Pada tahun 1973 The American Psychiatric Association (APA) mencabut homoseksualitas dari Manual Statistik dan Diagnostik Penyakit Mental (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder atau DSM), dus posisi sebelumnya (1952) yang melihat
homoseksualitas sebagai suatu penyakit mental dianulir./1/
Langkah progresif ini kemudian di tahun 1975 diikuti oleh The American Psychological Association (APA) dan The National Association of Social Workers (NASW) di Amerika Serikat.
Tujuh belas tahun setelah APA yang sudah disebut di atas membarui posisinya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) PBB pada 17 Mei 1990 juga sudah mengambil posisi yang sama, yang sudah dicantumkan dalam pedoman klinis WHO 1992 yang diberi judul ICD-10 (International Statistical Classification on Diseases and Related Health Problems-10). Kemudian, dengan dilandasi sejumlah pertimbangan penting yang diuraikan dalam sebuah kertas kerja Komisi HAM (HRC) PBB tanggal 24 September 2014, Komisi HAM PBB ini akhirnya memutuskan (26 September 2014) untuk mendukung dan mengakui sepenuhnya HAM kaum LGBT sebagai bagian dari “HAM yang universal”./2/
Tiga
lembaga yang telah disebut pada alinea pertama di atas (APA, APA, dan NASW) memberi batasan-batasan yang jelas tentang konsep
modern “orientasi seksual” (OS) sebagai “suatu pola kelakuan atau watak yang
menetap pada seseorang dalam mengalami ketertarikan seksual, romantik
dan afeksional khususnya terhadap laki-laki, perempuan, atau sekaligus
terhadap laki-laki dan perempuan.” Karena didorong orientasi seksualnya
ini, seseorang “membangun suatu hubungan pribadi yang intim dengan mitra
pilihannya untuk memenuhi kebutuhan akan cinta, persekutuan dan
keintiman yang sangat kuat dirasakannya”, hubungan yang dipandangnya
“memuaskan dan memenuhi semua harapannya dan merupakan suatu bagian
esensial jati diri pribadinya”./3/
OS ini khas, berbeda dari komponen-komponen seks dan seksualitas
lainnya, seperti seks biologis (hal-hal yang mencakup anatomi, fisiologi
dan genetika yang membuat seseorang menjadi laki-laki atau perempuan),
identitas gender (penghayatan psikologis sebagai laki-laki atau
perempuan), dan peran sosial gender (menyangkut perilaku maskulin atau
perilaku feminin, yang definisinya diberikan berdasarkan norma-norma
kultural yang berlaku dalam suatu masyarakat).
Biasanya OS ini dilihat mencakup tiga golongan, yakni
heteroseksual (tertarik secara seksual romantik terhadap mitra seks dari
lain jenis), homoseksual (tertarik secara seksual romantik terhadap
mitra seks sejenis), dan biseksual (tertarik secara seksual romantik
terhadap mitra seks lelaki dan mitra seks perempuan sekaligus). Sekarang ini OS dilihat dalam spektrum yang lebih berwarna-warni yang biasanya disebut sebagai spektrum OS LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Queer). Ini harus ditambah dengan OS hetero, menjadi HLGBTIQ.
Bagaimana sikap Indonesia?
Dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ III) edisi 1993, Departemen Kesehatan RI, homoseksualitas tidak dipandang sebagai suatu gangguan jiwa./4/ Pada hlm. 288 buku PPDGJ III tercantum dengan jelas kata-kata ini: “Catatan: Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai suatu gangguan.” Dinyatakan juga bahwa yang termasuk orientasi seksual adalah heteroseksualitas, homoseksualitas dan biseksualitas. Ditulis juga di halaman yang sama bahwa meskipun bukan suatu gangguan jiwa, OS LGBT seseorang dapat menimbulkan penderitaan karena ketidakpastian tentang identitas jenis kelamin atau orientasi seksual dapat menimbulkan kecemasan dan depresi.
Harus jelas buat anda: OS apapun bukan gangguan mental; tetapi ketidaksiapan si individu untuk menerima OS-nya yang LGBT (lantaran stigma negatif banyak diarahkan masyarakat kepada orang LGBT, juga oleh orangtua dan keluarga sendiri) dapat menimbulkan gangguan mental pada dirinya, mulai dari rasa cemas, stres, depresi, kecanduan narkotik, tidak percaya diri, berkeliaran di jalan-jalan, hingga kemungkinan bunuh diri, atau dia berusaha mencari bantuan untuk diterapi menjadi heteroseksual. Dalam psikologi, LGBT jenis ini digolongkan LGBT tipe distonik.
Sangat disayangkan, saya membaca sebuah berita di koran online Kompas, 19 Februari 2016, bahwa psikiater dan direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA di Kemenkes RI, dr. Fidiansyah SpKJ MPH, pada acara Indonesia Lawyers Club di TV One 16 Februari 2016, menyatakan kepada publik bahwa OS LGBT adalah gangguan jiwa sebagaimana, menurutnya, telah dinyatakan dalam buku tebal PPDGJ III yang sudah dirujuk di atas. Tak lama sesudah acara di TV One itu, muncul cukup banyak kritik di berbagai media massa terhadap dr. Fidiansyah yang dinilai telah memelintir dan menutupi kebenaran ketika dia sengaja tidak membaca bagian-bagian penting dari buku PPDGJ III yang dengan terang menegaskan bahwa OS LGBT bukan gangguan mental, sebagaimana sudah diungkap di atas./5/
Lebih memprihatinkan lagi, saya dapat kabar tak bagus dari sejumlah teman yang mereka kirim dalam bentuk screenshots lewat HP, akun FB dan akun Twitter. Konon (!) pada 19 Februari 2016 Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI) telah mengeluarkan sebuah pernyataan sikap sepanjang dua halaman yang intinya sejalan dengan pendapat dr. Fidiansyah. Pernyataan sikap ini ditandatangani oleh Ketua Umum PP PDSKJI, dr. Danardi Sosrosumihardjo, SpKJ (K). Mereka menyatakan bahwa homoseksualitas dan biseksualitas dapat dikategorikan sebagai Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), dan kalangan transeksualitas sebagai Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Menurut mereka juga, semua kalangan OS ini perlu “direhabilitasi”, dan riset tentang OS perlu diadakan dengan berbasis kearifan lokal, budaya, aspek religi dan spiritual bangsa. Sekarang ini situs web www.pdskji.org sudah tidak bisa diakses lagi, entah mengapa.
Hemat saya dalam hal ini PP PDSKJI telah mengubah fakta ilmiah yang telah memperlihatkan bahwa OS LGBT memiliki basis kuat pada genetika dan biologi―dan dengan demikian sama sekali bukan suatu gangguan kejiwaan―dengan menjadikan riset OS LGBT sebagai riset tentang hal-hal yang non-biologis: kearifan lokal, budaya, agama dan kerohanian bangsa sendiri. Kita semua tahu, hasil riset ilmiah yang menemukan basis kuat genetis untuk OS LGBT sama sekali tidak bisa dipelintir atau diubah menjadi riset tentang hal-hal yang non-genetik itu.
Tentu saja, pendekatan yang komprehensif terhadap usaha memahami dan menjelaskan OS LGBT sangat disambut baik oleh siapapun sejauh usaha ini tidak menutup fakta terpenting bahwa OS LGBT juga punya basis kuat pada biologi manusia, sebagaimana nanti akan saya bentangkan panjang lebar dalam bagian 2 tulisan saya ini.
Selain itu, belum lama ini Menristek RI, Muhamad Nasir, sempat mengeluarkan sebuah larangan untuk semua bentuk kegiatan yang terkait dengan LGBT (misalnya seminar, diskusi, konsultasi, konseling) di semua kampus di seluruh NKRI.
Tapi bagi mahaguru psikologi Universitas Indonesia, Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, sikap Menristek ini hanyalah sebuah reaksi bertahan (defense mechanism) yang mewakili salah satu unsur dalam masyarakat yang melihat kaum LGBT sebagai suatu ancaman yang membahayakan masyarakat. Selanjutnya, Prof. Sarlito menegaskan bahwa “Saya yakin LGBT di Indonesia tidak akan punah, karena LGBT itu sebagian dari sunatullah juga.”/6/
Pada 9 Maret 2016, ketua American Psychiatric Association (APA),
Ms. Renée Binder, bersama Saul Levin, atas nama APA telah menulis sebuah
surat resmi kepada PDSKJI terkait soal LGBT
di Indonesia. Lewat surat itu (yang ditujukan ke Dr. Tun Kurniasih Bastaman), APA mendesak PDSKJI untuk meninjau kembali
posisi PDSKJI yang menyatakan bahwa homoseksualitas (atau LGBT) tergolong suatu gangguan jiwa atau suatu penyakit mental, lantaran
posisi PDSKJI ini tidak memiliki bukti ilmiah apapun yang mendukung. Selanjutnya APA menegaskan bahwa “ada suatu komponen biologis yang kuat
yang membentuk OS, dan bahwa OS dapat dipengaruhi oleh interaksi
faktor-faktor genetik, hormonal dan lingkungan kehidupan. Pendek kata,
tidak ada bukti ilmiah bahwa OS (baik heteroseksual, homoseksual, maupun
yang bukan) adalah suatu pilihan bebas individual.”/7/
Jujur saja, saya merasa malu atas fakta ini bahwa para
psikiater Indonesia sampai perlu diingatkan, jika bukan ditegur, oleh APA. Apa saja yang
mereka sudah baca dan telaah selama ini? Jurnal-jurnal ilmiah ataukah
kitab-kitab lain, kitab suci misalnya?
Baru saja saya membaca sebuah berita yang
membenarkan dugaan saya. Dibandingkan APA, ternyata para psikiater dalam PDSKJI telah
sangat jauh ketinggalan dalam pengetahuan mereka tentang hasil-hasil
riset-riset mutakhir dalam sains tentang OS. PDSKJI dan APA memang tidak punya hubungan kelembagaan yang hierarkis.
Tapi sifat hubungan organisatoris ini tidak penting, dan sama sekali
bukan soal yang utama.
Penting diketahui: Telah diklaim bahwa selama ini PDSKJI memakai standard klinis diagnosis LGBT dari hasil
riset WHO ICD-10 (International Statistical Classification on
Diseases and Related Health Problems-10) yang dikeluarkan WHO tahun
1992. Ini patokan 24 tahun lalu. Patokan yang sudah kadaluarsakah?
Bagaimanapun juga, mengingat reputasi tinggi WHO selama ini, saya masih harus memeriksa apakah betul ICD-10 WHO menggolongkan homoseksualitas sebagai suatu gangguan jiwa atau suatu penyakit mental. Jangan-jangan, ICD-10 dengan keliru hanya dijadikan seekor kambing hitam saja oleh PDSKJI di tahun 2016 ini! Alasan saya menyatakan hal ini sangat jelas.
Sudah saya tulis di atas bahwa PPDGJ III edisi 1993 memuat sebuah catatan bahwa OS LGBT bukan gangguan jiwa atau penyakit mental. Jika betul ICD-10 menjadi pedoman PPDGJ III, maka pastilah LGBT dalam ICD-10 tidak dinyatakan sebagai suatu penyakit atau gangguan mental. Lagipula, seperti sudah saya tulis pada alinea-alinea awal, pada 17 Mei 1990 WHO sudah mengikuti posisi APA tahun 1973! Jadi, sebetulnya saya tidak perlu membolak-balik lagi halaman-halaman ICD-10 WHO.
Masalah muncul ketika di awal 2016 ini dr. Fidiansyah SpKJ MPH menyatakan kepada masyarakat Indonesia bahwa LGBT adalah suatu gangguan jiwa meskipun dia merujuk ke PPDGJ III. Apakah gerangan yang sedang terjadi?
Baru saja, 24 Maret 2016, saya baca sebuah berita di Rappler.com
bahwa dr. Fidiansyah telah meminta maaf kepada publik atas
pernyataannya di ILC TV One 16 Februari 2016 bahwa LGBT adalah suatu
gangguan jiwa. Namun beliau tetap berpendapat bahwa LGBT adalah suatu gangguan jiwa. Bahkan beliau menegaskan OS hetero adalah “fitrah seksual yang diridoi dan diberkati Allah SWT.”/8/ Tentu saja, klaim beliau ini sudah berada di luar bidang psikiatri.
Lalu, bagaimana dengan APA? Lembaga
yang berpusat di Amerika Serikat ini memakai patokan klinis OS yang
dinamakan DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder-5)
tahun 2013. DSM-5 adalah patokan yang umum dipakai sekarang ini di
dunia karena kemutakhiran analisis dan diagnosisnya./9/
Dalam dua puluh tahun
terakhir ini riset OS sudah maju pesat dan sudah menghasilkan banyak
pengetahuan baru.
Tulisan panjang saya ini (yang selalu diusahakan dimutakhirkan) membeberkan temuan-temuan ilmiah tentang OS
HLGBT sejak 1993 hingga 2016, tentu tidak seluruhnya. Saya bukan seorang psikiater. Tapi jelas,
pengetahuan saya tentang HLGBT lebih maju dibandingkan pengetahuan
para psikiater dalam PDSKJI.
Itulah kondisi memprihatinkan
dunia psikiatri di Indonesia. Ketinggalan kemajuan pesat dalam riset OS
HLGBT. Pantesan sempat muncul desas-desus bahwa LGBT dapat disembuhkan
dengan cara Indonesia: yakni mereka perlu direbus dalam air bersuhu 80-85 derajat celcius dengan dicampur ramuan rempah-rempah. Kemudian ada ralat
bahwa yang mau disembuhkan dengan direbus itu adalah pasien NAPZA.
Hemat saya jika cara ini yang akan ditempuh (entah untuk LGBT atau untuk pecandu NAPZA), bersiaplah kita dengan potensi terjadinya “homicidal crime”. Jika desas-desus ini benar, maka orang-orang yang mengklaim diri profesional dalam usaha menyembuhkan LGBT atau pasien NAPZA memandang setiap pasien mereka sebagai segumpal besar daging sapi segar yang perlu direbus!
Saya
tahu ada usaha untuk mereparasi LGBT dengan “mengotak-atik” apa yang dinamakan Emotional
Spiritual Quotient (ESQ), sementara ESQ, kita harus tahu, tidak diterima
secara umum di kalangan psikolog kognitif sebagai suatu kecerdasan (“intelligence”). Tapi soal
utamanya bukan itu, tetapi ini: LGBT masuk bidang biologi dan genetika, bukan
bidang psikologi (kendati berdampak pada psikologi), bukan soal
kerohanian (meskipun berdampak pada kerohanian), dan juga bukan soal kecerdasan!
Begitulah situasinya jika para psikiater Indonesia tidak lagi mengikuti
perkembangan riset sains tentang OS selama dua puluh tahun belakangan
ini. Mungkin mereka terlalu sibuk dengan urusan masing-masing sebagai psikiater. Atau, mungkin saja, sebetulnya hal lain yang sudah dan sedang terjadi: sains
ditaklukkan oleh agama. Padahal yang seharusnya terjadi ini:
sains membimbing agama-agama untuk perumusan ulang. Jika di NKRI sains sedang ditaklukkan agama, maka kita semua sedang masuk kembali ke zaman jahiliah, zaman kegelapan dan kebodohan, zaman prailmiah! Gawatnya, banyak sarjana sains Indonesia sedang membawa NKRI mundur ke sana!
Legalisasi perkawinan sesama jenis seks di Amerika
Jumat, 26 Juni 2015, Mahkamah Agung Amerika Serikat mengambil
sebuah keputusan penting melegalisasi perkawinan sesama jenis seks untuk
seluruh warganegara Amerika di semua 50 negara bagian. Keputusan ini
diambil dengan kemenangan tipis kubu para hakim agung yang liberal
versus kubu para hakim agung yang konservatif (5:4). Hakim Agung
konservatif John G. Roberts Jr. membuat sebuah pernyataan tertulis yang
dibacakannya setelah keputusan diambil, “Jika anda berada di antara
orang Amerika, apapun orientasi seksual anda, dan telah memilih untuk
memperluas perkawinan sesama jenis seks, rayakanlah keputusan hari ini
dengan segenap hati. Rayakanlah tujuan yang diinginkan dan yang telah
dicapai. Rayakanlah kesempatan untuk mengekspresikan secara baru
komitmen kepada pasangan anda. Rayakanlah manfaat-manfaat baru yang
sudah tersedia. Tapi jangan rayakan UU. Perayaan ini tidak ada
sangkut-pautnya dengan UU.”
Di Rose Garden Gedung Putih, atas keputusan
Mahkamah Agung Amerika ini, Presiden Barack Obama menyatakan hal berikut
ini,
“Ketentuan perundang-undangan ini adalah sebuah kemenangan bagi
Amerika. Keputusan ini mengafirmasi apa yang jutaan orang Amerika telah
percayai dalam hati mereka. Di saat semua orang Amerika diperlakukan
setara, kita menjadi lebih bebas lagi.”/10/
Reaksi-reaksi keras dan negatif dari
banyak aliran agama-agama sudah dan akan pasti bermunculan, di seluruh dunia,
terhadap keputusan MA Amerika itu. Mungkin juga, kalangan
pedofilik di Amerika akan (atau malah sudah) menuntut hal yang sama, yakni meminta untuk
pedofilia dipandang sebagai sebuah OS lain lagi, bukan
sebuah tindak kejahatan seksual yang menjadikan anak-anak korban mereka, bukan mitra ikhlas seksual mereka. Begitu juga, inses juga bisa saja nanti
diminta untuk dipandang sebagai suatu kewajaran, bahkan sah di mata
hukum. Nekrofilia jelas adalah suatu kelainan mental dan pelakunya sangat langka dalam dunia ini. Tentu saja, dua kemungkinan yang disebut pertama (pedofilia dan inses) sangat tidak masuk akal, dan pemerintah AS tentu saja tidak akan begitu saja memenuhi tuntutan mereka yang diajukan atas nama kebebasan sipil.
Tetapi
bagaimana pandangan rakyat Amerika sendiri terhadap perkawinan sesama
jenis? Sebelum MA Amerika mengambil keputusan melegalisasi perkawinan
sesama homoseksual, Pew Research Center telah melakukan survei
pendahuluan yang luas yang berkaitan dengan isu-isu seksualitas manusia,
isu homoseksualitas dan perkawinan sesama jenis khususnya, dalam
hubungan dengan berbagai isu sosial, etnisitas, politik, kultural,
keagamaan dan lain-lain. Survei PRC yang diadakan 12-18 Mei 2015
mengungkapkan kondisi-kondisi berikut.
Kurang
lebih tiga perempat (73%) orang Amerika yang mengenal banyak gay dan
lesbian, dan dua pertiga (66%) dari orang-orang yang memiliki
teman-teman dekat atau anggota-anggota keluarga yang gay atau lesbian,
menyatakan bahwa mereka mendukung perkawinan sesama jenis seks. Dan
hampir separuh (48%) orang Amerika yang memiliki banyak kenalan yang
gay, dan 38% dari mereka yang memiliki sahabat-sahabat dekat atau
anggota-anggota keluarga yang gay, dengan kuat mendukung kalangan gay
dan lesbian untuk menikah resmi.
Tetapi ada jauh lebih sedikit dukungan terhadap perkawinan sesama jenis
seks di antara orang-orang yang memiliki sedikit atau sama sekali tidak
mempunyai kenalan-kenalan yang gay atau lesbian. Begitu juga keadaannya
di antara orang-orang yang tidak mempunyai teman dekat atau anggota
keluarga yang gay atau lesbian. Hanya 32% dari orang-orang yang tidak
mempunyai kenalan yang gay atau lesbian yang mendukung perkawinan sesama
gay atau sesama lesbian, dan 58% menolak (dengan 30% menyatakan bahwa
mereka menolak keras perkawinan sesama jenis)./11/
Reaksi gereja-gereja di Indonesia
Bagaimana dengan sikap Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia (PGI) terhadap legalisasi pernikahan sejenis?
Kepala Biro Hubungan Masyarakat PGI, Jeirry Sumampow, menyatakan, “Kita
masih dalam proses untuk melakukan kajian karena di lingkup PGI hal itu
masih kontroversial, dengan beberapa pertimbangan.”/12/ Sebaliknya,
Sekretaris Umum PGI, Pdt Gomar Gultom, menegaskan bahwa gereja tidak
akan merestui dan memberlakukan perkawinan sejenis karena hanya mengakui
perkawinan antara laki-laki dan perempuan./13/
Gereja Roma
Katolik di Indonesia lewat Romo Benny Susetyo sudah menyatakan sikap
mereka. Katanya, “Karena mengikuti sikap tahta suci Vatikan dan pendapat
Paus (Fransiskus), GRK di Indonesia sejak awal tidak mengakui
perkawinan sejenis karena menyalahi kodrat manusia yang diciptakan Tuhan
berpasangan laki-laki dan perempuan." Menurut sang romo, MA Amerika
dapat melegalisasi perkawinan sejenis karena Partai Demokrat yang sedang
berkuasa, yang memang liberal, mendukung perkawinan sejenis. Jadi,
keputusan MA Amerika Serikat itu adalah keputusan politik. Kata sang Romo, “Nanti juga
akan diubah lagi jika partai yang nanti akan berkuasa adalah Partai
Republik yang memegang pandangan lain (yang konservatif).”/14/
Apakah
keputusan MA Amerika itu hanya bersifat politis, tanpa didukung
kajian-kajian
ilmiah terhadap seksualitas manusia, etika dan prinsip-prinsip HAM,
biarlah sang romo itu yang mencari
tahu sendiri. Selain itu, jika sang romo ini benar bahwa keputusan MA
Amerika itu murni sebuah keputusan politik, hemat saya keputusan politik
ini dungu, sebab tidak populer dan akan pasti ditentang sangat banyak
rakyat Amerika sehingga akan menggoyahkan partai yang sedang berkuasa.
Apa betul, MA Amerika itu dungu? Lagi pula, apa betul MA Amerika bisa
diintervensi oleh partai politik yang sedang berkuasa?
Sosok-sosok
penting di PGI dan di GRK itu, kendatipun mereka, di satu pihak,
menolak legalisasi perkawinan sejenis, namun, di lain pihak, mereka
masih bisa menyatakan bahwa mereka, juga gereja-gereja, akan tetap
menghargai dan menerima kalangan LGBT untuk hidup, atas nama HAM dan
toleransi, bahkan, tegas mereka lagi, gereja-gereja tetap mencintai
kalangan ini.
Tetapi hemat saya, bagaimana mungkin mereka bisa total
menerima kalangan gay dan lesbi sementara kalau kalangan ini mau menikah
dengan sesama jenis, sosok-sosok terhormat di dua gereja itu menolak
dengan tegas. Ada dualisme di sini dalam diri mereka masing-masing.
Setengah hati merangkul, dan setengah hati lagi mendepak. Salah satu hak
untuk hidup, sebagai bagian dari HAM, adalah hak untuk menikah. Tanpa
hak untuk menikah diakui dan diwujudkan, ya HAM juga dilanggar.
Saya
sedang berpikir-pikir, apakah tepat jika mereka saya katakan munafik,
berwajah ganda? Selain itu, mereka juga masih memegang pandangan
keagamaan yang kuno bahwa ikatan perkawinan dibangun untuk tujuan
mendapatkan keturunan; dus, perkawinan sesama jenis tidak bisa
dilegalisasi. Siapa bilang, orang menikah hanya untuk tujuan prokreasi?
Juga, siapa bilang, perkawinan sesama jenis tidak memungkinkan mereka mempunyai anak yang mereka akan besarkan bersama? Maksud saya, bukan dengan cara mengadopsi anak, tetapi
lahir dari tubuh mereka sendiri! Aah, yang benar? Mana mungkin? OK, mari kita berpaling ke sains!
Suatu tim ilmuwan dari Universitas Cambridge, Inggris, dan Weizmann
Institute of Science, Israel, baru-baru ini telah berhasil menemukan
sebuah teknik genetika untuk menghasilkan bayi manusia dari sel-sel
kulit orangtua si bayi dengan menggunakan gen yang dinamakan SOX17.
Gen
SOX17 digunakan untuk memprogram ulang sel-sel kulit manusia untuk
menjadi “sel-sel
germ primordial” (“Primordial Germ Cells”, atau PGCs, yakni sel-sel
pendahulu telur dan sel-sel sperma), yang kemudian akan berkembang
menjadi janin-janin manusia. Proses ini dapat dijalankan untuk
memberikan bayi-bayi baik bagi pasangan heteroseksual yang mandul maupun
bagi pasangan homoseksual.
Selain itu, teknik mutakhir reproduksi ini
juga dapat menghilangkan mutasi-mutasi epigenetik yang menyebabkan
terjadinya kesalahan-kesalahan pada sel-sel tubuh manusia ketika orang
mulai menua, yakni dengan cara menyetel ulang dan meregenerasi sel-sel
yang sudah tua./15/
Pernyataan pastoral PGI
Tetapi baru-baru ini muncul sesuatu yang sangat menarik, suatu sikap dan
posisi “terobosan” dari PGI terkait OS LGBT, yang melawan arus kuat
anti-LGBT umumnya di gereja-gereja di Indonesia, bahkan di
komunitas-komunitas keagamaan lain di negara ini, dan juga melawan
pendapat sejumlah petinggi pemerintahan NKRI. Terobosan PGI ini sudah
dan sedang menimbulkan kontroversi panas, yang diwarnai kata-kata pedas
dan pelecehan terhadap Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI, dan berbagai
ancaman sejumlah gereja untuk keluar dari PGI lantaran mereka berasumsi
PGI kini sudah menjadi liberal dan bermaksud “menyeragamkan sikap dan
posisi doktrinal” semua gereja anggotanya terhadap OS LGBT.
Saya sendiri heran atas reaksi-reaksi yang naif itu, dan bertanya-tanya
sejak kapan PGI telah berubah menjadi sebuah lembaga penyeragaman sikap
dan posisi doktrinal semua gereja anggotanya. Tak pernah PGI
mengeluarkan pernyataan Nihil Opstat (“tidak ada pelanggaran atau
hambatan doktrinal”) dan Imprimatur (“Silakan dicetak/diterbitkan”) pada
semua karya tulis para pendeta dalam gereja-gereja anggotanya, tidak
seperti dalam Gereja Roma Katolik. Sebaliknya, beberapa gereja anggota
PGI bernafsu besar untuk menerapkan sensor pada PGI, organisasi induk
mereka.
Di awal minggu ketiga Juli 2016, bahkan pimpinan sinode sebuah gereja di
Indonesia bagian timur (yaitu GMIM) sudah menyelengarakan sebuah
konferensi yang bertujuan tunggal, yaitu menolak sikap dan posisi PGI
terhadap LGBT, dan dalam konferensi itu disebut (oleh seseorang) bahwa
lewat pernyataan sikap dan posisi PGI tentang LGBT, PGI telah melakukan
sebuah kejahatan kemanusiaan. Bagi saya, tuduhan keji ini harus
dibalikkan arahnya: para homofobik atau pembenci dan penyerang LGBT
itulah yang justru sedang melakukan kejahatan kemanusiaan, bukan para
pembela LGBT seperti PGI dan Peruati (Persekutuan Perempuan
Berpendidikan Teologi, yang sekarang diketuai Pdt. Ruth Ketsia Wangkai,
2015-2019).
Pada 28 Mei 2016 MPH PGI mengeluarkan sebuah Pernyataan Pastoral tentang
LGBT yang lumayan panjang. Semua poin yang dikemukakan sangat penting,
dan, hemat saya, memiliki pijakan kuat pada temuan-temuan sains mutakhir
tentang OS LGBT dan pada kajian-kajian ilmiah atas sejumlah teks
Alkitab yang terkait dengan homoseksualitas. Karena itulah, saya
mendukung dan membela sepenuhnya pernyataan pastoral PGI tersebut di
berbagai forum, meskipun saya tidak punya hubungan kelembagaan apapun
dengan PGI. Berikut ini dengan sangat ringkas dan padat saya sajikan
sejumlah hal penting yang dimuat dalam pernyataan pastoral PGI tentang
OS LGBT.
Sebagaimana semua hal lain dalam dunia ini, OS itu beranekaragam,
dan merupakan sebuah realitas yang Allah berikan kepada kita, yang harus
bisa kita terima dengan sikap positif dan realistik; Jadi, setiap LGBT
adalah manusia ciptaan Allah yang sangat dikasihi-Nya;
Kecenderungan LGBT adalah suatu fenomena yang sudah ada sejak masa
lalu, bukan produk kebudayaan modern, dan juga bukan produk kebudayaan
Barat. Dalam masyarakat Indonesia, LGBT sudah sejak dulu diakomodasikan
dalam kebudayaan sejumlah suku;
Alkitab memang menyinggung fenomena LGBT, tapi Alkitab tidak memberi
penilaian moral-etik terhadap keberadaan LGBT; Alkitab tidak mengkritik
OS seseorang, tapi mengkritik perilaku seksual yang jahat dan
eksploitatif yang dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh kaum
heteroseksual atau kaum yang selama ini dianggap “normal”;
Teks-teks Alkitab yang menyebut hal-hal yang terkait dengan seks
tidak dimaksudkan untuk menyerang, menolak atau mendiskriminasi
keberadaan LGBT. Apa yang ditolak dalam teks-teks Alkitab adalah segala
jenis perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh
siapapun, atas dasar apapun, termasuk atas dasar agama, dan ditujukan
terhadap siapapun, termasuk terhadap perempuan, laki-laki dan anak-anak;
Bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT bukan pilihan, tapi sesuatu
yang “terterima” (“given”, atau “terberi”). Karena itu, menjadi LGBT
bukan suatu dosa. Alhasil, kita tidak boleh memaksa mereka untuk
bertobat, atau untuk berubah. Sebaliknya, kita harus menolong mereka
supaya mereka bisa menerima OS diri sendiri sebagai pemberian Allah.
Kita harus memberikan kesempatan agar mereka bisa tumbuh sebagai manusia
yang utuh secara fisik, mental, sosial dan spiritual.
Selanjutnya, MPH PGI menghimbau gereja-gereja anggotanya untuk
mempersiapkan dan memberikan bimbingan pastoral kepada keluarga-keluarga
Kristen agar mereka mampu menerima dan merangkul serta mencintai
anggota-anggota keluarga mereka yang berkecenderungan LGBT. Diingatkan
bahwa penolakan keluarga terhadap anggota-anggota keluarga yang LGBT
berpotensi menimbulkan gangguan kejiwaan dan penolakan terhadap diri
sendiri yang dapat berakibat makin meningkatnya potensi untuk bunuh diri
di kalangan LGBT.
MPH PGI juga mengingatkan bahwa selama ini kalangan LGBT telah mengalami
penderitaan fisik, mental-psikologis, sosial, spiritual, karena
stigmatisasi keagamaan terhadap mereka dan perlakuan keras oleh sebagian
masyarakat. Mereka menjadi kelompok yang direndahkan, dikucilkan, dan
didiskriminasi, bahkan juga oleh negara. Gereja harus mengambil sikap
berbeda. Gereja bukan saja harus menerima mereka, tapi juga harus
berjuang agar hak-hak kaum LGBT bisa diterima dan diakui oleh masyarakat
dan negara, khususnya hak-hak untuk tidak didiskriminasi atau
dikucilkan, untuk dilindungi terhadap kekerasan, untuk bekerja, untuk
sekolah, untuk menjadi sarjana, dan sebagainya.
Lebih luas, PGI meminta para petinggi negara untuk menjamin agar HAM dan
martabat kaum LGBT dihormati, dan mereka harus diberi kesempatan untuk
hidup dalam keadilan dan perdamaian. PGI juga menyatakan kesadaran
mereka bahwa gereja dan masyarakat Indonesia masih belum bisa menerima
pernikahan sejenis; masih diperlukan dialog dan percakapan yang lebih
mendalam menyangkut soal ini.
Selengkapnya :
http://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/seluk-beluk-orientasi-seksual-lgbt-bagian-2_5785e03eaf9273c0056eeb97
Tetapi baru-baru ini
muncul sesuatu yang sangat menarik, suatu sikap dan posisi “terobosan”
dari PGI terkait OS LGBT, yang melawan arus kuat anti-LGBT umumnya di
gereja-gereja di Indonesia, bahkan di komunitas-komunitas keagamaan lain
di negara ini, dan juga melawan pendapat sejumlah petinggi pemerintahan
NKRI. Terobosan PGI ini sudah dan sedang menimbulkan kontroversi panas,
yang diwarnai kata-kata pedas dan pelecehan terhadap Majelis Pekerja
Harian (MPH) PGI, dan berbagai ancaman sejumlah gereja untuk keluar dari
PGI lantaran mereka berasumsi PGI kini sudah menjadi liberal dan
bermaksud “menyeragamkan sikap dan posisi doktrinal” semua gereja
anggotanya terhadap OS LGBT.
Saya sendiri heran atas reaksi-reaksi yang naif itu, dan bertanya-tanya
sejak kapan PGI telah berubah menjadi sebuah lembaga penyeragaman sikap
dan posisi doktrinal semua gereja anggotanya. Tak pernah PGI
mengeluarkan pernyataan Nihil Opstat (“tidak ada pelanggaran atau
hambatan doktrinal”) dan Imprimatur (“Silakan dicetak/diterbitkan”) pada
semua karya tulis para pendeta dalam gereja-gereja anggotanya, tidak
seperti dalam Gereja Roma Katolik. Sebaliknya, beberapa gereja anggota
PGI bernafsu besar untuk menerapkan sensor pada PGI, organisasi induk
mereka.
Di awal minggu ketiga Juli 2016, bahkan pimpinan sinode sebuah gereja di
Indonesia bagian timur (yaitu GMIM) sudah menyelengarakan sebuah
konferensi yang bertujuan tunggal, yaitu menolak sikap dan posisi PGI
terhadap LGBT, dan dalam konferensi itu disebut (oleh seseorang) bahwa
lewat pernyataan sikap dan posisi PGI tentang LGBT, PGI telah melakukan
sebuah kejahatan kemanusiaan. Bagi saya, tuduhan keji ini harus
dibalikkan arahnya: para homofobik atau pembenci dan penyerang LGBT
itulah yang justru sedang melakukan kejahatan kemanusiaan, bukan para
pembela LGBT seperti PGI dan Peruati (Persekutuan Perempuan
Berpendidikan Teologi, yang sekarang diketuai Pdt. Ruth Ketsia Wangkai,
2015-2019).
Pada 28 Mei 2016 MPH PGI mengeluarkan sebuah Pernyataan Pastoral tentang
LGBT yang lumayan panjang. Semua poin yang dikemukakan sangat penting,
dan, hemat saya, memiliki pijakan kuat pada temuan-temuan sains mutakhir
tentang OS LGBT dan pada kajian-kajian ilmiah atas sejumlah teks
Alkitab yang terkait dengan homoseksualitas. Karena itulah, saya
mendukung dan membela sepenuhnya pernyataan pastoral PGI tersebut di
berbagai forum, meskipun saya tidak punya hubungan kelembagaan apapun
dengan PGI. Berikut ini dengan sangat ringkas dan padat saya sajikan
sejumlah hal penting yang dimuat dalam pernyataan pastoral PGI tentang
OS LGBT.
Sebagaimana semua hal lain dalam dunia ini, OS itu beranekaragam,
dan merupakan sebuah realitas yang Allah berikan kepada kita, yang harus
bisa kita terima dengan sikap positif dan realistik; Jadi, setiap LGBT
adalah manusia ciptaan Allah yang sangat dikasihi-Nya;
Kecenderungan LGBT adalah suatu fenomena yang sudah ada sejak masa
lalu, bukan produk kebudayaan modern, dan juga bukan produk kebudayaan
Barat. Dalam masyarakat Indonesia, LGBT sudah sejak dulu diakomodasikan
dalam kebudayaan sejumlah suku;
Alkitab memang menyinggung fenomena LGBT, tapi Alkitab tidak memberi
penilaian moral-etik terhadap keberadaan LGBT; Alkitab tidak mengkritik
OS seseorang, tapi mengkritik perilaku seksual yang jahat dan
eksploitatif yang dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh kaum
heteroseksual atau kaum yang selama ini dianggap “normal”;
Teks-teks Alkitab yang menyebut hal-hal yang terkait dengan seks
tidak dimaksudkan untuk menyerang, menolak atau mendiskriminasi
keberadaan LGBT. Apa yang ditolak dalam teks-teks Alkitab adalah segala
jenis perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh
siapapun, atas dasar apapun, termasuk atas dasar agama, dan ditujukan
terhadap siapapun, termasuk terhadap perempuan, laki-laki dan anak-anak;
Bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT bukan pilihan, tapi sesuatu
yang “terterima” (“given”, atau “terberi”). Karena itu, menjadi LGBT
bukan suatu dosa. Alhasil, kita tidak boleh memaksa mereka untuk
bertobat, atau untuk berubah. Sebaliknya, kita harus menolong mereka
supaya mereka bisa menerima OS diri sendiri sebagai pemberian Allah.
Kita harus memberikan kesempatan agar mereka bisa tumbuh sebagai manusia
yang utuh secara fisik, mental, sosial dan spiritual.
Selanjutnya, MPH PGI menghimbau gereja-gereja anggotanya untuk
mempersiapkan dan memberikan bimbingan pastoral kepada keluarga-keluarga
Kristen agar mereka mampu menerima dan merangkul serta mencintai
anggota-anggota keluarga mereka yang berkecenderungan LGBT. Diingatkan
bahwa penolakan keluarga terhadap anggota-anggota keluarga yang LGBT
berpotensi menimbulkan gangguan kejiwaan dan penolakan terhadap diri
sendiri yang dapat berakibat makin meningkatnya potensi untuk bunuh diri
di kalangan LGBT.
MPH PGI juga mengingatkan bahwa selama ini kalangan LGBT telah mengalami
penderitaan fisik, mental-psikologis, sosial, spiritual, karena
stigmatisasi keagamaan terhadap mereka dan perlakuan keras oleh sebagian
masyarakat. Mereka menjadi kelompok yang direndahkan, dikucilkan, dan
didiskriminasi, bahkan juga oleh negara. Gereja harus mengambil sikap
berbeda. Gereja bukan saja harus menerima mereka, tapi juga harus
berjuang agar hak-hak kaum LGBT bisa diterima dan diakui oleh masyarakat
dan negara, khususnya hak-hak untuk tidak didiskriminasi atau
dikucilkan, untuk dilindungi terhadap kekerasan, untuk bekerja, untuk
sekolah, untuk menjadi sarjana, dan sebagainya.
Lebih luas, PGI meminta para petinggi negara untuk menjamin agar HAM dan
martabat kaum LGBT dihormati, dan mereka harus diberi kesempatan untuk
hidup dalam keadilan dan perdamaian. PGI juga menyatakan kesadaran
mereka bahwa gereja dan masyarakat Indonesia masih belum bisa menerima
pernikahan sejenis; masih diperlukan dialog dan percakapan yang lebih
mendalam menyangkut soal ini.
Selengkapnya :
http://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/seluk-beluk-orientasi-seksual-lgbt-bagian-2_5785e03eaf9273c0056eeb97
Pernyataan pastoral PGI
Tetapi baru-baru ini muncul sesuatu yang sangat menarik, suatu sikap
dan posisi “terobosan” dari PGI terkait OS LGBT, yang melawan arus kuat
anti-LGBT umumnya di gereja-gereja di Indonesia, bahkan di
komunitas-komunitas keagamaan lain di negara ini, dan juga melawan
pendapat sejumlah petinggi pemerintahan NKRI. Terobosan PGI ini sudah
dan sedang menimbulkan kontroversi panas, yang diwarnai kata-kata pedas
dan pelecehan terhadap Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI, dan berbagai
ancaman sejumlah gereja untuk keluar dari PGI lantaran mereka berasumsi
PGI kini sudah menjadi liberal dan bermaksud “menyeragamkan sikap dan
posisi doktrinal” semua gereja anggotanya terhadap OS LGBT.
Saya
sendiri heran atas reaksi-reaksi yang naif itu, dan bertanya-tanya sejak
kapan PGI telah berubah menjadi sebuah lembaga penyeragaman sikap dan
posisi doktrinal semua gereja anggotanya. Tak pernah PGI mengeluarkan
pernyataan Nihil Opstat (“tidak ada pelanggaran atau hambatan doktrinal”) dan Imprimatur
(“Silakan dicetak dan diterbitkan”) pada semua karya tulis para pendeta
dalam gereja-gereja anggotanya, tidak seperti dalam Gereja Roma Katolik.
Sebaliknya, beberapa gereja anggota PGI bernafsu besar untuk menerapkan
sensor pada PGI, organisasi induk mereka.
Di awal minggu ketiga
Juli 2016, bahkan pimpinan sinode sebuah gereja di Indonesia bagian
timur (yaitu GMIM) sudah menyelengarakan sebuah konferensi yang
bertujuan tunggal, yaitu menolak sikap dan posisi PGI terhadap LGBT, dan
dalam konferensi itu disebut (oleh seseorang) bahwa lewat pernyataan
sikap dan posisi PGI tentang LGBT, PGI telah melakukan sebuah kejahatan kemanusiaan.
Bagi saya, tuduhan keji ini harus dibalikkan arahnya: para homofobik
atau pembenci dan penyerang LGBT itulah yang justru sedang melakukan
kejahatan kemanusiaan, bukan para pembela LGBT seperti PGI dan Peruati
(Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi, yang sekarang diketuai
Pdt. Ruth Ketsia Wangkai, 2015-2019).
Pada 28 Mei 2016 MPH PGI mengeluarkan sebuah Pernyataan Pastoral tentang LGBT
yang lumayan panjang. Semua poin yang dikemukakan sangat penting, dan,
hemat saya, memiliki pijakan kuat pada temuan-temuan sains mutakhir
tentang OS LGBT dan pada kajian-kajian ilmiah atas sejumlah teks Alkitab
yang terkait dengan homoseksualitas.
Karena itulah, saya mendukung dan
membela sepenuhnya pernyataan pastoral PGI tersebut di berbagai forum,
meskipun saya tidak punya hubungan kelembagaan apapun dengan PGI.
Berikut ini dengan sangat ringkas dan padat saya sajikan sejumlah hal
penting yang dimuat dalam pernyataan pastoral PGI tentang OS LGBT.
- Sebagaimana
semua hal lain dalam dunia ini, OS itu beranekaragam, dan merupakan
sebuah realitas yang Allah berikan kepada kita, yang harus bisa kita
terima dengan sikap positif dan realistik; Jadi, setiap LGBT adalah
manusia ciptaan Allah yang sangat dikasihi-Nya;
- Kecenderungan
LGBT adalah suatu fenomena yang sudah ada sejak masa lalu, bukan produk
kebudayaan modern, dan juga bukan produk kebudayaan Barat. Dalam
masyarakat Indonesia, LGBT sudah sejak dulu diakomodasikan dalam
kebudayaan sejumlah suku;
- Alkitab memang menyinggung fenomena
LGBT, tapi Alkitab tidak memberi penilaian moral-etik terhadap
keberadaan LGBT; Alkitab tidak mengkritik OS seseorang, tapi mengkritik
perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh
siapapun, termasuk oleh kaum heteroseksual atau kaum yang selama ini
dianggap “normal”;
- Teks-teks Alkitab yang menyebut hal-hal yang
terkait dengan seks tidak dimaksudkan untuk menyerang, menolak atau
mendiskriminasi keberadaan LGBT. Apa yang ditolak dalam teks-teks
Alkitab adalah segala jenis perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif
yang dilakukan oleh siapapun, atas dasar apapun, termasuk atas dasar
agama, dan ditujukan terhadap siapapun, termasuk terhadap perempuan,
laki-laki dan anak-anak;
- Bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT
bukan pilihan, tapi sesuatu yang “terterima” (“given”, atau “terberi”).
Karena itu, menjadi LGBT bukan suatu dosa. Alhasil, kita tidak boleh
memaksa mereka untuk bertobat, atau untuk berubah. Sebaliknya, kita
harus menolong mereka supaya mereka bisa menerima OS diri sendiri
sebagai pemberian Allah. Kita harus memberikan kesempatan agar mereka
bisa tumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik, mental, sosial dan
spiritual.
Selanjutnya, MPH PGI menghimbau gereja-gereja
anggotanya untuk mempersiapkan dan memberikan bimbingan pastoral kepada
keluarga-keluarga Kristen agar mereka mampu menerima dan merangkul serta
mencintai anggota-anggota keluarga mereka yang berkecenderungan LGBT.
Diingatkan bahwa penolakan keluarga terhadap anggota-anggota keluarga
yang LGBT berpotensi menimbulkan gangguan kejiwaan dan penolakan
terhadap diri sendiri yang dapat berakibat makin meningkatnya potensi
untuk bunuh diri di kalangan LGBT.
MPH PGI juga mengingatkan bahwa
selama ini kalangan LGBT telah mengalami penderitaan fisik,
mental-psikologis, sosial, spiritual, karena stigmatisasi keagamaan
terhadap mereka dan perlakuan keras oleh sebagian masyarakat. Mereka
menjadi kelompok yang direndahkan, dikucilkan, dan didiskriminasi,
bahkan juga oleh negara. Gereja harus mengambil sikap berbeda. Gereja
bukan saja harus menerima mereka, tapi juga harus berjuang agar hak-hak
kaum LGBT bisa diterima dan diakui oleh masyarakat dan negara, khususnya
hak-hak untuk tidak didiskriminasi atau dikucilkan, untuk dilindungi
terhadap kekerasan, untuk bekerja, untuk sekolah, untuk menjadi sarjana,
dan sebagainya.
Lebih luas, PGI meminta para petinggi negara
untuk menjamin agar HAM dan martabat kaum LGBT dihormati, dan mereka
harus diberi kesempatan untuk hidup dalam keadilan dan perdamaian. PGI
juga menyatakan kesadaran mereka bahwa gereja dan masyarakat Indonesia
masih belum bisa menerima pernikahan sejenis; masih diperlukan dialog
dan percakapan yang lebih mendalam menyangkut soal ini.
Tetapi baru-baru ini
muncul sesuatu yang sangat menarik, suatu sikap dan posisi “terobosan”
dari PGI terkait OS LGBT, yang melawan arus kuat anti-LGBT umumnya di
gereja-gereja di Indonesia, bahkan di komunitas-komunitas keagamaan lain
di negara ini, dan juga melawan pendapat sejumlah petinggi pemerintahan
NKRI. Terobosan PGI ini sudah dan sedang menimbulkan kontroversi panas,
yang diwarnai kata-kata pedas dan pelecehan terhadap Majelis Pekerja
Harian (MPH) PGI, dan berbagai ancaman sejumlah gereja untuk keluar dari
PGI lantaran mereka berasumsi PGI kini sudah menjadi liberal dan
bermaksud “menyeragamkan sikap dan posisi doktrinal” semua gereja
anggotanya terhadap OS LGBT.
Saya sendiri heran atas reaksi-reaksi yang naif itu, dan bertanya-tanya
sejak kapan PGI telah berubah menjadi sebuah lembaga penyeragaman sikap
dan posisi doktrinal semua gereja anggotanya. Tak pernah PGI
mengeluarkan pernyataan Nihil Opstat (“tidak ada pelanggaran atau
hambatan doktrinal”) dan Imprimatur (“Silakan dicetak/diterbitkan”) pada
semua karya tulis para pendeta dalam gereja-gereja anggotanya, tidak
seperti dalam Gereja Roma Katolik. Sebaliknya, beberapa gereja anggota
PGI bernafsu besar untuk menerapkan sensor pada PGI, organisasi induk
mereka.
Di awal minggu ketiga Juli 2016, bahkan pimpinan sinode sebuah gereja di
Indonesia bagian timur (yaitu GMIM) sudah menyelengarakan sebuah
konferensi yang bertujuan tunggal, yaitu menolak sikap dan posisi PGI
terhadap LGBT, dan dalam konferensi itu disebut (oleh seseorang) bahwa
lewat pernyataan sikap dan posisi PGI tentang LGBT, PGI telah melakukan
sebuah kejahatan kemanusiaan. Bagi saya, tuduhan keji ini harus
dibalikkan arahnya: para homofobik atau pembenci dan penyerang LGBT
itulah yang justru sedang melakukan kejahatan kemanusiaan, bukan para
pembela LGBT seperti PGI dan Peruati (Persekutuan Perempuan
Berpendidikan Teologi, yang sekarang diketuai Pdt. Ruth Ketsia Wangkai,
2015-2019).
Pada 28 Mei 2016 MPH PGI mengeluarkan sebuah Pernyataan Pastoral tentang
LGBT yang lumayan panjang. Semua poin yang dikemukakan sangat penting,
dan, hemat saya, memiliki pijakan kuat pada temuan-temuan sains mutakhir
tentang OS LGBT dan pada kajian-kajian ilmiah atas sejumlah teks
Alkitab yang terkait dengan homoseksualitas. Karena itulah, saya
mendukung dan membela sepenuhnya pernyataan pastoral PGI tersebut di
berbagai forum, meskipun saya tidak punya hubungan kelembagaan apapun
dengan PGI. Berikut ini dengan sangat ringkas dan padat saya sajikan
sejumlah hal penting yang dimuat dalam pernyataan pastoral PGI tentang
OS LGBT.
Sebagaimana semua hal lain dalam dunia ini, OS itu beranekaragam,
dan merupakan sebuah realitas yang Allah berikan kepada kita, yang harus
bisa kita terima dengan sikap positif dan realistik; Jadi, setiap LGBT
adalah manusia ciptaan Allah yang sangat dikasihi-Nya;
Kecenderungan LGBT adalah suatu fenomena yang sudah ada sejak masa
lalu, bukan produk kebudayaan modern, dan juga bukan produk kebudayaan
Barat. Dalam masyarakat Indonesia, LGBT sudah sejak dulu diakomodasikan
dalam kebudayaan sejumlah suku;
Alkitab memang menyinggung fenomena LGBT, tapi Alkitab tidak memberi
penilaian moral-etik terhadap keberadaan LGBT; Alkitab tidak mengkritik
OS seseorang, tapi mengkritik perilaku seksual yang jahat dan
eksploitatif yang dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh kaum
heteroseksual atau kaum yang selama ini dianggap “normal”;
Teks-teks Alkitab yang menyebut hal-hal yang terkait dengan seks
tidak dimaksudkan untuk menyerang, menolak atau mendiskriminasi
keberadaan LGBT. Apa yang ditolak dalam teks-teks Alkitab adalah segala
jenis perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh
siapapun, atas dasar apapun, termasuk atas dasar agama, dan ditujukan
terhadap siapapun, termasuk terhadap perempuan, laki-laki dan anak-anak;
Bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT bukan pilihan, tapi sesuatu
yang “terterima” (“given”, atau “terberi”). Karena itu, menjadi LGBT
bukan suatu dosa. Alhasil, kita tidak boleh memaksa mereka untuk
bertobat, atau untuk berubah. Sebaliknya, kita harus menolong mereka
supaya mereka bisa menerima OS diri sendiri sebagai pemberian Allah.
Kita harus memberikan kesempatan agar mereka bisa tumbuh sebagai manusia
yang utuh secara fisik, mental, sosial dan spiritual.
Selanjutnya, MPH PGI menghimbau gereja-gereja anggotanya untuk
mempersiapkan dan memberikan bimbingan pastoral kepada keluarga-keluarga
Kristen agar mereka mampu menerima dan merangkul serta mencintai
anggota-anggota keluarga mereka yang berkecenderungan LGBT. Diingatkan
bahwa penolakan keluarga terhadap anggota-anggota keluarga yang LGBT
berpotensi menimbulkan gangguan kejiwaan dan penolakan terhadap diri
sendiri yang dapat berakibat makin meningkatnya potensi untuk bunuh diri
di kalangan LGBT.
MPH PGI juga mengingatkan bahwa selama ini kalangan LGBT telah mengalami
penderitaan fisik, mental-psikologis, sosial, spiritual, karena
stigmatisasi keagamaan terhadap mereka dan perlakuan keras oleh sebagian
masyarakat. Mereka menjadi kelompok yang direndahkan, dikucilkan, dan
didiskriminasi, bahkan juga oleh negara. Gereja harus mengambil sikap
berbeda. Gereja bukan saja harus menerima mereka, tapi juga harus
berjuang agar hak-hak kaum LGBT bisa diterima dan diakui oleh masyarakat
dan negara, khususnya hak-hak untuk tidak didiskriminasi atau
dikucilkan, untuk dilindungi terhadap kekerasan, untuk bekerja, untuk
sekolah, untuk menjadi sarjana, dan sebagainya.
Lebih luas, PGI meminta para petinggi negara untuk menjamin agar HAM dan
martabat kaum LGBT dihormati, dan mereka harus diberi kesempatan untuk
hidup dalam keadilan dan perdamaian. PGI juga menyatakan kesadaran
mereka bahwa gereja dan masyarakat Indonesia masih belum bisa menerima
pernikahan sejenis; masih diperlukan dialog dan percakapan yang lebih
mendalam menyangkut soal ini.
Selengkapnya :
http://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/seluk-beluk-orientasi-seksual-lgbt-bagian-2_5785e03eaf9273c0056eeb97
Selengkapnya :
http://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/seluk-beluk-orientasi-seksual-lgbt-bagian-2_5785e03eaf9273c0056eeb97
Selengkapnya :
http://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/seluk-beluk-orientasi-seksual-lgbt-bagian-2_5785e03eaf9273c0056eeb97
Pernyataan pastoral PGI
Tetapi baru-baru ini muncul sesuatu yang sangat menarik, suatu sikap dan
posisi “terobosan” dari PGI terkait OS LGBT, yang melawan arus kuat
anti-LGBT umumnya di gereja-gereja di Indonesia, bahkan di
komunitas-komunitas keagamaan lain di negara ini, dan juga melawan
pendapat sejumlah petinggi pemerintahan NKRI. Terobosan PGI ini sudah
dan sedang menimbulkan kontroversi panas, yang diwarnai kata-kata pedas
dan pelecehan terhadap Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI, dan berbagai
ancaman sejumlah gereja untuk keluar dari PGI lantaran mereka berasumsi
PGI kini sudah menjadi liberal dan bermaksud “menyeragamkan sikap dan
posisi doktrinal” semua gereja anggotanya terhadap OS LGBT.
Saya sendiri heran atas reaksi-reaksi yang naif itu, dan bertanya-tanya
sejak kapan PGI telah berubah menjadi sebuah lembaga penyeragaman sikap
dan posisi doktrinal semua gereja anggotanya. Tak pernah PGI
mengeluarkan pernyataan Nihil Opstat (“tidak ada pelanggaran atau
hambatan doktrinal”) dan Imprimatur (“Silakan dicetak/diterbitkan”) pada
semua karya tulis para pendeta dalam gereja-gereja anggotanya, tidak
seperti dalam Gereja Roma Katolik. Sebaliknya, beberapa gereja anggota
PGI bernafsu besar untuk menerapkan sensor pada PGI, organisasi induk
mereka.
Di awal minggu ketiga Juli 2016, bahkan pimpinan sinode sebuah gereja di
Indonesia bagian timur (yaitu GMIM) sudah menyelengarakan sebuah
konferensi yang bertujuan tunggal, yaitu menolak sikap dan posisi PGI
terhadap LGBT, dan dalam konferensi itu disebut (oleh seseorang) bahwa
lewat pernyataan sikap dan posisi PGI tentang LGBT, PGI telah melakukan
sebuah kejahatan kemanusiaan. Bagi saya, tuduhan keji ini harus
dibalikkan arahnya: para homofobik atau pembenci dan penyerang LGBT
itulah yang justru sedang melakukan kejahatan kemanusiaan, bukan para
pembela LGBT seperti PGI dan Peruati (Persekutuan Perempuan
Berpendidikan Teologi, yang sekarang diketuai Pdt. Ruth Ketsia Wangkai,
2015-2019).
Pada 28 Mei 2016 MPH PGI mengeluarkan sebuah Pernyataan Pastoral tentang
LGBT yang lumayan panjang. Semua poin yang dikemukakan sangat penting,
dan, hemat saya, memiliki pijakan kuat pada temuan-temuan sains mutakhir
tentang OS LGBT dan pada kajian-kajian ilmiah atas sejumlah teks
Alkitab yang terkait dengan homoseksualitas. Karena itulah, saya
mendukung dan membela sepenuhnya pernyataan pastoral PGI tersebut di
berbagai forum, meskipun saya tidak punya hubungan kelembagaan apapun
dengan PGI. Berikut ini dengan sangat ringkas dan padat saya sajikan
sejumlah hal penting yang dimuat dalam pernyataan pastoral PGI tentang
OS LGBT.
Sebagaimana semua hal lain dalam dunia ini, OS itu beranekaragam,
dan merupakan sebuah realitas yang Allah berikan kepada kita, yang harus
bisa kita terima dengan sikap positif dan realistik; Jadi, setiap LGBT
adalah manusia ciptaan Allah yang sangat dikasihi-Nya;
Kecenderungan LGBT adalah suatu fenomena yang sudah ada sejak masa
lalu, bukan produk kebudayaan modern, dan juga bukan produk kebudayaan
Barat. Dalam masyarakat Indonesia, LGBT sudah sejak dulu diakomodasikan
dalam kebudayaan sejumlah suku;
Alkitab memang menyinggung fenomena LGBT, tapi Alkitab tidak memberi
penilaian moral-etik terhadap keberadaan LGBT; Alkitab tidak mengkritik
OS seseorang, tapi mengkritik perilaku seksual yang jahat dan
eksploitatif yang dilakukan oleh siapapun, termasuk oleh kaum
heteroseksual atau kaum yang selama ini dianggap “normal”;
Teks-teks Alkitab yang menyebut hal-hal yang terkait dengan seks
tidak dimaksudkan untuk menyerang, menolak atau mendiskriminasi
keberadaan LGBT. Apa yang ditolak dalam teks-teks Alkitab adalah segala
jenis perilaku seksual yang jahat dan eksploitatif yang dilakukan oleh
siapapun, atas dasar apapun, termasuk atas dasar agama, dan ditujukan
terhadap siapapun, termasuk terhadap perempuan, laki-laki dan anak-anak;
Bagi banyak pelaku, kecenderungan LGBT bukan pilihan, tapi sesuatu
yang “terterima” (“given”, atau “terberi”). Karena itu, menjadi LGBT
bukan suatu dosa. Alhasil, kita tidak boleh memaksa mereka untuk
bertobat, atau untuk berubah. Sebaliknya, kita harus menolong mereka
supaya mereka bisa menerima OS diri sendiri sebagai pemberian Allah.
Kita harus memberikan kesempatan agar mereka bisa tumbuh sebagai manusia
yang utuh secara fisik, mental, sosial dan spiritual.
Selanjutnya, MPH PGI menghimbau gereja-gereja anggotanya untuk
mempersiapkan dan memberikan bimbingan pastoral kepada keluarga-keluarga
Kristen agar mereka mampu menerima dan merangkul serta mencintai
anggota-anggota keluarga mereka yang berkecenderungan LGBT. Diingatkan
bahwa penolakan keluarga terhadap anggota-anggota keluarga yang LGBT
berpotensi menimbulkan gangguan kejiwaan dan penolakan terhadap diri
sendiri yang dapat berakibat makin meningkatnya potensi untuk bunuh diri
di kalangan LGBT.
MPH PGI juga mengingatkan bahwa selama ini kalangan LGBT telah mengalami
penderitaan fisik, mental-psikologis, sosial, spiritual, karena
stigmatisasi keagamaan terhadap mereka dan perlakuan keras oleh sebagian
masyarakat. Mereka menjadi kelompok yang direndahkan, dikucilkan, dan
didiskriminasi, bahkan juga oleh negara. Gereja harus mengambil sikap
berbeda. Gereja bukan saja harus menerima mereka, tapi juga harus
berjuang agar hak-hak kaum LGBT bisa diterima dan diakui oleh masyarakat
dan negara, khususnya hak-hak untuk tidak didiskriminasi atau
dikucilkan, untuk dilindungi terhadap kekerasan, untuk bekerja, untuk
sekolah, untuk menjadi sarjana, dan sebagainya.
Lebih luas, PGI meminta para petinggi negara untuk menjamin agar HAM dan
martabat kaum LGBT dihormati, dan mereka harus diberi kesempatan untuk
hidup dalam keadilan dan perdamaian. PGI juga menyatakan kesadaran
mereka bahwa gereja dan masyarakat Indonesia masih belum bisa menerima
pernikahan sejenis; masih diperlukan dialog dan percakapan yang lebih
mendalam menyangkut soal ini.
Selengkapnya :
http://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/seluk-beluk-orientasi-seksual-lgbt-bagian-2_5785e03eaf9273c0056eeb97
Posisi Paus Fransiskus
Di
akhir Juli 2013, di saat sedang dalam penerbangan kembali ke Vatikan
sehabis berkunjung selama seminggu sejak 22 Juli di Rio de Janeiro,
Brazil, Paus Fransiskus mengadakan acara jumpa pers selama satu jam
lebih. Banyak hal yang dipercakapkan, di antaranya tentang homoseksual.
Di saat sedang membicarakan kaum gay, Paus Fransiskus menyatakan bahwa
“Ketika aku berjumpa dengan seorang gay, aku harus membicarakan kondisi
mereka sebagai gay dan sebagai bagian dari suatu lobby. Jika seseorang
itu gay dan dia menerima Tuhan dan berkemauan baik, siapakah aku sampai
aku harus menghakimi mereka? Mereka harus tidak dimarjinalisasikan.
Kecenderungan [ke homoseksualitas] bukan masalahnya,… mereka
saudara-saudara kita.”/16/ Jelas, sang Paus hanya berbicara tentang gay
yang “menerima Tuhan”, maksudnya: para gay yang menerima dan percaya
pada Yesus Kristus, yakni para gay warga GRK, dan bisa juga semua gay
yang Kristen saja.
Sang Paus pernah juga bercerita pendek, tuturnya:
“Suatu kali seseorang bertanya kepadaku dengan nada yang provokatif,
apakah aku menyetujui homoseksualitas. Aku menjawabnya dengan sebuah
pertanyaan lain: ‘Katakan kepadaku, ketika Allah melihat seorang gay,
apakah Allah mendukung kehidupan orang ini dengan cinta-Nya, ataukah
menolak dan mengutukinya?’ Jadi, kita harus selalu mempertimbangkan si
individu yang gay itu!”/17/ Kelihatan jelas dari ucapannya ini, Paus
Fransiskus menghargai martabat dan kehormatan kalangan homoseksual,
kendatipun, pada sisi lain, yang ada dalam pikirannya hanyalah para gay
Kristen yang berkemauan baik.
Tetapi
belum lama ini, ketika Irlandia baru saja melegalisasi perkawinan
sejenis, Vatikan menegaskan bahwa langkah Irlandia itu “sebuah kekalahan
bagi kemanusiaan!” Sebagaimana sudah diketahui, ada sepuluh negara yang
berlatarbelakang kuat GRK yang sudah melegalisasi perkawinan sejenis,
yakni Belgia, Kanada, Spanyol, Argentina, Portugal, Brazil, Prancis,
Uruguai, Luxemburg, dan Irlandia./18/ Sulit bagi kita
untuk menyamakan
GRK dengan kemanusiaan, tentu saja. Mengapa sang Paus menjadi tidak
konsisten padahal dia sudah dikenal sebagai pemimpin GRK sedunia di abad
ke-21 yang mampu berpikir bebas?
Selain itu, dalam sebuah wawancara
terhadap Paus Fransiskus yang dimuat dalam buku Andrea Tornielli dan
Giacomo Galeazzi, This Economy Kills: Pope Francis on Capitalism and Social Justice
(2015), sang Paus mengejutkan sekali menyetarakan teori gender (yang
melihat seksualitas manusia membentuk sebuah spektrum warna-warni yang
lazimnya disebut spektrum LGBTIQ) dengan senjata nuklir yang dapat
melenyapkan kehidupan. Kata Paus Fransiskus,
“Mari
kita pikirkan persenjataan nuklir, yang mampu melenyapkan sangat banyak
manusia dalam sekejap. Mari juga kita pikirkan manipulasi genetik,
manipulasi kehidupan, atau teori gender, yang tidak mengakui orde
ciptaan. Dengan semua sikap ini, manusia sedang membuat sebuah dosa
besar baru yang melawan Allah sang Pencipta.”/19/
Betulkah
teori spektrum seksualitas manusia sama bahayanya dengan ledakan sebuah
bom nuklir? Ya jelas tidak! Ada baiknya anda usahakan bertanya langsung
ke Vatikan apa yang dimaksudkan oleh sang Paus atas pernyataannya itu yang menurut saya tidak arif dan berlebihan.
Terus terang, saya merasa iba juga pada sang Paus, karena dia
bagaimanapun juga harus tunduk pada dogma dan
doktrin GRK, meskipun dia sendiri punya pikiran yang bebas. Agama
sayangnya lebih sering memenjarakan manusia ketimbang membebaskan. Agama
juga sering membelah kepribadian manusia. Agama semacam ini bukan agama
yang cerdas. Pertanyaan sufi dari Persia yang terkenal, Jalaluddin Rumi
(1207-1273), selalu saya ingat, “Mengapa
anda terus berdiam dalam penjara sementara pintu-pintunya terbuka
lebar?” Rumi juga memerintahkan, “Jadilah langit! Ambil sebuah kapak
lalu runtuhkan dinding penjara itu! Lepaskan dirimu!”
Dalam
sebuah komentar panjangnya tentang pertemuan pribadi Paus Fransiskus
dan Ms. Kim Davis (panitera di Kentucky yang belum lama ini menolak
mengeluarkan surat izin nikah bagi pasangan sesama jenis seks), yang
berlangsung di Kedutaan Besar Vatikan di Washington, D.C., 24 September
2015, German Lopez antara lain menyatakan bahwa “Paus Fransiskus
kadangkala mengucapkan hal-hal…yang kelihatannya bersahabat dengan
kalangan gay. Tetapi ketika dianalisis lebih jauh, ajaran-ajaran
dasariah GRK dan Paus Fransiskus tidak berubah sama sekali:
homoseksualitas masih dipandang sebagai suatu dosa, para gay masih
diminta untuk hidup suci, dan perkawinan sesama jenis seks tetap
dilawan.”/20/
Posisi Dalai Lama XIV
Dalam
suatu wawancara di bulan Maret 2014 oleh sosok beken di dunia radio dan
TV Amerika, Larry King, tentang perkawinan sesama jenis seks, Dalai
Lama XIV menegaskan bahwa “jika dua orang―sebagai
pasangan―sungguh-sungguh merasa bahwa cara itu lebih praktis dan lebih
memuaskan, dan kedua mitra sepakat sepenuhnya, itu OK saja!”
Tetapi
Dalai Lama tetap menghargai sikap dan posisi masing-masing agama lain
ketika dia menegaskan bahwa umat setiap agama harus mengikuti
kaidah-kaidah moral agama mereka masing-masing di bidang seks.
Tentang
homoseksualitas di kalangan orang tidak beragama, Dalai Lama menegaskan
bahwa “itu terserah mereka. Ada banyak bentuk seks yang berbeda―sejauh
itu aman, OK saja. Juga kedua mitra harus sepakat sepenuhnya.” Jika para
homoseks “di-bully, diperlakukan sewenang-wenang, itu salah sama
sekali. Itu melanggar HAM.”/21/
Jelas ya, Dalai Lama XIV
berpandangan jauh lebih maju ketimbang Paus Fransiskus. Selanjutnya
adalah tugas para pakar medis Buddhis untuk menjabarkan makna dan
cakupan kata “aman” dalam hubungan seksual para homoseksual, yang telah dikatakan Dalai Lama.
Surat terbuka muslimin Reza Aslan dan Hasan Minhaj
Ahli agama Reza Aslan dan komedian sekaligus wartawan Daily Show
Hasan Minhaj, keduanya Muslim Amerika, pada 7 Juli 2015, bersama-sama
menulis sebuah surat terbuka kepada sesama Muslim Amerika mengenai
perkawinan sesama jenis yang baru dilegalisasi oleh MA Amerika dan
berlaku di seluruh 50 negara bagian. Surat mereka cukup panjang, dimuat
pada web Religion Dispatches, 7 Juli 2015. Saya kutipkan bagian-bagiannya yang hemat saya penting diperhatikan, berikut ini./22/
“Kini
perkawinan sesama jenis sudah legal di Amerika. Keadaan ini mengguncang
iman kalian. Kalian jadi khawatir tentang masa depan, dan bertanya apa
artinya masa depan untuk anak-anak kalian. Kalian tahu, hak-hak kaum gay
makin luas diterima, tapi secara pribadi kalian sesungguhnya tidak
dapat merangkul perubahan ini. Kalian dapat merasa tidak ada masalah
jika berteman dengan gay atau mereka menjadi rekan-rekan sekerja kalian.
Bahkan kalian dapat sepakat bahwa menjadi gay tidak membuat kalian
terdiskualifikasi sebagai seorang Muslim. Tetapi secara pribadi,
diam-diam kalian merasa bahwa adanya komunitas-komunitas LGBT adalah
suatu kontradiksi yang real terhadap kepercayaan-kepercayaan yang telah
diwariskan kepada kalian.
Sebagai Muslim, kita adalah orang yang
telah termarjinalisasi dengan dalam di dalam kebudayaan arus utama
Amerika. Lebih dari separuh orang Amerika memandang kita dengan negatif.
Sepertiga orang Amerika (yakni, lebih dari seratus juta orang) ingin
kita membawa KTP khusus sehingga mereka dengan mudah dapat mengenali
kita sebagai Muslim. Kita harus tidak selamanya mempertahankan keadaan
kita yang termarjinalisasi dengan memarjinalisasi orang-orang lain. Jika
kalian menolak hak untuk perkawinan sesama jenis, tetapi lalu
mengharapkan empati terhadap perjuangan komunitas kita, itu sama dengan
kemunafikan.
Ingatlah bagaimana orang memandang saudara-saudara
perempuan kalian yang memakai hijab atau saudara-saudara pria kalian
yang berjenggot lebat saat mereka berjalan di dalam mall-mall. Ingat
juga bagaimana di pelabuhan-pelabuhan udara orang melihat ke kalian atau
mengomel kepada kalian. Ingat juga bagaimana para pemimpin politik
terpilih kalian sendiri dengan tajam mengkritik kalian. Itulah juga
semua yang dirasakan saudara-saudaramu, lelaki dan perempuan, dari kaum
LGBT, setiap hari dalam kehidupan mereka. Apakah kalian bersikap
biasa-biasa saja dengan semua itu?
Kalian boleh berpikir bahwa
hak-hak LGBT adalah suatu percakapan baru, sesuatu yang baru-baru ini
saja bersentuhan dengan pemikiran Islam modern. Tetapi, percayalah
kepada kami, tidak demikian halnya! Menantang status quo untuk
memperbaiki masyarakat adalah salah satu fondasi bangunan agama Islam
sendiri.
Tapi jika hati kalian tidak bisa menerima kalangan gay
pada prinsipnya, ingatlah negara yang di dalamnya kalian ingin berdiam.
Bagaimana pun juga, UU yang baru saja menjamin hak-hak
komunitas-komunitas LGBT adalah UU yang sama yang melindungi
masjid-masjid dan sentra-sentra komunitas kita, yang membuat
sekolah-sekolah Islami kita tetap buka, yang memungkinkan kita mempunyai
hak-hak dan perlakuan-perlakuan istimewa saat kita semua menghadapi
kebencian dan fanatisme yang membanjir dari orang-orang Amerika sesama
kita. Kalian tidak dapat merayakan yang satu dengan membuang yang lain.
Karena
itulah, tidak cukup jika kita cuma ‘mentolerir’ keputusan MA.
Mentolerir suatu komunitas lain hanya akan menimbulkan
ketakutan-ketakutan tersembunyi terhadap kelompok-kelompok yang
termarjinalisasi dan apatisme terhadap proses politik. Sebagai
minoritas-minoritas, kita tidak bisa hidup dengan dua emosi itu memenuhi
kita. Kita harus melakukan lebih dari cuma mentolerir. Kita harus
merangkulnya. Kita harus memperjuangkan hak orang-orang lain untuk
menjalani kehidupan mereka dengan bebas, sama seperti kita juga ingin
hidup kita bebas.
Hal terpenting yang kalian harus pikirkan
sungguh-sungguh adalah ini: Belalah komunitas-komunitas yang
termarjinalisasi, bahkan ketika kalian tidak sepakat dengan mereka. Ini
bukan saja hal yang benar untuk kalian lakukan, tetapi ini juga adalah
hal Islami yang setiap Muslim harus lakukan. Ingatlah, Allah itu
sepenuhnya rahmani dan rahimi. Wujudkan ini bagi semua orang, bukan
hanya bagi kalangan heteroseksual!”
Baris terakhir surat terbuka mereka memuat kata-kata ini: “Rayakanlah! Jangan hanya mentolerir! Cinta sungguh-sungguh menang.”
Setelah mengamati sekian waktu, dan sudah saya prediksi sebelumnya,
saya menemukan, ada banyak Muslim yang marah terhadap Reza Aslan dan
Hasan Minhaj, padahal mereka yang marah ini bukan Muslim Amerika dan
tidak memahami konteks sosialbudaya dan politik yang di dalamnya Aslan
dan Minhaj hidup. Bahkan ada juga yang meminta surat terbuka mereka
dicabut dari web Religion Dispatches, padahal mereka ini belum
membaca surat mereka seluruhnya dalam bahasa Inggris dan mungkin sekali
mereka juga tidak paham bahasa Inggris. Itulah suasana batin dan
intelektual dunia Muslim sekarang ini.
Reza Aslan dan
Hasan Minhaj, dalam pandangan saya, betul saat mereka menyatakan cinta
dan kasih sayang serta kemurahan Allah itu tak mengenal batas-batas,
diberikan kepada semua orang dari OS apapun. Agama-agama
yang dibangun manusia, itulah yang membatasi kerahiman dan kerahmanian
Allah.
Literalisme versus kritisisme
Tentang
posisi kaum Muslim di Indonesia, tidak perlu saya beberkan lagi, karena
mereka pasti juga menolak perkawinan sesama jenis. Yang sudah kita
ketahui adalah bahwa beberapa peristiwa telah terjadi belum lama ini di
Indonesia yang menunjukkan kebencian kaum beragama Muslim fundamentalis
terhadap kaum homoseksual; kebencian ini timbul tidak sedikit karena
teks-teks skriptural yang dipahami secara harfiah. Saya menyebut mereka
sebagai kalangan literalis dalam memahami teks-teks kuno kitab
suci.
Bagi mereka, hal apapun yang sudah tertulis sebagai teks kitab
suci, teks ini apa adanya, harfiah, berlaku di segala zaman dan di
segala tempat, mutlak mengikat umat pemakai kitab suci, kata mereka,
sejak awal dunia hingga kiamat. Kata mereka dengan sangat yakin bahwa
teks-teks kitab suci tidak perlu ditafsir-tafsir, tapi cukup hanya
dibaca, dan pesan-pesan yang tertulisnya tinggal umat jalankan saja
dengan taat, tanpa perlu ada keraguan sedikitpun.
Keyakinan
kalangan literalis ini sesungguhnya naif dan tidak tepat, karena
minimal dua penyebab. Pertama, mereka mengabaikan fakta kuat bahwa
ketika teks-teks kuno kitab suci sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa-bahasa lain, termasuk bahasa kita sendiri, penerjemahan itu
sendiri adalah suatu penafsiran. Tak ada penerjemahan yang bebas dari
penafsiran. Kalaupun kitab suci yang kita pakai masih ditulis dalam
bahasa aslinya (misalnya bahasa Ibrani atau bahasa Yunani koine atau
bahasa Arab zaman dulu), saat kita pada masa kini di dunia kita membaca
teks-teks asli ini dan mau memahaminya kita berpikir dalam bahasa ibu
kita, bukan dalam bahasa asli kitab suci kita. Dus, saat ini terjadi,
kita pun harus menafsir teks-teks dalam bahasa aslinya itu dan
mengubahnya dalam pikiran kita sendiri untuk menjadi teks-teks dalam
bahasa ibu kita sendiri. Kondisi ini pasti terjadi dalam benak kita sejauh
kita mau memahami teks-teks asli yang kita baca, bukan cuma mau hafal
mati dan ulang-ulang ribuan hingga jutaan kali begitu saja tanpa kita
ketahui artinya dalam bahasa ibu kita sendiri, sejak kita kanak-kanak
sampai kita wafat.
Kedua,
mereka tidak bisa melihat dan tidak mau mengakui bahwa tidak ada
seorangpun saat mendekati teks-teks kitab suci berpikiran kosong
melompong (seperti selembar kertas putih bersih), alhasil, kata mereka,
hanya tinggal diisi pesan-pesan kitab suci yang puritan. Sesungguhnya,
kapan pun juga kita membaca dan mau menangkap pesan teks-teks suci
apapun, dalam benak kita selalu sudah ada paham-paham dan keyakinan-keyakinan yang kuat sebelumnya, yang terbentuk dan dibangun dari berbagai sumber di luar
kitab suci sendiri (misalnya, dari aliran agama yang kita anut, dari
indoktrinasi ajaran-ajaran guru-guru agama, dari buku-buku dan
berita-berita yang kita baca dan dengar, dari berbagai pengalaman
kehidupan kita, dari kedudukan dan tempat kita dalam masyarakat, dari
tekanan-tekanan yang datang dari luar diri kita, dan dari ambisi-ambisi
individual kita sendiri).
Berbagai
paham dan keyakinan yang sudah ada sebelumnya dalam benak kita ini saat
kita mau memahami teks-teks kitab suci dalam ilmu tafsir disebut prapaham atau prasuposisi (presupposition).
Nah prapaham ini sangat kuat mengendalikan pikiran kita ketika kita
sedang membaca teks-teks kitab suci apapun. Adanya peran prapaham ini
dalam setiap usaha memahami kitab suci membuat pemahaman literalis atau
pemahaman harfiah sama sekali tidak bisa didapat. Alih-alih menemukan
makna harfiah teks-teks suci, si pembaca kitab suci malah membiarkan
prapaham-prapahamnya sendiri menentukan makna teks-teks suci yang sedang
dibacanya dan menganggap prapaham-prapahamnya ini sendiri sebagai
firman Allah. Ketimbang menemukan satu pesan teks suci yang jelas,
pendekatan literalis malah menghasilkan sangat banyak dan beranekaragam
pesan teks sejalan dengan banyak dan beranekaragamnya prapaham-prapaham
para penafsir.
Sebaliknya,
penafsiran yang bertanggungjawab adalah penafsiran yang tidak
dikendalikan atau didikte prapaham, kendatipun prapaham ini masih bisa
ada gunanya hanya di langkah-langkah awal penafsiran sebagai
ancang-ancang saja, yang kemudian harus dilepaskan demi menemukan makna
sebenarnya teks-teks suci. Menolak pendiktean oleh prapaham-prapaham
kita hanya mungkin jika kita menafsir teks-teks kitab suci tidak
literalistik, tetapi dengan memakai sebuah pendekatan lain, yang kedua.
Dalam
situasi sosialpolitik yang tidak menguntungkan seperti sudah disinggung
di atas, untuk meniadakan atau minimal mengurangi tekanan
sosiopsikologis dan sosiopolitis terhadap kaum homoseksual, teks-teks
skriptural yang tampak melarang dan mengutuk homoseksualitas perlu ditafsir ulang
untuk melepaskan teks-teks ini dari dominasi konstruksi tafsiran
tradisional literalis yang umumnya memang tidak memihak kaum ini.
Pendekatan yang kedua ini, pendekatan yang saintifik terhadap teks-teks kuno kitab suci manapun, disebut sebagai pendekatan historis kritis.
Digolongkan sebagai pendekatan saintifik karena memang dijalankan
dengan melibatkan berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti ilmu
sejarah, linguistik, arkeologi, antropologi budaya, sosiologi, berbagai
jenis kritik sastra, dan lain-lain.
Dengan
pendekatan historis kritis, semua teks kuno kitab-kitab suci mutlak
harus diperlakukan sebagai teks-teks yang terikat pada sejarah,
kebudayaan dan sistem sosial zaman-zaman kuno yang di dalamnya para
penulis teks-teks ini hidup, bergaul, bermasyarakat, berpikir dan
memahami berbagai kenyataan. Dengan demikian, makna atau pesan teks-teks
kuno kitab suci selalu terikat dengan konteks sejarah dan konteks kebudayaan masa lalu yang di dalamnya teks-teks ini ditulis (siapapun yang dianggap sebagai para penulis teks-teks ini).
Jadi,
dalam penafsiran historis kritis adalah mutlak untuk kita mengenali
konteks sejarah dan konteks kebudayaan di masa lampau ini, sebelum
kita membawa teks-teks ini ke zaman kita di tempat kita. Hanya dengan
kembali dulu ke masa lampau di dunia yang lain, prapaham-prapaham kita
tidak akan mendikte kita dalam proses menafsirkan teks-teks kuno.
Setelah kita menemukan makna dan pesan teks-teks itu untuk orang di
zaman kuno dan di dalam sistem sosial mereka sendiri, barulah kita dapat
mengayunkan langkah yang kedua (disebut sebagai langkah hermeneutis),
yakni menilai dengan teliti apakah teks-teks kuno ini masih relevan
untuk zaman sekarang di dunia kita ataukah sudah tidak relevan lagi
sehingga tidak perlu kita gunakan lagi.
Sebagai sebuah sumbangan dalam mendekonstruksi
tafsiran tradisional literalis terhadap teks-teks homoseksualitas dalam
kitab suci, tulisan ini fokus pada teks-teks Alkitab yang dalam
pandangan pertama tampak dalam arti harfiah mengutuk kaum
homoseksual. Teks-teks ini mau dipahami dalam konteks sejarah dan
konteks kebudayaan serta sistem-sistem sosial di zaman-zaman kuno dan di
tempat-tempat yang berbeda dari tempat kehidupan kita sekarang.
Ingatlah selalu, makna atau pesan sebuah teks suci kuno ditentukan bukan
oleh Tuhan Allah di langit, tetapi oleh sistem-sistem sosial yang di
dalamnya para penulis kitab-kitab suci hidup. Relevansi atau irelevansi
teks-teks ini untuk kehidupan zaman sekarang di dunia kita dengan mudah
kita akan dapat temukan sejauh kita memiliki kesadaran sejarah dan
kesadaran konteks kontemporer kita sendiri.
Tujuh teks utama Alkitab
OK,
kita mulai. Terdapat kurang lebih dua puluh rujukan ke homoseksualitas
atau ke perilaku homoseksual dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Tujuh di antaranya menurut kalangan Kristen konservatif merupakan
teks-teks yang sangat jelas melarang dan mengutuk homoseksualitas atau
perilaku homoseksual, yakni Kejadian 19; Imamat 18:22; Imamat 20:13;
Roma 1:26-27; 1 Korintus 6:9-10; 1 Timotius 1:9-10; Yudas 1:7. Tetapi
kalangan Kristen liberal progresif mengajukan tafsiran yang berbeda atas
teks-teks ini dengan memakai metode tafsir historis kritis, dan
menegaskan bahwa konsep “orientasi seksual” sebagai homoseksual belum
dikenal oleh para penulis kitab-kitab suci kuno. Berikut ini tinjauan
singkat atas tujuh teks ini dan tafsiran yang diberikan masing-masing
kalangan Kristen ini terhadap masing-masing teks ini.
Kejadian 19
Perikop
ini mengisahkan tentang niat Tuhan untuk memusnahkan kota Sodom (dan
Gomora) karena (kedua) kota ini konon sangat besar dosanya dan durjana
(18:20; 19:15). Dua orang lelaki (= malaikat) diutus Tuhan untuk
menyelidiki keadaan kota ini. Ketika mereka sudah tiba di Sodom, mereka
diterima oleh Lot dan diberi tumpangan di rumahnya pada malam hari itu
juga.
Tetapi semua lelaki dari seluruh kota ini, tua dan muda (19:4),
pada malam itu mendatangi rumah Lot dan mengepungnya. Mereka memaksa Lot
untuk menyerahkan kedua tamunya itu kepada mereka untuk mereka “sodomi”
(Ibrani: yada = mengetahui, berhubungan seksual).
Tetapi Lot
melindungi mereka, bahkan dia sampai rela menawarkan dua anak perawannya
kepada mereka sebagai pengganti dua orang asing tamunya itu. Ketika
keadaan sudah genting, dua tamu itu menarik Lot ke dalam rumahnya, dan
mereka membutakan mata orang banyak yang mau mendobrak pintu rumahnya
itu sehingga mereka tidak bisa menemukan pintu masuk.
Kisahnya berakhir
dengan pemusnahan kedua kota ini melalui letusan gunung berapi, dan
hanya Lot beserta keluarganya diluputkan dari bencana ini.
Dalam
pandangan kalangan Kristen konservatif, Tuhan melenyapkan kota Sodom
(dan Gomora) karena kaum lelaki penduduknya mempraktekkan hubungan
homoseksual. Dengan demikian, dalam pandangan mereka, Tuhan mengutuk dan
menghukum segala jenis homoseksualitas, yang, dalam pandangan mereka,
merupakan suatu akibat lanjutan dari “kejatuhan” Adam dan Hawa
sebagaimana dikisahkan dalam Kejadian 2-3.
Tetapi
kalangan Kristen liberal menolak tafsiran semacam ini. Bagi mereka,
teks ini tidak memberi petunjuk jelas apapun tentang bentuk kedurjanaan
dan dosa kota Sodom. Sebaliknya teks dengan jelas menyatakan apa
sebab-musabab kaum lelaki Sodom mau “menyodomi” dua tamu Lot itu, yakni
karena mereka menilai keduanya adalah orang asing yang mau menjadi hakim
atas mereka (19:9).
Dalam
zaman kuno di kawasan Timur Tengah, raja-raja dari suku-suku bangsa
yang ditaklukkan kadangkala diperkosa lewat anus oleh pasukan yang
menyerbu masuk sebagai tanda kekalahan dan penghinaan atas mereka.
Pemerkosaan secara anal ini juga adalah suatu cara untuk menghina dan
merendahkan para wisatawan dan orang asing, dan sekaligus untuk
menunjukkan kekuatan dan dominasi penduduk asli dan pihak pemenang./23/
Kalaupun dua tamu Lot itu menilai niat kaum lelaki Sodom untuk
memperkosa mereka secara anal sebagai suatu dosa, dosa ini bukanlah dosa
homoseksualitas, melainkan dosa memperkosa orang asing yang bertujuan
untuk menghina mereka dan untuk memperlihatkan kekuatan dan dominasi
para pemerkosa.
Imamat 18:22
“Janganlah
engkau tidur dengan laki-laki sama seperti engkau bersetubuh dengan
seorang perempuan, karena hal itu suatu kekejian.”
Bagi
kalangan Kristen konservatif, teks ini, yang dilepaskan dari konteks
sastranya, dengan tegas melarang hubungan seksual antar sesama lelaki
melalui anus. Tetapi bagi kalangan liberal, teks ini tidak berbicara
tentang larangan hubungan homoseksual secara umum.
Jika
ditempatkan dalam konteks sastranya dan dalam konteks religius pada
masanya, teks ini ternyata mau menyatakan sesuatu yang lain.
Pasal-pasal
sebelum dan sesudah teks ini secara meluas berbicara mengenai idolatri
(= penyembahan kepada berhala). Imamat 18:6-18 memuat larangan terhadap
berbagai macam inses; ayat 19 berisi larangan bersetubuh dengan seorang
perempuan yang sedang haid. Ayat 20 memuat larangan perzinahan. Persis
pada ayat 21 kita baca larangan mempersembahkan anak-anak kepada suatu
dewa pagan yang bernama Molokh; lalu setelah ayat 22 (lihat teks di
atas) menyusul ayat 23 yang memuat larangan perkelaminan dengan
binatang, baik oleh lelaki maupun oleh perempuan dari antara orang
Israel. Sesudah itu menyusul ayat-ayat 24-30 yang dengan sangat jelas
menyebut bahwa semua larangan yang telah disebut sebelumnya telah
dilakukan oleh “bangsa-bangsa” lain, yang sama sekali tidak boleh
diikuti oleh bangsa Israel.
Di
dalam kuil-kuil dewa pagan, khususnya kuil dewa pagan Molokh, terdapat
pelacur-pelacur bakti (lelaki atau pun perempuan dewasa, dan juga
anak-anak lelaki dan anak-anak perempuan) yang dalam ritual penyembahan
kepada sang dewa melakukan aktivitas persetubuhan. Ritual seksual
semacam ini melibatkan kegiatan hubungan homoseksual. Seperti juga
banyak masyarakat agraris kuno lainnya, para penyembah dewa ini percaya
bahwa jika mereka melakukan persetubuhan dengan para pelacur bakti ini
di dalam kuil dewa mereka, dewa mereka akan senang dan sebagai akibatnya
pasangan mereka, ternak mereka dan lahan garapan mereka, akan mengalami
peningkatan kesuburan dan berbuah-buah./24/
Dengan
latarbelakang ritual religius paganisme semacam ini, yang marak
dilakukan pada masa Israel kuno, Imamat 18:22 jelas tidak berbicara
mengenai larangan dan penolakan terhadap homoseksualitas secara umum,
tetapi terhadap ritual pelacuran bakti yang dilaksanakan di kuil-kuil
dewa-dewa pagan oleh bangsa-bangsa lain yang mengitari bangsa Israel.
Dalam Ulangan 23:17 dengan eksplisit larangan semacam ini diberikan: “Di
antara anak-anak perempuan Israel janganlah ada pelacur bakti (Ibrani: quedeshaw), dan di antara anak-anak lelaki Israel janganlah ada semburit bakti (Ibrani: quadesh).” Quadesh bertindak sebagai representasi simbolik Dewa; dan quedeshaw sebagai representasi simbolik Dewi.
Imamat 20:13
“Jika
seorang laki-laki tidur dengan seorang laki-laki seperti dia bersetubuh
dengan seorang perempuan, keduanya telah melakukan suatu kekejian, dan
pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka
sendiri.”
Teks
ini juga memiliki konteks ritual pelacuran bakti di kuil-kuil dewa-dewa
pagan, khususnya Dewa pagan Molokh (20:1-7), yang melibatkan aktivitas
persetubuhan homoseksual yang dipercaya akan mendatangkan kesuburan.
Bangsa Israel dilarang keras meniru praktek ritual pagan semacam ini,
dan jika mereka melakukannya, mereka akan dihukum mati. Dalam kehidupan
bangsa Israel kuno, hukuman mati kadang dijatuhkan pada umumnya kepada
orang Israel yang melakukan suatu pelanggaran ritual, di antaranya
menyembah allah-allah lain, mengumpulkan kayu api pada hari Sabat
(Bilangan 15:32-36), memakan persembahan-persembahan ritual dengan cara
yang tidak pantas (Bilangan 18:32), bertindak sebagai imam dengan cara
yang tidak sah (Bilangan 3:10)./25/
Roma 1:26-27
“Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tidak wajar. Demikian juga suami-suami meninggalkan persetubuhan
yang wajar dengan isteri mereka dan menyala-nyala dalam berahi mereka
seorang terhadap yang lain, sehingga mereka melakukan kemesuman (Yunani: hÄ“ askhÄ“mosunÄ“), lelaki dengan lelaki, dan karena itu mereka menerima dalam diri mereka balasan yang setimpal untuk kesesatan mereka.”
Surat
Roma ditujukan Rasul Paulus kepada orang-orang Kristen yang berdiam di
Roma (1:7). Mereka terbenam dalam kebudayaan Romawi di mana perilaku
homoseksual ditemukan di mana-mana dan diterima oleh masyarakat. Dalam
paganisme kota Roma, orang melakukan ibadah dan ritual kesuburan di
kuil-kuil dewa-dewa dan di kultus-kultus misteri, dengan di dalamnya
aktivitas pesta-pora seksual dilaksanakan gila-gilaan. Dengan bantuan
anggur, berbagai macam obat perangsang, musik dan dukungan hadirin, para
peserta ritual kesuburan ini terbawa masuk ke dalam keadaan mabuk dan
kehilangan kendali diri, yang mendorong mereka tanpa kendali
melampiaskan hasrat birahi mereka dalam suatu hubungan seksual yang
tidak normal. Inilah konteks religius kultural teks Roma 1 yang sedang kita soroti./26/
Sebutan
“hawa nafsu yang memalukan” dalam teks Roma 1:26 mengacu kepada keadaan
mabuk dan gila-gilaan ini yang dialami oleh sejumlah orang di jemaat
kota Roma, yang telah meninggalkan kekristenan lalu menganut paganisme
kota itu (1:18-23). Semula mereka alamiahnya adalah perempuan-perempuan
heteroseksual dan laki-laki heteroseksual. Tetapi, ketika mereka sudah
beralih ke paganisme kota Roma dan ambil-bagian dalam ritual-ritual
kesuburan pagan, perilaku seksual mereka berubah: kaum perempuan
heteroseksual menjadi lesbian, dan kaum lelaki heteroseksual menjadi
gay. Paulus menyatakan bahwa mereka menerima “balasan yang setimpal”;
ini tampaknya mengacu kepada penyakit kelamin yang telah menjadi
epidemik di kalangan peserta kultus kesuburan Paganisme kota Roma./27/
Nah, kalangan inilah yang dikecam dan diperingati Rasul Paulus dalam
Roma 1:26-27 sebagai kalangan yang bermoral bobrok dan patut dihukum
mati (1:28-32), bukan kalangan yang karena orientasi seksual yang ada
pada diri mereka menjalani kehidupan homoseksual.
Karena
konsep “orientasi seksual” baru diperkenalkan di abad ke-20 ketika
seksualitas dikaji secara ilmiah, dan tentu belum dikenal oleh Rasul
Paulus, maka sangatlah tidak tepat jika kalangan Kristen konservatif
memakai teks Roma 1:26-27 untuk menolak dan mengutuk homoseksualitas
secara umum.
1 Korintus 6:9-10
“Atau
tidak tahukah kamu bahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan
mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang cabul,
penyembah berhala, orang berzinah, banci [malakoi], orang pemburit [arsenokoitai], pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah.”
Kata-kata
Yunani untuk kata-kata “banci” dan “orang pemburit” (kata-kata ini
dipakai dalam Alkitab Terjemahan Baru Lembaga Alkitab Indonesia) adalah malakoi dan arsenokoitai. Ihwal apa yang dimaksud dengan kata-kata ini dalam pikiran Rasul Paulus banyak diperdebatkan; dan mungkin sekali kata arsenokoitai adalah
kata yang diciptakan sendiri olehnya mengingat sebelum dia menulis
surat 1 Korintus kira-kira di tahun 55 M tidak ada penulis lain yang
telah memakainya./28/
Kalangan Kristen konservatif menafsirkan kedua kata ini overall sebagai homoseksual dalam arti seumumnya (bandingkan terjemahan arsenokoitai
sebagai “homosexual offenders” dalam Alkitab New International Version
yang terjemahannya sarat dengan pandangan kekristenan konservatif).
Menurut mereka, para homoseksual tidak akan masuk ke dalam Kerajaan
Allah, atau dengan kata lain mereka akan masuk neraka setelah kematian.
Jelas, ini bukanlah sebuah tafsiran yang tepat.
Jika
Rasul Paulus (menulis surat 1 Korintus sekitar tahun 55 M) bermaksud
mengacu ke homoseksual, dia akan memakai sebuah kata Yunani lain yang
standard, yakni kata paiderasste yang menunjuk kepada orang yang berperilaku homoseksual antara lelaki dengan lelaki./29/
Septuaginta
(LXX) (terjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani yang dibuat
antara abad ke-3 dan abad ke-1 SM) menerjemahkan kata Ibrani quadesh dalam 1 Raja-raja 14:24; 15:12; dan 22:46 ke dalam suatu kata Yunani yang kurang lebih serupa dengan kata arsenokoitai.
Perikop ini dalam LXX ini mengacu ke para “pelacur lelaki yang bekerja
di kuil”, yaitu kaum pria yang terlibat dalam ritual seksual di dalam
kuil-kuil pagan (Indonesia: pemburit bakti)./30/
Beberapa
pemimpin lain gereja perdana berpikir bahwa surat 1 Korintus juga
mengacu ke para pemburit bakti di kuil-kuil pagan. Ada juga yang
berpendapat bahwa arsenokoitai sebetulnya mengacu ke para pelacur
laki-laki yang menerima pelanggan perempuan, suatu pekerjaan yang
tampaknya umum dilakukan di dalam kekaisaran Romawi./31/ Di samping itu,
sangat mungkin arsenokoitai juga mengacu ke orang-orang yang bekerja sebagai germo atau muncikari./32/
Malakoi (yang
diterjemahkan sebagai “banci” dalam Alkitab TB LAI) sebetulnya mengacu
ke seorang lelaki muda atau seorang anak lelaki yang terlibat dalam
hubungan seksual lewat anus dengan seorang lelaki dewasa yang
memilikinya sebagai budaknya. Malakoi adalah mitra seks seorang pria dewasa yang kaya raya. Dengan demikian, istilah yang kedua, arsenokoitai,
dapat mengacu ke lelaki dewasa yang memiliki seorang budak yang
dijadikan mitra seksualnya pada saat si lelaki dewasa ini berhasrat
melampiaskan nafsu syahwatnya. Praktek seksual semacam ini, antara tuan
dan budak lelaki, antara seorang pedofili dan korbannya, biasa dijumpai
dalam dunia Yunani-Romawi pada era permulaan kekristenan./33/
Jelaslah,
dalam 1 Korintus 6:9-10 Rasul Paulus tidak sedang mengecam dan mengutuk
orang-orang yang memiliki orientasi homoseksual, baik laki-laki maupun
perempuan. Yang ditolak olehnya adalah para praktisi hubungan seksual
dalam ritual-ritual kesuburan di kuil-kuil pagan, atau, orang-orang
lelaki kaya yang memperlakukan budak-budak lelaki mereka sebagai objek-objek pelampiasan nafsu syahwat mereka, atau orang-orang yang bekerja sebagai
muncikari.
Jelas, Rasul Paulus menyamakan kedudukan semua golongan ini,
yakni sebagai orang-orang yang tidak akan masuk ke dalam Kerajaan
Allah, padahal anak-anak lelaki yang menjadi budak-budak pemuas nasfu
seksual para tuan mereka adalah korban-korban yang patut diberi
pertolongan.
1 Timotius 1:9-10
“… yakni dengan keinsafan bahwa hukum Taurat itu bukanlah bagi orang yang benar, melainkan bagi… orang cabul dan pemburit [arsenokoitÄ“s], bagi penculik, bagi pendusta,…”
Pandangan negatif Rasul Paulus terhadap arsenokoitēs (yang
diutarakannya dalam surat 1 Korintus pada tahun 55 M, sebagaimana telah
dibahas di atas) tetap dipertahankan dalam surat 1 Timotius sebagai
salah satu surat pastoral yang ditulis oleh para penjaga dan penafsir
warisan teologis Paulus (dua lainnya adalah 2 Timotius dan Titus) antara
tahun 100–150 M, yakni paling jauh delapan puluh lima tahun setelah
Paulus dieksekusi. Bagi penulis surat 1 Timotius, perilaku arsenokoitÄ“s bertentangan dengan “ajaran yang sehat” yang disusun berdasarkan “injil Allah” (ayat 10,11)./34/
Yudas 1:7
“…
sama seperti Sodom dan Gomora dan kota-kota sekitarnya, yang dengan
cara yang sama melakukan percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang
tak wajar, telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan kepada
semua orang.”
Sama
seperti Kejadian 19 tidak menyatakan dengan spesifik apa dosa kota
Sodom (lihat ulasannya di atas), Yudas 1:7 juga tidak dengan spesifik
menyatakan apa yang disebut penulisnya sebagai “kepuasan-kepuasaan yang
tak wajar”, yang tidak harus ditafsirkan, seperti tafsiran Kristen
konservatif, sebagai hubungan homoseksual.
Frasa Yunani dari frasa “kepuasan-kepuasan yang tak wajar” dalam teks ini adalah sarkos heteras, yang secara harfiah, karena direndengkan dengan “percabulan” atau pornea dalam bahasa Yunani/35/,
dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “nafsu daging
yang lain” atau “hasrat seksual yang tidak wajar” atau “hasrat seksual
yang menyimpang” atau “syahwat yang tidak alamiah”./36/
Penulis
Surat Yudas menempatkan perilaku seksual yang menyimpang ini dalam
konteks peristiwa pemusnahan kota Sodom dan Gomora seperti dikisahkan
dalam Kejadian 19. Dengan demikian, sarkos heteras ini dapat
ditafsirkan sebagai keinginan penduduk laki-laki kota Sodom untuk
memperkosa dua malaikat yang mengunjungi kota mereka. Keinginan ini
sesungguhnya adalah suatu penyimpangan, karena mereka ingin menggagahi
dua malaikat tuhan secara seksual, padahal mereka adalah manusia biasa
sementara malaikat adalah makhluk bukan-manusia. Perlu diketahui ada
sebuah legenda Yahudi kuno yang mengisahkan bahwa perempuan-perempuan
Sodom juga terlibat hubungan seksual dengan para malaikat./37/
Jadi,
yang dikecam dan dikutuk oleh penulis Surat Yudas bukanlah
homoseksualitas, tetapi keinginan penduduk Sodom untuk bersetubuh dengan
makhluk bukan manusia. Dalam hukum Taurat terdapat larangan keras
manusia bersetubuh dengan binatang sebagai makhluk bukan manusia (Imamat
18:23).
Kesimpulan kajian teks
Tidak
satu pun dari tujuh teks utama tentang homoseksualitas dalam kitab suci
gereja yang telah dikupas singkat di atas mengutuk homoseksualitas dan
perilaku homoseksual sejauh homoseksualitas ini dipahami sebagai suatu orientasi seksual seseorang dan sejauh
perilaku homoseksual ini dipandang sebagai suatu relasi homoseksual
antar kalangan gay atau antar kalangan lesbian yang dibangun karena
kesepakatan kedua mitra, yang dilandasi cinta dan dijaga oleh komitmen
untuk membangun suatu persekutuan hidup yang intim dan langgeng.
Jadi,
teks-teks yang telah dikupas di atas tidak tepat atau tidak relevan jika
dipakai untuk mengutuk homoseksualitas atas nama sebuah doktrin agama
atau atas nama suatu Allah atau, lebih parah lagi, untuk
mengkriminalisasi para homoseksual di zaman modern ini.
Masih
ada sejumlah teks lain dalam Alkitab yang bisa diacu dalam rangka
kajian keagamaan terhadap homoseksualitas, yakni Kejadian 1:28; Kejadian
2:18; Kejadian 2:23-24; Kejadian 9:20-29; Ulangan 23:17; 1 Raja-raja
14:24; 15:12; 22:46; 2 Raja-raja 23:7; Hakim-hakim 19:14-29; Matius
8:5-13; Matius 19:4-5; Matius 19:10-12. Silakan semua teks ini dikaji
sendiri.
Homoseksualitas dalam dunia hewan
Satu
hal penting patut dicatat, bahwa perilaku homoseksual juga
diperlihatkan oleh sejumlah 1.500 spesies binatang. Ini fakta yang tentu
sangat mencengangkan bagi yang baru pertama kali tahu. Karena
homoseksualitas pada binatang tentu bukan timbul karena pola pergaulan
yang tidak bermoral, maka homoseksualitas pada binatang harus dipandang
sebagai suatu pemberian alam, yang memperkaya warna kehidupan di planet
Bumi ini.
Ketika sepasang pinguin homoseksual sedang bercinta-cintaan,
tidak ada ketentuan agama pinguin dan ketentuan hukum positif negara pinguin
yang mereka langgar. Perhatikan rangkuman artikel sangat informatif yang
berjudul “Homosexual Behaviour in Animals” dalam Wikipedia yang ditulis pada alinea pembuka artikel ini:
“Perilaku
homoseksual pada hewan-hewan adalah perilaku seksual di antara
spesies-spesies non-manusia yang ditafsir sebagai homoseksual atau
biseksual. Ini mencakup aktivitas-aktivitas seksual, percumbuan,
percintaan, berpasang-pasangan, dan peran sebagai sepasang induk, di
antara pasangan-pasangan hewan sesama jenis seks. Riset-riset
menunjukkan bahwa berbagai perilaku homoseksual ini ditemukan di semua
dunia hewan. Sampai 1999, sudah terdokumentasi 500 spesies yang
menjalankan pola kehidupan homoseksual, mulai dari primata hingga ke
cacing-cacing dalam perut. Menurut tim pengorganisasi pameran Against Nature? di tahun 2006, perilaku homoseksual telah teramati ada pada 1.500 spesies.”/38/
Sebelumnya, di tahun 1999, biolog Dr. Bruce Bagemihl telah menulis
sebuah buku yang berjudul Biological Exuberance: Animal Homosexuality
and Natural Diversity./39/ Pada masa itu, sudah ditemukan ada 450
spesies hewan non-manusia yang memperlihatkan perilaku homoseksual;
bahkan digolongkan sebagai LGBT. Angka 450 ini termasuk ke dalam 1 juta
spesies yang sudah dikenal di Bumi. Tetapi jika penelitian dikaji lebih
jauh, Dr. Bagemihl memperkirakan akan ditemukan antara 15 hingga 30
persen spesies hewan non-manusia yang berperilaku homoseksual dalam
aneka bentuk, bahkan juga sebagai organisme biseksual dan transgender.
Aku cinta kamu, kamu cinta aku, mari kita bergandengan tangan....!
Para ideolog anti-LGBT ini hendaknya tahu bahwa Dr. Bagemihl adalah
seorang gay yang sudah diakuinya dengan terus terang sejak dini. Dia
tidak sakit jiwa. Pikirannya sehat. Cerdas. Jenius. Berprestasi
cemerlang. Bukunya ini, yang ditulisnya setelah 9 tahun melakukan riset
lapangan, memberi banyak pengetahuan baru tentang zoologi dan perilaku
seksual hewan-hewan. Jika sebagai heteroseksual anda mencemooh karya Dr.
Bagemihl hanya karena dia seorang gay, tanyalah diri anda sendiri, prestasi keilmuan apa yang anda
sudah sumbangkan ke dunia sains. NOL BESAR, bisa jadi.
Dengan naif banyak ideolog anti-LGBT menyatakan bahwa hasil kajian Dr.
Bagemihl tentang homoseksualitas dalam dunia hewan non-manusia pasti
tidak objektif, pasti bias, sebab dia menulis buku itu hanya untuk
membenarkan dirinya sebagai seorang gay. Ini tanggapan saya kepada
mereka yang berprasangka keji itu: suatu temuan saintifik dalam bidang
apapun baru absah disebut sebagai temuan saintifik jika temuan ini
dicapai lewat metode pengkajian sains yang absah, yang dapat diulang
kembali oleh para saintis lain kapanpun dan di manapun dengan hasil yang
sama. OS seorang saintis, LGBT sekalipun, sama sekali tidak ada
hubungannya dengan temuan-temuan ilmiah mereka yang memenuhi kriteria
temuan ilmiah.
Juga saya mau bertanya: Apakah seorang perempuan yang
menjadi ginekolog, yang memiliki ilmu pengetahuan dan kemampuan teknis
untuk menangani hal-hal yang terkait dengan semua organ reproduktif
perempuan, termasuk payudara, akan tidak objektif dan bias dalam dia
bekerja sebagai seorang ginekolog hanya karena dia perempuan? Atau, justru karena dia perempuan, dan punya pengalaman perempuan, analisis dan diagnosisnya akan dapat lebih objektif.
Jika LGBT adalah realitas umum dalam dunia hewan non-manusia, mengapa orientasi
homoseksual pada manusia (yang notabene adalah hewan mamalia cerdas)
harus dipandang sebagai suatu penyimpangan akhlak yang harus dikutuk
atas nama suatu ajaran agama?
Jadi, perlu ditegaskan bahwa orientasi
homoseksual pada manusia juga sama alamiahnya dengan orientasi
heteroseksual atau orientasi biseksual. Heteroseksualitas tidak bisa
dijadikan norma untuk menilai dan melecehkan apalagi mengkriminalisasi
baik homoseksualitas maupun biseksualitas. Tetapi, adakah
landasan-landasan ilmiah bagi pernyataan saya ini? Atau saya asbun? Tentu saja ada.
Bersambung ke Bagian 2:
Temuan-temuan sains modern tentang homoseksualitas