Tuesday, December 31, 2013

Merenungi objektivitas historiografi bertolak dari kontroversi film Soekarno

Berkaitan dengan film Soekarno, dalam minggu kedua Desember 2013 terjadi perselisihan tajam yang sampai naik ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat antara Hanung Bramantyo (sutradara film ini) dan Rachmawati Soekarnoputri (adik Megawati Soekarnoputri)./1/ Meskipun demikian, film ini sejak 11 Desember 2013 sudah diputar di sejumlah bioskop tanpa kendala. Bersama isteri, saya sudah menonton film ini di bioskop XXI Mal Artha Gading, Jakarta, pada 17 Desember 2013, mulai pukul 21.15 WIB.

Saat acara jumpa pers di Universitas Bung Karno, Cikini, Jakarta, 12 Desember 2013, Rachmawati, yang kecewa karena film ini sedang diputar di bioskop-bioskop, menyatakan bahwa “film tentang Soekarno yang digarap Multivision Plus dan disutradarai Hanung Bramantyo tidak sesuai dengan sosok Soekarno asli. Film Soekarno memalukan.” Pertikaian ini menyangkut juga hak cipta film Soekarno. Menurut Rachmawati, karena dia adalah pengusul pembuatan film ini, dia telah disepakati sebagai pemegang hak ciptanya. 

Ada tiga adegan dalam film ini yang kata Rachmawati tidak pernah terjadi pada ayahnya, Soekarno, semasa hidupnya. Yakni: Adegan Soekarno ditampari oleh seorang polisi militer dan kepalanya dihantam popor senjata sampai dia terjatuh di lantai (kata Rachmawati adegan ini merendahkan ayahnya); adegan Soekarno merayu seorang perempuan yang berpakaian seronok di dalam sebuah kamar (adegan ini kata Rachmawati sangat melecehkan Soekarno); dan adegan Soekarno mendiktekan teks Naskah Proklamasi kepada Hatta yang menjadi penulis naskah, padahal naskah itu dibuat oleh Bung Hatta sendiri, bukan oleh ayahnya (dus, adegan ini menurut Rachmawati telah memutarbalik fakta sejarah)./2/

Sesungguhnya, seperti telah saya saksikan sendiri, tiga adegan yang disebut Rachmawati itu sama sekali tidak ada dalam film Soekarno yang sudah jadi. Bisa jadi, dalam naskah skenario-skenario sebelumnya yang sempat dibaca Rachmawati tiga adegan itu ada, tetapi kemudian dihilangkan oleh pihak pembuat fim ini dalam versi terakhir dan definitif skenarionya, yang ditulis oleh Hanung Bramantyo bersama Ben Sihombing.

Bagaimanapun juga, film yang berdurasi 2 jam 17 menit ini memang menimbulkan banyak diskusi yang hangat. Ada yang memujinya dan ada juga yang mengecamnya. Nirwan Dewanto, dalam sebuah kicauannya di Twitterland 14 Desember 2013, menulis, “Visi Hanung Bramantyo yang sangat saya hargai dalam film Soekarno adalah Hanung menampilkan Soekarno (dan Hatta) sebagai ‘kolabolator’ Jepang dengan segala risikonya.” Tetapi, pada pihak lain, salah seorang penulis resensi film ini menyatakan Hanung Bramantyo telah melakukan “penggelapan sejarah” karena tidak menampilkan Amir Sjarifoeddin sebagai seorang pejuang bawah tanah yang melawan Jepang, dan hanya menampilkan Sjahrir./3/     

Bertolak dari kontroversi film ini, saya mau merenungi dengan mendalam apakah suatu peristiwa sejarah bisa ditampilkan objektif sepenuhnya pada masa kini lewat historiografi-historiografi? Apakah tokoh Soekarno masa lampau bisa ditampilkan objektif 100 persen pada masa kini seperti dituntut oleh Rachmawati? Ataukah tidak bisa? Jika tidak bisa, kenapa?

Pertama-tama saya mau mengutip salah satu komentar Pradewi Tri Chatami tentang film Soekarno. Dalam blognya, Chatami menulis, “Adegan [percakapan] Soekarno dan Hatta dalam mobil barangkali fiktif, tapi saya yakin seratus persen, bahwa mereka memang pernah membayangkan dengan keraguan bagaimana mereka akan memimpin negara ini. Justru karena pernah ragu, mereka kemudian berusaha sebaik-baiknya.”/4/ Dengan kata lain, dalam adegan ini fiksi dan fakta sudah menyatu, mitos dan sejarah terlebur, kreativitas dan faktasitas sudah berinteraksi. Keadaan ini bagaimanapun juga ditemukan dalam semua tulisan sejarah.

Ya, tak ada apa yang dinamakan “sejarah murni”, mere history, sebab setiap sejarah adalah suatu rekonstruksi masa lalu lewat masa kini, masa lalu yang berdialektika dengan masa kini. Tak ada historiografi yang objektif 100 persen, tanpa unsur-unsur interpretatif dari si penulis sejarah yang hidup pada masa kini. Sejarah yang sepenuhnya objektif mustahil didapat. Positivisme historis itu tak ada.

Sebaliknya, juga tak ada sejarah yang 100 persen subjektif: di susun dengan sama sekali tidak memperhatikan fakta-fakta objektif di masa lalu, yang harus ditafsir dan dikembangkan, tapi hanya menurut kemauan dan sudut pandang si penulisnya saja yang ngawur sengawur-ngawurnya. Jika ini yang terjadi, kita tentu saja tidak menyebutnya tulisan sejarah atau historiografi, tetapi fiksi atau dongeng. Pandangan yang menyatakan bahwa sejarah semata-mata adalah proyeksi kepentingan-kepentingan subjektif pribadi si penulis sejarah ke masa lampau disebut juga solipsisme historis. Karena dalam kenyataannya setiap tulisan sejarah memuat fakta-fakta masa lampau, solipsisme historis juga tak ada.

 wajah sejarah: perpaduan masa lalu dan masa kini

Sejarah pada dasarnya adalah interaksi, dialektika dan dialog kreatif antara objektivitas masa lampau dan subjektivitas si penulis sejarah di masa kini, antara masa lalu dan masa kini yang melahirkan sintesis cerdas dua horison waktu dulu dan kini. Pakar kajian sejarah kekristenan perdana, John Dominic Crossan, dengan bagus memberi definisi sejarah sebagai “masa lampau yang direkonstruksi secara interaktif dengan masa kini dengan memakai bukti-bukti yang diperdebatkan di dalam wacana publik.”/5/ Di tahun 1961, sejarawan Edward Hallett Carr sudah menyatakan bahwa “sejarah adalah suatu proses interaksi yang sinambung antara si sejarawan [di masa kini] dan fakta-fakta [tentang masa lalu] yang ada padanya, suatu dialog yang tak pernah berakhir antara masa kini dan masa lampau.”/6/ 

Nah, kalau demikian halnya dengan setiap historiografi, begitu juga dengan film-film yang tergolong film sejarah. Tak mungkin Rachmawati meminta Hanung menyajikan Soekarno masa lalu objektif 100 persen lewat film Soekarno, tanpa terkait sama sekali dengan masa kini Hanung. Siapakah di dunia ini yang pada masa kini bisa menghadirkan kembali objektif 100 persen sosok besar Soekarno masa lalu semurni-murninya? Tak ada. Rachmawati pun tak bisa. Apapun klaim Rachmawati tentang sosok Soekarno, tetap saja Soekarno yang dibayangkannya adalah perpaduan Soekarno masa lalu dan Soekarno menurut sudut pandangnya pada masa kini.

Lewat film Soekarno Hanung sebetulnya melakukan dua hal: menafsir dan merekonstruksi sejarah dengan memakai fakta-fakta dan bukti-bukti yang tentu saja harus dipilah-pilahnya, dan sekaligus mengemas entertainment. Sekalipun sebuah film itu masuk genre film sejarah, selalu ada di dalamnya unsur-unsur entertainment, karena film apapun juga sebuah hiburan. Ketika sebuah sejarah dituangkan ke dalam sebuah film, film ini memikul fungsi historitainment. Sejarah yang diramu dengan bagus tentu saja menghibur dan mengasyikkan karena setiap sejarah adalah kisah, tetapi tidak setiap kisah adalah sejarah.

Tetapi sebetulnya, tanpa dituangkan ke dalam sebuah filmpun setiap tulisan sejarah juga mempunyai fungsi rekreatif dan fungsi formatif. Lewat fungsi rekreatifnya, saat sebuah tulisan sejarah dibaca, orang akan dibawa ke dalam pengalaman-pengalaman kognitif tergairahkan, tersegarkan, terhibur, tertantang, termotivasi, dan tercerahkan. Semua pengalaman ini, lewat fungsi formatif sejarah, akan memicu para pembaca tulisan-tulisan sejarah untuk membaharui dan membentuk kembali diri dan kehidupan mereka di masa kini dan di masa depan, bahkan kehidupan masyarakat dan bangsa mereka.

Setiap orang cenderung akan mengagungkan sosok-sosok besar masa lampau, dus mitos-mitos tentang mereka akan selalu muncul. Demikianlah, setiap sosok masa lampau, apalagi sosok besar seperti Soekarno, ketika dihadirkan kembali pada masa kini lewat tulisan-tulisan sejarah berubah menjadi sosok yang diperkaya dengan mitos-mitos dan interpretasi-interpretasi. Setiap tokoh besar sejarah, ketika dihadirkan kembali di masa kini, berubah menjadi gabungan mitos-mitos interpretatif dan fakta-fakta masa lalu. Setiap sosok sejarah adalah sosok hibrid masa lalu dan masa kini, sosok hibrid mitos dan fakta, saat dihadirkan kembali pada masa kini lewat tulisan-tulisan sejarah.

Tentu saja, supaya sebuah sejarah itu sejarah, dan tidak berubah jadi fiksi, fakta-fakta dan bukti-bukti baik dari masa lalu maupun dari masa kini harus ada di dalam setiap tulisan sejarah. Paling seimbang adalah jika sebuah sejarah berisi 50 persen masa lalu dan 50 persen masa kini, yang berinteraksi kreatif dan cerdas. Ini yang disebut balanced/even history, yang dihasilkan dari interaksi atau dialog berimbang antara masa lampau dan masa kini.

Pertanyaannya adalah: Mengapa sebuah uraian sejarah adalah suatu interaksi atau dialektika kreatif masa lalu dan masa kini? Jawabnya: karena sejarah tak bisa hadir sendiri dengan objektif dan real pada masa kini, tapi harus lewat seorang perekonstruksi yang hidup di masa kini di dunianya, yang bekerja dengan berpijak pada bukti-bukti sebagai suatu syarat mutlak bagi setiap kegiatan keilmuwan, termasuk kegiatan penulisan sejarah sebagai suatu kegiatan keilmuwan. Juga karena setiap sejarawan, setiap perekonstruksi masa lalu, bukanlah manusia yang tak punya kepentingan dan perjuangannya sendiri. Setiap sejarawan pasti punya agenda-agenda tertentu yang diperjuangkannya pada masa kini lewat sejarah-sejarah yang direkonstruksinya.

Pendek kata, kita katakan, setiap sejarawan membawa prasuposisi-prasuposisi dari dunianya di masa kini ketika dia sedang menulis sejarah. Jadi, sejarah tanpa prasuposisi apapun dari si sejarawan yang merekonstruksinya mustahil didapat, dan juga tidak perlu demikian. A presuppositionless history is impossible, and unnecessary. But, why?

Kenapa setiap tulisan sejarah selalu dan perlu berisi prasuposisi-prasuposisi si perekonstruksinya? Karena setiap sejarawan bukanlah seorang manusia dengan otak yang sama sekali kosong dan tanpa pengalaman-pengalaman ketika dia menulis sebuah tulisan sejarah. Karena setiap sejarawan punya kepentingan-kepentingan tertentu yang diperjuangkannya lewat tulisan-tulisan sejarah yang dihasilkannya. Karena setiap sejarawan terikat kuat, dan berpijak kokoh, pada alam pemikiran dan konteks sosio-budaya zamannya sendiri yang di dalamnya dia hidup dan aktif berkarya. Karena setiap sejarawan tak pernah bisa menjadi pengamat netral atas masa lalu, tetapi selalu mengambil sudut-sudut pandang tertentu ketika dia memandang, menganalisis dan merekonstruksi masa lalu. Karena setiap sejarawan perlu menarik hikmah dari setiap kejadian sejarah dan menyampaikannya kepada orang-orang yang hidup sezaman dengannya dalam idiom-idiom yang dapat dimengerti mereka.

Tidak ada sejarah yang netral. Sejarah tak pernah tampil sebagai sebuah tabula rasa.

Setiap tulisan sejarah tentu mempunyai fungsi memorial, atau fungsi mnemonik, yakni untuk membuat orang pada masa kini dan pada masa depan tetap ingat peristiwa-peristiwa penting di masa lampau, yang makna dan dampaknya bagi masa kini dan masa depan harus dicari, ditemukan, dipelajari, dipahami, dan sebisa mungkin dikendalikan ke arah tujuan-tujuan tertentu. Sebetulnya, makna dan dampak sebuah sejarah pada masa kini dan masa depan lebih penting ketimbang peristiwa sejarahnya itu sendiri. Edward H. Carr, yang sudah dikutip di atas, menyatakan bahwa setiap proyek penulisan sejarah bertujuan untuk membantu masyarakat manusia untuk memahami masa kini dan membentuk masa depan. Masa lalu hanya diperhatikan sejauh membantu tugas ini. Inilah fungsi formatif sebuah karya sejarah. 

Ketika satu kejadian di masa lampau atau satu sosok agung di masa lalu direkonstruksi oleh para sejarawan di masa kini, rekonstruksi ini dilakukan bukan hanya supaya kejadian ini atau sosok besar ini tetap diingat oleh manusia pada masa kini, tetapi juga supaya secara kognitif dihadirkan kembali dalam masyarakat manusia pada masa kini lewat historiografi-historiografi. Inilah fungsi anamnestik sejarah. Dengan fungsi anamnestik ini, tulisan-tulisan sejarah mampu membangun komitmen-komitmen moral dan spiritual yang kuat pada manusia masa kini untuk mengulangi kembali kejadian-kejadian di masa lampau pada masa kini atau untuk meniru jalan-jalan kehidupan sosok-sosok agung masa lalu dalam kehidupan di masa kini.  

Selain memikul fungsi rekreatif, formatif, mnemonik dan anamnestik, setiap tulisan sejarah juga memikul fungsi edukatif, yakni untuk memberi beranekaragam pelajaran dari masa lalu kepada manusia di masa kini, mulai dari pelajaran moral sampai pelajaran politik. Pernyataan “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” atau “Belajarlah dari sejarah”, selalu relevan kapanpun juga dan di manapun juga. JASMERAH Bung Karno tidak pernah ketinggalan mode.

Dari sejarah kita bisa belajar banyak hal, tapi prosesnya tidak satu arah linier. Edward H. Carr menulis, “Belajar dari sejarah sesungguhnya tidak pernah merupakan suatu proses satu arah. Belajar tentang masa kini dari sudut masa lampau berarti juga belajar tentang masa lampau dari sudut masa kini. Sejarah berfungsi untuk memperdalam pemahaman kita baik mengenai masa lampau maupun mengenai masa kini lewat inter-relasi antara keduanya./7/ Pelajaran-pelajaran yang bisa diberi oleh sejarah sangat luas, mencakup banyak bidang kehidupan, karena setiap sejarah adalah sejarah tentang suatu kehidupan yang real dalam dunia yang real. Tidak ada kehidupan yang hanya satu dimensi. Kehidupan ini selalu multidimensional. Dengan demikian, ada banyak jenis sejarah, dan ada banyak ragam pelajaran yang kita dapat tarik dari berbagai jenis sejarah./8/

Tetapi, tentu saja, ketika seorang sejarawan mau menulis sebuah sejarah, dia harus memilih bidang-bidang kehidupan tertentu yang terbatas, yang akan menjadi fokus utama kajian sejarahnya, tak bisa mencakup segala bidang kehidupan, dan tak bisa menampilkan semua tokoh masa lampau yang dulu terlibat. Inilah yang telah dilakukan Hanung Bramantyo dalam film Soekarno: memilah-milah segmen-segmen masa lampau, menafsirkannya dan menghadirkannya di masa kini lewat rekonstruksi. 

Untuk mendapatkan gambaran kehidupan masa lampau yang lebih lengkap, setiap orang perlu membaca beberapa karya sejarah sekaligus, dari sejarawan-sejarawan yang berbeda, yang masing-masing menyoroti aspek-aspek kehidupan yang berlainan. Gambaran komprehensif mengenai suatu masa lalu selalu berupa mozaik tulisan-tulisan sejarah yang beranekaragam tentang masa itu. Setiap pembaca karya-karya sejarah pada akhirnya harus merekonstruksi bagi dirinya sendiri sejarah yang sedang dicarinya lewat berbagai tulisan sejarah yang dihasilkan beranekaragam sejarawan. 

Dalam rangka menjalankan fungsi edukatif dari setiap tulisan sejarah, setiap sejarawan, sebagai ilmuwan, memanggul juga fungsi etis yang sangat krusial. Setiap sejarawan sebagai ilmuwan pantang, dalam mendidik masyarakat, melakukan pemutarbalikan dan pemalsuan data dan informasi faktual sejarah. Sebagai seorang ilmuwan, setiap sejarawan terikat pada etika keilmuwan yang mengharuskannya menyampaikan hanya kebenaran-kebenaran, bukan kebohongan-kebohongan, yang disusunnya berdasarkan bukti-bukti autentik, lewat tulisan-tulisan sejarah yang disusunnya.

Setiap sejarah, baik sejarah kekejaman sebuah rezim politik maupun sejarah keagungan seorang pemimpin dunia, selalu bisa mengajar kita. Setiap sejarawan perlu menemukan hikmah-hikmah dalam setiap kejadian sejarah, yang akan memperkaya kehidupan etis, moral dan kearifan manusia pada masa kini. Selalu ada fungsi edukatif dalam setiap tulisan sejarah. Selalu ada pesan-pesan yang mau disampaikan setiap tulisan sejarah. Setiap tulisan sejarah selalu bersifat kerugmatis: berisi pesan-pesan dari masa lampau untuk manusia masa kini, lewat kata-kata si penulis sejarah. Tak ada sejarah yang tampil bak kertas putih polos, tanpa coretan-coretan pesan-pesan si sejarawan penulis sejarah.  

Kebenaran sejarah tidak ada yang mutlak, sebab setiap sejarah adalah sebuah interpretasi, bukan satu-satunya interpretasi, atas masa lampu yang tak dapat dilepaskan dari berbagai prasuposisi si sejarawan yang berasal dari dunianya pada masa kini. Jadi, kebenaran sejarah tidak pernah tunggal, melainkan majemuk, tak pernah definitif, dan dengan demikian selalu kaya. Karena itu, untuk satu kejadian di masa lampau diperlukan lebih dari satu rekonstruksi sejarah, yang selanjutnya harus saling berkompetisi dengan sehat dan bermartabat, untuk orang dapat tiba pada kebenaran-kebenaran yang makin besar. Sebuah sejarah yang diabsolutkan bukanlah sejarah, tapi sebuah ideologi otoritarian yang anti-kompetisi dan anti-oposisi. Sejarah jenis ini jelas tidak etis.

Kebenaran-kebenaran suatu versi sejarah harus bersaing dengan kebenaran-kebenaran suatu versi sejarah lainnya atas satu kejadian yang sama di masa lalu, dan harus diperdebatkan dengan kritis dalam suatu wacana publik. Persaingan antarklaim-klaim tentang kebenaran apapun adalah hal yang lazim dan sehat dalam dunia sains, termasuk dalam dunia sains sejarah.

Karena sejarah itu terjadi di masa lampau, maka akan selalu ada kesenjangan waktu dan, bersamaan dengan itu, kesenjangan budaya, jika dipertemukan dengan masa kini. Untuk sampai ke masa lalu, setiap sejarawan bebas memilih “jembatan-jembatan” yang mau dipakainya untuk menyeberangi dua kesenjangan yang menganga itu, untuk menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Yang dimaksud dengan “jembatan-jembatan” adalah segala sesuatu yang si sejarawan perlu pakai untuk membuat masa lalu, lewat rekonstruksi, bisa relevan dengan masa kini dan, karena itu, bisa dihadirkan kembali pada masa kini untuk tujuan-tujuan mnemonik, anamnestik, rekreatif, formatif, edukatif dan etis. Setiap sejarawan adalah seorang mediator masa lampau dan masa kini.  

Selain itu, karena setiap sejarawan memiliki sejumlah kekhususan sosial dan personal yang diberi oleh lokasi sosialnya di masa kini dan oleh sejarah kehidupannya sendiri, maka selalu akan muncul banyak versi sejarah. Setiap tulisan sejarah sebetulnya juga memuat potret-potret unik diri si penulisnya. Dus, selalu sejarah itu plural, tidak pernah singular. 

Beranekaragam sudut pandang yang diambil seorang sejarawan dalam memandang dan merekonstruksi masa lampau, juga membuat sejarah apapun tidak akan pernah bisa singular. Sejarah itu selalu bisa dihampiri dari berbagai sudut pandang, alhasil sejarah itu selalu kaya dan tak pernah miskin. Sang Bulan purnama ada satu di angkasa malam, tetapi ada tak terhitung banyaknya kisah-kisah tentangnya yang satu sama lain berbeda.

Satu kejadian di masa lalu akan menghasilkan dua sejarah, saat, misalnya, dipandang dari sudut pihak pemenang dan dari sudut pihak pecundang. Sejarah dalam perspektif pihak pemenang tak akan pernah sama dengan sejarah dalam perspektif pihak pecundang. Sejarah yang ditulis dari sudut pandang pihak-pihak yang lemah yang dikalahkan, yang tidak memiliki kekuatan politik, dapat digolongkan ke dalam social history. Sejarah yang direkonstruksi dari sudut pandang pihak pemenang yang memiliki kekuasaan politik, kekuatan militer, otoritas dan legitimasi politik, tergolong ke dalam political history.

Begitu juga, sejarah dari perspektif para korban tak akan pernah sama dengan sejarah dari perspektif pihak-pihak yang mengorbankan. Darah para korban akan terlihat tak sama merah dengan darah pihak-pihak yang mengorbankan. Bahkan darah pihak korban bisa tampak putih jika dibandingkan warna hitam darah pihak-pihak yang mengorbankan.

Pendekatan interdisipliner yang sekarang ini dipakai dalam banyak penulisan sejarah, telah makin banyak memunculkan historiografi multidimensional. Setiap sejarawan profesional di masa kini diharuskan mampu memakai berbagai disiplin ilmu secara integratif dalam merekonstruksi masa lalu. Sejarah yang direkonstruksi dari banyak sudut pandang keilmuwan lebih kaya dan lebih tahan uji jika dibandingkan sejarah yang direkonstruksi hanya dari satu sudut pandang keilmuwan.  

Jadi, janganlah anda berharap satu kejadian di masa lalu atau satu sosok besar di masa lalu, ketika direkonstruksi hanya akan melahirkan satu sejarah tunggal. Satu sosok Soekarno masa lalu, yakni Soekarno sejarah (the Soekarno of history), ketika mau dihadirkan kembali pada masa kini lewat rekonstruksi akan melahirkan banyak sosok Soekarno masa kini yang diselubungi mitos-mitos interpretatif (the Soekarno of myth). “The Soekarno of history” ada satu, tetapi “the Soekarno of myth” ada banyak. Pada masa kini, kita bisa bertemu hanya dengan “the Soekarno of myth”. 

Menyingkirkan seluruh mitos dari sosok Soekarno, untuk kita tiba pada sosok Soekarno sejarah sepenuh-penuhnya dan seasli-aslinya, sama sekali tak dimungkinkan; usaha demitologisasi secermat apapun tak akan pernah sukses sepenuh-penuhnya. Setiap usaha ilmiah merekonstruksi sosok masa lampau akan selalu menghasilkan sosok yang diselubungi mitos-mitos (lama atau baru), karena setiap perekonstruksi sejarah tidak pernah bebas dari prasuposisi-prasuposisinya sendiri. Positivisme historis itu sendiri sebuah mitos modern. Jika kita menyadari hal ini, kita tidak akan pernah memutlakkan sebuah tulisan sejarah. Selalu tersedia bagi kita sejarah-sejarah alternatif.

Jadi, sekali lagi perlu ditegaskan, kemauan Rachmawati untuk sosok Soekarno masa lampau dihadirkan kembali pada masa kini sebagai sosok Soekarno masa lampau seasli-aslinya tak akan bisa dipenuhi oleh siapapun, kapanpun dan di manapun juga.

Ingatlah selalu, sejarah selalu sebuah rekonstruksi. Setiap historiografi adalah sebuah rekonstruksi. Setiap rekonstruksi sejarah tidak bisa dilepaskan dari diri si perekonstruksinya, dari prasuposisi-prasuposisinya, dan dari dunianya pada masa kini dengan segala persoalannya. Rekonstruksi yang satu akan selalu diimbangi atau dilawan oleh rekonstruksi yang lainnya. Setiap rekonstruksi sejarah harus terus-menerus didebat secara terbuka, dan harus terus-menerus bersaing dengan rekonstruksi-rekonstruksi lainnya. Inilah yang dinamakan mencari kebenaran-kebenaran sejarah. Pencarian ini tak pernah selesai, karena waktu masih terus berjalan, dari masa lalu, ke masa kini, lalu masuk ke masa-masa depan yang tanpa batas. Masa kini yang berubah akan juga mengubah gambaran orang tentang masa lalu. Tak ada masa lalu yang statis atau yang sudah final. Tak ada sejarah tunggal yang absolut, yang sudah selesai. Selalu ada banyak sejarah, dan masing-masing belum selesai. Setiap sejarah adalah relatif.

Begitu juga halnya dengan sejarah kelahiran setiap agama: akan selalu muncul versi-versi sejarah yang lain dari yang anda sucikan dan jaga kuat-kuat.

Ortodoksi dan heresi adalah dua sejarah yang berbeda sudut pandang atas satu kejadian sejarah yang sama dalam satu agama. Ortodoksi tak bisa menindas heresi, dan juga sebaliknya, sebab keduanya adalah dua versi sejarah yang berbeda sudut pandang atas satu agama ketika agama ini baru dilahirkan dan saat berada dalam tahap-tahap awal pertumbuhan dan perkembangannya. Bukti-bukti dan fakta-fakta yang diajukan pihak ortodoksi tidak sama dengan bukti-bukti dan fakta-fakta yang disodorkan pihak heresi, dan karena itu keduanya harus terus-menerus diperdebatkan dalam forum-forum publik.

Tak ada versi sejarah yang paling lurus dari kelahiran dan perkembangan sebuah agama. Yang ada adalah beranekaragam versi sejarah yang satu sama lain harus bersaing dengan sehat dan terkendali, dan terus diperdebatkan dalam wacana-wacana publik.

Hanya dengan keluasan pengetahuan dan sudut pandang, dan dengan keberagamaan yang cerdas, anda akan bisa menerima dengan terbuka beranekaragam versi agama anda yang sudah bermunculan tidak lama setelah kelahirannya. Sebetulnya semakin tua usia sebuah agama, akan semakin banyak versi kebenaran yang dapat diajukan, sejalan dengan makin banyaknya aliran yang bermunculan. Setiap aliran keagamaan adalah sebuah penggalan dari Kebenaran Mutlak yang tak akan pernah habis dipahami, yakni diri Allah sendiri. Tetapi agama apapun bukan Allah.

Jika anda cerdas beragama, jangan lagi pakai label ortodoksi dan label heresi dalam dunia agama anda sendiri, yang lalu anda benturkan satu sama lain. Ortodoksi dan heresi adalah versi-versi berbeda atas satu agama ketika agama ini baru dilahirkan atau ketika berada pada tahap-tahap formatifnya, yang ditulis dalam beranekaragam sudut pandang interpretatif. Yang ada bukan aliran sesat atau bidah atau kafir, tapi versi-versi interpretatif yang berbeda, lewat pemakaian beranekaragam perspektif saat seseorang mau memahami teks-teks suci atau saat merekonstruksi peristiwa-peristiwa masa lampau.

Orang-orang yang cerdas beragama tidak akan memandang aliran-aliran yang berbeda dalam agama mereka sendiri sebagai aliran-aliran sesat yang harus ditindas dan dibasmi. Tidak ada kata “sesat”; yang ada adalah perbedaan prasuposisi, perbedaan perspektif, perbedaan sudut pandang, perbedaan versi sejarah, perbedaan mitos, perbedaan penafsiran tentang kebenaran yang selalu lebih besar dari yang dapat ditangkap dan dipahami oleh seseorang atau oleh suatu aliran pemikiran. Penafsiran atas kebenaran adalah suatu proses hermeneutik yang tak pernah selesai. Dengan demikian, tak ada satu agamapun yang sudah selesai. 

--------------------

/1/ Tentang perselisihan ini, lihat Julian Edward, “Master dan Skenario Disita, Film Soekarno Tetap Tayang”, Liputan 6.com, 13 Desember 2013, pada http://showbiz.liputan6.com/read/774130/master-dan-skenario-disita-film-soekarno-tetap-tayang-di-bioskop.

/2/ Lihat berita “Rachmawati Minta Film ‘Soekarno’ Dihentikan Karena Banyak Pelecehan”, Detik Forum, 13 Desember 2013, pada http://forum.detik.com/rachmawati-minta-film-soekarno-dihentikan-karena-banyak-pelecehan-t849303.html.  

/3/ Dikutip oleh Dhia Prekasha Yoedha, “Kontroversi Film Soekarno (2) Hanung Gelapkan Fakta Sejarah Amir Sjarifoedin”, Aktual.co, 26 Desember 2013, pada http://www.aktual.co/warisanbudaya/010702kontroversi-film-soekarno-2-hanung-gelapkan-fakta-sejarah-amir.

/4/ Pradewi Tri Chatami, “Halo-halo Soekarno”, Minggu, 22 Desember 2013, pada http://sastrasukma.blogspot.com/2013/12/halo-halo-soekarno.html?m=1.

/5/ John Dominic Crossan, The Birth of Christianity: Discovering What Happened in the Years Immediately After the Execution of Jesus (San Francisco: Harper-SanFrancisco, 1998, 1999) hlm. 25; idem, “Historical Jesus As Risen Lord” dalam Gerald P. McKenny, gen. ed., The Jesus Controversy (Harrisburg, PA: Trinity Press International, 1999) hlm. 3 [1-47].

/6/ Edward H. Carr, What Is History? (New York, N.Y.: Random House, 1961), hlm. 35. 

/7/ Edward H. Carr, What Is History?, hlm. 86.

/8/Ada beberapa jenis sejarah, antara lain: sejarah sosial, sejarah politik, sejarah religius, sejarah kebudayaan, sejarah gender, sejarah intelektual, sejarah imperial. Tentang berbagai jenis tulisan sejarah ini, lihat David Cannadine, ed., What Is History Now? (New York, N.Y.: Palgrave Macmillan, 2002).