Thursday, November 22, 2018

Kita ini seperti gunung

KITA INI SEPERTI GUNUNG

PERTANYAAN DARI SALATIGA

Tanya:
Boleh saya bertanya? Apakah jadinya kekristenan secara lembaga apabila sains meruntuhkan dogma sebab mitologi yang ada yang sempat mampu menjadi opium bagi masyarakat, akan berangsur hilang dengan menguatnya kesadaran kognitif yang mulai dirasakan dan dijalani banyak orang?

Jawab:
Mitos itu bukan sains, melainkan METAFORA seperti juga perumpamaan Yesus dan banyak kepercayaan kuno dalam dunia agama-agama umumnya.

Ada metafora yang bagus, artinya: membangun kehidupan dan peradaban. Ada metafora yang buruk, yakni yang merusak dan membinasakan kehidupan dan peradaban.

Dengan cerdas, pilihlah metafora yang bagus, dan buang yang jelek. Metafora yang bagus memikul pesan etis moral yang agung dan memperkuat daya tahan kehidupan dan semangat membangun peradaban.

Jika mau berbicara dalam dunia iptek modern melebihi wilayah etis moral, tak ada jalan lain, teologi modern juga perlu lahir dari basis iptek modern.

Kecanduan pada mitos kuno apalagi mitos yang buruk, harus dihentikan, diganti dengan keingintahuan tanpa batas tentang jagat raya dan kehidupan dan segala misteri keduanya.


Kita ini seperti gunung-gunung tinggi, yang puncak masing-masing menunjuk ke langit tanpa batas, cermin keinginan, gairah dan kerinduan gunung-gunung untuk memeluk dan mengecup hangat sang langit tanpa tepi dan tanpa ujung. Bayangkanlah, sang gunung terbang menembus atmosfir dan melayang terbang dalam kevakuman kosmik tanpa batas yang penuh misteri yang menawan akal dan hati.

Nah, keingintahuan insani ini tidak lagi dijawab dengan mitos-mitos kuno, tetapi dengan ilmu pengetahuan modern sebagai jalan agung menuju Tuhan YMTahu dan MTakterbatas.

Tak ada penghalang untuk memuaskan kerinduan pada Tuhan YMTahu dan MTakterbatas dengan mencari, menemukan, memahami dan mendalami ilmu pengetahuan yang berkembang terus tanpa batas.

Dalam dan lewat ilmu pengetahuan, Tuhan YMTahu dan MTakterbatas makin didekati, dikenali dan dicintai, tanpa pernah habis.

Spiritualitas semacam itu saya namakan spiritualitas saintifik. Diperlukan kelembutan dan keberanian dan kecerdasan untuk dapat masuk ke dalam spiritualitas ini dan merayakannya dengan hepi. Spiritualitas ini akrab dengan kesendirian, kesunyian, keheningan, kebeningan, bahkan kekosongan tanpa batas.

22 November 2018

ioanes rakhmat