Showing posts with label Yudaisme. Show all posts
Showing posts with label Yudaisme. Show all posts

Tuesday, July 28, 2009

Pilar-pilar Yudaisme Periode Bait Allah Kedua




by Ioanes Rakhmat **

N.B. editing mutakhir 24 Januari 2022


Ada berbagai macam Yudaisme (Ioudaismos, lihat 2 Makabe 2:21; 8:1; 14:38) pada saat berbagai komunitas kekristenan perdana (early Christianity) bermunculan.

Yang akan diulas dalam tulisan ini adalah Yudaisme yang dianut oleh orang-orang Yahudi sebelum tahun 70, tahun berakhirnya Perang Yahudi I melawan kekaisaran Romawi (66-70), dengan akibat pembumihangusan kota Yerusalem dan penghancuran Bait Allah Kedua. Yudaisme kurun ini dinamakan Yudaisme Bait Allah Kedua (Second-Temple Judaism).

Meskipun beragam, berbagai macam Yudaisme itu memiliki sejumlah unsur bersama yang dapat disebut sebagai pilar-pilar Yudaisme yang menopang bangunan agama Yahudi.

Dalam tulisan ini pilar-pilar Yudaisme ini akan dipaparkan dengan padat dan singkat. Setelah pemaparan ini, akan diperlihatkan bagaimana kekristenan Perjanjian Baru (yang sebetulnya juga tidak monolitis) memberi respons pada pilar-pilar Yudaisme ini.

Empat pilar agama Yahudi

Yudaisme kurun pra-70 dibangun di atas topangan sedikitnya empat pilar utama: 
1) monoteisme (Allah itu esa/satu); 
2) pemilihan (Israel sebagai suatu umat perjanjian; dan suatu tanah yang dijanjikan); 
3) perjanjian antara Allah dan Israel yang berpusat pada Taurat; 
4) tanah yang berpusat pada Bait Allah./1/

1) Monoteisme Yahudi

Monoteisme merupakan pilar mendasar yang mutlak bagi agama Yahudi di masa kehidupan Yesus. Setiap hari, setiap orang Yahudi telah diajar untuk mengucapkan Shema (= “Dengarlah”): “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” (Ulangan 6:4). Berdasarkan Ulangan 6:7, seorang saleh Yahudi mengucapkan doa Shema dua kali sehari.

Shema adalah suatu bentuk ringkas doa harian Yahudi yang seutuhnya terdapat dalam Ulangan 6:4-9; 11:13-21, dan Bilangan 15:37-41. Menurut talmud (Sukkah 42a dan Brakhot 13b), bagian yang diulang-ulang hanya satu baris: Shema Yisrael, YHWH Eloheinu, YHWH ekhad (Ulangan 6:4).



Inskripsi Shema Yisrael (שְׁמַע יִשְׂרָאֵל). Sumber foto inskripsi Learn Religions.


Begitu juga, Sepuluh Perintah Allah dalam Keluaran 20 dimulai dengan perintah pertama yang juga menegaskan keharusan Israel untuk menyembah hanya satu Allah: “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” (Keluaran 20:3).

Dalam m.Tamid 5.1, orang Israel diharuskan untuk mengucapkan shema dan perintah pertama ini setiap hari.

Yosephus, seorang sejarawan Yahudi, dalam salah satu karyanya menyatakan, “Bahwa Allah itu esa, adalah pandangan yang umum dipegang semua orang Ibrani” (Antiquities 5.1, 27, 112).

Philo dalam De Decalogo 65 juga menekankan bahwa orang Israel harus mengakui dan menghormati hanya satu Allah yang ada di atas segalanya.

Seorang Yahudi, Sibyl, menyatakan dengan jelas, “Dia saja Allah dan tidak ada yang lain” (Orakulum Sibyl 3.629).

2) Pemilihan (Israel sebagai suatu umat perjanjian; dan suatu tanah yang dijanjikan)

Yang juga sama mendasarnya bagi pemahaman diri Israel adalah keyakinan mereka bahwa mereka telah secara khusus dipilih oleh Allah dari antara segala bangsa, bahwa Allah yang esa, unik  dan satu-satunya, telah mengikatkan diri-Nya dengan Israel dan Israel dengan diri-Nya melalui suatu ikatan perjanjian.

Allah sudah mengawali ikatan perjanjian ini dengan Abraham/Ibrahim, yang disertai dengan janji pemberian tanah kepadanya dan kepada keturunannya (Kejadian 12:1-3; 15:1-6; 15:17-21; 17:1-8).

Dalam Ulangan 7:6 termuat ucapan Allah kepada Israel, “Sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu; engkaulah yang dipilih oleh TUHAN, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya.”

Ucapan itu didahului oleh perintah Tuhan supaya Israel membersihkan tanah yang dijanjikan-Nya dari semua bangsa yang menjadi penghuninya semula dan menghindari hubungan apapun dengan mereka (7:1-7); dan dalam 6:20-25; 26:5-10 ditekankan bahwa Allah telah berprakarsa membebaskan Israel dari perbudakan di Mesir dan menjanjikan mereka lewat nenek moyang mereka tanah untuk mereka.

Status sebagai umat pilihan Allah, serta tanah yang dijanjikan kepada mereka, dan keharusan untuk Israel hidup murni dan tak bercampur dengan bangsa lain, diulang-ulang dalam banyak dokumen suci Yahudi lainnya, kanonik dan ekstra-kanonik, sampai ke kurun Bait Allah Kedua (lihat antara lain Ulangan 32:9; 1 Raja-raja 8:51, 53; 2 Raja-raja 21:14; Mazmur 33:12; 74:2; Yesaya 41:8-9; 44:1; 63:17; Yeremia 10:16; Mikha 7:18; Yudit 13:5; Sirakh 24:8, 12; Yobel 1:19-21; 15:31-32; 22:9-10, 15; 33:20; Mazmur-mazmur Salomo 9:8-9; 3 Makabe 6:3; 2 Barukh 5:1; Pseudo-Filo 12:9; 21:10; 27:7; 28:2; 39:7; 49:6; Roma 4:13; 9:4).

Perlu dicatat bahwa kekuatan pemberontakan Makabe pada abad 2 SM (167-142 SM) dalam melawan asimilasi nasional dan kebudayaan melalui helenisasi (= Yunanisasi) besar-besaran oleh Raja Syria, Antiokhus IV Epifanes, didorong persisnya oleh keyakinan bahwa Israel adalah umat pilihan Allah satu-satunya dan tanah mereka adalah tanah suci yang dijanjikan Allah, yang tidak boleh dinajiskan oleh bangsa-bangsa pagan.

Sebutan Yudaisme (Yunani: Ioudaismos) dijumpai pertama kali dalam 2 Makabe 2:21; 8:1; 14:38, dan setiap sebutan ini muncul dalam konteks perbincangan mengenai kegigihan Israel dan kesetiaan mereka untuk membela Yudaisme sebagaimana diperlihatkan oleh para pejuang Makabe dalam melawan helenisme. 

Perlawanan oleh Yudas dari Galilea pada tahun 6 M dan kemudian oleh kalangan Zelotes dalam akhir Perang Yahudi I melawan Roma juga dimotivasi oleh hal yang sama.

3) Perjanjian yang berpusat pada Taurat

Dalam kesadaran diri Israel sebagai bangsa pilihan Allah, Taurat menempati kedudukan sangat penting dan menentukan. Hal ini paling jelas diungkapkan dalam kitab Ulangan.

Bagian terpenting kitab ini (Ulangan 5-28) memuat pernyataan kembali perjanjian Allah dan Israel yang dibuat di Horeb/Sinai (5:2-3).

Seluruh batang tubuh pengajaran/hukum yang disampaikan dalam pasal 5 sampai pasal 28 dirangkum dalam 29:1, demikian, “Inilah perkataan perjanjian yang diikat Musa dengan orang Israel di tanah Moab sesuai dengan perintah TUHAN, selain perjanjian yang telah diikat-Nya dengan mereka di gunung Horeb.”

Dalam seluruh kitab Ulangan, perjanjian yang diikat Allah dengan Israel ditegaskan dan diperkuat; dan Taurat (atau hukum/ketetapan/peraturan) diberikan sebagai bagian dari perjanjian itu. 

Sebagai respons orang Israel terhadap ikatan perjanjian itu, yang menjadikan mereka umat khusus kepunyaan Allah, mereka harus mentaati Taurat dengan sepenuh hati mereka, dengan seluruh cara kehidupan mereka sebagai umat perjanjian. 

Ada janji dan peringatan yang disampaikan kepada mereka sementara mereka menjalani kehidupan mereka: apakah mereka akan mentaati Taurat, ataukah tidak. 

Pada Ulangan 4:1 ditegaskan, “Maka sekarang, hai orang Israel, dengarlah ketetapan dan peraturan yang kuajarkan kepadamu untuk dilakukan, supaya kamu hidup dan memasuki serta menduduki negeri yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allah nenek moyangmu” (lihat juga 4:10, 40; 5:29-33; 6:1-2, 18, 24; 7:12-13; dsb.).




Ini buku tebal The Torah yang saya miliki, indah penampilannya, dihiasi banyak ilustrasi warna-warni.


Jika Israel melakukan perintah Taurat atau hukum Allah (4:8; 32:46) atau kelima kitab Musa (30:10), mereka akan hidup dan menerima berkat Allah; jika mereka tidak melaksanakan Taurat, mereka akan terkena kutuk (Ulangan 28:1-6, 15 dyb).

Ketaatan Israel pada Taurat menjadi ciri khas mereka sebagai umat istimewa pilihan Allah yang dengan mereka Allah telah mengikat perjanjian.

Setidaknya ada tiga hal penting yang menjadi ciri mereka sebagai umat istimewa pilihan Allah: sunat lahiriah, perayaan Sabat, dan aturan tentang makanan yang halal dan makanan yang haram.

4) Tanah Israel yang berpusat pada Bait Allah

Dalam kehidupan yang dijalani Israel di tanah yang dijanjikan, yang diisi dengan ketaatan pada Taurat, Bait Allah di Yerusalem merupakan pusat kehidupan nasional dan keagamaan mereka.




Sebuah model kota Yerusalem periode Akhir Bait Allah Kedua. Credit: Daniel Ventura. Sumber: Creative Commons


Bahkan lebih luas dari itu, bagi Israel, kota Yerusalem, Bukit Zion, dan Bait Allah di dalamnya adalah pusat jagat raya, axis mundi (lihat Yobel 8:19; Orakulum Sibyl 5.248-50). 

Bait Allah memikul beberapa fungsi bagi kehidupan nasional Israel. 

Pertama, Bait Allah adalah suatu sentra politis, dan ini menjadikan Yudea sebagai negara Bait atau tanah Bait, maksudnya: Bait Allah di Yerusalem memberikan suatu alasan bagaimana kawasan Yudea menjadi suatu kawasan yang terpisah dan khusus di dalam wilayah luas Yunani-Romawi. 

Kedua, Bait Allah adalah suatu sentra ekonomis bagi kota Yerusalem dan Yudea, yang menarik orang dari kawasan lain untuk mendatangi Yerusalem, baik untuk kebutuhan keagamaan maupun untuk kebutuhan lain seperti kebutuhan perdagangan, finansial dan pembayaran pajak untuk menopang kelangsungan kehidupan Bait Allah. 

Dan, terakhir, Bait Allah adalah suatu sentra keagamaan.

Seluruh sistem pemberian kurban, kultus, pendamaian dan pengampunan, yang sangat mendasar bagi Yudaisme kurun Bait Allah Kedua, seluruhnya terfokus pada Bait Allah. 

Umat Allah dan tanah perjanjian, dan pelaksanaan Taurat, semuanya terfokus pada Bukit Zion, Yerusalem dan Bait Allah di dalamnya. Barangsiapa mengendalikan ketiganya, mereka mengendalikan akses kepada Allah.

Respons kekristenan terhadap empat pilar Yudaisme

1) Respons kekristenan terhadap monoteisme teologis

Dalam Injil Yohanes terlihat tahap-tahap paling awal dari pemisahan kekristenan dari Yudaisme di dalam suatu kawasan lokal tertentu, kelihatannya entah di Galilea atau di tempat lain yang dekat dengannya, dan permusuhan tajam yang ditimbulkan oleh pemisahan ini./2/

Penyebab akar dari pemisahan ini adalah kristologi, menyangkut pertanyaan apakah Yesus itu sang Messias Yahudi yang dinantikan. Orang Yahudi yang mengakui Yesus sebagai sang Messias dikucilkan dari sinagog (aposunagōgos; lihat Yohanes 9:22; 12:42; 16:2), sebab, dalam pandangan otoritas Yahudi di tempat tinggal komunitas Yohanes, Yesus sama sekali bukan sang Messias Yahudi karena Yesus tidak memenuhi persyaratan sebagai seorang Messias. 

Sedikitnya ada tiga syarat yang harus dipenuhi seorang Messias Yahudi:

• Menjaga dan mempertahankan kota Yerusalem sebagai kota suci di Tanah Israel;
• Menjaga dan mempertahankan kesucian Bait Allah dan semua ritual religiopolitik yang dijalankan di dalamnya;
• Mempertahankan dan memperjuangkan kemerdekaan negeri Israel dari segala bentuk penjajahan oleh bangsa asing manapun.

Nah, pengucilan ini yang dialami dengan pahit oleh komunitas Yohanes pada akhirnya/3/ diberi reaksi puncak oleh komunitas Yohanes berupa pengajuan kristologi “dari atas” (high christology) yang menggambarkan Yesus Kristus sebagai suatu hakikat ilahi (sang Firman/ho logos) yang datang “dari atas/sorga”, masuk ke dalam dunia melalui inkarnasi (= menjadi daging; Yunani: sarks egeneto) (Yohanes 1:14a). Pada poin inilah terletak masalahnya.

Dalam pemikiran kristologi “dari atas”, Yesus menjadi suatu hakikat ilahi di kawasan atas yang memiliki pra-eksistensi: Yesus sebagai sang Firman (ho logos) yang sudah ada “pada mulanya” dan ada “bersama-sama dengan Allah” dan “adalah Allah” (Yohanes 1:1-2), dan “segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yohanes 1:3)./4/

Selain memakai figur sang Firman, kristologi “dari atas” dalam Injil Yohanes juga memakai figur “Anak Manusia” yang berasal-usul dari sorga, lalu melalui inkarnasi (6:51), masuk ke dalam dunia dan mengambil wujud manusia Yesus orang Nazareth. Figur “Anak Manusia sorgawi” ini dikatakan lebih rendah (subordinat) dari Allah (14:28), namun juga “satu” dengan Allah (10:30)./5/

Pada masa Injil Yohanes ditulis (tahun 90/100), trinitarianisme atau tritunggalisme Kristen sebagai "a modified monotheism", belum dirumuskan. Dengan demikian, para rabbi Yahudi pada kurun pasca-70 menilai kristologi “dari atas” ini telah melahirkan diteisme: ada dua penguasa di sorga, yakni Allah dan sang Firman atau sang Anak Manusia.

Bagi mereka, kristologi “dari atas” Injil Yohanes telah melanggar monoteisme teologis yang dipertahankan kuat-kuat oleh Yudaisme.

Dilihat dari sudut pandang Yahudi, dengan menyetarakan Yesus dengan Allah, kekristenan telah membuat diskontinuitas antara dirinya dengan Yudaisme, meskipun kekristenan (mazhab Yohanes) tetap mempertahankan kepercayaan monoteistik (lihat Yohanes 17:3; bdk. juga 1 Korintus 8:4-6; Yakobus 2:19; 1 Timotius 2:5), persisnya monoteisme kristologis.

Monoteisme dipertahankan komunitas Yohanes dengan jalan membuat diversitas atau pluralitas di dalam hakikat Allah yang esa: sang Firman berada “bersama-sama dengan Allah”; ini berarti ada pembedaan di antara keduanya. Sang Firman “adalah Allah”; ini berarti ada kesatuan di antara keduanya.

Kesatuan dan pembedaan ini hanya mungkin dibayangkan jika orang menerima adanya diversitas atau pluralitas di dalam hakikat Allah yang esa: Allah Yang Maha Esa di dalam diri-Nya sendiri majemuk!

Diversitas dalam hakikat Allah yang esa inilah yang belakangan membuka pintu bagi perumusan teologi kemajemukan atau pluralitas "cara berada" ("modes of being") Allah yang esa: Allah berada dan bekerja dalam dunia manusia lewat anekaragam cara berada, yang tidak bisa dibatasi oleh manusia.

2) Respons kekristenan terhadap pemilihan Israel dan tanah Israel sebagai tanah perjanjian

Etnosentrisme Yahudi (= keterpusatan pada etnis dan kultur Yahudi) yang dipertahankan Yudaisme dan kekristenan Yahudi perdana (khususnya Gereja Induk Yerusalem yang dipimpin tiga soko guru: Yakobus, Petrus, dan Yohanes) ditolak oleh kekristenan helenistik yang terdiri atas bangsa-bangsa bukan-Yahudi. Dalam hal ini, diskontinuitas antara kedua agama ini sangat tajam.

Gerd Theissen menyatakan, dalam teologi Paulus terjadi transisi dari Yudaisme sebagai agama nasional etnis Yahudi ke kekristenan sebagai suatu agama universal yang menyerap berbagai etnisitas. 

Tandas Theissen, Rasul Paulus adalah figur yang sangat penting dan menentukan dalam terpisahnya agama Kristen dari agama Yahudi. Kekristenan yang disusun Paulus adalah Yudaisme yang ditransformasi secara kharismatik personal dengan dimunculkannya Yesus sebagai sang Messias Kristen; sedangkan Yudaisme rabbinik, sebaliknya, adalah suatu Yudaisme yang dikembangkan berdasarkan penafsiran legalistik atas tradisi tua Taurat./6/

Kekalahan bangsa Yahudi dalam Perang Yahudi I melawan Roma (tahun 66-70), dan sikap Roma yang semakin represif terhadap bangsa Yahudi yang baru dikalahkan dalam pemberontakan mereka, ikut berperan dalam membentuk sikap anti-Yahudi dalam kekristenan non-Yahudi yang tersebar di dunia Yunani-Romawi di luar Palestina, sikap bermusuhan yang diarahkan kepada Yudaisme rabbinik.

Memasuki abad ke-2, orang Kristen bukan-Yahudi secara bertahap mengalami pertumbuhan kesadaran sebagai suatu “bangsa ketiga” berhadapan dengan bangsa Yahudi dan bangsa pagan; dan orang Kristen mulai juga memandang diri sebagai “Israel sejati”, umat zaman akhir yang diperluas, yang tersebar di dunia bangsa-bangsa, dan yang tidak terikat lagi pada batas-batas tanah perjanjian Palestina.

Tetapi, ketika kekristenan non-Yahudi memandang diri mereka sebagai “bangsa” yang terpisah, mereka pun terjatuh ke dalam rasialisme yang sama dengan etnosentrisitas Israel, ketika mereka mengeluarkan bangsa Yahudi dari persekutuan keluarga besar mereka yang beragam./7/

Bersamaan dengan memandang diri sendiri sebagai “umat perjanjian yang baru”, yang dibangun oleh Yesus sebagai sang Messias Kristen, kekristenan helenistik pun memahami Kitab Suci Ibrani yang dinamakan Tenakh (Taurat, Nabi-nabi, dan Khetubim/kitab-kitab) dari sudut pandang Kitab Suci Perjanjian Baru. Sekaligus mereka memberi penilaian teologis terhadap Tenakh sebagai Perjanjian Lama yang sudah usang (lihat Ibrani 8:13) (yang dibuat antara Allah dan Musa pada zaman dulu) dan karena itu harus direvitalisasi dan disegarkan kembali dengan menafsirkannya dari sudut pandang Perjanjian Baru (= perjanjian yang dibuat antara Allah dan Yesus Kristus). 

Itu adalah suatu posisi hermeneutik Kristen yang berbenturan dengan posisi hermeneutik Yahudi yang menafsir masa depan dengan bertitik-tolak dari Tenakh

3) Respons kekristenan terhadap keutamaan Taurat

Meskipun Rasul Paulus dalam surat Roma (14-15:13) memberi tempat penting bagi pengamalan Taurat dalam komunitas Kristen non-Yahudi yang anggota-anggotanya saling menghormati orang yang berbeda, dan menyatakan bahwa Kristus adalah kegenapan hukum Taurat (10:4), dan bahwa “hukum Taurat adalah kudus, dan perintah itu juga adalah kudus, benar dan baik” (7:12), namun pada bagian-bagian lain dari tulisan-tulisannya yang lain dia sangat kuat menolak hukum Taurat. 

Kata Paulus, “Aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat …, karena aku hidup di bawah hukum Kristus” (1 Korintus 9:20-21). Bahkan dalam Roma 7:10, dia menyatakan, “Perintah yang seharusnya membawa kepada hidup, ternyata bagiku justru membawa kepada kematian.”

Lagi tandasnya, “Sebab hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan” (2 Korintus 3:6); dan “Semua orang yang hidup dari pekerjaan [atau karya] hukum Taurat (ta erga tou nomou) berada di bawah kutuk” (Galatia 3:10a).

Bagi Paulus, sebelum iman kepada Kristus datang dan dimungkinkan, hukum Taurat memang memiliki fungsi sebagai “pengawal” dan “penuntun” (paidagōgos); tetapi ketika iman (hē pistis) telah datang, orang “tidak lagi berada di bawah pengawasan penuntun” (Galatia 3:23-25). 

Selama orang masih berada di bawah hukum Taurat, dosa berkuasa atas dirinya; tetapi kalau orang sudah di bawah karunia Allah melalui iman kepada Yesus Kristus, mereka sudah dibebaskan dari dosa.

Kata Paulus, “Kamu tidak akan dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia” (Roma 6:14).

Jelas, bagi Paulus, “Hukum Musa tidak pernah diberikan untuk menghasilkan kebenaran dan kehidupan; tapi hukum ini diberikan untuk menunjukkan dosa dan untuk menghukum kita, sampai datang kehidupan baru dan pembebasan di dalam Kristus”/8/ (lihat Roma 7-8).

Ambivalensi Paulus terhadap Taurat memang tidak terelakkan berhubung sang rasul ini hidup dalam dua tradisi kultural kuat yang berbeda dan tarik-menarik: kultur Yahudi yang legalistik dan kultur Yunani yang libertarian.

Kendatipun dalam Injil Matius, seperti diperlihatkan Dale C. Allison, Jr., terdapat banyak paralelisme antara Musa dan Yesus, namun, dalam Injil ini Yesus digambarkan mengungguli Musa Perjanjian Lama. 

Sebagaimana Yesus lebih besar dari Bait Allah dan dari Nabi Yunus dan dari Salomo (Matius 12:6, 41-42), maka Yesus pun lebih besar dari Musa./9/ 

Bagi penulis Injil ini, Taurat Musa telah digenapi oleh hukum yang diberikan Yesus (Matius 5:17-20),/10/ dengan cara “mengkristenkan” baik Taurat Musa maupun diri Musa sendiri,/11/ sehingga muncullah "Musa yang baru", yaitu Yesus, yang membawa hukum baru yang isinya adalah seluruh Injil Matius sendiri yang merupakan “Taurat” Kristen, khususnya Khotbah di Bukit sebagai “Taurat baru yang valid abadi.”/12/ 

Dengan demikian, Taurat Musa diganti dengan Taurat baru yang merupakan penggenapannya, untuk umat yang baru, yang dibangun oleh Musa yang baru, yaitu Yesus, yang kedudukannya lebih tinggi dari Musa Perjanjian Lama. 

Tanpa Yesus sebagai Musa yang baru, Taurat Yahudi selamanya tidak pernah genap, tidak pernah sempurna, tidak pernah mencapai tujuannya. Ini adalah suatu superiorisme kekristenan Matius berhadapan dengan Yudaisme yang berpusat pada Taurat Musa.

Jadi, Taurat Musa tidak diterima dan diikuti secara harfiah seluruhnya oleh kekristenan; bahkan Paulus cenderung menolak kuat validitas Taurat bagi kekristenan yang dia bangun.

Yang paling drastis membatalkan Taurat Musa, dengan menggantikannya dengan pengajaran Yesus dan diri Yesus sendiri sebagai satu-satunya pengejawantahan sang Firman/Taurat, adalah Injil Yohanes.

Paling banter, sekali lagi, Taurat ditafsir ulang dari sudut pandang Kristen, dan hasil penafsiran Kristen ini dipandang, oleh komunitas Kristen-Yahudi Matius, sebagai penggenapan Taurat Musa, penggenapan yang dilakukan oleh Yesus sebagai Musa yang baru dengan hukum yang baru, hukum kasih (Matius 22:37-39), dan Khotbah di Bukit. 

Dengan demikian, dapat dikatakan, sehubungan dengan pandangan Kristen terhadap Taurat Musa, terdapat diskontinuitas yang jelas antara agama Yahudi dan agama Kristen. Penafsiran baru atas Taurat yang dilakukan para penulis Perjanjian Baru tidak lantas memunculkan kontinuitas antara kedua agama ini./13/

4) Respons kekristenan terhadap Bait Allah

Suatu segi yang konsisten meskipun tidak umum dalam teologi Kristen perdana adalah, selain kecaman terhadap validitas Taurat Musa, perlawanan terhadap Bait Allah. 

Kritik tajam kekristenan terhadap Bait Allah adalah bahwa Bait Allah di Yerusalem “dibuat oleh tangan manusia” (kheiropoiētos)./14/ 

Kritik ini sudah dimulai oleh Yesus sendiri, ketika dia menyerang Bait Allah secara simbolik (Markus 11:15-19) dan menyatakan, seperti dikutip para saksi ketika Yesus diadili di hadapan Mahkamah Agama, “Aku akan merubuhkan Bait Suci buatan tangan manusia ini dan dalam tiga hari akan Kudirikan yang lain, yang bukan buatan tangan manusia” (Markus 14:58; 15:29). 

Penyerangan terhadap Bait Allah yang dilakukan Yesus adalah salah satu sebab mengapa orang Yahudi tidak bisa menerima Yesus sebagai sang Messias. Sebab, dalam tradisi Yahudi (dalam Kitab Suci Ibrani, Pseudepigrafa, dan Apokrifa) tidak ada seorang Mesias Yahudi yang dengan terbuka menyerang Bait Suci. Justru adalah tugas seorang Mesias untuk menjaga, mempertahankan dan melindungi Bait Allah supaya tidak diganggu-gugat oleh siapapun./15/

Stefanus juga melancarkan kritik tajam yang sama terhadap Bait Allah di Yerusalem sebagai buatan tangan manusia sebelum dia mati syahid dirajam (Kisah Para Rasul 7:47-48). 

Dalam surat Ibrani 9:11 dan 24, dinyatakan bahwa Bait Allah yang dibuat tangan manusia tidaklah sempurna.

Dalam 1 Korintus 3:16, Rasul Paulus menyebut orang Kristen sebagai Bait Allah (karena Roh Allah berdiam dalam diri mereka), dan dengan begitu dia tersirat merelativisir Bait Allah di Yerusalem. 

Rasul Paulus dalam surat 2 Korintus menyebut suatu tempat kediaman di sorga, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia (5:1). Dengan dia menyebut tempat kediaman “yang tidak dibuat oleh tangan manusia”, kelihatanlah bahwa dia mengetahui polemik Kristen versus Yahudi mengenai Bait Allah sebagai rumah buatan tangan manusia.

Ringkas kata, sejauh menyangkut Bait Allah, posisi para penulis Perjanjian Baru sudah jelas: Bait Allah tidak relevan lagi bagi kekristenan. 

Hancurnya Bait Allah di Yerusalem pada tahun 70 di akhir Perang Yahudi I melawan Roma dilihat oleh komunitas-komunitas Kristen perdana sebagai suatu tanda bahwa Allah telah menolak dan tidak mengakui Israel lagi./16/ 

Seorang pemimpin gereja pada abad ke-4, Eusebius, melihat kehancuran Bait Allah dan kebinasaan Yerusalem di akhir perang Yahudi melawan Roma (66-70) sebagai suatu penghukuman Allah atas bangsa Yahudi yang (menurutnya) telah berbuat keji terhadap Yesus dan para rasulnya (Sejarah Gereja III,5,2f). 

Penutup

Respons yang diperlihatkan kekristenan perdana proto-ortodoks Perjanjian Baru terhadap empat pilar keyakinan Yahudi menunjukkan bahwa diskontinuitas antara agama Yahudi dan agama Kristen begitu tajam dan luas. 

Dengan adanya diskontinuitas ini, kekristenan perdana Perjanjian Baru dapat mengklaim diri sebagai agama yang mengungguli agama Yahudi, bahkan menafikannya, dan dapat melihat dirinya sendiri unik, "umat Israel yang baru", bukan dalam arti etnisitas atau kebangsaan, tapi sebagai pewaris sekaligus pembaharu tradisi-tradisi kuat Israel Perjanjian Lama.  

Dari diskontinuitas ini, dan dari klaim kekristenan perdana sebagai komunitas yang lebih unggul dibandingkan komunitas Yahudi, dan (harus dicatat!) dari kemenangan politis mereka pada era Kaisar Konstantinus Agung di abad ke-4 dan pada saat Kaisar Theodosius pada tahun 381 mengeluarkan dekrit bahwa orang yang memeluk agama yang tidak diakui negara [yakni kekristenan Arius, yang sedang berkonfrontasi dengan kekristenan Athanasius] adalah orang yang melawan negara, tidaklah berlebihan jika dikatakan, lewat liku-liku sejarah yang kompleks, lahir anti-Semitisme yang membawa maut pada zaman modern di Eropa ketika Jerman dikuasai Hitler.

Karena itu, untuk menghindari berulangnya tragedi kemanusiaan ini, masing-masing pihak, Yahudi dan Kristen, perlu terus mencari titik-titik temu di antara kedua agama ini, baik dalam sejarah di masa lampau maupun dalam merancang dan membangun masa depan. 

Salah satu langkah untuk mencari titik temu adalah dengan menyelidiki figur Yesus sejarah (the historical Jesus) sebagai seorang suci Yahudi sekaligus sebagai pendiri komunitas kerajaan Allah yang kemudian menjadi gereja Kristen Yahudi perdana yang mula-mula (sebelum tahun 70) berpusat di Yerusalem sebagai Gereja Induk (= kekristenan Yahudi, Judeo-christianity) yang didirikan oleh saudara Yesus, yaitu Yakobus si Adil. 

Kesulitan mencari titik temu, atau mencari kontinuitas Yahudi-Kristen, terletak terutama pada penolakan kuat orang Yahudi untuk menerima Yesus sebagai sang Messias Yahudi, sehingga Yesus Kristus tercerai dari bangsa-Nya sendiri, bangsa Yahudi, lalu menjadi atau diklaim sebagai sang Messias gereja saja.  

Puncak atau penyempurna dan pemenuh serangkaian lima "perjanjian Allah" dengan bangsa Israel dalam diri Yesus, atau penantian messianik umat PL yang dipercaya terwujud dalam Yesus Kristus, hanya berlaku dalam kepercayaan gereja awal, baik gereja berlatar budaya Yunani maupun gereja berlatar budaya Yahudi.

Bagaimana pun juga, dialog empatetis di antara penganut agama Yahudi dan orang Kristen pada masa kini harus dilakukan, agar keduanya dapat bertemu dan dari pertemuan ini lahir hal-hal yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan kedamaian dalam dunia ini.

** Versi awal tulisan ini adalah bab 1 buku saya yang berjudul Menguak Kekristenan Yahudi Perdana: Sebuah Pengantar (Jakarta: JRC, 2009), hlm. 1-13. 

Catatan-catatan

/1/ Selengkapnya, lihat James D.G. Dunn, The Partings of the Ways Between Christianity and Judaism and Their Significance for the Character of Christianity (London/Philadelphia: SCM Press/Trinity Press International, 1991¹), hlm. 18-36.

Tentang hal yang sama, E.P. Sanders, dalam bukunya, Judaism: Practice and Belief 63 BCE-66 CE (London/Philadelphia: SCM Press/Trinity Press International, 1992), berbicara tentang Yudaisme “umum” atau Yudaisme “normal” atau Yudaisme “normatif”. Menurutnya, ada empat fokus dari Yudaisme pada umumnya: Bait Allah, sinagoge (atau rumah doa), rumah atau kampung halaman (tanah Palestina), dan teologi yang mencakup kepercayaan pada Allah yang esa (monoteisme), hukum Taurat, status Israel sebagai bangsa pilihan.

/2/ Jack T. Sanders, Schismatics, Sectarians, Dissidents, Deviants: The First One Hundred Years of Jewish-Christian Relations (London: SCM Press, 1993), hlm. 40.

/3/ Mengenai tahap-tahap historis yang dilalui komunitas Yohanes sampai kristologi “dari atas” diajukan sebagai reaksi terhadap keadaan-keadaan sosial-politis yang dialami komunitas ini, lihat J. Louis Martyn, History and Theology in the Fourth Gospel (Nashville: Abingdon, 19792); idem, The Gospel of John in Christian Theology. Essays for Interpreters (New York, etc.: Paulist Press, 1978); Raymond E. Brown, The Community of the Beloved Disciple: The Life, Loves, and Hates of An Individual Church in the New Testament Times (London: Geoffrey Chapman, 1979). 

Lihat telaah padat komprehensif Ioanes Rakhmat, "Eksklusivisme Yohanes 14:6-- Apakah Suatu Penghalang Bagi Bergereja Yang Terbuka Pada Banyak Jalan Agung?", Jurnal Penuntun, vol. 3, no. 11, April 1997, hlm. 355-385 [360-380].

/4/ Mendahului Injil Yohanes, Rasul Paulus di tahun 50-an sudah memandang Yesus Kristus sebagai “agen penciptaan”, yakni sebagai Figur ilahi “yang melalui-Nya segala sesuatu telah dijadikan” (1 Korintus 8:5-6). 

/5/ Lebih jauh tentang subordinasionisme ini, lihat Ioanes Rakhmat, “Kristologi ‘Anak Manusia’ di dalam Injil Yohanes dan Monoteisme Yahudi” dalam Ihromi (ed.), Dalam Kemurahan Allah. Kumpulan Karangan dalam Rangka Dies Natalis STT Jakarta ke-60, 1994 (Jakarta: Gunung Mulia), hlm. 55-72.

/6/ Gerd Theissen, Social Reality and the Christians: Theology, Ethics, and the World of the New Testament. Penerjemah: Margaret Kohl (Edinburgh: T&T Clark, 1993), hlm. 206, 219, 226 [202-227].

Theissen sebetulnya menempatkan kekristenan perdana dalam tiga model: kekristenan sebagai agama yang paralel dengan Yudaisme; kekristenan sebagai suatu Yudaisme yang dibuka dan dilepaskan dari hambatan-hambatan yang dibuatnya; dan kekristenan sebagai suatu Yudaisme yang ditransformasi, sebagaimana terdapat dalam kekristenan Paulus.

/7/James D.G. Dunn, Partings of the Ways, hlm. 248.

/8/ David Wenham, Paul: Follower of Jesus or Founder of Christianity? (Grand Rapids: W.B. Eerdmans Publishing Co., 1995), hlm. 227.

/9/ Dale C. Allison, Jr., The New Moses: A Matthean Typology (Minneapolis: Fortress Press, 1993), hlm. 274-77.

/10/ Menurut Geza Vermes, The Authentic Gospel of Jesus (London: Penguin Group, 2004), Matius 5:17-20 pada dasarnya memuat ucapan yang berasal dari Yesus sendiri (hlm. 355).

/11/ Allison, New Moses, hlm. 280.

/12/ Geza Vermes, The Authentic Gospel of Jesus, hlm. 355.

/13/ Seorang penulis Yahudi modern, David Klinghoffer, melihat penyebab utama orang Yahudi menolak Yesus adalah penolakan kekristenan terhadap Taurat yang diberikan Allah kepada orang Yahudi di Gunung Sinai. Lihat David Klinghoffer, Why the Jews Rejected Jesus: The Turning Point in Western History (New York: Doubleday, 2005), hlm. 213-20.

/14/ Jack T. Sanders, Schismatics, hlm. 96 [95-99, 230].

/15/ David Seeley, “Jesus’ Temple Act Revisited: A Response to P.M. Casey”, Catholic Biblical Quarterly 62/1 (2000) 61 [55-63]; idem, “Jesus’ Temple Act”, CBQ 55/2: 263-283; Marcus J. Borg, Conflict, Holiness, and Politics in the Teachings of Jesus (Studies in the Bible and Early Christianity 5; New York/Toronto: Mellen, 1984), hlm. 38 dyb., 55, 163-199; Ioanes Rakhmat, The Trial of Jesus in John Dominic Crossan’s Theory: A Critical and Comprehensive Evaluation (Jakarta: UPI STT Jakarta, 2005), hlm. 170.

/16/ James D.G. Dunn, Partings of the Ways, hlm. 255.


Sunday, December 2, 2007

Jewish Martyrdom

Jewish Martyrdom and the Death of Jesus

by Ioanes Rakhmat

The term “martyrdom” is used for an account of the final suffering and death of a martyr, as the result of the actions of powerful enemies; the account was purportedly written by a contemporary, often an eyewitness, of those events, and it usually included a section consisting of courtroom discourses between magistrates, even the tyrannical ruler, and the martyr in which the latter expressed his or her allegiance solely to the laws of the forefathers.

Jan Willem van Henten has studied in detail the widespread notion and belief of politically patriotic martyrdom and its atoning effect upon the martyr’s land and people, in the biblical and post-biblical eras, according to both Jewish and Greco-Roman traditions. In this study, entitled The Maccabean Martyrs as Saviours of the Jewish People, Van Henten argues that the Jewish tradition concerning such martyrdom, such as that seen in 2 and 4 Maccabees, was developed not only on the basis of the Torah but also on the basis of a Greek philosophical framework. With this dual basis, the authors of 2 and 4 Maccabees portrayed the Maccabean martyrs as Jewish philosophers, and contrasted the philosophy of the martyrs with the Greek philosophy of the tyrannical king.
[1]

In the description of the martyrdoms in 2 Maccabees 6:18-7:42, one of the martyrs, the priestly sage Eleazar, presents an impressive explanation of his decision to accept death because of his opposition to the will of the tyrant (6:23-28). In those verses, Eleazar’s decision is termed a logismos asteios or “noble reasoning” (6:23); in 4 Maccabees (1:1; 6:31; 7:4, 16, 21; 13:1; 16:1; 18:1) it is termed eusebēs logismos or “devout reason”, and it is claimed that this reason must govern both the emotions and physical suffering and agony, for, as 4 Maccabees 13:3 states, it is this reason which is praised before God.

The author of 2 Maccabees declares that he is offering a symposion, a pleasant and instructive banquet, for the benefit of others (2:27). This declaration links 2 Maccabees with the so-called deipnon or sumposion literature, of which Plato’s Symposium is the most famous example.
[2] 

Indeed, as has been pointed out by Jonathan A. Goldstein and others,[3] in 2 Maccabees 6:18-31, clear parallels are intended between Socrates and the Eleazar of 2 Maccabees; as Goldstein expresses it, “No educated Greek could miss the resemblance of Eleazar to Socrates.” [4]

The two heroes, Socrates and Eleazar, were well advanced in years (respectively, seventy years and ninety years), and they regarded the few remaining years of life as something with which it is easy to part (2 Maccabees 6:18, 23-25; Apology 38c). Because of this, fear of death could not make them surrender their opinions and actions (2 Maccabees 6:22-29; Apology 28b-d). This attitude was consonant with each one’s earlier life, so that any yielding to opposition would have seemed a self-betrayal (2 Maccabees 6:22; Apology 28d-30c, 34b-35b). 

Both, therefore, rejected “easier”alternative in the face of the threatening penalty (2 Maccabees 6:21-28; Apology 36b-38b, and Crito); both held that it is better to go to the underworld in defense of the laws (2 Maccabees 6:23; Crito 54b-d); both maintained that, though one may escape human punishment, one cannot escape divine punishment for injustice and wickedness (2 Maccabees 6:26; Apology 39a-b); and both put their trust in supernatural judges (2 Maccabees 6:26; Apology 41a). The tyrants who controlled their fate were offended by their speeches and condemned both of them to death (2 Maccabees 6:29; Apology 38c), and their deaths were intended as warnings and superlative examples to others, both at that time and in subsequent generations (2 Maccabees 6:31; Phaedo 118).

The Martyrs in 2 Maccabees 6:18-7:42 (cf. 4 Maccabees 5-18)

The focus of 2 Maccabees 7:1-42 is the slaying of seven brothers together with their aged mother on the order of king Antiochus; this was in the context of the king’s efforts to compel Jews to eat pork and foods sacrificed to idols in disregard of prohibitions in the Torah. 

In the courtroom discourses related in 4 Maccabees 8:7-8, the king tried to move the accused to accept his commands by offering rewards and threatening execution: “Trust me, then, and you will have positions of authority in my government if you will renounce the ancestral tradition of your national life. Enjoy your youth by adopting the Greek way of life and by changing your manner of living. But if by disobedience you arise my anger, you will compel me to destroy each and every one of you with dreadful punishments through tortures.” 

According to this text, the response of the brothers was: “But when they had heard the inducements and saw the dreadful devices, not only were they not afraid, but they also opposed the tyrant with their own philosophy, and by their right reasoning nullified his tyranny” (8:15).

These martyrs understood their sufferings as the punishment of their sin against God (2 Maccabees 7:18, 32); but they were also convinced that, after God’s anger had been expressed, God would again be reconciled with them (v. 33). Because of her courage, steadfastness, and hope in the Lord, even while being forced to watch her sons tortured and put to death, all in the course of a single day, the text insists that the mother of these seven sons deserves to be held in glorious memory (v. 20). 

In the text, in verses 9 and 14, the belief is expressed that, for one who dies for the sake of the law, there will be resurrection and eternal life. Thus, when the youngest of the brothers is about to be slain, he insists that his brothers “now have inherited eternal life under the terms of God’s covenant, whereas you shall suffer through the judgment of God the just punishment for your arrogance” (v. 36), and his last words even display the conviction that their martyrdom will put an end to the rightful anger which God has inflicted on all God’s people (v. 38).

The religious and philosophical ideas found in 2 Maccabees 6:18-31 and 7:1-42 were later elaborated in 4 Maccabees 5-18. Noting that only in a few cases does the author of 4 Maccabees deviate from 2 Maccabees, Van Henten concludes that it is likely that that author of the former derived the basic material of chs. 5-18 from the latter; and, Van Henten suggests that the author of 4 Maccabees was inspired to use martyrdom as evidence for his thesis of the autonomy of the logismos (“reason”) by the occurence of this term in 2 Maccabees 6:23; 7:21.
[5]

The Historical Context of the Maccabean Martyrs

The historical context of the martyrdoms in 2 Maccabees 6-7 is found in the aftermath of the second invasion of Egypt by the Syrian king, Antiochus IV Epiphanes (2 Maccabees 5:1). Antiochus’ visits to Jerusalem following his military meassures against Egypt (on two occasions in the period of 170-168 BCE), and his drastic actions against the Jews (in the period of 175-164 BCE),
[6] have been the hotly debated issues in historians’ research.[7] 

In Goldstein’s judgment, the narratives could reflect not only the events, ideas, and literary patterns of the 160s BCE, but also those of both earlier and later times.[8] The gruesome martyrdoms, as pointed out by Goldstein, could well have occurred during Antiochus’ persecution of the Jews. Antiochus viewed the Jews’ rebellion as a result of their obedience to the Torah.[9]

In the opinion of Van Henten, 2 Maccabees may have been composed around the year 125 or 124 BCE,
[10] a time which fits with the data found in 1:9; and Van Henten also opines that the work may have received its present form in Judea (Jerusalem). 

While other scholars, e.g., Sam K. Williams, David Seeley, and Crossan, date 4 Maccabees to the middle of the first century CE,[11] in Van Henten’s judgement it was composed around 100 CE, at least two hundred years after the persecution of the Jews by Antiochus IV which preceeded the successful Maccabean war of liberation.[12] In 2 Maccabees and 4 Maccabees, Van Henten maintains, the issues are Jewish self-definition and identity in both the religious-cultural and the political spheres.

In the analysis of Sam K. Williams, the authors of 2 Maccabees operated, on the one hand, with the theological categories of sin and estrangement on the part of the Jews, and of wrath, discipline and mercy on the part of God (e.g., 2 Maccabees 4:16-17; 5:17-20; 6:12-17; 7:18; 7:32-33). 

On the other hand, those authors intermingled these categories with historical causes rooted in the hellenizing program of Antiochus together with his allies within the Jerusalem priesthood, a program which was uncompromisingly opposed by the righteous Jews who followed Judas Maccabaeus as the central hero. The “speeches” of the dying martyrs, in which they express their defiance, their motivation and their hope, are one of the vehicles which bear the theologizing motifs of 2 Maccabees concerning the reasons for the suffering of innocent Jews.[13] 

Thus, the narrative in 2 Maccabees can best be characterized as apologetic historiography, the focus of which is the significance of the crucial events of the past for contemporary Jewish politics, religion, morality and self-understanding.[14] 

The accounts of 2 Maccabees (3:1-15:39) themselves are referred to by the epitomist (2:23-26) as both history, hē historia (2:32; cf. 2:24, 30), and story, ho logos (15:37-39).

The Common Narrative Pattern

According to Van Henten, the common narrative pattern of a number of “martyr texts” consists of the following elements: 1) in a situation of oppression, the (pagan) civil authorities issue enactments the disobedience of which is punished with the death penalty; 2) the contents of the decrees are so offensive to the Jews because their faithfulness to God, the Law and their Jewish way of life are thereby threatened; 3) when Jews are forced, for instance after their arrest, to decide between complying with the decrees or remaining faithful to their religion and its practices, they choose bravely to die rather than obey; 4) their decision to do so becomes obvious during the courtroom processes in which torture is often used; 5) finally, an extremely cruel execution is described.
[15]

Drawing especially on the accounts of 2 Maccabees 6:18-31 and ch. 7, Goldstein describes what transpires in the courtroom as the martyr is interrogated and tortured: 1) the martyr cheerfully accepts terrible pain rather than commit an act of eating pork, something viewed as trivial by the non-Jews; 2) the martyr, the persecutors and tormentors are involved in dialogue in which each maintains the rightness of his or her respective conduct; 3) the torture is vividly described; 4) the martyr demonstrates his or her persistent faith to the death; 5) there is noted both the anger and the admiration of the non-Jews when the torture proves of no avail; 6) the martyr is presented as a model to be imitated by the rest of the faithful.

In 2 Maccabees 6-7 as well as in 4 Maccabees 6:28-29, the effect of martyrdom is stated. Eleazar’s death is understood by himself as a noble example of a beautiful death in defense of the revered and sacred laws, and as a precedent of valor to be remembered not only by the young but by all his fellow Jews (2 Maccabees 6:28, 31). Eleazar’s death is seen as vicarious (i.e., as done on behalf of others) in terms of its benefit as a model or paradigm for others; it has a mimetic function with regard to his contemporaries, the larger body of his nation. Seeley finds the four aspects of Eleazar’s death as being: vicariousness, obedience, the overcoming of physical vulnerability, together with a military nuance.
[16] 

In 2 Maccabees 7, the brothers’ deaths are not seen as vicarious or expiatory (= canceling the effects of sin), but simply as instrumental in putting an end to the suffering of God’s people.

Jewish Martyrdom and the Passion of Jesus

In view of the fact that the gospel writings about Jesus’ passion and trials lack most of the narrative pattern which is usually found in the “martyr texts,” equating Jesus with the Maccabean martyrs seems to be inadequately buttressed. 

In his two-volume work The Death of the Messiah, Raymond E. Brown has noted that the gospel passion narratives “are singularly lacking in important features of the Maccabean martyr stories, e.g., gruesome descriptions of the tortures, and defiant speeches calling down punishment on the ruler.”[17] Brown remarks, for example, that “[U]nlike some roughly contemporary Jewish martyrs, Jesus does not cry out in defiance of his persecutors or call God’s vengeance down on them,...”[18] 

Acknowledging “[T]hat Jesus’ seeing himself as martyr-prophet may supply the key to understanding Jesus’ foreknowledge of his fate,”[19] Brown concludes that “I see no way of determining the extent to which his relation to God in heaven moved Jesus beyond foresight to foreknowledge [of a violent death], and it may well be that Jesus himself could not have answered that question. Subtlety does far more justice to the likelihood than a negative vote that Jesus did not make (and perhaps could not have made) any of the predictions attributed to him.”[20] 

Similar to this is De Jonge’s remark that “it is certainly possible or even probable that during his preaching in Galilee and Jerusalem, when his death had become a possibility to be reckoned with very seriously, Jesus, or Jesus’ followers, considered this to be the death of a martyr, but decisive proof cannot be given.”[21] 

After observing that the Jewish martyrdoms related in 2 & 4 Maccabees took place when the martyrs’ religion was being threatened with destruction, David Seeley makes the sharply-worded conclusion that “[I]t is preposterous, in the literal sense of the word, to try to place the historical Jesus in that kind of position.”[22]

But these three scholars (and a number of others) have also argued for the presence of a martyrological coloring in some of the NT materials. 

Seeley is of the opinion that, in three of the earliest strata of the NT (Q 14:26-27; pre-Pauline traditions in Romans 3:24-26 and Philippians 2:6-11; Mark 10:45 and 12:24), there are martyrological motifs which became attached to the interpretation of Jesus’ death which was in keeping with the Greco-Roman viewpoint of the noble death of a philosopher to be imitated by his students. As a result, writes Seeley, “[T]he historical Jesus was someone easily seen as a martyr.”[23] 

And, while Raymond Brown concludes that the gospel passion narratives do not contain “important features” found in the Maccabean martyr-texts, he agrees that the martyr image seems clear and intentional in Luke-Acts, and can be seen, for example, from: the way martyrdom is envisioned in Luke 12:49-53; the repeated Lukan emphasis on Jesus’ innocence, with the implication that he died in God’s cause as the suffering just and holy one (also Acts 7:52; 13:35);[24] the angelic help given to the suffering Jesus and the mockery scene (Luke 22:43-44, 63-65);[25] the clear parallel between the death of Jesus and the death of Stephen related in Acts. 

In this, however, De Jonge warns that “[T]he model of interpretation reflected in these accounts of the Maccabean martyrs elucidates only certain aspects of Jesus’ mission culminating in his death and resurrection. In his solidarity with others, Jesus died for their sins, and not for his own. He was not just a martyr bringing about reconciliation with God and peace for Israel on earth. He appeared as a unique servant of God, God’s final envoy.”[26]

In an article entitled Jesus and Martyrdom, John Downing asserts that “formal characteristics of martyria are all to be found in the passion-narratives,” and concludes that Jesus “finally came to understand his death not only as a martyrdom against his nation, but also for the true faithful Israel whom he had gathered around him...” and that “Jesus was not just a martyr but the martyr.”
[27] J. 

C. O’ Neill contends that the Maccabean martyrdom tradition was an important part of the literary background for the gospel “cross sayings” (Matthew 10:38; Luke 14:27; Matthew 16:24; Mark 8:34; Luke 9:23 in the Codex Vaticanus), for the gospel sayings about those who will not taste death before the coming of the Kingdom (Matthew 16:28; Mark 9:1; Luke 9:27), for the gospel servant sayings (Matthew 20:20-27; Mark 10:35-44; Luke 22:24-27), and for the gospel ransom sayings (Matthew 20:28; Mark 10:45).[28] 

It is worth noting that recently Harry T. Fleddermann has argued that the cross saying of Mark 8:34b (“Let them deny themselves and take up their cross and follow me.”) was created by the author of Q and therefore possibly reflects the view of the historical Jesus himself.[29] 

And finally, Van Henten’s study of Maccabean martyrdom is important for pointing to a sacred meal as the ritual context in which the Maccabean martyrs made manifest their resistance to Seleucid rule; this made the meal subversive in character.[30] Obviously, this suggestion of Van Henten may well justify the interpretation of Jesus’ meal, set against the background of the Jewish martyrdom tradition, as a substitute for the rites of sacrifice in the Temple.[31]

Whether one argues for or against a direct literary and theological relationship between the stories of Jewish martyrs and the gospel passion narratives, the Jewish martyrological materials―materials such as those in 2 Maccabees 6-7 and 4 Maccabees 5-18 in which historical facts are embedded in theological and philosophical narratives of an apologetic character―certainly lie in the background of the gospel passion and trial narratives and must be considered when judging the literary and historical character of the passion and trial accounts in the gospels.


Notes

[1] Jan Willem van Henten, The Maccabean Martyrs as Saviours of the Jewish People: A Study of 2 and 4 Maccabees (Leiden: Brill, 1997) 270-294.

[2] Van Henten, Maccabean Martyrs, 22.

[3] Jonathan A. Goldstein, II Maccabees. A New Translation with Introduction and Commentary (AB 41A; Garden City, N.Y.: Doubleday, 1983); Collins, “The Genre”, 5-11; Van Henten, Maccabean Martyrs, 270-294, esp. 272-278, 301; see the literature cited on p. 272 n. 11.

[4] Goldstein, II Maccabees, 285.

[5] Van Henten, Maccabean Martyrs, 70-73.

[6] In F. Millar’s judgment, concerning Antiochus’ drastic measures against the Jews, all that we can be certain of is the dedication of the Temple to Zeus Olympus, the favoured god of Antiochus, and the sacrifices of pigs which were carried out on a pagan altar constructed over the altar of burnt offering. See his “The Background to the Maccabean Revolution. Reflections on Martin Hengel’s ‘Judaism and Hellenism,’” Journal of Jewish Studies 29 (1978) 19 [1-21].

[7] See among others E. Schürer, The History of the Jewish People in the Age of Jesus Christ (175 B.C. - A.D. 135): A New English Version (rev. and eds. G. Vermes, F. Millar & M. Goodman; 3 vols.; Edinburgh: 1973-1987); F. Millar, “The Background to the Maccabean Revolution”, 1-21; Goldstein, II Maccabees, 84-112 (ch. 5); Van Henten, Maccabean Martyrs, 86-95.

[8] Goldstein, II Maccabees, 291.

[9] Goldstein, II Maccabees, 292.

[10] Van Henten, Maccabean Martyrs, 4, 57 (see pp. 51 ff. for Henten’s discussion on the date and provenance of 2 Maccabees).

[11] Sam K. Williams, Jesus’ Death as Saving Event: The Background and Origin of a Concept (HDR 2; Missoula: Scholar Press, 1975) 202 , dates the composition of 4 Maccabees to “a time antedating the period of Paul’s literary activity by at least a decade.” According to David Seeley, The Noble Death: Graeco-Roman Martyrology and Paul’s Concept of Salvation (Sheffield: JSOT Press, 1990) 83, it was composed between 20-54 CE. Crossan and Jonathan L. Reed, Excavating Jesus: Beneath the Stones, Behind the Texts (New York: HarperCollins, 2001) 256, dates it to the middle of the first century CE.

[12] Van Henten, Maccabean Martyrs, 4f., 73-82.

[13] Williams, Jesus’ Death as Saving Event, 76-90.

[14] Van Henten, Maccabean Martyrs, 20, 25. Some scholars call it also “tragic history” or “military history” (pp. 21, 21n.14).

[15] Van Henten, Maccabean Martyrs, 8; cf. Goldstein, II Maccabees, 282.

[16] David Seeley, Noble Death, 88-91.

[17] Brown, Death of Messiah, 2.1448.

[18] Brown, Death of Messiah, 1.32, 772, 2. 978, cf. 2. 951 n.36.

[19]Brown, Death of Messiah, 2.1487 n 42.

[20]Brown, Death of Messiah, 2.1489 (emphasis added).

[21] M. de Jonge, God’s Final Envoy: Early Christology and Jesus’ Own View of His Mission (Grand Rapids, Michigan/Cambridge:U.K.: Eerdmans, 1998) 30; cf. Dodd, History and the Gospel (New York: Charles Scribner’s Sons, 1938) 83.

[22]David Seeley, “Was Jesus a Philosopher? The Evidence of Martyrological and Wisdom Motifs in Q, Pre-Pauline Traditions, and Mark” in Society of Biblical Literature Seminar Papers 1989, 548 [540-549]; idem, Noble Death, ch. 5.

[23] Seeley, “Was Jesus a Philosopher?,” 548.

[24] Brown, Death of Messiah, 1.32.

[25] Brown, Death of Messiah, 1. 162, 187ff., 584, 612 n.45, 2.1027 n.102. See also p. 212 (the gospel picture of Jesus’ being given over, besides shaped by the Isaian and Psalmic portrait of the suffering just one, has a martyrological coloring).

[26] De Jonge, “Jesus’ Death for Others and the Death of the Maccabean Martyrs” in T. Baarda, A. Hilhorst, G.P. Luttikhuizen, A.S. van der Woude (eds.), Text and Testimony: Essays on New Testament and Apocryphal Literature in Honour of A.F.J. Klijn (Kampen: Kok, 1988) 151 [142-151] (emphasis original). This article has been republished in De Jonge’s collected essays, Jewish Eschatology, Early Christian Christology and the Testament of the Twelve Patriarchs (Leiden, etc.: Brill, 1991) 125-134.

[27] John Downing, “Jesus and Martyrdom”, Journal of Theological Studies 14.2 (1963) 289, 292, 293 [279-293].

[28] O’ Neill, “Did Jesus Teach that His Death Would be Vicarious?” in William Horbury and Brian McNeill, eds., Suffering and Martyrdom in the New Testament (Studies presented to G. M. Styler by the Cambridge New Testament Seminar; Cambridge, etc.: Cambridge University Press, 1981) 9-27.

[29] Harry T. Fleddermann, “Mark’s Use of Q: The Beelzebul Controversy and the Cross Saying” in Michael Labahn & Andreas Schmidt (eds.), Jesus, Mark and the Teaching of Jesus and Its Earliest Records (JSNTSup. 214; Sheffield: Sheffield Academic Press, 2001) 27-33 [17-33]. See also Peter Balla, “What did Jesus Think about his Approaching Death?” in Labahn and Schmidt, Ibid., 239-258.

[30] Van Henten, Maccabean Martyrs, 122.

[31] For such an interpretation, see Bruce Chilton, A Feast of Meanings. Eucharistic Theologies from Jesus Through Johannine Circles (Leiden, etc.:Brill, 1994) 63ff. (p. 74: “... Jesus’ practice at meals after the [failed] occupation of the Temple [is] an attempt to establish a surrogate for the sacrifice of thanksgiving.”); idem, “Ideological Diets in a Feast of Meanings” in Jesus in Context. Temple, Purity, and Restoration (eds. Bruce Chilton and Craig A. Evans; AGJU 39; Leiden, etc.: 1997) 59-89; idem, The Temple of Jesus. His Sacrificial Program within a Cultural History of Sacrifice (Pennsylvania: Pennsylvania State University Press, 1992); idem, “Trial of Jesus Reconsidered” in Chilton and Evans, Jesus in Context (republished also under the title “The So-Called Trial before the Sanhedrin” in Forum, New Series 1,1: On the Passion Narratives [Santa Rosa, CA: Polebridge Press, 1998] 163-180) 481-500 (pp. 494f.: “But why did they finally arrest Jesus? The last supper provides the key: something about Jesus’ meals after his occupation of the Temple caused Judas to inform on Jesus”; “In essence, Jesus made his meals into a rival altar”, “an alternative cultus.”)