☆ Update mutakhir 12 Juli 2018
Tulisan ini terpasang juga di Kompasiana. Ini link-nya
https://www.kompasiana.com/ioanesrakhmat.blogspot.com/5b3529e6cf01b45a7a462d85/sains-tentang-kecerdasan-majemuk.
"Orang yang suka membangga-banggakan IQ mereka adalah para pecundang." ☆ Stephen Hawking
Pendahuluan
Banyak orangtua ingin anak-anak mereka memiliki IQ ("Intelligence Quotient") yang tinggi, lantaran mereka beranggapan IQ yang tinggi berarti cerdas. Tapi anggapan yang diyakini para orangtua ini sebetulnya keliru.
Tapi ya betul, orang umumnya senang kalau memiliki peringkat IQ di atas rata-rata. Jika si X, Y dan Z ber-IQ tinggi, mereka suka sekali membangga-banggakan IQ mereka sekalipun tidak ada yang menanyakannya kepada mereka.
Setelah Albert Einstein, sosok fisikawan teoretis terkenal (alm) Stephen Hawking diakui sebagai orang tercerdas kedua dunia di abab ke-20. Saat ditanya berapa peringkat IQ-nya, dengan kalem Hawking menjawab bahwa orang yang suka membangga-banggakan IQ mereka adalah para pecundang, the losers. Nah loh.
Belum banyak orang yang tahu bahwa IQ itu ukuran psikometrik (dengan peringkat angka) yang hanya mengacu ke kemampuan atau ke kecerdasan seseorang dalam dua bidang pembelajaran atau ilmu saja, yakni matematika dan linguistik.
Sudah lazim kini di sekolah-sekolah yang berkualitas kurikulum dibangun berdasarkan model kecerdasan yang holistik, menyeluruh dan majemuk. Model ini dinamakan model multiple intelligences (MI) atau model kecerdasan majemuk.
Nah, dengan model MI, jika IQ putra atau putri anda rendah, tidak berarti mereka bodoh. Sebab mereka bisa cerdas di bidang lain yang bukan matematika atau bahasa, tetapi, misalnya, cerdas di bidang kesenian atau cerdas di bidang olah gerak tubuh seperti balet atau tarian.
Selanjutnya ikuti dan pahamilah dengan sabar dan cermat uraian saya di bawah ini tentang MI. Hingga saat ini dan jauh ke depan, apa yang akan saya beberkan ini tetap relevan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Jika anda menilai tulisan saya ini berguna, bagikanlah ke teman-teman anda dengan hati yang riang dan pikiran yang cerah.
Dunia ilmu pengetahuan penuh dengan hal-hal yang riang meski ada juga banyak perdebatan dan kerja keras di dalamnya. Karena itu, teruskanlah ilmu pengetahuan dengan hati yang hepi. Jangan sekali-kali membekapnya hanya untuk diri sendiri. Cerdas hanya untuk diri sendiri ya sama dengan bodoh. Tapi kalau anda bodoh, apalagi bodoh tanpa batas, nah kebodohan ini perlu anda bekap dan kuasai sendiri, jangan sekali-kali disebar dan ditularkan.
Nah, temukan dalam bidang-bidang apa saja putra dan putri anda memiliki kecerdasan yang menonjol.
Jika anda bersama putra dan putri anda sudah menemukan dalam bidang-bidang apa mereka cerdas atau memiliki kecakapan dan kemampuan yang menonjol, bantulah dan beri mereka fasilitas pembelajaran dan pelatihan yang dapat menumbuhkan dan mematangkan bidang-bidang kecerdasan mereka. Tidak ada pelajar yang bodoh.
Tapi ya betul, orang umumnya senang kalau memiliki peringkat IQ di atas rata-rata. Jika si X, Y dan Z ber-IQ tinggi, mereka suka sekali membangga-banggakan IQ mereka sekalipun tidak ada yang menanyakannya kepada mereka.
Setelah Albert Einstein, sosok fisikawan teoretis terkenal (alm) Stephen Hawking diakui sebagai orang tercerdas kedua dunia di abab ke-20. Saat ditanya berapa peringkat IQ-nya, dengan kalem Hawking menjawab bahwa orang yang suka membangga-banggakan IQ mereka adalah para pecundang, the losers. Nah loh.
Belum banyak orang yang tahu bahwa IQ itu ukuran psikometrik (dengan peringkat angka) yang hanya mengacu ke kemampuan atau ke kecerdasan seseorang dalam dua bidang pembelajaran atau ilmu saja, yakni matematika dan linguistik.
Sudah lazim kini di sekolah-sekolah yang berkualitas kurikulum dibangun berdasarkan model kecerdasan yang holistik, menyeluruh dan majemuk. Model ini dinamakan model multiple intelligences (MI) atau model kecerdasan majemuk.
Nah, dengan model MI, jika IQ putra atau putri anda rendah, tidak berarti mereka bodoh. Sebab mereka bisa cerdas di bidang lain yang bukan matematika atau bahasa, tetapi, misalnya, cerdas di bidang kesenian atau cerdas di bidang olah gerak tubuh seperti balet atau tarian.
Anda cerdas di bidang apa?
Selanjutnya ikuti dan pahamilah dengan sabar dan cermat uraian saya di bawah ini tentang MI. Hingga saat ini dan jauh ke depan, apa yang akan saya beberkan ini tetap relevan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Jika anda menilai tulisan saya ini berguna, bagikanlah ke teman-teman anda dengan hati yang riang dan pikiran yang cerah.
Dunia ilmu pengetahuan penuh dengan hal-hal yang riang meski ada juga banyak perdebatan dan kerja keras di dalamnya. Karena itu, teruskanlah ilmu pengetahuan dengan hati yang hepi. Jangan sekali-kali membekapnya hanya untuk diri sendiri. Cerdas hanya untuk diri sendiri ya sama dengan bodoh. Tapi kalau anda bodoh, apalagi bodoh tanpa batas, nah kebodohan ini perlu anda bekap dan kuasai sendiri, jangan sekali-kali disebar dan ditularkan.
Nah, temukan dalam bidang-bidang apa saja putra dan putri anda memiliki kecerdasan yang menonjol.
Jika anda bersama putra dan putri anda sudah menemukan dalam bidang-bidang apa mereka cerdas atau memiliki kecakapan dan kemampuan yang menonjol, bantulah dan beri mereka fasilitas pembelajaran dan pelatihan yang dapat menumbuhkan dan mematangkan bidang-bidang kecerdasan mereka. Tidak ada pelajar yang bodoh.
Teori Kecerdasan Majemuk
Kita akan segera masuk ke teori kognisi "Multiple Intelligences" Howard Gardner.
Pertama-tama mari selami dulu dalam-dalam tiga kutipan berikut.
"Aku tidak menggunakan hanya seluruh otak yang aku punya, tapi juga semua otak lain yang aku dapat pinjam." (Woodrow Wilson)
"Kecerdasan adalah suatu kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah dalam bidang apapun." (Roman Yampolskiy)
"Setiap orang itu jenius. Tapi jika anda menilai seekor ikan berdasarkan kemampuannya memanjat sebatang pohon, ikan ini akan menjalani seluruh kehidupannya dengan percaya bahwa dirinya dungu." (Albert Einstein)
Mari kita mulai.
Kecerdasan itu majemuk, multiple. Tidak hanya satu. Anda bisa cerdas di bidang A, tetapi belum tentu di bidang B. Ada orang yang memiliki banyak kecerdasan, dan bisa menggunakannya bersamaan pada waktu yang sama. Tetapi ada juga orang yang hanya cerdas di satu bidang, sementara di bidang-bidang lainnya mereka gagap atau ya..... bodoh.
Kita perlu mengenali di bidang apa kecerdasan kita paling menonjol, lalu memanfaatkannya semaksimal mungkin, sementara juga berusaha keras belajar untuk cerdas di bidang-bidang lain tahap demi tahap dengan tekun. Di mana ada tekad, di situ ada banyak malaikat penolong.
Begitu juga kita perlu memperhatikan di bidang-bidang apa saja anak-anak kita cerdas; dan kita perlu memberi perhatian lebih pada bidang-bidang kecerdasan yang paling menonjol pada mereka, dan membantu mereka berkembang penuh di bidang-bidang ini.
Pendidikan yang baik terpusat pada keunikan setiap peserta didik, pada kecerdasan khas yang menonjol pada diri mereka. Inilah pendidikan yang berbasis pada pengetahuan tentang teori kecerdasan majemuk atau "multiple intelligences".
Pada awal 1980-an, psikolog Howard Gardner memperkenalkan suatu teori kognitif baru yang dinamakannya teori "multiple intelligences" (teori MI), sebagai sebuah alternatif terhadap pendekatan lama yang menekankan hanya kecerdasan logis matematis dan linguistik.
Teori MI mempertahankan suatu pandangan yang pluralistik mengenai pikiran, mengakui banyak aspek kognisi yang berlain-lainan yang memiliki kekhasan masing-masing, dan memandang setiap individu memiliki kekuatan-kekuatan kognitif yang berbeda-beda dan gaya-gaya kognitif yang tidak sama./1/
Model MI dilandaskan terutama pada temuan-temuan mutakhir sains kognitif (yang mempelajari pikiran) dan neurosains (yang mempelajari otak). Jadi, ada basis empirisnya, bukan suatu spekulasi filosofis.
Dalam pandangan Gardner, menetapkan peringkat kecerdasan seseorang hanya berdasarkan tes psikometrik IQ (yakni tes atas kemampuan nalar logis matematis, bersama dengan kemampuan linguistik), berarti mengabaikan kemampuan-kemampuan kognitif lain yang ada dalam diri setiap manusia, yang tidak kalah signifikan jika dibandingkan dengan kecerdasan logis matematis.
Sementara tetap menghargai instrumen psikometrik tes IQ, Gardner menyatakan dengan tegas bahwa instrumen ini "sama sekali tidak adil"./2/
Sebaliknya, dengan memakai model MI semua kegiatan pendidikan dan pengajaran terpusat pada kemampuan kognitif apapun yang ada dalam diri setiap individu, tidak harus pada kemampuan logis matematisnya.
Meskipun untuk nilai mata pelajaran matematika siswi A mendapat nilai jeblok, dia juga harus diapresiasi sangat tinggi atas kecerdasan musiknya yang membuatnya mampu mendapatkan nilai 8,5 untuk mata pelajaran seni suara. Pengembangan kognitifnya oleh sekolahnya dan oleh ayah dan bundanya perlu berpusat pada kecerdasan musiknya, sehingga dia sebagai individu mendapat kesempatan yang luas untuk berprestasi sesuai dengan bakat dan jenis kecerdasannya.
Yang dimaksudkan Gardner dengan kecerdasan ("intelligence") adalah seperangkat kapasitas, bakat-bakat, atau kecakapan-kecakapan mental. Kapasitas di sini khususnya adalah suatu kapasitas komputasional, yakni kapasitas untuk memproses suatu jenis tertentu informasi. Kapasitas ini berbasis empiris pada neurobiologi insani dan psikologi insani.
Sebagai suatu kapasitas mental, kecerdasan tentu saja muncul dan berkembang tidak dalam suatu kevakuman, tetapi terkait erat dengan latar sosiobudaya dan dengan pendidikan dan pengasuhan./3/ Gen tentu ambil bagian lewat neurobiologi setiap individu, antara 30 hingga 50 persen. Selebihnya, faktor-faktor eksternal environmental ikut berpengaruh signifikan juga, bahkan bisa menonaktifkan informasi genetik.
Dengan kecerdasan yang kita miliki, kata Gardner, kita "mampu memecahkan masalah-masalah, atau untuk menciptakan produk-produk yang dihargai tinggi di dalam satu atau lebih latar kultural."/4/
Kecuali di kalangan individu yang tidak normal (misalnya mengalami defisit kognitif atau kelumpuhan intelektual bawaan), berbagai jenis kecerdasan yang ada pada seseorang dapat bekerja bersamaan dan terfokus pada satu tujuan. Dalam diri seorang dewasa yang memiliki kekuatan kognitif luar biasa, beberapa kapasitas mentalnya malah lebur menjadi satu./5/
Menurut teori MI, kecerdasan manusia itu majemuk, multiple, dan setiap individu dapat memiliki lebih dari satu kecerdasan, dari antaranya ada yang sangat menonjol, dan setiap kecerdasannya ini dapat bekerja bersama-sama pada satu momen, tapi dapat juga bekerja sendiri-sendiri dengan otonom.
Tulis Gardner dalam bukunya Frames of Mind, "Semua kecerdasan yang kita miliki menjadikan kita organisme manusia, jika ditinjau dari sudut kognitif./6/ Tentu ada hewan-hewan lain nonmanusia yang juga cerdas, misalnya oktopus, lumba-lumba, dan gajah; tetapi, sejauh ini, kecerdasan Homo sapiens belum tertandingi.
Dalam bukunya Intelligence Reframed, Gardner menyatakan hal yang serupa bahwa "Pada dasarnya suatu kecerdasan itu menunjuk pada suatu potensi biopsikologis spesies kita [Homo sapiens] untuk memproses suatu jenis informasi tertentu dalam cara-cara tertentu."/7/
Dalam model kecerdasan majemuk yang diajukan Gardner, tidak dikenal "kecerdasan umum" (general intelligence, atau biasa disebut the "g" intelligence) yang sudah lama dipandang mendasari semua jenis kecerdasan manusia. Kecerdasan umum ini dipandang "tidak berubah banyak meskipun orang bertambah usia, menjalani banyak latihan atau pengalaman, tetapi ada sebagai suatu kapasitas atau kelengkapan kognitif pada diri setiap orang sejak dilahirkan."/8/
Sebaliknya, menurut teori MI, manusia memiliki banyak kecerdasan, dan setiap jenis kecerdasan bersifat dinamis, dapat dikembangkan dan dimatangkan, dapat disusun, dibentuk dan dibangun terus dengan luwes dan lentur, "malleable". Kecerdasan majemuk dilihat Gardner mencakup tujuh jenis.
1. KECERDASAN LOGIS MATEMATIS, yakni kemampuan untuk berpikir saintifik, deduktif logis, menjalankan kalkulasi numerik, memecahkan masalah dalam waktu sangat singkat dalam benak sebelum dituangkan ke dalam tulisan.
2. KECERDASAN LINGUISTIK, yakni penguasaan atas bahasa, segala segi ketatabahasaan, dunia semantik dan fonologi, dan kepiawaian untuk menggunakan berbagai bentuk ungkapan linguistik yang ekspresif seperti metafora, sajak dan puisi, dan berbagai macam bunyi bahasa, dalam komunikasi verbal, literal/tekstual, visual atapun lewat tanda-tanda dan simbol-simbol.
3. KECERDASAN MUSIKAL, yakni kemampuan kognitif untuk menciptakan berbagai jenis komposisi musik, atau memainkannya, atau memberi tafsiran yang pas atas suatu komposisi musik, atau mendengarkan sebuah komposisi musik lalu cepat menangkapnya dengan pas dan bisa memainkan sendiri tanpa atau dengan disertai improvisasi yang kaya dan kreatif.
4. KECERDASAN SPASIAL, yakni kemampuan mental untuk dengan baik mengenali ruang dan tempat-tempat di dalamnya, dalam rangka mengarahkan gerak dan arah sesuatu dalam suatu navigasi, atau dalam rangka pekerjaan-pekerjaan lain yang berhubungan dengan ruang dan gerakan.
5. KECERDASAN INTERPERSONAL, yakni kepiawaian untuk mengenali individu-individu di luar diri sendiri dan mendeteksi berbagai suasana mental mereka masing-masing, dan untuk membaca alam pikiran dan berbagai maksud dan keinginan individu-individu lain itu, lalu berdasarkan pengetahuan ini bertindak sedemikian rupa untuk memandu dan mengarahkan mereka ke tujuan-tujuan yang sudah digariskan.
Sekarang ini, terma SOFT SKILL dipakai untuk menyebut kecerdasan interpersonal ini, yang juga dikenal sebagai kecakapan empatetis, atau kemampuan ber-EMPATI. Kecerdasan ini terarah keluar.
6. KECERDASAN INTRAPERSONAL, yaitu kemampuan mental untuk mengenali aspek-aspek internal diri sendiri, misalnya kognisi, perasaan, emosi, kebutuhan, keinginan, kemauan, harapan, kerinduan, dan untuk membeda-bedakan aspek-aspek ini, yang diperlukan untuk memahami dan memandu perilaku dan tindakan sendiri. Kecerdasan ini berorientasi ke dalam, kecakapan introspektif.
7. KECERDASAN KINESTETIK-RAGAWI (atau kecerdasan ragawi), yakni kemampuan untuk menggunakan dan mengontrol tubuh sendiri, gerak-gerik dan keseimbangannya, dan semua anggotanya dengan sangat piawai dan dalam cara yang sangat beranekaragam, dan untuk menggunakan berbagai objek dan benda dengan mahir dan memikat, bagi keperluan pementasan dan pagelaran atau tujuan-tujuan lain./9/ Dalam benak anda tentu muncul gambaran para penari, pesenam atau pemain akrobat, atau bahkan pembalap mobil, pemanah, pesepakbola, dll.
Kita akan segera masuk ke teori kognisi "Multiple Intelligences" Howard Gardner.
Pertama-tama mari selami dulu dalam-dalam tiga kutipan berikut.
"Aku tidak menggunakan hanya seluruh otak yang aku punya, tapi juga semua otak lain yang aku dapat pinjam." (Woodrow Wilson)
"Kecerdasan adalah suatu kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah dalam bidang apapun." (Roman Yampolskiy)
"Setiap orang itu jenius. Tapi jika anda menilai seekor ikan berdasarkan kemampuannya memanjat sebatang pohon, ikan ini akan menjalani seluruh kehidupannya dengan percaya bahwa dirinya dungu." (Albert Einstein)
Mari kita mulai.
Kecerdasan itu majemuk, multiple. Tidak hanya satu. Anda bisa cerdas di bidang A, tetapi belum tentu di bidang B. Ada orang yang memiliki banyak kecerdasan, dan bisa menggunakannya bersamaan pada waktu yang sama. Tetapi ada juga orang yang hanya cerdas di satu bidang, sementara di bidang-bidang lainnya mereka gagap atau ya..... bodoh.
Kita perlu mengenali di bidang apa kecerdasan kita paling menonjol, lalu memanfaatkannya semaksimal mungkin, sementara juga berusaha keras belajar untuk cerdas di bidang-bidang lain tahap demi tahap dengan tekun. Di mana ada tekad, di situ ada banyak malaikat penolong.
Begitu juga kita perlu memperhatikan di bidang-bidang apa saja anak-anak kita cerdas; dan kita perlu memberi perhatian lebih pada bidang-bidang kecerdasan yang paling menonjol pada mereka, dan membantu mereka berkembang penuh di bidang-bidang ini.
Pendidikan yang baik terpusat pada keunikan setiap peserta didik, pada kecerdasan khas yang menonjol pada diri mereka. Inilah pendidikan yang berbasis pada pengetahuan tentang teori kecerdasan majemuk atau "multiple intelligences".
Pada awal 1980-an, psikolog Howard Gardner memperkenalkan suatu teori kognitif baru yang dinamakannya teori "multiple intelligences" (teori MI), sebagai sebuah alternatif terhadap pendekatan lama yang menekankan hanya kecerdasan logis matematis dan linguistik.
Teori MI mempertahankan suatu pandangan yang pluralistik mengenai pikiran, mengakui banyak aspek kognisi yang berlain-lainan yang memiliki kekhasan masing-masing, dan memandang setiap individu memiliki kekuatan-kekuatan kognitif yang berbeda-beda dan gaya-gaya kognitif yang tidak sama./1/
Model MI dilandaskan terutama pada temuan-temuan mutakhir sains kognitif (yang mempelajari pikiran) dan neurosains (yang mempelajari otak). Jadi, ada basis empirisnya, bukan suatu spekulasi filosofis.
Dalam pandangan Gardner, menetapkan peringkat kecerdasan seseorang hanya berdasarkan tes psikometrik IQ (yakni tes atas kemampuan nalar logis matematis, bersama dengan kemampuan linguistik), berarti mengabaikan kemampuan-kemampuan kognitif lain yang ada dalam diri setiap manusia, yang tidak kalah signifikan jika dibandingkan dengan kecerdasan logis matematis.
Sementara tetap menghargai instrumen psikometrik tes IQ, Gardner menyatakan dengan tegas bahwa instrumen ini "sama sekali tidak adil"./2/
Sebaliknya, dengan memakai model MI semua kegiatan pendidikan dan pengajaran terpusat pada kemampuan kognitif apapun yang ada dalam diri setiap individu, tidak harus pada kemampuan logis matematisnya.
Meskipun untuk nilai mata pelajaran matematika siswi A mendapat nilai jeblok, dia juga harus diapresiasi sangat tinggi atas kecerdasan musiknya yang membuatnya mampu mendapatkan nilai 8,5 untuk mata pelajaran seni suara. Pengembangan kognitifnya oleh sekolahnya dan oleh ayah dan bundanya perlu berpusat pada kecerdasan musiknya, sehingga dia sebagai individu mendapat kesempatan yang luas untuk berprestasi sesuai dengan bakat dan jenis kecerdasannya.
Yang dimaksudkan Gardner dengan kecerdasan ("intelligence") adalah seperangkat kapasitas, bakat-bakat, atau kecakapan-kecakapan mental. Kapasitas di sini khususnya adalah suatu kapasitas komputasional, yakni kapasitas untuk memproses suatu jenis tertentu informasi. Kapasitas ini berbasis empiris pada neurobiologi insani dan psikologi insani.
Sebagai suatu kapasitas mental, kecerdasan tentu saja muncul dan berkembang tidak dalam suatu kevakuman, tetapi terkait erat dengan latar sosiobudaya dan dengan pendidikan dan pengasuhan./3/ Gen tentu ambil bagian lewat neurobiologi setiap individu, antara 30 hingga 50 persen. Selebihnya, faktor-faktor eksternal environmental ikut berpengaruh signifikan juga, bahkan bisa menonaktifkan informasi genetik.
Dengan kecerdasan yang kita miliki, kata Gardner, kita "mampu memecahkan masalah-masalah, atau untuk menciptakan produk-produk yang dihargai tinggi di dalam satu atau lebih latar kultural."/4/
Kecuali di kalangan individu yang tidak normal (misalnya mengalami defisit kognitif atau kelumpuhan intelektual bawaan), berbagai jenis kecerdasan yang ada pada seseorang dapat bekerja bersamaan dan terfokus pada satu tujuan. Dalam diri seorang dewasa yang memiliki kekuatan kognitif luar biasa, beberapa kapasitas mentalnya malah lebur menjadi satu./5/
Menurut teori MI, kecerdasan manusia itu majemuk, multiple, dan setiap individu dapat memiliki lebih dari satu kecerdasan, dari antaranya ada yang sangat menonjol, dan setiap kecerdasannya ini dapat bekerja bersama-sama pada satu momen, tapi dapat juga bekerja sendiri-sendiri dengan otonom.
Tulis Gardner dalam bukunya Frames of Mind, "Semua kecerdasan yang kita miliki menjadikan kita organisme manusia, jika ditinjau dari sudut kognitif./6/ Tentu ada hewan-hewan lain nonmanusia yang juga cerdas, misalnya oktopus, lumba-lumba, dan gajah; tetapi, sejauh ini, kecerdasan Homo sapiens belum tertandingi.
Dalam bukunya Intelligence Reframed, Gardner menyatakan hal yang serupa bahwa "Pada dasarnya suatu kecerdasan itu menunjuk pada suatu potensi biopsikologis spesies kita [Homo sapiens] untuk memproses suatu jenis informasi tertentu dalam cara-cara tertentu."/7/
Dalam model kecerdasan majemuk yang diajukan Gardner, tidak dikenal "kecerdasan umum" (general intelligence, atau biasa disebut the "g" intelligence) yang sudah lama dipandang mendasari semua jenis kecerdasan manusia. Kecerdasan umum ini dipandang "tidak berubah banyak meskipun orang bertambah usia, menjalani banyak latihan atau pengalaman, tetapi ada sebagai suatu kapasitas atau kelengkapan kognitif pada diri setiap orang sejak dilahirkan."/8/
Sebaliknya, menurut teori MI, manusia memiliki banyak kecerdasan, dan setiap jenis kecerdasan bersifat dinamis, dapat dikembangkan dan dimatangkan, dapat disusun, dibentuk dan dibangun terus dengan luwes dan lentur, "malleable". Kecerdasan majemuk dilihat Gardner mencakup tujuh jenis.
1. KECERDASAN LOGIS MATEMATIS, yakni kemampuan untuk berpikir saintifik, deduktif logis, menjalankan kalkulasi numerik, memecahkan masalah dalam waktu sangat singkat dalam benak sebelum dituangkan ke dalam tulisan.
2. KECERDASAN LINGUISTIK, yakni penguasaan atas bahasa, segala segi ketatabahasaan, dunia semantik dan fonologi, dan kepiawaian untuk menggunakan berbagai bentuk ungkapan linguistik yang ekspresif seperti metafora, sajak dan puisi, dan berbagai macam bunyi bahasa, dalam komunikasi verbal, literal/tekstual, visual atapun lewat tanda-tanda dan simbol-simbol.
3. KECERDASAN MUSIKAL, yakni kemampuan kognitif untuk menciptakan berbagai jenis komposisi musik, atau memainkannya, atau memberi tafsiran yang pas atas suatu komposisi musik, atau mendengarkan sebuah komposisi musik lalu cepat menangkapnya dengan pas dan bisa memainkan sendiri tanpa atau dengan disertai improvisasi yang kaya dan kreatif.
4. KECERDASAN SPASIAL, yakni kemampuan mental untuk dengan baik mengenali ruang dan tempat-tempat di dalamnya, dalam rangka mengarahkan gerak dan arah sesuatu dalam suatu navigasi, atau dalam rangka pekerjaan-pekerjaan lain yang berhubungan dengan ruang dan gerakan.
5. KECERDASAN INTERPERSONAL, yakni kepiawaian untuk mengenali individu-individu di luar diri sendiri dan mendeteksi berbagai suasana mental mereka masing-masing, dan untuk membaca alam pikiran dan berbagai maksud dan keinginan individu-individu lain itu, lalu berdasarkan pengetahuan ini bertindak sedemikian rupa untuk memandu dan mengarahkan mereka ke tujuan-tujuan yang sudah digariskan.
Sekarang ini, terma SOFT SKILL dipakai untuk menyebut kecerdasan interpersonal ini, yang juga dikenal sebagai kecakapan empatetis, atau kemampuan ber-EMPATI. Kecerdasan ini terarah keluar.
6. KECERDASAN INTRAPERSONAL, yaitu kemampuan mental untuk mengenali aspek-aspek internal diri sendiri, misalnya kognisi, perasaan, emosi, kebutuhan, keinginan, kemauan, harapan, kerinduan, dan untuk membeda-bedakan aspek-aspek ini, yang diperlukan untuk memahami dan memandu perilaku dan tindakan sendiri. Kecerdasan ini berorientasi ke dalam, kecakapan introspektif.
Sang lady ini cerdas di bidang apa?
7. KECERDASAN KINESTETIK-RAGAWI (atau kecerdasan ragawi), yakni kemampuan untuk menggunakan dan mengontrol tubuh sendiri, gerak-gerik dan keseimbangannya, dan semua anggotanya dengan sangat piawai dan dalam cara yang sangat beranekaragam, dan untuk menggunakan berbagai objek dan benda dengan mahir dan memikat, bagi keperluan pementasan dan pagelaran atau tujuan-tujuan lain./9/ Dalam benak anda tentu muncul gambaran para penari, pesenam atau pemain akrobat, atau bahkan pembalap mobil, pemanah, pesepakbola, dll.
Kecerdasan kinestetik-ragawi dan kecerdasan spasial yang terkombinasi dengan apik memungkinkan terbangunnya adegan keseimbangan tubuh yang indah dan menawan di atas. Sumber gambar: Ents-Rep Ltd.
Delapan Kriteria
Suatu aspek kognitif dapat disebut kecerdasan jika, dalam pandangan Gardner, memenuhi delapan kriteria empiris objektif berikut./10/
* Pengetahuan mengenai perkembangan normal dan perkembangan dalam diri individu-individu yang berbakat;
* Informasi tentang gangguan atau kerusakan kecakapan-kecakapan kognitif ketika terjadi kerusakan otak;
* Kajian-kajian atas populasi-populasi yang luar biasa, yang mencakup orang-orang yang luar biasa cerdas, kalangan terpelajar, dan anak-anak autistik;
* Data tentang evolusi kognitif dalam beberapa milenium terakhir;
* Data dan informasi tentang kognisi lintasbudaya;
* Kajian-kajian psikometrik, termasuk penelitian terhadap korelasi-korelasi yang ada di antara tes-tes kognitif;
* Kajian-kajian tentang pelatihan-pelatihan psikologis, khususnya unit-unit yang digunakan dalam transfer dan generalisasi dalam setiap tugas yang diberikan;
* Setiap kecerdasan harus memiliki operasi inti atau seperangkat operasi yang dapat diidentifikasi.
Kecerdasan Naturalis dan Eksistensial
* Pengetahuan mengenai perkembangan normal dan perkembangan dalam diri individu-individu yang berbakat;
* Informasi tentang gangguan atau kerusakan kecakapan-kecakapan kognitif ketika terjadi kerusakan otak;
* Kajian-kajian atas populasi-populasi yang luar biasa, yang mencakup orang-orang yang luar biasa cerdas, kalangan terpelajar, dan anak-anak autistik;
* Data tentang evolusi kognitif dalam beberapa milenium terakhir;
* Data dan informasi tentang kognisi lintasbudaya;
* Kajian-kajian psikometrik, termasuk penelitian terhadap korelasi-korelasi yang ada di antara tes-tes kognitif;
* Kajian-kajian tentang pelatihan-pelatihan psikologis, khususnya unit-unit yang digunakan dalam transfer dan generalisasi dalam setiap tugas yang diberikan;
* Setiap kecerdasan harus memiliki operasi inti atau seperangkat operasi yang dapat diidentifikasi.
Kecerdasan spasial memampukan orang menjadi pembalap yang hebat
Kecerdasan Naturalis dan Eksistensial
Ada kemampuan-kemampuan mental lain yang menurut Gardner dapat disebut sebagai kecerdasan karena memenuhi delapan kriteria tersebut di atas, yakni KECERDASAN NATURALIS dan KECERDASAN EKSISTENSIAL.
Seperti dimiliki antara lain oleh Charles Darwin, kecerdasan naturalis menjadikan seseorang sangat cakap membedakan satu spesies organisme dari satu spesies organisme lain, lalu merangkainya dalam suatu pohon evolusi biologis yang tumbuh dan berkembang multilinier, ke banyak dan bermacam-macam arah.
Kecerdasan eksistensial adalah suatu kemampuan kognitif untuk merenungi dalam-dalam pertanyaan-pertanyaan besar paling mendasar mengenai kehidupan, "the Big Questions".
Kecerdasan seperti itu dijumpai dalam diri para filsuf, para pemuka keagamaan yang berwawasan jauh, para negarawan besar, para seniman, dan para guru agung umat manusia, dan para humanis yang menjadi atau tidak menjadi ilmuwan.
Mereka kerap bertanya: Siapa kita? Dari mana asal kita? Mengapa kita hidup? Mengapa kita wafat? Ke mana kita akan pergi setelah kita meninggal? Mengapa kita mencintai? Mengapa kita membenci? Mengapa kita berperang? Mengapa kita membangun masyarakat? Mengapa kita mencari sahabat? Mengapa kita berduka, rindu, sakit, menjadi tua lalu mati? Mengapa kita membangun peradaban? Mengapa jagat raya ada? Apa fungsi dan tempat kita dalam alam semesta? Dan apa fungsi dan kepentingan jagat raya mahabesar bagi kita yang secara fisik sangat kecil?/11/
Seperti dimiliki antara lain oleh Charles Darwin, kecerdasan naturalis menjadikan seseorang sangat cakap membedakan satu spesies organisme dari satu spesies organisme lain, lalu merangkainya dalam suatu pohon evolusi biologis yang tumbuh dan berkembang multilinier, ke banyak dan bermacam-macam arah.
Kecerdasan eksistensial adalah suatu kemampuan kognitif untuk merenungi dalam-dalam pertanyaan-pertanyaan besar paling mendasar mengenai kehidupan, "the Big Questions".
Kecerdasan seperti itu dijumpai dalam diri para filsuf, para pemuka keagamaan yang berwawasan jauh, para negarawan besar, para seniman, dan para guru agung umat manusia, dan para humanis yang menjadi atau tidak menjadi ilmuwan.
Mereka kerap bertanya: Siapa kita? Dari mana asal kita? Mengapa kita hidup? Mengapa kita wafat? Ke mana kita akan pergi setelah kita meninggal? Mengapa kita mencintai? Mengapa kita membenci? Mengapa kita berperang? Mengapa kita membangun masyarakat? Mengapa kita mencari sahabat? Mengapa kita berduka, rindu, sakit, menjadi tua lalu mati? Mengapa kita membangun peradaban? Mengapa jagat raya ada? Apa fungsi dan tempat kita dalam alam semesta? Dan apa fungsi dan kepentingan jagat raya mahabesar bagi kita yang secara fisik sangat kecil?/11/
Kecerdasan lain
Gardner juga menunjuk beberapa kecerdasan lain yang telah diajukan beberapa pakar lain, yakni KECERDASAN PEDAGOGIS (yaitu kecerdasan yang memungkinkan seseorang dapat dengan baik memainkan fungsi sebagai guru atau pendidik), KECERDASAN EMOSIONAL, KECERDASAN SEKSUAL dan KECERDASAN DIGITAL./12/
Dalam buku Intelligence Reframed (terbit 1999), Gardner juga mengulas beberapa kecerdasan tambahan yang sudah disebut, yang diusulkan para pakar lain, dan secara khusus dia juga memberi tanggapannya terhadap "KECERDASAN MORAL"./13/
Berkaitan dengan kecerdasan-kecerdasan lain yang diusulkan, pernyataan Gardner berikut ini patut diingat:
"Teori MI adalah teori tentang intelek, tentang pikiran manusia dalam aspek kognitifnya.... Perhatikanlah bahwa teori MI sama sekali tidak mengklaim menangani isu-isu lain di luar intelek. Teori ini bukan tentang personalitas, watak, kehendak, moralitas, atensi, motivasi, atau konstruk-konstruk psikologis apapun; juga tidak terkait dengan seperangkat moral atau nilai-nilai apapun"/14/
Meskipun demikian, hemat saya, tidaklah berarti bahwa kecerdasan-kecerdasan lain yang ditolak Gardner tidak ada yang memiliki basis intelek.
Gardner juga menunjuk beberapa kecerdasan lain yang telah diajukan beberapa pakar lain, yakni KECERDASAN PEDAGOGIS (yaitu kecerdasan yang memungkinkan seseorang dapat dengan baik memainkan fungsi sebagai guru atau pendidik), KECERDASAN EMOSIONAL, KECERDASAN SEKSUAL dan KECERDASAN DIGITAL./12/
Dalam buku Intelligence Reframed (terbit 1999), Gardner juga mengulas beberapa kecerdasan tambahan yang sudah disebut, yang diusulkan para pakar lain, dan secara khusus dia juga memberi tanggapannya terhadap "KECERDASAN MORAL"./13/
Berkaitan dengan kecerdasan-kecerdasan lain yang diusulkan, pernyataan Gardner berikut ini patut diingat:
"Teori MI adalah teori tentang intelek, tentang pikiran manusia dalam aspek kognitifnya.... Perhatikanlah bahwa teori MI sama sekali tidak mengklaim menangani isu-isu lain di luar intelek. Teori ini bukan tentang personalitas, watak, kehendak, moralitas, atensi, motivasi, atau konstruk-konstruk psikologis apapun; juga tidak terkait dengan seperangkat moral atau nilai-nilai apapun"/14/
Meskipun demikian, hemat saya, tidaklah berarti bahwa kecerdasan-kecerdasan lain yang ditolak Gardner tidak ada yang memiliki basis intelek.
Social and Emotional Learning
Jika intelek itu suatu aktivitas kognitif neural dalam otak, sebetulnya tidak ada sesuatu pun yang menyangkut semua aspek mental manusia yang bisa dilepaskan dari aktivitas neurologis.
Jika tubuh manusia seutuhnya dilihat sebagai sebuah mesin biologis yang cerdas, maka otak (yang terbentuk lebih dari 100 milyar neuron) adalah semacam "super-CPU" mesin ini.
KECERDASAN EMOSIONAL, misalnya, oleh tiga peneliti dari Yale Center for Emotional Intelligence, yakni Marc Brackett, Diana Divecha dan Robin Stern, didefinisikan sebagai suatu "kapasitas untuk bernalar tentang emosi-emosi dan bernalar dengan emosi-emosi". Kini kapasitas gabungan intelektual emosional ini dapat dipahami sebagai Pembelajaran Sosial dan Emosional (Social and Emotional Learning, atau SEL).
Kini telah ditemukan kasus-kasus nyata yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berkorelasi dengan capaian-capaian positif dalam diri anak-anak pada usia dini kehidupan prasekolah mereka, dan juga dalam diri orang dewasa, termasuk manajer-manajer dan pemimpin-pemimpin perusahaan.
Selain itu, SEL pada anak-anak terbukti telah menghasilkan anak-anak yang memiliki kemampuan efektif untuk memimpin, membangun ikatan persahabatan yang kuat dan hubungan yang juga kuat dengan guru-guru mereka. Terlihat bahwa mereka berkembang lebih baik dalam mengelola konflik-konflik, dan lebih mampu meraih prestasi yang lebih baik dan lebih cepat di sekolah./15/
Ya, para neurosaintis sudah menemukan bahwa emosi dan rasionalitas bekerja interaktif dan saling mempengaruhi. Apa yang terjadi pada emosi berdampak pada rasionalitas atau intelek, dan juga sebaliknya.
Tidak Ada Dualisme Akal vs. Emosi
Jika intelek itu suatu aktivitas kognitif neural dalam otak, sebetulnya tidak ada sesuatu pun yang menyangkut semua aspek mental manusia yang bisa dilepaskan dari aktivitas neurologis.
Jika tubuh manusia seutuhnya dilihat sebagai sebuah mesin biologis yang cerdas, maka otak (yang terbentuk lebih dari 100 milyar neuron) adalah semacam "super-CPU" mesin ini.
KECERDASAN EMOSIONAL, misalnya, oleh tiga peneliti dari Yale Center for Emotional Intelligence, yakni Marc Brackett, Diana Divecha dan Robin Stern, didefinisikan sebagai suatu "kapasitas untuk bernalar tentang emosi-emosi dan bernalar dengan emosi-emosi". Kini kapasitas gabungan intelektual emosional ini dapat dipahami sebagai Pembelajaran Sosial dan Emosional (Social and Emotional Learning, atau SEL).
Kini telah ditemukan kasus-kasus nyata yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berkorelasi dengan capaian-capaian positif dalam diri anak-anak pada usia dini kehidupan prasekolah mereka, dan juga dalam diri orang dewasa, termasuk manajer-manajer dan pemimpin-pemimpin perusahaan.
Selain itu, SEL pada anak-anak terbukti telah menghasilkan anak-anak yang memiliki kemampuan efektif untuk memimpin, membangun ikatan persahabatan yang kuat dan hubungan yang juga kuat dengan guru-guru mereka. Terlihat bahwa mereka berkembang lebih baik dalam mengelola konflik-konflik, dan lebih mampu meraih prestasi yang lebih baik dan lebih cepat di sekolah./15/
Ya, para neurosaintis sudah menemukan bahwa emosi dan rasionalitas bekerja interaktif dan saling mempengaruhi. Apa yang terjadi pada emosi berdampak pada rasionalitas atau intelek, dan juga sebaliknya.
Tidak Ada Dualisme Akal vs. Emosi
Dualisme atau antagonisme akal (positif) versus emosi (negatif) dalam pendapat filsuf Plato, yang diungkapnya secara metaforis sebagai dua ekor kuda yang berbeda watak, yang satu kuda putih dan yang lainnya kuda hitam, yang sedang dikendalikan seorang sais sebuah kereta kencana, kini sudah tidak relevan lagi jika dihadapkan pada temuan-temuan neurosains.
Charles Darwin, berbeda dari Plato, memandang bahwa dalam evolusi biologis, pengaruh emosi dalam suatu pengambilan keputusan membuat Homo sapiens dapat bertahan hidup ketika berhadapan dengan seleksi alamiah yang keras dan menyakitkan yang harus diberi respons adaptif.
Ya, jelas begitu, sebab, seperti ditulis Krueger, salah satu fungsi emosi kita adalah memandu kita untuk mendapatkan rasa senang dan menjauhkan kita dari rasa sakit./16/ Alhasil, dalam sejarah evolusi, karena digerakkan oleh emosi, Homo sapiens menghindari dan melawan hal-hal yang menyakitkan dan yang tidak memberi ketenangan dan kebahagiaan di saat mereka harus berhadapan dengan proses adaptif seleksi alamiah. Ketahanan hidup juga ditentukan oleh kepekaan emosi kita.
Neurolog Antonio R. Damasio dkk pernah melakukan dua eksperimen untuk menemukan dan menjelaskan hubungan emosi dan nalar.
Mereka khususnya berhasil memperlihatkan bagaimana emosi-emosi negatif dapat meningkatkan mutu keputusan-keputusan kita yang penting yang melibatkan risiko-risiko yang berbahaya yang dapat "dicium" atau "dipahami" hanya jika emosi bekerja dan ikut diperhitungkan dalam pengambilan keputusan yang lengkap./17/
Tapi ihwal seberapa jauh dan kuat emosi atau perasaan perlu dimasukkan ke dalam pengambilan keputusan-keputusan yang tepat dan bagus yang dipertimbangkan akal, juga ditentukan oleh konteks real situasi dan kondisi pengambilan keputusan itu.
Dalam perkara-perkara sosial yang sukar atau mustahil dikuantifikasi dan dianalisis secara objektif terukur dan logis matematis, dan hanya bisa dinilai secara subjektif dan bervariasi, akal membutuhkan emosi yang timbul ketika orang sedang menimbang-nimbang suatu perkara sebelum mereka mengambil sebuah keputusan.
Perasaan cinta kasih yang tulus, misalnya, mendorong akal kita juga untuk memikirkan dan mempertimbangkan banyak hal secara rasional, supaya uluran tangan kasih sayang kita dapat tepat dan kena sasaran untuk jangka panjang ketika kita mau menolong orang-orang lain yang sedang mengalami kesusahan berat yang serius dan perlu ditangani.
Sebaliknya juga betul. Ketika kita sedang memikirkan nasib orang-orang yang sedang ditimpa azab dan berbagai kemalangan berat, isi pikiran kita atau rasionalitas kita tentang diri mereka akan berbeda jika kita pada waktu yang sama merasakan ikatan emosional yang kuat dengan mereka, merasa senasib dan sepenanggungan, merasa iba dan sayang kepada mereka, dibandingkan jika kita memandang mereka dengan dingin saja sebagai beban-beban ekonomis dan mental yang tidak perlu kita pikul.
Charles Darwin, berbeda dari Plato, memandang bahwa dalam evolusi biologis, pengaruh emosi dalam suatu pengambilan keputusan membuat Homo sapiens dapat bertahan hidup ketika berhadapan dengan seleksi alamiah yang keras dan menyakitkan yang harus diberi respons adaptif.
Ya, jelas begitu, sebab, seperti ditulis Krueger, salah satu fungsi emosi kita adalah memandu kita untuk mendapatkan rasa senang dan menjauhkan kita dari rasa sakit./16/ Alhasil, dalam sejarah evolusi, karena digerakkan oleh emosi, Homo sapiens menghindari dan melawan hal-hal yang menyakitkan dan yang tidak memberi ketenangan dan kebahagiaan di saat mereka harus berhadapan dengan proses adaptif seleksi alamiah. Ketahanan hidup juga ditentukan oleh kepekaan emosi kita.
Neurolog Antonio R. Damasio dkk pernah melakukan dua eksperimen untuk menemukan dan menjelaskan hubungan emosi dan nalar.
Mereka khususnya berhasil memperlihatkan bagaimana emosi-emosi negatif dapat meningkatkan mutu keputusan-keputusan kita yang penting yang melibatkan risiko-risiko yang berbahaya yang dapat "dicium" atau "dipahami" hanya jika emosi bekerja dan ikut diperhitungkan dalam pengambilan keputusan yang lengkap./17/
Tapi ihwal seberapa jauh dan kuat emosi atau perasaan perlu dimasukkan ke dalam pengambilan keputusan-keputusan yang tepat dan bagus yang dipertimbangkan akal, juga ditentukan oleh konteks real situasi dan kondisi pengambilan keputusan itu.
Dalam perkara-perkara sosial yang sukar atau mustahil dikuantifikasi dan dianalisis secara objektif terukur dan logis matematis, dan hanya bisa dinilai secara subjektif dan bervariasi, akal membutuhkan emosi yang timbul ketika orang sedang menimbang-nimbang suatu perkara sebelum mereka mengambil sebuah keputusan.
Perasaan cinta kasih yang tulus, misalnya, mendorong akal kita juga untuk memikirkan dan mempertimbangkan banyak hal secara rasional, supaya uluran tangan kasih sayang kita dapat tepat dan kena sasaran untuk jangka panjang ketika kita mau menolong orang-orang lain yang sedang mengalami kesusahan berat yang serius dan perlu ditangani.
Sebaliknya juga betul. Ketika kita sedang memikirkan nasib orang-orang yang sedang ditimpa azab dan berbagai kemalangan berat, isi pikiran kita atau rasionalitas kita tentang diri mereka akan berbeda jika kita pada waktu yang sama merasakan ikatan emosional yang kuat dengan mereka, merasa senasib dan sepenanggungan, merasa iba dan sayang kepada mereka, dibandingkan jika kita memandang mereka dengan dingin saja sebagai beban-beban ekonomis dan mental yang tidak perlu kita pikul.
Basis Neurologis Interaksi Akal dan Emosi
Antonio Damasio, Baba Shiv, George Loewenstein, dkk, menemukan basis neurologis emosi yang berinteraksi dengan akal dan nalar.
Kepekaan emosional diproses oleh suatu bagian otak yang dinamakan korteks ventro medial orbitofrontalis. Damasio dkk menemukan bahwa jika bagian otak ini rusak atau terluka atau terserang penyakit, emosi tidak muncul ketika orang sedang berada dalam situasi pengambilan keputusan dalam kehidupan real yang mengandung risiko-risiko tinggi di masa depan yang hanya bisa dirasakan lewat emosi yang peka dan aktif. Akibatnya, keputusan yang mereka ambil tidak benar, buruk, dan menjerumuskan mereka ke dalam kerugian atau bahaya-bahaya lain. Atau, mereka sama sekali tak mampu lagi mengambil keputusan apapun, bahkan yang paling sederhana dan sehari-hari sekalipun.
Lain halnya dengan orang yang memiliki korteks ventro medial orbitofrontalis yang sehat. Karena emosi mereka bekerja dan terlibat ketika mereka menimbang-nimbang banyak hal sebelum mereka memutuskan sesuatu, mereka terhindar dari kerugian dan risiko-risiko buruk yang bisa menimpa mereka ketika keputusan sudah diambil dan dijalankan.
Dalam eksperimen yang kedua, ditemukan fakta ini: Kalau emosi tidak terlibat, dan orang bertahan pada sikap sebelumnya yang analitis rasional, orang tersebut akan mengalami kerugian-kerugian dalam mengambil keputusan selanjutnya dalam suatu sikon kehidupan yang real atau mereka tidak mau mengambil keputusan apapun, dan memilih berdiam diri. Dalam hal ini, terlihat bahwa emosi juga mempunyai sisi buruk jika tidak diperhitungkan, dan mendatangkan keberuntungan jika diperhitungkan atau dilibatkan./18/
Dalam suatu bagian buku tebal (857 halaman) yang disunting Dale Purves dkk, yang berjudul Neuroscience, diberikan deskripsi tentang interaksi dan saling pengaruh yang menjelimet antara bagian-bagian otak yang terkait dengan pemrosesan emosi dan bagian-bagian otak yang menjadi pusat aktivitas penalaran logis ketika orang sedang menimbang-nimbang banyak hal sebelum mereka mengambil keputusan-keputusan penting yang masuk akal.
Bagian-bagian otak yang membentuk jejaring dan interkonektivitas neural emosi dan kognisi yang rumit itu mencakup korteks prafrontalis, korteks prafrontalis medial, korteks orbitofrontalis, amygdala, striatum dan thalamus. Selain itu, dalam proses timbang-menimbang sebelum suatu keputusan kita ambil dalam suatu sikon tertentu, kita juga menerima umpan-balik indrawi dari organ-organ besar dalam tubuh kita dan umpan balik ragawi yang intens dan berubah-ubah, dengan kita sadari atau tanpa kita sadari, yang diproses oleh jejaring neurologis yang rumit dalam otak kita./19/
Jadi, memakai sebuah metafora lain, emosi dan akal saya dapat ibaratkan sebagai sebuah gunting yang memiliki dua bilah mata, yang harus bekerja bersama dan harmonis untuk bisa sukses menggunting sesuatu. Ada saatnya bilah mata emosi bergerak lebih dulu; dan ada waktunya juga bilah mata nalar bergerak duluan. Setelah itu, keduanya saling merangkul, merapat dan berkonvergensi.
Antonio Damasio, Baba Shiv, George Loewenstein, dkk, menemukan basis neurologis emosi yang berinteraksi dengan akal dan nalar.
Kepekaan emosional diproses oleh suatu bagian otak yang dinamakan korteks ventro medial orbitofrontalis. Damasio dkk menemukan bahwa jika bagian otak ini rusak atau terluka atau terserang penyakit, emosi tidak muncul ketika orang sedang berada dalam situasi pengambilan keputusan dalam kehidupan real yang mengandung risiko-risiko tinggi di masa depan yang hanya bisa dirasakan lewat emosi yang peka dan aktif. Akibatnya, keputusan yang mereka ambil tidak benar, buruk, dan menjerumuskan mereka ke dalam kerugian atau bahaya-bahaya lain. Atau, mereka sama sekali tak mampu lagi mengambil keputusan apapun, bahkan yang paling sederhana dan sehari-hari sekalipun.
Lain halnya dengan orang yang memiliki korteks ventro medial orbitofrontalis yang sehat. Karena emosi mereka bekerja dan terlibat ketika mereka menimbang-nimbang banyak hal sebelum mereka memutuskan sesuatu, mereka terhindar dari kerugian dan risiko-risiko buruk yang bisa menimpa mereka ketika keputusan sudah diambil dan dijalankan.
Dalam eksperimen yang kedua, ditemukan fakta ini: Kalau emosi tidak terlibat, dan orang bertahan pada sikap sebelumnya yang analitis rasional, orang tersebut akan mengalami kerugian-kerugian dalam mengambil keputusan selanjutnya dalam suatu sikon kehidupan yang real atau mereka tidak mau mengambil keputusan apapun, dan memilih berdiam diri. Dalam hal ini, terlihat bahwa emosi juga mempunyai sisi buruk jika tidak diperhitungkan, dan mendatangkan keberuntungan jika diperhitungkan atau dilibatkan./18/
Dalam suatu bagian buku tebal (857 halaman) yang disunting Dale Purves dkk, yang berjudul Neuroscience, diberikan deskripsi tentang interaksi dan saling pengaruh yang menjelimet antara bagian-bagian otak yang terkait dengan pemrosesan emosi dan bagian-bagian otak yang menjadi pusat aktivitas penalaran logis ketika orang sedang menimbang-nimbang banyak hal sebelum mereka mengambil keputusan-keputusan penting yang masuk akal.
Bagian-bagian otak yang membentuk jejaring dan interkonektivitas neural emosi dan kognisi yang rumit itu mencakup korteks prafrontalis, korteks prafrontalis medial, korteks orbitofrontalis, amygdala, striatum dan thalamus. Selain itu, dalam proses timbang-menimbang sebelum suatu keputusan kita ambil dalam suatu sikon tertentu, kita juga menerima umpan-balik indrawi dari organ-organ besar dalam tubuh kita dan umpan balik ragawi yang intens dan berubah-ubah, dengan kita sadari atau tanpa kita sadari, yang diproses oleh jejaring neurologis yang rumit dalam otak kita./19/
Jadi, memakai sebuah metafora lain, emosi dan akal saya dapat ibaratkan sebagai sebuah gunting yang memiliki dua bilah mata, yang harus bekerja bersama dan harmonis untuk bisa sukses menggunting sesuatu. Ada saatnya bilah mata emosi bergerak lebih dulu; dan ada waktunya juga bilah mata nalar bergerak duluan. Setelah itu, keduanya saling merangkul, merapat dan berkonvergensi.
Adakah Kecerdasan Spiritual?
Nah, selanjutnya Gardner ternyata juga dengan tegas menolak jika kemampuan orang untuk beragama atau untuk membangun kehidupan spiritual disebut sebagai kecerdasan. Baginya "KECERDASAN SPIRITUAL" itu TIDAK ADA, karena dua alasan berikut.
Alasan pertama, semua pengalaman spiritual adalah pengalaman fenomenologis yang sangat individualis, yang isi dan bentuknya bergantung pada latarbelakang ideologis religiokultural si individu. Kalau kemampuan beriman kepada Tuhan yang tidak empiris (atau kepada wujud-wujud lain yang dipercaya berada dalam alam gaib) digolongkan sebagai suatu kecerdasan, mustinya para saintis yang ateis, atas nama sains, juga memiliki dan mengakui kecerdasan spiritual ini, tapi kita tahu kenyataaannya tidak demikian.
Ini sebuah catatan penting: Pengalaman merasa dihadiri oleh "suatu entitas yang transenden" (Tuhan atau Sosok Gaib atau Suasana takzim dan intens) ternyata juga dapat dialami oleh seorang yang memiliki kecerdasan logis matematis yang tinggi ketika orang ini terbenam dalam aktivitas-aktivitas saintifiknya, yang membuatnya "Hanyut" (mengalami "Flow") dalam arus motivasi-motivasinya yang kuat, yang memacunya bekerja begitu tekun dan terfokus, dan waktu dirasakan begitu cepat mengalir lalu bermuara pada prestasinya yang cemerlang.
Pengalaman masuk ke dalam "Flow" ini sekular, kodrati, sama sekali bukan pengalaman religius spiritual atau adikodrati, tapi sangat memukau dan mendorong orang maju makin jauh, ke dunia-dunia yang baru dan tidak biasa, lewat aktivitas pikiran dan kemampuan berkonsentrasi penuh.
Semua orang bisa mengalami "Flow" sejauh mereka bisa berkonsentrasi penuh pada pekerjaan mereka masing-masing. Dalam arti inilah bekerja tekun itu juga sebuah pengalaman transenden, pengalaman masuk ke dunia nilai-nilai yang lain, lebih tinggi, lebih mulia, lebih meaningful, dunia adinilai.
Oleh Mihalyi Czikszentmihalyi, "Flow" ("Hanyut") dilihat sebagai suatu keadaan mental ("state of mind") khusus yang menjadi sumber kinerja optimal seseorang ketika sedang mengerjakan tugas-tugas dan juga sumber rasa bahagia dan damai yang dialaminya.
"Flow" didefinisikan oleh Czikszentmihalyi sebagai "keadaan tersedot sepenuhnya ke dalam proses suatu aktivitas, alih-alih ke tujuan akhir aktivitas ini."
Ciri-ciri paling umum "Flow" adalah: perhatian kita seluruhnya tersedot ke dalam aktivitas yang sedang kita kerjakan dengan tekun; aktivitas yang sedang asyik kita kerjakan harus dipersepsi sebagai aktivitas yang punya arah, makna dan tujuan yang penting; kita harus terbuka menerima umpan balik yang langsung dan jelas atas apa yang sedang kita kerjakan; kita merasakan dengan real bahwa kita memegang kendali sementara kita berada dalam kondisi mental ini; kita kehilangan kesadaran-diri (maksudnya: kita tidak lagi mengalami diri kita terpisah dari apa yang sedang kita kerjakan, yang berinteraksi dengan diri kita); kita tak lagi merasakan jalannya waktu (entah cepat atau lambat)./20/ Dalam Hanyut ini, waktu seolah berhenti, dan keabadian dimasuki.
Alasan kedua, spiritualitas itu terhubung erat dengan, tidak dapat dipisahkan dari, suatu kepercayaan pada suatu agama atau suatu Allah pada umumnya, atau dari fanatisme seseorang pada suatu kepercayaan atau suatu sekte tertentu.
Seorang yang militan dan radikal dalam beragama mengklaim posisinya yang semacam itu lahir dari hubungannya yang sangat mendalam dengan Allah.
Namun, bagi orang yang membela toleransi dan HAM dalam beragama, pengalaman keagamaan kalangan militan radikal yang semacam itu, yang hanya membuahkan kekerasan atas nama agama bahkan atas nama Allah, sama sekali bukan suatu pengalaman spiritual bersatu dengan Allah. Mustahil orang yang mengalami kebaikan, kemurahan, kehadiran dan karunia Allah memperlihatkan sepak-terjang yang keras, jahat, durjana dan tidak memiliki cinta dan empati. Betul juga, teriak seorang teman saya!
Jadi, tulis Gardner, tidak ada spiritualitas yang universal, yang mempunyai basis empiris neurobiologis dalam otak manusia./21/
Nah, selanjutnya Gardner ternyata juga dengan tegas menolak jika kemampuan orang untuk beragama atau untuk membangun kehidupan spiritual disebut sebagai kecerdasan. Baginya "KECERDASAN SPIRITUAL" itu TIDAK ADA, karena dua alasan berikut.
Alasan pertama, semua pengalaman spiritual adalah pengalaman fenomenologis yang sangat individualis, yang isi dan bentuknya bergantung pada latarbelakang ideologis religiokultural si individu. Kalau kemampuan beriman kepada Tuhan yang tidak empiris (atau kepada wujud-wujud lain yang dipercaya berada dalam alam gaib) digolongkan sebagai suatu kecerdasan, mustinya para saintis yang ateis, atas nama sains, juga memiliki dan mengakui kecerdasan spiritual ini, tapi kita tahu kenyataaannya tidak demikian.
Ini sebuah catatan penting: Pengalaman merasa dihadiri oleh "suatu entitas yang transenden" (Tuhan atau Sosok Gaib atau Suasana takzim dan intens) ternyata juga dapat dialami oleh seorang yang memiliki kecerdasan logis matematis yang tinggi ketika orang ini terbenam dalam aktivitas-aktivitas saintifiknya, yang membuatnya "Hanyut" (mengalami "Flow") dalam arus motivasi-motivasinya yang kuat, yang memacunya bekerja begitu tekun dan terfokus, dan waktu dirasakan begitu cepat mengalir lalu bermuara pada prestasinya yang cemerlang.
Pengalaman masuk ke dalam "Flow" ini sekular, kodrati, sama sekali bukan pengalaman religius spiritual atau adikodrati, tapi sangat memukau dan mendorong orang maju makin jauh, ke dunia-dunia yang baru dan tidak biasa, lewat aktivitas pikiran dan kemampuan berkonsentrasi penuh.
Semua orang bisa mengalami "Flow" sejauh mereka bisa berkonsentrasi penuh pada pekerjaan mereka masing-masing. Dalam arti inilah bekerja tekun itu juga sebuah pengalaman transenden, pengalaman masuk ke dunia nilai-nilai yang lain, lebih tinggi, lebih mulia, lebih meaningful, dunia adinilai.
Oleh Mihalyi Czikszentmihalyi, "Flow" ("Hanyut") dilihat sebagai suatu keadaan mental ("state of mind") khusus yang menjadi sumber kinerja optimal seseorang ketika sedang mengerjakan tugas-tugas dan juga sumber rasa bahagia dan damai yang dialaminya.
"Flow" didefinisikan oleh Czikszentmihalyi sebagai "keadaan tersedot sepenuhnya ke dalam proses suatu aktivitas, alih-alih ke tujuan akhir aktivitas ini."
Ciri-ciri paling umum "Flow" adalah: perhatian kita seluruhnya tersedot ke dalam aktivitas yang sedang kita kerjakan dengan tekun; aktivitas yang sedang asyik kita kerjakan harus dipersepsi sebagai aktivitas yang punya arah, makna dan tujuan yang penting; kita harus terbuka menerima umpan balik yang langsung dan jelas atas apa yang sedang kita kerjakan; kita merasakan dengan real bahwa kita memegang kendali sementara kita berada dalam kondisi mental ini; kita kehilangan kesadaran-diri (maksudnya: kita tidak lagi mengalami diri kita terpisah dari apa yang sedang kita kerjakan, yang berinteraksi dengan diri kita); kita tak lagi merasakan jalannya waktu (entah cepat atau lambat)./20/ Dalam Hanyut ini, waktu seolah berhenti, dan keabadian dimasuki.
Alasan kedua, spiritualitas itu terhubung erat dengan, tidak dapat dipisahkan dari, suatu kepercayaan pada suatu agama atau suatu Allah pada umumnya, atau dari fanatisme seseorang pada suatu kepercayaan atau suatu sekte tertentu.
Seorang yang militan dan radikal dalam beragama mengklaim posisinya yang semacam itu lahir dari hubungannya yang sangat mendalam dengan Allah.
Namun, bagi orang yang membela toleransi dan HAM dalam beragama, pengalaman keagamaan kalangan militan radikal yang semacam itu, yang hanya membuahkan kekerasan atas nama agama bahkan atas nama Allah, sama sekali bukan suatu pengalaman spiritual bersatu dengan Allah. Mustahil orang yang mengalami kebaikan, kemurahan, kehadiran dan karunia Allah memperlihatkan sepak-terjang yang keras, jahat, durjana dan tidak memiliki cinta dan empati. Betul juga, teriak seorang teman saya!
Jadi, tulis Gardner, tidak ada spiritualitas yang universal, yang mempunyai basis empiris neurobiologis dalam otak manusia./21/
Bagaimana dengan Pengalaman Spiritual?
Tapi, berbeda dari yang dikatakan Gardner, para neurosaintis sebetulnya sudah menunjukkan adanya basis-basis neurobiologis dan neuropsikologis bagi berbagai pengalaman keagamaan, meskipun mereka tidak menamakan berbagai pengalaman ini "kecerdasan spiritual"./22/
Perlu diketahui pula, suatu riset skala kecil mutakhir (2018) dengan menggunakan fMRI untuk memindai aktivitas otak 27 orang muda, usia 18-27 tahun, yang semuanya sehat fisik dan mental, telah juga dilakukan Prof. Lisa J. Miller bersama satu tim peneliti.
Lewat riset tersebut, Prof. Miller dkk menemukan bahwa bagian otak yang dinamakan lobus parietal inferior kiri (yang memproses persepsi dan gambaran tentang diri sendiri dan orang lain) kurang aktif di saat orang terbenam dalam pengalaman-pengalaman spiritual, tetapi meningkat aktivitasnya ketika orang tenggelam dalam hal-hal yang merangsang emosi, mulai dari yang wajar atau netral hingga yang menimbulkan stres dan depresi.
Di samping itu, aktivitas spiritual positif yang teratur dalam waktu panjang juga mengurangi aktivitas thalamus medial dan kaudate (bagian pemroses pengindraan dan emosi). Alhasil, emosi bisa lebih stabil dan tak rentan gangguan.
Sekali lagi, adalah betul bahwa aktivitas spiritual yang positif dan teduh terhubung dengan berbagai aktivitas neural dalam otak, dan dapat berfungsi untuk meredam dampak-dampak stres dan depresi kronis pada kesehatan mental, "to buffer the effects of stress on mental health."/23/
Tetapi para neurosaintis, pada sisi lain, juga sudah menemukan bahwa pengalaman-pengalaman keagamaan tertentu bisa merusak struktur-struktur neurologis dalam otak yang mengakibatkan kemunduran-kemunduran dan gangguan-gangguan mental./24/
Jadi, tampaknya betul bahwa sangatlah problematis untuk menyatakan adanya "kecerdasan spiritual". Keberagamaan atau spiritualitas memang memiliki dua sisi yang berbenturan dan berlawanan satu sama lain.
Namun, menurut Gardner, ada satu segi dari spiritualitas yang masih bisa disebut sebagai "kecerdasan spiritual", yakni KECERDASAN EKSISTENSIAL yang sudah disebut di atas. Tapi Gardner sangat hati-hati untuk menyebutnya kecerdasan yang penuh, dan hanya bisa mengategorikannya "setengah kecerdasan" berhubung basis neurobiologis kecerdasan eksistensial juga sangat kurang, mungkin hanya ada di bagian-bagian tertentu dari lobus inferotemporalis dalam otak. Peran lobus ini krusial khususnya dalam memunculkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang sering kita gumuli.
Tapi Gardner juga menduga, kecerdasan eksistensial sebetulnya merupakan bagian dari pikiran-pikiran filosofis kita yang lebih luas, atau malah sebetulnya bagian dari pertanyaan-pertanyaan umum yang rutin kita ajukan namun dengan muatan emosi lebih besar./25/
Bagi saya, kecerdasan eksistensial adalah suatu kecakapan kognitif untuk menemukan hal-hal yang agung dan bermakna langgeng dalam kehidupan kita dalam dunia ini demi pertumbuhan dan kematangan kesadaran dan pengenalan diri kita, kesadaran dan pengenalan diri orang lain, dan kesadaran kita atas dunia alam dan jagat raya.
Tapi, berbeda dari yang dikatakan Gardner, para neurosaintis sebetulnya sudah menunjukkan adanya basis-basis neurobiologis dan neuropsikologis bagi berbagai pengalaman keagamaan, meskipun mereka tidak menamakan berbagai pengalaman ini "kecerdasan spiritual"./22/
Perlu diketahui pula, suatu riset skala kecil mutakhir (2018) dengan menggunakan fMRI untuk memindai aktivitas otak 27 orang muda, usia 18-27 tahun, yang semuanya sehat fisik dan mental, telah juga dilakukan Prof. Lisa J. Miller bersama satu tim peneliti.
Lewat riset tersebut, Prof. Miller dkk menemukan bahwa bagian otak yang dinamakan lobus parietal inferior kiri (yang memproses persepsi dan gambaran tentang diri sendiri dan orang lain) kurang aktif di saat orang terbenam dalam pengalaman-pengalaman spiritual, tetapi meningkat aktivitasnya ketika orang tenggelam dalam hal-hal yang merangsang emosi, mulai dari yang wajar atau netral hingga yang menimbulkan stres dan depresi.
Di samping itu, aktivitas spiritual positif yang teratur dalam waktu panjang juga mengurangi aktivitas thalamus medial dan kaudate (bagian pemroses pengindraan dan emosi). Alhasil, emosi bisa lebih stabil dan tak rentan gangguan.
Sekali lagi, adalah betul bahwa aktivitas spiritual yang positif dan teduh terhubung dengan berbagai aktivitas neural dalam otak, dan dapat berfungsi untuk meredam dampak-dampak stres dan depresi kronis pada kesehatan mental, "to buffer the effects of stress on mental health."/23/
Tetapi para neurosaintis, pada sisi lain, juga sudah menemukan bahwa pengalaman-pengalaman keagamaan tertentu bisa merusak struktur-struktur neurologis dalam otak yang mengakibatkan kemunduran-kemunduran dan gangguan-gangguan mental./24/
Jadi, tampaknya betul bahwa sangatlah problematis untuk menyatakan adanya "kecerdasan spiritual". Keberagamaan atau spiritualitas memang memiliki dua sisi yang berbenturan dan berlawanan satu sama lain.
Namun, menurut Gardner, ada satu segi dari spiritualitas yang masih bisa disebut sebagai "kecerdasan spiritual", yakni KECERDASAN EKSISTENSIAL yang sudah disebut di atas. Tapi Gardner sangat hati-hati untuk menyebutnya kecerdasan yang penuh, dan hanya bisa mengategorikannya "setengah kecerdasan" berhubung basis neurobiologis kecerdasan eksistensial juga sangat kurang, mungkin hanya ada di bagian-bagian tertentu dari lobus inferotemporalis dalam otak. Peran lobus ini krusial khususnya dalam memunculkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang sering kita gumuli.
Tapi Gardner juga menduga, kecerdasan eksistensial sebetulnya merupakan bagian dari pikiran-pikiran filosofis kita yang lebih luas, atau malah sebetulnya bagian dari pertanyaan-pertanyaan umum yang rutin kita ajukan namun dengan muatan emosi lebih besar./25/
Bagi saya, kecerdasan eksistensial adalah suatu kecakapan kognitif untuk menemukan hal-hal yang agung dan bermakna langgeng dalam kehidupan kita dalam dunia ini demi pertumbuhan dan kematangan kesadaran dan pengenalan diri kita, kesadaran dan pengenalan diri orang lain, dan kesadaran kita atas dunia alam dan jagat raya.
Adakah Kecerdasan Artistik?
Ketika Gardner ditanya apakah ada "KECERDASAN ARTISTIK", dia menjawab berikut ini: Dalam arti setepat-tepatnya, tidak ada kecerdasan artistik. Tetapi berbagai jenis kecerdasan dapat berfungsi secara artistik (atau secara tidak artistik) sejauh kecerdasan-kecerdasan ini memanfaatkan sifat-sifat tertentu yang terdapat dalam suatu sistem simbol yang relevan.
Pada waktu seseorang menggunakan bahasa dalam cara yang biasa untuk menjelaskan sesuatu, orang ini tidak sedang memakai kecerdasan linguistiknya secara artistik. Tetapi jika bahasa digunakan secara metaforis untuk mengekspresikan sesuatu dengan cara yang mengesankan atau untuk menimbulkan daya tarik pada bentuk-bentuk formal dan suara-suara yang terdengar, maka bahasa olehnya sedang dipakai secara artistik.
Begitu juga, kecerdasan spasial dapat dimanfaatkan secara estetis oleh seorang pemahat atau seorang pelukis atau seorang desainer ruang, tetapi hanya secara rutin dan tidak artistik sama sekali oleh seorang ahli ilmu ukur atau oleh seorang ahli bedah.
Bahkan kecerdasan musikal dapat berfungsi tidak estetis sama sekali, seperti ketika sebuah terompet besar dibunyikan untuk memanggil para prajurit di barak-barak untuk makan siang, atau ketika sedang dilangsungkan upacara penaikan atau penurunan bendera.
Sebaliknya, model-model, pola-pola dan bentuk-bentuk yang dirancang oleh para matematikus untuk tujuan-tujuan matematis bisa akhirnya dipajang di galeri-galeri kesenian untuk berbagai keindahan estetisnya dinikmati khalayak ramai.
Tetapi tidak ada persoalan jika kita menyebut "kecerdasan artistik", khususnya sebagai sebuah sebutan pendek untuk kecerdasan-kecerdasan yang sering dimobilisasi untuk tujuan-tujuan artistik./26/
Penutup
Ketika Gardner ditanya apakah ada "KECERDASAN ARTISTIK", dia menjawab berikut ini: Dalam arti setepat-tepatnya, tidak ada kecerdasan artistik. Tetapi berbagai jenis kecerdasan dapat berfungsi secara artistik (atau secara tidak artistik) sejauh kecerdasan-kecerdasan ini memanfaatkan sifat-sifat tertentu yang terdapat dalam suatu sistem simbol yang relevan.
Pada waktu seseorang menggunakan bahasa dalam cara yang biasa untuk menjelaskan sesuatu, orang ini tidak sedang memakai kecerdasan linguistiknya secara artistik. Tetapi jika bahasa digunakan secara metaforis untuk mengekspresikan sesuatu dengan cara yang mengesankan atau untuk menimbulkan daya tarik pada bentuk-bentuk formal dan suara-suara yang terdengar, maka bahasa olehnya sedang dipakai secara artistik.
Begitu juga, kecerdasan spasial dapat dimanfaatkan secara estetis oleh seorang pemahat atau seorang pelukis atau seorang desainer ruang, tetapi hanya secara rutin dan tidak artistik sama sekali oleh seorang ahli ilmu ukur atau oleh seorang ahli bedah.
Orang pada video di atas ini memiliki kecerdasan musikal sekaligus kecerdasan kinestetik ragawi. Enjoy his performance!
Bahkan kecerdasan musikal dapat berfungsi tidak estetis sama sekali, seperti ketika sebuah terompet besar dibunyikan untuk memanggil para prajurit di barak-barak untuk makan siang, atau ketika sedang dilangsungkan upacara penaikan atau penurunan bendera.
Sebaliknya, model-model, pola-pola dan bentuk-bentuk yang dirancang oleh para matematikus untuk tujuan-tujuan matematis bisa akhirnya dipajang di galeri-galeri kesenian untuk berbagai keindahan estetisnya dinikmati khalayak ramai.
Tetapi tidak ada persoalan jika kita menyebut "kecerdasan artistik", khususnya sebagai sebuah sebutan pendek untuk kecerdasan-kecerdasan yang sering dimobilisasi untuk tujuan-tujuan artistik./26/
Penutup
Akhirnya, mari kita ingat bahwa otak kita yang aktif bukanlah sebuah bejana kosong yang orang lain harus isi sampai penuh.
Pandanglah bahwa otak kita adalah suatu unit pemroses sentral besar dan super yang di dalamnya berbagai pikiran cerdas dan mulia sedang bernyala, menanti untuk berkobar makin besar dan makin besar lagi. Tentu lewat pendidikan, pembelajaran, pelatihan, pengalaman hidup dan keterbukaan untuk berpikir dan menimbang-nimbang dari banyak perspektif.
Temukan sendiri, dan kalau perlu dengan bantuan para pakar sains kognisi, mana nyala api kecerdasan terbesar dalam kognisi anda, lalu perbesarlah nyalanya lewat banyak kegiatan pembelajaran dan pelatihan yang terfokus dan berdisiplin dan karya nyata.
Seorang sejarawan Yunani mazhab Platonis Tengah, Plutarch (45 M-120M), menyatakan bahwa "Pikiran bukanlah sebuah bejana yang harus diisi, tapi sebuah nyala api yang harus dikobarkan!"
Pikiran adalah energi yang mampu mengerakkan bola dunia ini di berbagai bidang! Ambillah satu bidang, minimal, dan gerakkan bidang ini lewat energi kecerdasan khas anda.
Tanpa pikiran sebagai energi besar, peradaban cerdas apapun tidak akan berdiri dan bernyala dan berkobar, dengan panas dan cahayanya memberi kehidupan, kehangatan, terang dan keabadian.
Stay blessed and serene.
Jakarta, 20 Oktober 2014
ioanes rakhmat
Update mutakhir 12 Juli 2018
N.B. Mohon jangan di-copypaste. Di-share saja, atau link-nya dirujuk. Tq.
Sumber-sumber rujukan
/1/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons (edisi mutakhir yang direvisi seluruhnya) (New York: Basic Books, cetakan 1: 1993; 2006), hlm. 5.
/2/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 5.
/3/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 6-7.
/4/ Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983, 2004, 2011), hlm. xxviii.
/5/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 8.
/6/ Howard Gardner, Frames of Mind, hlm. xii.
/7/ Howard Gadner, Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century (New York: Basic Books, 1999), hlm. 94.
/8/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 6.
/9/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 8-21. Mengenai basis-basis saintifik dari teori MI, lihat hlm. 29-31. Lihat juga Gardner, Frames of Mind, hlm. 77-250; idem, Intelligence Reframed, bab 3, hlm. 27-46.
/10/ Tentang kriteria kecerdasan yang dibangun Gardner ini, lihat bukunya, Frames of Mind, bab 4 (hlm. 63-76); juga Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 7.
/11/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 18-21; idem, Frames of Mind, hlm. xiv.
/12/ Howard Gardner, Frames of Mind, hlm. xx-xxi.
/13/ Intelligence Reframed, bab 4 dan bab 5 (hlm. 48-78).
/14/ Howard Gardner, Intelligence Reframed, hlm. 89.
/15/ Marc Brackett, Diana Devicha dan Robin Stern, "Teaching Teenagers to Develop Their Emotional Intelligence", Harvard Business Review, 19 May 2015.
/16/ Joachim I. Krueger et al., "Reason and emotion: A note on Plato, Darwin, and Damasio", Psychology Today, 18 June 2010.
/17/ Antoine Bechara, Antonio R. Damasio, Hanna Damasio, Steven W. Anderson, "Insensitivity to future consequences following damage to human prefrontal cortex", Cognition 50:1-3, April-June 1994, hlm. 7-15. Tersedia online 3 Juni 2002.
/18/ Baba Shiv, George Loewenstein, Antoine Bechara, Hanna Damasio, Antonio R. Damasio, "Investment Behavior and the Negative Side of Emotion", Psychological Science 16, 1 June 2005, hlm. 435-439.
/19/ Dale Purves, George J. Augustine,..., Leonard E. White (eds.), Neuroscience (New York, N.Y.: W.H. Freeman, edisi keempat, 2008), hlm. 753.
/20/ Lihat Mihalyi Czikszentmihalyi, Flow: The Psychology of Optimal Experience (New York: HarperCollins, 1991).
/21/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 20.
/22/ Lihat misalnya Andrew Newberg dan Mark Robert Waldman, How God Changes Your Brain: Breakthrough Findings from A Leading Neuroscientist (New York: Ballantine Books, 2009); juga Michael Persinger, Neuropsychological Bases of God Beliefs (New York: Praeger, 1987).
/23/ Prof. Lisa J. Miller adalah editor buku penting yang berjudul Oxford University Press Handbook of Psychology and Spirituality (Oxford Library of Psychology. Oxford University Press, 2013). Untuk artikel riset Prof. Miller dkk yang telah dirujuk di atas, lihat Lisa Miller, Iris M. Balodis,..., Rajita Sinha, Marc N. Potenza, "Neural Correlates of Personalized Spiritual Experiences", Cerebral Cortex, 29 May 2018.
/24/ Lihat paparannya dalam Ioanes Rakhmat, Beragama dalam Era Sains Modern (Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2013), hlm. 161-164.
/25/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 20-21.
/26/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 79; idem, Frames of Mind, hlm. xii.
Pandanglah bahwa otak kita adalah suatu unit pemroses sentral besar dan super yang di dalamnya berbagai pikiran cerdas dan mulia sedang bernyala, menanti untuk berkobar makin besar dan makin besar lagi. Tentu lewat pendidikan, pembelajaran, pelatihan, pengalaman hidup dan keterbukaan untuk berpikir dan menimbang-nimbang dari banyak perspektif.
Temukan sendiri, dan kalau perlu dengan bantuan para pakar sains kognisi, mana nyala api kecerdasan terbesar dalam kognisi anda, lalu perbesarlah nyalanya lewat banyak kegiatan pembelajaran dan pelatihan yang terfokus dan berdisiplin dan karya nyata.
Seorang sejarawan Yunani mazhab Platonis Tengah, Plutarch (45 M-120M), menyatakan bahwa "Pikiran bukanlah sebuah bejana yang harus diisi, tapi sebuah nyala api yang harus dikobarkan!"
Pikiran adalah energi yang mampu mengerakkan bola dunia ini di berbagai bidang! Ambillah satu bidang, minimal, dan gerakkan bidang ini lewat energi kecerdasan khas anda.
Tanpa pikiran sebagai energi besar, peradaban cerdas apapun tidak akan berdiri dan bernyala dan berkobar, dengan panas dan cahayanya memberi kehidupan, kehangatan, terang dan keabadian.
Stay blessed and serene.
Jakarta, 20 Oktober 2014
ioanes rakhmat
Update mutakhir 12 Juli 2018
N.B. Mohon jangan di-copypaste. Di-share saja, atau link-nya dirujuk. Tq.
Sumber-sumber rujukan
/1/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons (edisi mutakhir yang direvisi seluruhnya) (New York: Basic Books, cetakan 1: 1993; 2006), hlm. 5.
/2/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 5.
/3/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 6-7.
/4/ Howard Gardner, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (New York: Basic Books, 1983, 2004, 2011), hlm. xxviii.
/5/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 8.
/6/ Howard Gardner, Frames of Mind, hlm. xii.
/7/ Howard Gadner, Intelligence Reframed: Multiple Intelligences for the 21st Century (New York: Basic Books, 1999), hlm. 94.
/8/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 6.
/9/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 8-21. Mengenai basis-basis saintifik dari teori MI, lihat hlm. 29-31. Lihat juga Gardner, Frames of Mind, hlm. 77-250; idem, Intelligence Reframed, bab 3, hlm. 27-46.
/10/ Tentang kriteria kecerdasan yang dibangun Gardner ini, lihat bukunya, Frames of Mind, bab 4 (hlm. 63-76); juga Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 7.
/11/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 18-21; idem, Frames of Mind, hlm. xiv.
/12/ Howard Gardner, Frames of Mind, hlm. xx-xxi.
/13/ Intelligence Reframed, bab 4 dan bab 5 (hlm. 48-78).
/14/ Howard Gardner, Intelligence Reframed, hlm. 89.
/15/ Marc Brackett, Diana Devicha dan Robin Stern, "Teaching Teenagers to Develop Their Emotional Intelligence", Harvard Business Review, 19 May 2015.
/16/ Joachim I. Krueger et al., "Reason and emotion: A note on Plato, Darwin, and Damasio", Psychology Today, 18 June 2010.
/17/ Antoine Bechara, Antonio R. Damasio, Hanna Damasio, Steven W. Anderson, "Insensitivity to future consequences following damage to human prefrontal cortex", Cognition 50:1-3, April-June 1994, hlm. 7-15. Tersedia online 3 Juni 2002.
/18/ Baba Shiv, George Loewenstein, Antoine Bechara, Hanna Damasio, Antonio R. Damasio, "Investment Behavior and the Negative Side of Emotion", Psychological Science 16, 1 June 2005, hlm. 435-439.
/19/ Dale Purves, George J. Augustine,..., Leonard E. White (eds.), Neuroscience (New York, N.Y.: W.H. Freeman, edisi keempat, 2008), hlm. 753.
/20/ Lihat Mihalyi Czikszentmihalyi, Flow: The Psychology of Optimal Experience (New York: HarperCollins, 1991).
/21/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 20.
/22/ Lihat misalnya Andrew Newberg dan Mark Robert Waldman, How God Changes Your Brain: Breakthrough Findings from A Leading Neuroscientist (New York: Ballantine Books, 2009); juga Michael Persinger, Neuropsychological Bases of God Beliefs (New York: Praeger, 1987).
/23/ Prof. Lisa J. Miller adalah editor buku penting yang berjudul Oxford University Press Handbook of Psychology and Spirituality (Oxford Library of Psychology. Oxford University Press, 2013). Untuk artikel riset Prof. Miller dkk yang telah dirujuk di atas, lihat Lisa Miller, Iris M. Balodis,..., Rajita Sinha, Marc N. Potenza, "Neural Correlates of Personalized Spiritual Experiences", Cerebral Cortex, 29 May 2018.
/24/ Lihat paparannya dalam Ioanes Rakhmat, Beragama dalam Era Sains Modern (Jakarta: Pustaka Surya Daun, 2013), hlm. 161-164.
/25/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 20-21.
/26/ Howard Gardner, Multiple Intelligences: New Horizons, hlm. 79; idem, Frames of Mind, hlm. xii.