Tuesday, March 20, 2012

Buku Baru Ioanes Rakhmat: Memandang Wajah Yesus

 

Judul: Memandang Wajah Yesus: Sebuah Eksplorasi Kritis

Penulis: Ioanes Rakhmat
Penerbit: Pustaka Surya Daun
Waktu terbit: Maret 2012; cetakan pertama
ISBN: 978-602-19983-0-4
Tebal: xxiv + 260 hlm; ukuran: 14,8 cm x 21 cm

Harga: Rp. 67.000,- per eks.
Tempat pemesanan: Ioanes Rakhmat (HP 082 1220 15570)
Dengan SMS, kirim ke saya nama lengkap dan alamat lengkap anda
Pengiriman: dengan jasa pengiriman (ekonomis) tiki JNE; ongkos ditanggung pembeli

Dengan membeli buku ini, anda ikut menopang kelanjutan penyebaran gagasan-gagasan progresif! Dengan ikut menyebarkan gagasan-gagasan progresif, anda ikut membentuk masa depan dunia yang lebih baik dan mencerahkan.

4 endorsements untuk buku ini:

Tentu saja, kata “wajah” pada judul buku ini harus diartikan sebagai kiasan, karena kini tak seorangpun tahu wajah Yesus yang sebenarnya. Jelas, yang dimaksud adalah “pengetahuan” tentang apa yang Yesus sungguh-sungguh katakan dan lakukan semasa kehidupannya, pengetahuan mengenai “Yesus sejarah”. Usaha mendapatkan pengetahuan semacam ini bukan hal baru, tapi sudah muncul sejak lebih dari tiga ratus tahun lalu. Sejauh saya tahu, belum ada buku lain dalam bahasa Indonesia yang menyodorkan begitu banyak informasi mengenai upaya ini serta hasilnya seperti buku ini, yang ditulis oleh seorang pakar yang sudah lama mengasyikkan diri di bidang ini.
Richard W. Haskin, Ph.D., mahaguru emeritus bidang kajian Perjanjian Baru

Di samping dialog antar-agama, kita juga memerlukan dialog intra-agama yang dapat memperkaya kita dengan berbagai pandangan dari sesama umat yang berbeda visi dan penghayatan. Karena itu buku ini penting dibaca oleh setiap orang yang ingin dengan kritis mengembangkan pandangannya tentang Yesus. Kendatipun ada hal-hal  yang mungkin tak dapat diterima sepenuhnya, namun dalam buku seperti ini kita justru menemukan juga data, interpretasi, dan visi baru yang jarang diungkap dalam buku-buku kajian teologi yang sehaluan, padahal usaha membantu memperluas horizon kita sangat penting dilakukan pada masa kini.
Martin Harun OFM, mahaguru ilmu tafsir Alkitab di STF Driyarkara, Jakarta

Salah satu persoalan krusial dalam kajian agama Kristen adalah biografi Yesus. Tentu saja, yang dimaksud dengan kajian di sini bukan sekadar ulasan saleh tentang siapa Yesus seperti lazim  kini ditemukan dalam berbagai komunitas Kristen, tapi suatu disiplin akademis ketat yang menyoroti kehidupan Yesus sebagai manusia yang lahir, tumbuh, dan mati, tanpa melibatkan hal-hal supernatural. Buku ini merupakan sebuah karya penting yang mengulas tema krusial ini dari berbagai sudut, dan menunjukkan jalan bagi kita untuk memasuki wilayah yang menantang iman Kristen dan juga iman siapa pun terhadap Yesus.
Luthfi Assyaukanie, pengajar filsafat agama di Universitas Paramadina, Jakarta

Dalam setiap agama, selalu kita jumpai hubungan yang kerap penuh ketegangan antara ortodoksi yang diikuti sebagian besar umat dan heterodoksi yang membangkang. Pihak ortodoksi biasanya berusaha keras untuk membatasi pengaruh pandangan yang membangkang itu. Bagi saya, hubungan yang tegang semacam ini selalu menarik, sebab di sanalah biasanya suasana dinamis dan kreatif akan lahir dalam masyarakat agama apapun. Jika agama hanya diisi dan dikuasai oleh pandangan ortodoks saja, jelas agama apapun akan sangat membosankan. Dalam buku ini, anda akan menemukan pandangan dan interpretasi yang berbeda dari pandangan ortodoks Kristen mengenai figur Yesus. Karena alasan itulah, buku ini betul-betul menarik untuk dibaca.
Ulil Abshar-Abdalla, cendekiawan Muslim Indonesia


Kata Pengantar buku ini:

Dengan terbitnya buku ini, keinginan saya yang sudah lama muncul untuk menulis sebuah buku yang menyoroti banyak segi kehidupan Yesus dari Nazareth akhirnya terpenuhi. Ada rasa suka cita dalam hati saya, karena dengan terbitnya buku ini sebuah sumbangan penting dari dalam dunia kajian akademik atas figur Yesus dapat saya berikan baik kepada lembaga-lembaga pendidikan teologi di Indonesia, kepada para mahasiswa yang serius ingin mengenal Yesus lebih dalam dan lebih matang lewat pendekatan akademik, maupun kepada setiap orang yang mendambakan dapat melihat sisi-sisi lain dari kehidupan Yesus dari Nazareth yang tak bisa mereka dapatkan dari kegiatan pembelajaran dalam gereja-gereja Kristen umumnya.

Buku ini sungguh-sungguh sebuah buku tentang banyak segi kehidupan Yesus dari Nazareth yang ditulis dengan memakai pendekatan akademik. Karena itu, untuk bisa memahami dan menerima berbagai pandangan dan penafsiran yang ditawarkan dalam buku ini, diperlukan baik kecerdasan dan kemampuan bernalar yang tinggi dan konsisten maupun keterbukaan luas terhadap metodologi dan perspektif-perspektif saintifik akademik yang dipakai dalam setiap kajian saintifik atas sosok Yesus dari Nazareth dan kekristenan perdana.

Tanpa kemampuan-kemampuan dan keterbukaan semacam itu, para pembaca buku saya ini akan tidak (atau kurang) berhasil mendapatkan begitu banyak mutiara yang tak ternilai harganya, yang disebar dalam halaman-halaman buku ini sejak awal hingga akhir. Supaya mutiara-mutiara berharga ini pembaca dapat temukan, saya yakin setiap bab buku ini perlu dibaca berkali-kali, khususnya oleh orang-orang yang baru mau mengenal Yesus dari Nazareth bukan saja dari perspektif keimanan, tetapi terutama dari perspektif saintifik akademik. 

Barangkali banyak orang akan bertanya, mengapa sosok Yesus dari Nazareth harus (atau perlu) dikaji secara saintifik akademik, tidak cukup hanya diimani, dipercaya dan diikuti saja dengan taat tanpa bertanya apapun. Jawab atas pertanyaan ini saya batasi tiga saja pada kesempatan ini.

Pertama, banyak segi dari kehidupan Yesus dari Nazareth tak tersentuh atau belum dimasuki (atau memang tidak mau dimasuki) oleh berbagai pengakuan iman ortodoks gereja Kristen sepanjang masa, sejak abad  ke-4 dan abad ke-5 di Eropa hingga abad ke-21 ini di Indonesia. Kondisi ini jelas bisa dipahami, sebab setiap pengakuan iman atau syahadat dalam setiap agama memang tidak dimaksudkan untuk menampung dan menampilkan semua segi dari kehidupan tokoh pendirinya. Setiap syahadat keagamaan apapun selalu selektif dan terbatas sifatnya, karena hanya memuat segi-segi tertentu saja dari kehidupan tokoh pendirinya dulu yang dipandang paling utama dan paling esensial oleh para murid perdananya atau jauh kemudian oleh para penerus gerakan yang telah dibangun dan dikembangkan sang tokoh pendiri ini. Dengan demikian, kajian-kajian akademik apapun atas sosok sang pendiri agama apapun sebetulnya memperkaya pengenalan umat terhadap dirinya, ajaran-ajaran dan tindakan-tindakannya, sehingga niscaya harus dilakukan dan didukung oleh komunitas umat yang sehat dan dinamis.

Kedua, seluruh isi kitab suci PerjanjianBaru (ditulis pada abad pertama dan permulaan abad kedua Masehi) yang terdiri atas dua puluh tujuh kitab, di antaranya empat kitab injil yang mengisahkan bagian-bagian tertentu kehidupan sosok Yesus dari Nazareth yang dianggap paling penting, ditulis pertama-tama dari sudut pandang kepercayaan atau keimanan para penulisnya terhadap figur Yesus, bukan dari sudut pandang sejarah objektif. Alhasil, banyak segi kesejarahan Yesus tidak muncul dalam semua dokumen dalam kitab suci ini, bisa karena bagi mereka sejarah kehidupan Yesus tidak penting jika dibandingkan dengan signifikansi spiritual sosok Yesus, atau karena para penulis Perjanjian Baru kekurangan data dan informasi historis mengenai Yesus dari Nazareth, atau bisa juga karena ada segi-segi kesejarahan Yesus yang sengaja mereka tutup-tutupi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang muncul dari kepercayaan dan pemujaan terhadap sosok Yesus.

Jelas, kepercayaan kepada Yesus, atau teologi mengenai Yesus, atau bahasa  pemujaan terhadapnya, sama sekali bukan sejarah, meskipun tentu saja bisa mengandung elemen-elemen sejarah di dalamnya. Tentu kita sepakat bahwa fakta-fakta sejarah yang menyangkut sosok pendiri suatu agama sangat penting, karena fakta-fakta ini menjamin faktualitas kehidupan sosok agung ini sebagai suatu sosok yang betul-betul ada dalam sejarah, bukan suatu sosok mitologis yang fiktif. Jika demikian halnya, maka kajian-kajian sejarah atas sosok ini, yang dijalankan dengan memakai metode-metode pengkajian saintifik, betul-betul akan memperlengkapi, bahkan dalam beberapa segi dapat mengoreksi, gambaran-gambaran kitab suci mengenai sosok agung pendiri agama apapun. Begitulah halnya dengan pengkajian saintifik atas sosok Yesus dari Nazareth sebagai sosok yang hidup dalam sejarah insani.     

Ketiga, kajian saintifik atas sosok Yesus bisa dan harus dilakukan karena Yesus dari Nazareth betul-betul ada sebagai seorang manusia seperti kita, insan yang real, yang memiliki tubuh lengkap yang normal dan real, yang lahir dalam konteks sejarah dan lokalitas tertentu yang juga real, lalu tampil dan aktif di muka umum ketika sudah dewasa, sampai akhirnya mati disalibkan juga dengan real. Karena sosok Yesus dari Nazareth ada sebagai sosok yang real dan historis, maka sosok ini terbuka untuk didekati dan dikaji dengan memakai pendekatan sejarah kritis. Saya percaya, tidak ada seorang Kristen pun, yang sehat akalnya dan jujur batinnya, akan menyangkali fakta keberdagingan dan kebersejarahan Yesus, sekalipun dia percaya juga bahwa Yesus itu Allah yang maha tinggi!

Nah, kajian-kajian modern atas sosok Yesus dari Nazareth, yang kini mencakup kajian-kajian sejarah kritis, tekstual kritis, arkeologis, antropologis kultural, sosiologis, sudah terbukti dapat menghasilkan berbagai potret tentang Yesus dari Nazareth yang tajam fokusnya, yang pada satu segi memperlengkapi, namun pada segi lainnya dapat juga mengoreksi, potret-potret dirinya yang disajikan dalam Perjanjian Baru.

Jika dibandingkan dengan para penulis Perjanjian Baru yang terpisah hanya sekitar dua atau tiga dekade sampai satu abad dari masa kehidupan Yesus, tentu saja jurang waktu antara para peneliti modern (mulai dari abad ke-19 hingga abad ke-21 sekarang ini) dan masa kehidupan Yesus jauh lebih lebar, yakni kurang lebih dua ribu tahun. Tetapi dengan berbagai metode pengkajian modern lintas ilmu, jurang waktu yang jauh lebih lebar ini tidak menghalangi para pengkaji modern untuk menemukan kembali potret-potret sosok historis Yesus dari Nazareth, yang malah bisa lebih tajam fokusnya ketimbang yang ditemukan dalam dokumen-dokumen Perjanjian Baru. Aneka ragam potret wajah sosok historis Yesus, yang dihasilkan dari kamera para pengkaji modern, justru makin memperkaya pandangan dan penghayatan seorang pengikutnya terhadap dirinya di zaman modern ini, yang di dalamnya pluralisme dan toleransi merupakan nilai-nilai kebajikan yang dijunjung tinggi oleh kebanyakan orang.

Jadi, janganlah anda ragu untuk mendekati Yesus dari Nazareth dan menemukan beranekaragam wajahnya, lewat pengkajian saintifik. Karena itu, dengan tanpa keraguan dan prasangka negatif apapun, bacalah buku ini, sebaiknya berulang-ulang, dan temukan wajah-wajah Yesus di dalamnya, pandanglah wajah-wajah ini dalam-dalam, dan putuskanlah wajah mana yang anda akan ambil dan pajang di dinding ruang tamu rumah anda atau di kamar belajar anda.   


Kelapa Gading, Jakarta Utara
18 Februari 2012

Dr. Ioanes Rakhmat

Sunday, March 18, 2012

Homo Homini Lupus


Dalam diri kita, siapapun kita, ada sebuah faculty atau kemampuan neurologis kognitif yang dinamakan “trust”, atau kemampuan untuk mempercayai seseorang, yang biasanya timbul setelah kita bisa ber-empati dengan seseorang di dalam suatu kasus tertentu.

Apakah trust bisa berkembang dengan baik atau tidak, bergantung pada kultur keluarga yang membesarkan seseorang, atau kultur komunitas pembelajaran yang di dalamnya seseorang mengalami perkembangan kejiwaan. Trust itu ibarat seekor merpati putih, sang pembawa damai dan berita gembira, sang utusan yang turun dari angkasa.

Ada keluarga atau komunitas pembelajaran di mana orang-orangtua selalu mendidik anak-anak untuk selalu berpikiran positif terhadap orang lain atau untuk selalu percaya pada orang lain, siapapun orang lain itu.

Orangtua yang mendidik anak-anaknya untuk selalu “trust” pada orang lain ini mempertahankan sebuah pandangan ideal bahwa dalam diri manusia selalu ada benih kebaikan atau bahkan benih ilahi yang bila dipupuk akan menjadikan mereka orang baik, sahabat sesama, rekan sekerja yang dapat dipercaya sepenuhnya.

Filsafat moral sosial yang ditanamkan dalam kultur pembelajaran yang humanistik semacam ini adalah “pandanglah sesamamu sebagai rekan-rekanmu yang siap berkorban bagi kebaikanmu”, filsafat “homo homini socius”. 

Tetapi ada juga keluarga atau komunitas pembelajaran yang kepada generasi muda selalu menanamkan keharusan mencurigai siapapun orang yang dengannya mereka membangun suatu hubungan, keharusan jangan mempercayai siapapun orang yang mendatangi mereka untuk keperluan apapun. Dalam kultur pembelajaran semacam ini ditanamkan suatu pandangan teologis bahwa siapapun manusia itu, mereka adalah manifestasi pekerjaan setan dalam dunia ini.

Keluarga-keluarga yang bergerak dalam bisnis-bisnis besar yang berhasil (dengan menghalalkan segala cara) banyak yang menanamkan dalam diri generasi muda mereka pandangan untuk selalu mencurigai orang lain manapun ketika mereka sedang membangun hubungan bisnis, atau hubungan apapun.

Yang ditekankan dalam kultur pembelajaran semacam ini ini adalah profesionalisme loba, bukan filantropisme atau altruisme. Anak-anak dididik untuk hanya membangun hubungan profesional tamak dengan siapapun dalam mereka membangun hubungan bisnis, dan sama sekali harus menutup pintu terhadap segala bentuk sifat kedermawanan atau sifat ingin berkorban bagi sesama.


Dalam bentuk yang ekstrim, dalam kultur pembelajaran semacam ini filsafat sosial yang ditanamkan adalah “pandanglah sesamamu manusia sebagai seekor serigala jahat yang mau menyantap dirimu”, atau filsafat “homo homini lupus” (Hobbes)./*/

Dalam suatu negara yang sedang terlibat peperangan dengan negara tetangga, pemerintahnya menjalankan politik pembelajaran “homo homini lupus” kepada setiap warganegaranya. 

Mereka dididik untuk selalu mencurigai siapapun orang asing di antara mereka sebagai seekor serigala yang mau menerkam mereka, dan untuk harus selalu siap menerkam lebih dulu sebelum diterkam. 

Xenofobia adalah kultur yang mutlak dijalankan dalam suatu negara yang sedang berperang. Tapi bagi suatu negara yang sedang hidup damai dengan semua negara lainnya, xenofobia, jika tumbuh, adalah suatu penyakit mental dan politik massal yang bisa membinasakan negara ini.  

Jika anda berkembang dalam kultur pembelajaran yang pertama, yang menanamkan filsafat moral sosial “homo homini socius”, anda akan menjadi orang yang mudah tertipu, anda akan lebih banyak mengeluarkan uang ketimbang menerima uang, pengeluaran yang bahkan bisa sangat useless.

Kalau anda berbisnis kemungkinan besar bisnis anda akan merugi terus dan akhirnya bangkrut.  Kalau pun dapat untung, ya dalam batas yang wajar. Ingatlah, ada hukum pasar yang berlaku: untuk barang A yang kualitasnya sama, konsumen akan membeli di toko yang menjualnya termurah, dibandingkan toko yang menjualnya kemahalan jauh.

Namun jika anda dididik dan berkembang dalam kultur pembelajaran yang kedua, yang dengan konsisten menanamkan filsafat moral sosial “homo homini lupus”, anda bisa jadi akan cepat kaya raya, sukses bisnis, tetapi tidak memiliki empati, kasih sayang, sifat dermawan atau kemampuan berkorban buat orang lain apapun alasannya. Kerakusan adalah watak bisnis anda. Demi kerakusan dan haus harta anda terpenuhi, anda tak akan segan memakai jubah bulu domba, meskipun watak asli diri anda adalah serigala buas.

Umumnya yang kerap ditemukan adalah perpaduan kreatif dua kultur pembelajaran yang satu sama lain bertolak belakang itu. Selain itu, dalam dunia bisnis dewasa ini setiap perusahaan pun oleh negara telah diharuskan mengalokasikan keuntungan perusahaan sebagian (2 persen) untuk keperluan sosial, apa yang dinamakan “corporate social responsibility”, CSR.

Lebih jauh, kalau dulu dunia bisnis dipandu oleh sebuah semboyan “Matikanlah pesaing-pesaing anda dengan sekejam mungkin dan dengan bersimbah darah” (red ocean strategy), maka kini semboyan yang berlaku sudah berbeda, sejalan dengan kesadaran global yang sudah tumbuh di seantero planet Bumi, yakni “Bangunlah hubungan kerekanan yang setaraf dengan semua pesaing bisnis anda”, strategi yang dinamakan “blue ocean strategy”. 

Jadi, periksalah diri anda, anda besar dalam kultur pembelajaran yang mana. Bebaskan diri anda, bak seekor merpati putih yang terbang riang di angkasa./**/

------------------------

/*/ Saya terpaksa masih memakai ucapan Hobbes ini kendatipun saya tentu saja menyadari penuh serigala adalah juga binatang yang patut kita sayangi, sama halnya dengan ular yang menjadi simbol manifestasi Yang Ilahi dalam kebudayaan Yunani-Romawi kuno dan kebudayaan India masa kini. Sejauh terdokumentasi, pernyataan “homo homini lupus est” (Indonesia: “Manusia adalah serigala bagi sesamanya”) muncul pertama kali dalam karya Plautus, Asinaria (495). Melawan Plautus, Seneca menulis bahwa “manusia adalah suci bagi sesamanya”. Thomas Hobbes di tahun 1651 (dalam karyanya De Cive) merujuk baik kepada Plautus maupun kepada Seneca.

/**/ Tulisan ini lahir sebagai sebuah perenungan atas tertipunya saya oleh toko HP online www.niagashop.com sehingga uang saya sebesar Rp. 2 juta melayang lenyap pada 17 Maret 2012 pagi hari sekitar jam 10. Kawan-kawan, jangan mau berhubungan apapun dengan toko tersebut dan sebarkanlah informasi ini!




Thursday, March 8, 2012

Beragamalah dengan modern!

Ada yang berkata kepada saya bahwa saya anti-agama. Saya jawab, "Anda salah besar!" Saya juga seorang beragama, cuma keberagamaan saya tak tradisional, tapi modern.

Bagi saya hidup beragama itu hidup dalam suatu ziarah intelektual yang tak pernah selesai. Masih dalam perjalanan panjang, belum tiba di finish.
Salah satu ciri modernitas adalah keterbukaan pada masa depan, progresivitas, menolak finalitas. Jadi kalau saya beragama secara modern, ya saya melihat Allah sebagai sebuah pertanyaan yang belum ada jawaban finalnya sekarang ini. Harus dicari terus.


Kitab suci adalah sebuah titik start, bukan titik finish!

Kalau kaum agamawan tradisional bilang Allah itu misteri, saya setuju betul, one hundred percent! Tapi saya berbeda dari kaum agamawan tradisional dalam perlakuan saya terhadap Allah sebagai misteri.

Kalau bagi kaum agamawan tradisional misteri Allah harus dijaga dan dilindungi, saya bersikap sebaliknya. Bagi saya yang beragama secara modern, justru misteri Allah harus terus-menerus ditemukan dan dipecahkan, dibuka terang-benderang. Allah sebagai misteri justru menantang saya untuk memecahkan misteri ilahi ini lewat berbagai cara, termasuk lewat sains.

Sains tak pernah berhenti, tak pernah mencapai finalitas, terus bergerak ke depan dengan dinamis. Meskipun dalam sains modern kita sudah memiliki hukum-hukum besi sains, keadaan ini tak menghentikan gerak maju sains.

Beragama secara modern menyebabkan konsep apapun yang ada tentang Allah sekarang ini, dipandang sebagai konsep yang belum final, konsep yang masih sementara.
Monoteisme, dengan demikian, bukan bentuk final agama, dan masih akan berganti di masa depan yang belum dicapai. Sebagai seorang modern, saya bersiap-siap mendapatkan ide-ide lain tentang Allah yang belum ada sekarang, ide-ide baru yang menakjubkan.

Bagi saya, agama-agama di masa depan akan dirumuskan secara baru totally dengan memakai parameter-parameter sains. Agama-agama yang ada sekarang akan bermetamorfosa, masuk ke dimensi-dimensi yang lebih tinggi dan lebih menakjubkan.

Jadi, dilihat dari sudut pandang yang saya baru kemukakan, mengeksplorasi sains sebagai sains adalah tugas kaum agamawan juga. Sayangnya, banyak kaum agamawan telah memenjarakan diri mereka dalam tradisionalisme keagamaan, sehingga mereka bantut.

Nah, kalaupun saya menolak agama, agama yang saya tolak adalah agama yang sudah diubah menjadi kumpulan dogma yang membatu, fossilized religions. Agama-agama yang sudah difosilkan sebenarnya adalah pemberontakan dan penyangkalan terhadap Allah sendiri sebagai misteri besar.

Nah, kalau saya dibilang anti-agama, ya betul juga, dalam arti saya menolak agama yang sudah difosilkan, tapi memperjuangkan agama yang modern. Visi seperti yang saya ungkapkan ini tidak banyak dimiliki kaum agamawan di Indonesia.

Kaum agamawan tradisional banyak yang berpendapat bahwa  sejarah telah berakhir di dalam kitab suci. Kitab suci adalah akhir sejarah, itu kata kaum agamawan tradisional. Maksud mereka adalah bahwa awal dan akhir sejarah insani sudah ditulis dalam kitab suci mereka.

Tapi bagi saya yang berpikir modern, kitab suci adalah garis start untuk para atlit melesat ke masa depan yang tanpa akhir, bukan titik finish. Atau, kitab suci itu, bagi saya, ibarat sebuah tangga untuk naik ke atas atap sebuah rumah. Sesudah sampai di atap, tangga dilepaskan, lalu berjalan sendiri ke depan dengan tenang, ke masa depan yang penuh tanda tanya.

Orang beragama yang berkomitmen untuk berjalan terus ke depan, akhirnya akan merangkul sains dengan happy. Jadi, sikap saintifik adalah juga sikap religius!

Itulah garis besar pemahaman saya mengenai hidup beragama. Tak tradisional, tapi modern. Mungkin anda terpesona. Semoga!