Tuesday, July 31, 2012

Denial: Apa Penyebabnya?

Janganlah fakta disangkal hanya demi bela keyakinan sendiri!

N.B. Editing mutakhir 16 Juli 2022

Di tengah kebodohan dan ketidaktahuan yang merajalela dan diternak, AKAL yang cerdas, eling, konstruktif dan arif, adalah POWER yang tak ada taranya. Raih dan gunakan power itu untuk kebaikan masyarakat, dan untuk menyelamatkan mereka yang sudah dibodohkan itu, jika masih mungkin.” 
☆ ioanes rakhmat

Dalam psikologi, terma “denial” (kata Inggris; artinya “penyangkalan”) dikenakan pada seseorang yang dengan kuat menyangkal dan menolak serta tak mau melihat fakta-fakta yang menyakitkan dirinya atau yang tak sejalan dengan keyakinan-keyakinan, pengharapan-pengharapan, dan pandangan-pandangannya. Orang ini dikatakan sedang berada dalam sikon “in denial”, terkurung dalam denialisme.



Ilustrasi hidup in denial”
(Ketuk atau klik gambarnya untuk dapat ukuran yang lebih besar dan huruf-huruf yang terbaca jelas)

Denialisme membuat seseorang hidup dalam dunia ilusifnya sendiri, terpangkas dari realitas kehidupan, dan orang ini nyaris tidak lagi mampu keluar dari cengkeramannya. Pikirannya diisi sendiri dengan, dan dimanfaatkan orang lain sebagai balon yang diisi, banyak khayalan, fantasi, reka-rekaan ngalor-ngidul liar tak terkendali, dan teori-teori konspirasi yang tidak berpijak pada fakta dan bukti objektif yang terverifikasi. Inilah hidup “in denial of reality”! 

Ketika seseorang hidup dalam denial, “backfire effect” atau “efek bumerang” sangat mungkin terjadi pada dirinya: Alih-alih membenahi dan mengoreksi diri, dia berbalik makin ekstrim dan ngotot mempertahankan pandangan dan keyakinannya semula walaupun pandangan dan keyakinannya ini sudah diargumentasikan dan dibuktikan salah! Dia berbalik menyerang anda. 

Semua argumen anda dan bukti-bukti yang anda ajukan untuk menolak pendapat-pendapat dan pandangan-pandangannya seolah berbalik menyerang anda! 

Begitulah hal yang terjadi ketika anda menggali sebuah sumur yang dangkal. Keringat anda yang bercucuran waktu menggali untuk memperdalam sumur ini hanya membuat sumur tersebut makin tambah dangkal. Ajaib bin aneh, memang.



Saat terbenam dalam denial, orang hidup dalam ilusi dan delusi. Hidup “in denial”. Orang ini lebih suka memilih mempersalahkan dan menyerang orang lain dengan membabi-buta, alih-alih memeriksa diri dan kelompok sendiri.

Dalam sikon terperangkap semacam itu, mereka lazim memakai “the straw man fallacy”: mereka membangun ide-ide subjektif nonfaktual tentang lawan atau orang lain yang mereka tentang, lalu ide-ide subjektif reka-rekaan mereka ini sendiri mereka hantam dan gempur sendiri sampai hancur luluh. 

Setelah itu mereka puas luar biasa karena mereka berpikir lawan sudah hancur mereka sabet dan perangi. Tapi faktanya ini: mereka menggempur, menembaki dan menghancurkan ide-ide reka-rekaan mereka sendiri, diri mereka sendiri, yang mereka sudah ubah jadi orang-orangan jerami.

Hidup dalam denial tentu saja hidup dengan menanggung beban batin dan beban pikiran yang sangat berat. Hidup yang penus stres kejiwaan. Alhasil, orang yang hidup dalam denial tentu saja sangat tidak berbahagia. Dirinya sendiri tidak berbahagia, dan juga membuat banyak orang lain tidak berbahagia, khususnya keluarga mereka sendiri.

Selain itu, setiap orang yang makin dalam terserang efek bumerang, makin mustahil baginya untuk menemukan kebenaran dan fakta; hidup mereka makin penuh dengan kebohongan, tipu daya, ilusi, delusi, dan makin banyak gangguan mental menyerangnya. Ingatlah, hidup semacam ini bisa sangat pendek dengan anda mati muda tanpa makna; tetapi anda juga bisa berumur panjang tapi nanti ketika anda wafat, anda wafat tanpa makna.

Model Kübler-Ross 

Menurut model psikiater Swiss, Elisabeth Kübler-Ross, ada empat tahap yang menyusul dan harus dilalui seseorang yang sedang terpenjara denialisme jika ingin akhirnya keluar dari penjara ini, atau sampai kehidupannya berakhir dengan kepasrahan dan kedamaian.

Pertama, tahap marah atau ngamuk karena menemukan fakta-fakta yang tidak sejalan dengan keinginan-keinginan, pengharapan-pengharapan dan keyakinan-keyakinannya. Dalam tahap ini, akal dan kesadarannya atas fakta-fakta tidak bekerja. Dia hidup dalam bahaya dan sekaligus membahayakan orang lain. Tahap ini bisa berlangsung sangat lama. 

Kedua, tahap tawar-menawar, dengan keinginan dan harapan semua hal yang didambakannya akan akhirnya diperolehnya hanya dengan sedikit ongkos dan pengorbanan. Tahap ini pun dapat berlangsung lama, diisi dengan pertarungan antara realitas, keinginan diri sendiri, dan kesediaan memberi sedikit untuk meraih kemenangan. 

Ketiga, tahap depresi. Setelah tahap tawar-menawar gagal, si individu masuk ke dalam tahap tekanan jiwa yang besar. Tahap ini adalah tahap paling sulit baginya untuk keluar dari penyangkalannya atas fakta-fakta. Depresi yang tak teratasi bisa bermuara pada tindakan bunuh diri atau berbagai tindakan yang merusak lainnya.

Tetapi jika tahap ketiga ini dengan susah-payah berhasil dilewati, si penderita masuk ke tahap terakhir, menuju kesembuhan, jika dia mau sembuh, atau dengan ikhlas menerima fakta bahwa dia akan mati.

Keempat, si individu akhirnya pasrah, menerima kenyataan yang pahit dan berat, kendatipun kenyataan ini tidak sejalan dengan semua keinginan dan harapannya. Lama kelamaan, dia mulai bisa hidup dalam kenyataan lagi, mula-mula tertatih-tatih. Atau, dia akhirnya rela menerima fakta bahwa penyakitnya akan segera merenggut nyawanya, dan tak lama kemudian dia mati dengan tenang dan ikhlas. 

Elisabeth Kübler-Ross menyusun model tersebut dari pengalaman-pengalaman realnya di sekolah kedokteran Universitas Chicago, ketika sedang menangani pasien-pasien yang sedang menderita suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan sedang menanti ajal atau sedang sekarat. Temuan-temuannya dituangkan dalam bukunya On Death and Dying: What the Dying Have to Teach Doctors, Nurses, Clergy and Their Own Families./1/ 

Pada kesempatan ini, saya mau menelusuri penyebab-penyebab yang lebih luas dari denialisme yang memenjara orang bukan hanya karena mereka sedang menderita penyakit-penyakit yang tidak tersembuhkan. 

Ada banyak faktor yang dapat mendorong seseorang atau sekelompok orang jatuh ke dalam denial, mulai dari persoalan pribadinya sendiri (misalnya dia menemukan dirinya menderita suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau seorang istri tidak bisa menerima fakta bahwa suaminya telah meninggalkannya) hingga ke persoalan-persoalan sosial yang melibatkan lebih banyak orang dan variabel sosial lain (misalnya agama, ideologi, kekuasaan, ketamakan, atau persoalan ekonomi, dll).

Denialisme dalam intensitas keparahan yang berbeda khususnya sangat kuat menguasai orang yang beragama dalam zaman modern ini, ketika banyak klaim keagamaan tak sejalan lagi dengan fakta-fakta objektif dalam masyarakat atau fakta-fakta sains, yakni fakta-fakta apapun yang diungkap dan dibeberkan lewat metodologi saintifik; dan juga ketika agama-agama banyak dipakai sebagai ideologi-ideologi sektarian separatis pelegitimasi pendapat dan aksi politik yang tidak sedikit di antaranya menghalalkan jalan kekerasan dan pembunuhan sebagai sebuah metode pergerakan.

Ketimbang dengan terbuka menerima fakta-fakta objektif dalam masyarakat dan fakta-fakta sains, dan meninjau kembali keyakinan-keyakinan keagamaan mereka, orang yang beragama memilih denial, termasuk para pemimpin mereka yang mengklaim diri atau diklaim sebagai orang-orang yang terpelajar dan saleh. 



Pertanyaannya: Mengapa banyak sekali para penganut agama-agama memilih denial dengan sadar, ketimbang menerima fakta-fakta dengan terbuka? Berikut ini sejumlah jawabannya.

Indoktrinasi intensif

Indoktrinasi kuat doktrin-doktrin keagamaan yang sudah dialami sejak kecil adalah salah satu penyebab denial pada orang beragama yang sudah dewasa. Sejak kecil, orang beragama apapun sudah diindoktrinasi dengan kepercayaan-kepercayaan bahwa agama mereka adalah agama yang paling sempurna dan tak bisa salah selamanya. Agama-agama lain bercacat dan salah semua. Indoktrinasi ini menyebabkan mereka tidak bisa menerima fakta-fakta bahwa setiap agama apapun selalu punya kekurangan dan keterbatasan, bahkan bisa tidak relevan lagi dalam dunia modern.

Tidak banyak orang beragama yang sudah dewasa yang bisa keluar dari penjara doktrin yang sudah ditanamkan kuat-kuat dalam pikiran mereka sejak kecil. Hanya segelintir! Dari yang segelintir ini, sebagian kecil mungkin pindah agama, dan sebagian terbesar memilih jadi ateis diam-diam yang lembut dan sebagian lagi menjalani kehidupan sebagai para ateis terang-terangan yang kerap vokal dan agresif.

Ada juga yang tidak mau menjadi ateis, tetapi juga tidak mau diam abadi dalam satu rumah teis, tetapi memilih menjadi sosok-sosok pemikir bebas yang mencari dan menggali nilai-nilai positif yang bisa masih ada dalam agama-agama, dan juga dalam ateisme, lalu mengembangkan nilai-nilai positif ini bagi 4 milyar orang dewasa yang kini masih beragama. 

Para pemikir bebas ini hanya bebas dalam berpikir dan mencari kebenaran dan fakta, tetapi mereka dengan sadar dan ikhlas mengikatkan diri pada kebajikan-kebajikan universal dan cinta kasih kepada segenap makhluk hidup.

Cuci otak

Indoktrinasi yang masif dan intensif, yang dilakukan dengan segala cara yang tidak membuka peluang apapun untuk orang bertanya, meragukan dan menolak, akan mengubah total isi dan cara kerja otak para korban. Inilah yang dinamakan cuci otak atau brainwashing

Para neurosaintis dan psikolog sosial sudah lama mempelajari cuci otak sebagai sebuah kegiatan propaganda yang berbahaya dan keji, yang merampas dan mematikan kebebasan dan hak setiap orang untuk menentukan jalan kehidupan dan isi pikiran mereka sendiri. Mari kita perhatikan hal berikut ini yang ditulis oleh neurosaintis Kathleen Taylor tentang cuci otak./2/ 
“Pada intinya cuci otak adalah suatu ide yang sangat jahat, yang didasarkan pada impian untuk sepenuh-penuhnya mengontrol pikiran manusia, yang mempengaruhi kita semua dengan cara-cara tertentu. 
Cuci otak pada dasarnya adalah penyerbuan terhadap privasi, yang berusaha mengendalikan bukan hanya bagaimana orang bertindak, tetapi juga apa yang mereka pikirkan. 
Cuci otak menimbulkan ketakutan-ketakutan kita yang terdalam karena mengancam akan menghilangkan kebebasan dan bahkan identitas manusia. 
Kami menemukan bahwa cuci otak adalah suatu bentuk ekstrim pengaruh sosial yang menggunakan mekanisme-mekanisme yang makin banyak dikaji dan dipahami para psikolog sosial. Pengaruh sosial tersebut dapat sangat bervariasi dalam intensitasnya. Dan kami mengeksplorasi sejumlah situasi yang melibatkan individu-individu, kelompok-kelompok kecil, dan keseluruhan masyarakat-masyarakat. 
Dalam semua segmen itu, tipe-tipe pengaruh yang kami sebut cuci otak dicirikan oleh penggunaan kekuatan pemaksa atau tipu daya atau keduanya sekaligus.” 

Identitas individual dan komunal

Agama dengan kuat juga membentuk identitas seseorang, khususnya dalam masyarakat tradisional. Keluar dari agama, berarti kehilangan identitas, dan kehilangan identitas sama artinya dengan dicabutnya kemanusiaan seseorang. Agama sebagai identitas yang harus dipertahankan, juga salah satu penyebab denial dalam diri orang beragama. 

Ada orang yang secara personal cukup mudah mengubah identitas keagamaan mereka; ada juga yang sangat sulit. 

Tetapi sampai wafat banyak orang kokoh mempertahankan identitas keagamaan mereka apapun juga yang sudah dan sedang terjadi pada agama anutan mereka sejak kecil. 

Neuroplastisitas otak kalangan yang kedua ini mengalami kendala untuk berfungsi dengan baik, bisa karena bentuk pendidikan, pembelajaran, pengasuhan, kegiatan bermain, dan pergaulan yang sudah diterima dan dialami mereka sejak kecil memang telah mematikan kelenturan dan kreativitas kerja sel-sel saraf dalam otak mereka. 



Jangan ganggu aku dengan kenyataan! Aku sudah senang hidup dalam duniaku sendiri! Sana, sana, pergi, jangan ganggu kenikmatanku! Fakta-fakta menggigit aku! 

Agama bukan saja membentuk identitas pribadi seseorang, tapi juga identitas komunal, yang harus dijaga dan dipertahankan, apapun juga taruhannya, termasuk menindas kelompok-kelompok lain yang tidak sejalan atau yang berbeda keyakinan. 

Demi tetap setia pada identitas komunal ini, atau demi solidaritas komunal, seorang beragama yang sudah dewasa dapat terpaksa melakukan denial atas fakta-fakta nyata yang sebagian besar orang ketahui dan akui, misalnya fakta bahwa kelompok-kelompok lain yang berbeda adalah juga sesama warganegara dan sesama manusia, yang juga berhak hidup dengan bebas.  

Denial dilakukan bukan saja karena seseorang mau tetap setia pada identitas komunal, tapi juga karena komunitasnya mengontrolnya dengan kuat. Ketimbang menolak dan melawan kontrol kuat komunitasnya atas dirinya, yang akan berakibat fatal bagi kehidupannya dalam banyak segi, juga segi ekonomi, seorang beragama lebih memilih hidup aman dengan melakukan denial. 

Dalam konteks ini, memilih hidup aman dan melakukan denial, dan takluk total pada komunitas pengontrol, ketimbang membuka diri pada fakta dan berani berbeda dari komunitas, adalah suatu keputusan politis individual seorang beragama, yang dengan sadar diambilnya, meskipun hati nuraninya mungkin menentang keputusannya ini.

Kondisi dikucilkan atau dibuang dari suatu komunitas sosial tempat seseorang dilahirkan, dibesarkan dan hidup, dengan akibat kehilangan semua status, hak dan kewajibannya, dinamakan ostrasisme (Inggris: ostracism). Kata kerja Yunani ostrakizein bermakna membuang” atau mengucilkan”.

Benarlah pernyataan psikolog dari Universitas Purdue, Prof. Kip Williams, bahwa Ostrasisme bukan semata-mata suatu bentuk kematian sosial, tapi juga berakibat kematian. Sang organisme tidak bisa melindungi dirinya sendiri lagi dari para predator, tidak dapat memperoleh makanan yang cukup, dan lazimnya mati dalam waktu singkat.” 

Tidak heran, cuma para pemberani yang tegar, tangguh dan siap menderita yang bisa menjadi para pelintas batas-batas komunitas-komunitas sosialreligius asali mereka, lalu masuk ke dunia-dunia lain yang berbeda dalam sangat banyak hal.

“Cultural cognition

Terkait usaha kuat setiap individu untuk mempertahankan identitas kultural komunal, adalah relevan jika kita menengok sejenak ke apa yang dinamakan cultural cognition”.

Setiap komunitas budaya di manapun memiliki dan berupaya keras mempertahankan nilai-nilai kultural mereka yang membentuk bagian jatidiri anggota-anggota komunitas ini.

Nah, jika ada nilai-nilai kultural ini yang dijumpai tidak sejalan atau berbenturan dengan nilai-nilai yang disajikan oleh ilmu pengetahuan, maka individu-individu dalam suatu komunitas kultural akan terdorong atau malah terpaksa untuk mendistorsi atau memelintir temuan-temuan keilmuan demi mempertahankan jatidiri kultural mereka sendiri yang dipandang tak bisa digeser atau diubah. Praktek pendistorsian ilmu pengetahuan semacam ini dinamakan kognisi kultural” atau cultural cognition”./3/

Jika kognisi kultural diambil sebagai suatu strategi eskapisme dari temuan-temuan ilmu pengetahuan, ya dalam batas tertentu bisa dipahami. 

Masalahnya, strategi ini tidak membuka diri pada fakta bahwa identitas kultural dan nilai-nilai yang mendasarinya adalah hal-hal yang dinamis, baik secara psikologis maupun secara sosioantropologis. Nah, temuan-temuan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai inheren yang diajukan oleh temuan-temuan ini sebetulnya dapat menjadi bahan bakar bagi pertumbuhan dan perkembangan dinamis identitas kultural serta nilai-nilai yang menjiwainya.

Pada sisi lain, strategi kognisi kultural hanya membuat suatu komunitas kultural yang kecil dan yang besar akan terus-menerus berada dalam kondisi buta ilmu pengetahuan, dan sebagai akibat lanjutannya mereka akan ditinggalkan kereta peluru ilmu pengetahuan yang melesat dengan sangat cepat.

Janji-janji agama

Selain memberi identitas dan manfaat ekonomi, agama juga, umumnya dalam batas-batas tertentu, tetapi bisa juga sangat kuat, memberi rasa aman dan rasa tenteram lewat janji-janji tertentu yang diberikannya, misalnya janji hidup akan diberkati dan berkelimpahan dan selalu sukses, atau janji akan masuk surga dan menerima pahala besar setelah kematian, apalagi mati sebagai martir. Mereka yakin sekali bahwa “there is a pie in the sky if we die!” 

Meskipun rasa aman dan tenteram ini seringkali terbukti palsu dan meninabobokan orang, dan hujan duit dari langit tidak kunjung turun, seorang beragama lebih memilih melakukan denial atas fakta-fakta, ketimbang kehilangan rasa aman dan rasa tenteram yang diberikan janji-janji keagamaan ini. 

Setuju atau tidak setuju, benarlah apa yang pernah dikatakan bahwa agama adalah sejenis narkotik yang mampu mencandu dan membius orang. Ketika kita terbius, kita kehilangan kontrol atas diri kita sendiri, atas pikiran kita sendiri.

Tidaklah salah jika ada sebuah ucapan yang sangat menyentak, ini: Pakailah agama sebagai pemoles wajah dan kedok bagus anda jika anda ingin menggiring sekumpulan besar manusia yang tidak terpelajar dan yang terpelajar, khususnya manusia-manusia yang bodoh, ke tujuan-tujuan politik sektarian anda dan ke pemuasan habis-habisan kerakusan anda terhadap uang! 

Yuup, agama-agama bisa menjadikan anda manusia-manusia besar, para mahatma, seperti Martin Luther King, Jr., Desmond Tutu, atau Mahatma Gandhi, atau Dalai Lama XIV, atau Abdurrahman Wahid. 

Tetapi sebaliknya juga betul: agama-agama bisa menjadikan anda manusia-manusia kerdil sekerdil-kerdilnya, bahkan semut-semut dan kunang-kunang jauh lebih besar jika dikomparasi dengan anda yang kerdil ini. Tetapi, tentu saja, anda, rekan-rekan saya, tidaklah kerdil semacam ini.

Fanatisme

Fanatisme yang terbangun dalam mental si agamawan lewat indoktrinasi sejak kecil, juga harus ditunjuk sebagai penyebab denial dalam dirinya. Semakin seseorang “committed and fanatic” pada agamanya, semakin banyak denial yang dilakukannya, alhasil semakin menjauhkannya dari realitas objektif. 

Fanatisme terhadap apapun selalu merusak mental seorang manusia; membuatnya tidak bisa belajar kearifan dan pengetahuan dari pihak-pihak lain yang berbeda. Fanatisme apapun membuat seseorang hanya mau memakai sebuah kacamata kuda hitam tebal dalam memandang realitas dunia yang sebetulnya dipenuhi warna-warni bak setengah lingkaran pelangi yang muncul sehabis hujan dan langit cerah.

Sumber besar denialisme adalah fanatisme buta yang dibangun secara bertahap lewat kegiatan cuci otak. Fanatisme buta ini menutup orang dari pengetahuan objektif mengenai berbagai realitas kehidupan, dari hati nurani yang tulus dan cerdas, dan dari martabat diri yang semustinya dijaga setiap orang yang sadar.

Kepentingan duit

Jangan dilupakan, agama juga adalah bisnis, yang darinya orang menerima manfaat-manfaat dan keuntungan-keuntungan ekonomi, besar atau kecil. Meragukan agama sendiri, apalagi meninggalkannya, akan dapat berdampak fatal pada kehidupan ekonomi seorang beragama. Dapat terjadi, alih-alih menjadi tuan atas uang, para agamawan lebih cenderung memilih untuk menjadi hamba uang. 

Demi mendapatkan dan mempertahankan keuntungan-keuntungan ekonomi, apalagi keuntungan ekonomi yang besar yang diberikan agamanya, seorang beragama jelas akan memilih denial ketimbang bersikap kritis pada ketamakan dirinya sendiri, pada agamanya, atau terbuka pada fakta-fakta sosial dalam masyarakatnya. 

Tidak salah jika banyak orang bijak yang menyatakan bahwa Tuhan sebenarnya bagi manusia pada umumnya adalah ketamakan pribadi. 

Ketika ketamakan pribadi ini mengendalikan seseorang, maka bukan lagi agamanya yang mengendalikan dirinya, tetapi sebaliknya: dirinyalah yang mengendalikan agamanya untuk mencapai tujuan-tujuan jahat dan destruktif. Ini memang luar biasa: agama cuma jadi alat kamuflase, dan kebanyakan umat tidak bisa melihat kamuflase ini. Di tangan orang-orang semacam inilah yang ada di seluruh dunia, agama-agama terus tergerus dan mengalami pendangkalan substansi, makna, fungsi dan tujuan. 

Dalam zaman modern ini, orang yang sangat kaya tetapi juga sangat dermawan bagi dunia seperti Bill Gates dan Mark Zuckerberg tentu saja sangat langka. Bagi mereka, yang sekarang ini dijuluki para kapitalis filantropis, orang itu baru betul-betul kaya raya kalau mereka rela menyumbangkan nyaris seluruh kekayaan besar mereka untuk pencerdasan manusia sedunia dan pembangunan peradaban dan kehidupan yang makin baik bagi sebanyak mungkin orang. 

Orang yang sudah sangat kaya tetapi masih terus tamak mencari dan menghimpun kekayaan buat kepentingan diri mereka sendiri lewat segala cara, adalah orang yang masih sangat kekurangan, selalu kelaparan, masih sangat miskin, tidak pernah sungguh-sungguh kaya raya. Mereka orang kaya yang sangat kere.


Mungkin sosok besar ini seekor organisme alien, atau seekor rayap raksasa, pemakan kertas! Aliens semacam ini banyak loh.

Orang kaya yang semacam ini tidak berbeda pada hakikat dasarnya dari orang yang makan sangat banyak tetapi bertubuh tetap kurus karena mengalami gangguan parah pada organ pencernaan dan sistem metabolisme tubuh mereka. 

Merekalah para kapitalis rakus, serakus-rakusnya; dan mereka memenuhi dunia kita dewasa ini. Mereka menutup mati hati dan mata akal mereka sehingga mereka tidak bisa atau tidak mau melihat dan menerima fakta bahwa kapitalisme rakus sedang memperlebar jurang pendapatan per kepala antara kaum kaya dan kaum miskin. Mereka sungguh-sungguh hidup dalam denial, yang mereka nikmati saja dengan asyik seperti asyiknya orang mengunyah permen karet yang baru dimasukkan ke dalam mulut.

Kepentingan politik

Agama adalah politik, karena setiap agama, baik agama kaum minoritas maupun agama kaum mayoritas, adalah sebuah pranata sosial yang ingin mengatur dan mengendalikan masyarakat ke arah tujuan-tujuan yang diatur dalam kitab suci ataupun yang digariskan para pemimpin umat. 

Orang yang mengklaim bahwa agama mereka hanya bergerak di bidang kerohanian saja dan disiarkan untuk membawa orang ke surga after death, sangat tidak jujur, atau mungkin naif, sebab mereka tidak menyadari bahwa di ujung setiap kegiatan siar agama yang sukses menunggu persoalan politik yang besar: bagaimana mengatur masyarakat yang telah dikuasai suatu agama, dengan menenggelamkan agama-agama lain yang sudah ada sebelumnya.

Tetapi harus diingat, ketika politik identitas, atau politik kalangan sendiri dipaksakan berlaku dalam suatu negara yang penduduknya majemuk, yang bukan negara agama, dan hukum positif (UUD, UU dan berbagai ketetapan hukum lain yang disusun dan disahkan lembaga legislatif bersama lembaga eksekutif dalam suatu negara demokrasi) menjadi panglima di dalamnya, maka yang akan terjadi adalah benturan-benturan tajam horisontal yang bisa berkepanjangan antar kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda. Dalam negara jenis ini, mayoritas yang memaksakan kehendak dan kepentingan politik mereka sendiri lambat-laun pasti akan dilawan dengan kuat oleh kelompok-kelompok minoritas di mana-mana.

Nah, telah banyak terjadi, demi mempertahankan dan menggolkan tujuan dan kepentingan politik agama mereka, kaum agamawan mayoritas lebih memilih melakukan denial, ketimbang menerima fakta-fakta yang tak sejalan dengan kepentingan politik mereka. 

Denialisme karena fanatisme sempit dan picik tumbuh bukan saja dalam dunia agama-agama, tapi juga dalam dunia ideologi-ideologi besar

Seseorang memilih untuk melakukan denialisme bukan hanya karena dia mau membela dengan membuta agamanya sendiri, tetapi juga karena mau membela habis-habisan partai politiknya sendiri, aliran ideologisnya, atau sistem ekonominya sendiri (entah kapitalisme atau sosialisme, dll), atau apapun yang berhubungan dengan ide-ide lain yang diabsolutkannya sehingga menjadi ide-ide yang bantut dan tertutup dan dapat mengancam perdamaian global.

Dalam dunia politik, apalagi jika orang mencari duit di dunia ini, denialisme akan membuat siapapun membutakan diri terhadap fakta-fakta objektif yang dikuak oleh ilmu pengetahuan mengenai banyak hal: rekam jejak sejarah kehidupan sang tokoh pemimpin yang diidolakan, ideologi politis separatis yang dibela, partai-partai dan kelompok-kelompok yang menjadi mitra koalisinya, kampanye-kampanye hitam yang mempermainkan berbagai isu SARA, serangan politik uang, keutuhan negara sendiri, perilaku anti-toleransi, kasus-kasus KKN, dan banyak lagi.

Sekarang ini, misalnya, sangat banyak para ideolog yang menolak fakta real bahwa perubahan iklim sedang terjadi di planet Bumi kita, yang berdampingan dengan pemanasan global, sebagai efek gas rumah kaca. Kondisi buruk ini akan berakibat sangat mengerikan bagi umat manusia dan semua spesies lain dalam beberapa dekade mendatang jika gas karbon dioksida COdan gas-gas lain yang masuk ke atmosfir Bumi tidak berhasil dikurangi dalam jumlah yang signifikan. 

Gas CO2 khususnya yang makin menumpuk dan tersebar di atmosfir Bumi kini sedang membentuk semacam selimut tebal yang menghalangi pembuangan sebagian panas dari muka Bumi (yang berasal dari cahaya Matahari, banyak produk teknologi, atau berbagai kegiatan banyak pabrik, dll) yang seharusnya mengalir keluar, masuk ke angkasa luar. Akibatnya, panas itu memantul balik ke permukaan Bumi; alhasil, menaikkan suhu global yang dimulai di lelautan, yang selanjutnya sedang mencairkan es-es di kutub-kutub Bumi.

Saat itu terjadi, planet Bumi berubah, benua-benua memanas, tak ramah lagi pada kehidupan. Perhatikan gambar di bawah ini. Sebelah atas, kondisi planet Bumi 2016. Sebelah bawah, sebagian besar kawasan di planet Bumi berubah merah kurun 1 abad yang akan datang, serupa dengan perubahan suhu dari Zaman Es paling belakangan ke kondisi suhu alam saat ini.



Dalam beberapa dekade mendatang, jika pemanasan global yang makin meningkat ini tidak dapat diatasi dengan efektif, banyak bagian benua-benua akan tenggelam. Perpindahan penduduk dunia besar-besaran dan kerusakan berbagai ekosistem akan terjadi dengan akibat-akibat yang sangat mengerikan dalam nyaris semua bidang kehidupan.

Yang sangat memprihatinkan adalah kenyataan bahwa masih ada sangat banyak orang yang menyangkal fakta perubahan iklim dan pemanasan global ini. Mereka yang disebut sebagai “climate change deniers” sering menggunakan data tidak lengkap atau data yang setengah benar atau dipalsukan dalam banyak perdebatan politik tentang fakta perubahan iklim dunia ini. 

Mereka membangun dan mereka-reka berbagai teori konspirasi global yang melibatkan banyak negara yang, menurut mereka, sengaja memanaskan suhu global lewat cara-cara tertentu. Cara-cara ini dijalankan dan dioperasikan di dan dari banyak lokasi di muka bumi dan juga di angkasa dan di atmosfir untuk mematikan dan menumpas lawan-lawan internasional lewat perang pemanasan global. Fantastis bombastis.

Teori-teori konspirasi global untuk mengubah iklim ini diteruskan dari satu tangan ke satu tangan lain, dari satu medsos ke medsos lain, juga dalam jejaring video Youtube, ranting beranting, oleh organisasi-organisasi tertentu dan individu-individu. Teori-teori konspirasi ngayal dan ngeyel ini dipercaya dan ditelan begitu saja oleh orang-orang yang bodoh, naif dan tak memiliki ilmu pengetahuan dan berwatak mental tertutup dan ideologis buta.



Perubaham iklim itu real, dan sedang mengancam banyak spesies!

Saya pernah mendengar suatu alasan keagamaan dipakai para penyangkal ini, yakni kepercayaan keagamaan pada janji Allah bahwa air bah tidak akan pernah lagi melanda permukaan Bumi sebagaimana diucapkan Allah sehabis air bah melanda dunia konon pada zaman Nabi Nuh seperti dituturkan dalam kitab Kejadian (9:8-17). Mereka memilih untuk jauh lebih percaya pada janji Allah dalam kitab suci Yahudi ini ketimbang pada para saintis masa kini yang menyimpulkan sesuatu berdasarkan bukti-bukti. 

Pada 13 November 2014 sekitar 400 pendemo membenamkan kepala mereka masing-masing ke dalam pasir di Pantai Bondi, Sydney, Australia, sebagai aksi protes simbolik kepada para penyangkal perubahan iklim, sebelum pertemuan para pemimpin negara-negara G-20 yang tahun itu akan berlangsung di Brisbane. Empat ratus orang ini bersujud hingga kepala terbenam dalam pasir tentu bukan untuk menyembah Nyai Loro Kidul di Pantai Bondi itu!

Mereka tidak sedang menyembah sang Dewi Laut loh! Mereka sedang berdemo!

Terkait peningkatan gas-gas rumah kaca seperti COdi atmosfir dan perubahan iklim, studi mutakhir yang dilakukan James T. Randerson (ketua Sains Sistem Bumi, Universitas California, Irvine) sangat menarik untuk diperhatikan./4/

Biasanya orang condong berpikir bahwa kebanyakan gangguan iklim timbul dari panas yang dipantulkan dari mantel gas rumah kaca di atmosfir lalu masuk ke lelautan, yang selanjutnya akan mengubah pola-pola gerak angin yang berhembus di atas benua-benua.

Tetapi studi mutakhir Randerson dkk menemukan bahwa perubahan-perubahan besar dalam curah hujan berasal sebagian dari cara hutan-hutan tropis memberi respons terhadap kelimpahan COyang dibuang manusia ke atmosfir, khususnya yang berada di atas hutan-hutan lebat di Amazon dan di sepanjang benua Asia. 



Interaksi antara hutan-hutan hujan dan peningkatan kandungan CO2 menimbulkan dampak pola-pola perubahan curah hujan yang tak simetris di seluruh hutan tropis. Ada yang sangat kekurangan hujan. Ada yang kelimpahan curah hujan. 

Berikut ini temuan Randerson dkk.

Peningkatan kandungan CO2 dan gas-gas rumah kaca lain di atmosfir diberi reaksi fisiologis langsung oleh stomata atau pori-pori di permukaan bawah daun-daun pada tanaman dan pohon-pohon di hutan-hutan hujan di kawasan lembah luas Amazon, Amerika Selatan. 

Stomata membuka dan menutup ketika tanaman menghirup CO2 yang mereka perlukan untuk tumbuh, dibarengi dengan pelepasan uap air. 

Ketika CO2 tersedia terlalu banyak, stomata tidak terbuka lebar. Akibatnya, volume uap air yang dikeluarkan dan masuk ke atmosfir berkurang. Proses sederhana yang kecil ini pada tetumbuhan, yang menjadi berlipatganda di seluruh hutan hujan, akan menimbulkan perubahan-perubahan pada cara angin bertiup dan aliran embun atau uap air yang datang dari lelautan. 

Makin tinggi tingkat CO2, pepohonan dan hutan-hutan akan menguapkan embun lebih sedikit ke udara sehingga awan-awan akan lebih sedikit terbentuk di atas hutan-hutan Amazon. Alih-alih bergabung dengan awan-awan yang biasanya banyak di atas hutan-hutan Amazon, uap air dari Samudera Atlantik akan bertiup di sepanjang benua Amerika Selatan, langsung menuju rangkaian pegunungan Andes dan di situ turun sebagai hujan di kaki-kaki pegunungan itu dengan memberi sedikit manfaat bagi hutan-hutan hujan di lembah luas Amazon. 

Kalau hutan-hutan hujan Amazon rentan terhadap peningkatan kandungan CO2, hal yang sebaliknya akan terjadi pada hutan-hutan tropis di Afrika Tengah dan Benua Maritim (suatu kawasan luas antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia termasuk Malaysia, Papua New Guinea, dan kepulauan Indonesia yang berpenduduk padat). Di kawasan Afrika dan Asia ini curah hujan diprediksi akan jauh meningkat. 

Respons fisiologis stomata terhadap peningkatan gas CO2 di udara yang telah digambarkan ringkas di atas dan proses yang berlangsung selanjutnya adalah mekanisme alamiah utama yang diprediksi nanti akan menimbulkan kekeringan di hutan-hutan hujan Amazon dan kondisi udara yang lebih basah sekaligus banjir di Afrika dan di Asia, khususnya kepulauan Indonesia dan sekitarnya.

Kekeringan dan kematian hutan-hutan hujan di Amazon dan peningkatan potensial banjir di hutan-hutan tropis lain dapat menimbulkan suatu dampak pada keanekaragaman hayati (biodiversitas), ketersediaan air bersih, dan persediaan makanan bagi populasi-populasi dari golongan ekonomi rentan. 

Kalau kondisi yang diprediksi ini terjadi pada tahun 2100 dst, maka cucu-cucu dan cicit-cicit kita nanti harus mampu untuk membuat curah hujan yang nanti meningkat di Indonesia sebagai peluang untuk menyuburkan tanah Indonesia, bukan untuk menenggelamkannya. Semoga.

Dan kalau anda bukan seorang penyangkal fakta sains perubahan iklim (dus, anda beda dari Donald Trump), sudah seharusnya anda bimbing anak-anak dan cucu-cucu anda untuk tahu dengan betul fakta ini dan akibat-akibat globalnya yang akan timbul bagi manusia dan semua bentuk kehidupan lain.

Paus Fransiskus dan pemanasan global

Pada 18 Juni 2015 Paus Fransiskus menerbitkan sebuah ensiklik dalam lima bahasa yang diberi nama “Laudato Sii”, artinya “Terpujilah”. Ini sebuah langkah penting bukan saja bagi 1,2 milyar umat Katolik sedunia, tetapi juga bagi dunia pada umumnya, yang diayunkan Vatikan.

Ensiklik ini akan menyoroti isu pemanasan global atau perubahan iklim, dalam kaitan dengan isu-isu penting global lainnya, yakni kemiskinan, perekonomian dunia, kerusakan lingkungan hidup, dan etika global.

Dengan jelas Paus Fransiskus mengasalkan pemanasan global pada ulah manusia sendiri, sementara masih ada sangat banyak orang Kristen Barat yang menyangkal adanya pemanasan global atau bahwa pemanasan global timbul karena perbuatan manusia sendiri.

Sang Paus berargumentasi bahwa eksploitasi besar-besaran yang dilakukan manusia terhadap sumber-sumber daya alam planet Bumi telah melampaui ambang-ambang batas daya dukung alamiah planet ini sendiri; akibatnya dunia kini sedang terancam hancur menjadi puing-puing jika tidak ada perubahan besar dan radikal dalam pikiran dan hati manusia sedunia. Jelas, ini adalah sebuah pernyataan yang paling radikal yang dibuat Paus Fransiskus yang memang sudah dikenal suka berbicara lantang./5/

Ancaman serius dari perubahan iklim global yang sedang berlangsung sekarang ini di planet kita, yang akan dapat melemahkan Homo sapiens dan merongrong peradaban spesies ini, sesungguhnya bukan datang dari alam sendiri pada dirinya sendiri, tetapi dari meningkatnya kandungan CO2 di atmosfir Bumi yang berasal dari berbagai bentuk kegiatan dan benda-benda teknologis spesies ini yang menggunakan bahan bakar fosil! 

Gas CO2 yang menumpuk tersebar di atmosfir Bumi, sekali lagi saya katakan, berubah fungsi menjadi semacam selimut tebal yang menghalangi panas dari Bumi dan Matahari dan dari semua kegiatan manusia yang seharusnya terbuang ke angkasa luar; tapi karena adanya selimut tebal CO2, panas ini berbalik arah, kembali masuk ke planet Bumi dan menimbulkan pemanasan global dan perubahan iklim. Fenomena inilah yang dinamakan Efek Rumah Kaca (Greenhouse Effect).




Deskripsi dan visualisasi audiovisual tentang kondisi-kondisi buruk dalam dunia masa kini yang terkait dengan perubahan iklim dan persebaran gas rumah kaca telah disajikan dengan padat oleh Jacob Kastrenakes belum lama ini.

Kastrenakes menegaskan bahwa “tindakan yang segera terhadap perubahan iklim kini telah masuk ke tahap kritis. Selama dua tahun belakangan ini, para ilmuwan PBB telah menerbitkan serangkaian laporan yang sangat mengkhawatirkan, yang pada dasarnya mengatakan bahwa dunia akan berada dalam situasi dan kondisi sangat buruk jika gas rumah kaca tidak segera dikurangi dengan besar-besaran.”/6/

Syukurlah, sementara ini sudah ada langkah-langkah bijak yang kita sedang lakukan untuk mengelakkan ancaman mematikan yang dapat datang dari perubahan iklim, khususnya usaha-usaha untuk menemukan sumber-sumber energi yang tidak berasal dari fosil, atau menemukan sebuah sistem terobosan baru untuk menghasilkan fotosintesis artifisial sebagaimana baru saja sudah berhasil ditemukan (oleh saintis-saintis Peidong Yang, Christopher Chang, Michelle Chang, dan lain-lain) dan masih harus dimatangkan dan dikembangkan. Sistem yang baru ditemukan ini dapat menangkap emisi CO2 sebelum terlepas lalu masuk ke atmosfir, dan mengonversinya menjadi bahan-bahan bakar, plastik, bahan-bahan pengobatan, dan berbagai produk berharga lainnya./7/ 

Dangkal atau salah pengetahuan

Jangan juga dilupakan, denial dilakukan orang beragama karena si agamawan ini tidak atau kurang memiliki ilmu pengetahuan, sehingga buta pada fakta-fakta, atau terus-menerus dicekoki banyak pengetahuan yang salah atau pseudosains oleh para juru propaganda yang berpengetahuan sangat cetek tapi mengklaim diri ilmuwan besar atau berpengetahuan tanpa batas. 

Ya, kata Albert Einstein, hanya kedunguan saja yang tanpa batas. Sebaliknya, pemikiran-pemikiran ilmiah selalu terbatas dan bisa maju terus hanya lewat dialektika tesis-antitesis yang bermuara pada sintesis yang menjadi suatu tesis baru. 

Ketimbang berlelah-lelah mempelajari sains terus-menerus yang membuat setiap orang dapat berpandangan makin jauh dan luas dan mengenal fakta-fakta dengan objektif, seorang agamawan umumnya lebih suka melakukan denial atas semua fakta sains

Denial ini dilakukannya dengan berlindung pada teks-teks suci yang olehnya tidak pernah dengan kritis dipertanyakan kebenarannya, relevansinya, manfaatnya buat dunia dan umat manusia, dan nilai-nilai kebajikannya. Atau dengan menggantungkan diri pada setiap ucapan juru propaganda religiopolitik yang mereka dewakan.

Dalam sikon ini, agama yang mustinya membawa setiap penganutnya ke dalam dunia yang terang dan ke dalam kecerdasan, malah menjerumuskan mereka ke dalam dunia gelap kebodohan dan kedangkalan. Banyak organisasi dengan basis keagamaan (terang-terangan atau tersamar) didirikan dan bergerak untuk tujuan ini: memperbodoh manusia dengan data dan info-info palsu tentang fakta-fakta. 

Misalnya organisasi keagamaan yang sangat aktif mempropagandakan doktrin keagamaan Bumi Datar, Flat Earth, yang jelas-jelas melawan sangat banyak fakta sains yang sudah tidak bisa dibantah lagi. Bahwa planet kita ini datar, bukan cuma sebuah doktrin pinggiran dalam suatu belief system para penyangkal sains ini, tapi sudah menjadi bagian ideologi religiopolitis mereka yang diabsolutkan. 

Nyaris mustahil mengubah mindset atau "setelan pemikiran" mereka sebagai para penganut ideologi religiopolitis Bumi Datar. Saya suka menyebut ideologi Bumi Datar sebagai ideologi Bumi Penyu yang sedang terapung-apung datar sambil berenang di lelautan air jagat raya.

Saya suka juga ibaratkan para pemeluk ideologi Bumi Datar sebagai orang-orang yang mau mati demi keyakinan dan pendapat mereka bahwa seekor gajah yang besar berjalan menggelosor dengan perutnya, bukan dengan empat kakinya yang besar. Bagi mereka, gajah itu ular, dan ular itu gajah.




Bagaimana, apakah kalangan Bumi Bulat dan kalangan Bumi Datar (kalau mau ditambah lagi, ya kalangan Bumi Donat yang sudah digigit putus seperenam bagiannya), bisa berdamai, berjabat tangan? Misalnya, keduanya sepakat ganti keyakinan bahwa Bumi itu berbentuk sebuah kue pastel atau sebuah kue serabi? Mustahil! 

Akar persoalannya bukan pada fakta sains bahwa Bumi itu bulat, tapi pada rasa terancam dalam diri kalangan pembela Bumi Datar bahwa literalisme skriptural sebagai ideologi religiopolitik mereka akan lenyap! Yang terjadi adalah konfrontasi antara sikap prosains dan sikap antisains, antara bukti dan khayalan, antara kecerdasan dan kebodohan, antara kemajuan dan kemunduran.

Begitu juga, sains evolusi biologis, evolusi kosmik, dan evolusi sosialbudaya, yang sudah teruji oleh banyak bukti lintasilmu, dilecehkan dan dibuang begitu saja oleh sangat banyak penganut agama-agama karena mereka telah menjadi korban cekokan pseudosains yang dinamakan kreasionisme, Intelligent Design”, dan Bumi Usia Muda” (Young Earth).

Bumi usia muda? Ya, maksudnya: umur planet Bumi kita, bagi mereka, baru 6.000 tahun, paling banter 8.000 hingga 10.000 tahun, padahal lewat kajian ilmiah kita ketahui bahwa usia sistem Matahari kita, termasuk planet Bumi, 4,6 milyar tahun./8/

Sesungguhnya, pseudoscience atau junk science sedang mengancam generasi muda banyak agama di dunia dewasa ini, yang lebih memilih denial ketimbang menerima fakta-fakta ilmiah.

Pseudoscience atau sains gadungan, sesuai namanya, adalah sekumpulan kepercayaan atau tindakan-tindakan yang dengan keliru dipandang ilmiah, padahal tidak dibangun berdasarkan fakta-fakta ilmiah dan metode-metode riset ilmiah.

Cara paling mudah untuk mencirikan suatu sains itu sains gadungan adalah dengan memperhatikan sikap dan perilaku si penyusunnya: jika dia merasa selalu terancam dengan teori-teorinya dan tidak bersedia ditantang oleh para saintis lain untuk dengan terbuka membuktikan kebenaran atau kesalahan teori-teorinya, dan kegunaannya untuk dunia keilmuan yang lebih luas dan terus berkembang lewat debat tesis versus antitesis, maka dia adalah seorang saintis gadungan./9/

Jika anda belum tahu apa itu junk science, baiklah saya jelaskan. 

Sulit mencari terjemahan yang pas untuk junk science. Perbolehkan saya menyebutnya sains rongsokan”, yaitu hal-hal yang diklaim ilmiah tetapi sesungguhnya tidak pernah terbukti, atau telah terbukti salah total, tidak memiliki basis keilmuan yang akurat, dan, ini yang terpenting, digunakan untuk menggolkan tujuan-tujuan sosioekonomi dan sosiopolitik seseorang atau sekelompok orang

Yang mereka perjuangkan dan kedepankan bukan ilmu pengetahuan, tetapi ideologi atau worldview mereka; dan sains digunakan sekenanya hanya sebagai pupur kosmetik saja.

Pada intinya, junk science adalah kepentingan sosiopolitik dan ekonomi yang dibungkus tidak rapi dengan dalih-dalih rongsokan yang diklaim ilmiah dengan memakai landasan bukti-bukti, data serta info palsu, reka-rekaan atau periferial. 

Para pembela junk science ya bukan saintis, tetapi orang-orang yang mencari dan mengejar keuntungan ekonomi dan politik lewat proposisi-proposisi teoretis yang mereka bangun sendiri yang diklaim ilmiah oleh mereka sendiri. 

Para junk scientists adalah para pelacur gelandangan dalam dunia sains, sama sekali bukan para saintis. Merekalah para juru kampanye getol post-truth atau disinformasi dan hoaxes besar-besaran lewat berbagai medsos dan media publik lain. 

Karena imbalan yang besar, mereka sengaja memutarbalik scientific truth dan menggugah emosi orang habis-habisan dan membendung akal orang supaya para korban mereka menerima kibulan besar alias bulsar alias hoax yang mereka gencar sebarkan sebagai fakta dan kebenaran final. Dalam dunia lamunan aneh mereka, bulsar menjadi fakta, dan fakta menjadi bulsar. Inilah karakter zaman yang dinamakan post-truth era.

Perlu dicatat, dunia ilmu pengetahuan sama sekali tidak mengenal era post-truth, era yang kelahirannya sangat kuat dibidani epistemologi filsafat postmodernisme Prancis yang dengan kuat menolak adanya kebenaran ilmiah yang objektif.

Dalam analisisnya atas filsafat posmodernisme, Helen Pluckrose menulis bahwa para penganut posmodernisme membangun "suatu cara berpikir yang pada hakikatnya penuh kontradiksi dan inkonsistensi, yang menyangkal adanya suatu realitas yang stabil atau pengetahuan yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan. Hal terpenting adalah bahwa para posmodernis menyerang sains dan tujuan-tujuannya untuk mendapatkan pengetahuan yang objektif tentang suatu realitas yang ada, lepas dari persepsi-persepsi manusia. Bagi mereka, sains (empiris) hanyalah suatu bentuk lain dari ideologi yang dikonstruksi dan dikuasai oleh kelompok borjuis dan asumsi-asumsi Barat. Mereka menolak klaim adanya objektivitas sains dan pengetahuan yang diperolehnya dengan mengikatkan sains pada pemerintah dan kekuasaan. Bagi mereka, bukti-bukti empiris yang diajukan sains mencurigakan, tak dapat dipercaya; begitu juga halnya dengan ide-ide yang dominan dalam suatu kebudayaan, termasuk sains, nalar dan liberalisme universal."/10/

Nah, pengaruh para pelacur gelandangan di dunia ilmu pengetahuan ini bisa luas khususnya di kalangan yang buta ilmu pengetahuan, atau di kalangan penganut ideologi sektarian separatis dan kaki-tangan mereka, yang luar biasa sangat fanatik mempertahankan pandangan dunia atau ideologi miring mereka, entah ideologi sekular atau ideologi keagamaan. Kebutaan, bulsar, fanatisme dan propaganda disinformasi itu saudara-saudara kembar. 

Amygdala yang tidak aktif

Kita semua sudah tahu bahwa sesuatu yang kita lakukan terus berulang-ulang, akan menjadi bagian dari kebiasaan kita yang akhirnya mendarahdaging, lalu menjadi watak yang menetap sebagai bagian dari jati diri kita. Begitulah yang akan terjadi pada anda jika anda tidak henti-hentinya menyangkal fakta-fakta. Hidup “in denial of reality” akan menjadi watak anda. 

Jika sesuatu itu A, tetapi anda terus menyangkalinya dan anda terus ngotot menyatakan itu B, maka denialisme sudah menjadi kebiasaan anda. Mengatakan B tentang sesuatu yang sebenarnya A, sama artinya dengan berdusta, berbohong, dalam tingkat patologi mental yang sudah parah. 


Satu kali bohong, amygdala sangat aktif memperingatkan anda. Sering bohong, amygdala akhirnya tidak aktif lagi. BOHONG atau SANGKAL FAKTA pun menjadi WATAK anda! OTAK anda menyesuaikan diri pada kemauan dan kelakuan anda loh!

Para neurosaintis sudah menemukan bukti-bukti bahwa ketika anda pertama kali berdusta atau menyangkal fakta, emosi anda terusik dan memperingatkan anda bahwa kelakuan anda itu tidak benar dan tidak sesuai dengan citra diri dan martabat anda. Pada saat kondisi ini terjadi dalam mental anda, pusat emosi dalam organ otak anda yang dinamakan amygdala terpindai sangat aktif.

Tetapi ketika anda selalu melawan peringatan mental yang muncul lewat aktivitas kuat amygdala, dan mengabaikan peringatan ini berkali-kali, maka aktivitas amygdala makin lemah, dan akhirnya menjadi kurang atau tidak aktif pada saat-saat selanjutnya ketika anda berdusta atau menyangkali fakta-fakta. Saat amygdala sudah tidak aktif lagi, maka berbohong dan menyangkal fakta-fakta sudah menjadi kebiasaan anda, dan lebih buruk lagi: sudah menjadi bagian dari watak anda. Tentang kajian ini, lihat Neil Garrett, Stephanie C. Lazzaro, et al., The Brain Adapts to Dishonesty”./11/ 

Dusta, kebohongan, dan hidup dalam penyangkalan atas fakta, tidak melukai akal dan batin anda lagi. Gerigi tajam cakram nurani anda semua sudah tumpul, tidak menusuk, dan tidak menimbulkan rasa sakit lagi saat berputar; dan yang menumpulkannya adalah anda sendiri dan kelompok anda. 

Anda bayangkanlah, masyarakat jenis apa yang terbentuk jika semua warganya sudah terperosok ke dalam kondisi mental semacam itu! Inilah yang saya sudah sebut di awal tulisan ini sebagai efek bumerang sebagai muara dari terus-menerus hidup in denial of reality. Tentu saja menyedihkan, dan menyeramkan.

Ingatlah, penyangkalan atas fakta atau dusta dan kebohongan itu bak sebuah bola salju yang sedang menggelinding di atas hamparan luas salju: semula bolanya kecil, makin lama niscaya makin besar, makin besar, dan terlihat mengerikan! Inilah A SNOWBALL EFFECT.

Ini juga ibarat anda tergelincir dari puncak sebuah lereng luas yang licin. Makin lama, makin ke bawah, tubuh anda menggelinding dengan makin cepat, dan bisa berakhir dengan benturan keras tubuh anda dengan sebuah batu besar atau sebuah pohon besar, yang akan merenggut nyawa anda. Inilah yang disebut A SLIPPERY SLOPE. 

“Playing the victim  

Dalam kondisi yang sudah sangat parah, hidup in denial pada akhirnya bermuara bukan saja pada sindrom efek bumerang, tetapi juga pada apa yang para psikolog dan psikiater namakan sindrom self-victimization atau playing the victim atau victim playing. Prosesnya umumnya berlangsung begini: Si A yang keji, jahat dan tidak bermoral, yang nuraninya sudah mati, sudah berulangkali mau mengorbankan si B, si C, si D hingga si Z, dan komunitas-komunitas mereka masing-masing, lewat cara-cara yang keji, bejad, tak masuk akal, dan melawan hukum. 



Self-victimization alias pura-pura menjadi korban atau mangsa, padahal predator!

Si A semula sangat yakin segala cara yang dia telah dan sedang jalankan akan berhasil membuat lawan-lawannya menjadi korban-korban yang jatuh bergelimpangan dan sekarat. Tetapi ketika waktu berjalan, calon-calon korban si A malah terlihat bertahan kokoh dan akhirnya malah berada di atas si A.

Melihat situasi dan kondisi yang berbalik arah ini, dan mengetahui dirinya bisa terancam bahaya dan pembalasan, si A yang mulai stres berat segera memainkan peran sebagai korban atau mangsa lawan-lawannya semula, tidak lagi sebagai predator atau pemangsa atau orang yang akan mengorbankanIbaratnya, anak-anak panah yang semula dia lepaskan dengan kencang ke lawan-lawannya kini dia lesatkan kepada dirinya sendiri. Self-victimization. Caranya? 

Ya, si A dengan licik mulai menyusun dan menyebarkan narasi-narasi fiktif lewat berbagai saluran yang menggambarkan dirinya seolah-olah sedang menjadi bidikan lawan-lawannya itu untuk dikorbankan dan dibinasakan. Korban sekarang diarahkannya sendiri kepada dirinya sendiri, bukan kepada lawan-lawannya. Di saat inilah “the straw man fallacy” juga bekerja.

Dalam ketidakberdayaan dan bayangan jelas akan mengalami kekalahan yang besar, tujuan si A menebar narasi-narasi rekaannya itu tidak lain adalah untuk, lewat kamuflase, menarik perhatian orang, simpati, belas kasihan dan pembelaan masyarakat atau orang lain kepada dirinya sendiri. Bersamaan dengan itu, si A tak henti-hentinya menggempur gambar reka-rekaannya sendiri tentang diri lawan-lawannya. Si A berharap, segmen masyarakat yang tak berakal dan sangat emosional juga akan tergiring ikut menggempur dan merobohkan lawan-lawannya. 

Jika si A makin piawai memainkan peran sebagai korban, maka si A lazimnya dijuluki sebagai korban profesional

Untungnya, dalam kebanyakan kasus, strategi self-victimization atau playing the victim tidak efektif, alias gagal total. Ya namanya juga playing alias pretending. Tidak ada orang yang cerdas dan kritis dan tahu sikon yang real yang mau masuk perangkap strategi orang yang telah kalah ini. Ketika ini terjadi, denial dalam dirinya makin kuat dan makin kuat terus. Perlu ada pertolongan terulur kepadanya dari para pakar kesehatan.

Disonansi Kognitif

Ada suatu sindroma lain yang juga masuk ke dalam kategori denialisme, yakni sindroma Disonansi Kognitif (DK). Uraian yang segera saya berikan ini adalah parafrasis dari teori DK yang awalnya diajukan oleh Leon Festinger dkk./12/

Setiap gerakan sosial (religius, politis, ekonomis, ekologis, militeristik, dll) pasti memiliki dan mempertahankan seperangkat ide-ide, nilai-nilai, wacana, keyakinan, komitmen, visi dan misi, cita-cita, tujuan dan target serta sasaran, metode, dan sarana serta wahana pelegitimasi ide-ide ini, yang keseluruhannya lazim dinamakan ideologi.

Banyak komunitas sosial ideologis mengalami fakta real yang berat dan membuat hati dan pikiran galau dan tertekan (segi “kognitif”), yakni ideologi dan target atau tujuan ideologis mereka gagal diwujudkan, atau meleset dan lari dari fakta-fakta nyata (segi “disonansi”) dalam masyarakat dan dunia.

Alih-alih bersikap luwes mencari dan merumuskan ideologi baru dengan target yang berbeda, kegagalan ideologis yang telak ini malah dengan sangat kuat mendorong komunitas sosial pendukungnya untuk mati-matian mencari dan menemukan berbagai cara dan jalan untuk tetap mempertahankan komunitas mereka dan, lewat akal-akalan, membenarkan ideologi mereka yang sudah jelas-jelas gagal atau meleset.

Usaha yang paling umum dilakukan adalah mengakal-akali ideologi dan pergerakan mereka yang sudah gagal telak atau sudah lari dari fakta-fakta, supaya jadi tampak betul dan tidak atau belum gagal.

Ketimbang pakai nalar dan analisis rasional, para korban DK memakai cara akal-akalan atau, memakai terma yang keren, rasionalisasi. Kiat akal-akalan ini menjadi benteng perlindungan mereka dalam sikon mental DK yang sedang mereka tanggung dengan sangat menyakitkan. 


Beberapa contoh akal-akalan atau rasionalisasi yang dilakukan para pengidap DK perlu diberikan.

Meski berbenturan keras dengan kalkulasi kosmologis modern bahwa jagat raya kita sudah berusia 13,7 milyar tahun (sejak big bang), para literalis skriptural tetap ngotot berkeyakinan bahwa apa yang ditulis dalam kitab suci mereka bahwa langit dan Bumi diciptakan dalam enam hari tidak bisa salah. Kok bisa? 

Ya, sebab mereka sudah merasionalisasi bahwa yang dimaksud dengan satu hari dalam kitab suci mereka bukan durasi 24 jam, melainkan 1.000 tahun. Sebab, kata mereka, dalam pikiran Tuhan 1 hari itu bisa seribu tahun atau seribu tahun itu sama dengan 1 hari. Tetapi rasionalisasi ini menjerumuskan mereka ke dalam satu ideologi religiopolitik lain yang sama irasionalnya, yang dinamakan ideologi Young Earth, ideologi planet Bumi ini baru berusia 6.000 tahun, paling banter 6.000 tahun ditambah 2.000 tahun (20 abad sejak kelahiran Yesus).

Satu contoh lagi. Di kalangan sekte Akhir Zaman (terma kerennya sekte Apokaliptik) dalam setiap agama, selalu ada suatu keyakinan kuat religiopolitis tentang kapan dunia ini akan persis berakhir tuntas, atau kapan kiamat besar akan persis terjadi, lewat berbagai kejadian dahsyat buatan manusia di Bumi atau lewat bencana alam yang mengerikan di Bumi atau yang berasal dari angkasa luar. 

Selalu ada hitungan bilangan-bilangan yang dipadukan dengan simbol dan tanda rahasia yang, mereka klaim, hanya bisa ditafsir guru-guru spiritual mereka dalam menghasilkan tabel waktu yang akan memuncak dalam akhir zaman.

Tentu saja sejak ribuan tahun lalu, tabel waktu kapan jagat raya ini musnah yang disusun sekte-sekte Akhir Zaman dalam semua agama (yang tradisional dan yang modern) tidak pernah ada satu pun yang tepat. Semuanya meleset, dan fakta meleset ini menimbulkan kegalauan mental yang berat. 

Untuk mengatasi DK ini pemimpin-pemimpin setiap sekte itu biasa mengajukan rasionalisasi dan penyusunan ulang tabel waktu kapan akhir zaman akan tiba. Salah satu penjelasan akal-akalan yang kerap diajukan adalah: Oh Sang Pencipta masih memperpanjang umur jagat raya sebagai kesempatan tambahan untuk para pagan bertobat, masuk ke sekte kami, alhasil terhindar dari kebinasaan, karena mereka sudah akan diangkat ke langit sebelum Bumi musnah.

Atau, kegagalan jadwal waktu kiamat itu mereka rasionalisasi sebagai akibat ketidakcermatan guru-guru spiritual mereka (yang anehnya mereka percayai tidak bisa salah) dalam menemukan, menafsirkan dan memperhitungkan semua bilangan, simbol dan tanda rahasia yang tertulis dalam teks-teks keagamaan mereka atau terukir pada benda-benda atau relik-relik keramat milik sekte mereka.

Begitulah sikap mental kalangan yang sedang terkena DK. 
Dekonstruksi dan rekonstruksi rasional, bernalar dan ilmiah tidak mereka adakan atas ideologi mereka. Hanya akal-akalan sebagai satu-satunya jalan untuk menyelamatkan eksistensi sekte-sekte mereka. 

Oh ya, patut anda ketahui satu fakta ini: para penawar dan tenaga pemasaran produk-produk dagang di masa kini juga piawai menjalankan usaha-usaha rasionalisasi ketika produk-produk ini tidak memikat hati calon-calon pembeli, dan mereka terancam gagal dalam pekerjaan mereka.

Mari kita lanjutkan. Ketika akal-akalan mereka tidak diakui dan tidak diterima dunia luar (tentu saja!), mereka malah makin percaya bahwa akal-akalan mereka makin benar. Kalau orang lain  menolak mereka, mereka akal-akalan lagi dengan mendeklarasikan keyakinan fanatik mereka bahwa “Tentu saja kami ditolak, karena kami komunitas istimewa (dapat dibaca: komunitas milik Tuhan), sedangkan mereka yang di luar tidak istimewa (dapat dibaca: komunitas kafir, kepunyaan Setan).”

Lalu, sebagai kompensasi dari kegalauan dan depresi kognitif yang timbul karena kegagalan atau disonansi ideologi dan keyakinan mereka semula, mereka mengumbar desakan depresi kognitif ini keluar, lewat kegiatan besar evangelisasi, yakni merayu dan mencari para pengikut baru lewat propaganda gencar dan penuh tipu muslihat ideologi mereka yang sudah keliru dan, karenanya, diakal-akali semampu mungkin supaya tampak tidak keliru. 


Tujuan evangelisasi propagandis ideologi ini ya jelas: untuk mendapatkan ketenangan batin jika, dengan memakai segala cara, masih ada orang yang mau masuk ke komunitas mereka yang faktual sudah gagal.

Bagi mereka, sekalipun ideologi mereka sudah terbukti salah dan lari dari fakta, tapi jika ada anggota-anggota baru yang masuk, itu adalah bukti bahwa ideologi mereka yang sudah salah itu dapat dipercaya lagi sebagai sebuah ideologi yang benar. Buktinya? Tuh ada petobat dan anggota baru. Jadi, sudah salah tapi tetap yakin benar. Tentu saja, petobat atau anggota baru ini juga mengidap sindroma DK.

Kondisi itu bak seekor kucing yang sibuk bermain mengejar buntutnya sendiri. Tak ada jalan keluar. Tak ada yang diraih. Tapi hanya muter-muter di tempat, puyeng sendiri, mabuk sendiri, stres sendiri, karena mereka terus-menerus lari dari fakta yang telah sangat melukai mereka. 


Itulah kondisi mental kognitif siapapun yang terkena sindroma DK. Pada satu sisi, mereka hebat karena gigih; pada sisi lainnya, mereka buta dan kerdil karena gigih dan bertahan dalam kegagalan dan dalam pelarian dari fakta-fakta yang sedang dan terus menggigit dan mengunyah jantung mereka.

Terkait disonansi kognitif, saya mau lanjutkan dengan sebuah kisah nyata yang dialami penulis novel yang terkenal Fyodor Dostoyevsky dan refleksi saya sendiri atas kasus si novelis ini./13/ 

Di tahun 1867, Fyodor Dostoyevsky, untuk pertama kali di Museum Seni Basel melihat lukisan asli Hans Holbein yang diberi judul "Tubuh Kristus Yang Wafat dalam Makam” (terlampir di bawah ini, zoom-in gambarnya). Karena penasaran, dia ambil sebuah bangku lalu dinaikinya supaya dapat lebih dekat dan lebih jelas melihat lukisan itu. 

Setelah menatap lukisan itu beberapa waktu dengan detail, Dostoyevsky kehilangan kepercayaan Kristennya. Baginya, mustahil jenazah yang ada dalam kondisi yang sangat mengerikan itu bisa bangkit dari kematian. Padahal sebelumnya dia seorang yang sangat religius yang dibesarkan dan matang dalam tradisi spiritual Ortodoks Byzantium/Russia. 



Kenapa hal itu terjadi pada Dostoyevsky? 

Dostoyevsky kehilangan kepercayaan Kristennya karena dia sudah terbiasa menjalani kehidupan spiritual Gereja Ortodoks yang memiliki tradisi ikonografi yang nonbiologis, nonhistoris dan non-naturalistik dalam menggambarkan makna kehidupan, azab dan kematian Yesus. Bagi mereka, makna Yesus cukup diimani saja, dan dihayati lewat ritual, tak perlu dibuat dan diungkap secara naturalistik biologis historis.

Gereja Ortodoks Timur lebih menekankan makna spiritual, religius, mistikal, transhistoris dan transendental dari sosok Yesus. Mereka memandang gambaran-gambaran atau ide-ide biologis naturalistik tentang Yesus yang menjadi ciri kuat ikonografi Barat seperti ditampilkan lukisan Hans Holbein tidak pas bagi orang Kristen Ortodoks. 

Benturan kognitif dan kultural dua jenis ikonografi yang dialami Dostoyevsky ini memicu pergumulan berat yang bermuara pada kehilangan kepercayaan Kristennya. Wajahnya pucat pasi setelah dia turun dari bangku yang dinaikinya. Dia secara intuitif refleks memilih untuk percaya pada pandangan biologis ketika melihat fakta tubuh Yesus yang sudah tak bernyawa, ketimbang tetap meyakini kepercayaan mistikal transendental dan ritualistik Gereja Ortodoks Timur.

Kasus Dostoyevsky ini dicatat dalam sebuah memoar karya istrinya dan secara tak langsung diungkap dalam satu atau dua bagian panjang dari novel karya Dostoyevsky sendiri yang berjudul Idiot oleh satu atau dua karakternya, misalnya Ippolit, Myshkin dan Rogozhin.

Apa yang terjadi pada Dostoyevsky ini adalah sebuah contoh bagus tentang krisis kognitif. Kasus ini memperlihatkan bahwa kepercayaan keagamaan kita yang dibentuk dan dibangun oleh tradisi-tradisi spiritual dan ikonografis di dalam suatu kebudayaan di mana kita dibesarkan dan matang, dapat menimbulkan krisis kognitif dalam diri kita ketika kita bertemu dengan tradisi-tradisi spiritual dan ikonografis yang berbeda. 

Krisis kognitif ini dapat dimuntahkan dan disalurkan dalam lebih dari satu sikap dan perilaku untuk mendapatkan kelegaan kembali. 

Yang negatif adalah jika krisis ini dimuntahkan lewat tindakan dan kelakuan yang agresif dan destruktif, dan ketertutupan yang makin kuat sebagai satu ciri utama disonansi kognitif. 

Reaksi negatif itu langsung memicu pelatuk “backfire effect”: si individu yang sedang terkena krisis ini menyerang balik dengan keras tradisi lain dan para penganutnya yang telah sangat mengejutkannya sekaligus membangkitkan dorongan kilat dan gulat dalam dirinya untuk membela dan mempertahankan mati-matian tradisinya sendiri yang berbeda. 

Percuma berbicara baik-baik dengan orang yang sedang terserang efek bumerang! Jauhi mereka. Biarkan mereka membabibuta sendiri, sampai kelelahan sendiri.

Yang positif adalah jika krisis kognitif ini memacu si individu untuk mengevaluasi ulang keyakinan, pandangan, sikap dan kelakuan keagamaannya selama ini, lalu si individu itu memutuskan untuk berubah ke arah yang lebih baik bagi dirinya sendiri dan bagi masyarakatnya.

Sebetulnya, supaya krisis kognitif tidak terjadi dengan sangat dalam, menyentak dan melukai, jalan keluarnya adalah sejak awal kehidupan keagamaan kita, sebaiknya kita sudah diperkenalkan pada anekaragam tradisi-tradisi spiritual dan ikonografis yang ada di luar komunitas keagamaan kita sendiri. 

Pendek kata, kita perlu dibimbing dan dilatih sejak awal untuk menjadi warga dunia agama-agama meskipun kita mangkal tetap di satu tradisi. 

Para pembimbing kita tentu saja orang-orang yang mumpuni, tak boleh orang yang sembarangan, yang tak punya pengetahuan luas, pengalaman panjang, dan kearifan yang dalam dan lebar.

Kata Konfusius, “Hakikat pengetahuan adalah: jika anda mempunyai pengetahuan, terapkan dan jalankanlah. Jika anda tidak punya, ya akui anda tidak punya, jangan sok tahu.” Nah, ucapan Konfusius ini perlu menjadi bagian dari kesadaran para pembimbing yang mumpuni itu, yang memang kita perlukan.

Terkena psikosis

Penyangkalan total atas fakta-fakta adalah bagian dari gangguan mental yang dalam psikiatri dinamakan psikosis yang membuat seseorang hidup tidak di dalam dunia real dan faktual. Psikosis perlu diketahui dan dipahami sebab kondisi psikotik dialami banyak orang.

Pengalaman psikotik didefinisikan sebagai pengalaman terlepas dari dunia nyata, masuk ke dalam halusinasi (antara lain mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang tidak ada) atau delusi (kepercayaan yang salah, namun dipercaya betul sebagai fakta, misalnya percaya bahwa diri sedang dikuntit oleh sesuatu, organisme alien misalnya, atau yakin betul bahwa diri sendiri hebat, agung dan besar, padahal faktanya berjiwa ringkih dan kerdil).

Umumnya kondisi psikotik terjadi jika orang mengalami kelainan kepribadian (menderita psikopati, misalnya), serangan stres pasca-trauma (PTSD), mental yang kompulsif dan obsesif, menderita tumor otak, penyakit thyroid, epilepsi, terkena infeksi tertentu atau karena obat-obatan. Kaum perempuan juga kerap mengalami kondisi psikotik setelah ditinggal mati oleh orang yang mereka kasihi, atau setelah melahirkan anak. Kondisi psikotik semacam ini banyak yang bermuara pada penyakit mental skisofrenia atau berkepribadian ganda, sementara ada yang tidak berkembang buruk ke situ.

Dari penelitian lapangan yang baru-baru ini diadakan oleh WHO terhadap 31.261 orang di 18 negara terkait kesehatan mental mereka, ditemukan fakta-fakta berikut ini:

• Pengalaman-pengalaman psikotik sedikit lebih umum di kalangan perempuan ketimbang di kalangan pria. Di antara perempuan yang disurvei, 6,6 persen telah mengalami halusinasi atau delusi pada suatu saat dalam kehidupan mereka, sementara pria hanya 5 persen.

• Orang yang hidup tidak kawin, dan para pengangguran atau yang berpenghasilan minim, lebih sering terkena pengalaman psikotik, dibandingkan orang yang menikah dan memiliki pekerjaan tetap. Pengalaman psikotik terjadi lebih banyak di negara-negara yang penduduknya memiliki penghasilan tinggi atau menengah (lantaran mereka umumnya memikul ambisi, keinginan, harapan, cita-cita dan target kehidupan yang tinggi), jika dibandingkan di negeri-negeri yang warganya berpenghasilan kecil (karena orang kecil, sederhana dan miskin umumnya tidak suka ngeyel; tapi hidup seadanya saja).

• Halusinasi atau delusi kadangkala dapat dialami sebagai bagian normal kehidupan mental oleh orang-orang yang bermental sehat, tanpa disebabkan oleh obat-obatan, alkohol, atau mimpi-mimpi atau keadaan ragawi yang buruk.

Satu dari antara dua puluh penduduk pada umumnya mengalami kondisi psikotik semacam ini, khususnya saat mereka sedang mengalami kedukaan mendalam karena ditinggalkan kekasih-kekasih mereka. Dalam kondisi ini, mereka dapat mendengar suara almarhum atau melihat sosoknya lewat di depan mereka. Halusinasi semacam ini wajar, bukan penyakit, dan tidak akan berkembang memburuk ke skisofrenia. Kondisi ini adalah bagian dari proses mental melewati dan mengatasi masa-masa kedukaan yang dalam, bisa singkat atau bisa memakan waktu panjang.

Masih harus dikaji, mengapa dapat ada dua jenis pengalaman psikotik (yang dapat memburuk dengan muara pada skisofrenia; dan yang wajar terjadi pada orang yang sehat secara mental), dan apakah mekanisme mentalnya sama atau berbeda untuk dua jenis psikosis ini./14/

Bagaimana pun juga, penyakit psikosis adalah suatu gangguan mental yang sangat mengganggu dan tidak berkontribusi positif terhadap usaha membangun kehidupan masyarakat yang sehat dan bergerak maju.

Mental pecundang  

Ketahuilah juga, siapapun yang mati-matian hidup “in denial” dan membela taklid buta ideologi apapun (yang religius dan yang non-religius), pada akhirnya akan menjadi para pecundang, kalah, dan mau tak mau akan berakhir dalam kematian dan kepunahan, secara individual dan secara kolektif. Mengapa?

Ini jawabannya: Adaptasi, fleksibilitas, keterbukaan terus-menerus pada pembaruan, penyesuaian dan perubahan, dan dinamika, akan membuat siapapun dan ideologi apapun bertahan, berkembang dan makin bermanfaat buat pembangunan kemanusiaan dan peradaban. Inilah hukum evolusi yang berlaku di seantero jagat raya. Evolusi alamiah membutuhkan waktu sangat panjang. 

Kini, dengan bantuan sains-tek modern, kita dapat mempercepat jalannya evolusi dalam bidang apapun, menjadi superevolusi, termasuk mempercepat evolusi fisik dan mental Homo sapiens lewat teknik rekayasa genetik pada embrio manusia, yang dinamakan DNA-editing (CRISPR-Cas9) yang kini tekniknya sudah makin bervariasi dan makin cermat.

Sesuatu yang hidup itu pasti berubah; hanya sesuatu yang sudah mati tidak berubah lagi. Hanya sesuatu yang berubah, akan punya masa depan, karena dimensi ruangwaktu dalam jagat raya ini tidak statis, tetapi dinamis, terus mengembang, tanpa garis akhir.

Jalan keluar

Apakah ada jalan keluar untuk kita bisa terbebas dari kekuatan denialisme dalam segala bidang kehidupan kita? Menurut saya, ada. 

Hanya orang yang melihat hidup beragama sebagai hidup dalam suatu ziarah yang belum selesai, dan yang terus-menerus membuka diri pada berbagai kemungkinan baru di masa depan, kemungkinan-kemungkinan baru yang juga ditawarkan sains modern, dan menempatkan kejujuran, kebaikan hati dan kemanusiaan jauh di atas agama atau ideologinya, akan bisa luput dari kekuatan denialisme, yang setiap saat bisa mendatangi dan mengancamnya. 

Hanya jika orang sudah bisa berpindah dari kesadaran naif dan picik, masuk ke kesadaran kritis dan membebaskan, dalam hubungan dirinya dengan dunia ide-ide apapun atau dengan kondisi-kondisi apapun, akan dapat lepas dari denialisme lalu akan dapat hidup dengan autentik dan bermarwah. Di tangan orang-orang semacam inilah agama, politik dan ide-ide besar dan kehidupan akan memberi manfaat besar bagi umat manusia.

Supaya dalam segala hal anda tidak terjatuh ke dalam denialisme, ujilah setiap fenomena lewat tiga sarana berikut ini dengan seksama. 

Pertama, pakailah sarana ilmu pengetahuan saat anda mau mengetahui mana fakta dan mana fiksi, mana sejarah dan mana mitos, dan dengan landasan ilmu pengetahuan ambillah fakta dan buanglah fiksi (atau kenalilah fiksi ya sebagai fiksi, tak perlu ditelikung menjadi fakta-faktaan), raihlah sejarah dan singkirkan mitos (atau kenalilah mitos ya sebagai mitos, tak perlu dipelintir menjadi sejarah-sejarahan).

Kedua, pakailah sarana hati nurani yang jujur dan cerdas dalam anda menjatuhkan pilihan saat anda berhadapan dengan kebenaran atau kebohongan, kebaikan atau keburukan. Hati nurani dapat diandalkan sejauh menerima masukan tentang berbagai hal dari ilmu pengetahuan.

Ketiga, jadikanlah martabat diri anda sebagai fondasi moral saat anda harus memilih apapun, alhasil anda tidak akan menjual diri anda berapapun harga yang ditawarkan. Dengan mempertahankan martabat atau marwah diri anda, anda akan selalu bisa menjadi seorang mahatma. 

Selain itu, kita bisa melakukan sesuatu yang akan menolong teman-teman atau anggota keluarga kita yang sedang hidup dalam penyangkalan atas fakta-fakta dan kebohongan yang terus-menerus. 

Yaitu, kita perlu membangun komunitas-komunitas alternatif yang berbeda ideologi, pilihan pengetahuan, nilai-nilai dan cara hidup, yang menolak denialisme dan menerima fakta-fakta dengan terbuka. 

Orang-orang yang sedang terpenjara dalam denial perlu kita bawa dan libatkan dalam pergaulan yang menetap dan percakapan yang ramah dan bersahabat dengan anggota-anggota komunitas-komunitas alternatif ini, untuk mereka akhirnya dapat memandang dunia ini dengan lebih luas dan tidak melarikan diri dari fakta-fakta, lalu mengalami perubahan dan kesembuhan mental.

Penutup

Jika ada orang yang ngotot bertahan terus dalam denial, ini nasihat saya: Jika anda punya mata, janganlah melihat. Jika anda punya telinga, janganlah mendengar. Sebab anda mau lihat dan dengar hanya hal-hal yang anda mau lihat dan dengar saja, padahal realitas yang ada berbeda sama sekali. 

Hiduplah terus di luar masyarakat umum, di luar realitas objektif, sampai anda wafat tanpa makna sama sekali. Anda pernah hidup tapi seolah anda tak pernah hidup. Anda pernah ada, tapi seolah anda tidak pernah lahir. Kesia-siaan.

Tetapi jika anda terbuka menerima fakta-fakta, sekalipun fakta-fakta ini tidak sejalan dengan kemauan dan keyakinan anda semula, atau semula menyiksa anda, dan anda seterusnya berubah, dan mau hidup realistik, anda adalah seorang besar.

Akhirulkalam, mari kita keluar dari denialisme, jangan biarkan diri kita terus dipenjara olehnya, supaya kita bisa menyumbang sesuatu yang bermakna dan agung buat dunia ini, buat ilmu pengetahuan, buat agama-agama, buat ide-ide besar, dan buat kemanusiaan global.

"Mengapa ilmu pengetahuan tidak berkembang di banyak negara? Ya karena pemerintah dan rakyatnya memilih hidup IN DENIAL."

31 Juli 2012
ioanes rakhmat 

Note:
Editing mutakhir 16 Juli 2022


Catatan-catatan

/1/ Lihat Kübler-Ross, On Death and Dying: What the Dying Have to Teach Doctors, Nurses, Clergy and Their Own Families (New York, etc.: Scribner, 1969; edisi tahun 2014 dilengkapi kata pengantar oleh Ira Byock. Edisi paperback Agustus 2014). Lebih jauh, lihat juga Kübler-Ross dan David Kessler, On Grief and Grieving: Finding the Meaning of Grief Through the Five Stages of Loss (kata pengantar oleh Maria Shriver; New York, NY.: Scribner, 2005. Edisi paperback Agustus 2014), khususnya bab 1 (hlm. 7-28).  

/2/ Kathleen Taylor, Brainwashing: The Science of Thought Control (New York, N.Y.: Oxford University Press, 2004; edisi paperback 2006), hlm. ix-x.

/3/ Tentang cultural cognition”, lihat Dan M. Kahan, Hank Jenkins-Smith and Donald Braman, Cultural Cognition of Scientific ConsensusJournal of Risk Research, Vol. 14, 2011, Issue 2, published online Sept 10, 2010, https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13669877.2010.511246. Lihat juga Aviva Philipp-Muller, Spike W.S. Lee, Richard E. Petty, Why are people antiscience, and what can we do about it?PNAS 119 (30) e2120755119, July 12, 2022, https://www.pnas.org/doi/full/10.1073/pnas.2120755119

Lihat juga Tessa Koumoundouros, The 4 Factors Can Explain Why So Many People Are Rejecting ScienceSciencealert, July 16, 2022, https://www.sciencealert.com/distrust-in-science-is-causing-harm-but-these-researchers-have-a-plan.

/4/ Lihat Gabriel J. Kooperman, Yang Chen,..., James T. Randerson, "Forest response to rising CO2 drives zonally asymmetric rainfall change over tropical land", Nature Climate Change no. 8 (2018), published online 27 April 2018, hlm. 434-440, https://www.nature.com/articles/s41558-018-0144-7.

Lihat juga University of California, Irvine, "Scientists project a drier Amazon and Wetter Indonesia in the future", Phys.org, 27 April 2018, https://phys.org/news/2018-04-scientists-drier-amazon-wetter-indonesia.amp.

/5/ Lihat John Vidal, “Explosive intervention by Pope Francis set to transform climate change debate”, Raw Story, 13 June 2015, http://www.rawstory.com/2015/06/explosive-intervention-by-pope-francis-set-to-transform-climate-change-debate/

/6/ Lihat reportase Jacob Kastrenakes, “US outlines how it will cut 25 percent of greenhouse gas emission by 2025”, The Verge, 31 March 2015, http://www.theverge.com/2015/3/31/8322523/us-outlines-cutting-emissions-28-percent-2025

/7/ Lihat reportase David Freeman, “Artificial Photosynthesis Advance Hailed as Major Breakthrough”, HuffingtonPost Science, 20 April 2015, http://www.huffingtonpost.com/2015/04/20/artificial-photosynthesis-environment-energy_n_7088830.html.

Lihat laporan tentang sistem baru ini dalam Chong Liu, Joseph J. Gallagher, Peidong Yang, et al., “Nanowire-Bacteria Hybrids for Unassisted Solar Carbon Dioxide Fixation to Value-Added Chemicals”, Nano Letters, 7 April 2015, doi:10.1021/acs.nanolett.5b01254, http://pubs.acs.org/doi/abs/10.1021/acs.nanolett.5b01254?journalCode=nalefd&.

/8/ Keyakinan bahwa planet Bumi baru berusia 6.000 tahun sudah dimunculkan berabad-abad lampau, persisnya pada abad ke-17, oleh literalis Katolik yang menjadi uskup agung Almargh yang bernama James Usher. Menurutnya, persis di hari Minggu, 23 Oktober 4004 SM, Tuhan Allah menciptakan langit dan Bumi. Pada sisi lain, dengan mengkaji terutama meteor-meteor, dengan menggunakan teknik radioactive dating, yang khususnya terfokus pada isotop-isotop yang tertinggal dari peluruhan radioaktif, para ilmuwan tiba pada kesimpulan bahwa sistem Matahari kita berusia 4,6 milyar tahun.

/9/ Lebih jauh, lihat Michael Shermer, What Is Pseudoscience?, Scientific American, September 1, 2011, https://www.scientificamerican.com/article/what-is-pseudoscience/.

/10/ Helen Pluckrose, "How French 'Intellectuals' Ruined the West: Postmodernism and Its Impact, Explained", Areo, 27 March 2017, https://areomagazine.com/2017/03/27/how-french-intellectuals-ruined-the-west-postmodernism-and-its-impact-explained.

/11/ Neil Garrett, Stephanie C. Lazzaro, Dan Ariely, Tali Sharot, The Brain Adapts to DishonestyNature Neuroscience 19 [1727-1732] 24 October 2016. Ini link ke file Pdf-nya http://www.nature.com/neuro/journal/v19/n12/pdf/nn.4426.pdf.

/12/ Gambaran tentang DK ini parafrasis dari teori DK yang disusun Leon Festinger, H.W. Riecken dan S. Schachter, When Prophecy Fails: A Social and Psychological Study of a Modern Group That Predicted the Destruction of the World (New York: Harper and Row, 1956). Pemaparan lebih jauh teori ini, lihat Leon Festinger, A Theory of Cognitive Dissonance (Stanford, California: Stanford University Press, 1957). Pengenaan teori ini pada kekristenan perdana, lihat John G. Gager, Kingdom and Community: The Social World of Early Christianity (New Jersey: Prentice Hall, 1975) 37-49.

/13/ Lihat analisis yang bagus atas krisis kognitif Dostoyevsky oleh Victoria Fomina, "How Can a Painting Make One Lose One's Faith", International Cognition and Culture Institute, March 2, 2018, http://cognitionandculture.net/blog/victoria-fominas-blog/how-can-a-painting-make-one-lose-ones-faith.

/14/ Rachael Rettner, “1 in 20 People Has Hallucinated”, Live Science, 27 May 2015, http://www.livescience.com/50999-hallucinations-delusions-common.html; dan John J. McGrath, Sukanta Saha, Ronald C. Kessler, et al., “Psychotic Experience in the General Population: A Cross-National Analysis Based on 31261 Respondents From 18 Countries”, JAMA Psychiatry, 27 May 2015, http://archpsyc.jamanetwork.com/article.aspx?articleid=2298236.