patung ini adalah sebuah patung kepala Yesus orang Nazareth yang dirancangbangun dengan suatu metode ilmiah oleh sebuah tim yang ditugaskan oleh TV BBC London dengan memakai bukti-bukti medis forensik, arkeologis, geografis dan artistik yang diperoleh dari abad pertama Masehi, masa kehidupan Yesus sendiri. 

Potret wajah Yesus ini dipublikasi pertama kali secara khusus pada suatu acara tayangan TV BBC selama musim Paskah 2001. Ini tayangan serial yang terdiri atas 3 bagian, yang diberi judul Son of God. Tayangan perdana dimulai Minggu, 25 Maret 2001./1/




Gambar 1: Wajah Yesus menurut tim ilmuwan BBC. Ganteng dan teguh!


Bentuk dan volume tengkorak patung ini dirancang dengan memakai sebuah model dari sebuah tengkorak laki-laki yang ditemukan di Israel, yang berasal dari abad pertama. 

Hal itu harus dilakukan sebab, seperti dijelaskan oleh tim BBC itu, “Kepala orang-orang Yahudi pada masa kini berbeda dari kepala mereka pada 2000 tahun lalu; karena itulah tim kami mencari sebuah tengkorak seorang laki-laki Yahudi dari masa kehidupan Yesus.”

Selain itu, tim BBC juga mempelajari dengan cermat wajah-wajah orang Yahudi pada abad pertama.

Pengonstruksian patung kepala sosok Yesus orang Nazareth ini sendiri ditangani oleh seorang seniman medis forensik Richard Neave dari Universitas Manchester. Setelah semua tahap riset keilmuan dijalankan, wajah Yesus tim BBC dihasilkan lewat komputer. Tim BBC menyatakan, potret wajah Yesus yang mereka hasilkan adalah potret wajah pertama yang true-to-life.

Salah seorang anggota tim BBC itu, Joe Zias, seorang arkeolog Israel, menyatakan,

“Dalam merekonstruksi kepala ini, kami tidak mengklaim bahwa inilah persisnya wajah Yesus; tetapi kami mencoba untuk menyingkirkan semua citra buruk sekian banyak figur Yesus yang bukan-bukan, yang dilukiskan berambut pirang, bermata biru, yang menjadi ciri produk-produk Hollywood.” 

Jeremy Brown, presenter tayangan Son of God ini, berkomentar, “Yesus bukanlah seorang yang berambut pirang dan bermata biru, seperti yang sangat sering digambarkan dalam kartu-kartu Paskah. Citra yang kami telah bangun jauh lebih realistik.”

Ya, kita perlu menyatakan bahwa wajah Yesus yang dihasilkan tim BBC itu juga suatu tafsiran. Suatu tafsiran rekonstruktif lintaskeilmuan, bukan suatu tafsiran teologis.

Dr. Mark Goodacre, pakar Perjanjian Baru dari Universitas Birmingham, yang terlibat dalam usaha keilmuan tim BBC untuk merekonstruksi tengkorak pria Timur Tengah dari abad pertama, mengatakan bahwa “hal yang termudah ditentukan adalah rambut Yesus. Ada suatu rujukan dalam suatu surat Paulus yang menyatakan adalah sesuatu yang tidak pantas jika seorang lelaki memelihara rambut panjang. Jadi tampaknya lumayan pasti bahwa di masa itu kaum pria haruslah memiliki rambut yang pendek yang dapat diterima umum. Gambaran-gambaran tradisional tentang Yesus yang memiliki rambut panjang berwarna emas yang berombak sangat mungkin tidak akurat.”

Ihwal tentang warna kulit Yesus lebih sulit ditentukan. Goodacre menyatakan bahwa “tampaknya bagi kita adalah bahwa Yesus memiliki kulit berwarna yang relatif gelap. Memakai ungkapan masa kini, aku pikir, hal yang paling aman adalah membicarakan Yesus sebagai 'seorang kulit berwarna'. Mungkin sekali ini berarti Yesus adalah seorang lelaki yang kulitnya berwarna coklat kekuningan.”/2/

Kalau ditelusuri ke belakang, ternyata gambar-gambar atau ikon-ikon wajah Yesus yang bukan gambar-gambar dari Zaman Barok cukup banyak tersedia, yang memperlihatkan Yesus bukan seorang kulit putih, berambut pirang dan bermata biru. 

Perhatikanlah beberapa gambar atau ikon dan patung di bawah ini, yang lebih mirip dengan gambar patung kepala Yesus orang Nazareth yang dihasilkan tim BBC di atas.



Gambar 2. Kristus Pantokrator. Credit: Hardscarf (CC BY-NC-SA). Dipublikasi 21 November 2013. Sumber image Worldhistory.org.


Nah, gambar 2 di atas adalah ikon tertua dari abad ke-6 M, sejauh diketahui, yang masih ada, yang menampilkan Yesus sebagai Khristos Pantokratōr atau Kristus sang Penguasa Segalanya atau Kristus Mahakuasa, sebagai suatu konsep teologis Gereja Ortodoks Timur atau Gereja Katolik Timur. Di Gereja Barat atau Katolisisme Latin, ikon ekuivalennya dinamakan Kristus dalam Kemuliaan (“Christ in Majesty”). Dalam Septuaginta (LXX), gelar Pantokrator dipakai untuk menerjemahkan nama Allah dalam bahasa Ibrani (YHWH Tsabaoth atau TUHAN semesta alam, atau El Shaddai atau Allah Mahakuasa).

Ikon Kristus Pantokrator di atas, yang kini ditempatkan dalam Biara Santa Khaterina, Mesir, memperlihatkan wajah Yesus Kristus yang berbeda dari ikon zaman Barok, dan lebih dekat ke ikon yang dihasilkan tim BBC. Meski masih terlihat sedikit rambut yang berwarna kecoklatan, namun nyaris keseluruhan rambut Yesus dan kumis serta jenggotnya berwarna hitam. Biji kedua matanya berwarna coklat, bukan biru. Tangan kirinya mendekap kitab suci gereja, dan tangan kanannya menunjukkan sang Kristus yang sedang mengajar dan memberkati.



Gambar 3


Wajah Yesus berkulit gelap kehitaman dengan sepasang mata hitam di atas ini berasal dari sebuah gereja di Roma, dari kurun tahun 530 M. Gambar ini sama sekali tidak mirip dengan gambar wajah Yesus Zaman Barok manapun yang dilukis jauh lebih kemudian.



Gambar 4


Patung seorang perempuan di atas ini terkenal sebagai Black Madonna, Bunda Maria Hitam, yang sedang memangku kanak-kanak Yesus yang tentu saja juga berkulit hitam. 

Patung itu bukanlah patung-patung yang dibangun di zaman modern untuk mempropagandakan Teologi Hitam sebagaimana dihayati banyak orang Kristen kulit hitam di Afrika maupun di Amerika Utara oleh orang-orang Amerika kulit hitam modern. 

Patung-patung Madonna Hitam semacam ini, ada yang dibuat dari kayu dan ada juga yang dari batu, jumlahnya sampai lima atau enam ratusan dan dibuat pra-zaman Barok, pada zaman Abad Pertengahan (abad ke-11 sampai abad ke-15), dan sekarang ini tersebar di banyak gereja, kuil, tempat suci dan museum di banyak kota di Eropa Barat, mula-mula dibuat di Italia pada abad ke-13 atau abad ke-14. 

Mengapa keduanya berkulit hitam? Salah satu penjelasan yang paling masuk akal, sebagaimana dipertahankan banyak peneliti, adalah bahwa Black Madonna menampilkan warna kulit yang sebenarnya dari Bunda Maria dan puteranya, Yesus.



Gambar 5


Perhatikan raut wajah Yesus dari Ethiopia abad ke-17 atau abad ke-18 pada gambar di atas ini. Kulit wajahnya berwarna sawo matang, dengan rambutnya hitam kelam tebal dan sepasang biji matanya berwarna hitam. Wajah Yesus Ethiopia abad ke-17 ini sama sekali tidak mirip dengan wajah bule Yesus Zaman Barok.



Gambar 6


Di atas ini adalah sebuah lukisan wajah Yesus berkulit gelap, berambut hitam tebal kusut dan bermata hitam, dari tahun 1960. Wajahnya hampir serupa dengan wajah Yesus yang dibangun oleh tim BBC di atas. 

Apa kesimpulan yang bisa ditarik? 

Ya, tidak lain, bahwa wajah Yesus berkulit putih, berambut pirang panjang dan bermata biru, Yesus Zaman Barok, bukanlah wajah asli Yesus orang Nazareth. Dan, tentu saja, orang Kristen yang sudah terbiasa berpaling ke Eropa untuk mencari sumber-sumber kekayaan ikonografis, dogmatis dan spiritual mereka akan sangat tidak menyukai sang Yesus yang berkulit gelap sawo matang, berambut hitam pekat, pendek dan agak kusut, serta berbijimata coklat, seperti yang telah berhasil direkonstruksi oleh tim BBC. 

Bagi orang-orang Kristen ortodoks Eropa, termasuk orang-orang Kristen ortodoks Indonesia, Yesus dari tim BBC ini sungguh tidak membahagiakan, sungguh suatu ajaran yang heterodoks dan karenanya patut ditolak. 

Yesus heterodoks dari tim BBC ini sangat membuat mereka merasa diserang dan dilukai.
 Persis sama dengan perasaan orang-orang Farisi ketika mereka melihat Yesus orang Nazareth sedang duduk dan makan semeja dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa, padahal sang rabi informal ini boleh dikata sama pekerjaannya dengan mereka sebagai guru-guru masyarakat. 

Tetapi, orang harus tidak boleh lupa, di dalam heterodoksi terdapat juga kebenaran yang malah sering lebih kentara, ketimbang yang ada di dalam ortodoksi. 

Pujangga yang juga dikenal sebagai penulis dan filsuf kebangsaan Inggris, G. K. Chesterton (1874-1936), berkata, 

“Filsuf modern mengatakan kepadaku berulang-ulang bahwa aku berada di tempat yang benar, namun aku tetap merasa sangat tertekan sekalipun diam-diam aku setuju. Tapi ketika sebelumnya aku mendengar bahwa aku berada di tempat yang salah, malah jiwaku bernyanyi gembira bak seekor burung di musim semi.” 

Jadi, berbahagialah dan bergembiralah mereka yang berani heterodoks dengan terpelajar! Kata benda heterodoksi berarti ajaran yang berbeda, yang lain, perspektif lain. Makin banyak perspektif yang diambil terhadap sesuatu, semakin kita diperkaya, semakin kita terkesan. Warna-warni itu indah, dan alamiah.

Lalu, apa makna rekonstruksi ilmiah wajah asli Yesus itu bagi saya, dan bagi anda juga?

Bagi saya, temuan ini membuat saya berbahagia sebab telah ditunjukkan kepada kita bahwa Yesus orang Nazareth ternyata adalah bagian dari umat manusia yang memiliki kulit berwarna, seperti kulit saya, bukan bagian dari mereka yang berkulit putih.

Kenyataan ini bisa meningkatkan penghayatan persekutuan kita masing-masing dengan sang Tuhan gereja ini. Yesus ternyata bukan orang Barat, tapi orang berkulit sawo matang, dengan wajah non-Barat. 

Anda yang menjadi kecewa dengan wajah sebenarnya Yesus (keluh anda, “Kok wajah Yesus begitu ya!”) mungkin sekali akan menghibur diri; kata anda, “Wajah tidak penting. Yang penting adalah ajaran-ajaran Yesus!” 

OK, ajaran-ajaran Yesus tentu penting. Tapi bagi saya, mengetahui wajah Yesus dan ajaran-ajaran Yesus, sama-sama menarik dan signifikan. Ajaran bisa diekspresikan lewat gambar wajah, dan wajah juga menyimpan banyak pesan dan makna.




Beranekaragam wajah Yesus terus dilukis, karena Yesus Kristus itu Tuhan yang hidup, yang selalu mengelak jika ada kalangan yang mau menguasai-Nya. Kolase tafsiran wajah Yesus di atas dihasilkan oleh Project Odessa Life. Sumber gambar: stjameswh.org.


Ini hanya bisa dialami dalam gereja-gereja Kristen, yang sama sekali tidak melarang warga mereka untuk menggambar wajah-wajah Yesus yang beranekaragam, sejalan dengan kemajemukan watak, ciri dan sistem sosiokultural and sosioantropologis yang di dalamnya perenungan-perenungan tentang siapa dan bagaimana sosok Yesus itu dilakukan dengan serius. 

Wajah Yesus yang sebenarnya kini untuk pertama kalinya, lewat rekonstruksi ilmiah, berhasil diketahui, sampai kita nanti mendapatkan sebuah rekonstruksi lain hasil kajian tim-tim yang lain. 

Mengenal dan menjumpai Yesus, sesungguhnya tidak pernah selesai. Setelah bertemu Yesus dan hidup di dalam-Nya, suatu saat nanti kita dapat berjumpa Dia kembali, dari sudut pandang yang baru, untuk pertama kalinya./3/ 

Yesus tidak bisa dikuasai siapapun. Yesus selalu mengelak, “elusive”, ketika siapapun mau menyimpan-Nya dalam saku atau celengan sendiri. He is the Living Lord! The Living Word.

Tapi, hemat saya, sejauh yang dipakai adalah ilmu pengetahuan dan metode ilmiah, hasil-hasil rekonstruksi wajah asli Yesus oleh siapapun tidak akan berbeda jauh satu sama lain. 

Hanya ada satu wajah asli sosok Yesus orang Nazareth, tetapi ada banyak dan beranekaragam perenungan tentang siapa dan bagaimana sosok Yesus sang Kristus, yang dengan dinamis terus dilakukan dari zaman ke zaman, dan dari tempat ke tempat. Yesus yang satu, melahirkan empat kitab injil yang berbeda dalam Perjanjian Baru. Ini sudah terjadi di abad pertama M (antara tahun 70 hingga tahun 95). Apalagi sampai abad ke-21.

Hanya ada satu sosok Yesus sejarah, tetapi ada banyak perenungan dan kepercayaan tentang siapa dan bagaimana Yesus itu bagi orang yang hidup di zaman-zaman lain dan di tempat-tempat yang berbeda, dengan kebudayaan dan alam pemikiran yang tentu saja juga berlain-lainan. 

Perenungan dan kepercayaan ini kita namakan kristologi atau doktrin atau ajaran atau dogma tentang siapa dan bagaimana Yesus ketika sosok historis ini sudah tidak ada dalam dunia, tetapi tetap disembah dalam gereja-gereja sebagai sang Kristus dan Tuhan. Fakta ini biasa diungkap begini: There is only one historical Jesus, but there are so many Christs of faith! Hanya ada satu sosok Yesus dalam sejarah, tetapi ada begitu banyak Kristus yang menjadi isi kepercayaan gereja!

Kok bisa begitu? Ya karena satu sosok Yesus orang Nazareth ditafsir dan ditafsir, direnungi dan direnungi, terus-menerus, dari bermacam-macam perspektif, sejak Yesus hidup bersama para pengikut-Nya di abad pertama hingga abad ke-21, dan seterusnya.

Kristologi-kristologi tidak akan berakhir dicari dan diartikulasikan, lewat banyak tulisan, banyak syahadat, dan lewat gambar-gambar, ikon-ikon, madah-madah, puisi-puisi, novel-novel, dan patung-patung yang terus disusun dan diciptakan! 

Di saat kristologi-kristologi dirancang dan dibangun, dan bersamaan dengan itu wajah-wajah Yesus dengan imajinatif digambar untuk keperluan-keperluan kontekstualisasi kristologi, maka seni dan kristologi pun menyatu, melahirkan keindahan dan spiritualitas yang artistik, spiritualitas yang puitis! A poetic spirituality.

Pelukis dan pemahat patung terkenal Pablo Picasso melihat tujuan “seni adalah mencuci bersih debu-debu dari kehidupan jiwa kita sehari-hari.”/4/ Jadi, wajah-wajah Yesus yang dilukis, ketika dihayati, diresapi dan diapresiasi, mampu membersihkan debu-debu kotor dari kehidupan kita setiap hari.

Selain itu, ingatlah, kristologi adalah meditasi, perenungan dan pengagungan sosok Yesus Kristus, bukan sejarah meskipun berfondasi pada sosok faktual Yesus orang Nazareth yang pernah hidup dalam sejarah, di abad pertama Masehi di Tanah Yahudi yang sedang dijajah Imperium Romawi.  

Semua orang Kristen diberi kebebasan untuk merumuskan sendiri kristologi masing-masing. Dalam hal ini, kekristenan sudah dewasa. Dalam dunia ini, kekristenan itu tidak cuma satu, tetapi banyak. Hanya orang yang mempertuhan diri mereka sendiri akan ngotot menyatakan bahwa kekristenan ada cuma satu, yaitu kekristenan versi mereka.

Supaya kristologi yang dihasilkan sehat dan bertanggungjawab, tidak serampangan dan hanya untuk melayani kepentingan dan ketamakan diri sendiri, tentu ada sejumlah kriteria yang perlu dipenuhi. Tentang kriteria kristologis ini, sudah pernah saya tulis juga. 

Aah, untuk ketamakan diri sendiri? Ya, ada kristologi yang dibangun untuk melegitimasi dan memuaskan kerakusan manusia terhadap harta. Lazimnya dinamakan teologi sukses atau teologi anak Raja, atau teologi keberlimpahan harta, atau teologi kemakmuran individual. Dus, ada kristologi sukses juga.  

Nah, siapapun juga yang memperalat dan memakai Yesus untuk melegitimasi kerakusan mereka terhadap uang dan harta, akan selalu terbentur keras pada ucapan Yesus yang ditujukan-Nya kepada seorang yang sangat kaya. Sabda Yesus kepadanya, “... pergilah, juallah apa yang engkau miliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin.” (Markus 10:21 dan par.)

Nah, saya telah mendaftarkan dua belas poin kriteria yang perlu dijadikan pemandu dalam usaha-usaha merumuskan kristologi-kristologi yang setia pada sosok Yesus orang Nazareth sekaligus relevan dengan zaman dan dunia yang terus berubah. Bacalah tulisan yang telah matang dipikirkan, berjudul Kriteria Kristologi Autentik./5/

Ioanes Rakhmat

02 Desember 2014

N.B. Dibaca kembali dan ditambahkan dua ilustrasi 28 Agustus 2021. Diperluas 1 September 2021. Diperluas lagi 16 Juli 2024.


Notes

/1/ Lihat Jason Deans, Is this the face of Christ?”, The Guardian, 26 March 2001,
https://www.theguardian.com/media/2001/mar/26/bbc.broadcasting1. Lihat juga BBC News, Why do we think Christ was white?”, BBC NEWS, 27 March 2001,
http://news.bbc.co.uk/2/hi/1244037.stm.

/2/ Giles Wilson, “So What Colour Was Jesus?”, BBC News Online Magazine, 27 October 2004, https://news.bbc.co.uk/2/hi/uk_news/magazine/3958241.stm.

/3/ Ihwal berjumpa Yesus kembali untuk pertama kalinya, lihat misalnya Marcus J. Borg, Meeting Jesus Again for the First Time: The Historical Jesus and the Heart of Contemporary Faith (San Francisco: HarperCollins, 1994). Terjemahan Indonesia oleh Ioanes Rakhmat, Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali: Yesus Sejarah dan Hakikat Iman Kristen Masa Kini (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997).

/4/ Pablo Picasso dianggap sebagai pencipta ucapan tersebut oleh kritikus sastra Aline Saarinen pada acara tinjauan program jejaring TV NBC, 21 Januari 1964, yang diberi nama The Art of Collecting.

Namun, ucapan terkenal tersebut sebenarnya berasal dari Berthold Auerbach dalam novel Jermannya yang berjudul Auf der Höhe: Roman in acht Buchern von Berthold Auerbach, Vol. 2, (Stuttgart, Germany: Cotta'schen Buchhandlung, 1864, 1866), hlm. 70, https://babel.hathitrust.org/cgi/pt?id=hvd.hwdrn7&view=1up&seq=6.

Dalam buku berbahasa Jerman itu, Auerbach menulis “...die Musik wäscht ihnen den Alltagsstaub von der Seele...

Dalam bahasa Inggris, Fanny Elizabeth Bunnett menerjemahkannya “Music washes away from the soul, the dust of everyday life” (1867). Terjemahan 1883, “Music washes away from the soul the dust of everyday life.” (dalam “The Speaker's Garland and Literary Bouquet”).

Jadi, aslinya ucapan Auerbach tersebut berbunyi “Musik mencuci bersih debu-debu kehidupan sehari-hari dari jiwa kita.

Untuk riset singkat literatur tentang sumber ucapan tersebut, lihat Quote Investigator, “Music Washes Away from the Soul the dust of Everyday Life”, 17 February 2016, https://quoteinvestigator.com/2016/02/17/soul/. 

/5/ Lihat Ioanes Rakhmat, “Dua belas kriteria kristologi yang autentik”, Freidenk Blog, 6 Agustus 2014, diedit 6 Maret 2020,  https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2014/08/dua-belas-kriteria-kristologi-yang.html?m=0.