N.B. Update mutakhir 24 Maret 2018
Demikian juga, ketika mereka masuk ke dunia partikel-partikel subatomik yang tidak tampak oleh mata biasa, para saintis menemukan suatu dunia yang weird, yang sukar atau tak terpahami sepenuhnya oleh sains yang ada sekarang, yang akibatnya menimbulkan juga suatu kegairahan dan ketakjuban yang mendorong mereka untuk terus menyelidikinya tanpa lelah.
Prinsip Ketidakpastian Heisenberg menyadarkan kita bahwa dunia partikel subatomik tidak akan pernah bisa kita kontrol, eksplorasi dan pahami sepenuhnya. Kita, misalnya, tidak akan pernah bisa menentukan dengan sepersis-persisnya posisi sebuah elektron dalam dunia subatomik.
Tetapi berbeda dari sikap para agamawan teistik, ketika para saintis berhadapan dengan transendensi kosmologis dan transendensi quantum mereka tidak menyembah transendensi ini melainkan menatapnya dengan terpesona lewat berbagai jenis wahana dan instrumen lalu mengkaji dan menyelidikinya lewat metode-metode saintifik.
Aktivitas-aktivitas saintifik mereka membuat mereka menemukan banyak wonder dalam jagat raya dan interkoneksi yang kuat di antara seluruh materi yang membentuk jagat raya.
Magi puitis
Keterpesonaan dan wonder yang para saintis alami dan temukan dalam kosmos, membawa mereka ke dalam suasana bertemu dengan apa yang biolog terkenal Richard Dawkins namakan “magi puitis” (poetic magic)./12/
Bagi Dawkins yang ateis, dunia ini, kosmos yang mahaluas, dan kehidupan kita sehari-hari dan kehidupan semua organisme, dipenuhi oleh magi, oleh wonder, diresapi oleh dimensi-dimensi transenden yang membuatnya terpesona, masuk ke dunia puitis, dan lewat sains dia berusaha memahami semuanya dengan metode-metode saintifik secara berdisiplin. Dalam banyak momen kehidupan mereka, para saintis besar kerap menjadi sangat puitis, lembut dan halus. Mustinya Dawkins juga begitu.
Setelah saya membaca tuntas buku bagus Dawkins The Magic of Reality yang salah satu bagiannya memuat ulasan menarik tentang poetic magic, saya dapat menyatakan dengan yakin bahwa poetic magic Dawkins adalah transendensi-dalam-imanensi, dan imanensi-dalam-transendensi.
Dengan menyatakan bahwa realitas itu “magic”, Dawkins bermaksud menegaskan bahwa di dalam segala realitas natural yang menjadi objek kajian sains terdapat dimensi-dimensi transenden, dimensi-dimensi yang magis, yang terus-menerus selalu melahirkan perspektif-perspektif baru yang terus bertambah, berubah dan makin mempesona. Sains itu terus mengalir, berubah, dan tak pernah diam di tempat.
Saya jadi teringat pada sosok filsuf Yunani dari Efesus, Heraklitus (lahir di ujung abad ke-6 SM), yang menyatakan bahwa jagat raya ini, dan segala sesuatu di dalamnya, termasuk manusia, "semuanya mengalir/berubah" (Yunani:
panta rhei) dan "tak ada sesuatu pun yang tinggal tetap selamanya" (
kai ouden menei), sama seperti tak ada orang yang pernah melangkah dua kali di arus air yang sama dari sebuah sungai.
Dalam memoarnya yang berjudul menarik
An Appetite for Wonder (terbit di ujung tahun 2013), Richard Dawkins menyatakan bahwa sejak muda dia memang sudah tertarik pada masalah-masalah eksistensial yang agama-agama coba untuk jawab.
Tulis Dawkins, “Aku senantiasa tertarik pada pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai kehidupan ini, pertanyaan-pertanyaan yang agama-agama ingin jawab (tetapi gagal). Tapi beruntunglah aku karena aku hidup dalam suatu zaman di mana pertanyaan-pertanyaan semacam itu diberi jawaban-jawaban saintifik ketimbang jawaban-jawaban supernatural.”/13/
Itu sebuah pernyataan yang sangat jelas yang menunjukkan bahwa Dawkins, meskipun ateis, memiliki perhatian sangat kuat pada dimensi-dimensi transenden kehidupan ini, yang menjadi fokus agama-agama, yang disebutnya “pertanyaan-pertanyaan mendalam mengenai kehidupan ini” atau saya dapat sebut sebagai
big questions.
Berbeda dari agama, Dawkins memberi jawab atas pertanyaan-pertanyaan ini secara saintifik. Jadi, sekali lagi, bagi Dawkins transendensi itu ada dalam imanensi, dan juga sebaliknya.
Dalam sebuah wawancara dengannya yang dilakukan oleh Laura Sheahen, berkaitan dengan bukunya yang terbit di tahun 1998, Richard Dawkins menyatakan,
“Bukuku,
Unweaving the Rainbow,/14/ adalah sebuah upaya untuk mengangkat sains ke level puisi dan untuk menunjukkan bagaimana seseorang dapat... membangun suatu sikap spiritual terhadap sains. Bukan dalam arti supernatural, melainkan bahwa ada banyak misteri yang menggairahkan pikiran yang harus disibak. Saat aku merenungi dalam-dalam ukuran dan keluasan jagat raya, kedalaman waktu geologis, dan kompleksitas kehidupan, semua ini, bagiku, memberi banyak inspirasi. Semua ini membuat kehidupanku layak dipakai untuk mengkajinya.”/15/
Kembali kita temukan, bagi Dawkins, dimensi transenden (spiritualitas) memenuhi dimensi imanen (sains), dan juga sebaliknya. Hal ini jugalah yang ditemukan oleh Carl Sagan, sebagaimana sudah dibeberkan di atas.
Pikiran sebagai matriks
Fisikawan Jerman yang pada 1918 memenangkan Hadiah Nobel fisika, Max (Karl Ernst Ludwig) Planck (1858-1947), yang dipandang sebagai salah seorang pendiri teori quantum, pernah di tahun 1944 menyatakan bahwa “segala materi berasal-usul dan ada hanya karena suatu daya.... Kita harus menganggap di belakang daya ini ada Pikiran (Mind) yang sadar dan cerdas. Pikiran adalah matriks segala materi”./16/ Mari sekarang kita fokus pada “Pikiran” yang disebut Planck ini.
Dalam eksperimen-eksperimen di laboratorium yang berkaitan dengan dualitas gelombang/partikel dalam dunia mekanika quantum, para fisikawan telah lama menemukan bahwa partikel-partikel elektron (atau sebuah partikel foton atau sebuah partikel elementer lainnya apapun) dalam dunia subatomik memiliki semacam
proto-kesadaran dan
kehendak bebas pada dirinya sendiri (sebagai segi gelombang dari sebuah partikel elementer) selain sebagai materi (sebagai segi partikel dari sebuah partikel elementer).
Dalam rangka ini, fisikawan teoretis Amerika David J. Bohm (1917-1992) dalam artikelnya “A New Theory of the Relationship of Mind and Matter” menulis,
“Hal-hal mental dan hal-hal material adalah dua sisi dari satu proses yang menyeluruh yang (seperti bentuk dan isi) terpisah hanya di dalam pikiran dan bukan di dalam realitas yang sebenarnya. Sesungguhnya, ada satu energi yang menjadi basis dari semua realitas.... Tak pernah ada pemisahan real apapun antara sisi mental dan sisi material pada tahap apapun dari keseluruhan prosesnya.”/17/
Nah, “Mind” yang dimaksud oleh Planck mengacu ke dunia subatomik ini, yang di dalamnya setiap partikel fundamental memiliki serentak segi mental (kesadaran dan kehendak bebas, atau pikiran) dan segi material.
Sebelumnya, di tahun 1931, Planck menulis, “Aku memandang kesadaran sebagai sesuatu yang mendasar. Aku memandang materi berasal dari kesadaran. Kita tidak dapat mengetahui apa yang ada di balik kesadaran. Segala sesuatu yang kita bicarakan, segala sesuatu yang kita pandang ada, memerlukan dalil adanya kesadaran.”/18/
Dengan demikian, “Pikiran” dalam pemahaman Planck adalah segi mental atau segi kesadaran dari setiap partikel subatomik, yang tidak dapat dipisahkan dari segi materialnya.
Lebih jauh dari itu, para saintis kini bahkan sudah menemukan dan sedang mempelajari fitur-fitur dan struktur-struktur yang “menyerupai kehidupan” dalam debu-debu bintang inorganik di angkasa luar. Catat, debu-debu
inorganik!
Dalam reportase tentang temuan ini ditulis bahwa
“sebuah tim internasional telah menemukan bahwa di bawah kondisi-kondisi yang pas, partikel-partikel debu inorganik dapat terorganisasi membentuk struktur-struktur heliks. Struktur-struktur ini lalu dapat berinteraksi satu sama lain dengan cara-cara yang biasanya dihubungkan dengan senyawa-senyawa organik dan kehidupan itu sendiri.
Struktur-struktur plasma yang kompleks dan terorganisasi sendiri ini memperlihatkan semua properti yang diperlukan sehingga memenuhi syarat untuk struktur-struktur ini menjadi kandidat-kandidat bagi materi inorganik yang hidup. Materi-materi ini otonom, mereproduksi diri sendiri dan berevolusi.”/19/
Jadi, materi dan kesadaran tampak tidak terpisahkan, baik dalam dunia quantum maupun dalam jagat raya, dunia antar-bintang.
Nah, jika Pikiran yang disebut Planck adalah “matriks segala materi”, Pikiran ini adalah rahim dan wadah persemaian yang melahirkan, membentuk dan mengembangkan segala materi. Itulah arti frasa “matriks segala materi”.
Jelas, Pikiran yang semacam ini bukanlah sekadar pikiran-pikiran kecil manusia, tapi
Pikiran Besar jagat raya yang tidak terpisah dari keseluruhan materi-energi yang membentuk jagat raya. Jika pikiran itu energi, maka pikiran ini memang ekuivalen dengan materi yang bermassa, seperti dinyatakan dalam persamaan Einstein yang tersohor E = mc
2.
Jagat raya ini memiliki Pikiran di dalam segala materinya, dan memiliki materi di dalam Pikirannya. Keduanya tidak dapat dipisahkan; keduanya ekuivalen. Harus kita namakan apa lagi jika Pikiran Besar jagat raya ini tidak kita sebut sebagai transendensi?
Jika demikian, para saintis (yang teis, maupun yang ateis dan agnostik) sebetulnya ambil bagian di dalam Pikiran Besar ini lewat pemikiran-pemikiran saintifik hebat yang mereka bangun, yang dilahirkan oleh kemampuan rasional otak mereka, dan dibuktikan lewat metode-metode ilmiah.
Lahirnya sains adalah suatu keharusan, suatu keniscayaan, bukan suatu kebetulan. Sains adalah imanensi dalam transendensi Pikiran Besar jagat raya. Dalam sains, transendensi menyusup masuk ke dalam imanensi.
Higher intelligence
Tetapi apa yang diasumsikan Planck sebagai “Mind” ini tentu bisa juga ditafsirkan sebagai
higher intelligence yang mungkin sekali memang menghuni banyak bagian jagat raya yang tanpa batas. Salah satu di antaranya adalah
Homo sapiens, organisme cerdas yang kita namakan manusia yang moyang pendahulunya yang dinamakan hominin baru muncul di Bumi 400.000 tahun lalu,/20/ yang di belakangnya perjalanan evolusi biologis spesies sudah berlangsung sepanjang 3,5 milyar tahun.
Organisme-organisme luar Bumi yang memiliki tingkat kecerdasan jauh di atas manusia mungkin sekali sudah memiliki sains dan teknologi yang sudah luar biasa maju sehingga mereka sanggup menciptakan jagat-jagat raya, dan mungkin sekali juga dulu mereka telah menciptakan moyang Homo sapiens sebagai bagian dari eksperimen-eksperimen mereka dalam dunia sains perekayasaan genetik.
Sangat mungkin mereka telah meninggalkan pesan-pesan dan tandatangan mereka di dalam kode genetik kita, berupa pesan-pesan matematis dan semantis, yang ditulis sangat jauh di masa lampau dalam galaksi kita, yang menunggu untuk kita urai. Usaha mengurai ini sedang dijalankan./21/
Orang ateis yang sangat aktif Richard Dawkins sangat keras menolak kepercayaan kaum Kristen kreasionis terhadap sang perancang cerdas (
the intelligent designer) jagat raya yang mereka (dengan diam-diam) namakan Allah.
Tetapi Dawkins sendiri bisa menerima suatu kemungkinan saintifik yang kuat bahwa di dalam jagat-jagat raya yang ada bisa terdapat alien-alien supercerdas yang lewat sains dan teknologi mereka yang sudah sangat maju sanggup menciptakan moyang-moyang Homo sapiens pada zaman yang sangat purba, seperti baru disinggung di atas. Tentang ini, Dawkins menyatakan:
“Adalah mungkin pada zaman dulu, di suatu tempat di dalam jagat raya, suatu peradaban berevolusi, mungkin sekali lewat cara-cara evolusioner seperti yang digambarkan Charles Darwin. Mungkin sekali peradaban ini mencapai tingkat kemajuan teknologi yang tak terbayangkan.
Lalu peradaban ini mendesain sebentuk kehidupan yang mereka budidayakan mungkin di planet Bumi. Bagaimanapun juga ini adalah sebuah kemungkinan, dan sebuah kemungkinan yang sangat merangsang pikiran.
Aku beranggapan adalah mungkin kalau suatu saat nanti anda akan dapat menemukan bukti-bukti tentang ini jika anda melihat ke detail-detail biokimia dan biologi molekuler; di situ anda akan dapat menemukan suatu tandatangan dari sejenis perancang cerdas.”/22/
Jadi, sementara kalangan kreasionis Kristen percaya pada
the divine intelligent designer, Dawkins percaya pada
super-human (or alien) intelligent designers.
Dalam suatu dunia yang makin saintifik dan teknologis, mungkin sukar sekali kita membedakan antara “the divine” dan “the super-human”, ketika sains dan teknologi yang sudah sangat maju tak bisa lagi dibedakan dari magi, seperti dikatakan oleh penulis kreatif fiksi-fiksi sains Arthur C. Clarke.
Siapa yang bisa membuktikan salah jika kita berpikir, spekulatif sekalipun, seperti Erich von Däniken, bahwa adalah mungkin “makhluk-makhluk sorgawi” yang dulu mendatangi moyang-moyang Homo sapiens yang lalu mereka sembah sebagai tuhan-tuhan atau dewa-dewi sebetulnya adalah alien-alien cerdas yang datang dari atas, dari angkasa luar? Pendapat ini tak bisa dibuktikan secara ilmiah benar atau tidak, tetapi hanya bisa dipercaya atau tidak.
Panspermia
Sebetulnya teori tentang “super-human (or alien) intelligent design” sudah diajukan sebelumnya di tahun 1973 oleh Francis Crick (pemenang Hadiah Nobel tahun 1953 bidang genetika lewat penemuan DNA) bersama Leslie Orgel, teori yang mereka namakan teori “panspermia terkendali” (“directed panspermia”): kehidupan di planet Bumi semula dibudidayakan oleh alien cerdas dari angkasa luar lewat molekul DNA yang mereka rancang.
Teori ini diusulkan oleh Crick berhubung dia melihat molekul DNA terlalu kompleks untuk bisa dihasilkan oleh evolusi lewat seleksi alamiah sebagaimana digambarkan Charles Darwin, sehingga dia perlu menteorikan adanya suatu perancang cerdas yang telah mendesain molekul ini. Karena menerima banyak kritik, akhirnya Crick menarik kembali teorinya ini, dan kini oleh Dawkins teori ini tampaknya dihidupkan kembali.
Para teis menilai teori ini sebagai sebuah fiksi sains belaka berhubung, kata mereka, hingga kini kita tidak punya bukti apapun bagi keberadaan alien-alien cerdas di angkasa luar. Tetapi, sebaliknya, mereka juga harus diingatkan bahwa memandang sang perancang cerdas ini sebagai Allah juga sebuah fiksi belaka, sebab hingga kini kita juga tak pernah menemukan bukti-bukti empiris apapun bagi keberadaan Allah.
Tetapi, hemat saya, bukankah adanya Homo sapiens di planet Bumi juga merupakan sebuah bukti bahwa organisme cerdas memang ada di dalam jagat raya? Jika organisme cerdas ada dalam jagat raya, apakah harus hanya ada di Bumi? Hemat saya, tidak harus.
Di situ, kita berhadapan dengan persoalan yang terus hingga saat ini belum terpecahkan dengan sangat meyakinkan, yaitu persoalan
Paradoks Fermi yang sudah saya ulas panjang lebar di sebuah tulisan lain saya: Setelah banyak variabel diperhitungkan lewat nalar ilmiah, kesimpulannya adalah alien-alien cerdas yang berperadaban tinggi haruslah ada. Tapi paradoksnya, seperti ditanyakan oleh Enrico Fermi, adalah di manakah mereka berada?/23/
Dalam anjurannya untuk kita tidak membuat kontak dengan alien-alien cerdas karena mereka menurutnya jahat, astrofisikawan Stephen Hawking menyatakan bahwa “Kita hanya perlu memandang ke diri kita sendiri untuk melihat bagaimana kehidupan cerdas dapat berkembang menjadi sesuatu yang kita tidak ingin jumpai.”/24/
Dengan kata lain, bagi Hawking manusia adalah suatu bukti adanya kehidupan cerdas dalam jagat raya ini, dan watak agresif manusia juga akan ditemukan dalam diri alien-alien cerdas. Namun bagi Carl Sagan, mustinya semakin tinggi peradaban alien-alien cerdas, semakin tinggi dan agung juga moral mereka.
Selain itu, karena alam itu secara empiris ada dan evolusi lewat seleksi alamiah adalah suatu proses yang memang nyata, maka jauh lebih realistik jika kita menghipotesiskan bahwa alam ini memiliki kemampuan
abiogenesis, kemampuan menciptakan DNA yang hidup dari zat-zat kimia yang mati yang disebarkan ke dalam jagat raya lewat supernovae, jika kondisi-kondisi natural di angkasa luar dan di planet Bumi yang diperlukan sudah tersedia.
Kapasitas abiogenesis dari alam ini, dalam jagat raya, juga disebut sebagai kapasitas “panspermia”: kapasitas untuk memunculkan benih-benih kehidupan di segala tempat, di mana-mana, di dalam keseluruhan jagat raya. Bukti-bukti telah terkumpul dengan makin banyak bahwa
kapasitas panspermia jagat raya adalah suatu kapasitas yang real./25/
Pada sisi lain, sangatlah tidak realistik jika kita melakukan sebuah “lompatan iman”, masuk ke teologi, dengan menyatakan bahwa suatu Oknum Supernatural telah menciptakan manusia langsung jadi dan sempurna tanpa udel dan tanpa lewat proses evolusi seperti diyakini kaum kreasionis. Jangan juga dilupakan bahwa abiogenesis adalah sesuatu yang sudah dibuktikan dengan sukses oleh sains biologi sintetis sebagaimana dikaji dan dikembangkan oleh J. Craig Venter./26/
Jadi, dalam mencari asal-usul kehidupan jauh lebih dapat diandalkan jika kita berpaling ke biologi, kimia dan fisika, ketimbang ke teologi yang didasarkan pada otoritas wahyu dan iman. Dalam hal ini, fideisme menjadi tidak masuk akal, dan "saintisme" (maksud saya: suatu preferensi atas sains, alih-alih atas iman, dalam usaha-usaha memahami segala fenomena dengan objektif) menjadi sebuah pilihan yang niscaya.
Agama Intelligent Design
Ada baiknya pada kesempatan ini kita berpaling sejenak ke salah seorang pembela gagasan tentang “intelligent design” (ID), yakni Stephen C. Meyer. Berkaitan dengan informasi genetik yang terdapat di dalam DNA manusia, Meyer menyatakan hal-hal berikut ini:
“Ketika aku belajar lebih jauh mengenai teka-teki DNA, aku mendapatkan serangkaian pengetahuan: mengenai kodrat informasi; mengenai mengapa informasi dalam DNA melampaui fisika dan kimia; mengenai mengapa informasi ini melampaui jangkauan kejadian yang kebetulan belaka; mengenai pesan-pesan yang real yang diberikan beranekaragam eksperimen simulasi; dan mengenai kriteria yang membuat penjelasan-penjelasan historis sebagai penjelasan-penjelasan terbaik.
Saat aku menggunakan metode saintifik historis untuk mengevaluasi bukti-bukti dan penjelasan-penjelasan tandingan berdasarkan kriteria ini, akhirnya aku menyadari bahwa hipotesis desain memenuhi masing-masing kriterion ini.”/27/
“Hipotesis desain memberikan penjelasan terbaik dan paling memadai mengenai asal-usul informasi yang diperlukan untuk menghasilkan kehidupan pertama di Bumi.… Informasi selalu datang dari
sumber yang cerdas, dari
suatu pikiran dan bukan suatu proses yang semata-mata material. Dengan demikian, penemuan informasi digital yang khas dalam molekul DNA memberikan landasan-landasan kuat untuk menyimpulkan bahwa
kecerdasan memainkan suatu peran di dalam asal-usul DNA.”/28/
“Pengalaman kita yang seragam menunjukkan bahwa pikiran mempunyai kapasitas untuk menghasilkan informasi yang khas. Sebaliknya, pengalaman telah memperlihatkan bahwa proses-proses material tidak memiliki kapasitas ini.
Hal ini menyarankan bahwa pikiran adalah kandidat yang lebih baik sebagai
entitas dasariah untuk menjelaskan asal-usul informasi yang khusus ini, sebagai sesuatu yang darinya informasi semacam ini pertama-tama muncul….
Suatu pikiran immaterial yang ada dari dirinya sendiri dapat berfungsi dengan baik sebagai
penyebab hakiki adanya informasi biologis…. Desain cerdas―yang didefinisikan sebagai suatu pilihan dari
suatu agen rasional untuk mengaktualisasi suatu kemungkinan―sangat mungkin menjadi
suatu penyebab fundamental yang tidak memerlukan penyebab sebelumnya bagi keberadaannya sendiri.”/29/
Jadi, bagi Meyer yang mempertahankan hipotesis ID, informasi genetik dalam DNA yang memungkinkan kehidupan pertama muncul di planet Bumi berasal-usul dari “sumber yang cerdas”, dari “suatu pikiran yang immaterial”, “suatu agen yang rasional”, “suatu entitas dasariah”, yang ada “dari dirinya sendiri, tanpa penyebab sebelumnya”, yang tidak berwujud material. Sedikit lebih persis, “agen yang rasional” ini adalah “suatu agen yang personal”, “suatu kecerdasan yang dengan sadar mengarah ke suatu tujuan tertentu”, “suatu agen cerdas yang telah ada sebelum kemunculan manusia.”/30/
Meyer mula-mula menyatakan bahwa teori ID “tidak membuat klaim-klaim tentang suatu hakikat ilahi, dan tidak bisa mengajukan klaim-klaim itu. Teori ini membuat sebuah klaim yang lebih moderat yang didasarkan pada pengalaman seragam kita mengenai jenis penyebab―maksudnya,
suatu penyebab yang cerdas― yang bertanggungjawab bagi asal-usul bentuk dan informasi biologis.”
Tetapi pada akhirnya ketika dia harus menyebut identitas “agen yang rasional dan personal” ini, dia memunculkan kata “Allah” sambil berkeluh-kesah dengan mendalam, demikian: “Aku tahu pada saat aku berkata bahwa aku secara pribadi berpikir bahwa Allah adalah sang perancang cerdas itu”, siapapun “akan menepis kasus ID sebagai ‘agama’” karena mereka “beranggapan bahwa jika suatu ide bersifat religius, maka ide ini tidak memiliki basis fakta atau bukti.”/31/
Apa pendapat saya tentang pandangan-pandangan Meyer ini? Meyer sudah betul ketika dia menyatakan “pikiran yang cerdas” sebagai penyebab adanya informasi genetik dalam DNA kita; pendapatnya ini, dari satu sudut, sejalan dengan apa yang Max Planck sebut sebagai “Pikiran sebagai matriks segala materi”, sebagaimana sudah dikemukakan di atas.
Tetapi Meyer terlalu cepat berkesimpulan lewat lompatan iman saat dia menyatakan “pikiran yang cerdas” ini adalah suatu agen personal yang ada pada dirinya sendiri, yang sudah ada sebelum adanya kehidupan pertama, yang diidentifikasinya sebagai “Allah”.
Bukankah “pikiran yang cerdas” ini, ditinjau dari sudut fisika quantum, adalah aspek gelombang dari sebuah partikel, yakni aspek mentalnya, yang tidak dapat dipisahkan dari aspek partikelnya, yakni aspek materialnya.
Meyer juga keliru saat dia membuat dikotomi pikiran versus materi. Bukankah dalam dunia partikel, dikotomi ini tidak ada, sebab setiap partikel subatomik memiliki serentak sisi mental (sebagai pikiran) dan sisi material (sebagai partikel).
Emptiness is fullness
Selain itu, mengapa Meyer tidak berpikir bahwa “pikiran yang cerdas” yang dia hipotesiskan itu dapat mengacu juga ke kecerdasan alien-alien cerdas, seperti sudah disebut di atas. Jadi, ketimbang menjadi sebuah solusi ilmiah, teori ID yang diusulkan Meyer terperosok masuk ke dalam ranah teologi.
Kembali ke Pikiran yang diasumsikan Planck sebagai “matriks segala materi”. Tanpa perlu merujuk ke sosok yang orang beragama namakan Tuhan, sebetulnya ketika para saintis ateis dan agnostik menyelidiki banyak misteri dan
wonder dalam jagat ini, baik jagat cilik dalam dunia mekanika quantum maupun jagat gede dalam kosmos secara keseluruhan, mereka mengarah ke Pikiran Besar yang ada di belakang dan menyelimuti semua materi, lewat pikiran-pikiran kecil mereka.
Semua hal yang kita pandang sebagai misteri dan
wonder sebetulnya adalah Pikiran Besar yang belum dapat kita masuki dan urai lewat pikiran-pikiran kecil kita sekarang ini. Ketika waktu terus melaju, dan sains-tek kita makin maju, misteri-misteri dan
wonder ini akan bertahap dapat kita masuki dan urai satu demi satu, tanpa pernah habis.
Pada akhirnya, bisa jadi pikiran-pikiran kecil kita akan sepenuhnya menjadi satu dengan Pikiran Besar dalam jagat raya. Saat ini telah dicapai, tak ada lagi transendensi dan imanensi. Kekosongan adalah puncak.
Emptiness is fullness. Dari kosong menuju penuh, dibutuhkan keabadian.
Memotivasi hidup
Tidak pelak lagi, pada masa kini transendensi juga menyelubungi para saintis, transendensi yang melahirkan baik puisi, musik dan agama, maupun matematika, dalam dunia imanen. Yang menciptakan baik piano dan gamelan maupun mesin-mesin MRI, Large Hadron Collider, dan wahana-wahana antariksa. Yang membuat orang menangis haru atau tertawa bahagia atau keduanya sekaligus. Yang membuat para saintis (teis, ateis atau agnostik) mengembangkan sains terus-menerus dan sekaligus mendorong mereka berbuat bajik tak kenal lelah untuk umat manusia dan kosmos secara keseluruhan.
Jadi, orang teis, orang agnostik dan orang ateis, semuanya sama-sama memerlukan dimensi-dimensi transenden, dimensi-dimensi yang melampaui dunia sehari-hari, yang membuat kehidupan dalam dunia ini terasa menggairahkan, yang menimbulkan dalam diri kita motivasi-motivasi, yang memberi kita perasaan takjub luar biasa, dan yang mendorong kita untuk mengembangkan sains terus-menerus, tanpa henti dan tanpa titik final.
Selalu mengelak
Tanpa dimensi-dimensi transenden, manusia mungkin sekali akan kehilangan makna kehidupan ini, tak termotivasi untuk melangkah maju, ke depan, terus-menerus, untuk mencapai transendensi yang terus menjauh dan selalu mengelak ketika mau digenggam mutlak oleh tangan-tangan manusia yang kecil. Transendensi itu terlihat hanya bayang-bayangnya, hanya ekornya, hanya terasa sejuknya ketika bertiup semilir, bermain petak umpet terus dengan kita.
Dalam bahasa sains, Freeman John Dyson, seorang matematikus dan fisikawan teoretis Amerika kelahiran Inggris, dengan bagus dan jernih mengungkapkan dimensi-dimensi transenden ini demikian,
“… dunia matematika murni tidak pernah habis dijelajahi; tidak ada seperangkat terbatas aksioma-aksioma dan kaidah-kaidah inferensi yang selalu dapat merangkum keseluruhan matematika…. Aku berharap bahwa suatu situasi yang analog ada di dalam dunia fisika.
Jika pandanganku tentang masa depan benar, itu berarti bahwa dunia fisika dan dunia astronomi juga tidak akan pernah habis dieksplorasi; tidak peduli berapa jauh kita telah masuk ke masa depan, akan selalu ada hal-hal baru yang bermunculan, informasi baru terbit, dunia-dunia baru tersedia untuk dijelajahi, suatu kawasan kehidupan, kesadaran, dan memori yang terus-menerus makin meluas dan berkembang.”/32/
Hal yang sama juga diungkap dengan sangat bagus oleh kosmolog dan fisikawan teoretis Michio Kaku. Tulisnya,
“Jagat raya saat tercipta bisa jadi tak masuk akal, acak, atau tidak terduga. Namun jagat raya kini tampak bagi kita utuh, koheren, dan indah…. Akan selalu ada hal-hal yang melampaui pemahaman kita, yang mustahil kita eksplorasi. Tetapi hukum-hukum dasariah, aku percaya, dapat diketahui dan terbatas. Kita tidak sedang berada di akhir, melainkan di awal suatu fisika baru. Tetapi apapun yang kita temukan, akan selalu ada horison-horison baru yang senantiasa menunggu kita.”/33/
Pendek kata, tidak ada orang ateis murni, dalam arti orang yang sama sekali tak memerlukan dimensi-dimensi transenden dalam kehidupannya. Tanpa dimensi-dimensi transenden, kehidupan akan terasa kering dan menjadi sumber besar tekanan kejiwaan. Dan hal yang penting adalah jangan cari transendensi di luar imanensi, sebab transendensi ada dalam imanensi dan imanensi ada dalam transendensi.
Jangan cari transendensi di luar jagat raya, sebab transendensi ada dalam jagat raya dan jagat raya ada dalam transendensi. Ini bukan sebuah perspektif klenik atau paranormalis atau mistis atau gaib, tetapi sebuah perspektif saintifik yang membuka diri pada infinitas, ketidakberhinggaan.
Melampaui dualitas
Ateisme adalah sebuah posisi kognitif dan sikap afektif terhadap dimensi-dimensi transenden dalam kehidupan ini, yang dipahami berbeda oleh agama-agama.
Kaum ateis memahami dimensi-dimensi ini lewat sains, agama-agama lewat mitologi-mitologi. Yang satu memakai pendekatan yang cerdas (lewat sains), dan yang satunya lagi menggunakan pendekatan yang tidak cerdas, atau fideisme, lewat mitologi-mitologi. Lalu dengan keras mereka, para agamawan masa lampau, mengklaim mitologi-mitologi ini sebagai fakta-fakta
as such, padahal sebetulnya metafora-metafora yang menunjuk dan menyeberangkan kita ke realitas lain yang melampaui jauh di atas realitas kita sehari-hari.
Mana yang anda mau pilih, saya serahkan kepada anda masing-masing, sebab apa pilihan anda sangat ditentukan oleh tingkat kematangan intelektual dan spiritual anda, tingkat prestasi pembelajaran anda, tingkat kuriositas anda.
Meskipun demikian, dalam pandangan saya, hal yang sungguh-sungguh bermanfaat adalah jika anda ikut serta mengembangkan sains terus-menerus, dan menghindar dari keadaan terpaku mati pada mitologi-mitologi yang dipahami harfiah.
Tentu di saat kita kanak-kanak, dongeng-dongeng mitologis sangat asyik dan meresap jika kita dulu dengarkan, seperti di usia dewasa kita juga asyik dan tertawan oleh film-film fiksi sains. Hal yang terpenting adalah kita mau dan mampu membedakan dan memisahkan mana fakta sains dan mana dongeng mitologis atau metafora, dan mana metafora yang baik dan mana metafora yang brutal dan durjana.
Sekarang ini kita hidup dalam era sains modern, dan peradaban teknologis modern kita baru berusia 300 hingga 400 tahun. Mustahil dalam era modern ini kita kembali memakai mitologi-mitologi dalam menjelaskan semua realitas, lalu menggeser atau malah membuang sains.
Pilihan kita hanya satu: kita harus maju ke muka, ke zaman-zaman yang makin saintifik, dan bagi kita sama sekali tak ada titik balik ke masa-masa lampau. Inilah masa depan dunia kita: kemajuan tanpa batas, bukan kemunduran; akhlak yang makin agung, bukan makin bobrok.
Jika kita, misalnya karena berbagai alasan keagamaan, memilih sikap dan perilaku antisains, maka sudah pasti kita akan termarjinalkan, terpinggirkan, tersingkir, lalu terkalahkan, menjadi para pecundang yang agresif, frustrasi, berang, dan keras, dan akhirnya akan punah. Ya, hal yang malang nian.
Posisi ateistik sudah melampaui dualitas transendensi versus imanensi, atau sebaliknya (yang dipertahankan dalam agama-agama teistik), dengan menempatkan keduanya dalam suatu interpenetrasi non-dualistik yang menggairahkan dan subur. Suatu
advaita: suatu interpenetrasi, suatu kesatuan, antara Atman sebagai dunia imanen dan Brahman sebagai dunia transenden.
Sebagai sebuah posisi intelektual dan sikap afektif terhadap hal-hal transenden dalam hal-hal yang imanen, dan terhadap hal-hal imanen dalam hal-hal yang transenden, ateisme bukanlah agama atau mistisisme dalam bentuk apapun. Hal ini saya harus garisbawahi, sebab banyak sekali orang ateis yang tidak intelektual, tapi picik, fanatik, selalu mau menang sendiri, bicara kasar dan vulgar tentang agama-agama, dan tak punya afeksi terhadap transendensi. Orang ateis jenis ini tidak berbeda dari orang yang beragama yang ekstrim, keras dan militan.
Itulah temuan saya tentang hakikat ateisme, setelah menggumulinya dengan serius, dan mendasarkannya pada pandangan-pandangan para raksasa di dunia sains. Usaha saya ini membutuhkan banyak energi, alhasil tertuang dalam tulisan ini.
Pandanglah pikiran saya ini sebagai sebuah interpretasi baru terhadap ateisme, sehingga tidak perlu lagi terjadi serang-menyerang dengan agresif antara kaum agamawan dan kaum ateis. Keduanya sama-sama memerlukan dimensi-dimensi transenden dalam dunia yang imanen. Keduanya perlu rendah hati dan hidup dalam rasa kagum terhadap transendensi dalam dunia imanen.
Mudah-mudahan isi pikiran saya ini, entah bagaimana caranya, sampai ke Richard Dawkins, alhasil sang biolog ini akan dapat berubah menjadi seorang ateis yang lebih lembut dan kalem dalam menjalankan misinya untuk mencerahkan dunia lewat sains. Saintis ateis militan dan agresif itu juga sebuah oxymoron.
Penutup
Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip tiga orang ternama berturut-turut. Pertama, sebuah pernyataan indah almarhum Carl Sagan yang agnostik mengenai hubungan sains dan spiritualitas. Tulisnya,
“Dalam perjumpaannya dengan Alam, sains selalu menimbulkan rasa takjub, takzim dan tunduk. Saat kita memahaminya lewat sains, di saat itulah kita merayakan kesatuan dan keterleburan kita dengan Jagat Raya yang mempesona, jikapun hanya dalam tingkatan yang sedang-sedang saja. Dan bangunan pengetahuan yang sudah terakumulasi dari seluruh penjuru dunia lambat laun mengubah sains menjadi sesuatu yang sedikit kurang dari suatu meta-pikiran (
meta-mind) yang melintasi bangsa-bangsa dan generasi-generasi…. Sains bukan hanya sejalan dengan spiritualitas; sains adalah sebuah sumber besar spiritualitas.
Ketika kita mengenali tempat kita di dalam jagat raya yang lebarnya bertahun-tahun cahaya tak terhitung dan di dalam rentang waktu bermilyar-milyar tahun yang sudah berlalu, ketika kita menangkap seluk-beluk yang rumit, jalin-jalinan yang halus dan keindahan kehidupan, maka muncullah dalam diri kita perasaan yang melambung tinggi, perasaan berbahagia yang menyatu dengan perasaan rendah hati. Perasaan-perasaan ini sungguh-sungguh spiritual.”/34/
Kutipan kedua berasal dari astrofisikawan terkenal masa kini Neil deGrasse Tyson. Dia menyatakan,
“Ketika aku memandang ke atas, menatap langit malam, maka aku tahu, ya, kita semua adalah bagian dari Jagat Raya, kita semua berada di dalam Jagat Raya; tapi mungkin hal yang lebih penting dari semua fakta itu adalah bahwa Jagat Raya berada di dalam kita. Saat aku merenungi fakta itu, aku memandang ke langit―banyak orang merasa kecil, karena mereka kecil sedangkan Jagat Raya ini besar―
tapi aku merasa besar, karena atom-atom tubuhku berasal dari bintang-bintang itu.
Aku merasakan suatu ikatan, suatu konektivitas pada level tertentu―itulah yang engkau sungguh-sungguh inginkan dalam kehidupan. Engkau ingin merasa terhubung, terkoneksi, engkau ingin merasakan ikatan-ikatan dan jalinan-jalinan. Engkau ingin merasakan bahwa engkau berpartisipasi dalam segala hal yang sedang berlangsung, dalam segala kegiatan dan segala kejadian di sekitarmu. Itulah persisnya apa kita ini, yang kita rasakan hanya lewat kehidupan kita.”/35/
Dan yang terakhir kutipan dari seorang astronom zaman kuno, abad ke-2 M, Ptolemeus, yang tinggal dekat Aleksandria. Tulisnya pada marjin sebuah bukunya,
“Aku tahu bahwa aku secara kodrati adalah seorang insan yang fana dan hidup sekilas saja. Tapi saat aku susuri dengan riang liku-liku gerak ke sana dan ke mari benda-benda langit, aku merasa tidak lagi berpijak di muka Bumi. Aku berdiri di hadapan Zeus sendiri dan aku melahap suguhan-suguhan untuk dewa-dewi sekenyang-kenyangnya.”/36/
Jagat raya penuh dengan hal-hal spiritual yang menakjubkan dan menggerakkan hati, dan ilmu pengetahuan adalah sebuah jalan yang sudah banyak teruji untuk kita masuk ke jantung jagat raya yang terus berdetak dengan hangat dan hidup.
Teis, ateis dan agnostik sama-sama mengalami kehidupan dan kehangatan Jagat Raya ini. Semuanya sama-sama merasakan Sang Transendensi yang memenuhi dan malah lebih luas dari jagat raya kita, karena di luar jagat raya kita masih ada jagat-jagat raya lain. Pikiran Besar ada di sana dan di sini, di mana-mana, tak terbendung, meresapi segala materi. Kehidupan kita bersumber dari sana. Kecerdasan kita berpangkal dari situ. Cinta kita mengalir darinya dan menuju ke dirinya juga. Suatu siklus cinta yang abadi.
Jika segala hal yang sudah dibentangkan di atas masih juga tidak berhasil meyakinkan anda, kaum ateis, bahwa anda juga memerlukan dimensi-dimensi transenden, seperti yang juga dibutuhkan kaum agamawan, maka supaya anda tidak sesumbar, saya anjurkan anda untuk menjadi ateis saintis.
Sebab hanya dengan menjadi ateis saintis, atau saintis ateis, anda baru akan bisa menemukan dan mengagumi alam ini yang ternyata penuh dengan dimensi-dimensi transenden yang mempesona. Mana yang lebih patut didengar, ateis kebanyakan, atau ateis saintis? Silakan anda dengan jujur dan rendah hati menjawabnya.
Ingatlah, sudah seharusnya orang-orang ateis saintis penuh keterbukaan pada masa depan yang tanpa akhir, tidak menjadi fanatik buta, tidak agresif dan vulgar. Mereka penuh respek pada orang yang beragama, berjuang bersama mereka untuk mewujudkan kehidupan di planet Bumi yang dilakoni dalam kedamaian, persaudaraan, keramahan, kelembutan, kebajikan, kesehatan dan umur panjang.
Catatan-catatan
/1/ Koran
Jakarta Post 31 Januari 2014 memberitakan bahwa Alexander Aan telah dibebaskan dari penjara pada 27 Januari 2014 setelah mendekam dalam penjara 18 bulan dari yang seharusnya 30 bulan. Meskipun sudah dibebaskan, Aan masih diwajibkan untuk secara berkala melaporkan diri ke pihak berwenang.
Pada 20 Januari 2012, berdasarkan pasal 28(2) UU Informasi dan Transaksi Elektronik Aan didakwa telah menyebarkan informasi yang bertujuan untuk memancing kemarahan dan kebencian keagamaan; dan berdasarkan pasal-pasal 156a(a) dan 156a(b) UU Pidana dia juga didakwa telah melakukan penodaan agama dan mendorong orang menganut ateisme.
Selain itu, Aan juga didakwa telah memberi keterangan palsu sebagai pemeluk agama Islam untuk KTP-nya. Pada 15 Juni 2012, Aan divonis 30 bulan penjara dan denda Rp 100 juta (= 8.190 USD).
Lihat berita “Atheist Alexander Aan gets of prison”,
Jakarta Post, 31 January 2014,
http://www.thejakartapost.com/news/2014/01/31/atheist-alexander-aan-gets-prison.html.
Lihat juga berita “Alexander Aan released from prison”,
Center for Inquiry, 31 January 2014,
http://www.centerforinquiry.net/blogs/entry/alexander_aan_released_from_prison/.
/2/ Zazen adalah suatu pelatihan pikiran yang dilangsungkan para murid Zen dalam posisi duduk bersila, posisi teratai/lotus, dengan pikiran dibiarkan bergerak sendiri, dan mereka tinggal hanya mengikuti gerak pikiran ini. Titik awal untuk membuat pikiran selanjutnya bergerak sendiri adalah konsentrasi meditatif terhadap sebuah koan.
Dalam Zen, koan adalah sebuah kisah atau sebuah dialog atau sebuah debat yang digunakan sebagai sebuah wahana sastra oleh para guru Zen untuk membimbing murid-murid mereka dalam pelatihan olah pikiran dan olah intuisi untuk tiba pada pencerahan budi. Zazen bisa berlangsung berjam-jam lamanya, bergantung pada banyak koan yang mereka sedang renungi.
Zen sendiri adalah sebuah aliran dalam Buddhisme Mahayana, yang fokus ritual terpentingnya adalah olah pikiran dan konsentrasi pikiran dalam suatu zazen, dan bagi Zen Buddhisme pengalaman religius tertinggi adalah olah pikiran. Kata Zen sendiri berarti meditasi (Sanskerta:
samādhi,
dhyāna).
/3/ Lihat Kurnia Sari Aziza, “Basuki: Saya Enggak Suka Ada Kolom Agama, 'Bodo' Amat!”,
Kompas.com, 13 Desember 2013,
https://megapolitan.kompas.com/read/2013/12/13/1552322/Basuki.Saya.Enggak.Suka.Ada.Kolom.Agama.Bodo.Amat.
Karena diserang oleh FPI atas pernyataannya, Basuki kemudian memperjelas apa yang dimaksudkan olehnya; tentang ini lihat “Ditentang FPI, Basuki luruskan pernyataan soal kolom agama”,
Kaskus,
http://www.kaskus.co.id/thread/52b09f8318cb172d758b4650/terjawab-ditentang-fpi-ahok-luruskan-pernyataan-soal-kolom-agama-di-ktp/.
/4/ Jon Kabat-Zinn dan Richard J. Davidson, bersama Zara Houshmand, eds.,
The Mind's Own Physician: A Scientific Dialogue with The Dalai Lama on the Healing Power of Meditation (Oakland, CA: New Harbinger Publications, 2011), hlm. 22.
/5/ Ioanes Rakhmat,
Beragama dalam Era Sains Modern (Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2013), bab 5 (hlm. 149-182).
/6/ Robert N. Bellah,
Religion in Human Evolution: From the Paleolithic to the Axial Age (Cambridge, Massachusetts/London, England: The Belknap Press of Harvard University Press, 2011), hlm. 96 ff.
/7/ Lihat Edward Wakin, “God and Carl Sagan: Is the Cosmos Big Enough for Both of Them?”,
U.S. Catholic (5): 19-24, May 1981.
/8/ Michael Shermer,
Why People Believe Weird Things: Pseudoscience, Superstition, and Other Confusions of Our Time (edisi revisi diperluas; kata pengantar Stephen Jay Gould) (New York, N.Y.: St. Martin's Griffin, 1997, 2002), hlm. 86.
/9/ Sasha Sagan, “Lessons of Immortality and Mortality From My Father, Carl Sagan”,
Nymag.com. The Cut, 15 April 2014,
http://nymag.com/thecut/2014/04/my-dad-and-the-cosmos.html.
/10/ Dave Breese,
7 Men Who Rule the World from the Grave (Chicago: Moody Press, 1990), hlm. 12-13.
/11/ Lihat Whitney Clavin, “Planck Mission Brings Universe into Sharp Focus”,
JPL NASA, March 21, 2013,
http://www.jpl.nasa.gov/news/news.php?release=2013-109; juga Paul Preuss, “Planck mission updates the age of the universe and what it contains”,
Berkeley Lab News Center, March 21, 2013,
http://newscenter.lbl.gov/science-shorts/2013/03/21/planck-results/. Reportase mutakhir tentang “dark matter”, baca Charles Q. Choi, “Elusive Dark Matter May Have Already Been Found”,
Space.com, 9 Desember 2013,
http://www.space.com/23879-dark-matter-detection-discovery.html.
Gambaran ringkas mutakhir tentang distribusi materi-energi jagat raya, lihat artikel "Chandra: Field Guide to X-Ray Astronomy: Dark Energy", edisi revisi 19 Agustus 2016,
Chandra X-Ray Observatory,
http://chandra.harvard.edu/xray_astro/dark_energy/index.html.
/12/ Richard Dawkins,
The Magic of Reality: How We Know What's Really True (diilustrasikan oleh Dave McKean; New York, etc., N.Y.: Free Press, 2011), hlm. 19 ff. Lihat juga Richard Dawkins, “Appetite for Wonder”,
Youtube posted 20 Desember 2013,
http://www.richarddawkins.net/news_articles/2013/10/16/richard-dawkins-appetite-for-wonder#.
/13/ Richard Dawkins,
An Appetite for Wonder: The Making of A Scientist (New York, N.Y.: HarperCollins Publishers, 2013), hlm. 13.
/14/ Richard Dawkins,
Unweaving the Rainbow: Science, Delusion and The Appetite for Wonder (New York, N.Y.: Houghton Mifflin Company, 1998).
/15/ Laura Sheahen, “The Problem With God: Interview With Richard Dawkins”,
Beliefnet,
http://www.beliefnet.com/News/Science-Religion/2005/11/The-Problem-With-God-Interview-With-Richard-Dawkins.aspx?p=2.
/16/ Ini diucapkan Max Planck dalam pidatonya yang disampaikan di Florence, Italia, 1944, yang berjudul
Das Wessen der Materie (“Hakikat Materi”). Lihat
Archiv zur Geschichte der Max-Planck-Gesselschaft, Abt. Va, Rep. 11 Planck, Nr. 1797.
/17/ David Bohm, “A New Theory of the Relationship of Mind and Matter”,
The Journal of the American Society for Psychical Research, Vol. 80, No. 2 (April 1986), hlm. 129 [113-135].
/18/ Dikutip dalam
The Observer, 25 Januari 1931.
/19/ Tentang ini lihat reportase Institute of Physics, “Physicists Discover Inorganic Dust With Lifelike Qualities”,
Science Daily, Aug 15, 2007,
http://www.sciencedaily.com/releases/2007/08/070814150630.htm.
/20/ Berlandaskan temuan DNA mitokondrial manusia kuno yang diekstrasi dari sebuah fosil tulang paha yang berumur 400.000 tahun yang ditemukan di Spanyol dalam sebuah goa yang dinamakan Sima de los Huesos (dalam bahasa Spanyol, artinya Lubang Tulang-tulang).
Lihat laporan temuan ini oleh Matthias Meyer, Qiaomei Fu, et al., “A Mitochondrial genome sequence of hominin from Sima de los Huesos”,
Nature (2013) doi:10.1038/nature 12788, diterbitkan online 04 Desember 2013,
http://www.nature.com/nature/journal/vaop/ncurrent/full/nature12788.html.
Lihat tinjauan hasil kajian ini oleh Carl Zimmer, “Baffling 400.000-Year-Old Clue to Human Origins”,
The New York Times Science, December 4, 2013,
http://www.nytimes.com/2013/12/05/science/at-400000-years-oldest-human-dna-yet-found-raises-new-mysteries.html?_r=0.
/21/ Selain saya, telah banyak orang yang berpikir ke arah ini, antara lain Ray Villard, “Is an alien message embedded in our genetic code?”,
News Discovery, 1 April 2013,
http://news.discovery.com/space/alien-life-exoplanets/could-an-alien-message-be-embedded-in-our-genetic-code-130401.htm#mkcpgn=emnws1.
/22/ Lihat artikel “Richard Dawkins on Intelligent Alien Design”, May 2008/July 2013,
http://www.theoligarch.com/richard-dawkins-aliens.htm.
/23/ Lihat Ioanes Rakhmat, "Paradoks Fermi, atau The Great Silence, atau Silentium Universi",
The Freethinker Blog, 2 Januari 2015,
https://ioanesrakhmat.blogspot.co.id/2015/01/paradoks-fermi-atau-great-silence-atau.html?m=0.
/24/ Lihat reportase “Stephen Hawking warns over making contact with aliens”,
BBC News, 25 April 2010, pada
http://news.bbc.co.uk/2/hi/8642558.stm.
/25/ Tentang kapasitas panspermia dalam jagat raya, lihat Ioanes Rakhmat,
Beragama dalam Era Sains Modern, hlm. 189-192. Sumber-sumber literatur yang dirujuk di situ perlu diperhatikan.
Lihat juga laporan yang berjudul “Physicists Discover Inorganic Dust With Lifelike Qualities”,
Science Daily, Aug 15, 2007,
http://www.sciencedaily.com/releases/2007/08/070814150630.htm.
Info mutakhir tersedia juga: Johnny Bontemps, “Space Dust Carries Water and Organic Carbon”,
Astrobiology Magazine, 4 February 2014,
http://www.astrobio.net/exclusive/5986/space-dust-carries-water-and-organic-carbon; artikel ilmiahnya tersedia, ditulis oleh John P. Bradley, Hope A. Ishii, et al., “Detection of Solar Wind-produced water in irradiated rims on silicate minerals”,
PNAS, 23 December 2013, doi:10.1073/pnas.1320115111,
http://www.pnas.org/content/early/2014/01/16/1320115111.abstract; Alvin Powell, “How Earth was watered: Recent findings have wide implications in study of extrasolar life”,
Harvardgazette, 27 February 2014,
news.harvard.edu/gazette/story/2014/02/how-earth-was-watered/; Elizabeth Howell, “Space Dust Is Filled with Building Blocks for Life”,
Huffingtonpost Science, 18 February 2014,
http://www.huffingtonpost.com/2014/02/18/space-dust-building-blocks-life_n_4808118.html?.
/26/ Tentang biologi sintetis yang dikembangkan J. Craig Venter, lihat Ioanes Rakhmat,
Beragama dalam Era Sains Modern (Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2013), Lampiran 3 (“DNA Sintetik dan Kehidupan Artifisial”), hlm. 443-446.
/27/ Stephen C. Meyer,
Signature in the Cell: DNA and the Evidence for Intelligent Design (New York, N.Y.: HarperCollins Publishers, 2009; edisi pertama paperback 2010), hlm. 326.
/28/ Stephen C. Meyer,
Signature in the Cell, hlm. 347.
/29/ Stephen C. Meyer,
Signature in the Cell, hlm. 394.
/30/ Stephen C. Meyer,
Signature in the Cell, hlm. 437.
/31/ Stephen C. Meyer,
Signature in the Cell, hlm. 440.
/32/ Freeman Dyson, dikutip dalam Michio Kaku,
Physics of the Impossible: A Scientific Exploration into the World of Phasers, Force Fields, Teleportation, and Time Travel (New York, N.Y.: Anchor Books, 2008), hlm. 300.
/33/ Michio Kaku,
Physics of the Impossible, hlm. 303.
/34/ Carl Sagan,
The Demon-Haunted World: Science as A Candle in the Dark (New York: Ballantine Books, 1996), hlm. 29.
/35/ Lihat Maria Popova, “Neil deGrasse Tyson on Space, Politics, and the Most Important Thing to Know About the Universe”,
Brain Pickings,
http://www.brainpickings.org/index.php/2012/03/06/neil-degrasse-tyson-space-chronicles-universe/.
/36/ Lihat Maria Popova, “From Ptolemy to George Eliot to William Blake: A Private History of Everyday Happiness”,
Brain Pickings,
http://www.brainpickings.org/index.php/2012/10/10/a-private-history-of-happiness/.