Pada kesempatan ini baik kalau kita mengetahui apa sebabnya Eleazar (90 tahun) dapat dengan gigih sampai akhir hayatnya, di hari tuanya, melawan Antiokhus IV Epifanes. Filosofi apa yang dia pegang sehingga dia begitu tangguh?
Dalam 2 Makkabe 6:18-7:42, Eleazar dengan sangat mengesankan memberi penjelasan tentang keputusannya untuk menerima kematian sebagai akibat perlawanannya yang gigih terhadap kemauan raja lalim itu (6:23-28). Keputusan Eleazar ini disebut sebagai suatu logismos asteios atau “nalar kesatria” (6:23); dan dalam 4 Makkabe (1:1; 6:31; 7:4, 16, 21; 13:1; 16:1; 18:1) keputusan ini diistilahkan sebagai eusebēs logismos atau “nalar saleh”. Ditegaskan di situ bahwa nalar semacam ini harus mengatur dan mengendalikan baik emosi maupun penderitaan fisik dan keadaan sekarat, sebab, seperti ditulis dalam 4 Makkabe 13:3, nalar semacam inilah yang dipuji di hadapan Allah. Jadi, kita paham bahwa untuk mencapai suatu kehidupan yang gigih di tengah penderitaan, nalar harus memegang kendali terhadap emosi, rasa takut dan kecengengan manusia.
Bukan kebetulan juga kalau penulis 2 Makkabe menyejajarkan Eleazar dengan Sokrates (70 tahun) yang juga dengan kesatria menerima kematian dengan meminum racun sebagai hukuman baginya yang ditetapkan pengadilan negara yang digelar di Atena pada tahun 399 SM. Sejumlah pakar, antara lain Jonathan A Goldstein, melihat ada kesejajaran yang disengaja dalam 2 Makkabe 6:18-31 antara Sokrates dan Eleazar. Menurutnya, “Tidak ada orang Yunani terpelajar yang akan luput memperhatikan keserupaan antara Eleazar dan Sokrates” (Goldstein 1983:285).
Dua hero ini, Sokrates dan Eleazar, keduanya sudah gaek, dan mereka memandang sisa kehidupan mereka dapat dengan mudah diambil dari mereka (Apologi 38c; 2 Makkabe 6:18, 23-25). Karena itu, rasa takut terhadap kematian tidak dapat membuat mereka menyangkali pendapat dan tindakan mereka (Apologi 28b-d). Sikap mereka ini sejalan dengan sikap mereka dalam kehidupan mereka sebelumnya, sehingga kalau mereka menolak melawan kelaliman akan tampaklah bahwa mereka mengkhianati diri mereka sendiri (Apologi 28d-30c, 34b-35b; 2 Makkabe 6:22). Karena itu keduanya menolak alternatif “yang lebih mudah” ketika mereka berhadapan dengan ancaman hukuman mati (Apologi 36b-38b; Krito; 2 Makkabe 6:21-28). Keduanya berpandangan bahwa adalah lebih baik jika mereka pergi ke dunia orang mati demi membela hukum (Krito 54b-d; 2 Makkabe 6:23). Keduanya berpendapat bahwa meskipun orang dapat luput dari penghukuman oleh manusia, orang tidak dapat luput dari penghukuman ilahi atas perbuatan tidak adil dan jahat yang dilakukannya (Apologi 39a-b; 2 Makkabe 6:26). Baik Sokrates maupun Eleazar percaya penuh pada hakim-hakim adikodrati yang akan mereka temui setelah kematian (Apologi 41a; 2 Makkabe 6:26). Orang-orang lalim yang mengendalikan nasib mereka merasa diserang oleh pembelaan diri keduanya lalu menjatuhkan hukuman mati bagi keduanya (Apologi 38c; 2 Makkabe 6:29), dan kematian mereka dimaksudkan oleh keduanya sebagai peringatan dan contoh agung bagi orang lain, baik pada masa kehidupan mereka maupun bagi generasi selanjutnya (Faedo 118; 2 Makkabe 6:31).
Itulah sekelumit filosofi Eleazar dan Sokrates, yang lebih memilih hidup berprinsip daripada menyerah pada kelaliman karena rasa takut pada kematian. Terlepas dari kesenjangan pemikiran budaya antara pemikiran Eleazar dan Sokrates dan pemikiran budaya modern, satu hal sudah jelas: nalar yang benar membuat orang tidak takut menghadapi penderitaan dan kematian.
Sumber:
Jonathan A. Goldstein, II Maccabees: A New Translation with Introduction and Commentary (AB 41A; Garden City, N.Y.: Doubleday, 1983). Lihat juga Adela Yarbro Collins, "The Genre of the Passion Narrative" dalam Studia Theologica 47 (1993) 3-28; Jan Willem van Henten, The Maccabean Martyrs as Saviours of the Jewish People: A Study of 2 and 4 Maccabees (Leiden: Brill, 1997) 270-294.