Saturday, October 6, 2012

Apakah kitab suci sejalan dengan sains modern?


Galileo Galilei, sang bapak sains modern, lahir di Pisa, Toscana, 15 Februari 1564, meninggal di Arcetri, Toscana, 8 Januari 1642, pada umur 77 tahun


Ketika sains modern menguasai segala sesuatu, maka kaum agamawan pun terdorong untuk me-modern-kan kitab suci kuno mereka lewat apa yang dinamakan cocokologi. Cocokologi membuat seorang agamawan ortodoks berubah menjadi seorang agamawan liberal dan modern!
― ioanes rakhmat

Semua kitab suci agama-agama besar yang kita kenal ditulis pada era pramodern, pra-ilmiah, pra-saintifik. Jadi, akan sia-sia sama sekali jika anda mau mencari dan menemukan sains modern di dalam semua kitab suci, bahkan di dalam kitab suci yang anda yakini berasal dari wahyu ilahi sepenuhnya yang tak bisa salah.

Kalau memang kitab suci apapun memuat pandangan-pandangan sains modern, mustinya sejak dulu sekali kaum agamawan yang menekuni kitab suci mereka, lewat hidayah ilahi, sudah bisa menghasilkan sains modern. Nyatanya apa?

Nyatanya, tak ada para penekun teks-teks kitab suci apapun, sejak dulu hingga sekarang, yang mendadak berubah menjadi saintis sejati tingkat dunia, karena ilham-ilham dari kitab-kitab suci yang mereka baca. Hemat saya, Allah menugaskan manusia untuk menyelidiki alam raya ini, bukan teks-teks kitab suci, jika mereka ingin mendapatkan pengetahuan saintifik.

Sains modern muncul bukan dari pengkajian tekun atas kitab suci apapun, tetapi dari observasi atas segala fenomena alam (lewat mata telanjang, lewat lima indra, atau lewat bantuan instrumen dan aneka bentuk teknologi modern), dari eksperimentasi, dari konsistensi bernalar secara logis, dari teori-teori saintifik yang sudah ada sebelumnya, dan dari bukti-bukti yang berhasil dikumpulkan.

Yang diakui dunia sebagai bapak sains modern bukan ahli kitab suci manapun, tetapi Galileo Galilei. Ketika mempublikasi pandangan-pandangan revolusioner saintifiknya Galileo ditolak oleh gereja Katolik (abad ke-16 dan ke-17) dengan keras, diancam akan dijatuhi hukuman, tetapi akhirnya hanya dikenakan tahanan rumah sampai akhir hayatnya.

Tetapi ada sangat banyak agamawan bekerja keras untuk menunjukkan bahwa kitab suci mereka berisi sains modern atau minimal sejalan dengan sains modern. Nah, hemat saya, usaha keras mereka ini sia-sia saja. Sebab, ketika mereka melakukan usaha ini, yang mereka lakukan sebenarnya hanyalah mencocok-cocokkan dengan paksa kitab suci dengan sains modern. Ini saya namakan cocok-o-logi.

Cocokologi sebenarnya sangat merugikan dunia agama, sebab kemana saja sains modern bergerak, ke sanalah kitab suci (demi kecocokan) dibawa dan diarahkan, atau bahkan dipaksa dibawa dan dipaksa diarahkan. Jadi, cocokologi sebenarnya menaklukkan kitab suci pada sains modern; jadi sangat merugikan integritas agama sendiri.

Selain itu, cocokologi sangat melelahkan kaum agamawan, sebab, begitu sains yang semula bisa dicocokkan dengan kitab suci berubah, mereka harus berlelah-lelah lagi mencari teks-teks kitab suci lainnya yang bisa dicocokkan dengan sains modern. Terus demikian. Sangat melelahkan, dan sia-sia!

Selain itu, hendaklah anda sadari, sains itu suatu bidang yang sangat kompleks, tidak sederhana, dan sama sekali tidak bisa disusutkan atau disederhanakan menjadi sebuah ayat kitab suci. Dunia sains modern sama sekali bukan dunia kitab suci dan para penulisnya.

Ayat-ayat skriptural bisa memuat wisdom atau ajaran dan wejangan kearifan untuk moral manusia. Namun, ayat-ayat kitab suci sama sekali bukan pandangan saintifik tentang hal apapun yang sesungguhnya kompleks, yang jika diuraikan akan menghasilkan berjilid-jilid buku.

Kitab-kitab suci tentu juga memuat catatan-catatan tentang pengalaman-pengalaman umum umat manusia, misalnya pengalaman kemandulan, persetubuhan, membesarnya janin dalam rahim, kelahiran, bayi yang cacat ketika dilahirkan, perkembangan tubuh, tidur dan istirahat, kecerdasan, kebodohan, kebahagiaan, depresi, sakit penyakit, kesembuhan, usia yang bertambah, tubuh yang menua dan makin lemah, tulang yang patah, pingsan, keadaan koma, kematian, rasa sedih dan duka, dan pembusukan mayat.

Tetapi tidak ada satupun penulis teks-teks kitab suci apapun yang pernah mengadakan penelitian mendalam, dengan menggunakan metode saintifik, atas pengalaman-pengalaman itu semua untuk mendapatkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah.

Para praktisi cocokologi sebetul-betulnya tidak menemukan sains modern apapun dalam ayat-ayat kitab suci mereka, tetapi mereka memakai poin-poin tertentu dari pandangan-pandangan saintifik yang sudah diketahui mereka sebagai pra-paham (presupposition) yang menjadi bingkai imajinatif dalam memahami teks-teks kitab suci mereka.

Jadi, imajinasi merekalah, yang bisa sangat liar, dan akal-akalan merekalah, yang dengan paksa menentukan makna teks-teks kitab suci.

Bukan teks-teks kitab suci sendiri yang berbicara, tetapi kemauan dan imajinasi serta akal-akalan mereka itulah yang mengendalikan dan menentukan apa makna isi teks-teks kitab suci yang mereka telah pilih-pilih. Teks-teks pilihan ini mereka mula-mula anggap paling dekat atau paling klop dengan pandangan-pandangan saintifik.

Pada sisi lainnya, mereka menyembunyikan dengan rapi atau menolak teks-teks lain yang tidak klop atau yang malah bertentangan.

Cara “cherry picking” teks-teks kitab suci semacam ini hanya bisa dijalankan jika teks-teks kitab suci dipahami secara literalistik, dengan sama sekali melepaskan teks-teks ini dari konteks sejarah dan konteks kebudayaan dan sistem sosial zaman lampau yang telah memunculkan teks-teks ini, dan dari konteks sastra teks-teks tersebut di dalam suatu kitab suci.

Padahal kita tahu, untuk memahami teks kuno apapun dengan benar, teks ini harus ditempatkan dalam konteks sejarah dan konteks kebudayaannya di zaman lampau, dan dalam konteks sastranya dalam suatu dokumen sastra. Inilah cara akal dalam memahami kitab suci, bukan cara akal-akalan.

Jika sebuah teks kitab suci apapun dilepaskan dari konteks sejarah dan konteks kebudayaannya, dan dari sistem sosial masyarakat penulis teks di zaman lampau, dan dari konteks sastranya, teks ini bisa berbicara apapun sejalan dengan kehendak bebas penafsirnya. Ini bukan menafsir teks, tapi ngelantur semau-maunya, berakal-akalan sepuas-puasnya.

Selain itu, cocokologi dijalankan dengan tujuan untuk mengunggulkan sebuah agama di atas agama-agama lain. Juga untuk makin meyakinkan para penganut sebuah agama bahwa kitab suci mereka dan ajaran-ajaran agama mereka semuanya hebat dan menakjubkan karena bisa sesuai dengan sains modern yang muncul pada masa jauh sesudah kemunculan kitab suci mereka.

Dengan demikian, cocokologi adalah sebuah usaha akal-akalan untuk membela keagungan sebuah agama, untuk mempertahankan pamor sebuah konsep tentang kitab suci dan sebuah konsep tentang Allah. Tentu saja juga untuk menghibur hati suatu umat beragama ketika sains modern tampak makin menguasai seluruh kehidupan manusia yang di dalamnya klaim-klaim keagamaan terbukti makin tidak relevan lagi. Cocokologi sama sekali tidak memberi sumbangan apapun bagi dunia sains sejati, science proper.

Akal melahirkan ilmu pengetahuan. Akal-akalan tidak menghasilkan apa-apa selain akal-akalan lebih lanjut dan kepala yang keleyengan sepanjang masa.

Pendek kata, cocokologi adalah sebuah kegiatan akal-akalan untuk membuat kitab-kitab suci kuno menjadi kitab-kitab yang modern! Padahal, para praktisi cocokologi sebetulnya adalah orang-orang konservatif yang antimodernitas.

Selain dengan metode cocokologi, kaum agamawan, dalam rangka mengunggulkan agama mereka di atas sains modern, juga memakai strategi yang dinamakan “god of the gaps” strategy. Apa maksudnya?

Maksudnya: Allah kaum agamawan difungsikan sebagai Allah pengisi celah-celah (gaps) sains yang belum bisa diisi dengan data dan bukti saintifik. Sains umumnya akan selalu memiliki celah ketika baru tumbuh; tetapi makin tua usia suatu sains, makin sedikit celah di dalamnya yang masih kosong.

Strategi God of the gaps dijalankan ketika misalnya orang bertanya dari mana asal kehidupan, atau dari mana manusia berasal, atau dari mana jagat raya berasal. Semua pertanyaan ini dijawab dengan strategi god of the gaps: semuanya berasal dari Allah, karena dulu sains belum bisa menjawab dengan memakai bukti-bukti objektif dan autentik.

Tetapi, untuk semua pertanyaan itu, god of the gaps strategy kini sudah tidak bisa dipakai lagi, karena semua pertanyaan itu sudah bisa dijawab sains modern dengan tanpa melibatkan agama sama sekali.

Dus, god of the gaps kini menganggur, karena belum ditemukan celah baru yang ke dalamnya kaum agamawan akan menugaskan Allah mereka untuk mengisinya.

Masih ada satu hal lain yang perlu dikemukakan pada kesempatan ini. Banyak sarjana agama dewasa ini berusaha keras untuk melahirkan apa yang dapat dinamakan “sains skriptural”, yakni “sains” yang disusun dan dijalin dari teks-teks kitab suci yang dipahami literalistik, yang dianggap akan menandingi, atau bahkan menggantikan, berbagai cabang sains modern.

Di kalangan tertentu sarjana Muslim, ada usaha keras untuk melahirkan “sains Islami” atau “sains Al-Qur’an”, misalnya fisika Islam atau psikologi Islam atau matematika Islam atau astronomi Islam. Tentu saja, anda akan mengernyitkan kening dalam-dalam atau melototkan mata ketika membaca nama cabang-cabang ilmu yang janggal semacam ini!

Di kalangan Kristen Barat, sudah lama dibangun apa yang para pendirinya namakan “sains Alkitab”, misalnya apa yang dinamakan kreasionisme dan “Intelligent Design”. Keduanya disusun untuk melawan dan menggantikan sains evolusi dan kosmologi modern yang dinilai telah merongrong otoritas ilahi Alkitab.

Apakah setiap “sains skriptural” betul-betul sains sejati? Jawabnya: semua “sains skriptural” bukanlah sains sejati, melainkan doktrin keagamaan, berada pada wilayah teologi dan bukan pada wilayah sains.

Metodologi saintifik yang dipakai untuk menyusun sains modern sama sekali tidak dipakai para sarjana agama ketika mereka menyusun “sains skriptural”.

Semua “sains skriptural”, dari agama apapun, sebetulnya disusun kalangan keagamaan konservatif untuk mempertahankan otoritas kitab suci sebagai wahyu ilahi, yang dipandang telah dirongrong oleh sains modern, dan untuk mengunggulkan sebuah agama dan sebuah kitab suci di atas agama-agama dan kitab-kitab suci lain.

Kalangan konservatif ini adalah para pembela kitab suci dan agama, bukan para pembela sains.

Para saintis sejati, ketika bekerja keras untuk melahirkan pandangan-pandangan saintifik yang makin solid dan makin integratif, mereka bekerja bukan demi pamor sebuah agama atau sebuah kitab suci atau sebuah keyakinan ideologis, melainkan demi sains itu sendiri, demi pemahaman-pemahaman ilmiah yang makin integratif mengenai jagat raya dan seluruh isinya dan proses-proses yang berlangsung di dalamnya.

Serahkanlah peradaban insani ke tangan para agamawan yang menyusun “sains skriptural” untuk mereka kelola, maka lihatlah, dalam beberapa dasawarsa saja peradaban ini akan binasa!

Stay blessed.