Sunday, August 2, 2015

Bisakah dalam meditasi pikiran kita “blank”?



Saat pikiran kita buntu pun, kita sedang berpikir, mencari-cari alternatif....


Ada orang yang menyatakan bahwa pada puncak tertinggi suatu teknik meditasi, orang akan berada pada keadaan “tanpa kondisi”, yakni saat pikiran sama sekali berhenti, sama sekali “blank”. 

Yang mereka maksudkan bukan hanya terbendungnya persepsi indrawi (yang lazimnya dinamakan “sensory deprivation”), tetapi berhentinya kognisi manusia sepenuhnya. Dalam sains, kognisi (Latin: cognoscere; artinya "belajar" atau "mengetahui") adalah satu grup proses-proses mental yang mencakup penalaran, memori, pembelajaran, pemecahan masalah, pengambilan keputusan, perhatian, penciptaan dan pemahaman bahasa. 

Mistikus dan guru spiritual asal Bangladesh yang bernama Chinmoy Kumar Ghose (lebih dikenal sebagai Sri Chinmoy) dalam tulisan pendeknya yang berjudul “Emptying the Mind” memahami “pikiran yang kosong” betul-betul dalam arti harfiah. Dia menyatakan hal berikut ini:
“Pikiran tidak diperlukan dalam meditasi, karena pikiran dan meditasi adalah dua hal yang berbeda mutlak. Ketika kita bermeditasi, kita tidak berpikir sama sekali. Tujuan meditasi adalah membebaskan diri kita dari semua pikiran. Pikiran itu seperti sebuah titik pada sebuah papan tulis. Entah titik ini baik atau buruk, titik ini sudah ada di situ. Hanya jika pikiran apapun tidak ada, maka kita dapat bertumbuh dan masuk ke realitas yang tertinggi. Di dalam meditasi yang dalam sekalipun, pikiran-pikiran dapat masuk, tetapi hal ini tidak akan terjadi dalam meditasi terdalam dan tertinggi. Dalam meditasi yang tertinggi, hanya akan ada cahaya. Anda harus tidak berpikir bahwa ketika pikiran anda kosong sepenuhnya, anda akan menjadi seorang yang tolol atau akan bertindak seperti seorang idiot. Itu tidak benar. Pada saat anda tidak mempunyai pikiran apapun dalam benak anda, harap anda jangan merasa telah tersesat sama sekali. Sebaliknya, rasakanlah bahwa sesuatu yang ilahi sedang disiapkan bagi kodrat anda yang murni dan terarah ke masa depan.”/1/
Pertanyaannya adalah: Bisakah pikiran kita kosong sama sekali, blanko sepenuhnya, kognisi berhenti? Pertanyaan pendek ini saya akan jawab dengan cukup panjang di bawah ini. Sebelum ke situ baiklah kita ketahui dulu beberapa pendapat lain tentang “pikiran yang kosong” dari beberapa praktisi meditasi orang Indonesia.

Tentang “mengosongkan pikiran”, Darmayasa yang mengaku guru meditasi menyatakan, lewat metafora, bahwa “hanya ketika anda telah mengosongkan gelas yang diisi penuh oleh air busuk, maka anda akan bisa mengisi gelas itu dengan isi lain, dengan air bersih, dengan susu murni, atau dengan amerta.”/2/ Ada dua hal yang mau saya kemukakan. Pertama, jika “mengosongkan pikiran” dipahami secara neurologis sebagai menghapus semua memori lama yang sudah terekam dalam organ otak, hal ini tidak dimungkinkan. Minimal, bekas-bekas memori dari masa lampau akan selalu dapat ditemukan pada area-area tertentu otak.

Sebuah studi menunjukkan bahwa aktivitas berbahasa pada waktu masih kanak-kanak, baik kanak-kanak monolingual maupun kanak-kanak bilingual, selamanya meninggalkan “jejak-jejak neural” yang terus bertahan hingga usia dewasa, tidak hilang sama sekali, dan mendatangkan dampak tertentu hingga usia tua (antara lain, mencegah kepikunan dini pada orang dewasa bilingual). Susan Perry menyatakan bahwa kemampuan bilingual sejak usia dini mengubah dengan signifikan struktur otak (volume materi abu-abu meningkat pada korteks parietal inferior kiri). Orang dewasa yang sejak kanak-kanak sudah fasih berbicara dalam dua bahasa memiliki kemampuan berkonsentrasi lebih tinggi dibandingkan orang yang monolingual; hal ini menandakan memori aktif mereka berfungsi dengan baik.”/3/ “Tandatangan neural” yang membedakan orang monolingual dan orang bilingual terlihat khususnya pada area yang dinamakan korteks frontalis inferior kiri,/4/ dan juga di area yang dinamakan korteks prefrontalis dorso-lateralis pada bagian otak kanan./5/

Tetapi, jika “mengosongkan pikiran” dipahami sebagai pertumbuhan dan perkembangan kognitif manusia dengan mengubah cara berpikir lama, hal ini dapat dicapai, juga lewat latihan meditasi Vipassana, tetapi itu pun tidak bisa berlangsung dalam sekejap, melainkan membutuhkan waktu yang lama dan proses kognitif yang tidak sederhana. Jelas, ini adalah pemahaman yang tidak harfiah atas frasa “pikiran yang kosong”.

Seorang yang menamakan dirinya Ki Bayu Sejati, dalam blognya, menulis bahwa tingkat lanjut dari meditasi adalah mencapai kondisi di mana si praktisi “sama sekali tidak lagi mempergunakan panca indera, termasuk pikiran dan perasaan” untuk mencapai “kenyataan yang asli”. Katanya lagi, kondisi terberat dalam bermeditasi adalah mencapai kondisi “pikiran tidak ada”, keadaan di mana “anda tidak berpikir lagi.”/6/ Tampaknya dia memahami kondisi “pikiran tidak ada” tidak secara harfiah. Dia menjelaskan bahwa kondisi “pikiran yang kosong” dicapai dengan cara memusatkan pikiran anda pada “suatu cita-cita, umpamanya cita-cita ingin menolong manusia-manusia lain, atau cita-cita ingin manunggal dengan Tuhan”. Cita-cita sejenis inilah yang tampaknya dimaksudkan olehnya sebagai “kenyataan yang asli”, yang juga dapat berupa “cahaya Tuhan yang hadir dalam hati” atau “kebesaran ilahi” atau “kesadaran yang lebih tinggi”. 

Dengan kata lain, pernyataan “anda tidak berpikir lagi” atau “pikiran tidak ada” atau “pikiran kosong” adalah pernyataan yang menyesatkan. Kalau kondisi “pikiran tidak ada” atau kondisi “anda tidak berpikir lagi” atau kondisi “pancaindra dan pikiran dan perasaan tidak digunakan lagi” dimaksudkan olehnya dalam pengertian yang harfiah, saya akan argumentasikan di bawah ini bahwa kondisi ini tidak mungkin bisa dicapai.

Mari kita cari jawabannya, apakah pikiran manusia bisa kosong dalam pengertian harfiah, sama halnya dengan sebuah gelas bisa kosong, dalam arti tidak berisi air atau udara sama sekali. Jika pikiran dapat betul-betul dikosongkan dalam meditasi, maka siapakah atau apakah sosok yang sedang bermeditasi itu? Tubuh duduk yang dinginkah, tanpa kehidupan lagi?

Otak kita tidak pernah berhenti bekerja selama 24 jam, termasuk ketika kita tidur sangat lelap dan tanpa mimpi (dengan gelombang otak delta, 1-3 Hz). Sejak moyang kita di zaman-zaman kuno, ratusan ribu tahun lalu, kondisi otak yang tetap aktif selamanya telah menjadi suatu faktor penting dalam mempertahankan kelangsungan kehidupan spesies kita, homo sapiens. Juga di zaman modern ini, otak kita yang terus aktif membuat kita bisa menavigasi respons-respons proaktif kita terhadap semua persoalan dan tantangan dunia modern, sejak bangun tidur, kerja di kantor, aktif ini dan itu, hingga pulang kembali lalu tidur lagi di malam hari. 

Beruntunglah kita punya pikiran yang terus aktif dan tidak pernah blanko. Tanpa kemampuan pikiran yang terus waspada dan aktif ini, kita sebagai suatu spesies sudah lama punah.  

Guru besar neurologi dan sains kognitif dari Universitas John Hopkins, School of Medicine, Prof. Barry Gordon, menyatakan,
“Otak manusia modern hanya 2% beratnya dari keseluruhan berat tubuh kita, tetapi menggunakan 20% dari seluruh energi yang tersedia dalam tubuh kita. Otak yang ‘lapar energi’ semacam ini, yang terus-menerus mencari petunjuk-petunjuk, hubungan-hubungan dan mekanisme-mekanisme, hanya mungkin bekerja jika metabolisme mamalia dalam tubuh disetel pada peringkat yang konstan tinggi. Kondisi berpikir terus-menerus inilah yang telah membuat kita tidak menjadi makanan kesukaan binatang-binatang buas di savana-savana, dan mencegah kita menjadi suatu spesies yang nyaris punah. Dari situ, kita berkembang menjadi suatu bentuk kehidupan yang paling berprestasi di planet Bumi. Dalam dunia modern pun, pikiran kita selalu mendorong kita dengan kuat untuk menemukan bahaya-bahaya dan peluang-peluang dari lingkungan sekitar kita, agak serupa dengan yang dikerjakan server mesin pencari. Namun, otak kita lebih maju setindak, dengan kemampuannya untuk juga berpikir proaktif, suatu tugas yang memerlukan lebih banyak proses mental…. Peninggalan yang kita terima dari moyang primata kita memberi kita sebuah keuntungan lain, yakni kemampuan untuk menavigasi suatu sistem sosial.”/7/
Sewaktu meditasi paling relaks sekalipun, dengan gelombang otak 1-3 Hz, pikiran kita tetap aktif, tidak pernah berhenti. Jika berhenti, maka tidak ada lagi motor penggerak bagi kehidupan semua organ tubuh kita. Artinya, kita terancam mati, karena organ-organ tubuh tidak diperintah lagi oleh pikiran kita untuk bekerja, sekalipun perintah ini berjalan otomatis, tanpa perlu kita atur dengan sadar. Semua sistem saraf dalam tubuh kita digerakkan oleh proses-proses kognitif dalam arti yang luas. Fungsi-fungsi metabolik dan fisiologis dan organik tubuh lumpuh total, jika pikiran kita seluruhnya tidak bekerja lagi. Graham E. Ewing (dari Montague Healthcare, Inggris) dan S.H. Parvez telah mengargumentasikan bahwa otak berfungsi hierarkis dan sistemik, dan fitur utama fungsi otak adalah mengatur fungsi-fungsi tubuh. Mereka memperlihatkan ada hubungan yang dinamis antara kognisi, sistem-sistem fisiologis, dan sistem saraf otonom, dan juga antara gelombang-gelombang otak dan fungsi tubuh yang berlangsung multilevel./8/ 

Hanya otak yang sudah mati, tidak memproduksi pikiran lagi. Begitu otak mati, si pemilik otak juga mati. Sebaliknya, semua organ tubuh kita, termasuk yang paling vital, pada dirinya sendiri bisa berkurang kemampuan kerjanya, secara bertahap, entah karena terserang berbagai jenis penyakit, kecenderungan-kecenderungan genetik, ataupun karena mengalami degenerasi saat kita perlahan menjadi tua. Penuaan juga, sebetulnya, adalah suatu penyakit, yang kini sedang dicari cara-cara menyembuhkannya. Juga bukan rahasia lagi, bahwa pikiran yang terus-menerus sehat, cerah, tanpa stres, berdampak signifikan pada kesehatan semua organ tubuh kita.     

Telah kita ketahui, otak manusia itu ringan, cuma 1,5 kg beratnya, 2% dari seluruh berat tubuh kita. Tetapi meskipun ringan dan kecil, otak kita setiap hari memerlukan energi yang tersedia dalam tubuh kita sebesar 20 %. Otak kita sangat “energy-consuming”, perlu memakai energi besar. Kenapa? Karena otak kita adalah suatu organ sentral yang membuat kita menjadi suatu organisme hidup yang terus berpikir. Kalau mengambil analogi dari dunia komputer, otak kita adalah CPU-nya. Dan sesungguhnya otak kita memang sebuah komputer organik yang bisa diuraikan mekanisme kerjanya, paralel dengan kerja sebuah komputer. Neuron-neuron dalam otak kita, yang berjumlah 100 milyar sel, bekerja dengan tunduk pada, atau dengan dikondisikan oleh, hukum-hukum fisika dan kimia. Bedanya, sebagai sebuah komputer, mesin organik otak kita tidak bisa di-“switch-off” total.   

Dalam meditasi paling tenang sekalipun, pikiran tetap bekerja, tidak ada kondisi pikiran “blank” dalam meditasi apapun. Uji saja dengan cara sederhana: jika seorang praktisi meditasi yakin dia bisa membuat pikirannya blank 100 %, mintalah dia bermeditasi di sebuah ruang sampai mencapai kondisi yang katanya “tanpa kondisi”, yakni kondisi pikiran berhenti sama sekali, alias blank. Lalu mulailah anda matikan AC di ruang tempat dia bermeditasi, lalu buatlah oksigen di ruang itu hampa. Atau, anda bakar ruang itu dengan cepat. Nah, apakah dia tidak akan memberi reaksi? Jelas, otaknya yang katanya sedang blank akan memberi reaksi, pikirannya langsung memerintahkannya melakukan sesuatu. Tidak mungkin dia bisa memberi reaksi jika pikirannya sedang blank. Pikiran yang blank, jika ada, sangat berbahaya buat kelangsungan kehidupan kita. Lagipula, adalah suatu fakta yang tidak bisa dibantah bahwa si pemeditasi bisa tahu pikirannya sedang blank, ya karena pikirannya masih bekerja, ya karena dia berpikir pikirannya sedang blank. Karena dia berpikir pikirannya sedang blank, maka dia temukan pikirannya seolah sedang betul-betul blank. Dengan kata lain, dia dikondisikan oleh pikirannya sendiri, atau dia ditipu, oleh pikirannya sendiri sehingga dia berpikir bahwa pikirannya sedang kosong total.   

Ya betul, pikiran kita bisa kosong total, tetapi hanya jika kita sudah mati, otak kita sudah membusuk dan tidak bekerja lagi, dan tubuh kita sebagian besar berubah menjadi kimia kembali, kimia carbon yang akan terus terdaur ulang dalam alam di Bumi ini. Saat kita sudah mati, personalitas kita lenyap, semua memori juga sirna, maka kondisi tanpa kondisi terjadi. Selama kita masih hidup dalam dunia, di dalam suatu sistem sosial dan sistem kultural, kita semua terkondisi. Bahkan pada level paling fundamental, level subatomik, sel-sel seluruh tubuh kita juga terkondisi oleh hukum-hukum fisika dan kimia yang berlaku dalam empat dimensi ruangwaktu kita dan di dalam jaga raya kita. Sel-sel tubuh kita, karena terkondisi oleh hukum-hukum itu, mengambil bentuk bulatan-bulatan, atau bahkan dawai-dawai, bukan kubus atau elips. Di luar empat dimensi ini, yakni dalam dimensi ke-5 hingga dimensi ke-26, dan dalam jagat-jagat raya lain, dengan hukum-hukum fisika dan kimia yang berbeda, struktur dan morfologi sel-sel tubuh organisme akan berbeda. Jadi, dari dunia subatomik sampai dunia mahabesar jagat-jagat raya, tidak ada kondisi tanpa kondisi. Jika anda berpikir bahwa anda bisa masuk ke kondisi “tanpa kondisi”, itu adalah pikiran anda yang dikondisikan oleh komunitas anda. Lewat sesepuh-sesepuh komunitas anda ini, anda diajarkan dan diyakinkan demikian. Saat saya menyatakan hal yang berbeda, saya juga dikondisikan oleh sesuatu yang lain, yakni ilmu pengetahuan modern.  

Jadi, adalah sebuah kesalahan besar jika ada orang yang mengklaim “pikiran bisa dihentikan” dalam sebuah meditasi. Tidak ada landasan ilmiahnya, cuma dipropagandakan saja.


Kata orang beragama, jika pikiran kita blank, si setan akan masuk merebutnya!

Pikiran atau pemikiran, mind and thought, melibatkan proses-proses kognitif, tidak akan bisa dihentikan, hard wired dengan fungsi otak kita Tetapi bisa dipantau, diamati. Lalu akan membuat kita makin kenal diri dan kecenderungan-kecenderungan mental kita. Dari situ, kita makin bertambah kenal dunia real, dan tempat kita di dalamnya; alhasil, kita bisa memperbaiki diri dan menyempurnakan diri terus-menerus. Dan karena kehidupan kita sendiri adalah meditasi aktif yang real, maka sangat penting pikiran kita terus-menerus kita pantau: kita melakukan apa yang dalam psikologi dinamakan “metakognisi”.

Metakognisi ini membuat kita berpikir tentang pikiran kita sendiri, memikirkan isi pemikiran kita sendiri. Pikiran atas pikiran. Alhasil, kita bisa makin bijaksana dan makin cerdas dan makin berwawasan dalam menjalani kehidupan sehari-hari, selama 24 jam, diselingi 8-10 jam tidur malam setiap hari. Inilah yang perlu kita latih, meditasi “keterjagaan” (Vipassana), meditasi memantau dan mengenali isi pikiran kita sendiri sampai detail, bukan menganggap pikiran kita bisa dibuat blank lewat meditasi.

Menjadi insan yang makin baik, makin cerdas, makin visioner, makin bajik, makin bijak, lewat Vipassana dan metakognisi, jauh lebih penting ketimbang mengejar kondisi yang dinamakan “tanpa kondisi”, yakni kondisi pikiran yang diklaim “kosong”, yang dalam kenyataannya tidak ada sama sekali. Tidak ada landasan ilmiahnya. Lagipula, seandainya pikiran bisa kosong sama sekali, kekosongan pikiran ini berguna untuk apa? Daripada sia-sia mengejar kondisi “tanpa kondisi”, yakni kondisi “pikiran blank”, lebih bermanfaat jika kita mengenali dan memantau isi pikiran-pikiran kita, alhasil kita bisa bermawas diri, mewaspadai diri, yang akan membuat kita akhirnya, setelah melewati usaha-usaha keras dan penuh disiplin, menjelma sebagai insan yang agung, insan kamil. Dunia dan peradaban dibangun dan dibentuk oleh otak yang penuh, yang konstan bekerja, bukan oleh otak yang kosong dan berhenti bekerja. 

Intermezo saja menjelang akhir tulisan ini: kondisi yang diklaim sebagai “kondisi tanpa kondisi”, yakni kondisi pikiran blank, kosong penuh, yang diklaim dicapai lewat teknik meditasi tertentu, oleh orang beragama yang pernah berdiskusi dengan saya dianggap sebagai kesempatan masuknya setan ke dalam otak yang tidak terjaga! Nah loh. Tentu saja, orang beragama yang berpendapat demikian juga dikondisikan oleh agama mereka saat mereka menyatakan hal yang mengagetkan itu dalam bahasa mitologis. Nothing in the universe is unconditioned! Tentu saja, di dalam zaman modern ini, kekuatan-kekuatan perusak yang dulu dipersonifikasi dalam sosok setan (dan berbagai nama lain), kini dijelaskan dari sudut pandang ilmu pengetahuan. Kalau dulu di era mitologis penyakit perut dibayangkan ditimbulkan oleh masuknya setan-setan atau roh-roh jahat ke dalam perut, kini sang setannya atau sang roh jahatnya, lewat sains, sudah ditemukan sebagai virus dan bakteri. Kalau pun seorang yang baru mulai latihan meditasi vipassana tiba-tiba “kerasukan setan”, dia bukan kerasukan setan dalam arti harfiah, tetapi karena penyakit mentalnya yang dinamakan Multiple Personality Disorder atau Dissociative Identity Disorder tiba-tiba kambuh!  

Sekali lagi, saat saya menyatakan demikian, saya juga dikondisikan, ya oleh ilmu pengetahuan. Pandangan-pandangan ilmu pengetahuan tentang segala hal dalam alam ini juga dikondisikan oleh bukti-bukti, metode-metode, teori-teori, model-model atau paradigma-paradigma, dan karena terkondisi, ilmu pengetahuan tidak pernah tiba di ujung terjauh. Tidak pernah final, tidak pernah absolut, tetapi terus berubah dan berkembang, sangat dinamis. Karena terkondisi, maka ilmu pengetahuan pun bisa berfungsi kreatif dan konstruktif bagi peradaban manusia selama dunia masih ada. Karena terkondisi juga, pandangan-pandangan ilmu pengetahuan tentang banyak hal akan suatu saat tidak relevan lagi, terbukti keliru, lalu akan digantikan dengan pandangan-pandangan yang lebih baru. Karena kehidupan setiap orang di planet Bumi ini sekarang ini membutuhkan sains dan teknologi modern jika mereka ingin hidup baik dan sehat, maka kehidupan kita semua niscaya terus terkondisi.

Banyak praktisi meditasi dengan tepat melihat bahwa pikiran sama sekali tidak bisa dikosongkan; kita semua hidup terkondisi oleh banyak hal, termasuk juga ketika kita sedang bermeditasi. Dalam meditasi yang diklaim sebagai meditasi tingkat tertinggi sekalipun, pikiran sama sekali tidak pernah bisa dikosongkan, dan, seandainya bisa, memang tidak perlu dikosongkan. Jika seorang praktisi meditasi mengklaim telah “manunggal dengan Tuhan” di dalam puncak meditasinya, klaim ini juga terkondisi, terkondisi oleh teologi mistik yang dipercayainya dan dipercayai komunitasnya. Tidak ada teologi “in vacuum”, yang murni, tidak terkondisi. Tetapi, kendatipun pikiran diakui tidak bisa dikosongkan, mereka tetap mempertahankan frasa “pikiran yang kosong”, tetapi dengan diberi arti bukan harfiah, melainkan metaforis. 

Seorang guru meditasi Vipassana, dan pendiri Vipassana Support International, yang bernama Shinzen Young, mengawali tulisannya yang berjudul “Meditation and Emptying the Mind” dengan kata-kata ini: “Apakah tujuan meditasi adalah untuk mematikan pikiran dan mendapatkan suatu kesenyapan batin atau suatu keadaan tanpa pikiran? Beberapa guru akan menjawab ya dan beberapa lagi akan menjawab pasti bukan itu! Sangat membingungkan...!” Selanjutnya dia menjelaskan berpanjang lebar apa artinya “emptying the mind”, “mengosongkan pikiran”. Menurutnya, “mengosongkan pikiran” adalah “menghancurkan kecanduan orang untuk berpikir atau untuk terpaksa berpikir”. Sesudah kecanduan ini dilenyapkan, “mengosongkan pikiran” berarti menjalankan “proses berpikir yang tidak lagi diserak-serak oleh kekuatan-kekuatan pembuyar”, melainkan terfokus kuat pada satu titik bak “seberkas sinar laser yang koheren dan menembus”. Di saat konsentrasi ini sudah dicapai, maka “mengosongkan pikiran” berarti “berpikir dengan suatu cara yang baru”, yang “spontan dan intuitif”, dan “menjadi bagian dari arus alam yang lembut dan gemulai”, yang akan bermuara pada “suatu keadaan kalem yang siaga”./9/

Lagi, kita temukan, Shinzen Young juga memahami “pikiran yang kosong” tidak secara harfiah, melainkan sebagai sebuah metafora tentang perombakan isi pikiran dan cara berpikir yang lama, diganti dengan isi pikiran dan cara berpikir yang baru: yang terkonsentrasi, yang dicapai dengan spontan, tanpa dipaksa oleh apapun, yang memuat perspektif-perspektif baru, yang akhirnya menimbulkan dampak ketenangan dan kesiagaan batin.

Hemat saya, lebih baik berpendirian seperti Shinzen Young: mengakui bahwa “pikiran yang kosong” adalah kondisi yang tidak mungkin ada, sebagaimana sudah saya argumentasikan di atas; dan, jika frasa “pikiran yang kosong” masih tetap mau dipertahankan, ya frasa ini diberi arti metaforis, bukan arti harfiah.  
 
Jakarta, 2 Agustus 2015 

ioanes rakhmat


Catatan-catatan 

/1/ Sri Chinmoy, “Emptying the Mind”, pada http://www.srichinmoy.org/spirituality/concentration_meditation_contemplation/meditation/the_silent_mind/emptying_the_mind.  

/2/ Darmayasa, “Mengosongkan Pikiran”, Divine Love Society, pada http://www.divine-love-society.org/mengosongkan-pikiran/.

/3/ Susan Perry, “The Bilingual Brain”, Brain Facts, 15 January 2013, pada http://www.brainfacts.org/sensing-thinking-behaving/language/articles/2008/the-bilingual-brain/. Lihat juga Viorica Marian dan Anthony Shook, “The Cognitive Benefit of Being Bilingual”, Cerebrum, 31 October 2012, pada http://dana.org/Cerebrum/2012/The_Cognitive_Benefits_of_Being_Bilingual/.

/4/ Lihat misalnya Ioulia Kovelman, Stephanie A. Baker, Laura-Ann Pettito, “Bilingual and Monolingual Brains Compared: A Functional Magnetic Resonance Imaging Investigation of Syntactic Processing and a Possible ‘Neural Signature’ of Bilingualism”, Journal of Cognitive Neuroscience, January 2008, Vol. 20, No. 1, hlm. 153-169, pada http://www.mitpressjournals.org/doi/abs/10.1162/jocn.2008.20011?#.Vb7NjmC5I8I.

/5/ Susan Perry, “The Bilingual Brain”, Brain Facts, 15 January 2013, pada http://www.brainfacts.org/sensing-thinking-behaving/language/articles/2008/the-bilingual-brain/.

/6/ Ki Bayu Sejati, “Olah Batin dengan Meditasi”, Blog Ki Bayu Sejati, pada https://kibayu.wordpress.com/olah-batin-dengan-meditasi/.

/7/ Barry Gordon, “Why Is It Impossible to Stop Thinking, to Render the Mind a Complete Blank?”, Scientific American, 18 October 2012, pada http://www.scientificamerican.com/article/ask-the-brains-why-impossible-to-stop-thinking/.

/8/ Graham E. Ewing dan S.H. Parvez, “The Dynamic Relationship between Cognition, the Physiological Systems, and Cellular and Molecular Biochemistry: A Systems-based Perspective on the Process of Pathology", Rediviva, 20 April 2010, pada http://www.rediviva.sav.sk/52i1/31.pdf.

/9/ Shinzen Yang, “Emptying the Mind”, Shinzen.org., Meditation in Action, pada http://www.shinzen.org/Articles/artEmptyMind.htm