Sang kusir sangat disusahkan oleh kuda hitamnya yang binal
N.B. editing mutakhir 23 Desember 2021, 30 Juni 2023
Saya mau
mengemukakan pandangan filsuf Plato (427 SM-347 SM) tentang fungsi akal atau
nalar manusia. Dalam karya dialog-nya yang berjudul Phaedrus (246a-254e) (ditulis 360 SM), Plato mengajukan sebuah alegori (metafora) tentang
kereta perang yang ditarik dua ekor kuda bersayap, yang dikendalikan oleh
seorang kusir sebagai petarung./1/
Satu ekor
kudanya berwarna hitam, berada di sebelah kiri, dan seekor lagi putih di
sebelah kanan. Untuk bisa naik ke dunia ilahi (dalam filsafat Plato dinamakan
dunia Forma) sang kusir dalam medan tempur harus bisa mengendalikan kedua ekor kuda
itu.
Kuda putih
di sebelah kanan melambangkan keberanian, heroisme, semangat dan moralitas.
Kuda ini cukup diperintah lewat kata-kata sang kusir. Kuda hitam di sebelah kiri
melambangkan emosi yang brutal tak terkontrol dan perasaan manusia yang binal. Kuda ini binal, harus
dipecut terus-menerus untuk mengendalikannya. Kuda hitam ini terus-menerus mendatangkan
masalah kepada sang kusir.
Sang kusir
kereta perang itu menggambarkan akal atau nalar manusia, yang harus
mengendalikan kedua ekor kudanya, khususnya kuda hitamnya. Jika sang kusir
gagal mengendalikan kuda hitamnya, kereta perangnya tak akan naik ke kawasan Forma atau kawasan ilahi untuk mendapatkan pencerahan, tapi akan terjungkal ke dalam kawasan
kegelapan dan kematian.
Bagi Plato,
hanya orang yang dengan akal dan nalarnya bisa mengendalikan emosi dan
perasaannya, yang akan mengalami pencerahan. Bagi Plato, emosi dan perasaan
manusia sangat buruk, selalu akan menghalangi aktivitas nalar, lalu menutup
pintu masuk ke dunia pencerahan.
Emosi dan perasaan anda, menurut Plato,
hanyalah seekor kuda binal yang akan menghambat laju kereta perang, karena itu
harus ditaklukkan dengan sekuat tenaga.
Emosi dan perasaan anda hanya akan
memerosotkan kemanusiaan anda, menjadikan anda manusia budak dengan pikiran
yang dangkal dan tak berkembang.
Jadi, semakin anda rasional dan bernalar,
semakin agung diri anda, dan pintu gerbang pencerahan terbuka lebar untuk anda.
Semakin
piawai sang kusir mengendalikan kuda hitamnya yang binal, semakin besar peluang
kereta perang masuk ke kawasan pencerahan. Semakin piawai anda memakai akal dan
nalar anda untuk mengendalikan emosi dan perasaan anda, semakin besar peluang
anda untuk mengalami pencerahan dan pertumbuhan serta kematangan akal dan pikiran anda.
Begitulah
pandangan Plato tentang kedudukan dan fungsi akal, nalar, dan emosi anda.
Pandangan
Plato atas supremasi akal di atas emosi melatarbelakangi semangat Pencerahan
Eropa abad ke-18, dan peradaban Barat modern.
Bapak filsafat modern René Descartes (1596-1650), yang ikut meletakkan landasan-landasan rasionalisme bagi peradaban Barat modern, sangat dikenal lewat sebuah pernyataan pendeknya “Cogito ergo sum”, artinya “Aku berpikir, karena itu aku ada.”
Baginya, pikiran anda membentuk eksistensi dan jati diri anda.
Tak salah lagi, jika intelligence atau persisnya kecerdasan logis matematis dan linguistik menjadi ciri kualitas manusia Barat modern yang diutamakan, sebagai sebuah kebajikan. Dalam peradaban Barat modern, semakin tinggi nilai psikometrik IQ (Intelligence Quotient, yang hanya mencakup kecerdasan matematis dan kecerdasan linguistik) anda, semakin terhormat dan tersohor diri anda.
Tentu saja
anda tak harus setuju dengan Plato.
Dalam sejumlah tradisi filosofis Timur, tempat
penting juga diberikan kepada emosi dan perasaan manusia. Dalam tradisi-tradisi
filosofis ini bukan hanya olah akal, tetapi olah
rasa dan olah kalbu juga
dipandang sangat penting bagi pertumbuhan jiwa manusia.
Meskipun Buddhisme
sangat menonjolkan keutamaan pikiran sebagai pembentuk jatidiri setiap manusia,
dalam meditasi Buddhis para praktisi juga dilatih untuk, lewat meditasi, dapat mengembangkan perasaan cinta kepada segenap bentuk kehidupan dalam alam ini (disebut meditasi metta bhavana).
Bahkan sensation atau perasaan dan emosi yang mengalir juga menjadi fokus utama dalam
teknik-teknik meditasi yang dikembangkan, misalnya, oleh guru agung kelahiran Burma, Satya Narayan Goenka (30 Januari 1924-29 September 2013), yang dikenal sebagai meditasi Vipassana atau meditasi “mindfulness” atau meditasi keterjagaan./2/
Kita semua
tentu sangat menjunjung rasionalitas dan nalar manusia, yang memungkinkan sains dan teknologi dibangun dan dikembangkan terus-menerus.
Seorang yang rasional dan selalu
bernalar itu tentu sangat bagus, tapi sama sekali belum cukup. Dia masih harus
dilengkapi dengan rasa cinta atau emosi cinta yang meluap jika ingin menjadi manusia yang utuh.
Untuk menjadi ada, dibutuhkan dari anda bukan hanya pikiran, tapi juga cinta.
Jadi, ketika anda berpikir dan mencintai, di saat itulah anda ada. Saat anda tak bisa lagi mencintai sesama, saat itu juga anda telah kehilangan kemanusiaan anda; anda tidak exist lagi.
Cogito ergo sum masih belum lengkap, harus ditambah dengan ego diligentes ergo sum (“Aku mencintai, karena itu aku ada”).
Bayangkan
jika manusia hanya punya akal, tapi tak punya perasaan cinta. Jika begitu, apa
jadinya dengan dunia ini?
Tanpa cinta, seseorang yang rasional akan bisa sama dengan
seekor binatang buas yang haus darah. Perang antar-manusia yang membuat
kehidupan sangat tak enak dijalani tidak sedikit lahir dari pikiran-pikiran
manusia, yang paling rasional sekalipun.
Korupsi yang dilakukan para pejabat negara yang saleh beragama juga dimulai di dalam pikiran-pikiran mereka yang rasional, sebelum akhirnya diwujudkan dalam tindakan-tindakan mereka yang melawan hukum dan menghancurkan rumahtangga mereka sendiri, dan negara mereka juga.
Masih jauh
lebih baik seseorang itu bodoh tapi hidupnya penuh cinta ketimbang seseorang itu
cerdas tapi hati dan pikirannya penuh kelancungan, kebencian dan kedurjanaan.
Namun jauh
lebih baik lagi jika seseorang itu cerdas dan rasional, sekaligus hidupnya
penuh cinta, rasa sayang, dan kebajikan. Memiliki bukan hanya hard skills, tapi juga soft skills.
Untuk anda menjadi cerdas, mampu berpikir rasional sekaligus bajik dan penuh cinta kasih, tanggungjawab terletak di pundak anda sendiri: anda perlu membangun semangat dan kemauan membaja untuk mencapainya, lewat banyak gemblengan diri dan latihan-latihan.
Kekuatannya ada di dalam diri anda sendiri, bukan di luar diri anda. The power is within you, not without.
Filsuf Stoik sekaligus Kaisar Roma yang terkenal, Marcus Aurelius (121-180 M), menyatakan bahwa “Kebahagiaan kehidupan anda bergantung pada kualitas pikiran-pikiran anda. Andalah yang berkuasa atas pikiran anda, bukan peristiwa-peristiwa di luar diri anda. Jika hal ini anda sadari, maka anda akan mendapatkan kekuatan.”
Sama seperti
akal harus dilatih supaya berkembang, begitu juga cinta: berlatih mencintai
akan membuat cinta kita kepada sesama lebih matang, lebih cerdas, berkembang dan berbuah.
Akal dan
cinta itu bukan sesuatu yang dalam kondisi ready
made jatuh dari langit begitu saja ke pangkuan anda. Keduanya akan tumbuh dan berkembang
makin matang jika ditanam, lalu dipupuk dengan rajin, kemudian dilatih sangat keras dan digunakan dengan tekun, mulai dari sebutir benih sampai
menjadi sebuah pohon yang rimbun dan berbuah banyak.
Akal itu kerap salah dan
kerap juga melahirkan kebencian; karena itu akal juga harus dikontrol oleh akal
yang lebih tinggi dan rasa cinta. Mustahil akal dan nalar akan melahirkan
kebajikan dan keadilan jika tidak dinafasi oleh cinta kasih.
Kita juga
perlu tahu apa pandangan neurosains tentang fungsi emosi dan perasaan manusia
ketika manusia harus mengambil keputusan-keputusan.
Apakah tanpa emosi dan
perasaannya terlibat, seseorang yang rasional akan bisa mengambil
keputusan-keputusan dengan mantap dan dalam waktu yang relatif cepat?
Neurosaintis
Jonah Lehrer di dalam bukunya How We
Decide/3/ menegaskan bahwa tanpa keterlibatan emosi dan perasaan,
seorang manusia yang paling rasionalpun tidak bisa mengambil keputusan-keputusan
apapun dalam kehidupannya, bahkan yang paling bersahaja. Mengapa demikian?
Dalam organ otak
kita ada suatu sirkuit jaringan neural yang diberi nama orbitofrontal cortex (OFC), yang terletak persis di belakang mata,
di bagian bawah korteks frontalis (pusat kecerdasan, logika, nalar dan moralitas dalam
otak).
Lokasi OFC. Sumber gambar: FlintRehab.com.
Kendatipun berbagai emosi diproduksi dalam
sistim limbik otak, sirkuit OFC berfungsi untuk mengintegrasikan emosi-emosi
yang intens ke dalam proses rasional pengambilan keputusan yang menjadi fungsi
dari korteks frontalis.
Pada sisi lain, ada bagian-bagian korteks frontalis yang baru berfungsi
normal jika emosi-emosi terlibat.
Sirkuit OFC ini menghubungkan perasaan dan emosi
kita yang dimunculkan oleh otak “primitif” (area batang otak dan amygdala, yang membentuk sistem limbik)
dengan arus pikiran-pikiran sadar kita. Hanya jika hubungan ini terbangun,
barulah kita dapat mengambil keputusan-keputusan rasional penting dalam waktu
yang relatif cepat.
Jika OFC rusak atau tidak berfungsi normal (karena tumor
otak atau perdarahan pembuluh darah, atau sehabis operasi, dan berbagai
penyebab lain), kita tak dapat lagi mengambil keputusan-keputusan, yang paling
bersahaja sekalipun, kendatipun korteks frontalis kita sehat.
OFC yang rusak
akan melenyapkan kepribadian yang semula ada pada seseorang, menjadikannya
seorang lain yang dirasakan asing oleh orang-orang terdekatnya.
Penjelasan lebih detail tentang OFC perlu diberikan./4/ Fungsi-fungsi kognitif yang umumnya dikaitkan dengan OFC mencakup:
• pengendalian impuls-impuls atau dorongan-dorongan mental yang muncul tiba-tiba
• pengambilan keputusan yang berbasis nilai-nilai
• prediksi-prediksi tentang keputusan yang sudah diambil berdasarkan berbagai pengalaman sebelumnya
• reaksi-reaksi emosional
• perilaku sosial
Jika OFC rusak, terjadilah perubahan-perubahan kelakuan, antara lain:
• kelakuan menjadi impulsif, agresif dan buta terhadap akibat-akibat dan risiko-risiko yang akan dapat timbul
• pengambilan keputusan yang sangat buruk, atau samasekali tidak bisa membuat keputusan
• respons-respons emosional yang menurun
• perubahan-perubahan kepribadian, yang mencakup:
▪︎ menjadi kekanak-kanakan
▪︎ apatis atau bermotivasi rendah
▪︎ bersikap kasar dan tak terkendali
▪︎ berkelakuan agresif
▪︎ kehilangan empati dan kepedulian pada orang lain
Jadi, untuk
korteks frontalis yang menjadi pusat rasionalitas dan kemampuan nalar berfungsi
dengan baik, emosi dan perasaan manusia harus terlibat yang diproses dalam OFC.
Kondisi neural yang
semacam ini yang diperlukan untuk suatu aktivitas rasional berjalan dengan baik
tidak sejalan dengan pandangan Plato yang menempatkan emosi dan perasaan
manusia pada tempat yang sangat rendah, hanya sebagai impuls-impuls destruktif
yang menghambat pencerahan manusia.
Maka, marilah kita menjadi manusia yang utuh, yang berpikir, mengambil keputusan dan
bertindak secara utuh, sebagai organisme rasional sekaligus emosional (dalam arti, perasaan-perasaan kita, ikut kita perhitungkan dengan berimbang), yang
memiliki dimensi kognitif sekaligus dimensi afektif.
Akal dan nalar membutuhkan
perasaan cinta untuk menghasilkan berbagai kebajikan dalam dunia ini.
Akal dan
nalar akan lumpuh, atau malah menjadi berbahaya, jika tak diberi tenaga kehidupan oleh perasaan cinta.
Sebaliknya, cinta kita juga akan dimatangkan dan tumbuh menjadi cinta yang
cerdas jika akal dan nalar ikut memberi arah kepadanya. Jika anda mencintai, mencintailah dengan cerdas, jangan dengan bodoh. Cinta yang bodoh hanya akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tak tahu diri, kalangan psikopath.
Hanya jika terjadi sinkroni yang dinamis antara sang kusir dan gerak-gerik kedua ekor kudanya, kereta perangnya akan bisa terbang ke atas, masuk ke kawasan ilahi dan di sana sang kusir akan mendapatkan pencerahan-pencerahan yang diperlukan dunia.
Akhir kata, temuan-temuan kita di atas tentu dapat memberi sumbangan berharga bagi kehidupan keagamaan setiap orang.
Jika kita menginginkan kehidupan keagamaan kita utuh, maka akal budi dan cinta dalam diri kita harus saling mengisi dan saling memperkuat.
Tidak mungkin kita dapat beragama dengan benar, jika akal budi tidak kita pakai. Tidak mungkin kita dapat beragama dengan baik, jika rasa cinta tidak mengisi batin kita.
Untuk dapat beragama dengan sehat, kita memerlukan akal budi sekaligus cinta. Bahkan, sabda Yesus, kita harus mengasihi Tuhan dengan segenap akal budi kita.
Hanya jika terjadi sinkroni yang dinamis dan mantap antara akal dan rasa cinta kita, keberagamaan kita akan menjadi keberagamaan yang utuh, menyehatkan, membahagiakan, dan menyembuhkan.
Notes
/1/ Teks Phaedrus tersedia online di http://classics.mit.edu/Plato/phaedrus.html.
/2/ Rahib Buddhis kelahiran Jerman, Nyanaponika Thera, mendeskripsikan “mindfulness” sebagai keterpusatan pikiran kita “hanya pada fakta-fakta nyata yang terdapat di dalam persepsi-persepsi kita yang terbentuk entah lewat lima indra jasmaniah atau lewat pikiran... tanpa memberi reaksi terhadap semua fakta ini, baik reaksi lewat tindakan, ucapan maupun lewat komentar dalam benak.” Lihat bukunya yang berjudul The Heart of Buddhist Meditation (York Beach, ME: Samuel Weiser, 1954, 1962, 1996), hlm. 30.
/3/ Jonah Lehrer, How We Decide (New York, N.Y.: Mariner Books/Houghton Mifflin Harcourt, 2009, 2010). hlm. 15 ff.