Pernah pada abad-abad lampau (sekitar abad ke-10), Islam jaya sebagai sebuah
peradaban dunia karena Islam pada masa itu dengan kreatif tanggap pada panggilan zaman.
Kata seseorang, bahkan Nurcholis Madjid sendiri, dengan mengutip seorang sejarawan Amerika, pernah menyatakan bahwa jika pada abad ke-10 Hadiah Nobel sudah ada, maka mungkin sekali dalam setiap tahun akan ada seorang Muslim yang mendapatkannya, karena pada era ini sains mengalami kemajuan pesat dalam dunia Islam./1/
Tentang apa yang dikatakan Cak Nur ini, hanya perlu diberi sedikit catatan saja. Seandainya pengandaiannya itu benar, yang membuat seorang saintis beragama Islam menerima Hadiah Nobel bukanlah agama Islamnya, tetapi karena sains yang dikembangkannya lewat metode-metode saintifik yang dipakai universal (observasi, eksperimentasi, empirisisme, instrumentalisme, verifikasionisme) dan penalaran yang digunakan (induksi, deduksi, dan abduksi).
Sains yang betul-betul sains (bukan agama yang disains-sainskan) tak berafiliasi apapun dengan agama apapun.
Adalah
fakta bahwa pada masa lampau dunia Islam juga menyumbang banyak hal penting
bagi dunia sains. Tidak ada yang akan menyangkal fakta ini. Peradaban modern
berhutang juga pada dunia Islam. Dunia inilah yang dulu berabad-abad lamanya
pernah membawa obor-obor kecerdasan dan pengetahuan, yang kemudian membuka
jalan bagi Renesans dan Pencerahan Eropa di abad ke-18.
Ilmu aljabar berkembang
di dalam komunitas-komunitas Muslim yang kaya dengan inovasi. Lewat mereka
juga, kita memperoleh kompas magnetik dan sarana-sarana navigasi. Dari dunia mereka
juga kita memahami bagaimana penyakit menyebar dan bagaimana menyembuhkan orang
dari berbagai penyakit.
Lewat mereka juga kita tahu bagaimana memakai pena dan
membuat percetakan. Kebudayaan Islam memberi kita struktur-struktur melengkung dan
kubah-kubah yang indah dan menara-menara yang menjulang tinggi.
Dari para
pujangga mereka kita memperoleh puisi-puisi dan syair-syair indah nan abadi dan
juga musik-musik yang patut dihargai tinggi. Kaligrafi yang menakjubkan muncul
dari seniman-seniman mereka yang tekun membaca Al-Qur’an.
Tempat-tempat
kontemplasi tak kurang dibangun oleh mereka. Sejumlah sufi besar dan begawan kearifan
dilahirkan dari berbagai sudut kebudayaan Islam, dari masa ke masa.
Itulah
fakta dunia Islam abad-abad lampau. Mengagumkan. Tetapi banyak orang sepakat kalau Islam pada zaman modern ini
mundur besar karena Islam sekarang tidak tanggap pada modernitas, dan malah dalam banyak hal, sadly,
digilas olehnya.
Yang saya maksudkan dengan “Islam” di sini bukan para
intelektual Muslim yang tentu saja banyak yang mampu berpikir modern, melainkan dunia Islam umumnya.
Semua agama tradisional, kalau melawan modernitas, akan digilas oleh
modernitas, sehingga lumpuh total terserang stroke kebudayaan (culture stroke), bukan hanya kaget terkena kejut kebudayaan (culture shock) saat bersentuhan dengan kebudayaan modern.
Benturan antarperadaban yang dipaparkan Samuel P. Huntington dalam bukunya The Clash of Civilizations pada level dasariahnya adalah benturan peradaban-peradaban yang dibangun oleh agama-agama (hemat saya, termasuk kekristenan) dengan modernitas yang dibangun di atas fondasi-fondasi pemikiran pagan Yunani kuno dan Pencerahan abad ke-18 di Eropa.
Sebagaimana ditulis Huntington, dalam rangka hubungan-hubungan antarperadaban yang diwarnai benturan, pada level makronya “perpecahan dan pemisahan yang dominan terjadi antara ‘Barat dan bagian-bagian lain dunia’, dengan konflik-konflik yang paling sengit dan dalam berlangsung antara masyarakat-masyarakat Muslim dan masyarakat-masyarakat Asia pada satu pihak, dan Barat pada pihak lain.” Huntington menegaskan bahwa benturan antarperadaban itu berlangsung justru “ketika Barat, satu-satunya di antara peradaban-peradaban, menimbulkan dampak yang besar dan kerap menghancurkan peradaban-peradaban lain”./2/
Saya ingin menegaskan, jika agama apapun ingin berperan signifikan dalam zaman
modern ini, dan tidak menjadi hancur dan binasa, jalannya hanya satu: berdialog empatetis dengan modernitas, bukan
melawannya, dan juga bukan tunduk di hadapannya tanpa harga diri. Dialog, sekali lagi dialog!
Adakah peradaban Islam modern global sekarang ini? Tidak
ada! Adakah peradaban Kristen modern universal sekarang ini? Tidak ada! Adakah peradaban Buddhis modern mondial sekarang ini? Tidak ada! Adakah peradaban Hindu modern mendunia dewasa ini? Tidak ada.
Eropa, Amerika, Australia, dan negeri-negeri lain yang bisa
secara kultural paradigmatik disebut “Barat”, bukan peradaban Kristen, tapi peradaban
modern. Ada banyak nilai-nilai Barat modern, dan juga landasan-landasan sains modern sendiri, yang ditemukan tidak sejalan dengan kekristenan.
Seperti sudah ditegaskan di atas, modernitas dan landasan-landasan sains berpangkal bukan pada kekristenan, tetapi pada paganisme kuno dan Pencerahan Eropa. Fakta ini sudah dibeberkan dengan bagus oleh pakar pengkaji sains di dunia kuno, Richard Carrier./3/
Betul, sekularisasi dan modernitas tidak melenyapkan
agama-agama dari dunia modern, sebab ada juga arus balik desekularisasi./4/ Tapi, ketika dilawan habis-habisan, sekularisasi dan modernitas akan pasti melumpuhkan agama-agama tradisional sehingga
agama-agama ini ada hanya terduduk di kursi-kursi roda, karena terserang stroke.
Dari kursi-kursi roda, agama-agama garis keras menghujat
habis-habisan modernitas, tapi juga memakai banyak fasilitas kehidupan modern
dalam gerakan mereka, termasuk dalam merencanakan dan melaksanakan aksi-aksi teror. Semakin keras dan garang sebuah agama, semakin terrorizing sebuah agama, semakin lumpuh agama ini dalam usaha-usaha mempengaruhi dunia ini dengan positif.
Kekerasan bukanlah masa depan peradaban umat manusia. Semakin tinggi peringkat peradaban suatu spesies cerdas, semakin agung akhlak spesies ini; itulah yang dikatakan oleh Carl Sagan. Ya Sagan tentu benar. Tanpa moral yang agung, dan sifat agresif besar, sebelum sebuah peradaban berkembang, peradaban ini akan hancur oleh perang yang timbul dari dorongan agresif manusia.
Sebagaimana dianjurkan Robert Johnson, untuk menangkal terorisme yang dilakukan atas nama agama-agama, langkah yang terbaik adalah meningkatkan dan memperluas sekularisasi pada aras global, alih-alih mengindoktrinasi umat-umat beragama dengan doktrin-doktrin keagamaan lain yang moderat dan yang menganjurkan perdamaian dan toleransi.
Indoktrinasi semacam ini hanya menggeser kepercayaan keagamaan yang pada kodratnya berwatak absolut, dari yang keras ke yang moderat. Absolutisme inilah yang dilihatnya sebagai problem besar dalam semua agama.
Selanjutnya, tulis Johnson, “Sekularisme dan pemikiran rasional syukur sekali telah membuat kekristenan sebagai agama nasional di Barat berubah menjadi moderat.... Dan beruntung sekali, karena sekularisme, terorisme Kristen sebagian besar telah lenyap sebelum peradaban modern menemukan teknologi yang memiliki kemampuan merusak yang sangat kuat.”/5/
Dengan kata lain, modernitas memiliki kemampuan untuk membuat agama-agama garis keras melunak, lewat nilai-nilai sekular yang ditawarkannya.
Tapi hemat saya, usaha mengajak umat-umat beragama meninggalkan doktrin-doktrin keagamaan yang mendorong mereka untuk melakukan kekerasan, lalu merangkul dan mengamalkan doktrin-doktrin yang memacu mereka berbuat bajik, adalah usaha yang juga perlu dilaksanakan, karena memang selalu ada segi-segi positif dalam setiap agama yang bisa akomodatif dengan modernitas.
Selain itu Robert Johnson juga perlu diingatkan bahwa meskipun terorisme atas nama kekristenan makin jarang atau nyaris tak pernah terjadi lagi, kekristenan evangelikal dewasa ini nyaris tidak punya peran positif apapun dalam usaha-usaha memajukan ilmu pengetahuan modern yang memerlukan pemikiran rasional untuk bisa berkembang. Saya akan segera balik lagi ke soal ini.
Saya selanjutnya ingin tekankan, bahwa selain terduduk lumpuh di kursi-kursi roda, agama-agama yang melawan modernitas juga terpaksa mengambil watak oportunis, dan jiwa-jiwa mereka juga terpecah, disadari atau tanpa disadari.
Salah seorang petinggi MUI bidang seni dan budaya, KH Cholil Ridwan, menolak demokrasi sebagai sebuah
metode modern mengelola negara, tapi juga memakai demokrasi dan Pancasila untuk tujuan jangka panjang islamisasi
NKRI. Katanya di tahun 2011,
“Untuk sementara ini, umat Islam bisa memanfaatkan ‘perahu’ demokrasi dan
Pancasila untuk menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang
memberlakukan syariat Islam. Jika sudah sampai ke tempat yang dituju,
Pancasila dan Demokrasi dapat kita tanggalkan dan menggantinya dengan
hukum Islam.”/6/
Yang saya maksudkan dengan “islamisasi” di sini adalah “Alquranisasi
dan Arabisasi” Indonesia, memundurkannya ke abad ke-7 konteks Jazirah Arabia.
Apa logikanya, selain logika oportunisme,
jika sang petinggi MUI itu memakai demokrasi modern dan Pancasila untuk islamisasi NKRI? Dan kata siapa, bahwa maksud sang petinggi MUI ini hanya relevan untuk umat Islam Indonesia, sementara NKRI ini milik bangsa Indonesia yang menganut agama-agama lain juga yang non-Islam?
Saya heran mengapa sebagai seorang petinggi MUI, KH Cholil Ridwan tidak mau melihat dan tidak mau memahami bahwa multikulturalisme dan pluralisme adalah fakta-fakta real di dalam negerinya sendiri, yang harus disikapi dengan toleran, cerdas dan terpelajar. Kita lihat dan tunggu saja di masa depan, apakah visi dan misi sang petinggi Muslim ini akan menggilas modernitas, ataukah sebaliknya: digilas modernitas.
Sebagaimana telah diungkap oleh Wahid Institute, di sepanjang tahun 2013 (Januari-Desember) MUI adalah lembaga keagamaan di Indonesia yang paling banyak melakukan intoleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia lewat fatwa-fatwa yang dikeluarkannya./7/ Kita jadi bertanya, apakah ke depannya, di tahun-tahun selanjutnya, MUI akan makin banyak mempraktekkan intoleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia.
Bukankah intoleransi itu sebuah bentuk ketidakadilan dan kezaliman? Saya teringat pada sebuah pernyataan hebat Ibnu Taimiyah, bahwa
“Allah akan menegakkan negara yang adil walau negara kafir, tapi akan
meruntuhkan negara yang zalim walau negara Muslim.”
Jadi, menurut Taimiyah, di pandangan mata Tuhan, benar atau tidaknya sebuah negara, ortodoks atau tidaknya sebuah negara, bukan bergantung pada agamanya atau pada keislaman, tetapi pada ihwal apakah para pemimpin negara ini berhasil menjadikan negara mereka negara yang di dalamnya keadilan dialami seluruh rakyatnya, yang di dalamnya tidak ada kezaliman bagi semua orang.
Mustinya semua alim-ulama di dalam MUI membenarkan, mendukung dan menjalankan visi agung kenegarawanan Ibnu Taimiyah ini. Memaksa menegakkan negara Islam sementara rakyat negara ini menganut agama-agama yang berbeda, jelas sebuah bentuk ketidakadilan dan kezaliman yang dilawan Ibnu Taimiyah.
Bagaimana dengan kekristenan? Kalangan Kristen evangelikal juga mengecam habis modernitas
dari kursi roda mereka, tapi juga menikmati banyak fasilitas kehidupan modern, setidaknya menikmati kursi roda buatan negeri mereka yang modern.
Kalangan Kristen evangelikal ini ingin kembali ke abad pertama zaman para rasul Yesus Kristus, tapi dengan memanfaatkan semua teknologi modern
dalam berbagai aktivitas ibadah dan penyebaran keyakinan-keyakinan mereka ke seluruh dunia.
Kalangan Kristen evangelikal ini ingin hidup dalam semangat “Injil
zaman kuno” sepenuhnya, tapi juga tanpa sungkan menikmati semua fasilitas
modern.
Kalangan Kristen evangelikal ini ingin menjadikan “Sepuluh
Perintah Musa” sebagai UUD negara mereka sendiri, Amerika Serikat, menggantikan UUD sekuler yang disusun para Bapak Pendiri tersohor negeri besar ini.
Dalam ideologi, kekristenan sayap kanan Amerika Serikat ini menolak modernitas dengan keras, tapi
dalam praktek kehidupan mereka, mereka menikmati modernitas tanpa malu-malu.
Skizofrenia!
Punya dampak sosio-kultural globalkah keberadaan kekristenan
evangelikal ini? Sama sekali tidak. Mereka garang tapi sambil duduk lumpuh di sebuah kursi
roda, di suatu sudut gelap planet Bumi.
Alih-alih mendorong perkembangan sains modern, kalangan Kristen evangelikal malah membangun “sains Alkitab” yang diberi nama kreasionisme dan intelligent design (ID),
dan dengan keras kepala menolak semua sains modern, khususnya sains evolusi dengan memakai sebuah argumen yang selalu mereka ulang-ulang, argumen yang mereka sebut “irreducible complexity” atau “kompleksitas yang tidak dapat disederhanakan.”/8/
Baiklah saya gambarkan ringkas apa yang dimaksud dengan “irreducible complexity”. Ini adalah adalah sebuah argumen yang dipakai kalangan pembela dogma ID yang pada hakikatnya menolak evolusi biologis.
Argumen ini menyatakan bahwa sistem-sistem biologis tertentu terlalu kompleks untuk dapat berasal dari evolusi sistem-sistem sebelumnya yang lebih sederhana atau yang kurang kompleks, lewat seleksi alam yang menghasilkan serangkaian mutasi yang terjadi secara alamiah dan kebetulan dan mendatangkan manfaat bagi sistem-sistem yang berevolusi ini. Argumen ini mula-mula diajukan oleh Prof. Michael Behe, pakar biokimia.
Menurutnya, sistem yang kompleks yang tidak bisa disederhanakan adalah sebuah sistem “yang terdiri atas beberapa bagian yang berinteraksi dan terpadu dengan baik, yang membuat sistem ini dapat menjalankan fungsi dasariahnya, sehingga kalau salah satu bagiannya ditiadakan, keseluruhan sistem akan sama sekali tidak berfungsi.”/8/
Tetapi para pakar biologi evolusioner telah menunjukkan bahwa sistem-sistem yang semacam itu juga dihasilkan lewat evolusi, dari yang tidak kompleks atau kurang kompleks menuju yang kompleks atau yang lebih kompleks.
Kembali ke evangelikalisme. Anehnya, kalangan Kristen ini anteng-anteng dan betah-betah
saja hidup setiap hari dalam negeri-negeri besar mereka yang sebetulnya dikendalikan
sains dan teknologi modern, bahkan mereka dengan freely mengambil keuntungan-keuntungan besar dari
gaya hidup modern.
Jadi, Kekristenan tradisional juga sudah lumpuh total di
kursi roda terkena stroke kebudayaan, diperparah juga oleh penyakit
skizofrenia dan gaya hidup oportunis.
Jadi, sekali lagi: setiap agama yang melawan modernitas,
akan terkena stroke kebudayaan sehingga lumpuh total duduk di kursi roda, dan
hanya mampu berteriak dari situ menghujat modernitas.
Dunia masa kini sedang dipersatukan bukan oleh agama apapun,
tapi oleh modernitas sebagai sebuah peradaban yang dari saat ke saat makin
mengglobal.
Sementara saya menyatakan hal ini, saya juga melihat kebenaran dalam apa yang dinyatakan Huntington, bahwa nilai-nilai Barat seperti demokrasi, toleransi, pasar bebas, pemerintahan yang terbatas, HAM, keutamaan individu, budaya saintifik, dan kedaulatan hukum (the Rule of Law) memang dirangkul dan dikedepankan oleh minoritas-minoritas di dalam peradaban-peradaban lain.
Tetapi sikap dominan terhadap nilai-nilai Barat ini beranekaragam, mulai dari skeptisisme yang luas sampai ke perlawanan yang kuat. Apa yang oleh Barat dipandang sebagai universalisme, bagi bagian-bagian lain dunia adalah imperialisme./9/
Jika agama-agama tradisional melihat Barat, dengan demikian juga modernitas dan semua nilainya, semata-mata sebagai imperialis, dan tidak bisa melihat peran modernitas sebagai pembebas dan pencerah dunia, maka agama-agama ini akan pasti tergilas oleh modernitas, cepat atau lambat.
Ada satu lagi nilai modern yang perlu diadopsi oleh setiap
agama jika mereka ingin berperan signifikan dalam dunia modern: humanisme.
Setiap orang yang hidup dalam semangat humanisme, akan
mengutamakan kemanusiaan, humanitas, bukan agama, sebagai pengikat semua insan di muka planet Bumi sebagai
saudara.
Kini sudah ada sebuah istilah legal baku, crime against humanity, yang dikenakan bagi setiap tindak kejahatan
dan kekerasan yang ditujukan kepada sejumlah besar manusia di belahan manapun
dari planet Bumi.
Semakin dalam seorang beragama jatuh ke dalam ego
primordialisme, semakin benci dia pada humanisme global, dus semakin terasing dia
dari dunia ini dan dari hati sesamanya yang berbeda agama darinya.
Jadi, kebalikannya, semakin kuat perhatian sebuah agama pada
isu-isu kemanusiaan global, semakin signifikan dan fungsional perannya dalam
dunia modern yang dihuni umat manusia yang menghayati bersama satu kemanusiaan
global.
Ke depan, peradaban global yang dilandasi sains-teks modern
dan humanisme, akan makin kuat, bukan makin lemah, dan siapapun yang
melawannya, akan tergilas.
Oh ya, ada satu lagi global
concern yang juga mempersatukan semua insan di muka Bumi ini pada masa kini
dan seterusnya ke depan, yakni usaha melestarikan planet biru kita ini dan
mencegah berbagai bahaya (buatan manusia sendiri atau ancaman bencana
alam/kosmik) yang dapat merusak dan melenyapkannya.
Usaha-usaha pelestarian planet ini tentu saja
pertama-tama sedang dan akan terus dijalankan para saintis dan teknolog; tetapi
partisipasi kita semua sebagai penghuni planet ini sangat diperlukan.
Dalam tata-kelola atas planet Bumi dan atas seluruh kosmos, kini sudah juga dimunculkan sebuah istilah legal, crime against creation, tindak kejahatan terhadap planet Bumi dan kosmos. Sudah muncul kesadaran yang makin meluas bahwa Bumi dan juga jagat raya dan semua organisme tidak terpisahkan, tetapi berhubungan satu sama lain, dan saling bergantung.
Tentu saja, saya ingin tekankan, peradaban modern bukanlah
malaikat suci tanpa dosa, tapi sebuah model kehidupan global yang masih
memiliki banyak cacat cela dan kekurangan. Lewat pendekatan saintifik, dan lewat banyak nilai modern yang
agung dan lewat manusia-manusia agung, segala cacat dan kekurangan modernitas yang masih ada, akan
kita atasi bersama-sama, tahap demi tahap dengan percepatan yang makin
meningkat. Kearifan-kearifan lokal dari banyak suku bangsa di dunia, yang
memiliki cita-cita yang sejalan dengan ideal-ideal modernitas, juga akan
berperan penting.
Modernitas akan makin kuat, bukan makin lemah, dan akan
makin kaya dengan ideal-ideal tentang bagaimana hidup lebih baik, lebih maju, lebih saintifik, lebih sehat, lebih
berbahagia, lebih bersaudara, dan lebih berbelarasa.
Jika anda ingin agama anda punya peran penting di masa depan
dunia, janganlah melawan modernitas, tapi berdialoglah dengannya secara
empatetis dan cerdas.
Sekali lagi, agama apapun yang melawan modernitas akan
terkena stroke kebudayaan lalu duduk lumpuh di kursi roda di sebuah sudut
ruangan global, dan paling banter akan dapat dari situ dengan rasa frustrasi
berteriak-teriak garang memaki dan menghujat modernitas.
Daripada anda lumpuh terduduk di kursi roda sambil dengan powerless teriak-teriak menghujat modernitas,
lebih baik anda berkawan dengannya, lalu memainkan peran fungsional di dalamnya.
Jika anda memilih menjadi seorang agamawan radikal, anda sedang melawan modernitas dan akhirnya akan mengalami stroke kebudayaan. Jika anda berpikir modern, anda akan dengan sadar menjauh dari radikalisme keagamaan apapun, sebab radikalisme keagamaan sama sekali bukan sebuah produk modernitas, melainkan reaksi defensif dan ofensif, reaksi orang kalap, terhadap nilai-nilai kehidupan yang ditawarkan modernitas.
Sudah merupakan tugas ilahi bagi anda sekarang: menjadi para
agamawan modern. Tak ada pilihan lain yang responsif, layak, relevan, signifikan, masuk
akal, dan langgeng.
Sebagai penutup, saya ingin menegaskan hal penting ini untuk anda tidak lupakan selamanya: Menjadi modern tanpa beragama, itu mungkin, tapi tetap beragama tanpa
menjadi modern akan menimbulkan penderitaan dalam diri anda dan anda akan pasti terkena skizofrenia yang tidak membahagiakan, dan akhirnya anda akan pasti kehilangan fungsi signifikan dari kehidupan anda dalam dunia ini.
Tentu anda dapat memilih untuk menempuh jalan kehidupan sebagai seorang mistikus atau seorang sufi yang hidup asketis di gurun-gurun pasir apa adanya, atau di tempat-tempat terpencil lainnya, yang terisolasi dari dunia luar, tak bersentuhan dengan modernitas. Tetapi saya bertanya pada anda: Apa signifikansi kehidupan seorang suci, sesuci apapun, jika dia tak memberi dampak apapun pada dunia luas di luar dunianya yang terpencil? Tidak ada!
Hemat saya, jika anda mau hidup suci, hidup asketis, jalanilah kehidupan semacam ini di dalam dunia modern sekarang ini, untuk mempengaruhinya secara substansial. Jika anda mau hidup beraskese, jalanilah askese anda di dalam dunia luas yang real, jalanilah, memakai istilah Max Weber, worldly asceticism, asketisisme duniawi. Terminologi yang dipakai Weber ini (dalam bahasa Jerman: weltliche Askese) perlu dijelaskan./10/
Dalam bukunya Sociology
of Religion, bab x (berjudul “The Different Roads to Salvation”), Weber
mendefinisikan “keselamatan” (“salvation”) sebagai “perilaku etis yang aktif
yang diberikan kepada seseorang sebagai suatu karunia yang khas, yang dijalankannya
dalam kesadaran bahwa allah memandu perilakunya, maksudnya: sang aktor menjadi
suatu instrumen allah. Kita dapat menyebut sikap dan perilaku jenis ini
terhadap keselamatan sebagai ‘asketis’, yang dicirikan oleh suatu prosedur metodis untuk
mendapatkan keselamatan keagamaan.”/11/
Bab xi bukunya itu berjudul “Asceticism, Mysticism and
Salvation Religion”. Pada bagian awal bab ini, Weber menulis,
“Jika seseorang
berkonsentrasi pada pengejaran keselamatan dengan nyata, orang ini akan dapat
menarik diri secara formal dari ‘dunia’”. Tindakan menarik diri dari dunia
inilah yang membuat seorang yang religius disebut “asketis”.
Tetapi bagi Weber,
tidak harus setiap asket menarik diri dari dunia dan semua persoalan di
dalamnya. Seorang asket bisa “berpartisipasi di dalam lembaga-lembaga dunia
ini, sekaligus juga melawan lembaga-lembaga ini” berdasarkan pola-pola sikap
dan kelakuan serta sifat-sifatnya yang sakral “sebagai instrumen yang dipilih
allah.”
Si asket yang semacam ini melihat diri “dapat memiliki kewajiban untuk
mengtransformasi dunia ini sejalan dengan ideal-ideal asketisnya sendiri.”
Dengan demikian, si asket ini menjadi seorang pembaharu masyarakat atau seorang
yang revolusioner.
Tipe askese yang semacam inilah yang Weber istilahkan weltliche Askese, worldly asceticism, atau asketisisme duniawi./12/ Mereka, para asket ini, ada di dalam dunia, dan membaharui dunia, tetapi bukan bagian dari dunia ini. Aura kesucian mereka bercahaya-cahaya di dalam keramaian dan kesibukan dunia, yang di dalamnya mereka ambil bagian dengan proaktif dan kreatif.
Jika seorang sufi itu seorang asket, maka jika si sufi menjalankan apa yang Weber istilahkan askese duniawi, si sufi ini pantas disebut sufi modern. Menjadi sufi modern, adalah sebuah perspektif cerdas yang akan mampu merelevansikan mistisisme dengan modernitas.
-----------------------
/1/ Denny JA, “Democracy Project: Denny JA tentang Cak Nur”, https://www.youtube.com/watch?v=xGIPajhyULY.
/2/ Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (New York, N.Y.: Touchstone, 1996, 1997), hlm. 183. Sejak buku ini diterbitkan, muncul banyak perdebatan. Tentang perdebatan ini, lihat Gideon Rose, ed., The Clash of Civilizations? The Debate: Twentieth Anniversary Edition (New York: N.Y.: Council on Foreign Relations, 2013). Bab terakhir buku ini berjudul menarik: “Sam’s Club: Samuel P. Huntington, R.I.P.”
/3/ Richard Carrier, “Christianity Was Not Responsible for Modern Science” dalam John W. Loftus, ed., The Christian Delusion: Why Faith Fails. Kata pengantar oleh Dan Barker. (Armherst, New York: Prometheus Books, 2010), hlm. 396-419.
/4/ Tentang sekularisasi dan desekularisasi, lihat Ioanes Rakhmat, Beragama dalam Era Sains Modern (Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2013), hlm. 1-32.
/5/ Robert Johnson, “Year in Review. 2013 Reminds Us Why Secularism Matters”, Richard Dawkins.Net, 21 January 2014, http://www.richarddawkins.net/foundation_articles/2014/1/20/year-in-review-2013-reminds-us-why-secularism-matters#.
/6/ Lihat “KH. Cholil Ridwan: Demokrasi dan Pancasila sebagai Tumpangan Sementara” dalam Voice of Al Islam, 6 Juni 2011, http://m.voa-islam.com//news/indonesiana/2011/06/06/15146/kh-cholil-ridwan-demokrasi-pancasila-sebagai-tumpangan-sementara/.
/7/ Lihat reportase Adinu, “MUI dianggap urutan teratas pelanggaran toleransi beragama”, Islam Indonesia, 22 Januari 2014, http://islamindonesia.co.id/detail/1200-MUI-Dianggap-Urutan-Teratas-Pelanggaran-Toleransi-Beragama#.UuC7FPvZHIX.
/8/ Lihat Wikipedia: “Irreducible Complexity”, http://en.wikipedia.org/wiki/Irreducible_complexity.
/9/ Samuel P. Huntington, The Clash of Civilizations, hlm. 184.
/10/ Pembahasan bagus mengenai maksud Weber dengan weltliche Askese diberikan oleh Paul Trafford dalam blog-nya, dengan judul “Weber’s Sociology of Religion: Asceticism and Mysticism”, 19 September 2008, http://paultrafford.blogspot.com/2008/09/webers-sociology-of-religion-asceticism.html.
/11/ Max Weber, The Sociology of Religion. Pengantar oleh Talcott Parsons; kata pengantar baru oleh Ann Swidler. E.T. by Ephraim Fischoff (Boston, Massachusetts, 1963, 1991, 1993), hlm. 163 ff.
/12/ Max Weber, The Sociology of Religion, hlm. 166.